ANALISIS DAN PEMBAHASAN KASUS
I. Analisis Kasus
PT Askrindo (Persero) didirikan pada tanggal 11 Januari 1971 berdasarkan PP No 1 Tahun 1971. Perusahaan berperan dalam memberdayakan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah untuk menunjang pertumbuhan perekonomian Indonesia yaitu dengan berperan sebagai lembaga penjamin atas kredit yang disalurkan oleh perbankan kepada UMKM.. Seiring berjalannya waktu, PT Askrindo tidak hanya melakukan penjaminan tehadap UMKM tetapi juga dalam bidang usaha Asuransi Kredit Bank, Asuransi Kredit Perdagangan, Customs Bonds, dan Reasuransi.
Kasus PT Askrindo bermula pada tahun 2002 saat empat perusahaan (PT Tranka Kabel, PT Vitron, PT Indowan, dan PT Multimegah) yang diberikan penjaminan kredit atas LC oleh PT Askrindo mengalami gagal bayar pada saat jatuh tempo. Untuk menghindari pembayaran klaim, PT Askrindo menerbitkan promisorry notes dan medium term notes atas empat perusahaan tersebut. Proses ini dilanjutkan dengan penempatan dana senilai 442 milyar rupiah pada investasi melalui lima manajer investasi yaitu PT Jakarta Securities, PT Reliance Asset Management, PT Batavia Prosperindo Financial Services dan PT Jakarta Securities namun pada akhirnya kelima manajer investasi tersebut tidak dapat mengembalikan dana ke PT Askrindo.
Kejanggalan dari serangkaian kasus tersebut menyebabkan Bapepam melakukan pemeriksaan atas PT Askrindo, diantaranya adalah pemeriksaan atas Laporan Keuangan tahun 2010 yang mana PT Askrindo tidak dapat membuktikan kepemilikan beberapa obligasi dan reksadana yang dilaporkan, pemeriksaan atas transaksi KPD dan Repo yang telah dilakukan bertahun- tahun sebelumnya padahal transaksi tersebut tidak boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi serta pemeriksaaan terhadap jajaran direksi PT Askrindo.
Lebih lanjut kasus Askrindo diduga melibatkan transaksi pencucian uang yang dilakukan oleh jajaran direksi yang akhirnya jajaran direksi perusahaan diganti oleh Menteri BUMN dan juga kerjasama dengan pejabat Bapepam LK untuk melegalkan investasi berbentuk repo dan KPD..
II. Pembahasan Kasus 1. Kaitan Kasus dengan OECD CG Principle VI
Indonesia termasuk negara yang menerapkan sistem two-tier boards, dimana terdapat pemisahan antara fungsi pengawasan (non-eksekutif board)dan fungsi manajemen (eksekutif boards). Kedua fungsi ini bersama-sama memiliki tanggung jawab untuk mengawasi performa manajemen dengan tetap mengutamakan keuntungan pemegang saham serta menghindari konflik kepentingan.
OECD Prinsip VI menjelaskan tentang peran dan tanggung jawab anggota dewan dalam pengawasan dan akuntabilitas para stakeholders. Selain bertanggung jawab terhadap fungsi pengawasan dan manajemen, dewan juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan apakah perusahaan telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan yang berlaku.
OECD Prinsip VI Sub Prinsip A menyatakan dua elemen utama tugas dari anggota dewan, yaitu duty of care dan duty of loyalty. Duty of Care menekankan pada anggota dewan yang diwajibkan untuk bertindak berdasarkan informasi yang lengkap, beritikad baik, dan dengan ketekunan dan penuh perhatian. Elemen kedua, Duty of Loyalty, mendasari implementasi efektif dari prinsip-prinsip yang lain, contohnya perlakuan yang sama terhadap shareholders dan pengawasan terhadap hubungan istimewa.
Direktur Keuangan dan Teknologi Informasi PT Askrindo, Rene Setyawan (RE) dinilai lalai atas kesengajaannya menyembunyikan informasi yang penting dalam transaksi investasinya. Dalam hal ini RE melalui PT Askrindo mempromosikan nasabah yang gagal membayar jaminan Letter of Credit (L/C) sebagai nasabah premium yang layak mendapatkan dana investasi. RE bertindak dengan mengabaikan prinsip Duty of Care saat mengambil high risk investment pada nasabah yang sudah diketahui tidak akan sanggup untuk membayar kredit, dalam hal ini PT Tranka Kabel (PTK), padahal kedua belah pihak sudah saling mengetahui bahwa PTK memiliki masalah likuiditas karena tidak dapat membayar L/C ke Bank Mandiri. Penyimpangan terhadap elemen Duty of Loyalty dilakukan RE karena telah melanggar Keputusan Direksi Askrindo nomor 66 Tahun 2003.
Selain itu OECD Prinsip VI Sub Prinsip C menekankan bahwa anggota dewan harus meneraapkan Standar Etika yang Tinggi (High Ethical Standards) Standar ini diterapkan tidak hanya dengan tindakannya sendiri tetapi juga dengan menugaskan dan mengawasi manajemen yang utama dan manajemen pada umumnya.
PT Askrindo memberikan persepsi informasi yang tidak benar pada investor, dalam hal ini PT Jakarta Invesment (PTJI). Informasi yang tidak benar ini diwujudkan dalam promosi nasabah yang tidak layak mendapatkan dana investasi. Akibat tindakan ini PTJI mengalami kerugian material yang mencapai Rp 148 Milyar. Selain itu dampak perbuatan PT Askrindo menyebabkan PTJI menghentikan kegiatan operasinya dan menurunkan kredibilitas PTJI. OECD Prinsip VI Sub Prinsip D membahas secara rinci fungsi-fungsi utama anggota dewan. Point 1 sub prinsip D mengatakan bahwa anggota dewan harus menelaah dan mengarahkan strategi perusahaan, tindakan yang membutuhkan perpindahan modal yang besar, kebijakan resiko, anggaran tahunan, dan rencana bisnis. Seperti diketahui bahwa Bapepam mengidentifikasi adanya praktik investasi PT Askrindo yang tidak sesuai dengan ketentuan perundangan yaitu investasi melalui Kontrak Pengelolaan Dana (KPD) dan Repurchase Agreement (Repo). KPD dan Repo merupakan dua contoh pelanggaran terhadap peraturan perusahaan asuransi di Indonesia. Dalam hal ini peranan dewan komisaris sebagai pengawas, termasuk internal audit PT Askrindo, tidak dijalankan dengan baik karena transaksi-transaksi yang tidak diperbolehkan ini lolos dari pengawasan mereka. Anggota dewan sebagai independen judgement sehingga bertindak sebagai konsultan bagi manajemen dalam pengambilan keputusan bisnis seharusnya dapat memberikan masukan yang lebih rasional demi kebaikan perusahaan. Berkaitan dengan hal ini PT Askrindo juga dinilai lalai dalam menjalankan OECD Prinsip VI Sub Prinsip D point 2 dimana dewan komisaris gagal dalam mengawasi praktik tatakelola perusahaan yang efektif.
Terdapat tudingan adanya manipulasi pembukuan Laporan Keuangan dengan menempatkan investasi pada Tutup Buku 31 Desember 2005 dimana sebenarnya investasi tersebut baru dilakukan di bulan Januari 2006. Hal ini tidak sesuai dengan OECD Prinsip VI Sub Prinsip D point 7 yang menyebutkan bahwa salah satu tugas anggota dewan adalah memastikan kebenaran dan integritas sistem pelaporan akuntansi dan keuangan perusahaan. Selain itu, adanya rekayasa keuangan menandakan ketidakpatuhan PT Askrindo terhadap OECD Prinsip VI Sub Prinsip F, dimana disebutkan bahwa anggota direksi harus memiliki akses terhadap informasi yang akurat, relevan, dan tepat waktu
2. Kaitan Kasus dengan Peraturan Bapepam LK nomor IX.I.6 Tentang Direksi dan Komisaris Emiten dan Perusahaan Publik.
Keputusan dan strategi yang diambil oleh sebuah perusahaan tentunya dengan persetujuan dewan komisaris dan direksi tidak terkecuali dalam kasus PT Askrindo, pihak yang dianggap paling bertanggung jawab dalam keputusan investasi dana ke beberapa perusahaan sekuritas adalah jajaran komisaris dan direksi dari perusahaan. Peraturan Bapepam LK nomor IX.I.6 LK mensyaratkan bahwa Direksi dan atau Komisaris dilarang baik langsung maupun tidak langsung membuat pernyataan yang tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan emiten atau perusahaan publik pada saat pernyataan dibuat. Keputusan Dewan Komisaris dan Direksi atas rangkaian kasus ini dianggap menyalahi aturan tersebut yang dibuktikan dengan adanya perombakan direksi PT Askrindo oleh Menteri BUMN. Keputusan yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku adalah sebagai berikut: a. Keputusan untuk melakukan investasi berbentuk repo (repurchase agreement) dan Kontrak Pengelolaan Dana (KPD).
Keputusan ini dianggap bertentangan dengan ketentuan yang berlaku yaitu Peraturan Bapepam LK Nomor V.G.6 yang mengatur bahwa Repo dan KPD tidak masuk dalam investasi yang diperbolehkan untuk perusahaan asuransi. Sebagai pengawas, seharusnnya dewan komisaris dan direksi tidak menyetujui bentuk investasi yang dilarang oleh peraturan. Atas peristiwa ini ada dua kemungkinan yang dapat ditarik kesimpulan yaitu bahwa dewan komisaris dan direksi telah lalai dalam melakukan pengawasan atau memang transaksi tersebut atas persetujuan dewan komisaris dan direksi. b. keputusan untuk melakukan praktik kontrak pengelolaan investasi kepada manajer investasi yang selanjutnya berdasarkan penelusuran Bapepam LK perusahaan tersebut tidak mematuhi peraturan yang berlaku.
Pada saat menempatkan dananya melalui investasi pada sekuritas tertentu, manajeman seharusnya telah mengumpulkan informasi terkait dengan kinerja perusahaan sekuritas tersebut. Keputusan Askrindo dalam melakukan investasi pada lima manajer investasi yang bermasalah dapat dianggap sebagai pengambilan keputusan yang tidak tepat karena berdasarkan pemeriksaan Bapepam LK, beberapa manajer investasi tersebut tidak mematuhi peraturan yang berlaku salah satunya adalah Surat Keputusan Direksi PT BEI nomor KEP- 00001/BEI/01-2014 tentang Perubahan Peraturan Nomor I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat dengan perincian sebagai berikut: * PT Reliance Asset Management tidak mematuhi peraturan tersebut karena tidak memiliki direksi sebagaimana diamanatkan dalam KEP-0001/BEI/01-2014. Selain itu Bapepam juga menemukan bahwa PT Reliance Asset Management tidak dapat menunjukkan kontrak dengan PT Askrindo, tidak memiliki metode dan batasan dana investasi yang dikelola, tidak memiliki strategi manajemen risiko dan tidak memiliki pegawai yang melaksanakan fungsi kepatuhan, investasi, dan manajemen risiko.
* PT Jakarta Investement nilai aktiva bersihnya hanya sebesar 25 milyar rupiah padahal sesuai dengan KEP-0001/BEI/01-2004 nilai realisasi bersih perusahaan minimal adalah 100 milyar. Selain itu Bapepam LK juga menemukan bahwa PT Jakarta Investment tidak melaporkan keseluruhan pengelolaan dana nasabah, tidak memiliki/ menyimpan arsip yang berkaitan dengan nilai investasi setiap portofolio dan tidak memiliki perjanjian KPD dengan Askrindo.
Ketidaktaatan dua perusahaan sekuritas tersebut pada peraturan mengakibatkan pencabutan izin usaha oleh Bapepam LK.
c. persetujuan Dewan Komisaris dan Direksi dalam rekayasa laporan keuangan tahun 2010 atas investasi berupa obligasi dan reksadana yang berdasarkan pemeriksaan Bapepam LK, investasi tersebut tidak ada.
Pelaporan kinerja perusahaan melalui laporan keuangan tentunya dilakukan atas persetujuan dan pengawasan manajemen dan Dewan Komisaris. Laporan keuangan yang tidak disertai dengan bukti yang kuat atas Laporan Posisi Keuangan maupun Laporan Rugi laba adalah salah satu bentuk tindakan yang dapat menyesatkan dan merugikan pengguna laporan keuangan. Apabila hal ini ditinjau dengan Peraturan Bapepam LK nomor IX.I.6, tentunya dewan direksi dan komisaris telah melanggar ketentuan tersebut khususnya pada poin 3.
3. Kaitan Kasus Askrindo dengan Jurnal “The Power of Monitoring”
Kasus yang terjadi pada Askrindo dapat dikaitkan dengan teori-teori yang terdapat dalam jurnal, ”Power of Monitoring” yang dibuat oleh Uddo Brandle dan Jurgen Noll pada tahun 2004. Karakteristik boardsyang baik dapat berpengaruh terhadap berkurangnya pelanggaran-pelanggaran atas aturan yang ada. Banyak kritik terhadap boardsdengan anggapan bahwa boards tidak bertindak demi kepentingan pemilik modal, dan boardsterlibat semakin jauh dalam manajemen perusahaan. Board dianggap memiliki kerja yang tidak efisien dan menjadi beban bagi perusahaan (deadweight cost).Kritik-kritik diatas perlu digarisbawahi oleh kritikus.Board mungkin bukan jalan terbaik bagi perusahaan, tetapi merupakan solusi dari teori agensi yang dihadapi perusahaan, dimana terdapat perbedaan kepentingan diantara stakeholders.
Kembali pada kasus yang terjadi di Askrindo, terdapat berbagai transaksi yang cukup janggal serta menyalahi aturan, baik aturan yang di buat oleh Askrindo sendiri maupun aturan yang dibuat regulator.Investasi KPD dan Repo adalah salah satu pelanggaran terhadap peraturan perusahaan asuransi di Indonesia.Pelanggaran yang dilakukan memberikan dampak kerugian yang cukup material bagi Askrindo. Peran dari boards sebagai pengawas cukup dipertanyakan mengapa transaksi-transaksi ini tidak tercium dan bisa lolos dari penglihatan mereka, termasuk didalamnya peran dari internal audit Askrindo. Selain itu, peran boards saat ini juga sebagai konsultan bagi manajemen dalam memutuskan berbagai keputusan bisnis, sehingga seharusnya ada tindakan lebih rasioanal yang dilakukan manajemen. Contohnya, memberikan jaminan terhadap PT Tranka Kabel yang keuangannya sedang tidak baik, seharusnya hal ini dapat dengan mudah diatasi. Lalu mengapa boards pada Askrindo tidak menjalankan tugasnya dengan baik, apakah boards Askrindo juga ikut bermain di dalam berbagai transaksi yang ada, ataukah mereka memilih diam agar posisi mereka tetap aman. Dalam jurnal “Power of Monitoring” dijelaskan mengapa hal ini dapat terjadi, yang dituangkan ke dalam berbagai penelitian teoritis serta empiris mengenai peran boards. Penelitian terhadap boards menyebabkan timbulnya dua interpretasi berbeda dan tentunya perbedaan atas pengambilan kebijakan yang tersedia. Berikut ini adalah analisa terkait penelitian teoritis yang dilakukan parah ahli.Menurut B. Hermalin dan M. Weisbach (1998), tingkat pemantauan oleh boards tergantung pada independensi yang dimiliki boards, yang dianalisis berdasarkan besaran insentif anggota board dan keengganan/pembiaran boards terhadap kinerja manajemen. Akibatnya, CEO cenderung kurang diawasi oleh anggota boards. Hermalin dan Weisbach menyarankan peraturan harus lebih fokus pada proses seleksi boards dan besaran insentif anggota boards dalam mengawasi manajemen. Secara garis besar, teori ini mengatakan bahwa apakah insentif yang diterima telah diberikan secara wajar.Wajar disini bisa dikatakan insentif yang diterima tidak terlalu kecil ataupun tidak terlalu besar. Insentif yang kecil menyebabkan boards menjadi enggan untuk melakukan performa secara maksimal, sebaliknya jikan terlalu tinggi maka adanya indikasi bahwa boardscenderung diam ketika ada masalah yang terjadi. Mereka tidak mau untuk mengintervensi lebih jauh agar posisinya tetap aman. Proses seleksi boards juga harus direncanakan sedemikian rupa, agar posisi yang diisi bukan kerabat sehingga KKN akan mudah terjadi. Berikutnya ada pendapat yang dikemukakan V. Warther (1998).Menurut V. Warther, anggota boards cenderung ingin mempertahankan jabatannya. Akibatnya, anggota board akan menghindari konflik dengan manajemen. Anggota boardsakan bertindak bila bukti kelalaian manajemen cukup kuat. Dengan demikian, boards hanya aktif dalam situasi yang kritis. Ketiga, menurut C. Rajeha, anggota boards eksternal cenderung independen terhadap CEO, namun secara relatif kurang memiliki informasi terkait perusahaan. Anggota board internal memiliki informasi yang lebih akurat namun kurang independen terhadap CEO.Ukuran board yang kecil berdampak positif karena biaya koordinasi menjadi murah, namun berdampak negatif karena sedikitnya jumlah anggota board yang mengawasi manajemen. Dari ketiga pendapat diatas, boardsAskrindogagal dalam melakukan pengawasan bisa saja terkait dengan pendapat pertama, karena tidak wajarnya insentif yang diberikan, serta buruknya proses perekrutan boards, sehingga karakteristik dari boards tidak menjalankan perannya dengan baik. Kuranngya insentif membuat kerja boards underperform sehingga tidak mungkin dapat menangkap transaksi tidak wajar. Profil boards yang tidak kompeten sehingga tidak mengetahui seluk beluk bisnis Askrindo juga merupakan indikasi terhadap gagalnya pengawasan mereka. Untuk teori kedua nampaknya perlu dikecualikan karena, transaksi yang terjadi sudah dalam golongan material, dan seharusnya pihak internal sudah bisa mencium transaksi yang ada. Pendapat C. Rajeha juga kurang mendukung alasan mengapa boards Askrindotidak berjalan semestinya, karakteristik boards internal yang tidak mencerminkan independensi membuat fraud yang terjadi dapat melenggang mulus, namun ketika boards telah mengetahui tapi tidak melaporkan, maka hal tersebut adalah kesalahan, dan bisa saja pihak kepolisian dalam hal ini pihak yang berwenang juga menangkap jajaran board Askrindo.
Selanjutnya adalah penelitian empiris terhadap peran boards dalam tata kelola perusahaan juga terhadap kinerja perusahaan. Penelitian dilakukan di Amerika yang didominasi oleh sistem one-tier board.Di Indonesia sendiri, sistem didominasi oleh two-tier board sehingga teori ini cukup tidak relevan untuk dibahas terkait kasus Askrindo.Berikut ini adalah penelitian yang telah dilakukan. 1. J. Byrd & K. Hickman (1992) Board yang anggotanya berasal dari eksternal cenderung untuk memberhentikan CEO karena kinerja perusahaan yang buruk.Analisis ini dapat digunakan bagi Askrindo agar fungsi pengawasan lebih ketat.Boards dari kalangan eksternal akan lebih tegas dan tidak mudah kompromi. 2. D. Yermak & T. Eisenberg, dkk (1996) Pelaku pasar cenderung berpikir bahwa ukuran board yang kecil melakukan pemantauan yang lebih baik dibandingkan dengan ukuran board yang besar. 3. J. Core (1999) J. Core menyimpulkan struktur tata kelola perusahaan yang lemah cenderung menggaji CEO lebih besar. Gaji CEO meningkat sejalan dengan indikasi kurangnya pemantauan board. Penelitian ini hampir sama dengan yang dikemukakan B. Hermalin pada penelitian teoritis. Namun perlu ditambahkan, bahwa gaji yang kecil juga memberikan dismotivasi bagi boards. 4. M. Weisbach (1988) Direktur independen/anggota board eksternal akan meningkatkan kinerja board. Anggota board eksternal lebih memungkinkan untuk memberhentikan CEO yang kinerjanya buruk, selama direktur independen/anggota board tersebut “dikendalikan” oleh CEO. 5. S. Rosenstein (1990) S. Rosenstein menyimpulkan harga saham perusahaan bereaksi positif terhadap berita tentang penunjukkan seorang direktur independen/anggota board eksternal. 6. K. Hallock (1997)
K. Hallock meneliti fenomena “interlock”, yang terjadi ketika pegawai perusahaan A duduk di board perusahaan B dan dan pegawai B duduk di board perusahaan A. Praktik interlock berpotensi menimbulkan kolusi di antara keduanya. 7. S. Bhagat & B. Black (2000) S. Bhagat & B. Black menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara proporsi anggota board eksternal dengan Tobin’s Q. Berdasarkan pengamatan pasar saham jangka panjang dan kinerja perusahaan, S. Bhagat & B. Black menyimpulkan tidak ada hubungan antara komposisi board dengan kinerja perusahaan. 8. R. Morck, dkk (1988) R. Morck, dkk menyarankan penggunaan Tobin’s Q sebagai pengukur kinerja, yang mencerminkan nilai tambah dari tata kelola perusahaan.
Dapat disimpulkan bahwa peran dari boards membawa dampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja dari perusahaan. Jika kita asumsikan struktur organisasi dan fungsi-fungsi didalamnya telah harmonis dan tidak ada benturan kepentingan, maka peran boards yang benar, baik dari segi pengawasan atau sebagai konsultan manajemen dapat berbanding lurus dengan performa yang dihasilkan perusahaan. Boards yang benar akan membuka matanya atas berbagai transaksi yang mencurigakan, dan melakukan tindakan tegas atas hal tersebut, sehingga perusahaan tidak dirugikan secara keseluruhan. Hal inilah yang tidak dilakukan boards Askrindo. Mereka justru melakukan sebaliknya, sehingga atas kurangnya peran dari boards menghukum Askrindo dengan kerugian yang signifikan.
Kesimpulan
Berbagai kasus terjadi pada Askrindo sehubungan ditemukannya transaki-transaksi yang janggal terhadap jaminan yang diberikan kepada empat perusahaan dimana keempat perusahaan tersebut memiliki likuiditas yang kurang baik. Selain itu, keputusan manajemen dalam menginvestasikan dana pada Repo dan KPD merupakan pelanggaran, karena telah diatur bahwa perusahaan asuransi dilarang untuk melakukan investasi diatas. Peran pengawas pada Askrido sangat dipertanyakan mengapa tidak dapat mendeteksi risiko-risiko transaksi tersebut. Padahal berdasarkan prinsip keenam OECD telah ada yang mengatur tentang tanggung jawab dewan, dimana struktur dan kerangka kerja tata kelola perusahaan harus memastikan perusahaan mencapai tujuannya dengan strategi yang ada, dimana dibutuhkan pengawasan yang efektif oleh board terhadap manajemen, dan karakteristik yang dimiliki board harus dapat mengakomodir berbagai kepentingan dalam setiap lapisan perusahaan. Pemilihan atas boarddan direksijuga telah diatur oleh peraturan Bapepam-LK dan BEI yang berguna menemukan board yang capable dan memiliki independesi dalam menjalankan perannya. Jika ditemukannya, kasus-kasus seperti Askrindo, kita dapat merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Jurgen Knoll pada “The Power of Monitoring” mengapa ada board yang dianggap kurang perform bagi perusahaan. Penelitian ini terbagi menjadi penelitian teoritis dan penelitian empiris.Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa praktik tata kelola perusahaan di Askrindo belum berjalan dengan semestinya, baik itu peran direksi dalam melakukan keputusan bisnis, peran boards sebagai pengawas, serta komite-komite lain yang berada pada Askrindo.
Daftar Pustaka
OECD.2004. OECD Corporate Governance Principles
Bapepam LK.2004. Peraturan No. IX.I.6 : Direksi dan Komisaris Emiten dan Perusahaan Publik
BEI LK.2014. KEP-00001/BEI/01-2014 : Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat
Brandle, Udo. C & Jurgen.Noll.2004. The Power of Monitoring. German Law Journal. Vol.5.No.11
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt530b02ce2f0ee/askrindo-digugat-karena rekayasa-buku-laporan-keuangan (Diakses pada 10 Oktober 2015)
http://www.rmol.co/read/2012/05/29/65424/Saksi-Ahli:-Kasus-Direktur-PT.-Askrindo-bukan-Masalah-Pidana- (Diakses pada 10 Oktober 2015)
http://economy.okezone.com/read/2011/08/05/320/488765/inilah-kasus-askrindo-versi-bapepam (Diakses pada 10 Oktober 2015)
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e53c7b518297/meneg-bumn-rombak-direksi-askrindo(Diakses pada 10 Oktober 2015)
http://antikorupsi.info/id/content/dugaan-penyimpangan-dana-investasi-menteri-ancam-beri-sanksi-direksi-askrindo (Diakses pada 10 Oktober 2015)
--------------------------------------------
[ 1 ]. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt530b02ce2f0ee/askrindo-digugat-karena-rekayasa-buku-laporan-keuangan