STUDI KASUS PEDAGANG KAKI LIMA

By: Desy and Rizky
*Dari berbagai macam sumber

1

Ringkasan Kasus Pedagang kaki lima berasal dari istilah “kaki lima” yang merupakan warisan sejarah, sebab istilah ini muncul saat pemerintah jajahan Inggris di Indonesia. Pada saat itu Raffles telah mengeluarkan peraturan penggunaan jalan, yakni mengharuskan agar kiri dan kanan jalan selebar lima feet bagi pejalan kaki itu digunakan oleh pedagang untuk menggelar jualannya, karena mereka berjualan di arena lima feet tadi, kemudian dikenal sebagai pedagang kaki lima (Hernawi dalam Sudaryanti 2000:8). Menurut Eridian dalam Sudaryanti (2000:8) “Pedagang kaki lima ialah orang-orang dengan modal relatif kecil/sedikit berusaha (produksipenjualan barang-barang/jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu dalam masyarakat”. Usaha itu dilakukan pada tempattempat yang dianggap strategis dalam suasana informal.
Sedangkan, berdasarkan Peraturan Presiden no.125 tahun 2012

tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Bab I Pasal I bahwa: Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha per-dagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap. Menurut Adi Sasono (1980: 62-64) pedagang kaki lima mempunyai beberapa kekuatan dan kelemahan yang harus diperhatikan, yakni: 1) kekuatan-kekuatan yang dimiliki PKL a) pedagang kaki lima memberikan kesempatan kerja yang umumnya sulit didapat pada negara-negara sedang berkembang.

2

b) dalam prakteknya mereka biasanya menawarkan barang dan jasa dengan harga bersaing. c) sebagian besar masyarakat kita lebih senang berbelanja dengannya mengingat faktor kemudahan dan barang-barang yang ditawarkan relatif murah (terlepas dari pertimbangn kwalitas). 2) kelemahan-kelemahan yang dimiliki PKL a) mereka dapat dimasukkan dalam kelompok marginal dan submarginal dengan modal kecil, sehingga laba yang dihasilkan juga kecil. b) disebabkan oleh kurangnya pendidikan dan technical training maka unsur efisiensi kurang mendapat perhatian seperti masalah polusi dan faktor hygienis sebagai produk sampingan yang negatif. c) dikalangan pedagang kaki lima sering terdapat faktor imitasi yang berlebihan. d) seringkali terdapat unsur penipuan dan penawaran dengan harga tinggi yang berlebih-lebihan, sehingga menyebabkan citra/image kurang positif. Selain hal-hal di atas, pedagang kaki lima juga sering kali menggunakan fasillitas umum yang bukan diperuntukkan bagi mereka. Seperti trotoar, tepi jalan, dan halte. Pejalan kaki dan pengguna fasilitas umum lainnya merasa dirugikan karena hak mereka digunakan dengan tidak bertanggungjawab. Hal tersebut telah terlihat dari sejarah yang menjelaskan bahwa PKL hidup sejak lama dengan menempati sisi jalan/trotoar. Meskipun demikian, individu yang berprofesi sebagai PKL memiliki hak untuk bekerja dan memenuhi kebutuhannya. Selain itu, mereka juga membantu beberapa kalangan masyarakat melalui barang/jasa dagangan mereka.

3

Untuk membantu mengatur aktivitas PKL pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, hingga peraturan daerah yang berfungsi untuk memberdayakan dan menata PKL di Indonesia. Karena, hingga saat ini penertiban pedangang kaki lima masih mengalami banyak kendala. Keinginan pemerintah untuk merelokasi pun butuh perjuangan panjang, penolakan PKL akan lokasi relokasi yang dianggap tidak strategis dapat mematikan pendapatan mereka. Sehingga beberapa kali ditemua PKL kembali ke lokasi semula mereka berjualan. Hingga saat ini pedagang kaki lima masih menjadi “pekerjaan rumah” pemerintah daerah terutama di kotakota besar.

4

Permasalahan yang Ditemui Pedagang kaki lima memang membawa permasalahan yang cukup pelik, terutama pada Negara berkembang seperti Indonesia. Di satu sisi pedagang kaki lima dapat membantu geliat perekonomian mikro. Di sisi lain dapat menggangu ketertiban umum. Berdasarkan hal tersebut, kami dapati beberapa permasalahan yang ada terkait dengan pedagang kak lima. Pertama, menempati fasilitas sosial sebagai wilayah dagang. Sebagaimana kita ketahui. Pedangang kaki lima terdiri dari berbagai macam model seperti yang menggunakan gerobak, sepeda, atau menggelar dagangan. Mayoritas mereka, menempati fasilitas umum seperti jalan raya, trotoar, dan halte sebagai lokasi dahang. Dimana, tempat-tempat tersebut adalah tempat yang diperuntukan bagi masyarakat khususnnya pejalan kaki dan pengguna fasilitas umum. Kedua, Identitas pedagang kaki lima yang kurang jelas. Sebagai warga Negara yang juga memiliki hak untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, pedagang kaki lima mengalami ketidakjelasan status. Tidak adanya status atau kartu identitas sebagai PKl yang jelas dapat membawa mereka pada penggusuran. Ketiga, Penggusuran. Penggusuran merupakan usaha pemerintah untuk menciptakan ketertiban. Pedagang kaki lima yang menempati lokasi terlarang biasanya akan mendapatkan surat peringatan terlebih dahulu untuk mengosongkan tempatnya. Namun, seringkali mereka tidak mengindahkan surat tersebut. Akhirnya, pemerintah mengambil langkah untuk menggusur secara paksa, bahkan membakar alat dan barang dagangan mereka. Keempat, penolakan relokasi. Relokasi merupakan salah satu cara untuk menertibkan pedangan kaki lima. Dengan lokasi yang baru pemerintah

5

mengharapkan bertambahnya kenyamanan semua pihak, baik masyarakat luas dan pedagang kaki lima. Namun, beberapa hal seperti lokasi yang tidak strategis, pendapatan yang menurun, membuat pedagang kaki lima enggang untuk pindah. Adapun pedagang yang pindah hanya bertahan beberapa saat. Hingga akhirnya mereka kembali ke lokasi jualan semula. Berdasarkan empat hal tersebut; lokasi dagang PKL merupakan fasilitas umum, Identitas PKL yang kurang jelas, Penggusuran, dan penolakan relokasi merupakan permasalahan yang umum ditemui di Indonesia.

6

Analisis Pada ketidaktertiban pedagang kaki lima, terjadi karena kurangnya kesadaran dan pemahaman. Kebersihan dan ketertiban dimana mereka berjualan juga tergolong rendah. Mereka masih kurang menyadari dan bertanggung jawab pada lokasi. Kehadiran mereka (PKL) memberikan kerugian yang lebih besar. Maka kami akan melihat sudut pandang pengambilan keputusan etika. Dalam hal ini kami akan menganalisa tentang pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalan umum dan relokasi yang dilakukan pemerintah, melalui pendekatan teori 5 pertanyaan tradisional.
5 pertanyaan tradisional  Apakah menguntungkan ? Pedagang kaki lima di tempat Relokasi yang dilakukan umum (pinggir jalan, dll).  Menguntungkan Karena orang akan lebih mudah akses pemerintah.  Menguntungkan, tempat lebih terjamin dan medapat kemudahan dari pemerintah termasuk akses  Apakah sah di mata hukum?  Tidak karena mengganggu kepentingan umum yang diatur dalam undangundang  Apakah adil?  Tidak, kerana hak pejalan kaki dan pengguna transportasi lainnya terganggu  Iya karena semua akan mendapatkan haknya, seperti pejalan kaki dan PKL pun mendapat tempat yang lebih baik  Iya, kerana sesuai dengan perpres, kepment, dan perda

7



Apakah benar?



Tidak, karena tidak sesuai dengan aturan dan melanggar beberapa hak orang lain



Iya karena berbagai macam pihak terlindungi haknya.



Apakah mendukung pembangunan berkelanjutan?



Tidak, insfrastruktur seperti jalan raya jadi beralih fungsi, tata kota menjadi buruk, kebersihan dan kesehatan kota menjadi terganggu. Lalu lintas tidak lancar



Iya, karena akan membuat kota semakin rapi dan teratur, pembangunan jalan akan lebih mudah, penataan kota akan semakin apik oleh pemerintah

Berdasarkan table di atas maka akan terlihat pengambilan keputusan PKL di jalan masih jauh dari pengertian beretika, sedangkan usaha pemerintah untuk merelokasi termasuk dalam pengambilan keputusan yang beretika, terlebih ditambah peningkatan akses dan fasilitas bagi PKL. Namun, fakta di lapangan seringkali pemerintah memberikan surat pemberitahuan penggusuran yang diabaikan. Namun di sisi lain, ada undang-undang yang melindungi pedangan kaki lima sebagai warga Negara. yaitu: a. UU no.39 tahun 199 pasal 11 mengenai hak asasi manusia bahwa setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak. b. UU no.09 tahun 1995 pasal 13 tentang usaha kecil. “pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan, dll”

8

Apabila pemerintah dan pedagang kaki lima mampu dan mau memahami sumber permasalahan maka akan tercipta solusi yang menguntungkan kedua pihak. Hal tersebut dapat mengurangi permasalahan dan membawa pada kemaslahatan bersama.

9

Recommended Solusi Berdasarkan hasil analisa di atas, maka solusi yang kami rekomendasikan adalah dengan memberikan penyuluhan atau kampanye tentang penataann PKL. Melalui hal ini PKL akan mendapatkan pemahaman yang lebih matang mengenai peraturan. Dengan demikian pemerintah dan PKL dapat bersinergi mewujudka kota yang lebih kondusif dengan tetap menghidupkan iklim berwirausaha. Melalui hal ini pula, PKL akan mendapatkan keterangan menganai status mereka. Hingga informasi menganai lokasi dan bantuan yang akan diberikan pemerintah. Seringkali PKL yang direlokasi kembali ke tempat semula karena mengeluhkan tempat. Untuk itu, ada dua criteria pokok menurut Richardson (1991) tentang lokasi; a. tempat yang memberi kemungkinan pertumbuhan jangka panjang yang menghasilkan keuntungan yang layak. b. tempat yang luas lingkupya untuk kemungkinan perluasan industry. Setiap keputusan yang baik harus berdasarkan pertimbangan kedua belah pihak. Keputusan pemerintah akhrinya tidak hanya didasari oleh alasan politik. Namun, juga pada kepentingan rakyat, seperti PKL. Bagi pedagang kaki lima, akan mau bekerja sama dan berpartisipasi. Mereka tidak lagi khawatir kehilangan mata pencaharian karena terlindungi undangundang, bahkan mendapatkan bantuan dan pengawasan dari pemerintah.

10

Pelaksaanaan Berdasarkan pembahasan di atas, maka pelaksanaannya dapat berupa: 1. Penyuluhan atau sosialisasi peraturan dan penjelasan mengenai aktivitas pedangang kaki lima. Pemerintah dapat menjelaskan lokasi yang boleh atau tidak digunakan untuk berdagang. 2. Mempermudah pembuatan TDU (Tanda Daftar Usaha) yang dapat membantu pedagang kaki lima untuk mendapatkan kemudahan dan bantuan dari pemerintah daerah. 3. Penyediaan relokasi yang lebih baik dan layak, baik dari segi tempat maupun keuntungan yang akan didapatkan oleh pedagang kaki lima. Dibarengi dengan penambahan infrastruktur dan pemberian pelatihanpelatihan untuk mengembangkan usahanya. 4. Pengawasan secara rutin oleh pemerintah daerah, sebagai upaya preventif kembalinya PKL ke lokasi yang lama. Melalui beberapa hal yang bisa dilaksanakan di atas, diharapkan dapat membantu mengatasi permasalahan sekitar pedagang kaki lima.

11

Kesimpulan Pedagang kaki lima merupakan warisan sejarah yang sudah cukup lama ada di Indonesia dan Negara berkembang lainnya. Namun, hingga saat ini masih menyisakan beberapa permasalahan seperti pengambilan fasilitas umum sebagai tempat dagang, status yang belum jelas, penggusuran, dan penolakan relokasi. Pemerintah Indonesia terus memperbaharui undangundang yang dapat melindungi kepentingan berbagai macam pihak. Seperti pedangan kaki lima, pemerintah yang mengatasnamakan kepentingan rakyat yang lebih luas. Tidak sekedar menitikberatkan pada permasalahan tetapi juga bersama kita mencari solusi yang terbaik. Dalam sudut pandang ini penulis memilih penyuluhan dan sosialisasi pemerintah pada PKL dan dapat menguntungkan semua pihak. tentunya harus didukung dengan pelaksanaan di lapangan, seperti penetapan dan pengawasan peraturan yang baik dan disiplin. Merujuk pada prinsip etika bisnis yang dirumuskan Eropa, Amerika, dan Jepang seperti; 1. Tanggung jawab bisnis 2. Dampak ekonomi dan social bisnis 3. Perilaku bisnis 4. Menghargai hukum/peraturan bisnis 5. Mendukung perdagangan multilateral 6. Menghormati/memperhatikan dampak lingkungan 7. Menghindari praktek yang haram

12

Dan peraturan presiden no.125 tahun 2012 serta peraturan menteri no.21 tahun 21012 dan beberapa peraturan daerah apabila peraturan tersebut dilaksanakan dengan baik oleh pedagang kaki lima maka, usaha ini baru bisa dikatakan memiliki etika. Usaha kaki lima tersebut menjadi bisnis yang dapat menguntungkan pelakunya dan juga dapat memberikan manfaat masyarakat secara luas, menjaga ketertiban, kebersihan, serta keindahan tata kota.