Free Essay

Buya Hamka

In:

Submitted By ahmadekram
Words 53387
Pages 214
Tenggelamnya Kapal van der Wijck HAMKA

DAFTAR ISI
1. ANAK ORANG TERBUANG 2. YATIM PIATU 3. MENUJU NEGERI NENEK MOYANG 4. TANAH ASAL 5. CAHAYA HIDUP 6. BERKIRIM-KIRIMAN SURAT 7. PEMANDANGAN DI DUSUN 8. BERANGKAT 9. DI PADANG PANJANG 10. PACU KUDA DAN PASAR MALAM 11. BIMBANG 12. MEMINANG 13. PERTIMBANGAN 14. PENGHARAPAN YANG PUTUS 15. PERKAWINAN 16. MENEMPUH HIDUP 17. JIWA PENGARANG 18. SURAT-SURAT HAYATI KEPADA KHADIJAH 19. CLUB ANAK SUMATERA 20. RUMAH TANGGA 21. HATI ZAINUDDIN 22. DEKAT, TETAPI BERJAUHAN 23. SURAT CERAI 24. AIR MATA PENGHABISAN 25. PULANG 26. SURAT HAYATI YANG PENGHABISAN 27. SEPENINGGAL HAYATI 28. PENUTUP

Hamka TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK Cetakan keenam belas, P.T. Bulan Bintang, Jakarta, 1984 Diterbitkan pertama kali oleh N.V. Bulan Bintang, Jakarta, 1976 P.T. Bulan Bintang, Penerbit dan Penyebar Buku-buku Jalan Kramat Kwitang I/8, Jakarta 10420, Indonesia Anggota Ikatan Penerbit Indonesia Hak cipta dilindungi Undapg-undang 38 39 49 51 57 57 58 61 63 66 76 77 79 81 82 84 16026 K10.000 Dicetak oleh Percetakan P.T. Tri Handayani Utama, Jakarta

PENDAHULUAN CETAKAN KEEMPAT
DI DALAM usia 31 tahun (1938), masa darah muda masih cepat alirnya dalam diri, dan khayal serta sentimen masih memenuhi jiwa, di waktu itulah "ilham" "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" ini mulai kususun dan dimuat berturut-turut dalam majalah yang kupimpin "Pedoman Masyarakat." Setelah itu dia diterbitkan menjadi buku oleh saudara M. Syarkawi (cetakan kedua), seorarg pemuda yang giat menerbitkan buku-buku yang berharga. Belum berapa lama tersiar, dia pun habis. Banyak pemuda yang berkata: "Seakan-akan tuan menceriterakan nasibku sendiri." Ada pula yang berkata: "Barangkah tuan sendiri yang tuan ceriterakan!" Sesungguhnya bagi seorang golongan agama, mengarang sebuah buku roman, adalah menyalahi kebiasaan yang umum dan lazim pada waktu itu. Dari kalangan agama pada mulanya, saya mendapat tantangan keras. Tetapi setelah 10 tahun berlalu, dengan sendirinya heninglah serangan dan tantangan itu, dan kian lama kian mengertilah orang apa perlunya kesenian dan keindahan dalam hidup manusia. Ada pula yang berkata: "Bilakah lagi tuan akan membuat ceritera sebagai 'Di bawah Lindungan Ka'bah' dan 'Tenggelamnya Kapal Van der Wijck' dan yang lain-lain itu?" Bagaimanakah saya akan menjawab pertanyaan itu, karena cita-cita masih tetap besar dan tinggi, sedang usia telah bertambah dan zaman telah berubah. Khayal dan sentimen zaman muda kian sehari kian terdesak oleh pengalaman-pengalaman, terutama di dalam saring-tapisan "Repolusi." Maka dengan persetujuan saudara M. Syarkawi sendiri, yang telah mencetak buku ini dua kali (pertama 1939, kedua 1949), cetakan buku ini seterusnya diurus oleh Balai Pustaka, sebagai perbendaharaan tanah-air yang senantiasa bekerja keras memajukan perpustakaan dan kesusasteraan tanah-air. Baik di zaman yang telah dilampauinya, apalagi sesudah kemerdekaan bangsa dan nusa. Dengan dicetaknya buku ini kembali, sempatlah saya mengambil dua kesempatan. Kesempatan pertama ialah mengoreksi kesalahan cetak pada percetakan-percetakannya yang dahulu, dan menyesuaikan ejaannya dengan ejaan-ejaan baru, sesudah perang. Sesudah Bahasa Indonesia 'bulat-bulat' menjadi kepunyaan bangsa Indonesia. Kedua ialah kesempatan diri sendiri, "bercermin air", melihat diri sendiri di zaman Yang telah dilaluinya, jelas kelihatan dua hal yang mempengaruhi jiwa. Pertama sentimen yang bergelora. Kedua tekanan suasana, sebab kemerdekaan masih dalam cita-cita, dan penjajahan masih menekan dalam segala lapangan hidup, supaya hal itu tetap kelihatan, maka ketika membacanya kembali, jalan cerita dan perasaan pengarang, yang menjadi inti buku, tidaklah dirobah-robah. Sebab dia adalah puncak kekayaan jiwa yang dapat diciptakan di zaman muda dan di zaman sebelum suasana merdeka. Moga-moga kiranya hasil tangan angkatan kami ini dilanjutkan oleh angkatan yang di belakang, dengan lebih berkembang dan maju. Karena dengan terbukanya "gapura kemerdekaan", segala kesempatan pun terbukalah! PENGARANG

PENDAHULUAN CETAKAN KE-8
DENGAN persetujuan dari Balai Pustaka sendiri, sebagai penerbitnya yang lama, maka mulai cetakan ke-8 ini dan seterusnya, buku ini diterbitkan oleh Penerbtt "Nusantara" suatu penerbitan swasta. Kita sebagai pengarang sudah menyatakan tidak keberatan menyerahkan penerbitannya kepada perusahaan swasta, karena dia telah menjanjikan akan memelihara teknik buku ini, sehingga tidak kurang nilai dan keindahannya daripada teknik buku-buku yang dikeluarkan oleh "Balai Pustaka." Jakarta, bulan Maret 1961 Wassalam PENGARANG

1. ANAK ORANG TERBUANG
MATAHARI telah hampir masuk ke dalam peraduannya. Dengan amat pelahan, menurutkan perintah dari alam gaib, ia berangsur turun, turun ke dasar lautan yang tidak kelihatan ranah tanah tepinya. Cahaya merah telah mulai terbentang di ufuk Barat, dan bayangannya tampak mengindahkan wajah lautan yang tenang tak berombak. Di sana-sini kelihatan layar perahuperahu telah berkembang, putih dan sabar. Ke pantai kedengaran suara nyanyian "Iloho gading" atau "Sio sayang", yang dinyanyikan oleh anak-anak perahu orang Mandar itu, ditingkah oleh suara geseran rebab dan kecapi. Nun, agak di tengah, di tepi pagaran anggar kelihatan puncak dari sebuah kapal yang telah berpuluh tahun ditenggelamkan di sana. Dia seakan-akan penjaga yang teguh, seakan-akan stasiun dari setan dan hantu-hantu penghuni pulau Laya-laya yang penuh dengan kegaiban itu. Konon kabarnya, kalau ada orang yang akan mati hanyut atau mati terbunuh, kedengaranlah pekik dan ribut-ribut tengah malam di dalam kapal yang telah rusak itu ! Di waktu senja demikian kota Mengkasar kelihatan hidup. Kepanasan dan kepayahan orang bekerja siang, apabila telah sofe diobat dengan menyaksikan matahari yang hendak terbenam, dan mengecap hawa taut, lebih-lebih lagi bila suka pula pergi makan angin ke jembatan, yaitu panorama yang sengaja dijorokkan ke laut, di dekat benteng Kompeni. Di benteng itulah, kirakira 90 tahun yang lalu Pangeran Diponegoro kehabisan hari tuanya sebagai buangan politik. Sebelah timur adalah tanah lapang Karibosi yang luas dan dipandang suci oleh penduduk Mengkasar. Menurut takhyul orang [9] tua-tua, bilamana hari akan kiamat, Kara Eng Data akan pulang kembali, di tanah lapang Karibosi akan tumbuh 7 batang beringin dan berdiri 7 buah istana, persemayaman 7 orang anak raja-raja, pengiring dari Kara Eng Data. Jauh di darat kelihatan berdiri dengan teguhnya Gunung Lompo Batang dan Bawa-Kara Eng yang hijau nampak dari jauh. Dari jembatan besi itu akan kelihatanlah perkawinan keindahan alam dengan teknik manusia. Ke laut nampak kecantikan lautan, ke darat kebesaran Allah dan ke sebelah kanan kelihatan pula anggar baru, anggar dari pelabuhan yang ketiga di Indonesia, sesudah Tanjung Perak dan Tanjung Periuk. Di tepi pantai, di antara Kampung Baru dan Kampung Mariso berdiri sebuah rumah bentuk Mengkasar, yang salah satu jendelanya menghadap ke laut. Di sanalah seorang anak muda yang berusia kira-kira 19 tahun duduk termenung seorang dirinya menghadapkan mukanya ke laut. Meskipun matanya terpentang lebar, meskipun begitu asyik dia memperhatikan keindahan alam di lautan Mengkasar, rupanya pikirannya telah melayang jauh sekali, ke balik yang tak nampak di mata, dari lautan dunia pindah ke lautan khayal. Ia teringat pesan ayahnya tatkala beliau akan menutup mata, ia teringat itu, meskipun dia masih lupa-lupa ingat. Ayahnya berpesan bahwa negerinya yang asli bukanlah Mengkasar, tetapi jauh di seberang lautan, yang lebih indah lagi dari negeri yang didiaminya sekarang. Di sanalah pendam pekuburan nenek moyangnya; di sanalah sasap jeraminya. Jauh ..... kata ayahnya, jauh benar negeri itu, jauh di balik lautan yang lebar, subur dan nyaman tanamannya. Ayahnya berkata, jika Mengkasar ada Gunung Lompo Batang dan Bawa Kara Eng, di kampungnya pun ada dua gunung yang bertuah pula; ialah gunung Merapi dan Singgalang. Di gunung Merapi ada talang perindu, di Singgalang ada naga hitam di dalam telaga di puncaknya. Jika disebut orang keindahan Bantimurung di Maros, di [10] negerinya ada

pula air mancur yang lebih tinggi. Masih terasa-rasa di pikirannya keindahan lagu "Serantih" yang kerap kali dilagukan ayahnya tengah malam. Ia tak tahu benar apakah isi lagu itu, tetapi rayuannya sangat melekat dalam hatinya. Ada pantun-pantun ayahnya yang telah hapal olehnya lantaran dinyanyikan dengan nyanyi Serantih yang merdu itu:

"Bukit putus, Rimba Ketuang, direndam jagung dihangusi. Hukum putus badan terbuang, terkenang kampung kutangisi." "Batang kapas nan rimbun daun, urat terkenang masuk padi. Jika lepas laut Ketahun, merantau panjang hanya lagi."
Siapakah gerangan anak muda itu? Dia dinamai ayahnya Zainuddin. Sejak kecilnya telah dirundung oleh kemalangan'... Untuk mengetahui siapa dia, kita harus kembali kepada suatu kejadian di suatu negeri kecil dalam wilayah Batipuh X Koto (Padang Panjang) kira-kira 30 tahun yang lalu. Seorang anak muda bergelar Pandekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, adalah Pandekar Sutan kepala waris yang tunggal dari harta peninggalan ibunya, karena dia tak bersaudara perempuan. Menurut adat Minangkabau, amatlah malangnya seorang laki-laki jika tidak mempunyai saudara perempuan, yang akan menjagai harta benda, sawah yang berjenjang, bandar buatan, lumbung berpereng, rumah nan gadang. Setelah meninggal dunia ibunya, maka yang akan mengurus harta benda hanya tinggal ia berdua dengan mamaknya, Datuk Mantari Labih. Mamaknya itu, usahkan menukuk dan menambah, hanya pandai menghabiskan saja. Harta benda, beberapa tumpak sawah, dan sebuah gong pusaka telah tergadai ke tangan orang lain. Kalau Pandekar Sutan mencoba hendak menjual atau menggadai pula,[11] selalu dapat bantahan, selalu tidak semupakat dengan mamaknya itu. Sampai dia berkata: "Daripada engkau menghabiskan harta itu, lebih baik engkau hilang dari negeri, saya lebih suka." Darah muda masih mengalir dalam badannya. Dia hendak kawin, hendak berumah tangga, hendak melawan lagak kawan-kawan sesama gedang. Tetapi selalu dapat halangan dari mamaknya, sebab segala penghasilan sawah dan ladang diangkutnya ke rumah anaknya. Beberapa kali dia mencoba meminta supaya dia diizinkan menggadai, bukan saja mamaknya yang menghalangi, bahkan pihak kemenakan-kemenakan yang jauh, terutama pihak yang perempuan sangat menghalangi, sebab harta itu sudah mesti jatuh ke tanggn mereka, menurut hukum adat: "Nan sehasta, nan sejengkal, dan setampok, sebuah jari." Pada suatu hari, malang akan timbul, terjadilah pertengkaran di antara mamak dengan kemenakan. Pandekar Sutan bersikeras hendak menggadaikan setumpak sawah, untuk belanjanya beristeri, karena sudah besar dan dewasa belum juga dipanjat "ijabkabul"

Mamaknya meradang dan berkata: "Kalau akan berbini mesti lebih dahulu menghabiskan harta tua, tentu habis segenap sawah di Minangkabau ini. Inilah anak muda yang tidak ada malu, selalu hendak menggadai, hendak mengagun." Perkataan itu dikatakan di atas rumah besar, di hadapan mamak-mamak dan kemenakan yang lain. Pandekar Sutan naik darah lantaran malu, tetapi masih ditahannya. Dia berkata: "Mamak sendiri juga pernah menggadai, bukan untuk mengawinkan kemenakan, tetapi untuk pengawinkan anak mamak sendiri. Berapa tumpak sawah dikerjakan oleh isteri mamak, kami tidak mendapat bahagian." "Itu jangan disebut," kata Datuk Mantari Labih, "itu kuasaku, saya mamak di sini, menghitamkan dan memutihkan kalian semuanya dan menggantung tinggi membuang jauh." "Meskipun begitu, hukum zalim tak boleh dilakukan." "Apa? ... Engkau katakan saya zalim?" kata Datuk Mantari Labih sambil melompat ke muka, dan menyentak kerisnya, tiba [12] sekali di hadapan Pandekar Sutan. Malang akan timbul, sebelum dia sempat mempermainkan keris, pisau belati Pandekar Sutan telah lebih dahulu tertancap di lambung kirinya, mengenai jantungnya. "Saya luka, ... tolong ..." Cuma itu perkataan yang keluar dari mulut Datuk Mantari Labih. Dan dia tak dapat berkata-kata lagi. Seisi rumah ribut. Beberapa orang mendekati Pandekar Sutan, tetapi mana yang mendekati, mana yang rebah. Sebab gelar Pandekar itu didapatnya dengan "keputusan", bukan sembarang gelar saja. Orang serumah itu ribut, pekik yang perempuan lebih-lebih lagi. "Amuk-amuk?" orang di kampung segera tahu tong-tong berbunyi. Penghulu Kepala lekas diberi tahu. Penghulu Suku tahu pula. Beberapa jam kemudian Pandekar Sutan ditangkap, dan Datuk Mantari Labih mati tidak beberapa jam setelah tertikam. Ketika Landraad bersidang di Panang Panjang, Pandekar Sutan mengaku terus terang atas kesalahannya, dia dibuang 15 tahun. Ketika itu pembuangan Cilacap paling masyhur bagi orang hukuman Sumatera, laksana pembuangan Sawah Lunto bagi orang hukuman tanah Jawa dan Bugis. Dari pembuangan Cilacap dia dibawa orang ke tanah Bugis. Ketika itu terjadi peperangan Bone yang masyhur. Serdadu-serdadu Jawa perlu membawa orang-orang rantai yang gagah berani untuk mengamankan daerah itu. Sebab Pandekar Sutan bergelar "jago" itulah sebabnya dia menginjak tanah Mengkasar. Apa benarkah Pandekar Sutan seorang "jago", seorang kejam dan gagah berani yang tiada mengenal kasihan? Sebenarnya kejagoan dan kekejaman seorang itu bukanlah semuanya lantaran tabiat sejak kecil. Sebetulnya Pandekar Sutan hanya seorang yang bertabiat lemah lembut, lunak hati. Kalau bukan karena lunaknya tidaklah akan selama itu dia menahan hati menghadapi kekerasan mamaknya. Tetapi, tangan yang terdorong bermula, dan pergaulan di dalam penjara yang bersabung nyawa, yang keselamatan diri [13] bergantung kepada keberanian, memaksa dia melawan bunyi hati kecilnya, dia menjadi seorang yang gagah berani, disegani oleh orang-orang rantai yang lain. Di samping itu, dia seorang yang setia kepada kawan, pendiam, pemenung. Diam dan menungnya pun menambah ketakutan orang-orang yang telah kenal kepadanya.

Dia telah menyaksikan sendiri kejatuhan Bone, dia menyaksikan sendiri seketika kerajaan Goa takluk dan menyaksikan pula kapal Zeven Provincien menembakkan meriamnya di pelabuhan Pare-Pare. Ketika dia mulai dipenjarakan, umurnya baru kira-kira 20 tahun. Kebetulan di dalam penjara dia telah dapat bergaul dengan seorang asal Madura, yang telah lebih 40 tahun di dalam penjara, bernama Kismo, buangan seumur hidup. Rambutnya telah putih, tetapi meskipun demikian lama dia dalam penjara dan telah banyak negeri yang didatanginya, belum pernah dia melupakan jalan kesucian, rupanya dia banyak menaruh ilmu bathin. Kepadanyalah Pandekar Sutan banyak berguru. Setelah dipotong 3 tahun, habislah hukuman dijalankannya seketika dia berada di Mengkasar. Kalau dia mau tentu dia akan dikirim ke Minangkabau, tanah tumpah darahnya. Tetapi dia lebih suka tinggal di Mengkasar. Meskipun hatinya amat ingin dan telah teragak hendak pulang, ditahannya, dilulurnya air matanya, biarlah negeri Padang "dihitamkan" buat selama-lamanya. Apa sebab demikian halnya? Saudara yang kandung tak ada, terutama saudara perempuan. Ibu tempat perlindungan orang laki-laki di negeri yang berbangsa kepada ibu itu telah lama pula meninggal. Meskipun dia akan diterima orang dengan muka manis, yang terkandung di dalam hati mereka tentu lebih pahit. Sebab dia tak berwang, kepulangannya menimbulkan cemburu hati keluarga-keluarga dalam persukuan: [14]

Kalau tidak ranggas di Tanjung, cumanak ampaian kain Kalau tidak emas dikandung, dunsanak *) jadi rang lain.
*) dunsanak = saudara pr.

Tidak, dia tidak hendak pulang, meskipun hatinya meratap teragak pulang. Bukan sedikit hari 12 tahun, entahlah gedang pohon kelapa yang ditanamkan di muka halaman ibu, entah telah bersisit keris. Dia mesti hilang, mesti larat karena kehilangannya seorang, belum sebagai kepecahan telur ayam sebuah bagi orang di kampung. Sebab itu tinggallah dia di Mengkasar beberapa tahun lamanya, bermacam-macam usaha telah dicarinya, untuk mencukupkan bekal hidup sesuap pagi sesuap petang. Dia tinggal menumpang di rumah seorang tua, keturunan bangsa Melayu yang mula-mula membawa agama Islam ke Mengkasar kind-kira 400 tahun yang lalu. Budi pekerti Pandekar Sutan amat menarik hatinya, kelakuannya, keberaniannya, dan kadang-kadang pandai berdukun, semuanya menimbulkan sukanya. Sehingga akhirnya dia diambil menjadi menantu, dikawinkan dengan anaknya yang masih perawan, Daeng Habibah. Tiga dan 4 tahun dia bergaul dengan isteri yang setia itu, dia beroleh seorang anak laki-laki, anak tunggal, itulah dia, Zainuddin, yang bermenung di rumah bentuk Mengkasar, di jendela yang menghadap ke laut di Kampung Baru yang dikisahkan pada permulaan cerita ini.

2. YATIM PIATU
"TERANGKANLAH, mak, terangkanlah kembali riwayat lama itu, sangat inginku hendak mendengarnya," ujar Zainuddin kepada mak Base, orang tua yang telah bertahun-tahun mengasuhnya itu. Meskipun sudah berulang-ulang dia menceriterakan hal yang lama-lama itu kepada Zainuddin, dia belum juga puas. Tetapi kepuasannya kelihatan bilamana dia duduk menghadapi tempat sirihnya, bercengkerama dengan Zainuddin menerangkan hal-ikhwal yang telah lama terjadi. Menerangkan ceritera itulah rupanya kesukaan hatinya. "Ketika itu engkau masih amat kecil," katanya memulai hikayatnya, "engkau masih merangkakrangkak di lantai dan saya duduk di kalang hulu ibumu memasukkan obat ke dalam mulutnya. Nafasnya sesak turun naik, dan hatinya rupanya sangat dukacita akan meninggalkan dunia yang fana ini. Ayahmu menangkupkan kepalanya ke bantal dekat tempat tidur ibumu. Saya sendiri berurai air mata, memikirkan bahwa engkau masih sangat kecil belum pantas menerima cobaan yang seberat itu, umurmu baru 9 bulan. Tiba-tiba ibumu menggamitkan tangannya kepadaku, aku pun mendekat. Kepalaku diraihnya dan dibisikkannya ke telingaku - sebab suaranya telah lama hilang - berkata: "Mana Udin, Base!" "Ini dia, Daeng," ujarku, lalu engkau kuambil. Ah, Zainuddin! Engkau masih tertawa saja waktu itu, tak engkau ketahui bahwa ibumu akan berangkat meninggalkan engkau buat selamanya, engkau tertawa dan melonjak-lonjak dalam pangkuanku. Aku bawa engkau ke mukanya. Maka dibarutnyalah seluruh badanmu [16] dengan tangannya yang tinggal jangat pembalut tulang. Digamitnya pula ayahmu, ayahmu yang matanya telah balut itu pun mendekat pula. Dia berbisik ke telinga ayahmu: "Jaga Zainuddin, Daeng." "Jangan engkau bersusah hati menempuh maut, adinda. Tenang dan sabarlah! Zainuddin adalah tanggunganku." "Asuh dia baik-baik, Daeng, jadikan manusia yang berguna. Ah ... lanjutkan pelajarannya ke negeri Datuk neneknya sendiri." "Dua titik air mata yang panas mengalir di pipi ibumu, engkau ditengoknya juga tenang-tenang. Setelah air matanya diseka ayahmu, maka dia mengisyaratkan tangannya menyuruh membawa engkau agar jauh dari padanya, agar tenang hatinya menghadapi sekaratil maut. Tidak berapa saat kemudian, ibumu pun hilanglah, kembali ke alam baqa, menemui Tuhannya, setelah berbulan-bulan berjuang menghadapi maut, karena enggan meninggalkan dunia sebab engkau masih kecil." Air mata Zainuddin menggelanggang mendengarkan hikayat itu, Mak Base meneruskan pula. "Bingung sangat ayahmu sepeninggal ibumu. Mereka belum lama bergaul, baru kira-kira 4 tahun, dan sangat berkasih-kasihan. Sekarang kudrat Allah merampas ibumu dari tangannya. Hampir dia jadi gila memikirkan nasib yang menimpa dirinya. Kerap kali dia termenung seorang, kerap dia pergi berziarah di waktu matahari hendak turun ke kuburan ibumu di Kampung Jera.

Yang lebih menyedihkan hatiku lagi, ialah bilamana air matanya titik dan engkau sedang dalam pangkuannya dia mengeluh: 'Ah, Udin! Sekecil ini engkau sudah menanggung!' Karena mamakmu ini sudah bertahun-tahun tinggal menjadi orang gajiannya, tetapi kemudian telah dipandangnya saiudara kandung, telah berat hati mamak hendak meninggalkan rumah ini. Mamak tidak hendak kembali iagi ke Bulukumba. Tidak sampai [17] hati mamak meninggalkan ayahmu mengasuhmu. Takut terlambat dia pergi ke mana-mana mencari sesuap pagi sesuap petang. Beberapa bulan setelah ibumu meninggal dunia, sudah mamak suruh dia kawin saja dengan perempuan lain, baik orang Mengkasar atau orang dari lain negeri. Dia hanya menggeleng saja, dia belum hendak kawin sebelum engkau besar, Udin. Pernah dia berkata: Separo dari hatinya dibawa ibumu ke kuburan, dia tinggal di dunia ini dengan hati yang separo lagi. Betapa dia takkan begitu, ia cinta kepada ibumu. Dia orang jauh, orang Padang, lepas dari buangan karena membunuh orang. Hidup 12 tahun di dalam penjara telah menyebabkan budinya kasar, tidak mengenal kasihan, tak pernah kenal akan arti takut, walau kepada Tuhan sekalipun. Dia keluar dari penjara, nenekmu Daeng Manippi menyambutnya, dan dikawinkan dengan ibumu. Ibumulah yang telah melunakkan kekerasan ayahmu, ibumulah yang telah mengajarnya menghadapkan muka ke qiblat, meminta ampun kepada Tuhan atas segenap kesalahan dan dosanya. Ah, Zainuddin ! ......... Ibumu, kalau engkau melihat wajah ibumu, engkau akan melihat seorang perempuan yang lemah-lembut, yang di sudut matanya terletak pengharapan ayahmu. Dia adalah raja, anak. Dia adalah bangsawan turunan tinggi, turunan Datuk ri Pandang dan Datuk ri Tirro, yang mula-mula menanam dasar keislaman di Jumpandang *) ini. Dan dia pun bangsawan budi, walaupun ibumu tak pernah bersekolah. Perkawinannya dengan ayahmu tidak disetujui oleh segenap keluarga, sehingga nenekmu Daeng Manippi dibenci orang, dan perkawinan ini memutuskan pertalian keluarga.
*) Jum pandang nama asli dari Mengkasar, laksana Sriwijaya bagi Palembang.

Masih terasa-rasa oleh mamak, ayahmu berkata: "Tertalu banyak korban yang engkau tempuh lantaran dagang melarat ini, Habibah" [18] Jawab ibumu hanya sedikit saja: "Adakah hal semacam ini patut disebut korban? Ada-ada raja Daeng ini." Cuma itu jawaban ibumu, anak. Demikianlah bertahun-tahun lamanya. Mamak masih tetap tinggal dalam rumah ini mengasuhmu, dan ayahmu berjalan ke mana-mana, kadang-kadang menjadi guru pencak Padang yang masyhur itu, kadang-kadang berdukun, dan paling akhir dia suka sekali mengajarkan ilmu agama. Pakaiannya berobah benar dari semasa dia keluar dari bui. Dia tak pernah memakai destar lagi, melainkan memakai kupiah Padang yang amat disukainya, bersarung, berpakaian cara "orang siak" di Padang katanya. Benar apa yang dikatakannya, bahwa hidupnya hanya dengan hati yang separo saja. Pernah juga dia menerima surat dari Padang, dari keluarganya menyuruh pulang saja ke kampung. Karena dia seorang beradab, gelar pusaka Datuk Mantari Labih tidak ada yang akan memakai. Di Minangkabau orang merasa malu kalau dia belum beristeri orang kampungnya sendiri. Berbini di rantau orang artinya hilang. Demi, setelah terdengar oleh mereka bahwa ibumu telah mati, bertubi-tubi pula datang surat menyuruh pulang. Kepada mamak kerap kali diterangkannya, bahwa hatinya rasa diiris dengan sembilu teragak pulang, seakan-akan kelihatan olehnya pelabuhan Teluk Bayur, Gunung Merapi yang hijau kelihatan dari laut. Tetapi hatinya tidak sampai hendak meninggalkan pusara ibumu, pusara gurunya, katanya. Dia tidak

pula mau hendak membawamu ke Padang, karena hati keluarga belum dapat diketahui, entah suka menerima anak pisang orang Mengkasar, entah tidak. Karena kabarnya adat di sana berlain sangat dengan adat di Mengkasar ini. Kerap kali dia menengadahkan matanya ke langit sambil membuaikan engkau di waktu engkau kecil. Dibuaikannya dengan lagu "Buai Anak" cara Serantih, yang meskipun mamak tak pandai bahasa Padang, bulu roma mamak sendiri berdiri mendengarnya. [19] "Hanya dua untuk mengobat-obat hati, Base," katanya kepada mamak. "Pertama membaca AlQur-an tengah malam, kedua membuaikan si Udin dengan nyanyian negeri sendiri, negeri Padang yang kucinta. Amat indah negeri Padang, Base, pelabuhannya terliku bikinan Tuhan sendiri, di tengah-tengah tampak pulau Pandan, hijau dilamun alun, yaitu di balik Pulau Angsa Dua. Itulah yang dipantunkan nenek moyangku, dan bila menyebut pantun itu saya teringat kepada Habibah:

Pulau Pandan jauh di tengah, di balik pulau Angsa Dua. Hancur adik dikandung tanah, rupa adik terkenang jua.
Rupanya kudrat Ilahi tidak mengizinkan ayahmu menunggumu sampai besar. Karena di waktu engkau sedang cepat bermain, di waktu sedang enak mengecap nikmat kecintaan ayah dan kecintaan ibu, terkumpul ke dirimu dari ayahmu seorang, ayahmu meninggal dunia. Meninggalnya seakan-akan terbang ke langit saja, dengan tidak tersangka-sangka. Pada suatu malam, petang Kamis malam Jum'at, sedang dia duduk di atas tikar sembahyangnya, bertekun sebagai kebiasaannya, meminta taubat dari segenap dosa, dia meninggal. Ketika itu engkau telah pandai menangis dan bersedih, engkau meratap memanggil-manggil dia. Rupanya beberapa bulan sebelum mati sudah ada juga gerak dalam hatinya bahwa dia takkan lama hidup lagi. Sehingga dia pemah berkata: "Kalau saya mati pula, bagaimana Zainuddin, Base?" "Saya yang akan mengasuhnya, Daeng," jawabku. "Ya, tapi harta peninggalanku agaknya tidak banyak, tentu Udin memberati engkau." "Jangan bicara demikian, Daeng. Apa yang aku makan, itulah yang akan dimakan Zainuddin." Pada suatu hari, dipanggilnya mamak dan diserahkannya [20] serencengan anak kunci seraya berkata: "Mulai sekarang engkaulah yang berkuasa di sini, Base. Kunci ini engkau yang memegang. Kunci putih ini, ialah kunci almari. Sebuah peti kecil ada dalam almari itu. Peti itu tak boleh engkau buka, kecuali kalau saya mati." Petaruhnya itu mamak pegang baik-baik dan teguh. Setelah dia wafat barulah peti itu mamak buka, di sana ada sehelai surat kecil dengan tulisan huruf Arab: "Pengasuh Zainuddin sampai dia besar." Itulah bunyi tulisan itu. Di dekat surat tersebut ada segulung wang kertas dari Rp. 1000,-. Itulah yang mamak pergunakan untuk mengasuhmu, penyampaikan sekolahmu, sehingga sekarang engkau berkeadaan begini ......."

Setelah itu Base pergi ke dalam, maksudnya ialah hendak membuka peti itu. Tapi bukanya tidak sembarang buka rupanya. Dia seorang perempuan tua yang penuh takhyul, sebelum dibuka dibakarnya dahulu kemenyan, bercampur dengan setanggi Mengkasar. Setelah dibukanya, dikembangkannya beberapa helai wang kertas di muka Zainuddin. Zainuddin heran, karena wang itu tidak seribu lagi, tetapi sudah hampir dua ribu rupiah. "Mengapa jadi sebanyak ini, mak Base?" "Mamak perniagakan, dan beruntung. Cuma dari keuntungan itulah pembayari wang sekolahmu." "Ah, dengan apakah jasa mamak kubalas," ujar Zainuddin. "Balasnya hanya satu, bacakan surat Yasin tiap-tiap malam Jum'at kalau mamak meninggal dunia pula." Zainuddin mendekat kepada orang tua itu, diciumnya keningnya: "Perempuan yang bahagia, moga-moga Allah melindungimu!" katanya.

3. MENUJU NEGERI NENEK MOYANG
SEMPIT rasanya alam saya, mak Base, jika saya masih tetap juga di Mengkasar ini. Ilmu apakah yang akan saya dapat di sini, negeri begini sempit, dunia terbang, akhirat pergi. Biarlah kita sempurnakan juga cita-cita ayah bundaku. Lepaslah saya berangkat ke Padang. Kabarnya konon, di sana hari ini telah ada sekolah-sekolah agama. Pelajaran akhirat telah diatur dengan sebagus-bagusnya. Apalagi, puncak Singgalang dan Merapi sangat keras seruannya kepadaku rasanya. Saya hendak melihat tanah asalku, tanah tempat ayahku dilahirkan dahulunya. Mak Base, banyak orang memuji-muji negeri Padang, banyak orang berkata bahwa agama Islam masuk kemari pun dari sana. Lepaslah saya berangkat ke sana." Lama mak Base termenung mendengarkan perkataan anak angkatnya itu. "Lepaslah mak, jangan mamak bermenung juga." "Bagaimana mamak tidakkan bermenung, bagaimana hati mamak tidakkan berat. Dari kecil engkau kubesarkan, hidup dalam pangkuanku. Rasanya hidup mamak pun tak dapat diceraikan lagi dari hidupmu. Begitu jauh negeri yang akan engkau jelang, belum tentu dan belum pernah diturut. Ah anak .... ibumu saudaraku, ayahmu tuanku. Mamak orang miskin; anak, tetapi telah sangat merasa beruntung lantaran bercampur gaul dengan ayah-bundamu sekian lamanya. Sekarang jika engkau pergi, siapakah lagi yang akan kutimang-timang, yang akan mamak junjung tinggi? Dan tentu bila sampai ke sana, tanah Mengkasar hilang buat selama-lamanya. Itulah anak, itulah yang mamak rusuhkan. Kalau bukan hendak mencukupkan wasiat ibumu dan cita-cita [22] ayahmu, mamak larang engkau berangkat ke sana, mamak suruh bersekolah atau menuntut ilmu di Mengkasar saja." "Lebih baik kita tekankan perasaan hati, mak Base. Karena tidak akan terdapat selama-lamanya di dunia ini orang yang tiada bersedih hati akan berpisah-pisah, kalau mereka telah dipertalikan dengan budi bahasa. Sedangkan berangkat ke Mekkah lagi ditangisi orang juga. Tetapi akan dapatkah lantaran kesedihan dan tangis itu perjalanan diundurkan?" "Tentu tidak," jawab mak Base ..... Maka putuslah mupakat mereka bahwa Zainuddin perlu berangkat ke Padang mencari keluarga ayahnya, melihat tanah nenek moyangnya, menambah ilmunya dunia dan akhirat. Dan kelak, dia pun akan kembali juga ke Mengkasar kalau keadaan mengizinkan. Segala yang perlu disiapkan oleh mak Base buat melepas anaknya: sebuah kasur, sebuah peti kayu dan tempat tidur di kapal. Waktu sore pukul lima kapal akan berlayar. Pukul 9 pagi ia pergi dahulu ke pusara ayahbundanya di Kampung Jera bersama mak Base sendiri, laksana meminta izin. Setelah itu mereka kembali pulang ke rumah. Sehabis makan lohor, mak Base mengeluarkan peti kecil simpanan wang itu dari dalam almari, seraya berkata kepada Zainuddin: "Terimalah wang ini semuanya, inilah hakmu, usaha dari ayahmu." "Ai, mengapa mak Base ini? Wang itu mesti mamak perniagakan sebagai biasa. Yang akan saya bawa hanyalah sekedar ongkos kapal ke Padang. Perniagakan wang itu, ambil untungnya tiaptiap bulan buat belanja mamak dan belanja saya di Padang. Kirimi barang Rp. 20,- atau Rp. 15,sebulan. Rumah dan pekarangan yang kecil ini jagalah baik-baik. Pandanglah sebagai hak milik kita berdua. Mana diantara kita yang dahulu menutup mata, itulah yang memberikan waris

kepada yang tinggal. Mamak tetap tinggal di Mengkasar, sebab akan kembali ke Bulukumba terlalu sia-sia." [23] Heran tercengang pula mak Base mendengarkan putusan Zainuddin atas harta benda itu. Tidak disangkanya akan sampai demikian baik budinya. Dari bermula dia telah bermaksud hendak menyerahkan segala harta benda itu. Hari mudanya dibawanya ke Mengkasar, dan dengan uban yang telah tumbuh dia hendak pulang ke Bulukumba menemui keluarga yang masih ada, dalam keadaan miskin pula. Tetapi putusan Zainuddin keras dan tak dapat dibantah. Pukul 5 sore, kapal akan berlayar menuju Surabaya, Semarang, Jakarta, Bengkulu dan Padang. Seketika akan berlayar, mak Base mengantar sampai ke kapal. Mereka bertangis-tangisan, karena berat sangka mak Base bahwa Zainuddin tidak akan bertemu dengan dia lagi. "Berhentilah menangis, mamak, jangan sampai tangis mamak meragukan saya menempuh lautan yang begini luas. Ingatlah bahwa maksudku amat besar." "Saya orang tua, Udin, hatiku tak dapat kutahan. Apakah derma seorang perempuan selain dari tangis? Apalagi kerap kali hati mamak berkata, agaknya kita tidak akan bertemu lagi. Cobalah lihat punggungku yang telah bungkuk. Mamak takut, kalau-kalau keluarga di Padang tak sudi menyambutmu dengan baik." "Ah, masa ..... itu cuma was-was mamak saja. Bukankah saya anak Pandekar Sutan yang sah?" "Ya, tapi kata orang adat Padang lain." "Mamak jangan panjang was-was. Pepatah orang Mengkasar sudah cukup: 'anak laki-laki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah: biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang'." Peluit kapal berbunyi, pengantar turun, air mata mak Base masih membasahi pipinya. Dan tidak berkaa lama kemudian, [24] rengganglah kapal dari pelabuhan Mengkasar, hanya lenso (sapu tangan) saja yang tak berhenti dikibarkan orang, baik dari darat atau dari laut. Meskipun kapal renggang, Zainuddin masih berdiri melihat pelabuhan, melihat pengasuhnya yang telah membesarkannya bertahun-tahun, tegak sebagai batu di tepi anggar, walaupun oran lain telah berangsur pulang. Lama-lama hilanglah pulau Laya-laya, ditengoknya ke tepi, jelas nian olehnya rumah tempat dia dilahirkan, sunyi dan sepi, di tepi laut dekat Kampung Baru. Kemudian itu hilang Galesong, hilang Gunung Bawa Kara Eng, hilan puncak Lompo Batang, dan Malino telah dilingkungi kabut. Dia pergi ke buritan sebelah lagi, dilihatnya matahari telah turun ka Barat, menyelam ke batik lautan, dan mega merah telah mula berarak bertatah ratna mutu manikam layaknya di tepi langit di Timur dan di Barat. Sebentar lagi, warna merah itu dikalahkan oleh bala tentara malam. Dari jauh masih kelihatan lampu-lampu di pelabuhan Makasar, diantara ada dengan tidak, laksana perayaan anak bidadari, bayangannya memukul ke atas permukaan laut. Hilang kebesaran Sang Surya, maka dari balik puncak Lompo Batang yang antara ada dengan tidak itu terbitlah bulan 15 hari menerangi seluruh alam, memberikan cahaya bagi kota Mengkasar yang indah, kota yang penuh dengan riwayat dan sejarah. Tempat kebesaran Maharaja Hasanuddin Awwalul Islam, Mantiro ri agamanna, raja yang mula-mula menyiarkan kalimat syahadat dibuta Jumpandang (tanah Mengkasar), menerima pusaka dari pada Datuk Tirro, Datuk ri Bandang dan Datuk Pa timan ...…

Ombak putih-putih, Ombak datang dari laut. Kipas lenso putih, Tanah Mengkasar sudah jauh ......
[25]

4. TANAH ASAL
BILAMANA Zainuddin telah sampai ke Padang Panjang, negeri yang ditujunya, telah diteruskannya perjalanan ke dusun Batipuh, karena menurut keterangan orang tempat dia bertanya, di sanalah negeri ayahnya yang asli. Seketika dia mengenalkan diri kepada bakonya,*) orang laksana kejatuhan bintang dari langit, tidak menyangka-nyangka akan beroleh seorang anak muda yang begitu gagah dan pantas, yang menurut adat di Minangkabau dinamai anak pisang. Maklumlah, orang di sana masyhur di dalam menerima orang baru. Tetapi basabasi itu lekas pula bosan. Oleh karena yang kandung tidak ada lagi, apalagi ayahnya tidak bersaudara perempuan, dia tinggal di rumah persukuan dekat dari ayahnya.
*) bako = keluarga ayah.

Mula-mula datang, sangatlah gembira hati Zainuddin telah sampai ke negeri yang selama ini jadi kenang-kenangannya. Tetapi dari sebulan ke sebulan, kegembiraan itu hilang, sebab rupanya yang dikenang-kenangnya berlainan dengan yang dihadapinya. Dia tidak beroleh hati yang sebagai hati mak Base, tidak mendapat kecintaan ayah dan bunda. Bukan orang tak suka kepadanya, suka juga, tetapi berlain kulit dan isi. Jiwanya sendiri mulai merasa, bahwa meskipun dia anak orang Minangkabau tulen, dia masih dipandang orang pendatang, masih dipandang orang jauh, orang Bugis, orang Mengkasar. Untuk pehindarkan muka yang kurang jemih, maka [26] bilamana orang ke sawah, ditolongnya ke sawah, bila orang ke ladang, dia pun ikut ke ladang. Dalam pada itu menambah pelajaran perkara agama tidak dilupakannya. Zainuddin seorang yang terdidik lemah lembut, didikan ahli seni, ahli sya'ir, yang lebih suka mengolah untuk kepentingan orang lain. Sesudah hampir 6 bulan dia tinggal di dusun Batipuh, bilamana dia pergi duduk-duduk ke lepau tempat anak muda-muda bersenda gurau, orang bawa pula dia bergurau, tetapi pandangan orang kepadanya bukan pandangan sama rata, hanya ads juga kurangnya. Sehingga lama-lama insaflah dia perkataan mak Base seketika dia akan berlayar, bahwa adat orang di Minangkabau lain sekali. Bangsa diambil daripada ibu. Sebab itu, walaupun seorang anak berayah orang Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diambil dari ayah, jika ibunya orang lain, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain juga. Malang nasib anak yang demikian, sebab dalam negeri ibunya dia dipandang orang asing, dan dalam negeri ayahnya dia dipandang orang asing pula. Tak dapat Zainuddin mengatakan dia orang Padang, tak kuasa lidahnya menyebutnya dia orang Minangkabau. Dan dia tidak berhak diberi gelar pusaka, sebab dia tidak bersuku. Meskipun dia kaya raya misalnya, boleh juga dia diberi gelar pinjaman dari bakonya tetapi gelar itu tak boleh diturunkan pula kepada anaknya. Melekatkan gelar itu pun mesti membayar hutang kepada negeri, sembelihkan kerbau dan sapi, panggil ninik-mamak dan alim ulama, himbaukan di labuh nan golong, di pasar nan ramai. Pada sangkanya semula jika dia datang ke Minangkabau, dia kan bertemu dengan neneknya, ayah dari ayahnya. Di sanalah dia akan memakan harta benda neneknya dengan leluasa sebagai cucu yang menyambung turunan. Padahal seketika dia datang itu, setelah dicarinya neneknya itu, ditunjukkan orang di sebuah kampung di Ladang Lawas, bertemu seorang tua di

sebuah surau [27] kecil, gelarnya Datuk Panduka Emas, dia hanya tercengang-cengang saja sambil berkata: "Oh ..... rupanya si Amin ada juga meninggalkan anak di Mengkasar." Cuma sehingga itu pembicaraan orang tua itu, dan tidak ada tambahnya lagi. Dia tak kuasa hendak menahan cucunya tinggal dengan dia, sebab mesti mupakat lebih- dahulu dengan segenap keluarga. Padahal sedangkan fihak si Amin Pandekar Sutan, sudah jauh perhubungan keluarga, apalagi dengan anak yang datang dari "Bugis" ini. Sekali itu saja Zainuddin datang kepada neneknya setelah itu tidak lagi. Dan neneknya pun tidak pula memesan-mesankan dia. Hatinya telah mulai jemu. Maka terbayang-bayanglah kembali di ruang matanya kota Mengkasar, kota yang indah dan penuh dengan peradaban, terbayang kembali lautan dengan ombaknya yang tenang, perahu Mandar, kapal yang sedang berlabuh, sehingga mau dia rasanya segera pulang, bertemu dengan mak Basenya yang tercinta. Tetapi .......... ya tetapi kehendak yang Maha Kuasa atas diri manusia berbeda dengan kehendak manusia itu sendiri. Zainuddin telah jemu di Minangkabau, dan dia tidak akan jemu lagi, karena tarikh penghidupan manusia bukan manusia membuatnya, dia hanya menjalani yang tertulis. Tidak berapa jauh dari rumah bakonya itu, ada pula sebuah rumah adat yang indah dan kokoh, menurut bentuk adat istiadat Minangkabau, bergonjong empat, beratap ijuk dan bertatahkan timah. Di ujung kedua pihak ada anjung-peranginan, serambi muka bergonjong pula, lumbung 4 buah berlerat di halaman. Halamannya luas, tempat menjemurkan padi yang akan ditumbuk. Pada buatan rumah, pada symbool pedang bersentak yang terletak di bawah gonjong kiri kanan, menandakan bahwa orang di rumah ini amat keras memegang adat lembaga, agaknya turunan Regen atau tuan Gedang di Batipuh, yang terkembang di Batipuh Atas dan Batipuh Baruh. [28] Meskipun adat masih kuat, namun gelora pelajaran dan kemajuan agama yang telah berpengaruh di Sumatera Barat, tidak juga melepaskan rumah adat yang kokoh itu dari cengkeramannya. Meskipun kehendak dari mamak yang tua-tua hendak menahan juga anakkemenakan yang perempuan menuntut ilmu, namun halangan itu sudah percuma saja. Gadisgadis seisi rumah itu, yang selama ini turun sekali sejum'at diiringkan dayang-dayang banyak, sekarang telah mengepit kitab, melilitkan selendang pula, pergi menuntut ilmu. Ada yang ke Ladang Lawas, ada yang ke Gunung, dan ada juga yang ke Padang Panjang. Hayati, gadis remaja puteri, ciptaan keindahan alam, lambaian gunung Merapi, yang terkumpul padanya keindahan adat istiadat yang kokoh dan keindahan model sekarang, itulah bunga di dalam rumah adat itu. Hayati, adalah nama baru yang belum biasa dipakai orang selama ini. Nama gadis-gadis di Minangkabau tempo dahulu hanya si Cinta Bulih, Sabai nan Aluih, Talipuk Layur dan lain-lain. Tetapi Hayati, adalah bayangan dari perobahan baru yang melingkari alam Minangkabau yang kokoh dalam adatnya itu. Wahai, dari manakah pengarang yang lemah ini akan memulai menceriterakan sebab-sebab Hayati berkenalan dengan Zainuddin? Apakah dari sebab mereka kerap kali bertemu di bawah lindungan keindahan alam? Di sawah-sawah yang bersusun-susun? Di bunyi air mengalir di Batang Gadis menuju Sumpur? Ataukah dari dangau di tengah sawah yang luas, di waktu burung pipit terbang berbondong? Atau di waktu habis menyabit, di kala asap jerami menjulang ke udara, dan awan meliputi puncak Merapi yang indah? Atau di waktu kereta api membunyikan

peluitnya di dalam kesusahan meharung rimba dan jembatan yang tinggi, menuju Sawah Lunto dan melingkari danau Singkarak? Dari manakah pengarang akan mulai menceriterakan sebabsebab mereka berkenalan ? Di dalam kalangan gadis-gadis di kampung Batipuh telah menjadi buah mulut, bahwa ada sekarang seorang anak muda "orang [29] jauh", orang Bugis dan Mengkasar, menumpang di rumah bakonya, Mande Jamilah. Anak muda itu baik budi pekertinya, rendah hati, terpuji dalam pergaulan, disayangi orang. Sungguh belajar, karena dia berguru kepada seorang Lebai yang ternama. Tetapi dia pemenung, pehiba hati, suka menyisihkan diri ke sawah yang luas, suka merenungi wajah Merapi yang diam tetapi berkata. Sayang dia orang jauh! Mula-mula Hayati berkenalan dengan dia, adalah seketika hari hujan lebat, sebab daerah Padang Panjang itu, lebih banyak hujannya dari pada panasnya. Mereka akan kembali ke Batipuh, tiba-tiba hujan lebat turun seketika mereka ada di Ekor Lubuk. Zainuddin ada membawa payung dan Hayati bersama seorang temannya kebetulan tidak berpayung. Hari hujan juga. Mula-mula mereka sangka akan lekas redanya, rupanya hujan yang tak diikuti angin yang kerap kali lama sekali. Sehingga bermenunglah anak muda itu di muka lepau orang, melihatkan titik-titk air dari atas ke tanah, menembuti pasir halaman yang terkumpul. Kebetulan bendi pun tidak ada yang lalu. Sehingga dari pukul 2 sudah hampir pukul 4 mereka berdiri. Heran dengan Zainuddin, mengapa dia tidak berangkat saja padahal dia ada berpayung? Dia tahu akan gadis-gadis itu, orang sekampungnya sama-sama orang Batipuh, dia tahu betul, meskipun belum berkenalan. Tidak sampai hatinya hendak meninggalkan mereka. Anak-anak gadis itu pun kenal akan dia, meskipun belum bertegur sapa, tetapi tak berani membuka mulut. Hari sore juga, tiba-tiba timbullah keberanian Zainuddin, meskipun keringatnya terbit di waktu hujan, dia tampil ke muka, ditegurnya Hayati: "Encik .......... !" Hayati menentang mukanya tenang-tenang dan tidak menjawab, hanya seakan-akan menunggu apa yang dikatakannya. "Sukakah Encik saya tolong?" "Apakah gerangan pertolongan tuan itu?" [30] "Berangkat Encik lebih dahulu pulang ke Batipuh, marah mamak dan ibu Encik kelak jika terlambat benar akan pulang, pakailah payung ini, berangkatlah sekarang juga." "Terima kasih!" jawab Hayati. "Janganlah ditolak pertolongan itu," kata orang lepau dengan tiba-tiba. "Orang hendak berbuat baik tidak boleh ditolak." "Dan tuan sendiri bagaimana?" jawab Hayati pula, seoang temannya yang seorang lagi menekur-nekur saja kemalu-maluan. "Itu tak usah Encik susahkan, orang laki-laki semuanya gampang baginya, pukul 7 atau pukul 8 malam pun saya sanggup pulang, kalau hujan ini tak teduh juga. Berangkatlah dahulu!" "Kemana payung ini kelak kami antarkan ?" "Besok saja antarkanpun tak jadi apa, ke rumah Mande Jamilah!" "Terima kasih tuan, atas budi yang baik itu," ujar Hayati sambil senyum, senyum bulan kehilang, entah jadi entah tidak. "Ah, baru pertolongan demikian, Encik sudah hendak mengucapkan terima kasih!"

Kedua gadis itu pun berangkatlah di dalam hujan, berpayung berdua berlambat-lambat. Zainuddin tegak, termenung seorang dirinya, menunggu biar hujan itu reda. Dalam menungnya itu, berjalaranlah pikirannya kian kemari. Ia teringat payung, teringat hujan, teringat kota Mengkasar jika musim hujan, 40 hari lamanya tidak pernah melihat matahari. Lama-lama teringat dia kepada Hayati yang meminjam payungnya. Itulah rupanya Hayati, yang kerap kali jadi sebutan oleh anak muda-muda temannya bermain, yang jadi buah mulut dan pujian. Ah, alangkah beruntungnya jika dia dapat berkenalan dengan gadis itu, berkenalan saja pun cukuplah. Mukanya amat jernih, matanya penuh dengan rahasia kesucian dan tabiatnya gembira. Kalau kiranya gadis demikian ada di Mengkasar ...... ah! [31] Hujan pun teduh, dia pun pulanglah ke Batipuh, dengan langkah yang cepat dari biasa. Bertambah dekat kampung Batipuh, bertambah jauh dia dari kegembiraannya, sebab kemanisan mulut bakonya kepadanya hanyalah lantaran belanja bulanan yang diberikannya dengan tetap, kiriman mak Base dari Mengkasar. Bila hari telah malam, dia pergi tidur ke surau, bersamasama dengan lain-lain anak muda, karena demikian menurut adat. Semalam itu, Zainuddin dikerumuni oleh mimpi-mimpi yang indah.

5. CAHAYA HIDUP
PAGI-PAGI, sebelum perempuan-perempuan membawa niru dan tampian ke sawah, dan sebelum anak muda-muda menyandang bajaknya; sebelum anak-anak sekolah berangkat ke sekolah, seorang anak kecil laki-laki datang kemuka surau tempat Zainuddin tidur, membawa payung yang dipinjamkannya kemaren. Dia hampiri anak itu, dan anak itu pun berkata: "Kak" Ati berkirim salam, dan menyuruh mengembalikan payung ini," sambil memberikannya ke tangan Zainuddin. Payung itu disambutnya dan dengan sikap yang gugup anak itu memberikan pula sepucuk surat kecil: "Surat ini pula ........" katanya. Agak tercengang Zainuddin menerima surat itu, dibawanya kembali ke surau. Kebetulan teman-temannya telah pergi ke tempat pekerjaan masing-masing, dibukanya ...............

Tuan Zainuddin Bersamaan dengan anak ini saya kirimkan kembali payung yang telah saya pinjam kemaren. Alangkah besar terima kasih saya atas pertolongan itu, tak dapat di sini saya nyatakan. Pertama, di waktu hari hujan saya tak bersedia payung, tuan telah sudi berbasah-basah untuk memeliharakan diri seorang anak perempuan yang belum tuan kenal. Kedua, kesyukuran saya lebih lagi dapat berkenalan dan bersahutan mulut dengan tuan, orang yang "selama ini terkenal baik budi. Sehingga bukan saja rupanya hujan mendatangkan basah, tetapi mendatangkan rahmat. Moga-moga pada suatu waktu kelak, dapatlah saya membalas budi tuan. Hayati. [33]
Disimpannya surat itu ke dalam sakunya. Tidak dapat dia mengartikan dan mentafsirkan surat itu, yang penuh berisi ketulusan dan keikhlasan. Susun katanya amat manis tetapi bersahaja Setelah beberapa saat kemudian pulanglah Zainuddin dari surau ke rumah bakonya. Sehabis makan dan minum, matahari telah sepenggalah naik, kira-kira pukul sembilan, orang telah lengang di kampung dan ramai di sawah, rasa-rasa kehilangan semangat Zainuddin duduk di rumah. Kebetulan pada waktu itu hari sudah hampir bulan puasa, rumah-rumah pelajaran agama di kampungkampung telah ditutup. Hatinya amat tertarik melihatkan kehijauan langit sehari itu, apalagi kemarennya hari hujan, puncak gunung Merapi jelas kelihatan, sungai Batang Gadis laksana bernyanyi dengan airnya yang terus mengalir. Dari jauh kedengaran nyanyi anak gembala di sawah-sawah yang luas. Maka setelah meminta diri kepada Mandenya, turunlah dia ke halaman, menuju sawah yang banyak itu hendak melihat orang menyabit dan mengirik, atau pun membakar jerami. Dilaluinya dari satu pematang sawah ke pematang yang lain, di mana dangau yang tak berorang, dia berhenti duduk, bermenung menentang Bukit Tui, menentang danau Sumpur yang indah, atau gunung Singgalang yang dipenuhi oleh tebu, berombak kelihatan dari jauh dipuput angin.

Tiba-tiba sampailah dia ke sepiring sawah, seorang laki-iaki tua sedang menyabit padi. Rupanya orang tua itu kenal akan dia. "Ai, Zainuddin, sampai pula engkau kemari, pandaikah engkau menyabit?" tegur orang tua itu. "Pandai juga, engku," jawabnya. "Banyak jugakah padi di Mengkasar?" "Di kota Mengkasar tidak ada padi; tetapi sedikit saja keluar dari Mengkasar telah penuh oleh padi, bahkan makanan orang Mengkasar, dari padi keluaran Maros, Pangkajene, Sidenreng dan yang lain-lain." Orang tua itu pun meneruskan pekerjaannya juga. Zainuddin [34] bertanya kembali: "Mengapa engku seorang saja yang menyabit padi di sini? Kuatkah engku?" "Tadi banyak anak muda-muda yang menolong, tetapi lantaran pekerjaan sudah hampir selesai, mereka telah minta izin pulang. Pekerjaan ini sudah 2 hari dikerjakan, sekarang baru akan siap.........." "Demikianlah Zainuddin" - ujarnya pula - "kalau kita sudah tua macam saya ini, kalau kurang kuat bekerja menolong auak cucu, dengan apa nasi mereka akan dibeli. Tulang sudah lemah, yang akan mereka harapkan dari kita tidak ada lagi. Semasa muda kita harus berusaha sepenuh tenaga, sehendaknya di hari tua kata istirahat. Akan beristirahat saja, tangan tak mau diam, dia hendak kerja juga." "Indah benar hari sehari ini, Zainuddin," - ujarnya pula. "cobalah lihat langit jernihnya, lihatlah puncak Merapi seakan-akan telah berhenti mengepulkan asapnya. Keadaan yang begini meng ingatkan saya kepada zaman badan kuat, tulang kuat dan seluruhnya kuat, wang pun ada pula. Tempo itu saya keluar dari rumah dengan perasaan yang gembira, tidak memperdulikan kesengsaraan dan kesusahan. Saya gelakkan orang tua-tua yang termenung-menung. Sekarang setelah badan tua, baru kita insaf dan ingat. Ah, Zainuddin, kalau engkau rasai tua esok." Setelah itu diteruskannya juga menyabit padinya. Zainuddin mencoba hendak menolong, tetapi dilarangnya: "Duduk sajalah di tepi pematang itu, penghilangkan kesunyianku, sebentar lagi da tang kemenakanku mengantarkan makanan agak sedikit kemari, kita makan apa yang ada." "Di Mengkasar apa pencarian orang, apa yang laku disana?" tanya orang tua itu pula. "Macam-macam, sebagai di sini juga. Cuma di sana dekat lautan, kami di sana lebih banyak mengirim barang hutan keluar negeri." "Makanan?" "Maklumlah negeri dipinggir laut, tentu saja ikan laut." "Oh, di sini kalau ikan, lebih disukai orang yang datang dari laut Sumpur." [35] Tiba-tiba, sedang mereka bercengkerama demikian rupa, datanglah dengan melalui pematang sawah, seorang perempuan diringkan oleh seorang anak kecil laki-laki. Dan ....alangkah terkejut Zainuddin demi dilihatnya yang datang itu Hayati, diiring kan oleh adiknya, anak yang memulangkan payungnya dan memberikan surat pagi tadi. Dia datang ke sawah menjunjung sebuah bungkusan dan menjinjing tebung kopi daun. Ddihatnya Zainuddin ada di situ, dia pun tercengang, mukanya agak berobah merah. Zainuddin pun demikian pula. "Ai, ini dia datang, si Ati. Bukan sudah saya katakan kepadamu tadi?" - kata orang tua itu. "Ya engku," sahut Zainuddin dengan sedikit gugup.

"Nama kemenakanku ini Hayati, dia sekarang sudah tammat kelas S di sekolah agama, ini adiknya, si Ahmad, baru tiga tahun bersekolah." "Ya engku, kemarin saya bertemu dengan dia di Ekor Lubuk, ketika dia kembali dari Padang Panjang, kehujanan ........" "Dipinjaminya saya payung, sampai dia sendiri berbasah ku - yup pulang" sela Hayati, lalu diceritakannya pertolongan itu. sejak dari awal keakhimya. "Ah berbudi sekali engkau Zainuddin." "Engku pun serupa pula dengan Hayati, barang yang kecil itu dibesar-besarkan. Padahal itu hanya suatu kewajiban." Hayati merasa tersindir, ia ingat suratnya. Dan Datuk ...... menjawab, sambil menaikkan pisang bertumbuk ke dalam mulutnya: "Tidak Zainuddin, meskipun hal itu engkau pandang perkara kecil, bagi yang menerima budi, hal itu dipandang besar artinya. Apalagi engkau anak pisang kami." Demikianlah seketika lohor hampir habis, orang tua itu pun pulanglah ke rumahnya, diiringkan oleh kedua cucunya. Zainuddin sendiri seketika akan bercerai-cerai, dilihatnya Hayati tenangtenang, satu suara pun tak dapat keluar dari mulutnya. Mulut yang demikian ganjil lakunya, dia tak kuasa berkata sepatah jua apabila berhadapan, tetapi kaya dengan perasaan apabila duduk seorang diri. [36] Setelah itu dia pulang, dari jauh masih dilihatnya ketiga oran itu mengayun langkah diantara pematang dan beberapa sawah yan belum disabit padinya. Dilihatnya sekali lagi alam yang sekelilingnya, tiba-tiba dari sedikit ke sedikit, wajah alam itu pun bertukarlah pada penglihatannya dari yang biasa. Air yang mengalir seakan-akan bernyanyi bunyi puput anak gembala seakan-akan penghibur, deru angin di telinga seakan-akan menghembuskan harapan baru. Orang-orang yang ditemuinya di tengah jalan, bila menyapanya, dijawabnya sapa orang itu, tetapi setelah kira-kira sepuluh langkah orang ia pergi, baru dia ingat kembali. Dia pulang ke rumah bakonya. Setelah sore dia kembali ke suraunya. Mengapa sudah 2 hari dia merasai dirinya seakan-akan orang demam? Apakah penyakitnya? Bertanya di dalam hati, dimasukkannya tangannya ke dalam sakunya, tiba-tiba terasa olehnya sepucuk surat. Dadanya berdebar, dia teringat isi surat itu, teringat nama yang mengirimnya ...... Hayati, kehidupanku! Sekarang: terbukalah rahasia dari penyakit itu. Dia bukan kebingungan, bukan kegilaan, bukan keputusan harapan, bukan apa-apa, bukan .....! Penyakit ini telah terang namanya. Penyakit, tetapi nikmat; nikmat tetapi penyakit. Orang ditimpanya, tetapi orang itu tidak hendak sembuh dari padanya ......... penyakit: cinta! Pertemuan di sawah itu, amat besar artinya buat menciptakan penghidupan kedua hamba Tuhan itu. Kedua pertemuan itulah asal ceritera yang menyedihkan ini. Sejak Zainuddin berkenalan dengan Hayati, dia tidak merasa sunyi lagi di tanah Minangkabau yang memandangnya orang asing itu. Minangkabau telah lain dalam pemandangannya sekarang, telah ramai, telah mengalirkan pengharapan yang baru dalam hidupnya. Di sindah kedua makhluk itu mempersambungkan tali [37] jiwa, sebelum mempersambungkan mulut. Keluhan dan tarikan nafas yang panjang, kegugupan menentang muka orang yang dihadapi, telah cukup menjadi lukisan dari pada kata-kata hati.

Bilamana Zainuddin duduk dalam kesunyiannya seorang diri, bagaikan dirobeknya hari supaya lekas sore, moga-moga dapat melihat Hayati pula. Tetapi setelah bertemu lidahnya kaku, tak dapat apa yang akan disebutnya. Hayati sendiri pun semenjak waktu itu kerap kali bagai orang yang keraguan. Dia berasa sebagai kehilangan, padahal bilamana dilihatnya tas tempat bukunya, tak ada alat perkakasnya yang kurang. Ada seorang sahabatnya sama bersekolah, bemama Khadijah, tinggal di Padang Panjang. Pada suatu hari dikirimnya sepucuk surat kepada Khadijah yang pada ketika membaca surat itu, dapat diketahui bagaimana perasaan hatinya. Bunyinya:

Sahabatku Khadijah.! Di waktu surat ini saya perbuat, langit jernih dan udara nyaman. Saya duduk dalam kesepian, perempuan-perempuan dalam rumahku tengah ke sawah. Aku teringat akan dikau sahabatku, ingin benar hatiku hendak datang ke Padang Panjang menemuimu, tetapi kesempatanku tak ada. Ganjil benar keadaan di kampung kami sekarang. Karena pada beberapa bulan yang lalu, datang kemari seorang anak muda dari Mengkasar, tentu engkau ingat, Zainuddin namanya. Dia tinggal tidak berapa jauh dari rumahku, dengan bakonya. Tetapi bako jauh. Tabiatnya yang halus menimbulkan kasihan kita, tetapi di dalam kampung dia tidak mendapat penghargaan yang semestinya. Sebab dia seorang anak pisang, ayahnya seorang buangan yang telah mati di rantau. Meskipun dia dibawa orang bergaul, dia tidak diberi hak duduk di kepala rumah jika terjadi perasaan beradat-adat, Sebab dia tidak berhak duduk di situ Bukanlah orang mencela perangainya, hanya yang dipandang orang kurang ialah bangsanya Alangkah kejamnya adat negeri kita ini, sahabatku. Saya kasihan melihat nasib anak muda itu, hanya semata-mata kasihan, sahabat, lain tidak, jangan engkau salah terima kepadaku. Karena memang sudah terbiasa kita anak-anak gadis ini merasa kasihan kepada orang yang [38] bemasib malang, tetapi kita tak dapat memberikan pertolongan apa-apa, karena kata hanya bangsa perempuan yang tidak mempunyai hak apaapa di dalam adat dan pergaulan. Terlalu banyak saya membicarakan orang lain dalam surat kepadamu, padahal apalah perhubungan kehidupan Zainuddin orang Mengkasar itu dengan kehidupan kita......... Renda yang engkau serahkan -ketika akan pakansi sekolah telah hampir selesei kukerjakan. Sedianya kalau bukan lantaran pikiranku kusut saja dalam sebulan ini, renda itu telah lama selesainya. Tetapi apalah hendak dikata, kerap kali, rancangan yang telah kita kerjakan, terhenti di tengah-tengah karena sepanjang hari hanya habis dalam keluhan, keluh mengingat teman dan sahabat, mengingat hari kemudian yang masih gelap. Bila engkau sempat, sahabat, datanglah ke Batipuh, bermalam di sini agak semalam. Tentu saja mamak dan bundamu akan memberimu izin, sebab hanya ke rumahku. Hayati.
Dalam surat itu nampak isi perasaan Hayati, perasaan yang belum pernah diterangkannya kepada orang lain.

Sebenarnya, dia amat kasihan melihat nasib Zainuddin orang jauh itu. Di sini tak mempunyai kerabat yang karib, dan ayahnya pun telah meninggal pula. Akan pulang ke Mengkasar, hanya pusaka ayah bunda yang akan ditepati. Sikap Zainuddin yang lemah lembut, matanya penuh dengan cahaya yang muram, cahaya dari tanggungan ba-tin yang begitu hebat sejak kecil, telah menimbulkan kasihan yang amat dalam di hati Hayati. Dan cinta, adalah melalui beberapa pintu. Ada dari pintu sayang, ada dari pintu kasih, ada dari pintu rindu, tetapi yang paling aman dan kekal, ialah cinta yang melalui pintu kasihan itu. Sudah lama dia menunggu-nunggu suatu kalimat saja pun cukuplah, keluar dari mulut Zainuddin, baik tepat atau pun sindiran, yang dapat dipegangnya, cukuplah satu kalimat itu bagi nya. Tetapi cinta pertama adalah langkah bermula dari penghidupan. [39] Orang hanya pintar jika duduk seorang, dan bingung jika telah berhadapan. Yang mendalamkan luka hati adalah perasaan yang selalu terkurung, tak ada sahabat karib yang dapat dipercayai untuk menumpahkan perasaan itu. Tiba-tiba, pada suatu hari, di waktu matahari hendak terbenam ke Barat, di waktu perempuanperempuan telah pulang dari pancuran mengisi parian betungnya, Hayati bertemu dengan Zainuddin di liku jalan. "Ai ....... Tuan Zainuddin di sini." "Ya, di sini, menunggumu." "Menunggu saya?" tanya Hayati, sedang dadanya mulai berdebar. "Apakah maksudnya, lekaslah terangkan, supaya saya segera pulang." "Saya pun takut pula akan mengganggu perjalananmu. Engkau saya tunggu hanya sekedar hendak memberikan ini." - lalu dikeluarkannya sepucuk surat dari sakunya, diberikannya ke tangan Hayati. Ketika memberikan itu jari-jarinya kelihatan gemetar. Tengah Hayati masih bingung berdiri, memegang buli-buli yang ada dalam tangannya, Zainuddin berangkat dari tempat itu secapat-cepatnya. Hayati segera pulang. Sehabis sembahyang dan makan malam, segera dia naik ke atas anjung ketidurannya, membaca di dekat sebuah lampu dinding!

Sahabatku Hayati Gemetar, Encik! Gemetar tanganku ketika mula-mula menulis surat ini. Hatiku memaksaku menulis, banyak yang terasa, tetapi setelah kucecahkan penaku ke dawat, hilang akalku, tak tentu dari mama harus kumulai. Sudan hampir setahun saya tinggal di negeri tumpah darah nenek moyangku ini Oh, Hayati. saya telah dibuaikan oleh mimpi dahulunya, oleh kuatnya bekas dendang dan nyanyian ayahku seketika saya masih dalam pangkuannya. Tanahmu yang indah, bahkan tanahku juga, Minangkabau, senantiasa berdiri dalam semangatku. Sehingga sejak saya tahu menyebut nama negeri Padang, tanah ini telah terbayang dalam khayalku. [40] Angan-angan dan khayal yang demikianlah yang menyampaikan langkahku kemari Sebab di negeri Mengkasar sendiri saya dipandang orang Padang, bukan orang asli Bugis atau Mengkasar. Sebab itu di sana saya rasa senantiasa dalam kesepian. Sekarang saya datang kemari, Hayati. Tak obahnya dengan seorana musafir di tengah gurun yang luas keputusan air; tiap-tiap langkah dilangkahkannya tampak juga olehnya danau yang

luas di mukanya. Demi, setelah sampai kepada yang kelihatan itu, danau itu pun hilanglah, berganti dengan pasir semata-mata, hening dan panas! Hayati, berulang saya menanggung perasaan begini, seorang pun tidak ada tempat saya mengadu. Saya tidur di surau bersama-sama teman. Mereka ketawa, bersenda gurau, tetapi bilamana kuhening kupikirken, emas tidak juga dapat dicampurkan dengan loyang, sutera tersisih dari benang. Saya telah mengerti segera bahasa Minangkabau meskipun dekat mereka saya seakan-akan tak faham. Dari isyarat dan susun kata, dapat juga kuketahui, bahwa derajatku kurang adanya Bakoku sendiri tidak mengaku saya anak pisangnya, Sebab rupanya ayahku tak mempunyai saudara yang karib. Mereka bawa saya menumpang selama ini, karena dipertalikan bukan oleh budi bahasa, tetapi oleh wang; sekali lagi Hayati, oleh wang! Mengapa hal ini saya adukan kepadaimu, Hayati? Itu pun saya sendiri tak tahu, cuma hati saya berkata, bahwa engkaulah tempat saya mengadu............... Hayati! Terimalah pengaduanku ini, malangku ini. Terimalah ini, perkenankanlah seruan dari hati yang daif, hati seorang makhluk yang dari masa dalam kandungan ibu telah ditunggu oleh rantai yang bertali-tali dari kemalangan. Ayahku telah mati, dan ibuku demikian pula Bakoku tak mengakui aku keluarganya. Di Mengkasar hanya tinggal seorang ibu angkat. Dalam pergaulan, saya disisihkan orang. Saya tak hendak membunuh diri, karena masih ada pergantungan intan dengan Yang Maha Kuasa dan ghaib, bahwa di balik kesukaran ada menunggu kemudahan. Di dalam khayalku dan dalam kegelap gulitaan malam, tersimbahlah awan, cerahlah langit dan kelihatanlah satu bintang, bintang dari pengharapan untuk menunjukkan jalan. Bintang itu ........... ialah: kau serdiri, Hayati! Bagaimana maka hati saya berkata begitu? Itu pun saya tak tahu. [41] Lantaran tak tahu sebabnya itu, timbul kepercayaan kepada kuasa ghaib yang lebih dari kuasa manusia, kuasa ghaib itulah yang menitahkan ........... Saya tahu juga sedikit-sedikit adat negerimu yang kokoh. Agaknya buruk saya berkirim surat ini dalam pemandangan umum. Tapi, saya tak akan mengganggu adatmu, tak akan mengganggu dirimu sendiri, tak akan menyintuh kebesaran dan susunan rasam basi orang Minangkabau. Saya tahu dan insaf siapa saya. Saya kirimkan surat ini tidaklah minta dibalas, hanyalah semata-rata mengadukan hal. Nyampangku mati, janganlah kumati dalam penyesalan. Dan saya pun yakin, tangan yang begitu halus, rata yang penuh dengan kejujuran itu, tidak akan sampai mengecewakan hati yang telah penuh dengan kecewa sejak sejengkal dari tanah. Terimalah saya menjadi sahabatmu yang baik, Hayati. Supaya dapat saya mengadukan hal-halku, untuk mengurangi tanggungan hati. Sebab memang sudah biasa kegembiraan dapat ditelan sendiri-sendiri dan kemalangan menjadi kurang, bila dikatakan pada orang lain. Sudikah engkau jadi sahabatku Hayati? Saya akui, saya orang dagang melarat dan anak orang terbuang yang datang dari negeri jauh, yatim dan piatu. Saya akui kerendahan saya. Itu agaknya yang akan menangguhkan hatimu bersahabat dengan daku. Tapi Hayati, meskipun bagaimana, percayalah bahwa hatiku baik. Sukar engkau akan bertemu dengan hati yang begini, yang bersih lantaran senantiaw dibasuh dengan air kemalangan sejak lahirnya ke dunia!

Zainuddin.
Surat itu rupanya diperbuat dengan jiwa, bukan dengan tangan. Apa yang bergelora di dalam sanubari, ditumpahkan di kertas. Dan bagi yang membaca, tentu jiwanya pula yang kena. Gemetar kedua belah tangan Hayati membaca surat yang demikian. Dibacanya, tiba-tiba dengan tidak disadarinya, air mata telah mengalir di atas pipinya yang montok membasahi bantal kalanghulunya. Terbayanglah di hadapannya wajah Zainuddin yang muram, keluh yang senantiasa mengandung rahasia dalam. Yakinlah dia bahwa gerak dan bisik jantungnya bilamana melihat Zainuddin selama ini rupanya bukanlah gerak sembarang, tetapi [42] adalah gerak ilham, gerak jiwa yang bertali dengan jiwa, gerak batin yang bertali dengan batin. Disekanya air mata yang mengganggu kemontokan pipi itu, dia kembali duduk di pinggir pembaringan, ditengadahkannya mukanya ke langit, sambil berseru seorang dirinya, yang hanya didengar oleh malaikat penjaga malam: "Ya Ilahi, berilah perlindungan kepada hambaMu! Perasaan apakah namanya ini, ya Tuhanku, tunjukkan ya Tuhan, dan nyatalah sudah kelemahan diriku! Apalah pertolongan yang akan dapat kuberikan. Dia meminta budi kepadaku, aku hanya Tuhan takdirkan menjadi perempuan, jenis yang lemah. Tidak ada kepandaianku, hanyalah menangis! Tuhanku, benar ..... sebenar-benarnya hamba-Mu ini kasihan kepada makhluk yang malang itu, dan oh Tuhanku! Hamba sayang akan dia, hamba ...... cinta dia! Jika cinta itu satu dosa, ampunilah dan maafkanlah! Hamba akan turut perintah-Mu, hamba tak akan melanggar larangan, tak akan menghentikan suruhan. Akan hamba simpan, biarlah orang lain tak tahu, tetapi izinkan hamba ya Tuhan." Demikianlah, hampir seluruh malam Hayati karam di dalam permohonannya kepada Tuhan, supaya Tuhan memberi perlindungan dan tujuan di dalam hidupnya, sebab sangat sekali surat Zainuddin mempengaruhi jiwanya. la merasa dirinya dalam gelap, dia meminta cahaya. Bennacam-macam perasaan yang bergelora hebat semalam itu dan jiwanya, ganjil, beraneka wama; bercampur di antara cinta dan takut, kesenangan pikiran dan kesedihan, bertempur di antara pengharapan yang besar dan cita-cita yang rasakan patah. Dalam dia menangis, tiba-tiba berganti dengan tersenyum. Dalam tersenyum dia kembali mengeluh panjang. Mengapa dia menangis? Entahlah, dia sendiri pun masih ragu. Apa sebab dia tersenyum? Padahal biasanya senyuman dengan air mata itu adalah dua yang bermusuh yang tak mau berdamai. Mengapa sekali ini dia damai? [43] Jam di ruang tengah telah berbunyi 2 kali, hanya detiknya dan bunyi jengkerik di sudut rumah yang memecahkan kesunyian malam. Dalam keadaan yang demikian, Hayati tertidur. Ada pun yang berkirim surat, Zainuddin, lain pula halnya. Meski pun anak-anak muda di surau tempatnya tidur telah berlayar dalam lautan mimpi yang enak, bahkan kadang-kadang kesepian itu dipecalikan oleh dengkur 2 atau 3 orang anak-anak, dia masih bermenung melihatkan bulan terang benderang, bulan di antara tanggal 15 dengan 16, muram dan damai. Bermenung di beranda surau seorang dirinya, tidak merasai takut dan gentar. Diperhatikannya langit yang jernih itu, seakan-akan dia mengajak bulan bercakap,mengajak bintang bercengkerama. Dia ajak alam besar itu bertutur, percakapan jiwanya sendiri, seakan-akan mengadukan nasibnya yang malang, yang patut alam itu ikut meratapinya, atau seakan-akan memberitakan bahwa hatinya tidak sesedih daliulu lagi, sebab Tuhan telah memberinya nikmat yang paling besar, yaitu nikmat cinta. Bertahun-tahun dia. laksana seorang yang kehilangan, sekarang barang yang

dicari itu telah dapat kembali. Barang yang hilang itu paling mahal, dan berharga, ialah "hati" yang hilang separo seketika bundanya mati, habis separo lagi setelah ayahnya rreninggal. Sekarang "hati" itu telah kembali, sebab ..... mencintai Hayati! Tiba-tiba, timbul pulalah seruan dari jiwanya kepada Tuhan yang melindungi seluruh alam, diserukannya di waktu tengah malam demikian, di waktu segala do'a makbul. "Pujianku tetaplah pada-Mu ya Ilahi! Saya telah beroleh hidup, hidup yang saya kenang-kenangkan. Saya telah beroleh seorang perempuan tempat saya mengadukan hal. Perempuan yang budiman, adalah laksana matahari yang terbit di waktu fajar bagi orang yang menunggu kedatangan siang. Perempuan adalah laksana surat jenderal yang dikirim dari medan perang menyatakan kemenangan kepada raja yang mengutusnya. Dia adalah sebagai udara, tampang kehidupan yang akan dihisap oleh manusia dalam nafasnya yang turun naik." [44] Maka dalam malam yang hening itu, naiklah dua do'a permohonan ghaib, permohonan dari dua makhluk yang lemah dan memohon persandaran, yang keduanya tentu akan diterima Tuhan dengan segenap keadilan. Tetapi suma pula hal Zainuddin dengan Hayati semalam itu. Dia ingat surat yang dikirimnya. Ai ..... barangkali dia salah, barangkali ada perkataan-perkataan janggal dan kasar terselip dalam surat itu, barangkali ..... barangkali berkirim surat itu adalah satu cela paling besar, sebab baik di Minangkabau atau di Mengkasar sekalipun, amat dicela orang anak muda yang berkirim surat kepada perempuan. Barangkali, akan terlepas Hayati selama-lamanya dari tangannya, sebab dia dipandang rendah budi. Ketakutan dan kecemasan itu diusirnya pula segera. Dia usir dengan perkataan: Surat itu kutulis dengan tulus ikhlas, kutulis dengan jiwa yang tenteram dan tidak bermaksud jahat. Bersalah besar-saya kepada hati sendiri, jika perasaan itu tidak dicurahkan. Berbahaya benar jika perasaan demikian hanya disimpan-simpan saja. Nyampangku mati sekarang ..... kebetulan Hayati tak tahu aku mencintai dia, dan hanya didapatnya keterangan dari pada notes yang kutinggalkan; alangkah remuk hatinya, dia telah menyebabkan seorang makhluk yang malang mati berulam jantung. Tidak, surat tak salah, mestinya kuterangkan kepadanya bahwa saya mengharapkan dia, walau pun akan dimaki diejeknya, dihinakannya dan dipandangnya rendah. Dan tidak, Hayati tak akan mau berbuat demikian, sebab hatinya sangat baik. Tersingkir perasaan demikian, timbul pula kembali dalam sanubarinya rasa cinta yang mulai bersemi itu. Dilihatnya alam sekelilingnya, di sana terlukis dengan nyatanya gambaran cinta. Di lihatnya langit yang hijau dengan bintang-bintangnya, berkelapkelip melambaikan cinta, kicut pohon bambu dihembus udara malam, di sana didengarnya suara cinta. Didengarnya, alam itu melagukan lagu percintaan, karena memang Tuhan jadikan segenap alam ini dengan cinta. [45] Demikianlah perjuangan batin yang begitu hebat telah terjadi, perasaan cinta yang mulai subur, tetapi dilambai oleh angin ketakutan. Sehingga besoknya pagi-pagi, setelah matahari terbit dan Zainuddin bangun dari tidurnya, dia merasa takut dan malu akan bertemu dengan Hayati, takut suratnya tidak akan diterima. Bila dia lalu pada suatu jalan, dia berjalan tergesa-gesa, takut akan bertemu dengan Hayati, takut akan menentang wajahnyayang molek, seakan-akan menyesal dia rasanya mengirim surat itu. Apalagi telah sehari, setelah 2 hari surat dikirimkan, tidak mendapat balasan apa-apa, sehingga mengalir keringat di keningnya menentnang kan itu, terasa benar olehnya kasar budinya. Perasaan itu kian lama kian mendalam, sehingga matanya tak mau tidur, hatinya tak mau tenteram. Pernah juga dia akan bertemu di satu jalan, dia mengencong ke tempat lain.

Empat hari di belakang itu, seketika Zainuddin datang dari sebuah lepau di tepi jalan dan hendak mendaki ke kampung tempat tinggal, tiba-tiba darahnya tersirap dan langkahnya tertegun, kepalanya ditekurkannya ke bumi, sebab di tengah jalan itu dia bertemu dengan Hayati. "Tuan Zainuddin," ujar Hayati dengan tiba tiba. Perkataan itu walau pun halus laksana buluh perindu, tetapi bagi Zainuddin sama rasanya dengan ponis yang ditunggu oleh seorang pesakitan yang menunggu hukumannya di muka hakun, hukum bebaskah atau hukum bunuh. Tetapi akan dibebaskan sangat tipis harapannya. "Hayati!" "Mengapa sudah 4 hari tuan tak kelihatan, dan bila bertemu di tengah jalan, tuan serupa mengelakkan diri?" Dikumpulkannya kekuatannya, disimakannya segala kekuatannya dan dijawabnya perkataan Hayati, meskipun mula-mulanya masih gagap mulutnya: "Saya malu, Hayati, saga takut!" "Tidak perlu tuan merasa takut lantaran surat tuan, surat yang begitu indah susunannya, menarik dan membuka kunci pintu hati manusia." [46] "Jadi ...." adakah suratku itu mendapat penerimaan yang baik?" "Surat itu bagus sekali, menyedihkan dan merawankan dibuat dengan hati yang tulus dan ikhlas rupanya, itu terasa kepada diriku. Tapi sayang, saya tak ada kepandaian yang sebagai kepandaian tuan membalas surat yang indah-indah itu." "Bukankah sudah kuterangkan bahwa aku tak meminta balasan? Yang aku minta hanya satu, jangan dikecewakan hati orang yang berlindung kepadamu!" Demikianlah, jiwa yang telah lama cari-mencari itu, sekarang telah bertemu muka. Biarkanlah kedua makhluk itu berhenti sejurus, memberikan kemerdekaan bagi hati berkata, mata bertemu dengan mata, hati berkata dengan hati, dan lidah sama-sama bisu tak dapat mencukupkan.

6. BERKIRIM-KIRIMAN SURAT
SEJAK dapat diketahui oleh Zainuddin bahwa suratnya diterima baik oleh Hayati, bahwasanya pengharapannya bukanlah bagai batu jatuh ke lubuk, hilang tak timbul-timbul lagi, melainkan beroleh bujukan dan pengharapan, maka kembalilah dia pulang ke rumah bakonya tempatnya menumpang dengan senyum tak jadi, senyum panas bercampur hujan. Dia melengong ke kiri dan ke kanan, menghadap ke langit yang hijau, ke bumi yang nyaman dan ke sawah yang luas, ke puncak Merapi yang permai laksana bersepuhkan mas, ke air yang mengalir dengan hebatnya di Batang Gadis. Seakan-akan dihadapinya semua alam yang permai itu, membangga menerangkan suka cita hatinya. Dia merasa bahwa keberuntungan yang demikian belum dirasainya selama hayatnya. Ini adalah sebagai ganjaran Tuhan atas kesabaran hatinya menanggung sengsara telah bertahun-tahun. Bilamana dia bertemu dengan seorang temannya, mau dia rasanya menerangkan rahasianya, supaya orang itu turut tersenyum dengan. dia, jangan dia seorang saja merasai kelezatan cinta. Ber temu beberapa orang anak kecil yang sedang bermain di halaman, atau sedang bermain layang-layang di sawah yang baru disabit, mau dia rasanya mendermakan segala harta benda yang ada padanya kepada anak-anak itu, untuk memuaskan rasa gembira yang baru dikecapnya selama dia hidup. Sampai di surau tempat dia tidur, ditulisnyalah sepucuk surat kepada Hayati. Karena lebih merdeka dan lebih luas dia dapat menyusun kata menumpahkan perasaan hatinya, bila mana ditulisnya: [48]

Hayati! Meski pun mula-mula saya bertemu sesudah surat itu kukirim, tanganku gemetar, maka sambutanmu yang halus atas kecemasanku telah menghidupkan semangatku kembak Hayati, sampai sekarang, dan agaknya lama sekali baru keiadian itu akan dapat kulupakan. Karena menurut perasaan hatiku, adalah yang demikian pintu keberuntungan yang pertama bagiku. Sampai sekarang Hayati, masih kerap kali saya merasai dadaku seruliri, menjagaapakah hatiku masih tersimpan di dalamnya, entah sudah terbang ke langit biro agaknya, lantaran terlalu merasa beruntung. Pada perkataan-perkataan yang telah kau ucapkan, ternyata bahwa kasih sayangku, bah wa cintaku telah kau terima Bahwa pengharapanku yang telah putus, kau hubungkan kembali. Tetapi Havati, ada yang perlu kuterang kan padamu, supaya jangan engkau menyesal kemudian. Orang sukai seorang pemuda, karena sesuatu yang diharapkannya dari Pada pemuda itu, misalnya dia cantik dan gagah. Aku sendiri, sebagai yang kau lihat, begitulah keadaanku, rupaku yang jelek tak pantas menjadi jodohmu, dan aku miskin. Misalnya Allah menyampatkan cita-cita hatfku, dan engkau boleh menjadi suntingku, menjadi isteri yang mengobat luka hatfku yang telah bertahun-tahun, agaknya akan malu engkau berjalan bersanding dengan daku, karena anrat buruk memperdekatkan loyang dengan mas, mempertalikan benang dengan sutera Bagiku, Hayati, engkau sangat cantik. Kecantikanmu itu kadang-kadang yang menyebabkan daku putus asa, mengingat buruk diriku dan buruk untungku.

Tetapi pula, kalau kau hendak mendasarkan cinta itu Pada dasar keikhlasan, pada keteguhan memegang janji, pada memandang kebaikan hati dan bukan kebaikan rupa Kalau engkau bukan mengharapkan kayaku, tetapi mengharapkan pengorbanan jiwaku untukmu, kalau engkau sudi kepadaku dan tidak merasa menyesal jika kelak bertemu dengan bahaya yang ngeri dan kecimus bibir, kalau semuanya itu tidak engkau perdulikan, Hayati, sebagai kukatakan dahulu, engkau akan beroleh seorang sahabat yang teguh setia Kalau semuanya itu telah engkau ingat benar, dan engkau sudi berenang ke dalam lautan cinta, ketahuilah bahwa saya beruntung berkenalan dengan engkau, dan raga-toga engkau pun beruntung berkenalam dengan saya Zainuddin. [49]
Surat yang Ketiga

Sahabatku Hayati! Sebagai kukatakan dahulu, lebih bebas saya menutis surat dari pada berkata-kata dengan engkau. Saya lebih pandai meratap dalam surat, menyesal dalam surat, mengupat dalam surat. Karena bilamana saya bertemu dengan engkau, maka matamu yangsebagai bintang Timur itu senantiasa menghilangkan susun kataku. Sebelum bertemu, banyak yang teringat, setelah bertemu semuanya hilang, karena kegembiraan pertemuan itu telah menutupi akan segala ingatan. Inilah suratku yang ketiga. Dan alangkah beruntungnya peraaan hatiku jika beroleh balasan, padahal sepucuk pun belum pernah engkau balas. Tahu saya apa jadi sebabnya Bukan lantaran engkau tak dapat mengarang surat. Sebagai engkau katakan, tetapi hanyalah lantaran engkau masih merasa sebagaimana kebanyakan perasaan umum pada hari ini, bahwasanya berkirimkiriman surat percintaan itu adalah aib dan cela yang paling besar, cinta palsu dan bukan terbit dari hati yang mulia. Tapi, Hayati perasaansaye lain dari itu. Yaitu kalau perasaan hati itu hanya disimpan-simpan saja, tidak diutarakan dengan kejujuran, itulah yang bemama cinta palsu, cinta yang tidak percaya kepada diri sendiri. Rasanya lebih aib dan lebih cela anak perempuan yang sengaja menekur-nekurkan kepalanya jika melihat seorang laki-taki, tetapi setelah selendangnya dibukanya, dia mengintip orang lalu lintas dari celah dinding. Dengan surat-surat kata belajar berbudi halus. Dalam susunan suratsurat dapat diketahui perkataan-perkataan yang pepat di luar, pancung di dalam. Dengan suratsurat dapat diketahui dalam dangkalnya budi pekerti manusia. Bacalah, dan bacalah suratku ketiga-tiganya. Adakah di sana terdapat saya berminyak air, mencoba menarik-narik hati? Bagi saya meskipun perjalanan cinta yang akan kita tempuh itu takkan hasil, surat itu sudah cukuplah untuk menguji budi saya Kirimlah surat kepadaku tanda jujurmu. Tanda benar-benar engkau hendak membela diriku. Kirimlah, dan janganlah engkau takut bahwa sum ini akan saya jadikan perkakas untuk membukakan rahasiamu jika temyeta engkau mungkir atau tak sanggup memenuhi janji Hayati! Lapangan alam [50] ini amat luas, dan Tuhan telah memberi kita kesanggupan mengembara di

dalam lapangan yang luas itu. Maka jika kita beruntung, dan Allah memberi izin kita hidup sebagai suami dan isteri, adalah surat-surat itu untuk mematrikan cinta kita, jadi pengobat batin di dalam mendidik anak-anak. Tetapi kalau kiranya pertemuan nasib dan hidup kata tidak beroleh keizinan Tuhan sejak darn azali-Nya, adalah pula surat-surat itu akan jadi peringatan dari dua orang bersahabat atas ketulusan mereka menghadapi cinta, tidak terlangkah kepada kejahatan dan adak melanggar peri kesopanan. Jangan engkau berwas-was kepadaku Hayati, mengirimkan suratmu. Surat-suratmu akan kusimpan baik-baik, akan kujadikan azimat tangkal penyakit, tangkal putus pengharapan. Dan hilangkanlah sangka burukmu itu, takut suratmu jika kujadikan perkakas membusuk-busukkan namamu. Ah, mentang-mentang saya seorang anak orang terbuang, orang menumparg dinegeri ini, tidaklah sampai serendah itu benar budiku. Suratmu, Hayati; sekali lagi suratmu. Zainuddin.
Tiba-tiba sedang Zainuddin asyik menunggu-nunggu balasan dari suratnya, datang adik Hayati, Ahmad yang masih kecil itu, membawa surat. Berdebar sangat jantung Zainuddin demi bila membuka sampul surat itu:

Tuan Zainuddin Ketiga surat tuan telah saya baca dengan mafhum, sekali-kali bukanlah saya tak merghargai surnt-surat itu, bukan pula cemburu tuan akan merendahkan nama saya. Keterangan yang lebih panjang tak dapat saya berikan dengan surat. Sebab itu, kalau tuan tak keberatan, saya hendak bertemu sendiri dengan tuan, nanti sore di dangau di sawah tempat kita bertemu mula-mula tempo hari, Saya akan datang dengan adikku. Hayati.
Ah, mengapa sedingin ini saja isi surat Hayati, kata Zainuddin dalam hatinya. Dingin benar, apakah saya telah terlalu terdorong? [51] Orang tentu maklum bahwasanya orang yang sedang dimabuk cinta itu, penuh hatinya dengan cemburu. Kadang-kadang cinta bersipat tamak dan loba, kadang-kadang was-was dan kadangkadang putus asa. Ditunggunya hari sampai sore, di waktu orang-orang di sawah telah berangsur pulang dan anak gembala telah menghalau temaknya ke kandang. Maka Zainuddinlah yang telah berdiri lebih dahulu menunggu Hayati di dangau tersebut. Tidak berapa saat kemudian, Hayati datang pula diiringkan oleh adiknya. "Sudah lama agaknya tuan menunggu saya di sini?" kata Hayati. "Biar sampai matahari terbenam dan cahaya diberikan oleh bintang-bintang, saya akan menunggu kedatanganmu. Karena orang yang sebagai kau, tidaklah akan sudi memungkiri janjinya."

Maka duduklah mereka berhampir-hampiran. Hayati termenung dan kepalanya tertekur ke bumi, sepatah perkataan pun belum dimulainya. "Mengapa saya dengan suratku, Hayati? Besarkah kesalahan saya, makanya kau tak sudi membalasnya, sehingga perlu pula memberi keterangan kemari dahulu? Hayati, ini hati yang tersimpan dalam dadaku, ini nyawa yang memberikan keizinan tubuhku tinggal hidup, ini semuanya telah lama mati pada hakikatnya. Bujukan kau saja, hanya semata-mata itulah lagi pengharapanku menempuh hayat. Mengapa engkau masih mundur maju?" Hayati menangis, dua tetes air mata mengalir di pipinya. "Kau menangis Hayati? Apakah tidak terlalu berlebih-lebihan jika kau akan menanggung rugi lantaran diriku? Bukankah air matamu dan nafasmu yang turun naik, lebih berharga dari pada diriku ini? Jangan kau menangis, kau boleh menentukan ponis, mengambil keputusan terhadap diriku. Nyatakan bahwa cintaku kau balas, kalau memang kau ada mempunyai itu. Itulah kelak akan jadi modal hidup kita berdua. Asal saja tahu kau cinta, saya tak harapkan apa-apa sesudah itu, kata tak akan [52] melanggar perintah Ilahi. Tetapi kalau kau memang tak merasa terhadap diriku sebagai yang kurasa, kau tak cinta kepadaku, nyatakanlah itu dengan terus terang, sebagai pernyataan seorang sahabat kepada sahabatnya. Kalau keputusan itu yang kau berikan walau pun mukaku akan hitam menghadapimu di sini, lantaran malu, saya akan tahankan, saya sudah biasa talian tergiling dari kecilku." "Bukan begitu, tuan Zainuddin. Bukan saya benci kepada tuan; karena saya kenal budi baik tuan. Saya merasa kasihan di atas segala penanggungan yang menimpa pundak tuan. Tapi tuan, sebuah yang saya takutkan, yaitu saya takut akan bercinta-cintaan." "Kau takut?" "Ya, sebab pepatah telah pemali menyebut, bahwasanya seorang memburu cinta, adalah laksana memburu kijang di rimba belantara. Bertambah diburu bertambah jauh dia lari. Akhirnya tersesat dalam rimba, tak bisa pulang lagi. Saya takut akan terikat oleh percintaan, karena saya seorang gadis kampung yang telah lama kematian ibu. Harta benda yang banyak itu bukanlah kepunyaanku tetapi di bawah kuasa suku. Saya miskin dan papa. Saya tak ada ibu yang mengasuh, tak mempunyai saudara yang akan membela." "Tapi percayakah engkau bahwa hatimu suci?" "Cuma itulah pedomanku, tuan; saya percaya hatiku suci dan tiada bermaksud jahat kepada sesama manusia." "Kalau ada kepercayaanmu demikian, maka Tuhan tidaklah akan menyia-nyiakan engkau. Sembahlah Dia dengan khusyu', ingat Dia di waktu kita senang, supaya Dia ingat pitta kepada kita di waktu kita sengsara. Dialah yang akan membimbing tanganmu. Dialah yang akan menunjukkan haluan hidup kepadamu. Dialah yang akan menerangi jalan yang gelap. Jangan takut menghadapi cinta. Ketahuilah bahwa Allah yang menjadikan matahari dan memberinya cahaya. Allah yang menjadikan bunga dan memberinya wangi. Allah yang menjadikan tubuh dan memberinya nyawa. Allah [53] yang menjadikan mata dan memberinya penglihatan. Maka Allah pulalah yang menjadikan hati dan memberinya cinta. Jika hatikau diberi-Nya nikmat pula dengan cinta sebagaimana hatiku, marilah kita pelihara nikmat itu sebaik-baiknya, kita jaga dan kata pupuk, kita pelihara supaya jangan dicabut Tuhan kembali. Cinta adalah iradat Tuhan, dikirimnya ke dunia supaya tumbuh. Kalau dia terletak di atas tanah yang lekang dan tandus, tumbuhnya akan menyiksa orang lain. Kalau dia datang kepada hati yang keruh dan kepada

budi yang rendah, dia akan membawa kerusakan. Tetapi jika dia hinggap kepada hati yang suci, dia akan mewariskan kemuliaan, keikhlasan dan tha'at kepada Ilahi." Sedang Zainuddin berkata-kata demikian, Hayati masih tetap menekurkan kepalanya, air matanya ..... lebih banyak jatuh dari yang tadi. "Mengapa kau masih menangis, Hayati?" "Segala perkataan tuan itu benar, tidak ada yang salah. Tapi peredaran masa dan zaman senantiasa berlain dengan kehendak manusia, di dalam kita tertarik dengan tertawanya, tibatiba kita diberinya tangis. Saya ingat kekerasan adat di sini, saya ingat kecenderungan mata orang banyak, akan banyak halangannya jika kita bercinta-cintaan. Saya takut bahaya dan kesukaran yang akan kita temui, jika jalan ini kita tempuh." "Jadi ........?" "Lebih baik kita tinggal bersahabat saja." "Kita bersahabat dan kita bercinta, Hayati. Karena kalau kau tak cinta kepadaku, artinya kau bukan bersahabat." "Habisi sajalah hingga ini, tuan." "Oh, jadi, kau telah mengambil keputusan yang tetap?" "..............Ya!" Lama Zainuddin termenung mendengar kalimat itu, beberapa saat lamanya dia tak dapat berkata-kata. Setelah itu dengan suara lemah dia berkata: "Baiklah, Hayati! Besar salahku memaksa hati yang tak mau. Baiklah, marilah kita tinggal bersahabat, saya takkan mengganggirm [54] lagi. Pulanglah ke rumah, tidak ada keizinan Tuhan atas pertemuan dua orang muda yang sebagai kita ini kalau memang tak ada perkenalan bathin........." Maka turunlah Zainuddin dari tempat duduknya, lalu pergi. Berkunang-kunang dilihatnya alam lebar ini. Dia melangkah perlahan sekali, karena badannya rasa bayang-bayang. Dan baru diseberangi bandar kecil dekat sawah itu, langkahnya tak kuat lagi, dia terjatuh ....... Hayati takut akan keria cinta. Takut menghadapi cinta, itulah cinta yang sejati. Dia memberi ponis "tidak cinta" kepada Zainuddin, artinya dia memberikan ponis kematian kepada dirinya sendiri. Setelah agak jauh Zainuddin berjalan, dia pun tak tahan pula lagi, dia meniarap ke lantai di dangau itu menahan hatinya, dan hati tidak juga tertahan. "Ahmad," katanya kepada adiknya dengan tiba-tiba yang berdiri di samping dangau itu, dan matanya pun turut balut menangis. "Ini saya, kak!" "Panggil tuan Zainuddin kembali!" Maka berlari-larilah Ahmad mengejar Zainuddin, didapatinya Zainuddin tengah duduk tersimpuh di tepi bandar air yang akan dialirkan orang ke sawah. Dibimbingnya pulang ke dangau itu kembali. "Apa, Hayati?" "Saya cinta akan dikau, biarlah hati kita sama-sama dirahmati Tuhan. Dan saya bersedia menempuh segala bahaya yang akan menimpa dan sengsara yang mengancam."

"Hayati ..... kau kembalikan jiwaku! Kau izinkan aku hidup. Ulurkanlah tanganmu, marilah kita berjanji bahwa hidupku bergantung kepada hidupmu, dan hidupmu bergantung kepada hidupku. Yangmenceraikan hati kita, meskipun badan tak bertemu, ialah bila nyawa bercerai dengan badan." Matahari pun mulailah bersembunyi ke balik gunung Singgalang. Dan dari sebuah surau di kampung yang jauh kedengaran bunyi tabuh, diiringkan oleh suara aman:............... Hayya alal falaaah!

7. PEMANDANGAN DI DUSUN
SESUNGGUHNYA persahabatan yang rapat dan jujur di antara kedua orang muda itu, kian lama kian tersiarlah dalam dusun kecil itu. Di dusun, belumlah orang dapat memandang ke jadian ini dengan penyelidikan yang seksama dan adil. Orang belum kenal percintaan suci. Yang terdengar sekarang, yang pindah dari mulut ke mulut, ialah bahwa Hayati, kemenakan Dt...... telah ber"intaian," bermain mata, berkirim-kiriman surat dengan anak orang Mengkasar itu. Gunjing, bisik dan desus, perkataan yang tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah dari satu mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaraan dalam kalangan anak muda-muda yang. ducluk di pelantar lepau petang hari. Sehingga akhirnya telah menjadi rahasia umum. Orang-orang perempuan berbisik-bisik di pancuran tempat mandi. Kelak bila kelihatan Hayati mandi ke sana, mereka pun berbisik dan menclaham, sambil melihat kepadanya dengan sudut mata. Anak-anak muda yang masih belum kawin dalam kampung itu sangat naik clarah. Bagi mereka adalah perbuatan demikian merendahkan derajat mereka seakan-akan kampung tak berpenjaga. Yang terutama sekali dihinakan orang adalah persukuan Hayati, terutama mamaknya sendiri Dt ..... yang dikatakan buta saja matanya melihat kemenekannya membuat malu, melangkahi kepala ninik-mamak. Ibarat bergantang, hal ini telah terlalu penuh. Telinga Dt ..... tidak sanggup lagi mendengarkan. Sehingga pada suatu malam dicarinya Zainuddin, dibawanya berbicara bermuka-muka. "Zainuddin," ujarnya, "telah banyak nian pembicaraan orang yang kurang enak kudengar terhadap dirimu dan diri kemenakanku. Kata orang tua-tua telah melakukan perbuatan yang buruk rupa, salah canda, yang pantang benar di dalam negeri yang berauat ini. Diri saya percaya bahwa engkau tiada melakukan perbuatan yang dada senonoh dengan kemenakanku, yang dapat merusakkan nama Hayati selama hidupnya. Tetapi, sekarang saya temui engkau untuk memberi eugkau nasehat, lebih baik sebelum perbuatan berkelanjuran, sebelum merusakkan nama kami dalam negeri, suku sako turun temurun, yang belum lekang dipanas dan belum lapuk dihujan, supaya engkau surut." Tercengang Zainuddin menerima pembicaraan yang ganjil itu, bagai ditembak petus tunggal rasa kepalanya. Lalu dia berkata: "Mengapa engku berbicara demikian rupa kepada diriku? Sampai membawa nama adat dan turunan?" "Harus hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami di Minangkabau ini, kemenakan di bawah lindungan mamak. Hayati orang bersuku berhindu berkaum kerabat, bukan dia sembarang orang." "Saya akui hal demikian, engku. Tetapi itulah kemalangan nasib saya, mengapa dahulunya saya berkenalan dengan dia, mengapa maka hati saya terjatuh kepadanya, dan dia sambut kemalangan untungkudengan segenap belas-kasihan. Cuma sehingga itu perjalanan perkenalan kami selama kami hidup, lain tidak!" "Ya, tapi kasihan Hayati. Engku sendiri tahu bagaimana dia dipandang bunga di dalam persukuannya. Dahulu dia lurus, gembira, tetapi sekarang telah pemenung dan pehiba hati. Hatinya telah rusak binasa semenjak berkenalan dengan engkau dan kalau diperturutkan agaknya badannya akan kurus kering, dan kalau dia terus binasa, bukankah segenap persukuan dan perlindungan di rumah gedang kehilangan mustika?

Zainuddin! Serba susah saya di dalam hal ini. Nama saya sendiri, gelar pusaka turun temurun menjadi buah mulut orang, dikatakan mamak yang tak pandai mengatur kemenakan. Dan lagi engkau sendiri, belumlah tinggi pemandangan orang kepada didikan sekolah. Kejadian ini telah mereka pertalikan dengan sekolah -- [58] itulah bahaya anak kemenakan diserahkan ke sekolah kata mereka-- sudah pandai dia berkirim-kiriman surat dengan laki-laki, padahal bukan jodohnya. Sebab itu, sangatlah saya minta kepadamu, Zainuddin, sudilah kiranya engkau melepaskan Hayati dari dalam kenanganmu, dan berangkatlah dari negeri Batipuh yang kecil ini segera, untuk kemaslahatan Hayati." "Artinya engku merenggutkan jantung saya dari dada saya," jawab Zainuddin sambil menekur. "Engkau seorang laki-laki, Zainuddin. Sakitmu ini hari bolehlah engkau obat besok dan lusa. Tetapi seorang perempuan ....... seorang perempuan mau binasa kalau menahan hati." "Tidak engku ..... hati laki-lakilah yang kerap remuk lama, perempuan dapat segera melupakan hidupnya di zaman muda." "Dengan sangat saya minta engkau berangkat saja dari sini, untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai." "Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai," perkataan ini terhunjam ke dalam jantung Zainuddin, laksana panah yang sangat tajam. Dia teringat dirinya, tak bersuku, tak berhindu, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulupenghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu. Alangkah besamya kurban yang harus ditempuh Hayati jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tiada. akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat. Dia termenung mengingat untungnya, yang hanya mengecap lazat cinta laksana bayang-bayang dalam mimpi. Tetapi cinta suci bersedia menempuh kurban, bersedia hilang, kalau hilang itu untuk kemaslahatan kecintaan, bersedia menempuh maut pun, kalau maut itu perlu. Karena bagi cinta yang murni, tertinggal jauh di belakang pertemuan jasmani dengan jasmani, terlupa pergabungan badan dan badan, hanyalah keikhlasan dan kesucian jiwa yang diharapnya. [59] "Angkatlah kepalamu Zainuddin, berilah saya kata putus," ujar Dt ....... pula. Diangkatnya kepalanya, dan kelihatanlah air matanya merapi. "Berilah saya keputusan, berangkatlah!" "Ba ....... iklah, engku!" Didekatinya Zainuddin, ditepuknya bahu anak muda itu dengan herlahan seraya berkata: "Moga-moga Allah memberimu perlindungan." Dia pergi, dan Zainuddin ditinggalkannya masih termenung. Hayati duduk di ruang tengah merendai sehelai sarung bantal, entah sarung bantal persiapan kawin, tidaklah kita ketahui. Tiba tiba Dt ..... masuk ke rumah dan berdiri dekat Hayati sambil berkata "Sudahkah engkau tahu, Hayati?" "Apa engku?" "Zainuddin ......." Muka Hayati kelihatan pucat dan jahitannya terlepas dari tangannya.

Zainuddin telah saya suruh pergi dari Batipuh. Kalau dia hendak menuntut ilmu juga, sebagai niatnya bermula, lebih baik dia pergi ke Padang Panjang atau Bukittinggi saja, dia telah mau." Meski pun dengan sepayah-payahnya Hayati menahan hatinya, namun mukanya nyata pucat kelihatan, terlompat juga pertanyaan dari mulutnya: "Apa sebab engku suruh dia pergi?" "Banyak benar fitnah-fitnah orang terhadap kepada dirinya dan dirimu sendiri." "Tapi perhubungan kami suci, tidak bercampur dengan perbuatan yang melanggar sopan santun." "Hai Hayati! Jangan engkau ukur keadaan kampungmu dengan kitab-kitab yang engkau baca. Percintaan hanyalah khayal dongeng dalam kitab saja. Kalau bertemu dalam pergaulan hidup, [60] cela besar namanya, merusakkan nama, merusakkan ninik-mamak, korong kampung, rumah halaman." "Zainuddin bukan mencintai saya sebagaimana engku katakan itu, tetapi dia hendak menuruti jalan yang lurus, dia hendak mengambil saya jadi isterinya." "Mana bisa jadi, gadis. Menyebut saja pun tidak pantas, kononlah melangsungkan." "Bagaimana tidak akan bisa jadi, bukankah Zainuddin manusia? Bukankah dia keturunan Minangkabau juga?." "Hai upik, baru kemaren kau memakan garam dunia,kau belum tahu belit-belitnya. Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan Zainuddin itu jodohmu. Orang yang begitu tak dapat untuk menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang anganangan. Di zaman sekarang haruslah suami penumpangkaa hidup itu seorang yang tentu pencaharian tentu asal usul. Jika perkawinan dengan orang yang demikian langsung, dan engkau beroleh anak, ke manakah anak itu akan berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?" "Oh engku, mengapa engku sampai hati membunuh Zainuddin dan membunuh kemenakan engku sendiri?" "Tidak Hayati, kau harus tenangkan pikiranmu. Hari ini kau bersedih, karena segala sesuatu kau pandang dengan mata percintaan, bukan mata pertimbangan. Akan datang zamannya kau sadar, kau puji perbuatanku dan tidak kau sesali. Moga-moga habis cinta kau kepadanya, karena cinta demikian berarti menghabiskan umur dan perbuatan sia-sia. Mamakmu bukan membunuh, tetapi meluruskan kembali jalan kehidupanmu, pengalamanku telah banyak. Mamak tak pandai membaca yang tertulis, tetapi tahu pahit dan getirnya hidup ini." Hayati menangis, menangisi nasib sendiri dan menangisi Zainuddin, dia meniarap di ujung kaki mamaknya meminta dikasihani. Tapi percuma, percuma menanamkan padi di sawah [61] yang tak berair, percuma mendakikan akar sirih, memanjat bate Percuma, percuma meminta sisik kepada limbat ........... "Sekarang kau menangis, dan nanti kau akan insaf sendiri," ujar mamaknya pula, sambil menarikkan kakinya yang sedang dipagut oleh Hayati perlahan-lahan. Zainuddin baru saja sampai ke rumah bakonya. Mande Jamilah telah menyambutnya dengan muka pucat pula. Belum selesai dia makan, Mande Jamilah telah berkata: Lebih baik engkau tinggalkan Batipuh ini, tinggallah di Padang Panjang. Sebab namamu disebut-sebut orang

banyak sekali. Tadi sore Mande mendengar beberapa anak muda hendak bermaksud jahat kepadamu."

8. BERANGKAT
SEMALAM-MALAMAN hari, setelah mendengarkan perkataan Mande Jamilah, dan setelah mengingat perkataan-perkataan yang pedih-pedih, sindiran yang menyayat jantung dari Dt ...... mata Zainuddin tidak hendak tertidur. Pincangnya masyarakat Minangkabau, buruk nian nasibnya. Tak ubahnya kedatangannya ke Minangkabau, bagai musafir yang mengharapkan minuman dan melihat air di pertengahan padang pasir, demi setelah didatanginya ke sana, sebuah pun tak ada yang nampak. Kadang-kadang disesalinya perkawinan ayahnya dengan ibunya. Kadang-kadangpuladia menyadar untung malangnya, mengapa dia tak dilahirkan dalam kalangan orang Minangkabau! Tapi bukan itu agaknya yang menutup pintu baginya untuk bertemu dengan Hayati, agaknya lantaran dia tak berwang. Orang tak melihat, bahwa sekedar belanja menunggu dapat penghidupan tetap, dia masih menyimpan. Tetapi bukan itu yang jadi sebabnya, walau pun wang berbilang, emas bertahil, namun pemisahan adat masih tebal di negeri itu. Ia diusir, meskipun dengan cara halus. Perbuatannya dicela, namanya dibusukkan. Seakan-akan tersuci benar negeri Minangkabau ini dari dosa. Seorang anak muda, yang berkenalan dengan seorang anak perempuan, dengan maksud baik, maksud hendak kawin, dibusukkan, dipandang hina. Tetapi seorang yang dengan gelar bangsawan nya, dengan titel datuk dan penghulunya mengawini anak gadis orang berapa dia suka, kawin di sana, cerai di sini, tinggalkan anak di kampung anu dan cicirkan di kampung ini, tidak tercela, tidak dihinakan. [63] Seorang anak muda yang datang ke kampung, yang lahir dari pada perkawinan sah, dan ibunya bukan pula keturunan sembarang orang, malah Melayu pilihan dari Bugis, dipandang orang lain. Tetapi harta seorang ayah, yang sedianya akan turun kepada anaknya, dirampas, dibagi dengan nama "adat" kepada kemenakannya. Kadang-kadang pula pemberian ayah kepada anaknya semasa dia hidup, diperkarakan, dan didakwa ke muka hakim oleh pihak kemenakan, tidak tercela, bahkan terpandang baik. "Ke dalam masyarakat apakah saya telah terdorong dan kaki saya telah terjerumus," kata Zainuddin dalam hatinya. Timbul kebencian yang sangat di dalam hatinya, tetapi kebencian itu pun sirnalah sebentar itu juga, bila diingatnya bahwa ayahnya asal dari sana, dan dia pun asal dari sana, meskipun orang lain tak mengakui. Lebih lagi, bukankah Hayati dilahirkan dalam kalangan itu? Boleh dikatakan tiada terpicing matanya semalam itu. Setelah ayam berkokok tanda siang, dia telah turun membasuh mukanya ke halaman dan mengambil udhuk, terus sembahyang subuh. Tidak berapa saat kemudian, fajar pun terbitlah dari jihat Timur, kicau murai di pohon kayu, dan kokok ayam di kandang, laksana serunai nafiri mengelu-elukan kedatangan maharaja siang yang menang dalam peijuangan. Awan di Timur dan di Barat, berbagai-bagai rona nampaknya, laksana menunjukkan perayaan alam yang terjadi tiap-tiap pagi dan tiap-tiap sore. Tidak lama kemudian, sebelum tanah dan jalan raya yang meliku melekok melalui negeri-negeri kecil dari Padang Panjang ke Sumpur, ditimpa cahaya matahari, maka puncak gunung Merapi dan Singgalang telah kena cahaya lebih dahulu, amat indahnya laksana disepuh dengan emas juwita. Di waku demikian, kelihatanlah orang-orang dusun keluar dari rumahnya, berselimut

kain sarung, dan perempuan-perempuan berkain telekung dan menjinjing buli-buli. Tidak lama kemudian matahari pun terbitlah. Semua itu dilihat oleh anak muda itu, sambil menarik nafas panjang. Dia kelihatan berjalan dengan gontainya, di halaman'yang luas dari rumah adat yang berderet-deret, setelah menjabat tangan [64] Mande Jamilah yang mengantarkannya sampai ke halaman. Semuanya dengan perasaan yang amat sayu. Dia melangkah, langkahnya tertegun-tegun. Di tentang rumah Hayati, sengaja ditekurkannya kepalanya, karena sudah putus harapannya hendak bertemu, bunga harum berpagar duri, yang dari sana penyakitnya, tetapi di sana pula obatnya. Meski pun rum pun bambu yang berderet di tepi jalan membawa udara dan bunyi yang menyegarkan pikiran, bagi orang sebagai Zainuddin semuanya itu hanyalah menambah penyakit. Sebab negeri Batipuh, negeri yang ditujunya dari kampung kelahirannya, akan tinggal. Halaman tempatnya bermain, akan tinggal. Surau tempatnya bermalam, akan tinggal. Dangau tempat dia bermula menjalin janji dengan Hayati, dan ......akan tinggal Hayati sendiri. Tiba-tiba, setelah kira-kira setengah jam dia meninggalkan kampung yang permai itu mengayun langkah yang gontai, gonjong rumah-rumah telah mulai ditimpa cahaya pagi, disuatu pendakian yang agak sunyi, di tepi jalan menuju Padang Panjang, kelihatan olehnya seorang perempuan berdiri, berbimbing tangan dengan seorang anak laki-laki. Orang itu ialah Hayati sendiri dan adiknya Ahmad, yang berdiri menunggunya. Bergoncang sangat hatinya demi melihat anak perempuan itu. Lidahnya seakan-akan terkunci. Tapi demi dilihatnya muka anak perempuan itu tenang saja, timbullah malu dalam hatinya hendak menunjukkan kesedihan. Setelah lama dia tegak termenung menentang muka Hayati barulah dapat dia berkata "Rupanya ada juga niat hatimu hendak menungguku di sini, Hayati!" "Memang, tuan Zainuddin, ah ..... engkau tak akan kubahasakan "tuan" lagi, memang Zainuddin, sahabatku. Sejak saya mendengar sikap yang telah diambil oleh mamakku, terancamlah perhubungan kasih sayang kita. Dan orang kampungku telah syak wasangka kepada kita yang bukan-bukan. Sebab itu, saya datang [65] kemari melepasmu pergi, dan biar engkau pergi sejauh-jauhnya pun, namun jiwamu telah dekat dengan jiwaku. Sekali seorang anak perempuan yang jujur telah memberikan bujukan kepada seorang laki-laki yang menghamparkan sayap pengharapan, maka selama hidupnya, kematianlah yang akan menceraikan perjanjiannya itu. Zainuddin, kekasihku, berangkatlah, biar jauh sekalipun, kulepaskan! Tapi harapanku hanya sebuah engkau sekali-kali tak boleh putus asa, jangan diberi hatimu berpintu sehingga kesedihan dan kedukaan masuk ke dalam. Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis salisedan. Tetapicintamenghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan. Berangkatlah! dan biarlah Tuhan memberi perlindungan bagi kita." "Hayati," ujar Zainuddin, "amat besar harganya perkataanmu itu bagiku. Saya putus asa, atau saya timbul pengharapan dalam hidupku yang belum tentu tujuannya ini, semuanya bergantung bukan kepada diriku, bukan pula kepada orang lain, tetapi kepada engkau sendiri. Engkaulah yang sanggup menjadikan saya seorang gagah berani, tetapi engkau pula yang sanggup

menjadikan saya sengsara selamanya. Engkau boleh memutuskan harapanku, engkau pun sanggup membunuhku." "Kalau demikian, hari inilah saya terangkan di hadapanmu, di hadapan cahaya matahari yang baru naik, di hadapan roh ibu bapa yang sudah sama-sama berkalang tanah, saya katakan: Bahwa jiwaku telah diisi sepenuh-penuhnya oleh cinta kepadamu. Cintaku kepadamu telah memenuhi hatiku, telah terjadi sebagai nyawadan badan adanya. Dan selalu saya berkata, biar Tuhan mendengarkan, bahwa engkaulah yang akan jadi suamiku kelak, jika tidak sampai di dunia, biarlah di akhirat. Dan saya tiadakan khianat kepada janjiku, tidak akan berdusta di hadapan Tuhanku, dan di hadapan [66] arwah nenek moyangku," ujar Hayati. "Berat sekali sumpahmu Hayati?" "Tidak berat, demikianlah yang sebenarnya. Dan jika engkau, kekasihku, berjalan jauh atau dekat sekalipun, entah tidak kembali dalam masa setahun, masa dua tahun, masa sepuluh tahun, entah hitam negeri Batipuh ini baru engkau kembali ke mari, namun saya tetap menunggumu. Carilah bahagia dan keberuntungan kita kemana jua pun namun saya tetap untukmu. Jika kita bertemu pula, saya akan tetap bersih dan suci, untukmu, kekasihku, untukmu.......... Allah yang tahu bagaimana beratnya perasaan hatiku hendak melepasmu berangkat pada hari ini, tapi apa yang hendak kuperbuat selain sabar. Tuhan telah memberi saya kesabaran, mogamoga kesabaran itu terns menyelimuti hatiku, menunggu di mana masanya kita menghadapi dunia ini dengan penuh kesyukuran kelak." Baru sekarang terbuka rahasia batin yang tersembunyi di hati Hayati, yang selama ini masih dipandang oleh Zainuddin sebagai teka-teki. Sekarang, yakni seketika dia akan bercerai-cerai, dan entah akan bertemu pula entah tidak. Dan pada muka Hayati kelihatan bagaimana hebat peperangannya menahan hatinya. "Baiklah Hayati, saya akan berangkat dengan harapan yang penuh, harapan yang tadinya sebelum kau kelihatan berdiri di sini sudah hampir hilang. Cuma masih ada permintaanku kepada engkau: Kirimi saya surat-surat, dan kalau tak berhalangan, surat-surat itu akan saya balasi pula." "Akan saya kirimi sedapat mungkin, akan saya terangkan segala perasaan hatiku sebagaimana pepatahmu selama ini, dengan surat kita lebih bebas menerangkan perasaan." "Mana tahu, entah lama pula kita akan bertemu. Berilah saya satu tanda mata, azimatku, dalam hidupku, dan, akan kuwasiatkan meletakkan dalam kafanku jika kumati. Berilah, meski pun suatu barang yang semurah-murahnya bagimu, bagiku mahal semua." [67] Termenung Hayati sebentar. Tiba-tiba dibukanya selendang yang melilit kepalanya, dicabutnya beberapa helai rambutnya, diberikannya kepada Zainuddin: "Inilah, terimalah! Selamat jalan........" Digamitnya adiknya Ahmad itu dengan tangannya dia pun berpaling muka, berjalan dengan secepat-cepatnya menuruti jalan raya itu dan membelok ke jalan kecil yang menuju kampung halamannya, sementara Zainuddin tak dapat berkata sepatah juga lagi. Tidak berapa menit kemudian, kelihatanlah dari jauh sebuah bendi yang sedang mendaki dan kudanya berjalan dengan gontai, muatannya kosong, bendi itulah yang mengejutkannya, sehingga terhenti dari tekurnya.

"Menumpang ke Padang Panjang," ujarnya.

9. DI PADANG PANJANG
TIDAK berapa jauh jaraknya dusun Batipuh dengan kota Padang Panjang, kota yang dingin di kaki gunung Singgalang itu. Tetapi bagi Zainuddin, dusun itu telah jauh, sebab tak dapat bertemu dengan Hayati lagi. Apalagi budi pekertinya terlalu tinggi, kalau budinya rendah, sejam atau dua jam, tentu dia telah dapat menemui Hayati. Dipilihnya tempat tinggal di kampung Silaing, penurunan akan menuju kota Padang, yang dari sana dapat dilihat kaki Singgalang dengan bukit-bukitnya yang penuh ditumbuhi tebu. Di sana dapat pula didengarkan derum sungai Anai yang mengalir dahsyat. Apalagi sunyi dan sepi serta merawankan hati, suatu kampung yang amat disukai oleh penya'ir. Mula-mula saja dia tinggal di Padang Panjang, telah dikirimkan sepucuk surat kepada mak Base, yang di dalamnya ditulisnya serba ringkas bagaimana penanggungannya tinggal di Minangkabau. Tidak lama kemudian datang balasan dari orang tua yang dikasihinya itu, mengajaknya lebih baik pulang saja kembali ke Mengkasar, sementara dia masih hidup. Tapi Zainuddin tidak hendak kembali sebelum maksudnya berhasil dia hendak memperdalam penyelidikannya dari hal ilmu dunia dan akhirat, supaya kelak dia menjadi seorang yang berguna. Memang sejak meninggalkan Batipuh, telah banyak terbayang cita-cita dan angan-angan yang baru dalam otak Zainuddin. Kadang-kadang terniat di hatinya hendak menjadi orang alim, jadi ulama sehingga kembali ke kampungnya membawa ilmu. Kadang-kadang hapus perasaan demikian, dan timbul niatnya hendak memasuki pergerakan politik, menjadi leider dari [69] perkumpulan rakyat. Kadang-kadang dia hendak menjadi ahli sya'ir, mempelajari kesenian yang dalam. Itulah tiga tabi'at, tiga kehendak yang mengalir dalam darahnya, yang terbawa dari turunannya. Sebab ayah dari ibunya, yaitu Daeng Manippi, seorang beribadat, demikian juga ayahnya di hari tuanya. Ibunya seorang perempuan pehiba hati, thabi'at ahli sya'ir. Terlunta-luntalah keadaannya seketika dia mula-mula menjejak Padang Panjang itu, belum juga tentu haluannya. Beberapa hari kemudian, hari Jum'at, di waktu orang-orang dari dusun, dari Gunung, Batipuh Pitalah, Sumpur, Kota Lawas dan sekitar kota Padang Panjang pergi ke pasar, datanglah Ahmad adik Hayati, membawa sepucuk surat buat Zainuddin, demikian bunyinya:

Kekasihku Tuan! Meski pun tak berapa jauh antaranya Batipuh dengan kota Padang Panjang, namun engkau telah terptsah dar, padaku, engkau telah jauk Dan pada persangkaanku sukar pula kites akan bertemu lugi, karena boleh dikatakan berpagar aur berkeliling, langkah senantiasa dicurigai oleh keluaga Meski pun di Padang Panjang id ada rumah seorang sahabatku, Khadijah, tentu pula saya tak dapat datang dengan leluasa ke sana, sebab saya telah diberhentikan dari sekolah. Kalau tak ada sebab-sebab yang panting tak boleh keluar rumah. Telah jauh engkau sekarang, kekasihku, alangkah besarnya kemalanganmu dan kesengsaraanku. Alangkah gelapnya dunia di sekitarku. Saya telah menipu diri sendiri seketika saya memberi nasehat menyuruhmu berangkat meninggalkan Batipuh. Pada sangkaku ketika itu sebagai kuterangkan kepadamu saya akan

sanggup sabar menahan hati berpisah dengan engkau. Tetapi setelah wajahmu yang muram itu, mata yang selalu membayangkan kedukaan, perkataan yang selalu menimbulkan kesedihan, setelah semuanya hilang dari mataku barulah saya insaf bahwa saya ini seorang gadis yang lemah hati yang tak kuat, tak sanggup menanggung kedukaan dan kewdihan kbih dari pada mestinya. Saya nasehatkan supaya engkau berangkat, ialah karena perintah pertimbangan akal, memikirkan akibat dan ancaman. Tetapi setelah engkau [70] pergi, perasaan hati yang tadinya dikalahkan oleh pertimbangan telah memberontak kembali, wajahmu, mukamu, matamu, semuanya kembali terbayang. Payah saya menahan air mataku seketika melepasmu pergi. Takut saya akan menangis supaya engkau jangan terlalu bersedih, sebab sudah amat cukuplah penghinaan yang engkau tanggungkan dari pada mamakku. Dan seketika air mata tak tertahan lagi, itulah sebab saya berpaling pulang dan tidak saya lihatkan engkau sampai sehilang-hilangnya dari mataku. Sekarang, air mata yang tertahan itu, telah melimpah, bergelora menyebabkan kurus badanku. Alangkah pahitnya perpisahan, alangkah sukarnya menghadapi semua soal ini. Sehari setelah engkau pergi, saya pergi dengan mak-tengahku ke sawah hendak melihat lada yang baru ditanam, sawah tempat kita bertemu tempo hari. Saya cari engkau di sana, engkau tak ada. Saya naik ke dangau tempat kita berhenti, tempat mula-mula engkau mengetahui rahasia hatiku, di situ pun engkau tak ada, engkau sudah jauh, engkau tak akan datang lagi. Oh, itu dangau, dia seakan-akan berkata, bangku yang kita duduki seakan-akan berberita. Seketika akan saya seberangi bandar tempat engkau jatuh, bandar itu masih tetap sebagai sediakala, tetapi engkau sudah pergi. Di situlah saya insaf, bahwa hari yang telah lalu itu memang telah lalu, hari yang dahulu memang telah pergi, mengulang jejak yang lama sudah sukar, yang tinggal hanyalah peringatannya saia. Di sanalah, kekasihku, di waktu itulali air mataku tak tertahan lagi, sehingga mak-tengah yang selama ini belum kenal benar akan rahasiaku, telah mendapat rahasia itu semuanya, dan telah turut menangis lantaran tangisku. Tangis orang lain itulah yang sedikit dapat meringankan tanggungan hatiku. Sekarang dalam kesedihanku telah ada saya berkawan, duduk perkara yang sebenarnya telah kunyatakan kepada mak-tengahku, mak-tengah Limah. Tapi dia pun hanya seorang perempuan, pertolongannya hanyalah sekadar menangis pula Setelah sampai di rumah, saya perbuat surat ini kepadama Kakandaku Zainuddin, bilakah kita akan bertemu pula dengan leluasa, bilakah itu hari yang beruntung, hari yang berlalu sebagai mimpi, akan datang kepada kita kembali. Hayati.
Hari Jum'at di mukanya, surat itu telah dibalas oleh Zainuddin, demikian bunyinya: [71]

Adinda Hayati! Nasib adinda adalah lebih beruntung dari pada nasibku; adinda masih dapat melihat dangau tempat kata bertemu, sawah tempat kita bermain, halaman luas tempat adinda menlemurkan padi, ketika dagang melarat ini dapat melihatmu duduk termenung menggoyang-goyang panggalan dari talang masak; semuanya dapat kau lihat. Sedang saya sendiri, dari jauh menarik

nafas panjang dan mengeluh, sebab alam sekelilingku yang ramai bagi orang lain, sepi rasanyo bggi diriku. Sejak meninggalkan Batipuh, terasa benar olehku bahwu saya ini seorang dagang di sini, jauh dari kampung halaman, jauh dari tanah darah tertumpak Sedangkan di Batipuh saya tak diakui orang sama, kononlah di dalam kola begini, yang hidup manusia "siapa lu, siapa gua." Adinda Hayati! Petaruhmu seketika saya akan berangkat, masih kugenggam erat, masih kupegang teguh. Begini sulit, begini gelap dan samar haluan yang akan kuturut, namun saya tak pernah purus asa,sebab masih berdenging dalam telingaku rasanya petaruhmu, menyuruh berani, menyuruh tetap hati, keras kemauan dan sabar menempuh kesulitan hidup. Kalau bukan karena itu, telah putus asa saya menghadapi pahit hidup, mau agaknya saya menyesali nasib, tersesat kepada dosa yang maha benar, yakni mengupat Tuhan, menyalahi takdir. lanjimu, bahwa jasmani dan rohanimu, telah dipatrikan oleh kasih cinta dengan daku, adalah modalku yang paling mahaL Biarlah dunia ini karam, biarlah alam ini gelap, biarlah ... biarlah seluruh manusia melengongkan mukanya ke tempat lain bila bertemu dengan aku, biarlah segenap kebencian memenuhi hati insan terhadap kepada diriku, dan saya menjadi tumpahan kejemuan hati manusia, namun saya tak merasa berat menanggungkan itu sremuanya, sebab kau telah bersedia untukmu. Hayati! Kirimi saya surat banyak-banyak, terangkan kepadaku perkaraperkara, baik yang kecil atau yang benar, bujuk aku, sesali aku, marahi kalau kau pandang baik. Ketahudah bahwu dengan demikian, aku akan merasa keindahan dan kelazatan bercerai-cerai, ganti dari keindahan bertemu. Dan biarlah Tuhan Allah memberi perlindungan bagi kita semuanya. Zainuddin.
Bersamaan dengan surat yang diterima Zainuddin itu, [72] Khadijah, sahabat Hayati, menerima surat pula, demikian bunyinya:

Ija! Jangan kau bosan menerim suratku. Masih bertimpa-timpa saja kesedihan yang mendatangiku. Kepada siapakah akan kuadukan hatiku, kalau bukan kepadamu jua? Sebab aku tahu, aku insaf engkau seorang anak perempuan yang bermuka rung, yang beralam lebar, yang tak sudi membiarkan kesedihan berkuasa di hatimu. Alangkah jauhnya perbedaan hati kata Ada yang akan kuterangkan kepadamu. Zainuddin, anak muda yang telah berapa kali kuterangkan kepadamu itu, telah tidak ada di Batipuh lagi, telah pergi. Perginya seakan-akan kena usir. Semua orang membenci dia, orang yang tak tentu asal, hendak mengacau dalam kampung orang beradat, demikian tuduhan mereka kepadanya. Tahukah engkau kemana dia pergi? Tak jauh...... Dia di sini, didekatmu di Padang Panjang! Meski pun dalam surat-suratmu, kerap kali engkau mentertawakan saya, mengatakan bahwa kecintaan saya kepadanya hanyalah karena digila bayang-bayang, angan-angan yang mulamula timbul dalam hati seorang anak gadis yang berangkat besar; percayalah sahabatku, bahwa Zainuddin orang baik, lurus, pendiam, penyantun dan amat pantas dikasihani. Engkau tak menghargakan dia, sebab engkau belum berkenalan dengan dia.

Sangat ingin hatiku hendak ziarah kepadamu, hendak menjejak kota Padang Panjang. Tetapi engkau sendiri telah tahu, bahwa sekolahku telah "tammat," mengajiku telah "khatam," "diplomanya" kudapat bukan dari guru, melainkan dari mamakku. Kalau tak ada keperluan penting, saya tak boleh lagi ke mari. Tetapi saya sabar, saya masih menunggu dengan penuh kepercayaan, bah wa pada suatu kali kelak, saya akan menjejak rumahmu juga. Moga-moga engkau beruntung dalam hidupmu, sahabatku! Hayati.
Padang Panjang ........... Sebelum terjadi pemindahan pasar dari Pasar Usang ke Pasar Baru, adalah kota tersebut menjadi pusat pemiagaan yang terbesar [73] di bawah Padang, sebagai kota Bukittinggi pada hari ini. Sampai terjadi peperangan dunia 1914-1918 yang hebat itu, kota Padang Panjang masih memegang kejayaan dalarn urusan perdagangan. Pada masa itu masih dapat dilihat tokotoko yang besar, kedai kain yang permai, berleret sepanjang Pasar di Atas dan Pasar di Bawah, dekat jalan ke mesjid Raya menuju Lubuk Mata Kucing. Di sanalah saudagar-saudagar yang temama berjuang hidup memperhatikan jalan wang dan turun-naiknya koers Wang. Saudagarsaudagar yang temama, sebagai H. A. Majid, H. Mahmud, Bagindo Besar, H. Yunus, adalah memegang tampuk negeri tersebut, sekian ramanya. Krisis perniagaan yang terjadi sehabis perang dunia telah menyebabkan kota itu lengang, saudagar-saudagar yang masyhur dan temama telah banyak yang meninggal dunia, yang muda-muda banyak yang jatuh, sehingga dalam setahun dua saja, lenganglah negeri itu. Saudagar-saudagar telah pindah ke Padang, Bukittinggi dan ada yang menyeberang ke negeri lain. Maka rumah-rumah besar, toko-toko yang indah dan kedai-kedai kain yang dahulunya dipenuhi oleh kain beraneka wama, kosonglah. Negeri Padang Panjang sepi jadinya, bagai negeri dialahkan garuda. Tetapi kesepian itu tidak dibiarkan lama oleh keadaan. Karena dalam tahun 1916 tuan Zainuddin Labay mendirikan sekolah Diniyah, satu sekolah agama yang mula-mula di Sumatera Barat, timbalan dari sekolah Adahiyah di Padang. Dalam tahun 1918 didirikan orang Sumatera Thawalib yaitu murid-murid dati tuan guru Haji Rasul yang dahulunya belajar secara pondok, model yang lama, telah diobah aturan pelajarannya dengan aturan sekolah pula, dengan kebijaksanaan seorang guru muda, bemama Hasyim dari Tiku. Pada masa itu pula, Gubernemen mendirikan Sekolah Normaal di Padang Panjang. Maka lantaran itu ramailah Padang Panjang kembali, bukan ramai oleh perniagaan, tetapi ramai oleh murid-murid mengaji, murid sekolah, murid sekolah Normaal yang datang dari seluruh Sumatera. Sekolah Normaal tidak begitu kelihatan ramainya, karena [74] keluarnya hanya sekali seminggu. Tetapi murid-murid sekolah agama itu telah memenuhi rumah-rumah yang kosong tadi, sebab tidak termuat lagi di surau Jambatan besi, meskipun telah diperbesar. Dalam tahun 1923 bergoncang pergaulan murid-murid sekolah-sekolah agama itu lantaran salah seorang di antara guru-guru yang begitu banyak, pulang dari perlawatannya ke tanah Jawa telah membawa faham "Merah" (Komunis), sehingga sebagian besar murid-murid kemasukan

faham itu. Dan lakon kota Padang Panjang yang lama telah dihabisi oleh gempa bumi-yang dahsyat pada 28 Juni 1926. Kota itu adalah kota kemajuan. Murid-murid sekolah agama yang belajar di sana, telah merobah bentuk "orang siak" atau santeri pelutuk, yang tersisih dari masyarakat lantaran hanya mengetahui kitab-kitab bahasa Arab, dengan kepala dicukur, kain pelekat kasar dan baju gunting Cina. Semuanya telah ditukar dengan model yang baru, murid-murid telah boleh berdasi, boleh berpakaian cara Barat, karena agama bukan pakaian, tetapi sanggup bertempur, berjuang di dalam menjalankan agama. Dalam pada itu, oleh guru-guru diizinkan pula muridmurid mempelajari musik, mempelajah bahasa asing, sebagai Belanda dan Inggeris. Sekali dalam setahun, di Padang Panjang diadakan pacuan Kuda dan Pasar Malam, bernama keramaian adat negeri. Adat ini dilakukan di tiap-tiap kota yang terbesar di Sumatera Barat, sebagai Batu Sangkar, Payakumbuh, Bukittinggi dan Padang. Maka keluarlah bermacam-macam pakaian adat lama, berdestar hitam, bersisit keris, menyandang kain sumbiri, sejak dari yang muda, sampai kepada penghulu-penghulu. Kaum perempuan dari kampung-kampung memakai tikuluk pucuk. Pendeknya bertemulah di kota tersebut tiga perjuangan bentuk masyarakat. Bentuk adat lama yang dipertahankan oleh penduduk kampung, bentuk pakaian secara orang agama yang modern di dalam kota, dan bentuk "angku-angku," yang pada masa sekarang [75] ini biasa disebut "intelektuil," meskipun kadang-kadang sebutan itu tak mengenai kepada artinya yang sebenamya. Di kota itulah Zainuddin belajar agama. Dalam mempelajari agama diambilnya juga pelajaran bahasa Inggeris, dan memperdalam bahasa Belanda. Malam dia pergi kepada seorang sersan pensiun di Guguk Malintang mempelajari permainan biola. Kadangkadang diikutinya pula sersan itu bermain di medan yang ramairamai. Karena menurut keyakinannya adalah musik itu menghaluskan perasaan. Di Padang Panjang itu baru dapat Zainuddin menyampaikan citacitanya seketika dia berniat hendak meninggalkan Mengkasar dahulu.

10. PACU KUDA DAN PASAR MALAM
HAYATI sedang menggarakan padi di halaman, duduk di atas kursi yang telah tua di bawah lumbungnya "sitinjau laut," sebuah panggalan talang masak terpegang di tangannya. Tiba-tiba datang lah seorang anak kecil, yang tadi kembali dari Kubu Kerambil membawa surat dari Padang Panjang. Berdebar hati Hayati menerima surat itu, tetapi kuranglah debarnya setelah dilihatnya bahwa alamat surat itu dari tulisan perempuan. Ia kenal tulisan itu, tulisan Khadijah sahabatnya. Dia naik ke atas rumah, terus sekali naik anjung, di sanalah dibukanya sampul surat itu, Demikian bunyinya:

Sahabatku Hayati! Suratmu yang terkirim 2 Jum'at yang lalu telah mafhum saya isinya Engkau mengatakan ingin sekali hendak bertemu dengan daku, hendak ziarah ke Padang Panjang, tetapi waktu yang terluang belum ada, halangan amat banyak dari mamakmu. Saya tahu itu, engkau ingin hendak ke Padang Panjang, menjejak tepi Guguk Malintang saja pun jadilah, engkau hendak mengisap udara di negeri tempat tinggal kekasihmu Zainuddin. Sayang, saya belum berkenalan dengan dia dan belum tahu bagaimana rupanya Bagairmnakah agaknya bentuk anak muda yang telah beruntung beroleh hatimu, berokh jiwumu, yang telah beruntung engkau ratapi, engkau puji dan engkau junjung dalam suratmu itu? Siapakah dia, bagaimanakah agaknya rupanya, orang yang engkau izinkan mencintai Hayati, bunga melur sunting Batipuh; limpapas rumah nan gedang itu? [77] Hayati! Tentu orang yang sebagai Egkau ini banyak memperhatikan perjalanan tanggal bulan muda dan bulan tua. Tentu engkau ingat, bahwa bulan di muka telah masuk bulan Juni. Sudahkah direkatkan orang di stasiun Kubu Kerambil, atau di lepau di lubuk Bauk, programa pacuan kuda dan pasar keramaian. Alangkah ramainya pacuan dan keramaian kelak engkau boleh datang ke Padang Panjang, tinggal di rumahku seminggu lamanya, lepaskan teragak hatimu, kecap udara pagi yang dibawa angin dari puncak Singlalang, Merapt dan Tandikat. Bila hari panas kita pergi mandi-mandl ke Lubuk Mata Kucing. Tentu ayah dan bundaku - karena kami di kota bukan di bawah pengaruh mamak - akan memberi izin apalagi saudaraku Aziz yang bekerja di Padang dapat pula perlop 14 hari. Dialah jadi teman kita kelak. Minta izinlah kepada mamakmu, datanglah ke Padang Panjang kamarku sendiri akan kuhiasi, ditentang pintu akan kutanamkan bunga keranyam, bunga yang sangat engkau sukai, yang rupanya kesat dan hanya daunnya saja yang harum, tidak pernah berbunga selama hidupnya tetapi selalu kulihat engkau siramdipot bungamu di Batipuh. Kepada Mak-tengah Limah, sampaikanlah salamku. Khadijah.

Sekarang keramaian pacuan kuda yang akan berlangsung itulah yang menjadi pembicaraan di dalam kampung, apalagi pacu kuda disamakan dengan pasar keramaian. Orang telah bersediasedia pakaian yank baru, anak-anak muda menyediakan pakaian adat, perempuan-perempuan menyediakan tikuluk punuk, atau pakaian biasa yang lazim di kampung. Akan hal Hayati sendiri, karena perayaan itu terjadi hanya sekali setahun, bukan dia saja yang akan pergi, malah isi kampung akan berduyun-duyun, [78] dia diberi izin oleh mamaknya tinggal di Padang Panjang di rumah sahabatnya Khadijah itu, akan ditemani oleh Mak-tengahnya sendiri. Mak-tengah Limah. Alangkah besar hati Hayati beroleh izin itu. Karena bukanlah niatnya hendak melihat kuda berlari, saja, tetapi dalam batinnya hendakbertemu dengan kekasihnya Zainuddin, sekurangkurangnya bertemu di jalan. Dan bagi Mak-tengah Limah yang mengetahui hal ini didiamkannya saja. Karena biarlah gadis malang itu melepaskan hatinya agak sejenak, sebab pertemuan mereka selamanya akan terhalang juga. Dibuatnya sepucuk surat kepada Zainuddin.

Abangku Zainuddin Lepas nafasku yang sesak nasanya, sebab saya telah diberi izin oleh rramak ke Padang Panjang, bust lamanya 10 hari yaitu selanra pacuan kuda dan pasar keramaian. Saya akan tinggal di rumah sahabatku Khadijah, seseorang sahabat yang setia. Alangkah beruntungnya kita, jika kita dapat bertemu muka pada tiap-tiap hari pacuan dan keramaian, untuk mengobat hati kita dan menghilangkan gundah yang bersarang. Agaknya hari Jum'at saya akan ke kota. Hayati.
Pada hari Jum'at yang ditentukan itu, berangkatlah Hayati bersama Mak-tengahnya ke Padang Panjang. Baru saja dia sampai, telah disambut oleh Khadijah dan ibunya bersama seorang saudara nya laki-laki yang selama ini bekerja di Padang. Seorang anak laki-laki yang gagah dan tangkas pula, yang perlop dari pekerjaannya buat beberapa hari lamanya. Aziz namanya. Kedua bersahabat ini, Hayati dan Khadijah, amat berlain sekali pendidikan dan pergaulannya. Yang seorang anak kampung, yang tinggal di dalam dusun dengan keadaan sederhana, hidup di [79] dalam rumah yang dilingkungi adat dan berbentuk kuno. Kehidupan di kampung yang aman itu menyebabkan jiwanya biasa dalam ketenteraman, berlain sekali dengan pembawaan Khadijah dan lingkungan keluarganya. Khadijah orang kota, tinggal di rumah bentuk kota, kaum kerabatnya pun telah dilingkungi oleh pergaulan dan hawa kota, saudara-saudaranya bersekolah dalam sekolahsekolah menurut pendidikan zaman baru. Susunan perkakas yang ada dalam rumahnya, tentu saja jauh lebih menarik dari pada keadaan di kampung. Meski pun senantiasa Khadijah menunjukkan mukanya yang manis, kepada Hayati, namun sehari dua itu, Hayati masih kaku, apalagi kalau bukan dengan saudara yang kandung, amat berat rasanya berdekat-dekatan duduk dengan laki-laki lain, tetapi di rumah Khadijah, yang bersaudara laki-laki itu, dan saudara laki-laki itu pun banyak pula mempunyai teman sahabat, yang leluasa dalam rumah itu, semuanya menyebabkan Hayati lama sekali baru dapat menyesuaikan diri dalam rumah tersebut. Dilihatnya pakaiannya, dilihatnya pakaian Khadijah,

dilihatnya pakaian gadis-gadis lain yang berkeliaran dalam rumah itu menandangi Khadijah, terasa benar olehnya rendahnya. Dia -hanya memakai baju berkurung panjang, selendang yang tiada pernah tanggal dari kepala, sedang kawan-kawannya yang lain, di antaranya Khadijah, setengahnya memakai rok, setengahnya berbaju kebaya Bandung yang dijahit menurut model yang paling baru. Tetapi kaku dan bingung itu hanya sehari dua hari, di hari yang ketiga sudah mulai agak hilang, meskipuri masih berkesan. Semalam sebelum datang waktunya orang berpacu, Khadijah telah mengatur perjalanan mereka beresok, akan diambil beberapa kursi di tribune, mereka akan duduk menonton di sana. Tiga orang anak gadis keluarganya dari Lubuk Alung dan dari Bukittinggi, akan turut, dan akan ditemani oleh Aziz sendiri dan 4orang temannya pula, jadi sepasang-sepasang. [80] Besoknya pagi-pagi, mereka telah bangun. Khadijah tengah asyik berhias di dalam kamarnya, Hayati telah membuka bungkusannya pula, dikeluarkannya selendang sutera yang bersuji tepinya, baju berkurung benang sering yang halus, sarung batik Pekalongan dan selop. Aziz duduk di luar sambil bersiul; tidak berapa lama kemudian datanglah teman-temannya; yang seorang mengepit pesawat "kodak," yang seorang pula membawa teropong kecil, untuk pelihat kuda, yang berdua lagi kegagahan, yang seorang mengatasi yang lain. Setelah selesai, keluarlah kedua gadis itu dari kamar masingmasing. Mak-tengah Limah pun telah ke luar pula bersama ibu Khadijah, hendak melihat gadis-gadis itu. Demi setelah bertemu di beranda muka, Khadijah terkejut melihat pakaian kawannya. Setelah tercengang beberapa lamanya dia berkata: "Pakaian apa yang kau pakai ini, Hayati? Apakah kau hendak sebagai "lepat" dibungkus?" Hayati melihat kepada Khadijah tenang-renang. Tercengang dia melihat pakaian yang dipakai sahabatnya itu: Kebaya pendek yang jarang, dari poal halus, dadanya terbuka seperempat, menurut mode yang paling baru. Kutang pun model baru pula, sehingga agak jelas pangkal susu, dan tidak memakai selendang. Sarung ialah batik Pekalongan halus, berselop tinggi tumit pula, di tangan memegang sebuah tas, yang di dalamnya cukup tersimpan cermin dan pupur. Sedangkan dia sendiri, Hayati berpakaian jauh bedanya dari itu, pakaian cara kampung. Merengut Khadijah sekali: "Lebih baik. kau pergi ke surau saja. Hayati, jangan ke pacuan!" "Saya malu memakai pakaian demikian, Khadijah, tidak cocok dengan diriku, aku tak biasa." "Itulah yang akan dibiasakan." "Pakaian begini tak diadatkan di negeri kita." "Dahulu yang tidak, kini inilah pakaian yang lazim." "Saya tidak mau membuka rambut." [81] "Membuka rambut apakah salahnya? Bukankah panas kalau selalu ditutup saja?" "Sebetulnya saya tidak mempunyai pakaian yang demikian," kata Hayati pula. "Itu gampang pakailah pakaianku, itu tersedia dalam lemari, berapa saja kau mau." Setelah bertengkar-tengkar, yang hampir saja menyebabkan Hayati tak jadi pergi, tetapi mengingat hendak bertemu dengan Zainuddin nanti, dipakainya juga pakaian itu. Mula-mula mengalir keringat di dahinya karena belum biasa. Berat baginya hendak membuka selendang yang telah melilit kepalanya, geli seluruh badannya akan menyinggung baju yang masih ganjil

baginya. Yang rumit pula, seketika dia meminta pikiran kepada Mak-tengahnya, dia hanya menyerahkan kepadanya saja, tak menyuruh tak melarang. Mula-mula keluar dari rumah itu, badannya bagai bayangbayang. Aziz yang menemaninya tersenyum simpul saja melihatkan. Tetapi kian selangkah kian hilanglah malunya memakai pakaian yang belum biasa itu. Lamalama perasaan itu hilang juga. Sebab di jalan telah dilihatnya, bukan dia saja berpakaian demikian. Demi ketika akan masuk ke pacuan, malunya telah hilang dan telah lupa, sebab telah karam dalam sorak-sorai orang banyak. Bukan main ramainya orang sekeliling gelanggang itu, laki-laki dan perempuan. Apakah yang menarik hati orang kepada kuda berlari? Bukan orang hendak melihat kuda, tetapi manusia hendak menonton manusia jua. Tribune sudah hampir penuh, di sanalah orang yang mampu duduk bertaruh kuda, mempermainkan wang. Penghulu-penghulu kepala, di sanalah kerapkali menekorkan kas negeri, karena malu kalau tak ikut bertaruh atau tidak ikut menuangkan berendy. Tiba-tiba berbunyilah lagu "Wilheimus," orang berdiri dari tempat duduk masing-masing, tuan Asisten-Residen datang. Pacuan akan dimulai. [82] Dari jauh, di antara manusia yang telah datang berduyun-duyun menuju tepi pagar pacuan, kelihatan seorang anak muda berjalan dengan gontai dan tenangnya. Mukanya muram, rambut nya telah panjang, rupanya kurang disisir meskipun bajunya bersih, tetapi tidak memakai dasi. Bersarung, padahal orang muda yang lain berpentalon. Dia pergi ke dekat pagar akan ke tribune, rupanya seakan-akan ada orang yang ditunggutunggunya. Tiba-tiba datanglah serombongan anak muda laki-laki dan perempuan akan masuk ke tribune itu, berjalan sambil tertawa riang. Di antara orang sebanyak itu ada seorang anak perempuan, yang dilihat oleh anak muda itu dengan mata tenang tak terpejam sedikit juga. Dilihatnya, hampir dia tak percaya kepada dirinya. Di muka pintu itu benar bertemulah kedua orang muda itu, yang perempuan terkejut dan terpaku tegak, dialah Hayati. Yang laki-laki tergugup dan sangat terbingung, itulah Zainuddin. "Kau........... Hayati?" "Zai..........nuddin ......" Tertegun langkah Hayati, sehingga langkah kawan-kawannya, yaitu Khadijah dan 3 orang gadisgadis muda yang lain itu tertegun pula. Apalagi Aziz dan teman-temannya. "Mengapa terhenti Hayati?" tanya Khadijah, sainbil melihat tenangtenang kepada Zainuddin dengan penglihatan menghina. "Kenapa tertegun? Dan siapakah ini?" tanya Khadijah sekali lagi. "Inilah sahabatku, Zainuddin!" "Oooo....ini orang yang kerap kali engkau sebut-sebut itu rupanya." Ditariknya tangan Hayati ke dalam, disendengnya Aziz dengan sudut matanya, sambil tersenyum. Aziz pun tersenyum, kawan-kawannya yang lain tersenyum pula. Mereka terus ke dalam tribune. Zainuddin tinggal berdiri seorang dirinya. Jelas terdengar dan nampak nyata blehnya anak-anak muda itu setelah jauh dari dia, tertawa terbahak-bahak, hanya Hayati seorang yang berjalan menekurkan muka sehingga lantaran kebingungan hampir terlepas [83] tas yang dipegangnya dari tangannya.

Rasa-rasanya pusing kepala Zainuddin melihat kejadian itu, mengalir keringat dingin di keningnya. Dia tegak termangu, suara hinik-pikuk kelilingnya. seakan-akan tak didengarnya. Kuda yang baru dilepas telah disorak-soraki orang berkal -kati. Sebentar kedengaran "Again........Again." Sebentar kedengaran "Padang......Padang" dan seterusnya, namun Zainuddin belum juga insyaf di mana dia sekarang. Khadijah dan Aziz, dan kawan-kawannya yang lain tersenyum-senyum saja melihat Hayati. Sambil mengeluarkan senyuman yang agak pahit artinya. Khadijjah berkata, sambil melihat kepada Zainuddin yang berdiri di tepi pagar itu: "Itulah rupanya orang yang engkau puji-puji itu, Hayati?" Seorang temannya berkata pula: "Rupanya alim betul kenalanmu itu!" "Orang banyak berpikir memang begitu," kata yang seorang pula. "Tapi model pula saya lihat baju buka ditutupkan kelepaknya dan tidak mcmakai dasi," kata yang lain. "Sarungnya sarung Bugis," kata yang seorang. "Memang dia orang Mengkasar," kata Khadijah pula. "O, jadi bukan orang sini?" kata yang seorang. Tiba-tiba datanglah seorang opas mengusiri orang yang tegak di tepi pagar, karena tak boleh terlalu dekat. Zainuddin turut terusir dengan orang banyak........... Teman-temannya tertawa terbahak-bahak melihatkan kejadian itu, sedang keringat telah mengalir di dahi Hayati, mukanya merah dan ditekurkannya ke bumi. Orang banyak bersorak-sorak melihat kuda yang menang, anak-anak muda itu turut bersorak, hanya Hayati saja yang terdiarn. "Ai, mengapa mukamu merah Hayati?" tanya Khadijah. "Kepalaku sangat sakit," katanya, "lebih baik kita segera pulang." Tidak berapa saat mereka duduk dalam tribune itu mereka pun pulanglah ....... Memang berbeda sekali perasaan jiwa laki-laki dengan perempuan, sebagaimana berlainnyakejadian tubuh kasarnya. Laki-laki dan perempuan sama-sama mencukupkan kehidupan dengan per cintaan. Tetapi filsafat kedua belah pihak dalam perkara cinta, amat berbeda, laksana perbedaan siang dengan malam, tegasnya perbedaan Adam dengan Hawa. Laki-laki bilamana telah menentukan cintanya untuk seorang perempuan, maka perempuan itu mesti jadi haknya seorang, tak boleh orang lain hendak ikut berkongsi dengan dia. Jika perempu an itu cantik, maka kecantikannya biarlah diketaluii olehnya seorang. Jika suara perempuan itu nyaring, biarlah dia seorang yang mendengamya. Sebab itu, kalau ada orang lain yang hendak memuji kecintaannya, atau mengatakan suaranya nyaring, atau menyanjung budi baiknya, semua itu tidaklah diterima oleh laki-laki yang mencintainya tadi. Bertambah banyak orang memuji kecintaannya, bertambah timbullah cernburu dalam hatinya, sebab perempuan itu untuk dia, buat dia, tak boleh buat orang lain. Tetapi takdirnya ada orang yang mencela, mengatakan perempuan yang dicintainya itu buruk tidak serupa perempuan lain, kalau ada orang yang menunjukkan belas kasihan kepadanya, sebab dia telah memberikan cinta hati kepada seorang perempuan, yang kecantikannya tidak patut mendapat penghargaan setinggi itu, kalau ada orang mencatat, merendahkan, maka semuanya itu bagi laki-laki yang bercinta tadi, akan menambah patri cintanya dan menambah harga perempuan itu di matanya.

Tetapi cinta perempuan kepada laki-laki sebaliknya dari itu. iaki-laki pada pemandangan perempuan adalah laksana dukuh [85] emas yang tergelung dilehernya, atau gelang bertatah berlian yang melilit tangannya, perhiasan yang akan dibanggakannya kepada kawan sesama gedangnya. Seburuk-buruk kecintaannya akan lupa dia keburukan itu, kalau laki-laki lain atau perempuan lain memujinya dekat dia, mengatakan dia seorang laki-laki yang tangkas berbudi, temama, termasyhur dan lain-lain sebagainya. Maka nyatalah bahwa cinta perempuan kepada laki-laki lebih banyak berdasarkan ketakburan dari pada kenafsuan. Pengakuan orang lain atas kemuliaan kecantikannya atau tunangannya atau suaminya, bagi seorang perempuan adalah sebagai satu kemenangan di dalam perjuangan. Oleh sebab yang demikian, tidaklah patut kita heran, jika Hayati termenung, mukanya tertekur, kepalanya berasa sakit, melihat kecintaannya tidak segagah orang lain, tidak sepandai orang lain memakai pakaian, seakan-akan orang yang tersisih. Selama ini, tidak ada dunia bagi Hayati lain dari Zainuddin, belum ada keindahan alam yang dipandangnya selain Zainuddin. Kegagahan laki-laki adalah perbuatan Tuhan, Zainuddinlahpatrinya. Kalau hendak mencari seorang pemuda yang lurus dan yang baik hati, itulah Zainuddin. Orang cela manusia yang paling dicintainya, karena mereka tiada kenal siapa dia. Dia mengeluh dan berkata seorang dirinya: "Mereka tiada kenal bagaimana kemuliaan batin Zainuddin, mereka tak tahu bahwa di balik pakaian yang kurang sempuma itu tersimpan hati yang baik. Mereka cela dia, sebab mereka tiada kenal siapa dia. Kalau mereka tahu siapa dia, tentu akan mereka hormati, sebab di sanalah tersimpan satu hati yang bersih dan jiwa yang besar." Termenung dia seorang diri dalam kamarnya, teringat akan mimpi dan angan-angan Zainuddin terhadap dirinya, teringat dia bahwa anak muda yang melarat itu tak berhenti dirundung malang. Dahulu, dia sangat betas kasihan melihat nasib Zainuddin, [86] dari belas kasihan mendakilah dia kepadacinta. Maka pada ketika itu, belas kasihan itu timbullah pala. kembali, sambil menarik nafas yang panjang dan dalam, dia berkata: "Kasihan nasibmu Zainuddin." Dari lurah belas kasihan mendaki ke puncak bukit cinta, sekarang telah menurun kembali kepada lurah kasihan. Dan cinta bilamana telah menurun kepada belas kasihan, tandanya lamakelamaan dia akan berangsur turun.

Adikku Hayati Setelah sekian lamanya kita bercerai-cerai, masih saja teringat olehku seketika kau melepasku pergi, di penajunan, di batas antara negeri Batipuh dengan Ekor Lubuk, di antara sawah rang berjenjang, ketika matahari mulai naik. Masih terbayang muramnya muka kau, bagaimana teguhnya sikap kau melepasku. Masih teringat, dan amat jelas, laksana detik suara jam yang didengarkan oleh seorang yang matanya tak mau tidur tengah malam, bagaimana kau menyuruhku sabar, menyuruh saya teguh menempuh bahaya hidup. Jika saya ingot semuanya itu, saya bacai pula surat-surat kita, maka tidaklah sepi rasanya diri saya bercerai-cerai dan berjauhan tempat tinggal dengan kau ......... Pergaulan kota telah mulai menjalar ke kampung-kampung, kedamaian dan kerukunan hidup dalam kampung telah mulai diusik oleh nafsi-nafsi orang kota. Banyak orang tua-tua yang mengeluh dan merasa takut, kalau kalau ketenteraman perentpuan dalant adatnya dan kedantaian pentuda dalam sopannya okan terganggu oleh gelora zaman baru. Tetapi berlain

saya dengan mereka itu selama ini terhadap dirimu. Saya percaya bahwu engkau tak akan terpengaruh oleh segala keadaan yang baru, tetapi akan tenteram dalam lingkungan adinda tinggal, kenal dalam kalangan keluarga siapa adinda dilahirkan, kenal pula didikan agama yang adinda terima, kenal pula bagaimana kerasnya engku Dt......... menjaga anak kemenakannya. Maafkan saya Hayati, jika saya berbicara terus terang, supaya jangan hatiku menaruh dosa walaupun sebesar zarrah terhadap kepadamu. Cinta yang sejati, adikku, tidaklah bersifat munafik, pepat di luar pancung di dalam [87]. Akan saya katakan perasaan hati terus terang, walau pun lantaran itu saya akan kau bunuh misalnya, bahagialah saya lantaran tanganmu. Hayati! .......... Apa yang saya lihat kemaren? Mengapa telah berobah pakaianmu, telah berobah gayamu? Mana baju kurungmu.? Bukankah adinda orang dusun! Saya bukan mencela bentuk pakaian orang kini, yang saya cela ialah cara yang telah berlebih-lebihan, dibungkus perbuatan "terlalu" dengan nama "mode': Kemaren, adinda pakai baju yang sejarang-jarangnya, hampir separoh dada adinda kelihatan, sempit pula gunting lengannya, dan pakaian itu yang dibawa ke tengah-tengah ramai. Kakanda percaya, bahwa yang demikian bukan kehendak Hayati yang sejati, Hayati hanya terturut kepada kehendak perempuan zaman kini. Mereka katakan itulah kemajuan, padahal kemajuan jauh dari itu. Apakah tujuan kemajuan itu kepada perobahan pakaian sampai begitu, Hayati? Hayati, kehidupanku! Pakailah pakaianmu yang asli kembali, lekatkan pakaian dusunmu. Maaflah Hayati, bahwa Hayati sangat cantik, dan kecantikannya itu bukannya dibantu pakaian, tetapi ciptaan sejak dia dilahirkan. Jangan marah Hayati. Kau hanya buat saya seorang, bukan buat orang lain. Biarlah orang lain mengatakan kau perempuan dusun, tak kenal kemajuan pakaian zaman kini, kau Hayati .......... kau hanya untukku seorang. Zainuddin.
Sedang dia asyik membaca surat itu, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, masuklah Khadijah. Hayati mencoba hendak menyembunyikan surat itu ke bawah bantalnya, tetapi direbut segera oleh Khadijah dan dibacanya. Sehabis dibacanya, mukanya merah padam, bibirnya dicibirkan. "Cis, alim betul orang yang engkau cintai ini. Maunya rupanya supaya kau coreng mukamu dengan arang, pakai pakaian orang dusun Batipuh semasa 30 tahun yang lalu, alihkan pertautan sarungmu ke belakang, tindik telingamu luas-luas, masukkan daun tebu yang digulung, supaya bertambah besar dan luasnya, makan sirih biar gigimu hitam, berjalan dengan kaki terangkat-angkat, junjung niru dan tampian. Di mana duduk puji dan sanjung dia, katakan dia seorang laki-laki yang jempol. Alangkah beruntungnya engkau jika bersuami dia kelak. Engkau akan dikurung dalam rumah, menurut adat orang Arab, tak boleh kena cahaya matahari, turun sekali sejum'at. Dan bila engkau berjalan beriring-iringan dengan dia, tak boleh laki-laki lain menentang mukamu, tutup muka dengan selendang, sebagai kuda bendi dengan tutup matanya. Kalau dia hendak pergi ke mana-mana, kunci rumah dibawanya, engkau hanya didapur saja."

"Tak baik begitu, Khadijah. Tidaklah adat istiadatnya sampai seburuk yang engkau katakan itu. Engkau belum kenal akan dia, tuduhanmu telah sengit saja." "Kenal apakah lagi yang lebih dari membaaa surat ini?" "Dia baik hati, Khadijah. Tetapi dia sedang dilamun percintaan. Tidakkah engkau tahu bahwa orang yang dalam percintaan, kerap kali pencemburu?" "Kalau demikian memang berlain sekali pendirian kita perkara cinta, Hayati. Kau terlalu dibuaikan angan-angan. Kalau bagi saya, sekiranya datang malaikat dari langit, mengaku sudi menjadi kecintaanku, dibawanya sebuah sangkar dari mas, cukup pakaian dari sutera ainal benaat, bermahkotakan intan baiduri, tetapi kemerdekaanku dirampas, dan aku wajib tingggl selamalamanya dalam sangkar mas itu; jika aku bernyanyi hanya untuk dia, jika aku bersiul hanya buat didengarnya, aku diikat, dipaksa turut ikatan itu. Maka terima kasih bagi malaikat, selamat jalan bagi sangkar mas, selamat pergi bagi mahkbta baiduri. Bagiku, bebas menurutkan kata hati, di bawah perintah diri seorang, itulah tujuan yang paling tinggi di dunia ini." Kemudian itu, disambungnya pula: "Heran saya dengan hatimu Hayati. Bagaimana engkau pemurah betul membalas cinta manusia yang sekejam itu. Baginya semuanya haram, semuanya tak boleh, semuanya terlarang. Akan jadi siapakah engkau nanti? Bagaimana wajah perjalanan hidupmu di zaman yang akan datang, [89] saya bingung memikirkannya. Engkau puji "kecintaan"mu itu setinggi langit. Bagi saya tak lain orang yang demikian daripada algojo perampas kemerdekaan perempuan. Hayati yang cantik! yang menerbitkan iri hati dalam kalangan kawan-kawannya. Akan kemanakah hilangnya kelak kecantikan itu, akan jadi korban dari nafsu seorang yang kejam, yang hendak mengikatnya menjadi permainannya. Hayati, Hayati ....... muda hanya sekali, sahabatku! Coba kau pikirkan baikbaik hari kemudian. Berkali-kali engkau menyebut nama Tuhan, seakan-akan kami yang lain ini tidak ber-Tuhan pada pemandanganmu. Padahal tidaklah Tuhan sekeras itu aturannya, dia tidak memberati manusia lebih da:i pada kuat kuasanya. Dia tidak menyuruh supaya kita semuanya jadi perempuan tua yang membungkuk-bungkuk pergi ke surau pukul empat hari'kan siang, sebelum ayam berkoko, sebelum murai berkicau, berselimutkan kain telakung ........ meraba-raba di dalam gelap. Jangan Hayati, mari kita ambil kesempatan selagi badan muda, percayai diri sendiri, cari suami yang bisa menuntun kita, dan tersenyum di dunia yang tak lama umurnya ini barang sekejap waktu ...." Belum sempat Hayati menjawab, Khadijah telah keluar dari kamar itu. Tinggallah Hayati seorang dirinya kebingungan tidak tentu apa yang akan dibuatnya; kadang-kadang dia tidur, kadang-kadang dia tegak, kadang-kadang dia mengeluh, kadangkadang dia menghadap ke kiri, dibacanya surat Zainuddin, kadang-kadang pula dia menghadap ke kanan, feringat perkataan Khadijah.

11. BIMBANG
AZIZ bekerja di Padang, jauh dari mata orang tuanya, bergaul dengan teman sejawat yang tidak berketentuan perangai, sehingga dia sendiri pun telah terturut-turut pula. Bilamana hari telah malam, dia. pergi ke tempat pergurauan, melepaskan nafsu mudanya. Yang lebih disukainya ialah menghabiskan wang dengan orang-orang yang tak berketentuan. Atau mempermain-mainkan anak bini orang. Kalau kelihatan seorang gadis yang cantik rupanya, dia telah sebagai cacing kepanasan, sebentar-sebentar dia serupa orang alim sangat, tetapi dengan perangai demikian dia tidak tahan lama, beberapa menit saja dapat berobah menjadi seorang yang duduk gelisah. Belum pernah dia beristeri, meskipun, telah berkali-kali disuruh orang tuanya, karena menurut perkataannya kepada kawan-kawannya beristeri itu mengikat langkah, menyebabkan hilang kebebasan. Apalagi di zaman ini, zaman kemajuan, semuanya serba susah. Akan dipilih isteri orang kampung, terlalu bodoh, tidak tahu bagaimana kemauan hidup di zaman sekarang. Isteri itu selain dari pandai mengatur rumah, pandai melekatkan pakaian yang menarik hati, harus pandai pula bergaul. Tidak kaku, jika bertemu dengan laki-laki lain. Sedang pada perempuan kampung semuanya itu tidak lengkap. Akan beristeri perempuan kota, tingkahnya banyak, mintanya bukan sedikit. Dia mau menonton, mau ini, mau itu, kadangkadang hendak mengatur langkah lakinya menurut sukanya. Apalagi gadis-gadis sekarang - menurut persangkaan Aziz - tidak mempunyai cinta yang jujur, sebab pergaulannya terlalu bebas. Dia sudah berkali-kah berjanji dengan gadis-gadis akan setia, sehidup semati, sesakit sesenang, tetapi sebahagian besar yang berjanji itu, bersuami juga, dan hidup senang dengan suaminya. [91] Janjinya ketika masih perawan seberat bumi dan langit. Dia sendiri pun demikian pula, berjanji 4 kali sehari, dengan anak gadis yang bermacam-macam pula perangainya, dia juga mungkir. Jadi bagi Aziz, hidup adalah komidi belaka. Kejujuran tidak ada pada masyarakat, baik laki-laki atau perempuan. Kejujuran adalah bergantung kepada wang. Kawin tidak ada gunanya asal suka sama suka. Sebab itu hanya ijab dan kabul, yang perempuan dibolehkan orane tuanya, baru boleh kawin, kalau tidak, tidak boleh. Yang demikian adalah merampas kemerdekaan. Lebih baik turutkan saja kehendak hati sedang badan muda, kalau sudah tua, yaitu kesempatan kesenangan tak ada lagi barulah perbaiki diri, baru kawin! Tetapi sungguh pun begitu, kepada kaum keluarga ada juga segannya sedikit. Itulah sebabnya dia tinggal di Padang, supaya jangan mengganggu pendengaran kaum kerabat kiri-kanan. Kalau dia pulang sekali-sekali dan disebutkan kepadanya perkara kawin, tidaklah itu alasan yang dikeluarkannya, hanyalah dijawabnya saja: "Belum hendak kawin, belum ada yang setuju." Adiknya Khadijah telah bertunangan, seorang muda yang kaya, baru saja menerima pusaka toko besar di Bukittinggi dan berpikiran modern pula. Tetapi dia hendak mencoba dahulu, melunakkan hati saLidaranya supaya suka pula kawin. Yang maksud hatinya akan jodoh saudaranya ialah Hayati. Mudah-mudahan keborosan dan pikiran muda saudaranya itu dapat berobah jika mendapat isteri sebagai Elayati yang alim itu. Apalagi Hayati cantik benar, perasaan kampungnya dapatlah dibentuk supaya lebih maju, jika kelak tinggal di kota. Apalagi kota sebagai Padang.

Dalam pergaulan beberapa hari di Padang Panjang, dalam melihat pacu kuda, pasar keramaian, berjalan-jalan makan angin ke tempat-tempat yang indah dan pergaulan di atas rumah yang bebas, tentu saja hati Aziz amat tertarik melihat kecantikan Hayati. Khadijah pun selalu memperhatikan bagaimana tajam mata [92] saudaranya melihat gadis pingitan itu. Bilamana bersama-sama makan, kerap kali Hayati tersipu-sipu karena tidak tahan dilihat dengan sudut inata yang setajam itu. Bilamana Khadijah ke belakang atau yang lain tak ada, Aziz tiba, didapatinya Hayati duduk, pandai pula dia mengeluarkan perkataan-perkataan yang lemak manis yang dapat menerbitkan kegembiraan perempuan. Maklumlah, sudah biasa. Bertutur yang lemak manis dia pandai sekali, mula-mula malu dan enggan, bahkan takut Hayati berdekat dengan dia, maklumlah gadis kampung. Tetapi "memikat" adalah kepandaian Aziz yang tersendiri. Sehingga keseganan dan keberatan itu lama-lama hilang. Dia suka kepada Aziz sebab dia saudara Khadijah; dan senantiasa bila melihat orang lain itu, perasaan belas kasihan kepada Zainuddin bertambah-tambah juga. Belas kasihan! Aziz amat pandai berpura-pura. Menurut pendapatnya, segala perempuan itu sama saja, samasama permainan laki-laki, yang mana pun boleh dipermain-mainkan. Timbangannya terhadap Hayati berbeda dengan timbangan Khadijah. Bagi Khadijah..Hayati pantas menjadi isteri Aziz, Hayati itu cantik betul, bagaimanakah akal supaya dapat jatuh ketangannya. Sehari sesudah Khadijah berbicara panjang mencela dan mengejek Zainuddin itu, Hayati dibawa oleh Khadijah ke dalam kamarnya. Diperhatikannya albumnya yang penuh dengan gambar gambar ketika dia pergi pic-nic ke bukit-bukit, ke Lubuk Mata Kucing, ke kaki Singgalang, ke belukar Anai, ke Ngarai di Bukittinggi, ketika tunangannya di rumah tempo hari. Sudah dua bulan tunangannya itu ada. di Jakarta, menambah ilmunya dalam perkara dagang, dan bilamana dia pulang akan ditentukan hari perkawinan mereka. Alangkah baiknya - kata Khadijah - kalau hari perkawinan mereka dapat disamakan! Khadijah mempetlihatkan sebentuk cincin berlian yang indah [93] memancarkan cahaya yang gilang gemilang. Katanya: "Inilah tanda mata dari tunanganku. Selama ini belum saya suka membukakan kepada engkau bahwa saya telah bertunangan, sebab saya sangka engkau belum ada niatan hendak kawin. Tetapi setelah saya ketahui bahwa engkau telah mencintai seorang yang bukan jodohmu, saya katakanlah sekarang, bahwa hatiku tak seoang kalau tak saya katakan kepadamu hal yang sebenarnya. Saya cinta sekali kepada engkau, sahabatku! Alangkah beruntungnya kita, jika suami saya dan suamimu dapat duduk sama rendah tegak sama tinggi kelak, sama-sama dapat mengaji asalusul, ke atas boleh ditengadahkan, ke bahwh boleh ditekurkan. Engkau puji-puji kebaikan Zainuddin, saya memuji pula kebaikannya. Tetapi orang yang demikian, di zaman sebagai sekarang ini tak dapat dipakai. Kehidupan zanran sekarang berkehendak kepada wang dan harta cukup. Jika berniaga, perniagaannya maju, jika makan gaji, gajinya cukup. Cinta walau pun bagaimana sucinya, semua bergantung kepada wang!" "Tidak, Khadijah!" jawab Hayati, "pendapatmu tak betul, cinta tak bergantung kepada wang. Kalau dua orang yang bercinta dapat bertemu, kesenangan dan ketenteraman pikirannya, itulah wang, itulah dia kekayaan, lebih dari gelang mas, dukuh-berlian, pakaian cukup. Itulah kesenangan yang tak lekang di panas, tak lapuk di hujan."

"Itu hanya bayangan, Hayati, sekali lagi saya katakan, itu hanya bayangan," ujar Khadijah. "Engkau boleh menahan hatimu dengan pakaian yang buruk dekat lakimu, boleh bersabar dengan rumah yang tak sederhana, jika hanya berdua saja. Tetapi tak lama engkau dapat menahan hati mendengarkan rayuan angin yang masuk dari celah tingkap rumahmu. Tak lama engkau dapat me - nahan hati, melihat mata orang yang rtiemandangmu dengan belas kasihan. Ketika itu cinta itu akan berangsur surut, engkau mulamula menyesali nasib. Bila nasib telah disesali, tentu lama-lama pindah penyesalan kepada yang menyebabkan datangnyanasibitu, [94] ialah si suami. Suami pun demikian pula. Berapa banyak saya dengar, berita dari orang yang telah bersuami, mengatakan bahwa ada laki-laki yang mengatakan isterinya sial, mengatakan isterinya menyebabkan dia dapat naas." "Bimbang," itulah yang timbul selama Hayati ada di Padang pajang. Jika dia akan masuk ketempat tidurnya, terbayang air mata Zainuddin, terupa bujuk cumbu Khadijah, kadangkadang keras, kadang-kadang lunak, teringat senyum Aziz yang pandai menarik hati itu. Sehabis pasar keramaian, dia pun bersiaplah hendak kembali ke kampungnya. Mereka berjanji akan senantiasa ingat mengingat. Kain-kain telah dibungkus, beberapa helai baju kebaya potongan Bandung telah dibikin dengan ongkos Khadijah sendiri. Ketika dia akan naik ke bendi, Aziz serta Khadijah, dan ibunya, lama-sama melepas. Ketika berjabat salam, lama sekali tangannya dipegang oleh Khadijah. Dengan sikap yang sungguhsungguh Khadijah berkata: "Jika ada mulutku yang ganjii kepadamu, kalau manis jangan lekas diulur, kalau pahit jangan iekas diludahkan, pikirkan baik-baik dahulu." Hayati tak menjawab, dia hanya menarik nafas panjang, dia bimbang! Dari cinta, turunlah dia kepada belas kasihan, belas kasihan sekarang telah diserang pula oleh kebimbangan....... Setelah bendinya jauh, orang-orang itu pun kembalilah ke nimah. Lama sekali Hayati dan Maktengah Limahnya menjadi pembicaraan. Mula-mula memuji sambil bergurau, memperkatakan perangai Mak-tengah Limah tinggal di kota. bagaimana lakunya di atas rumah, bahwa dia tak suka duduk di kursi yang terlalu besar itu. Sampai kepada Hayati yang cantik selalu, walau pun pakaian apa yang dipakainya. Aziz pun telah turut pula memuji-mujinya. "Alangkah baiknya jika kita berkarib dengan dia," ujar Khadijah memutuskan pembicaraan saudaranya sambii tersenyum! "Kalau kita berkerabat dengan dia, bukan main megahnya itu. Barangkali orang yang akan disuruh pergi yang tak mau!" ujar ibunya sambil melihat Aziz dengan sudut mata. [95] Aziz hanya menekur sambil mengulaikan kepalanya ke korsi dan kemudian menengadah ke loteng, seakan-akan tak terdengar olehnya. "Bagaimana ini Uda," *) kata Khadijah pura, "peremiman seperti Hayati itu sudah sepantasnya untuk kita.
"). Uda, artinyu Abang (Padang). Uda, artinya ayah kecil (Tapanuli)

Rupa tak ada tolok bandingnya, pribahasanya amat tinggi, maklumlah orang kampung, adat kota tidak pula kalah. Misalnya kalau jadi, bukan main keberuntungan kita." "Sebetulnya di dalam pergaulan seminggu itu, banyak benar perangainya yang menarik hati saya. Kalau dapat kita minta, alangkah baiknya," kata ibunya pula. "Gadis kampung salahnyaterlalukaku kalau dibawa ke kota, " kata Aziz dengan suara lunak. "Itu mudah diperbaiki. Kalau kita palut badannya dengan mas, diberi kesenangan yang memuaskan, tentu dia akan berobah menjadi orang kota yang modern kelak," kata Khadijah.

"Barang kali telah ada tunangannya!" "Ah, tunangan, dia belum ada tunangan. Semasa di kampung dia bercinta-cintaan dengan orang Mengkasar. "Anak mengaji" yang tak tentu hilir mudiknya itu, kabarnya anak orang terbuang, mana boleh jadi jodohnya." "Zainuddin tempo hari?" "Itulah!" Lama-lama pembicaraan itu telah hampir akur, Aziz amat tertarik dengan kecantikan Hayati. Dia sekarang hendak melepaskan pendapat yanglama, hidup membujang, dia hendak mengarnbil Hayati menjadi isterinya. Tetapi tidaklah sampai pertirnbangannya, apakah- Hayati hendak jadi isteri yang akan dibawa bersama-sama sehidup semati, isteri kawan bertempur menghadapi kesulitan hayat, sebagaimana dipikirkan orang selama ini, tidak sampai ke [96] sana pertimbangannya. Pertimbangannya ialah Hayati gadis cantik, orang kampung pingitan, dia mesti mendapat Hayati. Tak dapat dengan jalan yang biasa dikerjakannya, yaitu haram, dengan jalan halal baik juga. Dia sekarang ada pekerjaan, simpanan ibunya pun cukup, harta banyak. Siapa orang tak akan suka dengan dia. Setelah cukup perlopnya 14 hari, dia pun kembali ke Padang. Dia berjanji hendak hidup jujur, melemparkan perangainya yang lama, supaya kalau-kalau dia meminta Hayati, akan diberikan oleh karabatnya dengan tidak banyak berpikir. Terlalu banyak was-was yang menimpa Zainuddin sejak surat itu dimasukkannya ke pos. Dia merasa takut, kalau-kalau suratnya yang bersifat terus terang itu akan menggoncangkan hati Ha yati. Apalagi setelah ditunggu-tunggu balasannya tak datang. Dan kemudian sekali, dilihatlihatnya Hayati tak ada lagi di Padang Panjang. Timbullah kedukaannya, kalau-kalau suratnya itu menimbulkan marsh Hayati kepadanya, sehingga dikirimnyalah surat teralamat ke Batipuh, meminta maaf dan keridaan, jika kata yang dahulu telah terlanjur. Terobatlah hati itu kembali seketika ia mendapat balasan dari Hayati, mengatakan suratnya yang dahulu tidak menerbitkan salah terimanya sedikit juga, dan masih mengharap-hartp surat dari padanya, masih ingin hendak bertemu. Cuma seketika akan berangkat pulang kembali belurn sempat memberi tahu, karena sangat sesaknya pekerjaan, sehingga tak sempat membuat surat dengan tenang dan tenteram. Ketika membaca surat itu, telah ada perasaan yang halus dalam jantung Zainuddin, mengatakan bahwa surat itu sudah agak kdrang berisi dari yang dahulu. Tetapi perasaan yang demikian tak sanggup tumbuh dengan subur, karena dari dalampun datang pula suara mengatakan: "Manakah akan bisa jadi, seorang anak [97] perempuan yang sebaik hati itu, yang telah bersumpah setia, akan undur dari janjinya! hanya-dalam beberapa hari saja." Begitulah keadaan Zainuddin. Yang hidup laksana layanglayang yang tak dapat angin, tak tentu turun naiknya, selalu gundah gulana disebabkan oleh pukulan cinta. Bukan Hayati telah melupakan Zainuddin, belum pula dia. cinta kepada Aziz dengan arti cinta yang ada kepada Zainuddin. Tapi yang dapat dilihat, sejak menjejak Padang Panjang, perasaan Hayati yang dahulu, sudah berangsur hilang. Dia sudah tahu bagaimana kekurangan hidup di kampung dan bagaimana kemewahan di kota. Sudah mulai masuk ke dalam hatinya perasaan gembira, telah sempit rasanya dipakainya guntingan pakaian cara kampung, telah lebih senang dia melihat sorak-sorai orang di kota. Pengajaran yang diberikan oleh Khadijah meskipun pada

hari pertama belum lekat, pada hari kedua, ketiga, dan seterusnya mulai mendalam masuk jantung, mulai terasa benarnya. Sekarang telah terjawab olehnya pertanyaan jantungnya sendiri, mengapa kerap kali benar orang bercerai dengan isterinya, kerap kali perempuan tak setia kepada suami. Lain tidak pasal wang juga. Jika wang telah ada, segala-galanya dapat didamaikan, kekurangan dapat -. disetnbunyikan, marah boleh dihapuskan dengan maaf. Sudah mulai samar wajah Zainuddin dalam sanubari. Dia hanya akan tinggal laksana peringatan dari kehidupan masa yang lalu, semasa masih anak-anak. Itu tidaklah heran, sudah lazim. Su dah biasa anak gadis mencintai seorang muda, anak muda merindui seorang gadis, semasa mereka masih belum dewasa. Setelah dewasa, tentu kehendak kaum keluarga juga yang akan langsung Mereka biasanya tinggal kenal dan hormat-menghormati, sama menganggukkan kepala jika bertemu tengah jalan, yang perempuan bersama suaminya, dan yang laki-laki bersama isterinya. Tetapi bila angin 'lah reda, bila suara baju telah hening, Hayati duduk seorang dirinya dalam rumahnya di Batipuh. Suara [98] oto tidak terdengar lagi dan pacu kuda sudah lama usai, bilamana dapat dia bermenung dan berpikir agak sejenak, tampak jugalah Zainuddin terbayangbayang, berjalan dengan langkahnya yang pelahan, dengan muka yang muram dan kepala tertekur, kurus dan sedih, melarat dan sengsara, tidak ada tali tempat bergantung, tidak ada tanah tempat berpijak. Kalau dia mengingat itu, dia menarik nafas panjang, laksana seorang anak dagang ingat kampung halamannya y ang telah lama ditinggalkannya; atau laksana seorang tua yang tersadar hari mudanya. Ketika itu barulah Hayati menangis, menumpahkan rasa betas kasihnya, menimpahkan cinta yang sebenarnya. Dan bila dia bermenung sebentar lagi, bayangan itu pun berangsur hilang dalam perarakan swan, berganti dengan suatu bayangan putih kian lama kian jelas, yaitu warna kegembiraraan Khadijah, keindahan kota, ketangkasan Aziz_ Terbayang cincin berlian kiriman tunangan Khadijah yang dipakainya. Ter= bayang gadis kota yang tangkas dan cantik, dengan bedaknya yang selayang, pipinya, yang dipermerah, rambutnya yang disanggul besar, pakaiannya yang tipis dan cantik, kain sarungnya yang senteng di muka sedikit dan selop yang tinggi tumitnya. Bila bayangan yang gembira itu dagang, musik yang merdu dari suara pergeseran pohon bambu di belakang rumah, yang biasa membuaikan lagu kerinduan; kulik elang tengah hari di udara, yang biasa menghidupkan irama orang yang tengah dirayu cinta; desir air -yang mengalir dalam sungai yang biasa mengalirkan semangat harapan dari orang yang bercinta. Kicau murai di bubungan atap rumah, siputu tekukur di dalam pohon surian. Bunyi merbah memanggil pasangannya di rumpun teberau. Yang semuanya itu lagu dan nyanyian keindahan alam anugerah Tuhan, semuanya hilang tak teringat lagi. Semuanya berganti dengan derum oto mendaki bukit, derap telapak kuda berlari, sorak-sorai 'rang di gelanggang, bunyi musik dan keroncong di malam gembira perkawinan. Semuanya adalah keindahan bikinan manusia yang tiada memuaskan yang lekas membosankan. [99] "Nikmat Ilahi ada di sekeliting tiap-tiap insan, ada di dusun, ada di kota, ada di gunung dan ada di lurah, ada di daratan dan ada di lautan. Tetapi. nafsu tiada merasa puas, atau tidak ingat nikmat yang di kelilingnya itu; dia hanya melihat kekurangannya. Yang senantiasa diperhatikannya ialah nikmat yang ada di tempat lain, dan yang di tanggn orang lain. Kelak kalau dia ada kesempatan pindah ke tempat yang dilihatnya itu, dia menyesal dan dia teringat pulang, yaitu pada hari yang tiada berguna padanya penjelasan lagi .......

Sahabatku yang tercinta Hayati

Sangat sepinya terasa rumah tangga kami setelah engkau pergi Orang yang sebagai engkau ini, di mana pun rumah yang engkau ziarahi; kegelapan rumah itu akan hilang kena cahaya mukamu. Udaku Aziz telah kembali ke Padang, tidak berapa lama setelah engkau pulang. Biarlah dengan terus-terang saya katakan bahwa kegembiraannya hilang saja setelah engkau pergi. Ibu sendiri kerap menyebut namamu, memuji perangaimu dan memuji kecantikanmu. Hayati! Adakah kau kenangkan juga nasihatku yang tutus ikhlas terhadap dirimu? Agaknya tidak berapa hari lagi akan datan kemari salah seorang suruhan dari pihak kaum kerabat kami, memintamu buat menjadi menantunya untuk udaku Aziz, menurut adat yang lazim terpakai di negeri kita. Sungguh pun agaknya keluargamu tiada akan keberatan menerima permintaan kami, hanya sebuah yang dirusuhkan oleh sahabatmu ini, yaitu kalau-kalau engkau tak mau, atau engkau merasa terpaksa. Kalau demikian, tentu saja kehidupan dan perkawinan tiadakan beruntung. Engkau mengatakan tempo hari, bahwa cintanm telah tertumpal kepada Zainuddin, sudah sukar mengorak buhulnya, dan kehidupan Zainuddin bergantung kepada hidupmu. Maka dengan terus terang sekali ini kukatakan, bahwu kalau engkau selidiki dengan seksama, sebenarnya bukanlah Zainuddin cinta akan dikau kalau memang dia hendak mengambilmu jadi isterinya Zainuddin adalah seorang ahli angan-angan, ahli syair. Orang yang demikian [100] mendirikan seorang perempuan cantik dalam angan-angannya, untuk memperdalam irama aliran syairnya. Ahli syair, atau ahli gambar mendirikan malaikat dan bidadari, yang akan dipantun dan dilukiskannya. Tetapi dia tak boleh bertemu perempuan itu pada hakikat, cukup pada khayal saja. Sebab perempuan yang berdiri dalam pikirannya itu sunyi dari pada aib dan cela, bersih daripada dosa dan kesalahan. Tetapi perempuan yang ada pada hakikat, atau manusia yang sejati, adalah cucu Hawa, Hawa yang beristana dalam syurga dan disuruh keluar dari sana lantaran salah memakan buah khuldi. Kalau dia bertemu dengan engkau, dan didapatinya hakikat perempuan pada diri engkau, yaitu hakikat manusia yang tiada sunyi dari pada khilaf dan salah, maka cinta yang berdiri dalam angan-angannya itu akan segera sirna dan habis. Karena tidak bertemu apa yang diangan-angannya bermula itu. Waktu itu berganti istana keberuntungan cinta, dengan gubuk kutukan kebencian. Karena tidak malaikat saja pada diri Insan. Insan adalah pergabungan kesucian dan kekotoran, kecuali kalau dia telah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, atau Waliullah yang keramat. Sebab itu, selain dari pada memang sukar mungkin tercapai, lebih baik engkau hapuskan dari sekarang argan-angan hendak kawin dengan Zainuddin, jangan sampai hatimu rusak binasa. kelak. Biarkarlah nraksud tuan-trran tak sampai, biarkanlah selama-lamanya dia menyanyikan engkau dalam syairnya, sebagai bidadari yang hilang, atau sebagai pengharapan yang putus di tengah. Engkau kecewakan hatinya, artinya engkau memberi nikmat buat dia sebagai seorang ahli budi dan ahli seni yang tinggi. Kerap sekali gelora ratap penyair, atau ilham lukisan penggambar hilang tak menentu, bagai air mata jatuh ke dalam pasir, jika maksudnya sampai. Jadi berarti engkau berikan nikmat kepada orang-seorang, dan engkau cabut dari pada masyarakat umum. Meski pun baru dari pada banyak membaca dan mendengar petua orarg tua-tua, dapatlah kukatakan kepadamu Hayati bahwasanya "cinta" tidaklah teguh untuk mempertalikan laki isteri. Tali yang teguh ialah kemaslahatan ke dua belah pihak. Cinta ialah bunga melur yang indah warna dan harum baunya dua hari genap ketiga, selama air masih cukup dalam jembangan, selama tiga hari itu pula, subur dan indahlah hidupnya. Yang selalu mengancam akan suburnya ialah kemiskinan. Kalau harta cukup, cinta menjadi, kalau harta tak ada pergaulan terancam. Cinta itu, Hayati! Cinta atau rindu dendam kasih sayang dan asyik masyuk, biarlah selamanya

tinggal dalam khayal dan angan-angan pengarang hikayat, pengarang syair dan ahli pantu.n Berkobar kalau berjauhan, terobat hati kalau berdamping. Tetapi karena dia hanya sebangsa penyakit, akan sembuhlah dia setelah kesadaran datang. Hidup di zaman sekarang berkehendak wang, Hayati. Walau pun saleh dan bagaimana tekur kita, keadaan yang sekeliling kita tidak dapat melepaskan kita darir pada kungkungan, sedang Zainuddin tiadakan sanggup menyelenggarakan hidupmu. Kalau lantaran keras seruan dunia itu, Zainuddin tersesat memilih kehidupan dari pada jalan yang tiada halal, siapa yang berdosa? Tidakkah engkau sendiri? Pikirkan suratku ini. Meski pun hari ini engkau tolak, di belakang hari akan ternyata juga kebenarannya ..... Khadijah.
"Ya Rabbi, berilah petunjuk bagi hambamu ini," kata Hayati sambil menarik nafas panjang, setelah membaca surat itu.

12. MEMINANG
BAGI setengah orang, mencari isteri amat sukar dan payah, mesti bercinta-cintaan lebih dahulu. Bagi setengah orang dipandangnya perempuan yang akan jadi isterinya itu laksana gunung tinggi yang payah mendaki, seehingga dia mundur maju hendak menyatakan pinangannya kepada perempuan itu atau kepada keluarganya. Padahal di pihak yang lain perempuan senantiasa pula menunggu. Sehingga lantaran tunggu ketunggu, umur pun berjalan juga, citacita habis di tengah-tengah. Tiba-tiba datang orang lain yang tidak banyak perhitungan, tidak banyak pikir, dia meminang lebih dahulu, sehingga maksudnya langsung, dan yang mempunyai cita-cita bermula tinggal mengigit jari. Di dalam rumah tangga Khadijah tidak lama orang timbang-menimbang, segera saja sepakat hendak meminang Hayati untuk Aziz. Apalagi sudah berat pikiran mereka bahwa permintaan mereka akan terkabul. Sebab segala syarat-syarat rasanya cukup, tidak ada yang kurang. Wang ada, pangkat pun ada, terpandang pula dalam negeri. Duduk sama rendah tegak sama tinggi. Bagai bulan dengan matahari. Pada waktu yang telah ditentukan, setelah genap mupakat Aziz dengan keluarganya, disuruhlah seorang suruhan yang bijak menyampaikan permintaan kepada kaum kerabat Hayati, membawa "sirih nan secabik, pinang dan segetap." Sampai di Batipuh diterima dengan pribahasa yang halus-halus oleh kaum Hayati; maklumlah mengadu malu dengan budi. Dibentangkan orang lapik putih di tengah rumah nan gedang, di sana telah menyambut perempuan-perempuan dan di dalamnya duduk bersama-sama Mak-tengah Limah. Menurut adat pula, [103] segala permintaan itu belum akan dijawab pada hari yang sehari itu. Kalau rasa akan terkabul, diberi tangguh orang yang datang agak seminggu. Tetapi kalau rasa tak akan terkabul, dalam 3 hari saja hal itu telah dapat diputuskan. Ketika meminta janji itu, sikerabat beralasan bahwa mamak-mamaknya belum cukup hadir, padahal memang disengaja tidak hadir. Dikatakan bakonya perlu tahu, sapih belahan empat jurai di kampung anu, hindu suku di dusun anu, perlu tahu lebih dahulu. Maksudnya ialah untuk memperlihatkan ketinggian adatistiadat yang dipakai, meninggikan derajat pusaka yang dijawat turun-temurun. Dan bila utusan itu pulang kembali ke Padang Panjang, baru saja dia sampai di halamaii, orang di dalam rumah sudah dapat mengira-ngirakan bahwa maksud mereka rasa-rasakan hasil. Aziz sejak hitungan ini di dalam rembukan boleh dikatakan tiap-tiap hari Sabtu sore telah tiba di Padang Panjang, hari Minggu sore pula baru kembali. Mimpinya sudah banyak yang bagus, maksudnya akan berhasil. Sedang Zainuddin duduk menghafalkan pelajaran yang baru diterima dari gurunya sehabis sembahyang Magrib, dia dikejutkan oleh suara tukang antar surat, menyerukan "Pos!" Surat itu pun diterimanya, tetapi tangannya menggigil,teralamat dari Mengkasar. Segera dibukanya, tentu saja datang dari mak Base yang tercinta. Tetapi bukan dari mak Base, hanya dari Daeng Masiga, seorang tetangga yang dikenalnya betul-betul dan banyak per hubungan dengan dia sebelum dia berangkat meninggalkan Mengkasar.

Isi surat itu demikian: [104]

Kullu man 'alaiha faan, wa yabqa wajhu rabbika dzul jalali wal ikram! *) Ananda Zainuddin berselamat di Padang Panjang. Dengan serba pendek saja Paman nyatakan, bahwa telah berlaku kadar Allah atas hamba-Nya yang dha'if dan lemah, yaitu mak angkatmu Base, telah berlalu dari kalangan kita, kembali ke tanah asalnya: "Dari sana dia datang, dan ke sana dia kembali." Inna lilLahi wu Inna Ilaihi Raji'un. Penyakit yang diidapkannya tidaklah begitu berat. Tetapi maut tidaklalt membedakan berat ringan penyakit, karena penyakit hanyalah sebab jua, dan ketentuan ajal juga yang mesti beriaku . Saya sampaikan surat ini kepadamu, juga sebagai menerangkan wasiat dan peninggalan Almarhumah, yaitu supaya kelak jika engkau ada nasib kembali ke Mengkasar ziarahlah ke kuburannya, yang tiada orang yang memperdulikan kalau bukan engkau sendiri. Lain dari itu, sesudah habis menyelesaikan utang piutang yang ditinggalkannya, akan saya kirimlah Minggu di muka wang itu sama sekali dan yang terpegang di tangan saya sekarang barulah Rp. 3200,- kontan. Meminta juga pikiranmu, tentang harta bendamu, rumah dan setumpuk tanah peninggalan ayahmu. Kalau engkau suka jual, kirimilah saga surat kuasa. Tetapi menurut pikiran saya, karena sejauh jauh anak berjalan, entah ada juga Butta Jum Pandang menyerumu, lebih baik tanah-tanah itu tak dijual. Sebelum engkau pulang, saya sanggup menjaganya, dengan tidak mengharapkan apa-apa. Moga-moga Allah memberikan perlindungan-Nya kepada kita semuanya......... Doeng Masiga
*). Tiap-tiap orang yang di bumi akan lenyap, dan akan kekal wajah Tuhanmu, Yang Maha Tigggi dan Maha Mulia.

[105] Gemetar surat itu dalam pegangannya, berdebar darah yang mengalir dalam dadanya. Telah habis lakon orang-orang yang berhubungan rapat dengan kehidupannya. Permainan sudah habis, layar sudah ditutup, dan anak-anak tonil telah membuka pakaian permainan. Tinggalah panggung penghidupan itu dalam kesunyiannya karena penonton telah pulang dan hari telah larut malam. Demikianlah rasanya ibarat duka atas kepmatian mak Base yang menimpa hati Zainuddin. Sebatang kara di dunia! Dia teringat sekolahnya yang tidak masak, pelajarannya yang tidak sempuma, di mana tinggal tak tentu tujuan. Dia teringat waktu ayahnya masih hidup, teringat asuhan mak Base. Teringat negeri Mengkasar yang tercinta, tempat darahnya tertumpah ditinggalkannya, karena mengejar mimpi sejak dari kecil, tanah Minangkabau yang terkenal molek. Tetapi tidak juga dapat disingkirkannya peringatan kepada masa dia diusir dari Batipuh, sebab dia tidak orang beradat,

orang pendatang dari jauh, meskipun ayah orang Minangkabau, namun dirinya tcrpandang orang lain. Di Mengkasar lain, di Padang lain. Ke mana dia hendak pergi lagi? Berputar laksana perpusaran buaian di pasar keramaian layaknya otak Zainuddin memikirkan nasibnya, nafasnya sesak, Matanya menjadi gelap. Dia teringat ...... teringat satu perbuatan yang berbahaya sekali membunuh diri. Sudah hilang pertimbangannya, dinaikinya tempat tidurnya, dicoba-cobanya mengikatkan tali ke atas paran yang melintang, supaya berakhir azab dunia yang tidak berhenti-henti atas dirinya ini. "Engkau bodoh!" kata suatu suara yang datang dari sudut hatinya yang kecil, dengan tiba-tiba, sehingga dia terkejut, dan tali itu terlepas dari tangannya......... "Engkau bodoh!" tidakkah engkau ingat dunia perlu didiami? Tidakkah engkau kasihan umurmu masih muda, dan kesempatanmu [106] buat berjuang masih ada? Tidakkah engkau ingat bahwa harta benda yang selama ini engkau serahkan kepada Almarhumah yang berbudi itu telah dalam tangan engkau? Engkau kira sedikitkah wang 3000 rupiah? Tiga ribu rupiah!!!!!! Tiga ribu!!!! Kesedihanmu telah berakhir. Dan selain dari sengsara sebanyak itu menimpa dirimu, jangan engkau lupakan bahwa engkau pun dapat nikmat pula. Engkau mencintai dan engkau dicintai ........ Hayati! Tiga ribu rupiah - Hayati! ......................................…………………………………….. Jelas nian suara itu terdengar olehnya! Direnggutkannya tali itu kembali ke bawah, dan baru sekarang senyuman kecil tersungging di bibirnya. Dengan tiga ribu rupiah dia hendak hidup, hendak berjuang menghadapi dunia yang luas ini berdua dengan Hayati. Sebab itu, dia hendak mencoba meminta Hayati kepada keluarganya. Dalam angan-angan yang demikianlah matanya tertidur!. Bila dia bangun pagi-pagi, tersenyum dia sekali lagi, senyum yang hanya sekali-kali menghiasi bibirnya, melihat tali yang bekas direnggutkan, kitab yang berserak, bantal yang kusut dan kamar yang kotor. Meski pun kesedihan hati kematian belum hilang, kegembiraan mendapat pikiran baru telah menandingi kesedihan itu. Setelah selesai membereskan isi bilik kecilnya, dibuatnyalah dua pucuk surat. Pertama kepada Daeng Masiga menunjukkan kesedihan hati atas kematian orang yang sangat disayanginya itu, dan meminta supaya barang barang peninggalan mak Base mana yang dapat dijual, juallah dan harganya itu ambil oleh Daeng Masiga sendiri. Tanah dan rumah diharap supaya dipeliharakanbaik-baik, entah lain hari ada masanya kembali ke Mengkasar. Setelah melipat surat itu, dia terkeluh sekali lagi berkata [107] "Ah, mak Base! Begitu baik budimu kepadaku, engkau telah dahulu dari padaku." Setelah itu mulailah surat yang penting itu, surat kepada mamak Hayati. Engku Dt........ dan kepada keluarganya.

Sudah biasa dia membuat surat-surat, apa saja macam isinya, tetapi yang sekali ini bingung dia. Karena belum diketahuinya cara-cara membuat surat meminang anak orang. Setelah pikirannya ditetapkannya, barulah dia menulis:

Yang mulia engku Dt...... dan segala kaum keluarga di sini Sesungguhnya, dengan diri sendiri, tidaklah dapat saya datang menghadap kehariban engkuengku dan kaum kerabat di sini. Karena bahasa Minangkabau yang saya pakai tidak begitu bagus, jadi tidak dapat saya mengeluarkan perasaan hati dengan sepuas-puasnya Sungguh pun begitu saya buat surest ini dengan penuh keyakinan dan berserah diri kepada Tuhan, mogamoga mendapat penerimaan yang baik dari pada engku dan kaum kerabat semuanya. Yaitu, maksud surat itu: ................
Termenung Zainuddin sebentar, diisapnya dahulu sebatang rokok, baru dapat dimulainya pula:

Saya hendak meminta belas kasihan engku dan kaum kerabat semuanya, menyambut hidup hamba ini. Sebagaimana engku tahu, ibuku telah mati, ayahku pun demikian pula. Maka berapa hari yang lalu, saya menerima surat dari pada sahabat handai di Mengkasar, menerangkan bahwa mak angkat saya telah meninggal pula. Engku yang terhormat! siapa yang akan saya tepati di Mengkasar. Hanya jerat semata inilah lagi yang tinggal, cuma tanah asal nenek moyang saya inilah lagi negeri saya, negeri Minangkabau. Apa gunanya lagi saya sembunyikan maksud hati saya. Sekarang saya katakan terus terang, saya hendak hidup dengan kemenakan engku, Hayati! Karena sebagai banyak engku dengar di kampung, sungguh hidup saya tak beruntung kalau tidak dengan dia. Saya seorang muda yang mempunyai city-cites tinggi, maka sudilah [108] engku dan keluarga menolong saya menghidupkan cita-cita itu, izinkanlah pertalian saya dengan Hayati. Engku yang mulia! Saya seorang anak muda yang setia. Jika sekiranya engku sudi menerima saya untuk kemenakan engku, engku akan beroleh ketnenakan yang penyantun, yang suka berjuang dalam hidup dengan dada mengenal hosUn dan lemu. Cukuplah penanggungan saya sejak kecil mengantarkan saya sampai besar, untuk menimbulkan keinsafan dalam hati saya. Tak usah engku takut Hayati akan kecewa bersuami saya. Percayalah engku bahwa dia akan beroleh seorang suami yang kenal kewajibannya, menempuh kesenangan dan kesusahan dengan hati yang tetap. Kabulkanlah surat saya engku, saya tak pandai mencari jalan yang saya rasa lebih aman dan tdak mengecilkan hari, lain dari menginm surat ini. Zainuddin.
Tak mau juga Zainuddin menerangkan dalam surat itu bahwa dia telah kaya, telah sanggup menghadapi kehidupan dengan wang tertaruh, karena di zaman sekarang wang adalah sebagai

garansi. Budi pekertinya yang tinggi tidak hendak mengusik kemuliaan Hayati yang telah begitu lama beristana dalam hati jantungnya, dengan menyebut beberapa banyak wangnya. Surat diterima orang di Batipuh, adalah dua hari setelah utusan Aziz kembali ke Padang Panjang.

13. PERTIMBANGAN
SETELAH segala permintaan dari pihak Aziz disampaikan orang kepada Dt .... dan kepada segala ninik-mamak yang berkuasa di dalam rumah nan gedang itu; setelah sampai pula surat yang dikirimkan Zainuddin, diadakanlah permusyawaratan ninik-mamak, menurut adat yang terpakai. Dihadirkan di atas rumah nan gedang, disembelihkan ayam 4 ekor. Dibentangkan tikar pandan putih. Janji yang ditentukan dalam panggilan ialah pukul 7 pagi, diundurkan ke sawah dan ke ladang buat sehari itu. Maka datanglah seorang pukul lewat, seorang lagi pukul 10, dan pukul 12 kurang seperempat barulah cukup hadir di atas rumah. Mamak-mamak duduk berapat di kepala rumah yang di hilir, perempuan-perempuan duduk di dekat jalan ke dapur, mendengarkan buah mupakat dari jauh. Orang semanda, yaitu suami dari kemenakan-kemenakan, dari pagi sudah sengaja tidak pulang, sebab "orang" akan musyawarat dalam sukunya, padahal mereka hanya "urang semanda," mengebat tidak erat, memancung tidak putus, lengau di ekor kerbau, debu di atas tunggul, lecah lekat di kaki. Walau pun kadangkadang anaknya sendiri yang akan dipertunangkan atau dikawinkan. Dia hanya kelak akan diberi kata yang telah masak saja. Setelah hadir semuanya, mulailah Dt .... membuka kata: "Demikianlah maka tuan-tuan saya hadirkan dalam rumah nan gedang ini, yaitu elok kata dengan mufakat buruk kata di luar mufakat, tahi mata tak dapat dibuangkan dengan empu kaki. Yaitu kemenakan kita si Hayati, rupanya telah ada orang yang meminta buat menjadi pasangannya. Yaitu orang dari sebelah ke ujung *). Namanya Aziz, anak dari St. Mantari, seorang yang termasyhur dan berpangkat semasa hidupnya. Karena menurut adat yang biasa, tentu kita kaji lebih dahulu, hereng dengan gendeng, ribut nan mendingin, renggas nan melanting, dikaji adat dan lembaga, yang tidak lapuk di hujan, nan tidak lekang di panas, jalan raya titian batu, nan sebaris tidak hilang nan sehuruf tidak lupa."
*) Ujung = sebelah Padang Panjang, dan sebelah Batipuh, Gunung dan lain-lain disebut puhun.

Maka mulailah menjawab satu-persatu di antara yang hadir, memperkatakan asal dan usul, mengaji hindu dan suku, menyelidiki dari manakah asal usul Aziz, adakah dia peranakan orang dari luar Minangkabau, karena maklumlah di kota Padang Panjang orang telah banyak bercampur gaul. Seorang di antara yang hadir, Sutan Muncak gelarnya, mengatakan bahwa dia telah menyelidiki silsilah orang itu, rupanya asal dari Batu Sangkar juga, berbelahan ke Pariangan Padang Nan Panjang, tinggal di Padang Panjang sejak Pasar Lama bertukar dengan Pasar Baru. Lalu diuji pula kekayaannya, hartanya yang berbatang, sawahnya yang berbintalak, dikaji sasap jerami, pendam pekuburan, bekas-bekas harta yang telah dibagi dan yang belum dibagi di negerinya... Karena memang nyata bahwa dia orang asal, patut dijeput kita jeput, patut dipanggil kita panggil. Meski pun adat nan usali tidak boleh menerima menantu di luar kampung sendiri, aturan ini dikecualikan terhadap kepada menantu orang berasal usul, orang berbangsa, atau orang alim besar yang temama. Bagi golongan yang dua ini, biasa juga dipakai adat. "Pinang di bawah sirih di atas," namanya. Kalau diterima menjadi tunangan, tandanya ialah keris. Penjeput marapulainya, ialah keris, pedang bersentak, tombak berambut dan memakai pesemandan, yaitu pengiring. Orang-orang yang berbangsa ini tidaklah membayar mahar yang

diwajibkan agama, melainkan sekedar seringgit atau dua rupiah yang diucapkan di muka Kadi. [111] Yang membayar wang jeputan ialah pihak yang perempuan, menurut derjat kemuliaan bangsa si laki-laki pula. Setelah dibicarakan panjang lebar, hampirlah bulat mupakat hendak menerima Aziz. Karena menurut pepatah: "Ruas telah bertemu dengan buku, bagai janggut pulang ke dagu, lama berbangsa keduanya, satu bulan satu matahari." Ketika musyawarat itu diadakan, Hayati disuruh pergi dahulu ke rumah di sebelah, karena hal ini mengenai dirinya." Dt ..... melengongkan mukanya kepada orang-orang perempuan yang duduk, menanyai bagaimana pikiran dan penyelidikan mereka dalam hal ini. Mak-tengah Limah menjawab bahwasanya cinta Hayati rupanya masih lekat kepada Zainuddin orang Mengkasar itu. Yang hadir tercengang-cengang. Mamak Datuk Garang merah matanya mendengarkan perkataan Limah seraya berkata: "Membuat malu, hendak menginjak kepala kami ninik-mamak. Bagai mana akan bisa seorang Mengkasar, seorang Bugis, akan diterima menjadi menantu." "Bagaimana kalau dia makan hati berulam jantung sebab maksudrya tidak sampai. Berapa banyaknya gadis-gadis yang membunuh diri lantaran tidak bertemu dengan yang dicintainya, atau dia mati merana saja?" kata Limah. "Lebih baik dia mati, senang kita; dari pada dia memberi malu ninik mamak, merusak adat dan lembaga, mengubah cupak nan usali. Apa guna dia hidup kalau akan mencorengkan arang di kening dan menggoreskan malu di muka kita?" Mendengar itu tidak ada yang berani menjawab perkataannya, Limah pun terdiam. "Kan ayahnya orang kita juga!" ujar seorang mamak yang agak muda. "Tak usah engkau berbicara. Rupanya engkau tidak mengerti kedudukan adat istiadat yang diperturun penaik sejak dari ninik yang berdua, Dt. Perpatih nan Sebatang dan Dt. Ketemanggungan yang dibubutkan layu, yang dikisarkan mati. Meski pun ayahnya orang Batipuh, ibunya bukan orang Minangkabau, mamaknya tidak tentu entah di mana, sukunya tidak ada Tidak ada Perpatihnya, tidak ada Ketemanggungannya. Kalau dia kata terima menjadi suami anak kemenakan kita, ke mana kemenakan kita hendak menjelang iparnya, ke mana cucu kita berbako, remit sekali soal ini." "Tak baik kita mencela orang lain, karena tiap-tiap negeri berdiri dengan adatnya, walau pun apa bangsanya dan di mana negerinya," jawab yang muda itu. "Itu betul, tetapi tidak ada yang melebilti Minangkabau. Tatkala masa dahulunya, sampai ke Aceh tiga segi, sampai Teratak Air Hitam, sampai ke Bugis ke Mengkasar, di bawah perintah Minangkabau semuanya. Membayar hak dacing pengeluaran, uburubur gantung kemudi, ke dalam alam Minangkabau." "Itu betul, tetapi tiap-tiap bangsa itu mengakui mereka pula yang lebih asal, yang lebih dahulu mencacak perumahan pulau Perca ini." Datuk Garang yang kurang biasa disanggah oleh yang muda-muda telah agak meradang, terus berkata ........ "Wa' den labiah tahu dari kalian (saya lebih tahu dari kamu semua)."

Dt....... yang takut perdebatan akan sengit telah mengetengahi perkataan itu dengan katanya: "Rupanya kayu yang bercabang tidak bisa dihentakkan. Meski pun Hayati suka kepada Zainuddin itu, merdekakanlah dia dalam kesukaannya, yang akan langsting ialah kehendak kita juga. Zainuddin itu memang ada mengirimkan surat meminta Hayati, (sambil Dt....mengeluarkan surat Zainuddin dari sakunya), tetapi meminang dengan mengirim surat itu sudah nyata bukan adat dan bukan lembaga di negeri kita. Perkataan kita telah hampir sampai kepada yang dimaksud perkara menerima permintaan orang muda Aziz itu. Sekarang lebih baik kita bulat segolong picak setapik, kita bulatkan mufakat." "Baiklah," kata yang lain-lain dengan serentak. "Bagaimana St. Mudo?" tanya Dt .... kepada mamak yang membantah Dt. Garang tadi. "Saya tentu saja sepakat sejak bermula lalu penghabisan, tidak dapat bercerai dengan yang banyak. Cuma saya bantah perkataan yang menghinakan orang lain, sebab kita akan biasa berdagang ke kampung orang, jangan kelihatan oleh orang kesempitan faham kita." "Ya, kita habisi saja itu, kata bulatkan sekarang menerima Aziz dan menolak permintaan Zainuddin." "Boleh kami yang perempuan berbicara sedikit?" tanya Limah. "Asal dalam kebenaran apa salahnya," kata Dt..... "Rasanya patut juga kita awas. Sebab barang kali si Hayati ini entah kena apa-apa, maklum ilmu orang Mengkasar sangat mujarrab, sebab selama ini pikirannya hanya kepada Zainuddin saja." "Itu perkara gampang," kata Dt Garang. "Sudah ke laut, sudah ke darat, bukan saja sembarang orang. Kalau memarig demikian bertemu dalam penglihatan, patut dibalas kita balas, patut di balik kita balik." Permupakatan putus. Tinggal lagi memanggil Hayati, menerangkan kebulatannya mupakat kepadanya. Dia pun datang. Setelah dipanggil, disuruh duduk di antara perempuan-perempuan yang banyak itu. Mula-mula bertolak-tolakan juga ninik-mamak itu hendak menyampaikan pembicaraan kepada Hayati. Akhirnya diserahkan juga kepada mamak kandungnya, Dt..... Dia memulai: "Hayati! ....inilah, yang duduk ini mamak dan ninikmu, lindungan persukuanmu, yang mengebat erat memancung putus. Memperkatakan baik dan buruk, hina dan mulia dari pagi, telah berkering tempat duduk, telah berhabis pinang sirih. Mencari yang akan elok ..... Datang permintaan orang untuk meminangmu, yaitu Aziz di Padang Panjang dan datang pula sepucuk surat dari Zainuddin, itu juga maksudnya. Setelah kami timbang melarat dan manfaat, Azizlah yang kami terima. Kami panggil engkau sekarang menyatakan kebulatan itu, supaya engkau terima dengan suka. Bagaimana pertimbanganmu?" Lama Hayati tidak menjawab! "Jawablah, kami hendak lekas pergi!" kata Dt....pula. Bagaimanalah dia akan dipaksa menjawab, padahal dirinya sendiri sudah berapa lama dalam peperangan batin. Dia cinta kepada Zainuddin, tetapi jalan terhambat, sukar terlangsung. Dia suka kepada Aziz, bukan sebagai cinta kepada Zainuddin, hanya semata-mata kesukaan. Sebab itu hati kecilnya tak mau menyerah, meskipun keadaan memaksanya. Telah lama berperang dalam hatinya di antara keadaan yang terbukti di mata dengan cita-cita. yang terbayang di hati.

Dan tentu saja di dalam alam dusunnya yang masih jauh dari kemajuan bukti keadaan juga yang mesti menang, dan kenang-kenangan juga yang mesti kalah. Hayati seorang gadis yang bercita-cita tinggi, tetapi jiwanya pun tak betah akan mengecewakan hati ninik mamaknya dan kaum kerabatnya. Dia hanya akan menerima apa tulisan takdir. Dia mencintai Zainuddin, tetapi permintaan itu tidak ada jalannya; percintaan yang tidak ada jalan itulah yang kerap kali lebih subur dari pada cinta yang ada jalan terentang. Maka tergambarlah dalam pikirannya nasehat-nasehat Khadijah, nampak pula sekarang kokohnya benteng adat yang memagari dirinya. Itulah sebab dia termenung ...... "Lekaslah jawab, lohor sudah hampir habis," ujar Dt... pula. "Kalau dia tak menjawab, tandanya dia suka," kata yang lain pula, sambil tersenyum. "Jawablah Hayati!" kata Dt..... sekali lagi, "Supaya mudah kami membuhulkan musyawarat ini dengan asap kemenyan." Tidak ada lagi pintu terbuka bagi gadis yang malang itu, insaflah dia akan kelemahan dirinya dan kekuatan keadaan yang sekelilingnya. "Jawablah Hayati!" "Bagaimana ......yang akan baik kata ninik-mamak raja ....... saya menurut!" "Alhamdulillah," ujar yang hadir. Do'a pun dibacakan. Apakah lagi jalan yang lain yang harus dipilihnya lain dari pada itu. Dia menyerah kepada takdir, terpaksa mungkir akan janjinya yang terdorong, sebagaimana kebanyakan anak-anak perempuan yang lain juga, sebab yang memutuskan janji bukan dia, hidupnya tersangkut dengan keluarganya ........

14. PENGHARAPAN YANG PUTUS
BERDEBAR-DEBAR darah di dada Zainuddin seketika datang sepucuk surat yang teralamat kepadanya dari Dt.... Batipuh, lantatan surat itulah ponis nasib yang akan ditempuhnya. Lama baru dibukanya, karena sebelum dibuka isi surat itu lebih dahulu telah meresap ke dalam jiwa, yang mendatangkan was-was. Setelah dibukanya, kenyataan isinya itu amat dingin dan ringkas saja:

Kepada orang muda Zainuddin, di Padang Panjang Surat orang muda telah kami terima dan mafhum kami apa isinya Tetapi karena negeri Minangkabau beradat, bulat kata dengan mufakat, maka kami panggillah kaum keluarga Hayati hendak memusyawarahkan hal permintaan orang muda itu. Rupanya bulat belum segolong, picak belum setapik di antara kami semuanya, artinya belum sepakat. Oleh sebab kayu yang bercabang tidak boleh dihentakkan, maka kami tolaklah permintaan orang muda, dengan mengatakan terus tenang bahwa permintaan ini tiada dapat kami kabulkan. Lebih dan kurang, harap supaya dimaafkan. Dt ............ Dt. Garang dll.
Mengalir keringat dingin di keningnya sehabis surat itu dibacanya. Menyesal dia, padahal dari dahulu sudah disangkanya juga bahwa permintaannya tidak akan terkabul, sebab negeri Minangkabau beradat. Terasa malu yang sebesar-besamya, terasa perasaan yang mesti tersimpan dalam hati tialrtiap manusia, bahwa dia tidak mau dihinakan. Minangkabau negeri beradat, seakan-akan hanya di sana saja adat yang ada di dunia ini, di negeri lain tidak. Padahal kalau memang negeri Minangkabau beradat, belum patut orang seperti dia hendak ditolak dengan jalan yang begitu saja. Permintaan biasa terkabul dan biasa tidak, tetapi tidak ada hak bagi yang menolak buat menyindir pula kepada orang yang ditolaknya. Apalagi pintu yang dilalumya bukan pintu "belakang" tetapi pintu muka, tiba tampak muka berjalan tampak punggung. Kalau penolakannya di atas nama adat, maka adat yang manakah yang menolak seorang yang telah berjanji setia dan berniat hendak teguh memegang perjanjian itu? Kalau tertolak lantaran dia orang Mengkasar, maka adat seluruh dunia menerima kedatangan anak, sebab dia anak dari ayahnya, dan ayahnya orang Minangkabau tulen. Kalau dia tertolak lantaran dia tidak berwang, maka ada tersedia wang Rp. 3000,- yang dapat dipergunakan untuk menghadapi gelombang kehidupan sebagai seorang makhluk yang tawakkal. Disumpahinya dalam hatinya kepincangan adat, dikutukinya masyarakat yang terlalu rendah itu. Tetapi dari sedikit ke sedikit terbayanglah di mukanya wajah Hayati, tiadalah pantas di negeri

Hayati dia menjatuhkan upat dan maki, nista dan cela. Hayati hanya korban dari pada kekejaman peraturan adat yang telah usang itu. Demikianlah hati telah remuk rendam, kadang-kadang berpendapatan begitu dan kadangkadang begini. Setelah dikutuk dan dimakinya orang-orang yang menolaknya dengan melampangkan pintu keras-keras, meniupkan suara yang bagai halilintar dalam telinganya yaitu negeri Minangkabau beradat. Dia kembali insaf, bahwa walau pun dilarang atau tidak dilarang, diterima atau ditolak, namun pertaliannya dengan Hayati adalah pertalian yang kekal, pertalian cinta kasih sayang, cinta yang mula-miila tumbuh dalam hidupnya, dan selamanya tidakkan tumbang lagi. Biar pun permintaannya misalnya diterima orang, lantaran wangnya banyak, kalau begitu pertaliannya dengan Hayati bukan pertalian hati, tetapi pertalian harta. Harta boleh banyak dan boleh habis. Harta yang banyak bukan menimbulkan cinta yang murni dalam hati kedua belah pihak - menurut taksiran Zainuddin - tetapi semata-mata menimbulkan congkak dan takbur. Bilamana harta itu ditimpa krisis turun jumlahnya, maka turunlah pula derajai penghormatan kedua belah pihak. Kalau dipertalikan oleh perasaan sama-sama beradat, maka inilah pergaulan yang terlalu mementingkan diri seorang (egoistis). Si laki-laki tidak hendak mengalah dari derajat kebangsawanannya, si isteri pun demikian pula. Itulah sebab maka banyak kelihatan pergaulan laki-isteri yang hanya manis kelihatan dari luar, sebab hati yang laki-laki tiada diberikannya kepada si isteri dan si isteri pun bila akan menemui suaminya, ditinggalkannya dahulu "hatinya" pada ibu bapanya, mamak atau kaum kerabatnya, baru dia ikut suaminya dengan tidak berhati. Meski pun ninik-mamak atau adat menerimanya, padahal hati Hayati sendiri misalnya, tiada suka kepadanya, itu pun berarti memaksa. Zainuddin tiada sedikit juga setuju jika manusia mem belenggu hati sesamanya manusia. Memaksa hati seorang muda, baik laki-laki atau perempuan menempuh perkawinan, berarti mematahkan kemekaran bunga kenang-kenangannya buat zaman yang akan datang. Dihalangi, atau tidak dikabulkan permintaannya, diterimanya dengan sabar dan tawakkal, apa boleh buat! Memang sudah suratan nasibnya sejak kecil akanselalu dibesarkan oleh sengsara, digedangkan dengan kelahan. Itu akan diterimanya, asal saja Hayati tetap cinta kepada dirinya. Karena daerah perjuaagan cinta lebih luas dari pada yang dapat dikira-kirakan. Kalau maksud hasil, terjadi perkawinan. Kalau tidak, maka terpatrilah persaudaraan yang ke - kal sampai tua menjunjung uban, sebagaimana pernah dihikayatkan oleh Alexander Dumas oalam bukunya "Graaf de Monte Cristo," bahwasanya meskipun Edmond Dantes telah tua, telah menjadi seorang luar biasa yang berpengaruh; meskipun Mercedes telah bersuamikan Fernand dan telah beroleh anak pula. Seketika Edmond Dantes pulang ke Paris 15 tahun kemudian, dengan rupa yang lain, seorang pun tiada yang kenal siapa dia, hanyalah Mercedes seorang saja. Kemudian setelah Edmond Dantes atau Graaf de Monte Cristo terpaksa bermain anggar dengan anak Mercedes maka di atas nama cinta yang lama itulah Mercedes memohonkan kepada Graaf itu supaya pertandingan itu diurungkan saja. Meskipun Graaf itu kemudiannya beroleh isteri, anak dari Ali Tebelin raja dari Yanina, dan hidup keduanya beruntung, namun peringatannya kepada kecintaan lamanya, Mercedes, yang seakan-akan telah dipandangnya saudara kandungnya, tdtap menjadi ingatan dalam hidupnya. Biarlah saya ditolak - kata Zainuddin - karena tidak semua maksud itu akan dihasilkan Tuhan, asal Hayati tetap cinta kepadaku. Dan saya percaya dia tiadakan mungkir, masakan gadis secantik sejujur itu akan mungkir dari janjinya yang telah dipersaksikan oleh cahaya matahari

naik. Tidak ada kulihat tandatanda pada wajahnya bahwa dia termasuk gadis-gadis yang demikian itu. Kalau dia hanya terpaksa, maka paksaan pun tiada - kan menghilangkan cinta. Tetapi otak boleh sabar, boleh menimbang dengan adil, boleh dia memutar tali angan-angan yang menjalar kian kemari, kalau akal tidak hilang. Tetapi badan kasar kadang-kadang tiada seteguh pertahanan jiwa raga. Lemah gemelai dia menerima surat, hancur rasanya segala persendiannya, matanya berkunang-kunang, tiada senang diam rasa hatinya dalam rumah. Besoknya pagipagi, diberitaliukannyalah kepada orang tua tempatnya menumpang itu bahwa dia bermaksud hendak berjalan mengelilingi alam Minangkabau, entah sehari dua, entah seminggu dua, belum dapat ditentukan. Ditinggalkannyalah Padang Panjang, terus ke Padang, ke Bandar Seputuh, melihat ombak memukul pantai di tepi teluk Batang Kapas, mendengarkan anak-anak perahu melagukan lagu [120] palayaran. Terus ke Kurinci melihat keindahan alam di sana, melihat puncak Gunung Kurinci yang indah dan danaunya yang hijau. Setelah 3 hari dia di Kurinci, kembali dia ke Padang. Dengan melalui Si Tinjau Laut, dia pergi ke Solok, ke tambang Sawah Lunto, berbalik dan terus ke Batu Sangkar. Dengan melalui Tebat Patah dia pergi ke Payakumbuh, ke Manggani dan ketempat-tempat yang lain-lain. Katanya hendak mengobati hati tetapi percuma, karena tidaklah akan sembuh sesuatu penyakit, kalau nama penyakit lain dan obatnya lain pula, bukan methyembuhkan, tetapi menambah dalamnya penyakit saja. Alam itu kadang-kadang bisu dan kadang-kadang berkata, kadang-kadang muram dan kadangkadang gembira rupanya. Semuanya itu bergantung kepada wama teropong hari yang melihat nya. Boleh pada suatu waktu kita datang kepada suatu tempat dengan hati iba, maka muramlah cahaya matahari dan lain kali kalau kita datang ke tempat itu juga, dengan hati yang gembira, dia akan gembira pula. Kalau bukan demikian, tentu samalah bentuk lukisan dan gambaran yang dilukis oleh ahli-ahli gambar yang pandai ....Demikian juga bunyi dan maksud syair yang digubahkan pujangga, bisa dia memuji dan menyanjung nikmat keindahan alam itu .... dan bisa pula menyesali dan memperlihatkan buruknya. Dia pun kembali ke Padang Panjang, karena tidak betul rupanya persangkaannya bahwa keindahan alam dapat mengobati hati. Dia pulang dengan muka yang lebih lesu, diletakkannya kopor kecilnya dan dia masuk ke dalam kamarnya dengan haluan yang tak tentu. "Sudah kembali Zainuddin," kata perempuan tua tempat dia menumpang itu. "Sudah mak!" "Mengapa mukamu lebih lesu?" "Demam saya dalam perjalanan, mak!" Seketika dia akan masuk kamar, orang tua itu pun memberikan sepucuk surat yang beralamat kepada Zainuddin, diterimanya beberapa hari sepeninggal Zainuddin pergi, diantarkan oleh seorang anak kecil laki-laki . Surat itu diambilnya dan dibuwanya ke kamamya. Sebelum baju yang lekat di badannya dibukanya, surat itu dibukanya lebih dahulu, kiranya suratan seorang perempuan, tetapi bukan suratan Hayati.

Engku Zainuddin!

Meski pun belum pernah kata berkenalan, tetapi nama engku telah lama saya kenal, lantaran persahabatan engku yang amat karib dengan Hayati sahabat saya. Perhubungan persahabatan engku itu lelah diketahui oleh semua kami: Mulai hari ini lebih baik engku putuskanlah perhubungan itu. Pertanra menjaga nama baik Hayati, sebab dia telah bertunangan. Kedua untuk kemaslahatan engku sendiri, jangan nama engku terbusuk pula, hidup dirantau orang. Apalah gunanya engku berhubungan dengan dia padahal yang demikian itu perbuatan yang siasia saja, akan langsung pun tidak juga, tak ubah dengan mengharapkan kelatuhan bintang di langit, umur habis badan pun payah, laba hilang rugi bertemu, melarat diangan-angan, sengsara dikira-kira. Hayati telah menjadi keluarga kami, telah diterima oleh kaum kerabatnya permintaan kami, dia telah bertunangan dengan abang saya Aziz, yang sekarang tengah bekerja pada suatu kantor di Padang. Dan moga-moga kabar ini tidak mengecewakan hati engku. Khadijah.
Jika sekiranya surat yang datang dari keluarga Hayati dahulu seakan-akan letusan selaras bedil ke dadanya, maka adalah surat dari Khadijah, yang mengaku sahabat Hayati ini, laksana sebuah bom yang meletus ditentang kepalanya. Dilipatnya surat itu baik-baik. Setelah itu dia duduk beberapa saat lamanya. Tidak tentu haluan yang akan diturutnya. Apa yang akan dikerjakannya, padahal "cinta adalah sebagai kemudi dari bahtera kehidupan. Sekarang kemudi itu dicabut; ke mana dia hendak berlayar lagi, di mana dia hendak berlabuh, teroleng terhempas kian kemari, daratan tak nampak, pulau tak kelihatan. Demikianlah perumpamaan nasib anak muda yang maksudnya tiada sampai." Lantaran sudah lebih dari satu jam dia tidak ke luar dari kamarnya, maka perempuan tua itu pun agak cemas, takut dia kalaukalau anak dagang jauh itu kurang sehat badannya kembali dari perjalanan. Lalu diketoknya pintu. "Masuklah, mak!" kata Zainuddin. Perempuan itu masuk dan bertanya: "Mengapa engkau termenung saja anakku? Apa kabar di dalam perjalanan sudah lebih 10 hari meninggalkan rumah, indahkah negeri yang engkau lihat? Adakah puas mata memandang?" "Semuanya indah 'mak, memang negeri-negeri di Minangka bau ini cantik dan menghidupkan semangat semua." "Mengapa wajahmu agak berlain 'mak lihat? Kurang sehatkah?." "Tidak 'mak ...." ujar Zainuddin sambil berusaha sedapat-dapat hendak menyembunyikan kesedihan hatinya. "Terangkanlah mengapa? Tempo hari surat mati yang engkau terima dari kampung. Sebelum berangkat berjalan baru-baru ini nampak pula berobah mukamu menerima surat, sekarang

datang pula surat yang lain, mukamu bertambah pucat juga. Selama ini mamak tiada perduli, engkau pun tak mengatakan, sebab engkau barangkali belum percaya kepada mamak. Kalau ada yang menyusahkan hatimu dan pikiranmu tertumbuk, katakanlah, mamak dapat menunjuki jalan sekedar yang dapat oleh mamak. Agaknya anak mamak itu, si Muluk, bisa menolongmu karena dia banyak pergaulan. Dia pandai berdukun, pandai kepandaian - kepandaian [123] batin. Pergaulannya dalam kalangan orang dukun, ahli silat dan dalam kalangan orang-orang beradat, pun banyak pula. Pulangnya ke rumah hanya sekali-sekali saja, untuk melihat ibu dan memberi wang. Dia tidak mau mengganggu kesenangan ibu. Dahulu digajinya seorang dari Singgalang untuk teman ibu mendiami rumah ini. Tetapi sejak anak tinggal di sini hatinya bukan main sukacitanya, cuma dia malu kepada engkau sebab engkau orang siak, sedang dia orang Parewa *). Tetapi hatinya baik, barangkali dia bisa menolong memberimu bicara, kalau pikiranmu tertumbuk."
*)Di Minangkabau memang ada satu golongan orang muda-muda yang bergelar "Parewa." Mereka tak mau mengganggu kehidupan kaum keluarga. Hidup mereka ialah daripada berjudi, menyabung dan lain-lain. Mereka juga ahli dalam pencak dan silat. Pergaulan mereka sangat Was, di antara parewa di kampung anu dengan kampung yang lain harga menghargai dan besar membesarkan. Tetapi mereka sangat kuat mempertahankan kehormatan nama suku dan kampung. Kalau mereka bersahabat, sampai mati mereka akan mempertahankan sahabatnya, saudara sahabatnya jadi sattdaranya, seakan-akan seibu, sesaudara, sekemenakan. Kata-kata "muda" terhadap perempuan tidak boleh sekali-kali. Kalau ada yang kalah dalam permainan sehingga habis harga bendanya, maka oleh yang menang dia diberi pakaian dan wang sekedarnya, disuruh pulang dengan ongkos tanggungan yang menang itu sendiri. Kepada orangorang alim Mereka hormat, dan kadang-kadang mereka itu dermawan. Mereka setia dan sudi menolong. gatu penghidupan yang serupa dalam "dongeng" Mang sampai sekarang masih didapati di Minangkabau.

Mendengar segala ceritera yang ke luar dari mulut orang tua itu, mata Zainuddin kembali terbuka, lebih-lebih mendengar perempuan itu menceriterakan kebaikan hati Muluk yang selama ini hanya berkenalan dari jauh saja dengan dia. "Saya hendak meminta tolong, mamak," jawab Zainuddin. "Yaitu mamak panggil abang Muluk segera pulang, cari dia sampai dapat." "Itu mudah saja, sekarang agaknya ada dia di Pasar Baru!." "Carilah dia sampai dapat, suruh pulang. Rasanya akan terobatlah kesusahan saya sebagian besar kalau dia dapat menolong." [124] Sedang dia berbicara-bicara demikian, tiba-tiba perempuan tua itu bangkit dari tempat duduknya dengan muka girang seraya berkata: "A, itu dia si Muluk sudah pulang kebetulan!" Muluk sedang berdiri di halaman, dia disuruh naik. Biasanya dia hanya terus saja ke dapur sebab malu kepada Zainuddin. Tetapi dihalangi oleh ibunya, disuruh duduk dahulu. "Engku muda ini hendak berbicara sedikit dengan engkau, Muluk!" kata maknya. Muluk dengan amat hormat duduk ke korsi. Zainuddin ke luar dari kamamya dan sesudah berjabat tangan dengan dia, Zainuddin duduk ke dekatnya. "Apa kabar, guru? Selamat dalam perjalanan pulang balik?" "Selamat, tak kurang suatu apa... Sebetulnya saya sudah hampir setahun tinggal dalam rumah ini, tetapi kita belum juga berkenalan yang rapat. Sebab bang Muluk rupanya agak segan bertemu dengan saya, seakan-akan saya dipandang orang lain!"

"Bukan begitu, guru" jawab Muluk; "guru maklum sendiri, saya ini orang yang banyak dosa, penyabung, pedadu, penjudi. Jadi tangan saya bernajis. Karena kami pemuda-pemuda Padang Panjang ini, meskipun negeri kami penuh dengan rumah-rumah sekolah agama, kami kebanyakan hanya bergurau, berburu, main kim dan lain-lain. Tapi sungguh pun seperti itu, saya merasa senang sekali guru telah suka tinggal di rumah orang tua saya ini. Karena dia hanya sendiri saja menghuni rumah, saya tak bersaudara seorang juga. Bapa saya telah mati ditimpa batu ketika gempa yang besar itu. Padahal saya sendiri pun seorang pejalan, maklumlumlah guru!" Tiba-tiba maknya menyelang: "Engku muda ini katanya hendak meminta tolong kepada engkau Muluk. Kalau dapat tolonglah!" "Mans yang dapat saya tolong, Insya Allah guru!" "Tetapi cuma kita 4 mata saja," kata Zainuddin! [125] "Baiklah," jawab perempuan tua itu, "saya pun hendak kebelakang memasakkan nasi dan kopi!" Setelah duduk berdua saja mulailah Zainuddin berkata, "Meski pun bang Muluk belum saya kenal benar, tetapi saya percaya abang dapat menolong saya, dan dapat pula menyimpan rahasia saya." "Guru tak usah susah. Meski pun pekerjaan yang saya kerjakan amat buruk, penjudi, tetapi memegang amanat saya sanggup. Apalagi menurut adat istiadat kami, judi dan sabung hanya pergurauan anak muda saja. Namun basa basi, kami lebih teguh memegangnya dari pada orang-orang yang berpangkat sekalipun. Bagi kami tidak boleh menuhuk kawan seiring, menggunting dalam lipatan, apa lagi terhadap kepada orang yang telah meminum air ayah bunda kita, dan kita pun begitu pula kepadanya." "Terima kasih," jawab Zainuddin. Lalu dia mulai menceriterakan halnya sejak mulai ayahnya terbuang, kematian ayah bundanya, perjalanan ke Minangkabau, perkenalan dengan Hayati, dia diusir orang dari Batipuh, kematian mak angkatnya, suratnya ditolak orang, sampai kepada surat Khadijah yang baru saja diterimanya, semuanya tiada yang ketinggalan. Semuanya didengarkan oleh Muluk dengan hati-hati, kadang-kadang merah mukanya, kadang-kadang sedih, sangatlah iba kasihannva melihat Zainuddin yang selalu dipanggilnya "guru" itu. Setelah semuanya diceriterakannya, lalu dia berkata: "Bang Muluk! Saya hendak minta tolong supaya abang sudi menyelidiki siapakah agaknya Aziz itu, adakah dia pantas menjadi jodoh Hayati..Tolong abang, selidiki! Kalau memang pantas jadi jodohnya, kalau memang Aziz itu berperangai baik, untung Hayatilah yang bahagia, nasib saya jugalah yang malang. Tetapi kalau Hayati teraniaya, kalau perangai Aziz dapat menyebabkan Hayati makan hati berulatn jantung bersuamikan dia, saya akan tetap menjaga dia, saya akan tetap jadi saudaranya, menjadi pembelanya, sehingga nyawa saya bercerai dengan badan. Cobalah bang Muluk selidiki siapa dia, di mana dia tinggal, bagaimana kelakuannya, [126] berapa saja ongkos yang perlu, saya akan membayar!" Sedang Zainuddin berkata-kata itu, muka Muluk mulai kerut dan akhirnya dia menggelenggelengkan kepala. "Mengapa abang menggeleng-gelengkan kepala?" "Guru tak usah rugi terlalu banyak dalam perkara itu! Meski pun misalnya mencari Aziz akan memakan ongkos banyak, haram saya memakan wang guru, guru telah jadi saudara saya.

Tetapi mencari orang muda yang bemama Aziz, tidaklah sukar. Siapa orang penjudi yang tiada kenal akan dia?" "Apa kata abang?" "Si Aziz anak St. Mantari, ibu bapanya orang Padang Panjang ini, karena dia berkerabat dengan orang berpangkat-pangkat, dia mendapat pekerjaan yang agak pantas. Tetapi perangainya .... Masya Allah! Penjudi, pengganggu rumah tangga orang, sudah dua tiga kali terancam jiwanya karena mengganggu anak bini orang. Syukur ada wang simpanan ayahnya yang akan dihabiskannya, kalau tidak tentu sudah tekor kas di kantor tempat dia bekerja, tetapi dia dapat menutup malu. Apa yang lebih berkuasa di dunia ini, lain dari wang?" "Sebenarnyakah begitu bang Muluk?" "Apakah faedahnya saya melebihi dan mengurangi yang sebenarnya saya lihat, guru? Dalam perkara judi saya berdosa, dalam perkara yang lain dapati hendaknya saya timbulkan dengan kebaikan. Aziz ... siapa kami yang tak akan kenal kepadanya? Sudah berapa kali dia memelihara perempuan dengan tidak kawin dalam rumahnya di Padang." "Allah ....nasib kau Hayati!" "Tak usah guru rugi banyak, percayalah mulutku." "Bagaimana kalau saya temui dia?" "Siapa?" "Aziz." "Gunanya?" "Memberinya nasehat!" [127] "Tak usah guru, tak usah! Tidak ada kejujuran dalam hati orang seperti itu. Saya tahu betul. Nanti guru marah, dia tertempeleng, orang banyak tahu. Orang hanya lekas mencap ....fasal perempuan. Karena tidak ada perkelahian orang dengan dia lantaran yang lain, hanyalah lantaran si rambut panjang juga. Guru dapat malu, sedang padanya malu itu tidak ada. Cari lain perempuan, bukan seorang yang bersanggul di dunia ini! Habis perkara!" ujar Muluk pula. "Ai ..... nasehatmu abang!" "Habis?" "Boleh jadi Hayati masih cinta kepadaku dan dia hanya teraniaya!" "Hai guru! Guru terlalu lurus dan masih amat muda. Guru sangka hati perempuan di dunia ini. sebagai yang tersebut dalam kitab rupanya. Tak ada itu guru, keluarga Aziz kaya, berbangsa, guru dipandang miskin, orang "lain." Guru dirintang oleh Hayati dengan mulut manis supaya gunu jangan marah. "perempuan" guru; ..........perempuan!" Nasehat apakah lagi yang dicari Zainuddin! Padahal kemana pun dia. mencari nasehat, bentuk nasehat orang hanya sama dengan nasehat Muluk itu? Setelah mendengarkan perkataan Muluk itu, sampai semalam-malaman hari dia duduk termenung sendirinya, pikirannya hanya kepada Hayati saja. Mengapa suratnya tak datangdatang lagi, seakan-akan sudah putus benar perhubungannya dengan dia. Masih adakah

tersimpan cinta yang telah dijanjikannya itu dalam hati Hayati terhadap dirinya. Atau memangkah angin telah berkisar benar-benar. Mengapa akan selekas itu benar keadaan itu berubah. Masih belum akan rebah dangau di sawah, tempat mereka mula-mula mengikat janji. Agaknya batang cingkaring di kiri jalan ke Padang Panjang, tempat Hayati melepasnya dahulu masih belum bertukar daun. Mengapakah cinta itu akan berubah. Janjinya [128] terlalu berat, kedatangannya akan ditunggunya, walau setahun atau dua tahun, walau bermusim berbilang zaman, Zainuddin akan ditunggunya. Ah, ....tidak, Hayati masih suci! katanya. Lal u diambilnya kertas dari dalam laci dan dia mulai menulis. Surat yang pertama

Sahabatku Hayati! Bagaimanakah yang sebenarnya kejadian, Hayati? Benarkah sudah ditutup perjalanan hidup kata hingga ini? Benarkah telah putus pertalian kita, dan saya sudah jadi orang lain dalam pemandanganmu, tidak akan berkenalan, lagi, tidak akan bertegur sapa lagi bila bertemu? Benarkah bahwa peringatan kau kepadaku sehingga ini kertas hanya akan laksana peringatan seorang manusia atas mimpinya yang lama-lama, yang telah dihapuskan oleh pergelaran masa dan pertukaran waktu? Benarkah Hayati, bahwa sejak sekarang kitab kita telah tamat Bila kita bertemu di tengah jalan, yang seorang akan menyisih ke jalan kiri, dan yang seorang akan menyingkir ke jalan kanan? Alangkah lekasnya hari berubah, alangkah cepatnya masa berganti. Apakah dalam masa sebulan dua saja istana kenang-kenangan yang telah kita dirikan berdua dihancurkan oleh angin punting beliung, sehingga dengan bekas-bekasnya sekali pun tidak akan bertemu lagi? Ingatkah kau Hayati, bahwa istana itu telah kita tegakkan di atas air mata kita, di atas kedukaan dan derita kita? Berapa kerasnya pukulan nasib di atas diriku, bertimpa dan bergeler, sejak masih mengentak ubun-ubunku, kutempuh itu dengan dadayang tak berdebar sedikit juga, sebab ada pintu gerbang pengharapan terbuka. Sekarang pintu itu telah tertutup kembali, tidak ada harapan lagi akan dibukakan orang. Benarkah Hayati, bahwa saya akan berdiri di muka gerbang itu dengan putus asa, hujan kehujanan dan papas kepanasan? Sedang orang yang lintas seorang pun tak ada? Menurut sangka saya bermula, kenang-kenangan itu akan terpisah hanya dipisahkan kematian. Sekarang kita masih hidup, belum sampai [129] tumbuh uban di kepala kata, alam pun rrtasih alam yang dahulu juga, keadaan telah berubah saja demikian rupa. Suatu kejadian ........ yang tidak ada mengatasinya lagi. Apakah keadaanku yang tidak kau setujui Hayati? Apakah yang telah menyebabkan dengan segera cintaku kau coreng dari hatimu? Ah Hayati, kalau kau tahu! Agaknya belum pernah orang lain jatuh cinta sebagaimana kejatuhanku ini. Dan bila kau alami kelak agaknya tidak juga akan kau dapati cinta sebagai cintaku Cintaku kepadamu lebih dari cinta saudara kepada saudaranya, cinta ayah kepada

agaknya. Kadang-kadang derajat eintaku sudah terlalu amal naik, sehingga hanya dud yang menandingi kecintaan itu, pertama Tuhan dan kedua mati. Tak pernah namamu lepas dari sebutan mulutku. Tidak pernah saya khianat kepadamu, baik lahir atau pun batin. Kalau saya melihat alam, maka di dalam alam yang kulihat itu engkaulah yang tergambar, segenap perasaanku berisi dengan engkau. Bilamana matahari terbenam saya perhatikan benar-benar, karena di sana kelihatan wajahmu yang indak. Bila tekukur berbunyi, kudengarkan dengan khusyu, lantaran di sana laksana tersimpan suaramu yang merdu. Dan bila saya melihat bunga yang mekar, kembalilah semangatku, karena keindahan bunga itu adalah ciptaan keindahanmu. Beruntung saya rasanya hidup, sebab mengenangkan engkau. Dan tidak perlu bagiku hidup ini, melainkan karena menghunikan engkau di dunia, untuk melihat engkau, untuk menyebut nama engkau. Kalau sudah nyata - dan memang nyata - bahwa cintaku itu menerima balasan, maka sekurangkurangnya hibailah saya, kasihanilah saya, sayangilah air mata yang telah banyak tertumpah untuk kau. Hibailah kedukaan di balik kedukaan, sehingga hatiku sudah tidak serasa hati lagi. Ketahuilah, bahwasanya orang yang akan menyukai kecantikanmu dalam dunia ini akan banyak bertemu. Orang yang menambah kemuliaanmu dengan harta-bendanya bukan sedikit Tetapi yang akan cinta kepadamu sebagai eintaku, sungguh engkau tak akan bertemu, percayalah perkataanku, percayalah! Hayati! Kau tertipu. Kau terpedaya dengan mulut manis. Mereka telah menipumu dengan harta benda dan hawa nafsu Bagi mereka cinia hanva dapat berdiri dengan patri harta dan haw nafsu. Mereka telah salah [130] menerangkan, mereka katakan bahwa hidup itu ialah buat makan dan buat minum saja, atau buat mengumpul-ngumpulkan baju yang baru, guntingannya yang indah dan paling model. Mereka telah mengukur kehidupan dengan rumah yang cantik, godong yang permai, villa yang indah Mereka masukkan ke dalam pikiranmu kecintaan kepada perhiasan, kepada dokoh dan gelang. Bagi mereka, persuami-isterian itu ialah semata-mata harta. Tidak Hayati! Semuanya itu palsu adanya. Kalau perkawinan hanya dipertalikan oleh harga benda, tidak juga akan berubah sipatnya dari pelacuran yang biasa, cuma bernama nikah sebab berakad saja. Orang perempuan yang menyerahkan diri kepada suami lantaran suami itu berharta, samalah dengan perempuan lacur yang menjual kehormatannya, bahkan lebih buruk dari perempuan lacur, sebab perempuan itu menjatuhkan harga dirinya karena hendak mencari sepiring nasi, tetapi si isteri ini memberikan diri karena mengejar harga. Karena mengharapkan gelang mas, dokoh berlian, baju cantik, selendang bagus. Coba kalau si suami itu jatuh miskim, Ya Allah! Terbuka jalan ke rumah tuan kadi, meminta khulu' dan fasakh, meminta cerai dan talak. Mereka buangkan suami itu sebagai membuangkan daun pisang yang dikait di tepi jalan sebab tak berpayung di ketika hari hujan, dan bila hujan reda, daun itu pun tercampaklah di tepi jalan, diinjak-injak orang lalu. Jangan sampai terlintas dalam hatimu, bahwa di dunia ada satu bahagia yang melebihi bahagia cinta. Kalau kau percaya kebahagiaan selain cinta, celaka diri kau. Kau menjatuhkan ponis kematian ke atas diri kau sendiri! ........ Kalau kau tahu! Sudah sedari lama keindahan dan kecantikan dunia ini terlepas dari hatiku, laksana rontoknya bunga yang kekurangan air dari jembangan. Sudah sekian lama kehidupan ini saya palsukan, saya hadapi dengan hati remuk Karena kekuasaan iblis telah merajalela di atas hati manusia. Cuma satu saja yang kulihat paling suci ialah kau, kau sendiri!

Pada diri kaulah bertemunya lambang dari kesucian dan kemurnian, yang dipenuhi oleh cinta yang ikhlas. Sebab telah kau sambut tanganku yang lemah, sebab telah kau terima suaraku yang parau, di waktu orang lain membenciku, lantaran miskinku, papaku dan kurang bangsaku. Hanya kau seorang! Sudikah orang yang seperti kau mengulurkan tangannya memberikan rezeki kepada si buta. Demi setelah si buta hendak menyambut pemberian itu, tangannya ditariknya kembali? Bukankah kau ajar saya dalam kemanjaan, kau kenalkan saya apa artinya keindahan dalam dunia ini? Sehingga saya telah rindu, hidup, telah sayang kepada alam karena kau. Kaukah itu, Hayati? Kaukah yang begitu kejam mendorongkan diriku kepada lautan cinta, setelah saya berenang, kau segera ke luar, dan kau biarkan saga karam sendiriku? Tidak, saya tidak percaya bahwa kau begitu kejam dan ganas. Saya masih ingat hati yang lemah-lembut itu. Sudah sampai kepadaku kabar bahwa kau telah bertunangan. Itu tidak saya bantah, apa boleh buat! Diriku juga yang malang. Cuma setelah saya dengar bahwa tunanganmu itu Aziz, dan setelah saya selidiki siapa dia, maka saya kirimkan surat ini memberi ingat bahwa perkawinanmu agaknya tak akan bertemu dengan cita-citanya yang sejati. Saya kenal betul haluan hidup kau dan haluan hidupnya. Ini hanya perkawinan harta dan perkawinan kecantikan. Bilamana salah satunya telah kurang, maka pergaulan adinda akan terancam. Dan kalau itu kejadian, maka saya jugalah yang akan celaka. Celaka bukan buat diriku, tetapi buat kau! Ya Rabbi, Ya Tuhanku, apakah sampai agaknya seruan hati kecilku ini kepada orang yang kutuju, orang yang selamanya tak hilang dari hatiku. Hayati, hendaklah kau tahu bahwa keberanianku membuka perkara ini kepadmu adalah lantaran disuruh perasaan hati cinta jua. Karena yang lebih penting buat diriku adalah keberuntungan dan kebahagiaanmu, bukan kepentingan dan kebahagiaan diriku sendiri. Terima surat ini dahulu, agaknya akan kusambung jua. Karena mengirim surat ini, adalah mengurangi juga bagi kepedihan luka jantungku..... Zainuddin
Surat yang kedua:

Alangkah gelapnya dunia ini kupandang. Alam telah lengang dan sunyi, tidak ada gerak yang membangunkan semangatku lagi, malam seakan-akan terus menerus saja, tidak sedikit juga berganti dengan sung. Kadang-kadang saya rasai badan saya sebagai seorang yang terpencil jauh di tengah padang yang tandus, tidak add manusia yang lalu lintas di sand, tidak add kali yang mengalir, tidak add daun yang digerakkan angin. Seakan-akan saya sudah [132] terbuang, mencari jalan dan ikhtiar untuk keluar dari tempat itu, tetapi jalan tidak kehhatan. Saya turnggu kelepasan dengan sabar, tetapi hanya maut yang melayang-layang di tentang ubun-ubunku. Bilakah masa itu akan datang? Bilakah maut akan menjemput nyawaku, supaya aku terlepas dari kesakitan yang tidak tertanggung ini? Kau hilang dari padaku, Hayati! Dan gantinya sudah tak akan ada lagi, karena segenap hidupku telah aku tumpahkan buat kau seorang. Nasibku tak ubah dengan seorang juara sabung yang

kalah dalam medan perjudian, wangnya, hanya tinggal seringgit saja, dilepaskannya pula wang itu dengan perasaan untung, kiranya kalah pula. Setelah kau termasuk ke dalam daftar hayatku maka timbullah beberapa cita-cita yang besar dalam hatiku, timbul angan-angan yang murni. Telah dipenuhi semangatku oleh perasaanperasaan yang suci. Ingat akan dikau adalah nyawa yang menimbulkan kekuatan ruhani dan jasmani untuk menempuh perjuangan dalam alam ini. Tapi sekarang setelah kabar itu sampai, say telah menjadi lemah, seakan-akan padam pelita angan-angan itu, seakan-akan minyaknya telah habis, sehingga meskipun bagaimana juga orang bermaksud menyalakan kembali, sudah percuma. Tidak ada lagi perasaanku, sudah kendur jalan pikiranku. Tidak saya perduli lagi kepada keadaan sekelilingku Tidak tentu tujuan mana yang akan saya tempuh, haluan mana yang akan saya turut. Adalah nasibku sekarang laksata bangkai buruttg kecil yang tercampak di tepi jalan sesudah ditembak anak-anak dengan bedil angin, atau seakan-akan batu kecil yang terbuang di halantan tidak diperdulikan orang. Hayati! Tidakkah kau takut, bila datang hari kiamat, datang pertanyaan dari pada Qadhi Rabbun Jalil, mengapakah kau kecewakan hati seorang manusia yang mempunyai tujuan suci dalam hidupnya? Patah tujuan itu lantaran kau kecewakan. Tidakkah kau takut, bilamana lantaran ini saya mati dahulu dari pada kau, maka menurutlah arwahku ke manapun kau pergi, memekik dan merintih-meminta dikembalikan hidupnya yang sudah kau rampas, hatinya yang sudah kau patahkan, cita-citanya yang sudah kau dinding. Menurut arwah itu kemana pun kau pergi, sedang kau tidur dan kau bangun, sedang kau makan dan sedang kau minum, bahkan sedang kau dalam pelukan suamimu sekalipun. Arwah itu akan membisikkan di telingamu, dengan suatu bisikan yang nyata: "Kalau kau biarkan dia tinggal hidup, dialah contoh yang sebenarnya dari suami yang budiman, teladan yang seindah-indahnya dan seorang ayah yang pengasih: seorang sahabat yang setia, seorang yang menjadi tiang agung dalam masyarakat." [133] Mana janji kau, mana sumpah setia kau yang dahulu. Tidakkah kau bemiat hendak memelihara keberuntunganku, sebagaimana malaikat di langit pun memelihara keberuntungan manusia? Wahai, kalau kau sempatlah kiranya melihat saya sekarang ini, akan nyata oleh kau suatu tubuh yang telah kurus, suatu mata yang telah berkunang-kunang, suatu kekuatan yang telah habis dan musnah lantaran kepedihan dan bencana. Hayati! datanglah kemari, agak sekali dan sesaat pun cukuplah. Saya hendak melihat mukamu, sebabdi sana tersimpannya keberuntunganku yang telah hilang, angan-anganku yang telah padam. Perdengarkan kepadaku suara mu yang merdu, suara yang telah menimbulkan gairat untuk hidupdalam jiwa ku. Hidupkan hatiku kembali dengan cintamu. Katakanlah agak sepatah kalimat saja, bahwa kau masih tetap mencintaiku, meskipun ucapan itu benar atau dusta sekalipun, cukuplah itu bagiku. Sungguh, jika sekiranya pada masa ini kau bertemu olehku di tengah jalan, dengan tidak memperduhkan kata-kata orang, saya akan menyimpuh di hadapanmu, sebagaimana menyimpuh seorang inang pengasuh di hadapan raja rya. Dan kalau tidak perduli lagi, karena kebencian telah memenuhi hatimu kepadaku, akan saya iringkan engkau sampai kemana pun, supaya agak sekali kau toleh juga saya ke belakang Tidak ada sepatah perkataan yang akan kukeluarkan mengganggu engkau. Saya hanya hendak membiarkan air mataku terjatuh di hadapanmu, moga-moga kau dapat menjamah kepalaku dan memberi saya hidup, meskipun sesudah itu akan kau bunuh pula. Sangat payah sakit saya sekarang Hayati, agaknya tidak ada orang lain yang lebih sakit dari padakm

Dahulu bahagia dan cinta yang kuminta dari padamu; sekarang itu kau cabut kembali. Maka kalau itu tak boleh berikan sajalah kepadaku hidup! Zainuddin.
Surat yang ketiga:

Malangnya nasibku. Telah runut bunga hayatku sebelum dia mekar. Tua telah berangsur mendatangiku, padahal umurku masih muda. Seorang diri aku menyeberangi hidup ini sekarang; ayahku telah mati, ibuku dan ibu angkatku pun demikian. Seluruh alam membenciku, hatta daun kayu di dekat rumah, angin pagi yang biasa membawa udara nyaman, tidur yang biasanya mengembalikan [134] kekuatan manusia, semuanya meninggalkan daku. Tiba-tiba kau, yang hanya satu tempatku bergantung, telah hilang pula dari padaku! Kemana saya mesti pergi lagi, tunjukkanlah, walau pun ke pintu kubur kau tunfukkan, saya pun akan pergi. Lebih seratus kali nama kau kusebut dalam sehari! Kadang-kadang saya panggil dalam nyanyianku, kadang-kadang dalam ratapku. Kicut pintu ditolakkan angin, serasa-rasa langkah kau yang terdengar. Masih juga belum percaya saya bahwa kau memang telah sebenarbenarnya membuang saya dari ingatanmu. Saya tanyai diri saga, adakah saya berdosa kepadamu? Tidak rasanya, bahkan dosa yang lain yang kerap saya-perbuat untuk mencukupkan cintaku kepadamu. Pemahkah kau mendengar kabar berita seorang Haji yang berlayar ke Mekkah, membawa isterinya dan anak-anaknya yang masih kecil 3 orang banyaknya, isterinya itu sedang hamil pula. Tiba-tiba penyakit wabah pun datanglah di negeri suci itu, si suami meninggal dunia di sana. Seketika tuan Syekh memaklumkan kepada jemaahnya bahwa Haji telah selesai dan jemaah-jemaah mesti berangkat ke Judah akan kembali pulang, pergilah isteri itu membawa anak-anaknya ketiganya ke pusara ayahnya, meratap dan memberi tahukan bahwa mereka akan pulang lagi, pulang sendirinya tak berteman, menghadapi kemiskinan dan keyatiman, dan suami yang berbudi itu akan dipertaruhkan menjaganya kepada Ka'bah. Pernahkah kau melihat seorang perempuan tua yang berjalan hilir sawah mudik sawah, sambil bernyanyi menyebut-nyebut nama anaknya. Yaitu seorang perempuan yang masih muda, yang wafat seketika dia akan dikawinkan, sehingga sedianya akan dibawanya bertandang ke rumah mertuanya dengan peralatan besar, kiranya diiringkan ke kuburan oleh orang kampung bersama-sama. Pernahkah kau mendengar seorang anak muda yang baru bertunangan, berjalan ke rantau orang hendak mencari mas kawin dan kain baju, untuk diberikan kepada tunangannya bilamana dia pulang kelak. Setelah dua tahun dia berjalan, dia pun pulang, didapatnya tunangannya tadi telah bersuami orang lain yang lebih kaya, sebab dia terdengar miskin. Pernahkah kau dengar bahwa seketika dia pulang itu, setelah sampai kepadanya kabar bahwa tunangannya telah bersuami, dia duduk di tepi batang air yang deras, menangisi nasibnya, dan akhirnya dilemparkan petinya itu ke dalam air. Setelah itu dia kembali merantau, sehingga tak pulangpulang lagi sampai sekarang ini. Pernahkah kau mendengar kabar seorang perempuan yang mempunyai [135] dua orang anak laki-laki, yang seorang berjalan ke Jakarta dan seorang berjalan ke Medan. Tiba-tiba sampai

kepadanya kabar bahwa anaknya yang tua mati di rumah sakit, dan anak yang kedua mati pula di dalam mencarikan kepalanya yang tak bertutup dan perutnya yang tak berisi. Sehingga kepada tiap-tiap orang yang pulang merantau ditanyakannya juga, adakah bertemu anaknya, dan bila dikatakan orang bahwa anak itu sudah mati, dia termenung, dia tak menangis lagi, sebab sudah kering air mata yang akan ditangiskannya. Pernahkah kau mendengar nasib seorang tua yang menjadi tukang rumput, mempunyai isteri yang sedang sakit dan anak yang sedang sarat menyusu. Beras yang akan ditanak tak ada, dicobanya meminjam kepada orang setelah rumah, orang tak man meminjami lagi, sebab utang beras 3 dan 4 hari yang lalu belum juga dibayarnya. Lantaran terlalu susah, pergilah dia mencuri beras orang itu dan dibawanya pulang. Dimasaknya beras itu ke dapur, sedang isteri dalam menarik nafas yang penghabisan. Tiba-tiba polisi pun datanglah menangkapnya, dia akan dibawa ke kantor mahkamah; nasi hangus, anaknya meratap dan isterinya mati setelah dia sampai ke pintu. Sehingga lantaran hebatnya cobaan itu, pikirannya bertukar, dia gila, sehingga tak jadi dibawa ke kantor mahkamah, melainkan diantarkan terus kerumah sakit gila. Kalau pernah kau dengar segala ceritera itu atau pernah kau lihat; kalau pernah kau dengar nyanyian orang kurungan menunggu ponis buangan, atau rintihan dan pekik orang sakit di dalam rumah sakit, atau tertawa yang tinggi dan rambut yang telah panjang dan pakaian yang cumpang-camping dari orang gila, sehingga lantaran itu kau jatuh betas kasihan, kau tangisi nasib mereka yang malang dan untung mereka yang buruk, maka ketahuilah Hayati, bahwa nasibku lebih lagi malangnya dari itu. Sayalah yang lebih pantas menerima kasihan kau, menerima ratap kau dan tangis kau.............. Tak ada lagi yang kutuliskan kepadamu, pelita hatiku dari sedikit ke sedikit berangsur padam. Agaknya inilah surat yang penghabisan kepadamu. Selamat tinggal Hayati! Kalau umurku masih panjang, entah tidak akan bertemu lagi, dan kalau umurku singkat maka inilah ucapanku yang penghabisan.............. Zainuddin
Balasan Hayati:

Tuan yang terhormat! Tak dapat saya sembunyikan kepada tuan, malah saya akui terus terang [136] bahwasanya seketika membaca surat-surat tuan itu, saya menangis tersedu-sedu, karena tidak tahan hati saya. Tetapi setelah reda gelora dan ombak hati yang dibangkitkan oleh surat tuan itu, timbullah kembali keinsafan saya, bahwa tangis itu hanyalah tangis orang-orang yang putus asa, tangis orarg yang maksudnya terhalang dan kehendaknya tidak tercapai. Tangis dan kesedihan itu selamanya mesti reda juga, ibarat hujan; selebat-lebat hujan, akhirnya akan teduh jua. Kita akan sama-sama menangis buat sementara wuktu, laksana tangis anak-anak yang baru keluar dari perut ibunya. Nanti bilamana dia telah sampai ke dunia, dia akan insaf bahwa dia pindah dari alam yang sempit ke dalam alam yang lebih lebai: Kelak tuan akan merasai sendiri bahwa hidup yang begini telah dipilihkan Allah buat kebahagiaan tuan. Allah telah sediakan hidup yang lebih beruntung dan lebih murni untuk kemaslahatan tuan di belakang hari.

Tuan kan tahu bahwa saya seorang gadis yang miskin dan tuan pun hidup dalam melarat pula, tak mempunyai persediaan yang cukup untuk menegakkan rumah tangga. Maka lebih baik kita singkirkan perasaan kita, kembali kepada pertimbangan. Lebih baik kita berpisah, dan kita turutkan perjalanan hidup masing-masing menurut timbangan kita, mana yang lebih bermanfaat buat di hari nanti. Saya pun merasai sebagai yang tuan rasakan, yaitu kesedihan menerima ponis itu. Tetapi tuan harus insaf, sudah terlalu lama kita mnngangan-angan barang yang mustahil, baik saya atau pun tuan. Tuan pilih sajalah seorang isteri yang lebih cantik dan lebih kaya dari saya, dan marilah kita tinggal bersahabat buat selamanya. Kepada Aziz tak usah tuan kecil hati, dia tak salah dalam perkara ini. Tetapi sayalah yang telah mengambil putusan yang tetap buat bersuanu dia; lawan saya musyawarat ialah hati saya sendiri, sehingga saya terima tawaran ninik-mamak saya. Dan saya harap tuan lapakanlah segala hal yang telah berlalu, maafkan segala kesalahan dan keteledoran saya, sama kita pandang hal yang dahulu seakan-akan tidak ada saja. Hayati.
Demi setelah sampai surat itu kepada Zainuddin, mengerti benarlah dia sekarang hal yang disusahkannya selama ini, yaitu kalau-kalau Hayati masih cinta kepadanya. Sekarang ternyata sudah tidak lagi. [137] Sebagai seorang laki-laki yang tahu kehormatan dirinya ditulisnyalah surat yang penghabisan, untuk penutup riwayat-riwayat yang telah lama itu.

Sahabatku Hayati! Alhamdulilkh telah saya jalankan sepanjang bunyi suratmu. Telah saya lupakan segala hal yang lama-lama. Telah saya pandang semua hal itu tidak ada saja. Saya ucapkan pujian kepada sahabat, karena sahabat telah dapat menentukan nasib buat di belakang hari, dan saya pun akan berikhtiar pula. Untuk membuktikan kelupaan itu, maka inilah saya kirimkan kembali segenap surat-surat yang sahabat kirimkan kepada saya dari awal sampai ke akhirnya, karena tidak ada faedah lagi menyimpannya. Persahabatan yang sahabat tawarkan itu saya terima pula dengan dada terbuka, sebagaimana dahulu saya terima cinta yang sahabat berikan. Ada pun perasaan kecewa atau kecil hati terhadap sahabat atau tunangan sahabat, tidaklah ada pada saya. Cuma saya doakan, moga-moga pergaulan dan penghidupan sahabat beruntung sampai akhirnya. Zainuddin

15. PERKAWINAN
Apa benarkah begitu maksud Zainuddin? Mengapa selekas itu benar bertukar bunyi suratnya? Itu adalah surat yang sebenarnya, yang timbul dari pada perasaan kemanusiaan, yang harus ada pada tiap-tiap laki-laki. Laki-laki menyimpuh menadahkan tangan harapan di harapan seorang perempuan yang dicintainya, kalau harapan itu masih dirasa ada. Tetapi turunlah mutunya sebagai laki-laki, kalau orang telah jelas enggan, dia masih mendekat juga. Tetapi kalau cinta telah mendalam, walau pun bagaimana tebalnya perasaan sebagai laki-laki, badan meremuk juga laksana ayam kena penyakit menular. Setelah Hayati menerima surat-surat yang dikirim Zainuddin itu, tergoncang juga pikirannya. Ingatannya melayang kepada zaman-zaman yang telah lalu. Tetapi dia sudah terlalu banyak berhutang budi kepada dunia, sebab itu dia mesti membayar kembali. Sebelum dia menjejak pergaulan yang bebas, sebelum dia tahu memakai pakaian-pakaian guntingan yang baru, baginya kebahapiaan itu ialah pada kecantikan alam dusunnya, pada mencintai kekasihnya yang mula-mula. Tetapi sekarang sudah berubah, dan perubahan itu janganlah disangka perubahan yang sejati. Itu hanyalah cat yang datang dari luar. Pergaulan dan tutur lemak manis dari kiri dan kanan, boleh menghilangkan wama asli buat semantara waktu. Beberapa perempuan di dalam riwayat telah kita lihat. Dengan mudah saja dia mengecewakan hati orang laki-laki, dengan mudah dia menghubungkan kasih. dengan mudah pula dia memutuskannya. Tetapi orang yang begini biasanya harus membayar [139] utang pula atas kesalahannya. Pada tarikh Cleopatra, yang sanggup mempermai-mainkan hati Julius Caesar dan lain-lain orang muda, dapatlah jadi ibarat ceritera ini. Cintanya kepada Antonius menyebabkan dia merendah menghinakan diri. Coba kalau sekiranya surat yang dikirimkannya kepada Zainuddin itu dibacanya dahulu sekali lagi sebelum dimasukkannya ke ampelop, atau diheningkannya barang dua hari, agaknya tidak akan jadi dikirimkannya. Tetapi itulah perempuan, dia kerapkali sampai membunuh orang dengan perbuatannya yang tiada tersengaja. Hari perkawinan telah ditentukan, petang Kamis malam Jum'at disamakan diantara Aziz dengan adiknya Khadijah. Sebelum hari yang ditentukan itu datang. Hayati asyik memperbaiki rumah tangganya, mengatur bunga-bunga berkarang, pemberian kawan-kawannya, gelas dan baki, pinggan dan cawan. Alangkah cantiknya gadis dusun itu diberi pakaian kota. Teman-temannya sesama gadis yang belum dipanjat ijab kabul, melihat keindahan dan kecantikan Hayati dengan perasaan iri hati: Kapan agaknya mereka akan mencoba pula yang demikian itu? Apalagi 3 hari sebelum kawin, sate bungkusan sutera telah dibawa orang dari Padang Panjang, penuh berisi kain-kain yang halus, sarung batik Pekalongan, Ciamis dan Tulungagung. Kebaya-kebaya pendek yang indah potongannya, tanda mata dari bekal suaminya. Kamarnya diperhiasi indah sekali, dipanggilkan seorang perempuan yang ahli mengatur kamar penganten dari Padang, karena di kampung tidak ada yang pacak mengerjakannya. Karib dan ba'it, ipar dan bisan amat ramai dalam rumah yang gedang itu. Berkali-kali lumbung dipanjat menurunkan padi yang akan dijemur dan ditumbuk. Karena menurut pepatah Minangkabau, harta pusaka tak boleh diusik dan digaduh, melainkan jika bertemu sebab yang

empat perkara: "Rumah Gedang ketirisan, adat pusaka tak berdiri, mayat terbujur tengah rumah, gadis gedang belum berlaki." Kalau bertemu sebab yang empat itu, maka "tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah." Setelah harinya datang, ributlah orang dalam rumah mengerjakan dan menyiapkan. Hayati rintang terse nyum-senyum saja. Kalau sekali-kali terinbat olehnya Zainuddin, sengaja ingatan itu dipudarkannya dari hatinya. Dengan teman-temannya dia berbicara tentang nasibnya di belakang hari, keberuntungan yang sedang terbayang di angan-angan. Setelah hari malam kira-kira pukul 12, datanglah penganten yang laki-laki dari Padang Panjang, diiringkan oleh teman sahabatnya, cukup dengan adat kebesaran. Sebelum makan dan minum, ijab dan kabul pun dilakukan di muka Kadi. Di dalam masa hanya satu atau dua menit, runtuhlah gunung cita-cita yang telah sekian lama didirikan oleh Hayati dan Zainuddin dahulunya. Kira-kira pukul dua tetamu yang banyak itu pulanglah ke rumah masingmasing, yang dari Padang Panjang telah kembah ke Padang Panjang Tidak juga dapat dilupakan bahwa diantara pengantar itu terdapat Muluk, sahabat karib Zainuddin. Setelah tetamu-tetamu itu pulang, atas permintaan pihak yang perempuan, maka kedua penganten muda itu dipersanding kan oranglah. Karena demikian adat yang terpakai. Setelah bersanding beberapa lamanya, keduanya dipersilakan masuk peraduan. Jika pada malam itu hari gembira yang paling besar dalam penghidupan Aziz dan Hayati, adalah di Silaing Padang Panjang Zainuddin sedang tidur sambil merintih, menarik nafas panjang dan mengeluh. Sampai sesiang-siang hari, matanya haram tak tidur, pikirannya hanya melayang ke Batipuh. Banyak yang terbayang-bayang dalam pikirannya. Setelah hari hampir siang mata Zainuddin belum juga tertidur, datanglah Muluk. "Bang Mulukkah itu?" tanya Zainuddin dari kamarnya. "Ya, bukalah pintu, guru!" jawab Muluk. Pintu dibukakannya, sebelum Muluk sempat duduk ke korsi, Zainuddin terus bertanya: "Apa kabar?" "Telah langsung perkawinan orang itu!" Mendengar perkataan itu lemah sendi tulang Zainuddin, lampu dinding yang terpegang di tangannya hampir terlepas.. Dia masuk kembali ke dalam kamarnya, duduk menghadapi meja kecilnya sambil melepaskan air mata yang telah tertahan, dua patah perkataan yang dapat melepaskan segala perasaan hati, keluarlah dari mulutnya: ."...... Ah, nasib!" Sepagi itu Zainuddin tak dapat keluar lagi dari kamarnya, dia demam. Kian lama kian paksa. Yang duduk di kiri-kanannya hanyalah Muluk dan ibunya. Makan dia tak mau, air seteguk pun sukar melakukan, sebab dia tak ingat akan dirinya. Dukun-dukun telah dipanggilkan. Macam-macam pendapat mereka: kena hantu, kena pekasih, kena tuju paramayo, kena tuju senang meranda dan lain-lain penyakit. Apalagi setelah sakitnya lebih sepuluh hari, kerap kali dia mengingau (bertutur sendiri) dalam tidurnya. Menyebut ayahnya, bundanya, mak Base, Batipuh, kawin, Aziz. Dan yang paling banyak menjadi buah tutumya adalah Hayati!

Sudah segala macam obat dilekatkan, kumpai dan cikarau, sitawar dan sidingin, giring-giring hantu, api-api hantu, sirili bertemu urat, dasun tunggal, urat rotan melantas banir, semuanya tidak ada yang mujarab. Sisakit lianya bertambah sakit juga. Melihat itu, cemaslall kedua induk semangnya itu, Muluk dengan ibunya. Mereka takut, orang dagang yang malang itu akan meninggal di rumah mereka lantaran kesia-siaan mereka. Maka se tujulah kedua ibu dan anak itu memanggilkan dokter. Karena kebiasaan waktu itu, jika penyakit masih belurn dipandang berbahaya, mereka belum ada niat hendak pergi ke dokter, segala perkataanperkataan yang akan menghinakan dokter, keluarlah dari mulut: [142] "Apa guna memanggil dokter, penyakit begini tak bisa dokter mengobat. Tetapi kalau mengobat luka, memang dokter pintar." Nanti kalau rasa telah berat penyakit itu, baru teringat bahwa ada dokter. Padahal penyakit yang berat itu sama-lama payah mengobatinya, baik oleh dokter apalagi oleh dukun. Dokter dipanggilkan, si sakit diperiksa, ditanyakan pula kepada kedua ibu clan anak itu berita dan keadaan si sakit. Setelah dokter masuk ke kamar, berkicutlah pintu, kedengaran pula suara si sakit: "Kaukah itu Hayati? ....... Marilah duduk, marilah kemari, saya sudah sembuh dari sakitku, aku tak sakit lagi, mengapa lama benar baru kau datang?" Waktu itu juga dokter maklum nama penyakit itu! Oleh Muluk dinyatakan pula ceritera itu semuanya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala dokter berkata: "Yang lebih baik, kita minta atas nama kemanusiaan supaya perempuan itu datang kemari, walaupun sekali saja! Agaknya dengan pertemuan itu dapatlah sakitnya berkurang!" "Bagaimana kalau orang tidak mau?" "Nanti saya mengikhtiarkan," kata dokter! Dokter itu meskipun telah tua, mengerti juga aliran darah muda dan faham akan jiwa manusia. Dengan segala tipu muslihat diikhtiarkan supaya dapat Hayati melihat Zainuddin, walaupun bersama-sama suaminya. Lantaran pandainya menarik hati ninik-mamak Hayati, permintaan itu dikabulkan orang, meskipun Aziz sendiri mula-mulanya keberatan. Dalam pemandangan orang dusun hal itu pun menyalahi kebiasaan. Tetapi kekerasan permintaan dokter telah menghilangkan segala kemusykilan. Pagi-pagi pukul 9 berhentilah bendi Hayati di muka rumah Zainuddin di Silaing, dia diiringkan oleh suaminya Aziz yang kelihatan nyata di mukanya bahwa dia amat keberatan. Dokter pun masuk pula. Di dalam telah menunggu Muluk dengan ibunya. Dengan langkali yang perlahan sekali mereka masuk ke dalam kamar mendapati si sakit. Dia tengah tidur dengan enaknya, [143] badannya hanya tinggal kulit pembalut tulang saja. Dokter, Muluk, dan ibunya tegak di tepi pembaringan. Hayati duduk ke atas korsi yang telah disediakan di muka tempat tidur dan suaminya berdiri di belakang korsi itu. "Zainuddin, bangunlah, kembangkanlah matamu," kata dokter "ini Hayati telah datang menziarahimu!" Dia masih diam saja! Dengan separo berbisik dokter berkata kepada Hayati: "Lebih baik engkau sendiri memanggilnya, moga-moga dia terbangun." Mula-mula Hayati menoleh ke belakang, kepada suaminya. Muka Aziz kelihatan kerut saja.

"Jika di waktu badannya sehat tuan-tuan benci kepadanya, kasihanilah di waktu dia sakit," kata dokter dengan muka agak marah. "Zainuddin!" kata Hayati. Mendengar suara yang merdu itu, yang dalam telinganya laksana suara Nafiri dari dewa-dewa, Zainuddin pun mengembangkan matanya yang cekung. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan mencari dari mana datang suara itu. Lalu dia bertanya: "Siapa yang memanggil namaku?" "Bangunlah Zainuddin, ini saya datang," kata Hayati. "Hayatikah itu? Suaranya! Saya kenal benar suaranya," katanya; latu dicobanya hendak bangun, tetapi badannya masih lemah. Lalu ditolong mendudukkan oleh Muluk dan ibunya. Punggungnya dikalang dengan bantal. Terbit suatu cahaya yang hidup dan terang dari kedua belah matanya yang telah kuyu itu. "Mana Hayati?" Dicarinya Hayati dengan tangannya. "Oh, ya, Hayati! Kau datang tepat pada waktunya Telah saya sediakan rumah buat tempat tinggal kita. Sudah saya cukupkan alat-alat yang perlu dalam rumah itu. Nantilah saya ambil pakaian hitam saya, pakaian penganten, ini tuan Kadi [144] (sambil mengisyaratkan matanya kepada dokter), sudah lama menunggu kedatanganmu untuk melangsungkan ijab kabul. Sehabis nikah kita akan berangkat ke Mengkasar, kita akan melihat Butta Jum Pandang, akan ziarah ke kuburan ayah bundaku! Kita letakkan di sana bunga berkarang! Cantiknya kau hari ini! Baju berkurung begini memang sangat saya setujui. Bukankah dahulu seketika kita mula-mula bertemu, kau memakai baju berkurung juga! Ini selendang, selendang sutera putih, memang ini pakaian penganten model sekarang." Muka Hayati selama Zainuddin berbicara itu amat pucat, apalagi muka Aziz. Dokter melihat si sakit dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ibu Muluk menitikkan airmata. "Kemarikan tangan kau Hayati, mari saya bimbing. Kita akan pergi bersalam dengan mamakmu, tanganmu akan kugandeng, dari hayatku sampai matiku. Ai, mengapa kau mundur maju? Masih malukah kau, padahal hari ini hari pernikahan kita?" Hayati hendak mengulurkan tangannya, tetapi lebih dahulu dilihatnya pula muka Aziz. Aziz tetap melihat dengan rasa tak tentu. Dengan perasaan mundur maju, Hayati mengulurkan tangan, karena hendak dipegang oleh si sakit. Tangan itu dibawanya ke mulutnya hendak diciumnya, tiba-tiba badannya gemetar, tangan itu dilepaskannya kembali: "0 ....kau berinai jari, ya, ya, .... saya lupa, kau sudah kawin, kau sudah kepunyaan orang lain, sudah hilang dari tangan saya." Sekaranglah baru dia insaf sedikit, dia kembali teranyak di kasurnya. "Sekarang saya insaf, haram saya menyintuh tangannya, dia bukan tunanganku, bukan isteriku!" Diambilnya ujung selimutnya, ditutupnya mukanya. Kemudian dia berkata: "Keluarlah semuanya, pergilah semuanya, tinggalkan saya seorang diri di sini. Saya tidak ada perhubungan dengan [145] orang-orang itu, merekapun, telah putus pula dengan saya ....... pergilah, keluarlah, segera!" Terbangunlah perasaan kasihan dari hati sanubari Hayati melihat nasib anak muda itu, lalu dicobanya hendak membarut kepala Zainuddin dengan tangannya yang halus. Tiba-tiba sebelum terbarut, tangannya telah direnggutkan oleh suaminya, dan dibimbingnya keluar.

16. MENEMPUH HIDUP
Dua bulan lamanya Zainuddin sakit. Sakit yang boleh dikatakan penutup dari pada zaman angan-angan remaja dan pintu zaman yang baru untuk penghidupannya. Rupanya Allah masih mengizinkan dia hidup, padahal sudah berapa kali di dalam sakitnya dia meminta mati. Tetapi rupanya dia masih berguna, lapangan buat berjuang dalam alam dunia ini masih luas. Sebab itu maka sembuhlah dia dari sedikit ke sedikit, pikirannya pun timbul dari selangkah keselangkah, sehingga akhirnya kekuatannya telah surut semula. Hanya pada tepi matanya, pada raut keningnya, masih tetap terbayang segala lakon hidup yang dijalaninya. Persahabatan manusia yang didapat sesudah menempuh sengsara adalah persahabatan yang lebih kekal dari pada yang didapat diwaktu gembira. Demikian pulalah diantara Zainuddin dengan Muluk. Sejak dia sakit sampai sembuhnya, tidaklah pernah terpisah lagi diantara kedua orang itu. Zainuddin masih muda dan banyak cita-cita, Muluk lebih tua dan banyak pengalaman, walau pun ilmunya tak ada selain dari pergaulan. Pada suatu hari, tengah hari, sedang cacau ragi kain, sedang lengang 'rang di kampung hanya sekali-sekali kedengaran peluit kereta api yang sedang diperbaiki di bengkel dekat stasiun, dan dari jauh kedengaran aliran air yang merawankan hati dalam belukar Anai. Kebetulan Muluk kembali dari pasar, tidak mendapati Zainuddin di rumah. Dicarinya ke dalam kamar tak ada, dicarinya dan ditanyakannya kepada ibunya sendiri, ibunya pun tak tahu. Terkenanglah dia bahwa pada zaman yang akhir ini, Zainuddin suka sekali bersunyi-sunyi diri ke belukar Anai, ke tepi sungai yang [147] mengalir dengan bunyinya yang dahsyat itu, seakan-akan berserunai bernafiri layaknya. Dia pun dengan tergesa pergi ke sana. Persangkaannya tepat sekali, didapatinya Zainuddin sedang duduk di atas sebuah batu besar melihat air mengalir, yang selalu seakan-akan bertutur. Nun jauh dari sana, adalah Lubuk Mata Kucing, tempat orang mandimandi bergurau. Setelah Muluk datang, Zainuddin telah tahu, tetapi tak sepatah jua ditegurnya. Di sanalah Muluk mulai berkata. "Apakah yang guru menungkan juga"? "Begini baru usiaku, sudah begini besarnya kedukaan yang menimpa diriku, menung apakah yang tidak akan terjadi? Kalau bang Muluk merasai tentu abang tak akan sampai bertanya!" "Hentikanlah segala permenungan ini, guru muda. Sebab segala yang kejadian itu telah berlalu masanya; apa yang telah tertentu sejak dalam rahim bunda tak dapatlah makhluk mengelak kan," ujar Muluk dengan rupa yang sungguh-sungguh. "Secara persahabatan, biarlah dengan segenap kejujuran saya lepaskan perasaan yang terguris kepada guru. Begini banyak ilmu yang telah guru tuntut, begitu tinggi budi pekerti dan kesopanan guru; akal panjang pikiran luas, pemandangan jangan disebut. Tiba-tiba di hadapan keadaan yang begini, guru bersemangat lemah. Lebih lemah dari pada kami parewa yang tak kenal membaca Bismillah. Tidaklah baik hidup yang murni dan mulia dikurung diterungku karena hanya semata-mata memikirkan seorang perempuan, seakan-akan hanya itulah perempuan di dunia ini. Perempuan yang guru junjung itu, sebelum sampai perkawinan berhasil dengan guru telah nyata emas dan loyangnya, batu dan intannya. Dia telah berkhianat, memungkiri janjinya, sehingga lantaran memikirkan itii, guru telah jatuh sehina

selemah ini seakan-akan ditusukannya sebilah keris yang tajam ke ujung jantung guru, sehingga kalau bukan kasihan Allah, binasa guru dibuatnya." Setelah dia termenung sebentar maka diteruskannya pula perkataannya: [148] "Di sini guru menangis tersedu-sedu, meratap terisak-isak mengatakan guru kehilangan nikmat, kehilangan permata; padahal di pihak lain perempuan itu dengan senyum gembira menyandarkan kepadanya ke atas pangkuan suaminya; tidak teringat lagi olehnya diri kita, dilupakan, dibuangkan, setelah dibuang diinjakkannya pula. Guru pergi duduk-duduk bermenung seorang diri ke tempat yang lengang. Padahal kemana pun kita pergi, iblis senantiasa menurutkan kita. Alangkah berbahayanya kalau dibisikkan oleh iblis menyuruh guru putus asa, disuruhnya membunuh diri. Buat orang yang guru cintai, agaknya lebih senang hatinya kalau guru hilang dari dunia, lebih bebas dia melangkah di atas dunia yang luas ini. Agaknya ke. tika orang mendapat mait guru tergantung di dahan pohon dadap, atau terbentang di Anai yang deras airnya ini, atau terputus leher guru disembelih tangan guru sendiri di dalam kamar. Agaknya kalau sampai kepadanya kabar itu, tidaklah dia akan pergi menjenguk guru, usahkan menangisi guru, melainkan dia akan merasa bangga sebab kecantikannya telah mengorbankan orang yang mencintainya. Hai guru muda! Mana pertahanan kehormatan yang ada pada tiap-tiap laki-laki? Tidakkah ada itu pada guru? Ingatkah guru bahwa ayah guru terbuang dan mati di negeri orang, hanya semata mata lantaran mempertahankan kehormatan diri? Tidakkah dua aliran darah yang panas ada dalam diri guru, darah Minangkabau dari jihat ayah, darah Mengkasar dari jihat ibu? Mana kegagahanmu guru, rasa tanggung jawab atas dirimu? Pada hal saya kenal bahwa dalam hal yang lain-lain guru cukup mempunyai itu. Mengapa dalam hal yang sepasal ini guru mundur dan kalah? Dengan tetus terang saya katakan, bahwa guru bercelaka, sengsara, hidup guru sempit, lebih dari hidup orang lain, lantaran salah guru sendiri. Tenaga mudamu, darahmu yang masih panas, kepalamu yang [149] masih sanggup bertempur dengan peri penghidupan telah dirampas dan dirusak-binasakan oleh perempuan itu. Jangan mau guru! Guru mesti tegak kembah. Langkahkan kaki ke medan perjuangan, yang selalu meminta tentera, yang selalu kekurangan serdadu! Karamkan diri ke dalam alam, ke dalam masyarakat yang maha luas. Di sana banyak bahagia dan ketenteraman tersimpan. Di mana-mana didirikan orang perkumpulan-perkumpulan, penolong fakir dan miskin. Di mana-mand didirikan orang rumah-rumah sakit, penolong si sakit yang tak mampu. Di mana-mana diadakan rumah pondokan pemehhara orang tua-tua yang masih panjang umurnya, padahal telah lemah berusaha. Masuki itu, dengan mencampuri pekerjaan itu akanterobat kedukaan hati yang sekarang. Di mana-mana didirikan orang perkumpulan politik atau ekonomi untuk membela kepentingan bangsa dan tanah air supaya mencapai bahagia dan hidup yang sempuma. Masuki itu, kiraikan sayap, tuangkan dan habiskan tenaga buat itu. Dengan begitu penyakit yang guru tanggungkan tentu sembuh, dan penghidupan dapat ditentukan arahnya sebelum terlambat. Di mana-mana diterbitkan orang surat-surat kabar, penuntun ummat kepada kecerdasan, memuat perkabaran, pengetahuan, syair dan madah, ceritera dan hikayat. Buku roman yang tinggi harganya telah mulai dikeluarkan orang. Kalau guru ambil kesanggupan menumpahkan

pikiran yang tinggi-tinggi itu dengan mengarang, tentu akan berhasil. Apalagi pengalaman telah banyak, jiwa telah kerap kali menanggung, hati telah kerap kali menempuh duka. Kalau guru segan dibawah takluk orang, dengan wang yang ada di tungan guru bolehlah rnenerbitkan sendiri. Dengan demikian guru akan mengecap bagaimana nikmat kebahagiaan dan keberuntungan. Di dalam alam yang terbentang di muka kata, diawan-swan yang berarak,di sungai yang mengalir, diburung yang terbang tinggi dikulik elang tengah hari, dikokok ayamdi halaman,di puncak gunung meningkat awan, pendeknya di mana-manapun, terbentang [150] lah pengobat hati dan jiwa. Di sana tersembunyl pokok-pokok untuk kebahagiaan hidup. Apa sebab hati akan dibiarkan bersedih dan bersusah di dalam alam ini? Pada hal lapangan kemuliaan dan perasaan bahagia terbuka buat semua orang! Orang yang bercela di dalam dunia ini hanya bertiga saja. Pertama orang dengki, yang selalu merasa sakit hati melihat orang diberi Allah nikmat. Kesakitan hatinya itulah yang menyebabkan dia celaka, pada hal nikmat Allah tak dapat dihapuskan oleh tangan manusia. Kedua orang yang tamak dan loba, yang senantiasa merasabelumcukup dengan apa yang telah ada dalam tangannya, selalu menyesal, mengomel, padahal yang akan di - dapatnya tidak akan lebih dari pada yang telah ditentukan Allah dalam kudratNya. Ketiga orang berdosa yang terlepas dari tangan hakim, karena pencurian atau pembunuhan, karena memperkosa anak bini orang. Orang yang begini, meskipun terlepas dari jaringan undangundang, tidak juga akan Inerasai nikmat sedikit pun ke mana jua dia pergi. Kesalahan dan tangannya yang berclarah selalu terbayang bayang di ruangan Inatanya. Polisi serasa-rasa mengejamya juga. Dimana orang berbisik-bisik, disangkakannya memperkatakan hendak menangkapnya juga. Apakah yang guru susallkan, padahal ketiga penyakit itu tak ada pada guru? Melihat mata guru memandang saya, saya tahu bahwa guru kurang percaya akan perkataan saya, sebab menilik kepada kerendahan derajat saya, seorang parewa. Tetapi guru, janganlah dibiarkan banyak-banyak makhluk yang sesat dan tidak mempunyai haluan. Awasllah diri guru sebelum jatuh ke dalam jurang. Saya mengetahui benar bahwa guru alim dan berpengetahuan, tetapi liku-liku hidup belum banyak guru lalui. Seruan dan pemandangan saya adalah seruan dan pandangan dan seorang yang telah mengalami seorang yang telah menderita, memberi ingat kepada temannya, supaya teman itu jangan sesat dan tergelincir. Sebab mudah orang jatuh ke lurah yang dalam, dan sukar membangkitkan dari dalam lurah itu. Salah sekali kalau orang sebagai guru menyangka kebahagiaan ada pada rumah yang indah, atau pada wang berbilang, atau pada perempuan yang cantik. Kalau demikian apakah akan obahnya guru seorang yang terdidik budiman dengan orang-orang zaman kini. Orang yang sampai gugur rambut di kepada mencari wang kian kemari, tetapi dia tidak hendak puas, hanyalah semata-mata lantaran diperintah oieh senyuman perempuan. Lihat anak-anak muda zaman sekarang, yang menangis tersedu-sedu meminta belas kasihan perempuan, mau dia berkorban, sengsara, Nina, hanyalah mencari apa yang disebut orang cinta. Sa lah persangkaan yang demikian, hai guru muda. Cinta bukan mengajar kita lemah tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat. Jika kita dikecewakan oleh perempuan pada hari ini, ada dua jalan ditempuh orang, satu jalan ditempuh oleh orang yang hina yang rendah budi. Satu jalan pula ditempuh oleh orang yang dalam pikirannya. Yang ditempuh oleh parewa ialah membalaskan dendam dengan jalan

menganiaya. Dicarikannya pekasih atau kebenci kian kemari, dituntutnya ilmu sihir kepada dukun-dukun yang pandai, sehingga perempuan itu cerai dengan suaminya, atau kena sijundai dan parendangan. Cinta yang demikian namanya kekejaman, dia menganiaya bukan mengasihi, mementingkan kesenangan seorang. Dan itu bukan budi dan cinta, tetapi nafsu yang serendahrendahnya. Bukan begitu jalan yang ditempuh budiman. Jika hatinya dikecewakan, dia selalu mencari usaha menunjukkan di hadapan perempuan itu, bahwa dia tidak mati lantaran dibunuhnya. Dia masih hidup, dan masih sanggup tegak. Dia akan tuniukkan di hadapannya dan di hadapan suaminya bahwa jika maksudnya terhalang di sini, pada pasal lain dia tidak terhalang. Guru sendiri yang mengajarkan kepada saya, dan sekarang saya kembalikan kepada guru, [152] bahwa banyak orang benar-besar yang kalah dalam percintaan, lantaran kekalahan itu dia ambil jalan lain, dia maju dalam politik, dalam mengarang syair, dalam mengarang buku, dalam perjuangan hidup, sehingga dia naik ke atas puncak yang tinggi, yang perempuan itu wajib melihatnya dengan menengadah dari bawah. Dengan itu; biar hatinya sendiri hancur dalam kekecewaan yang pertama, maka orang banyaklah yang mengambil hasilnya." Dalam sekali nasehat-nasehat yang diberikan oleh Muluk, tercengang Zainuddin memikirkan, tidak disangkanya bahwa temannya itu, yang pada lahir dicap seorang parewa, tetapi pada batinnya seorang guru yang telah banyak sekali meminum air hidup. Sehingga di dalam Muluk berkata-kata itu teringatlah di hati Zainuddin bahwa selama ini belum ada dia beroleh seorang sahabat tempat menumpahkan perasaan hati, yang serupa dengan Muluk itu. "Saya lihat guru pandai mengarang," Muluk meneruskan tuturnya, "banyak buku-buku terletak di atas meja guru banyak karangan-karangan dan hikayat-hikayat. Mengapa itu tidak guru teruskan?" "Kalau pikiran tertutup bagaimana hendak mengarang?" keluh Zainuddin. "Kata orang ketika ditimpa hal-hal yang seperti inilah terbuka pikiran membuat karangan," jawab Muluk. "Benar segala perkataanmu, bang Muluk, tidak ada yang salah. Segala yang tersebut itu telah saya usahakan, telah saya ketahui. Tetapi itulah; saya akui pula semangat saya yang lemah yang tak dapat mencapai kemenangan di dalam perjuangan mencari mana yang lebih benar. Tetapi saya ingat pula bahwa segala yang kejadian itu mesti kejadian, kesusahan mesti datang menimpa, dilukai mesti berdarah, dipukul mesti sakit. Cuma sesudah luka tentu ada pula masa sembuhnya, sesudah bengkak ada mass surutnya. Mulai waktu ini saya akan berusaha memperbaiki jalan pikiran saya kembali. Saya tidak akan mengingat dia lagi, saya akan melupakan dia! [153] Ada pun kesakitan yang mengenai hati, moga-moga dapatlah disembuhkan Tuhan dengan berangsur. Tetapi .........." "Tetapi apa lagi?" tanya Muluk. "Saya sudah pikirkan bahwa yang lebih maslahat bagi diri saya dan bagi perjuangan yang akan ditempuh di zaman depan, saya terpaksa pindah dari kota Padang Panjang. Saya hendak ke tanah Jawa. Di tanah Jawa nasehat bang Muluk itu lebih mudah dijalankan dari di sini. Lagi pula kalau Padang Panjang kelihatan juga, pikiran yang lama-lama timbul-timbul juga!" "Sudah tetapkah keputusan demikian?" "Tetap!"

"Saya mesti ikut!" kata Muluk. "Saya tertarik dengan guru. Sebab itu bawalah saya menjadi jongos, menjadi pelayan, menjadi orang suruhan di waktu siang di dalam pergaulan hidup, dan men jadi sahabat yang setia fang akan mempertahankan jika guru ditimpa susah!" Dengan muka sangat girang Zainuddin menentang mata Muluk: "Benarkah abang mau pergi dengan daku?" "Benar, sebab dari pada guru banyak kebaikan yang akan saya contoh, saya hendak menuntut penghidupan yang baru menanggalkan baju perewa saya. Saya hendak tunduk dan kembali ke jalan benar, karena sejauli-jauh tersesat, kepada kebenaran jugalah kita akan kembali." "Saya pun perlu berdamping dengan abang, kita tidak berpisah lagi, banyak pula kebaikan dan faham yang dalam-dalam yang perlu saya ambil dari pada abang Muluk." "Sampai mati menjadi sahabat," kata Muluk. "Sampai mati menjadi sahabat." kata Zainuddin pula, sambil bersalam-salaman yang lama sekali ............. Seminggu di belakang itu kelihatan Zainuddin dengan Muluk di atas dek kapal "Sloet v/d Beele" yang akan berlayar dari Teluk Bayur ke Tanjung Periuk. [154]

17. JIWA PENGARANG
KATA setengah orang ilmu mengarang itu diperdapat lantaran dipelajari; diketahui nahwu dan saraf bahasa dan dibaca karangan pujangga-pujangga lain dan menirunya, bisa orang menjadi penga rang. Banyak diperbuat orang aturan mengarang, mesti begini, mesti bagitu, tak boleh salah. Tetapi bilamana kita lihai karangan pujangga yang sejati senantiasa berlain susunannya dengan lain pujangga. Seorang pengarang, bilamana dibaca orang karangannya, orang tertarik dengan kesulitan bahasa yang dipakainya. Yang lain pula, bahasanya tidak begitu diperdulikannya, kadang-kadang menyalaN kepada kebiasaan orang lain, bahkan menyalahi nahwu dan saraf yang terpakai pada lazim, tetapi lebih enak orang membaca karangan itu. Di tanah Indonesia ini, umur kesusasteraan belum lagi tinggi. Perhatian orang untuk memperindah bahasa negerinya masih baru. Sebab itu amat sulit jalan yang ditempuh oleh pengarang. Belum banyak orang yang kenal kepada buah penanya. Zainuddin! ................ Ditinggalkannya pulau Sumatera, masuk ke tanah Jawa, medan perjuangan penghidupan yang lebih luas. Sesampai di Jakarta, disewanya sebuah rumah kecil di suatu kampung yang sepi, bersama sahabatnya Muluk. Dari sanalah dicobanya menyudahkan karangan-karangannya yang terbengkalai, terutama di dalam bahagian hikayat. Dikirimnya kepada surat-surat kabar harian dan mingguan. Rupanya karangan-karangannya itu mendapat tempat yang baik, karena halus susun bahasanya, dan diberi orang [155] honorarium meskipun kecil. Lantaran penerimaan orang yang demikian, hatinya bertambah giat dan semangatnya makin bangun. Sehingga di dalam masa yang belum cukup setahun, karangan-karangannya telah banyak tersiar. Tiap-tiap hari sabtu keluarlah cerita-cerita yang dikarangkan oleh letter "Z," yang amat menarik hati itu. Kalau pada suatu ketika dicobanya menghentikan mengirim karangan-karangannya, maka datanglah surat hopredaktur meminta karangan yang baru, karena langganan-langganan telah mendesak, mengapa minggu yang lalu tak ada karangan dari letter "Z." Jika dahulu dia sendiri yang pergi ke kantor surat kabar mengantarkannya, diterima dengan dibolak balik lebih dahulu; sekarang redaksi surat kabar itulah yang datang merninta karangan kepadanya. Beberapa mingguan dan harian memberikan honorarium yang pantas. Bahkan dalam masa yang -tidak lama kemudian, direktur dari satu surat kabar harian telah datang ke rumahnya menawarkan pekerjaan menjadi redaksi dalam surat kabar itu, spesial mengatur. ruangan hikayat, roman dan syair. Tetapi dia tidak mau, karena ia mempunyai cita-cita lain. Setelah dia tahu bahwa buah penanya telah menjadi perhatian umum, mengertilah dia bahwa inilah tujuan yang tetap dari hidupnya. Dari pada bekerja di bawah tangan orang lain, lebih suka dia mengeluarkan dan membuka perusahaan sendiri. Oleh karena kota Surabaya lebih dekat ke Mengkasar, dan di sana penerbitan buku-buku masih sepi, maka bermaksudlah dia hendak pindah ke Surabaya, akan mengeluarkan buku-buku hikayat bikinan sendiri dengan modal sendiri, dikirim ke seluruh Indonesia. Dengan kemauan yang tetap, dia bersama Muluk meninggalkan kota Jakarta, yang di kota itu dia telah mendapat modal paling besar, yaitu letter "Z" yang kelak akan dipergunakan menco ba nasib di kota Surabaya itu. Cita-citanya dengan buku-buku yang dikarangnyaialah menanamkan bibit persatuan rakyat dari segenap kepulauan tanah airnya, mempertinggi

kecerdasan kaum perempuan, [156] menghapuskan adat-adat yang telah lapuk, menegakkan kemajuan yang sepadan dengan bangsanya. Ceritanya amat menarik hati orang. Karena bilamana dia menggubah hikayat-hikayatnya, dinantinya dahulu waktu yang tenang dan sepi. Segenap kesedihan yang berlungguk-lungguk dalam hati sanubarinya sejak dia kecil, itulah yang ditumpahkannya ke dalam kalangan-karangan dengan wajah yang sejelasjelasnya. Ingatan seorang ibu kepada anaknya, ratap tangis seorang anak atas kematian ibunya, karena ibunya sendiri memang tak ada lagi. Jikalau dia melukiskan cinta, sebenar-benar cintalah yang digambarkannya. Kekecewaan hati, keremukan pikiran, pikiran yang seoang buntu nasib seorang yang hidup sebatang kara, semuanya itu digambarkannya dalam karangannya, dengan wajah yang seielas jelasnya. Karena orang yang menangis tak dapat menceritakan gelak orang yang tertawa; orang yang bergirang tak dapat melukiskan tangis orang yang bersedih. Pengarang dari kalangan bangsawan amat sukar menceriterakan penghidupan dari pak tani di pondok yang buruk. Tidak heran, kalau sekiranya karangannya mendapat penerimaan yang baik dari pada pembacanya. Di dalam hal yang demikian, ada pula tabiatnya yang sangat mulia. Yaitu kasih sayang kepada fakir dan miskin, sangat iba kepada perempuan-perempuaii tua yang meminta-minta di tepi jalan. Kalau sekiranya ada orang dagang anak Sumatera atau anak Mengkasar yang terlantar di kota Surabaya dan dagang meminta tolong kepadanya, tidaklah mereka akan meninggalkan rumah itu dengan tangan kosong. Ketika diketahuinya bahwa di kota itu ada perkumpulan anakanak Sumatera yang bekerja memburuh atau ditempattempat yang lain, sudi pula dia memasuki perkumpulan itu. Segala iuran diisinya, kadang-kadang lebih dari yang dibayar orang lain. Karena demikianlah ahli seni, tak perduli kepada wang Karena kekayaan yang sangat dicita-cita oleh ahli seni bukan kekayaan wang, tetapi kekayaan bahagia, kekayaan alam yang tercurali kedalam kalbunya. [157] Seorang ahli gambar, kalau gambarnya laku dan dibeli oleh sebuah kantor yang mengumpulkan barang seni dan diietakkan di sana, maka diwaktu perutnya lapar dan wangnya habis, merasa kenyanglah dia, jika dia pergi pula kembali ke dekat gambar itu, melihat rupa dan wajah orangorang yang lalu lintas di hadapan gambar itu. Seorang pengarang buku, walau pun bagaimana pun putus asa hidupnya, kalau pada suatu hari dilihatnya orang sedang membaca buku itu dengan asyiknya, dia lupa kepayahan dan keputus-asaannya itu. Karena kemuliaan budi dan kebaikan hatinya, yang tiada suka mengganggu orang lain, lagi suka menghormati pikiran orang lain, dalam sedikit masa pula, namanya telah harum dalam perkumpulan "Anak Sumatera" itu. Sehingga tidak berapa lama kemudian, atas anjurannya sendiri didirikan suatu perkumpulan tonil dengan nama: "Andalas" nama asli Pulau Sumatera. Namanya kian lama kian harum, pencahariannya pun maju. Dia termasyhur dengan nama samaran letter "Z," pengarang hikayat, regisseur dari perkumpulan-sandiwara "Andalas" ... Demikianlah ilham yang dibawa oleh cinta yang suci. Cinta yang suci adalah laksana setetes embun yang turun dari langit ke atas bumi Allah ini. Jika sekiranya bumi yang menerimanya itu subur, maka tumbuhlah di atasnya beraneka warna bunga-bungaan yang harum semerbak. Menanamkan damai, aman, sentosa, insaf, rasa percaya kepada diri sendiri. Dalam hal yang begini, embun "cinta" yang setetes itu membawa manusia yang di titiknya ke mayapada yang mulia. Tetapi jika dia jatuh ke bumi yang tak subur, yang tandus dan penuh batu-batu, tidak ada yang akan tumbuh di sana, lain dari sirili memanjat batu, kuning daunnya lemah gagangnya. Orang itu menjadi putus asa, pencemburu kepada sama manusia, hilang

kepercayaan kepada nikmat yang tersimpan di dalam hidup. Atau menjadi seorang pembenci, kurang percaya, kadang-kadang pendendam dan sakit hati ...... Maka adalah cinta kepada Hayati dan pengliarapan yang [158] terputus yang memuarakan jiwa dan semangat baru dalam perjuangan hidup anak muda itu, ke lautan yang luas! "Di belakang kita berdiri satu tugu yang bernama nasib, di sana telah tertulis rol yang akan kita jalani. Meski pun bagaimana kita mengelak dari ketentuan yang tersebut dalam nasib itu, tiadalah dapat, Tetapi harus patuh kepada perintahnya."

18. SURAT-SURAT HAYATI KEPADA KHADIJAH
Surat yang pertama.

Sahabatku Khadijah! Setelah selesai perkawinan kita, rupanya kita mesti berpisah sejauh ini; kau ke Medan menurutkan suammu, karena dia saudagar dan saya ke Padang nwnurutkan suamiku, karena dia makan gaji. Meski pun bagaimana kesenangan yang diberikan Aziz kepadaku, namun saya masih tetap teringat kepada kau. Kapankah kita akan bertemu kembali, mengulang jejak masa muda, semasa masih bebas mengiraikan sayap. Memang amat ganjil hidup yang mesti kita tempuh. Mula-mula saya cintai orang lain, anak muda lain, menurutkan hati yang tidak bertimbangan, tetapi takdir Tuhan menentukan saya mesti rnenjadi isted Aziz. Benarlah rupanya pepatah pujangga kita tuan Haji Agus Salim, bahwa bagi bangsa kita, cinta datangnya ialah sesudah kawin. Khadijah! Kami amat beruntung suami isteri! Justru rupanya perkataan-perkataan orang membusuk-busukkan suamiku, mengirakan dia suka membuang-buang wang dimeja perjudian. Kalau itu ada semasa dia masih belum beristed, maka sekarang tak aria lagi. Adalah suamiku suatu contoh dari suami yang setia. Kebetulan sekali, baru-baru ini kami dikirim orang dari Surabaya, satu "katalogus" dari hikayathikayat yang dikeluarkan oleh satu pedagang buku Hikayat yang mula-mula kami pesan bernama "Terusir." Kulitnya dihiasi dengan klise yang indah tetapi menyedihkan hati, terlukis seorang anak nuda menjinjirg bungkusan kecil disuruh pergi oleh seorang tua [160] yang gagak memakai saluk. Di sana tertulis: "Pergilah! Negeri kami beradat." Isinya, wahai Khadijah, serupa dengan nasib anak muda yang menjadi buah tutur kita selama ini, Zainuddin. Saya baca cerita itu sampai habis, sehingga dengan tidak saya rasai, buku itu telah basah oleh air mata. Kebetulan penulis yang menanggung jawab hikayat-hikayat yang dikeluarkan itu ialah nama samaran atau potongan letter "Z." Mengingat letter itu, dari mengingat isi cerita, saya teringat kembali kepado anak muda yang telah terpedaya lantaran saya: Zainuddin. Kalau bukan karangannya, mengapa hampir serupa apa yang dituliskannya dengan yang kejadian itu, tidak berapa bedanya. Tetapi kalau dia, kadang-kadang saya tak percaya, bahwa anak muda yang pemenung itu akan sanggup menulis buku seindah itu. Beberapa bulan yang lalu, di surat-surat kabar yang terbit di Jakarta bertemu pula hikayat-hikayat pendek yang ditulis oleh letter "Z" juga. Isinya amat indah-indah, tetapi tidaklah seindah hikayat yang terbit di Surabaya ini. Agaknya kau sendiri ada juga membaca buku baru itu. Kalau memang ini karangannya, alangkah salahnya persangkaan kita kepada anak muda yang kita sangka kurang akal itu. Rupanya dia mempunyai pikiran tinggi, telah menjadi pengarang yang besar. Terus terang saya katakan, hikayat-hikayat itu amat menarik hatiku; meskipun suamiku tidak begitu suka kepada cerita-cerita sedih, hanyalah hikayat-hikayat detektip saja.

Hayati.
Surat yang kedua.

Sahabatku Khadijah! Berdebar-debar: masih berdebar jantungku ketika surat ini kutulis. Suatu keadaan dan penghidupan yang baru akan kami tempuh. Perlu sekali rasanya kau tahu, sahabatku. Ketika suamiku pulang dari pekerjaannya pukul 1 tadi, dia telah merdekatiku, mukanya kelihatan girang, lebih daripada kegirangannya yang biasa. Diciumnya keningku, sambil tersenyum dia berkata: Ti, kita akan pindah, besluitku telah keluar. Pindah ke mana kanda? tanyaku Cobalah terka, kemana? katanya sambil tersenyum. Entahlah, jawabku. Kita akan pindah ke Jawa, katanya! Ke Jawa? tanyaku dadaku berdebar amat kerasnya! Ya, ke Jawa, kita akan berlayar mengarung laut Ketahun, kita akan melihat kota Jakarta yang ramai. Kita akan pergi ke negeri yang lebih ramai. Tempat kita telah ditentukan di Surabaya Tak enak makan suamiku kelihatan lantaran girangnya, dia tersenyum-senyum saja. Baru sebentar ini dia pergi menguruskan perlelangan barang-barang kami. Dan heran sekali Khadijah! Debar jantungku kian keras, menyalahi kebiasaan orang yang akan didatangi suatu kegirangan. Sehendaknya tentu begirang amat saya menerima kabar kepindahan itu, sebab inilah saya lihat cita-cita tiap-tiap isteri yang suaminya makan gaji. Sedangkan kau sendiri ketika akan ke Medan, malam tasakan kau cabik supaya lekas siang. Payah saya menetapkan dan meneguhkan hati, debarnya masih tetap saja, seakan-akan ada rasanya bahaya yang akan kutempuh di tanah Jawa itu. Ah, itu hanya was-was, biarlah saya coba memenanginya. Apa lagi saya cukup percaya kepada suamiku. Kalau sekiranya engkau masih ada di rumah, Khadijah, tentu engkau akan turut mengantarkan daku ke Teluk Bayur, mengipas-ngipaskan sapu tanganmu melepas kami berlayar, yang harinyu sudah terlalu dekat sekali .... Sudah putus, kami akan pindah, harinya sudah amat dekat. Agaknya setelah sampai di tempat kediaman yang baru, barulah dapat saya mengirim surat pula kepadamu. Bilakah kita akan bertemu lagi Khadijah? Hayati
[162]

Surat yang ketiga.

Sahabatku Khadijah! Sejak menjejak tanah Jawa, sesudah menyatakan bahwa saya telah sampai bersama suami saya dengan selamat, belum pernah saya lagi berkirim surat, sudah hampir 3 bukn lamanya. Heran tercengang engkau agaknya, apakah sebab saya, yang serajin itu selama ini menulis, sekarang terhenti saja, padahal banyak keadaan-keadaan di tanah Jawa, keindahan alam, kecantikan kota yang patut diterangkan kepadamu Tertahan-tahun saya menulis sekali ini. Tetapi ada satu perasaan yang menyatakan hati saya menerangkannya, yaitu persahabatan kita, bukan pertalian ipar bisan kita: Khadijah! Bagaimana namanya saya ini? Mengapa seakan-akan onang yang karam masuk laut saya rasanya, tidak akan timbul-timbul lagi, setelah menjejak tanah Jawa ini? Sebelum melangkahkan kaki masuk kapal di pelabuhan Teluk Bayur, darahku berdebar-debar, seakan-akan ada bahaya yang akan kutempuh. Tetapi perasaan itu saya tekankan saja. Sekarang telah timbul hal-hal yang menyebabkan debar darah itu kembali terasa. Yaitu entah apa sebab karenanya, jauh berbeda perangai suamiku dari dahulu, seketika mula-mula kawin. Saya masih ingat, lebih kurang setengah tahun kami di Padang, hidup bersuka ria, ke mana suamiku ke sana saya. Tetapi sekarang bila dia pulang dari pekerjaan, senyumnya tidak seperti senyum yang dahulu lagi, sudah nampak dibuat-buatnya. Saya tidak pula berani menyangka bahwa hatinya telah berubah terhadap diriku itu sekali-kali tidak. Cuma saya hendak menegaskan, bahwa harga pemandangannya kepadaku telah banyak berbeda. Jika di masa yang lalu, duduk di dekatku menjadi kesenangannya, atau berjalan berdua memakan angin sore menjadi kenikmatan hidup kami, sekarang telah bertukar. Duduk di rumah dia gelisah, larut malam baru dia pulang. Saya tak cemburu kepadanya. Dan katanya pula, dia berjalan menziarahi handai tolan, sahabat dan kenalan. Kalau dia menjawab demikian, saya cukup percaya. Yang saya herankan pula, jika semasa kami tinggal di Padang, gaji yang diterimanya mencukupi untuk hidup kami, sekarang tidak lagi. Sudah kerap kali kami kekurangan, sudah kerap kali kami mengeluh lantaran belanja tak mencukupi, padahal gaji jauh lebih naik dari di Padang. Akan kukatakan bahwa hal itu lantaran harga makanan terlalu mahal di Surabaya, itu pun tidak pula; penghidupan tidak berapa berbeda dari di kampung kita. Kalau bukan mengingat bahwa engkau sahabatku, haram saya berani menyatakan ini kepada saudara perempuan suamiku. Tetapi saya kenal kejujuran hatimu kepadaku, say kenal engkau pengasih dan penyantun. Pembicaraanmu amat berpengaruh kepadanya, itulah sebab saya sampaikan. Dan ketahuilah olehmu sahabat, bahwasanya kasih sayangku sedikit pun tak berubah kepadanya. Jika kiranya dia lupa, biarlah dia kembali sadar. Marilah kita perbaiki bersama-sama. Hayati.
Balasan Khadijah.

Sahabatku Hayati. Suratmu yang terakhir ini sahabat, sangat mengherankan hatiku. Engkau terlalu banyak waswas, terlalu banyak ngelamun. Sebenarnya Aziz tetap cinta kepadamu, sejati dan suci. Tidak ada niatnya hendak berkhianat kepadamu dalam negeri yang sejauh ini. Tuduhanmu atas perubahan hati suamimu terlalu berat. Agaknya dia kurang banyak di rumah adalah mencari ikhtiar yang lain untuk pencukupkan penghidupan. Karena banyak juga saya lihat, belanja rumah tangga itu, beres atau tidaknya, bukan bergantung kepada laki-laki, tetapi tiangnya kebijaksanaan si isteri juga ........ Teguhkanlah hatimu kembali jangan engkau kurang percaya kepada suamimu, di rantau yang sejauh ini. Khadijah
[164]

19. CLUB ANAK SUMATERA
SORE, sesudah meminum semangkuk teh, ketika Hayati duduk bersama suaminya, datanglah seorang loper mengantarkan surat undangan, demikian bunyinya:

Tuan yang terhormat Ini malam akan diadakan pertunjukan di dalam gedong Club kita suatu cerita tonil karangan tuat Shabir (lebih populer dengan nama samaran penulis "Z"). Diharap supaya tuan datang bersama isteri untuk memperhatikan kesenian permainan dari ciptaan pikiran pengarang kita yang telah mulai meningkat tangga kemasyhuran itu. Hormat Pengurus
Undangan itu disertai pula dengan sepucuk surat tersendiri dari pengurus Club. Demikian bunyinya:

Tuan Aziz yang terhormat! Dari beberapa anggota perkumpulan kita "Club Anak Sumatera" kami beroleh kabar, bahwa telah 3 bulan tuan pindah bekerja di kota Surabaya ini. Setelah sampai kabar itu kepada kami, inginlah kami hendak berkenalan. Kami percaya sungguh bahwa dalam gerakan sosial yang seperti ini, tuan beserta isteri tidak akan ketinggalan, terutama pula, club kita - sebagaimana tersebut dalam Angganan Dasar yang kami kirimkm beserta ini - adalah medan pertemuan silaturrahim di antara kita anak-anak Sumatera yang hidup di rantau ini. Kami ambilah peluang ini, yakni nanti malam di Club akan dipertunjukkan suatu cerita tonil terdiri dari 5 babak, karangan pujangga muda kita, tuan Shabir yang masyhur dengun nama samaran penulis "Z" ymig telah menerbitkan buku-buku cerita yang masyhur itu. Pertunjukan hikayat karangan tuan itu hanya dia sendiri yang akan memimpinnya (regiseurnya), sehingga jalan cerita tentu saja akan cocok dengan cita-cita pengamrang. Dan kalau pertunjukan ini berhasil baik, maka hasilnya akan didermakan untuk "Studiefonds" yang baru pula kita dirikan. Berharap sangat kami supaya tuan sudi datang bersama isteri, sebagai langkah pertama den perkenalm kita seterusnya. Wassalam Atas nama pengurus "Club Anak Sumatem" Ketua (tidak terbaca) Penulis (idem).

Surat-surat itu sehabis dibacanya, mula-mula hendak dilipatnya saja. Tetapi seketika diletakkannya, Hayati mengambil den dibacanya pula. Di akhirnya dia berkata: "Bawa adinda sekali ini, kanda?" "Ah, percuma pergi, tidak menarik kalau cuma tonil bangsa kata, permainannya kurang halus, bukan seperti tonil Belanda!" "Meski pun begitu, yang sekali ini bawalah adinda. Adinda hendak berkenalan dengan perempuan-perempuan orang kita yang ada di sini." Tak ada alasan lagi bagi Aziz hendak menolak permintaan isterinya. Sehingga setelah kira-kira pukul 7 malam bersiaplah mereka berdandan dengan pakaian yang rapi, hendak hadir ke pertunjukan itu. Mereka terlambat datang, mereka dapati permainan telah berjalan kira-kira 15 menit. Gedong Club itu penuh sesak oleh penonton. Titel cerita ialah "Berbalik Pulang" suatu hikayat yang mengandung banyak pengajaran dan ibarat, bagaimana seorang anak muda yang terlalu menurutkan angan-angan, menyangka bahwa perempuan yang dicintainya itu sesuci-suci dan secantik-cantik perempuan yang ada dalam dunia. Kemudian baru dia insaf bahwa dia tertipu, bahwa antara khayal dengan hakikat itu selalu berlawanan. Dia insaf, dia kembali pulang, pulang ke dalam ketenteramannya. Jalan cerita amat halus, meresap ke dalam hati, meskipun hikayatnya begitu hebat, tetapi kerap terjadi dalam masyarakat. Apalagi pemain-pemainnya pun pandai membawakan peranan masing-masing. Selama permainan berjalan, tak kurang-kurang pujian orang kepada pengarangnya. Penulis "Z," tuan Shabir, jadi buah tutur penonton. Sehabis pertunjukan, yang telah dapat memakukan pe nonton kepada kursi masing-masing kedengaranlah suara tepuk tangan yang riuh dalam gedong itu, memuji jalan cerita. Beberapa pengurus rnenunggu tuan Shabir turun daii belakang layar tonil, yang dari permulaan sampai penghabisan mengatur jalan cerita dengan asyik dan hati-hati sekali. Mereka bertungguan, hendak menyampaikan ucapan "selamat." Aziz pun tertarik dengan [167] hikayat itu. Demikian juga Hayati. Sukar orang yang dapat mempertunjukkan suatu cerita yang halus dan mengandung kesenian demikian. Tiba-tiba muncullah pengarang muda itu dari tonil, dia turun ke bawah, diiringkan oleh pemain-pemain disambut oleh pengurus-pengurus yang menunggu kedatangannya itu, dengan tepuk tangan riuh. Zainuddin yang telah menukar namanya dengan Shabir! Dihadapinya orang-orang yang menungguinya itu dengan muka yang tenang dan penuh senyuman. Lenggang badannya, raut mukanya, jernih keningnya, semuanya telah berobah, bukan Zainuddin yang penyedih hati yang dahulu lagi, tetapi Zainuddin yang sabar, yang tenang, cocok dengan namanya yang baru ...... Shabir! Dengan senyum disambutnya tangan yang diulurkan orang kepadanya, dipeganpya dan digoyangnya dengan penuh rasa hormat. Tiba-tiba sampailah kepada Aziz dan Hayati. Muka Hayati pucat sebentar, darahnya tersirap. Dia hendak melihat bagaimanakah bentuk rupa Zainuddin seketika menentang mukanya dan muka suaminya. Sebab dia ingat betul bagaimana kesedihan anak muda ini seketika menjabat tarigannya yang telah berinai beberapa tahun yang lalu, yang membawa sakitnya.

Hanya sebentar, sekejap mata saja kelihatan perobahan muka Zainuddin melihat kedua suami isteri itu, setelah itu hilang tak kelihatan lagi, hilang di dalam senyumannya yang manis. "Oh ..... tuan Aziz! Dan...... Rangkayo Hayati! Sudah lama tinggal di kota Surabaya ini?" tanyanya sambil membungkukkan kepalanya memberi hormat. "Baru 3 bulan" jawab Aziz! "Ajaib, sekian lama di Surabaya, baru sekali ini kita bertemu." [168] "Kami pun tidak menyangka," jawab Aziz, "baliwa pengarang temama, ahli tonil yang selain jadi buah mulut orang lantaran tulisan-tulisannya yang berarti itu adalah sahabat kami, tuan Z." "Shabir!" katanya menukas pembicaraan itu. "Tidak ada lagi nama yang lama, karena kurang cocok dengan diri saya. Nama Shabir lebih cocok, bukan?" katanya sambil tersenyum. "Semua nama cocok buat orang sebagai tuan," sahut Aziz pula! "Akur ....." kata anggota-anggota lain yang dari tadi tegak tersenyum melihat kedua orang itu bercengkerama. "Sekarang saya kenalkan tuan-tuan kepada sahabat saya Aziz dan isterinya Rangkayo Hayati, dari Padang Panjang," ujar Zainuddin kepada teman-temannya. Maka terjadilah perkenalan di antara orang-orang itu. Mulai sejak malam itu Aziz dan Hayati telah menjadi anggota dari "Club Anak Sumatera." Zainuddin, memang bukan Zainuddin yang dahulu lagi. Cahaya mukanya yang sekarang adalah lebih jemih, pakaian yang divakainya lebih mahal dan gagah dari dahulu. Meski pun mukanya tidak cantik, tetapi cahaya ilmu, pengalaman, penanggungan, cahaya seni, semuanya telah memberinya bentuk yang baru .... Pergaulan dalam kota Surabaya pun telah luas, terutama dalam kalangan kaum pergerakan, dalam kalangan kaum pengarang, wartawan-wartawan, pemimpin-pemimpin rakyat. Tiap-tiap rembukan yang mengenai kepentingan bangsa, menolong orang yang sengsara, pekerjaan amal, senantiasalalt Zainuddin, atau Shabir jadi ikutan orang banyak. Dan Muluk adalah sahabatnya yang setia........

20. RUMAH TANGGA
DI RANTAU, hidup orang dagang itu menjadi rapat. Maka sejak hari perkenalan itu, tersimpullah kembali dengan selekasnya tali persahabatan di antara kedua suami isteri itu dengan Zai nuddin. Pada raut muka atau sikap dan restu Zainuddin, tidak kelihatan lagi bekas-bekas penyakit lama. Dua hari setelah pertunjukan itu, Aziz membawa isterinya ziarah ke rumah Zainuddin. Dan beberapa hari di belakang, Zainuddin bertandang pula ke rumah Aziz. Di sanalah mereka mengatur budi bahasa yang halus, memperingati zaman yang lampau tatkala di Padang Panjang, yang sekira-kira tidak akan menyedar kepada pembicaraan cinta. Tetapi ada suatu rahasia rumah tangga yang telah terjadi di antara kedua suami isteri itu. Terjadinya bukan setelah bertemu dengan Zainuddin, tetapi sebelumnya, sejak mereka menjejak tanah Jawa. Dari sedikit ke sedikit telah nyata bahwa cinta Aziz kepada Hayati, adalah cinta sebagaimana disebut orang pada waktu sekarang. Yaitu cinta yang ditakuti oleh Zainuddin dan telah pernah diterangkannya dalam suratnya kepada Hayati seketika dia akan kawin. Aziz sanggup memberikan segenap kesenangan kepada Hayati, yakni kesenangan harta benda, tetapi hati mereka sejak bergaul, bukan kian lama kian kenal, hanya kian lama kian nyata bahwa haluan tidak sama. Cinta menurut artian yang dipakai oleh Aziz ialah pada rupa yang mungil dan cantik, pada bunga yang baru kembang yang mekar. Bilamana sebab-sebab itu sudah tak ada lagi, cinta pun kendorlah. Sejak mulai kendomya, maka kesungguhan-kesungguhan telah berganti dengan pura-pura. Diberikannya muka yang manis dan mulut yang manis kepada si [170] isteri, tetapi oleh si isteri sendiri terasa bahwa ini hanya pura-pura. Sedangkan anak kecil kita dukung, sedang perhatian kita kepada yang lain, menangis dia, kononlah manusia yang berakal. Kian lama kian terasalah oleh Hayati kesepian dirinya. Bahwa ia hidup dikelilingi oleh tembok yang pucat, tak berteman dan berhandai, kecuali air mata dan ratapnya. Insyaflah dia sekarang bahwa pertaliannya dengan Aziz bukan pertalian nikmat yang dirasainya seketika dia mulai kenal kepada Zainuddin dahulunya. Mulai dari sedikit ke sedikit terasa olehnya, bahwa di antara jiwanya dengan jiwa dan haluan suaminya, ialah peremmuan di antara minyak dengan air. Sudah hampir 2 tahun pergaulan itu. Aziz telah mulai bosan melihat isterinya. Karena di kota yang ramai dan bebas, kalau cinta itu hanya pada kecantikan, maka kecantikan seorang pe rempuan kelak akan dikalahkan pula oleh kecantikan yang lain. Perubahan perangai Aziz ketika mulai beristeri adalah perubahan dibuat-buat. Perbuatan yang dibuat-buat biasanya tiada tahan lama. Yang lekas membosankan Aziz ialah tabiat Hayati yang tenang, yang tidak tahu merupakan gembira, yang terlalu keagama-agamaan. Keindahan pakaian dan bentuknya cara kota itu kurang begitu disetujuinya. Ada perempuan yang tak mempunyai haluan dalam hidupnya, hanya menurutkan bentuk dan gaya suami. Tetapi ada pula perempuan yang tetap pada pendiriannya, walau pun bagaimana haluan suaminya. Bagi Aziz ketika mulai kawin, bukan haluan, bukan perangai dan bukan didikan Hayati yang jadi perkaranya, tetapi wajah yang cantik molek. Jadi nyatalah bahwa pada hakikatnya bukanlah Hayati jodoh Aziz, tetapi perempuan yang kekotakotaan, yang mau sama-

lama meminum seteguk air kelezatan dunia ini. Jodoh Hayati yang sejati, yang sama-sama lebih banyak tekur dari pada tengadahnya, bukan orang lain, melainkan Zainuddin juga. Di zaman kini belum sampai pikiran orang kepada menyelidiki haluan cinta dan derajat, mencari pasangan angan dan cita. Di zaman kini yang lebih dipentingkan orang ialah perkawinan wang, bangsa, perkawinan adat dan turunan. Manusia di zaman kini baru melihat kulit. Kalau dilihatnya rumah yang indah, keindahan itu yang mencengangkannya bukan kepintaran yang mengatur petanya. Kalau dibacanya hikayat yang bagus, bukan pikiran pengarang yang diselaminya, tetapi dia menggeleng-geleng membaca susun katanya. Kalau dia tertarik dengan rupa perempuan cantik, kepada haws nafsu kesetananlah terhadap pikirannya, bukan kepada kekuasaan Tuhan yang menciptakannya. Bukan orang pezina peminum khamar, bukan pencopet pemaling saja yang patut disebut sampah masyarakat. Tetapi orang-orang inilah sampah masyarakat yang lebih halus tetapi berbahaya. Mereka tertawa diwaktu orang lain menangis, pikiran mereka hanya mengumpulkan harta benda pelepaskan nafsu hidup. Ada pun orang yang memandang dunia sampai kebatinnya, yang tidak mengaji perbedaan pangkat dan derajat, harta benda dan kekayaan, hanya memandang kepada budi, dan bahasa, sedikit sekali jumlahnya. Apa lagi zaman sekarang digelari orang zaman kebendaan. Kalau bertemu atau berkawin golongan pertama dengan golongan kedua ini, pergaulannya tidaklah akan tenteram. Walau pun lama, maka rumah tangganya bukan sarang kebahagiaan, tetapi neraka hidup. Kalau yang perempuan masuk golongan yang pertama, berapa pun banyaknya gaji suaminya, walau pun pangkat suaminya lebih tinggi dari pangkat Nabi Sulaiman, dan kekayaannya lebih banyak dari pada kekayaan Raja Qarun, tidaklah orang dalam rumah itu akan melihat kecukupan dan keriangan. Demikian juga sebahknya; kalau yang laki-laki hatinya hati layang-layang, hati golonein pertama tadi, dan isterinya masuk golongan yang kedua, maka si isteri hanyalah lepau tempat singgah bagi suaminya ketika ia lelah berjalan. Kesenangan di luar rumah, bukan di dalam rumah. Orang [172] yang begini selama-lamanya tidak merasa kepuasan. Perkataan talak, cerai, fasakh dan khulu' adalah perkataan yang ringan sekali dari mulutnya. Perempuan yang jadi isterinya selama hidup nya makan hati berulam jantung. Dan yang sayangnya penyakit ini berbekas kepada anak-anaknya. Marilah kita namai golongan pertama golongan kebendaan, dan golongan yang kedua golongan kejiwaan. Golongan pertama memungkiri alam dan suka kepada kemewahan. Negeri yang mereka sukai ialah kota-kota yang ramai. Pakaian yang mereka sukai, jika dia perempuan, ialah yang paling ganjil, yang paling menarik mata laki-laki, sejak pinggang yang dirampingrampingkan sampai kepada bibir yang diberi gincu. Golongan yang kedua tadi, negeri yang mereka sukai ialah di mana yang masili belum dicampuri tangan manusia, bahagian-bahagian yang aman dan tenteram. Walau kita tilik kepada Hayati, lebih akan nyatalah "Hayati"nya bila dia tinggal di kampungnya yang kaya dengan anugerah Allah yang abadi. Dan akan hilang perhatiannya dalam hidup jika dia tinggal di kota yang hiruk pikuk sebagai Surabaya itu. Sebaliknya suaminya, masuk kota Surabaya adalah laksana ikan dimasukkan ke dalam air, di sanalah baru bebas dia berenang. Sejak berapa lama, perhubungan kedua suami isteri itu, hanya perhubungan akad nikah, bukan perhubungan akad hati lagi. Hati yang perempuan terbang membubung ke langit hijau, mencan

kepuasan di dalam khayal, dan hati yang laki-laki, hinggap di wajah dan pangkuan perempuanperempuan cantik, yang Surabaya memang pasamya. Demikianlah kehidupan kedua makhluk itu sekian lamanya, sampai kepada masa peremmuan dengan Zainuddin itu. Setelah terjadi perternuan itu, pulang juga sedikit kesenangan hati Hayati. Karena nrpanya masih ada di dunia ini orang yang pernah mencintainya dahulu. Dahulu! Cuma yang diselidikinya -- meskipun hanya sekedar mau tahu -- menurut sipat yang ada pada tiap-tiap perempuan : Apakah [173] Zainuddin masih ingat kepadanya? Perkenalan mereka itu membesarkan hatinya, dia hendak tahu pikiran Zainuddin, hanya sekedar tahu, lain tidak. Karena akan mungkir kepada pertalian yang telah dibuhulkan oleh kalimat suci, dia tak mau. Dia telah ditakdirkan Tuhan buat bersengsara. Dia akan melalui takdir itu sampai Tuhan sendiri pula yang membukakannya, yaitu dengan kafan dan ......... pekuburan. Dia hendak tahu, hanya semata-mata untuk menimbulkan pengharapan, bahwa dirinya masih berhak hidup, mengecap udara yang nyaman dalam dunia ini. Tetapi sudah payah, sudah lelah dia mencari, walau pun dalam sindir kata, atau dalam gendeng mata, atau dalam lagak lagu Zainuddin, semuanya tak bertemu....Dalam laksana dalamnya lautan. Dua kali Zainuddin ziarah ke rumah Hayati, yang kebetulan Aziz tak di rumah. Dianggukkannya kepalanya kepada Hayati, tetapi dia tidak mau masuk, hanya berjanji akan datang kelak bila Aziz telah kembali. Dahulu masih ada kepercayaan Hayati mengirim surat mengadukan halnya dan menumpahkan perasaan hatinya kepada Khadijah, tetapi akhimya dia undurkan diri, karena dia telah tahu bahwa Khadijah berpihak kepada saudaranya jua.

21. HATI ZAINUDDIN
NAMA Zainuddin telah masyhur. Dalam segala kalangan di Surabaya, dia telah ternama. Menjalar ke seluruh tanah Jawa, dan lebih lekas lagi tersiarnya nama penulis "Z" di seluruh Indonesia. Banyak dia menerima surat-surat pujian, banyak pula tetamu temama yang telah ziarah ke rumahnya, memuji karangannya yang baru, menyanjung tonilnya. Demikian juga penduduk Mengkasar, telah banyak yang tahu bahwa penulis "Z" itu adalah nama potongan dari Zainuddin, yang sekarang terkenal dengan nama Shabir, artinya penyabar. Mengkasar bangga dengan dia. Demikian penuh kehormatan yang ditaruhkan orang ke atas diri pengarang muda itu. Orang pun heran, dia pandai benar menceriterakan nasib orang-orang yang sengsara, padahal kalau dilihat keadaan hidupnya tiap hari, gembiranya dalam pergaulan, serasa-rasa tak dapat dicocokkan kalangan-karangannya dengan keadaan dirinya. Cuma seorang manusia yang tahu, bahwa pengarang yang di muka umum menunjukkan gembira dan senyumnya yang menarik hati itu, adalah seorang yang bila hari telah malam, bila penduduk kota sudah mulai pulang ke rumah masing-masijig,bila suara kendaraan telah sepi, dia duduk seorang diri di dalam kamar tulisnya. Kadang-kadang dia menulis hikayat, tetapi banyak pula dia bermenung saja, sekali-kali diambilnya biolanya, dilagukannya lagu-lagu yang sedih, atau dia bernyanyi dengan lagu-lagu yang merawankan hati dari lereng-lereng gunung Singgalang. Seorang saja orang yang tahu keadaan itu. Muluk, sahabatnya. [175] Dia duduk bersunyi-sunyi seorang dirinya, hanya sekali-sekali yang ditemani Muluk, mengenangkan nasibnya. Seakan-akan dihamparkannya di mejanya daftar sengsara yang telah ditempuhnya sejak kecilnya, lalu kepada kecewanya dalam percintaan semasa tinggal di Sumatera Barat. Bilamana kenangan itu sampai kepada Hayati, kepada janji dan sumpah setianya, masa dia terusir dari Batipuh, sampai kepada perkawinan Hayati, dan surat-suratnya, dan akhirnya kepada semasa dia sakit di Padang Panjang, dia pun menarik nafas panjang. Kadang-kadang lantaran mengingat itu, timbullah inspirasi yang bergelora dari semangatnya; seakan-akan itulah yang menyebabkan datangnya ilham yang bertubi-tubi kepadanya di dalam menyusun hikayat. Seakan-akan terbayanglah di mukanya sawah-sawah yang berpadi masak di Sumatera Barat, seekor unggas pun tak datang hendak memakan buah padi itu, sehingga tak perlu digarakan lagi. Trba-tiba datanglah angin puting beliung yang hebat, buah padi itu pun gugurlah dari tangkainya. Batangnya telah sama datar dengan bumi, tidak ada pengharapan tegak lagi. Demikianlah rasa dirinya ketika itu; sebagai suatu kebun yang tinggal tak diulangi manusia. Putus perhubungan dengan segenap isi alam. Hidup dia dengan tak berkaum kerabat, terpencil di suatu kuruk yang jauh; diam di negeri yang seramai-ramainya, tetapi hidup dalam kesunyian. Lantaran, lantaran Hayati tak ada di dekatnya. Diakuinya sekarang dia sudah kaya, sudah ada padanya sumber mas. Asal dia mengarang satu buku, bukan dia lagi yang meng antarkan kepada penerbit, tetapi oranglah yang mencari dan me minta dengan tidak ada kesabararn Wang pusakanya telah berfpat ganda, dalam pergaulan dia terkenal, pendeknya sudah trampir cukup kemegahan yang sepadan dengan dirinya. Tetapi ..... apakah gunanya, rumah cantik yang ditinggalinya, perkakas rumah yang cukup, kemegahan dan kepujian, kalau sekianya tidak ada tempat hati, tempat cinta pertama yang mula-mula

membukanyn hatinya,_ dan sekarang telah tertutup kembali. Satu makhluk pun tak ada yang kuasa membukanya, kalau bukan yang pertama jua. [176] Jadi cerita-cerita yang dibikinnya itu dan tonil yang merawankan hati meremukkan jiwa penonton, lain tidak hanyalah gubahan ratap semata. Kata si pembaca atau penonton, semuanya adalah ra tap kepada masyarakat, pada hal pada hakikatnya ratap kepada nasibnya sendiri. Salah orang yang menyangka bahwa Hayati telah hilang dari hatinya. Masih hidup, masih tergambar dengan jelas. Lemah segenap persendiannya seketika dia mula-mula bertemu dengan Hayati; sudah sebulan lebih dia mendengar dari Muluk bahwa Hayati ada di kota Surabaya, sehingga dimintanya kepada pengurus perkumpulan "Club Anak Sumatera" supaya dia dan suaminya diundang. Tetapi meskipun lemah persendiannya, kuat kuasa dia menahan hatinya dan menjaga perobahan wama mukanya, sehingga tidak kelihatan sedikit juga oleh Hayati dan suaminya, seketika itu. Dengan sebaik-baiknya persahabatannya telah bertali kembali. Aziz yang nandai sekali mengambil muka telah meminta maaf kepadanya kaEena kejadian-kejadian yang sudah-sudah itu. Dengan manis pula Zainuddin menjawab, bahwa hal yang telah lalu itu lebih baik dihabiskan saja, dipandang seakan-akan tak ada. Karena - kata Zainuddin - kalau dia ingat kejadian itu, dia sendiri pun tertawa, sebab itu hanyalah perasaan-perasaan yang biasa datang kepada :. nakanak muda dizaman mulai remaja, yang mesti habis dan musnah bilamana kesadarannya telah timbul... Mendengar itu bertambahlah Aziz mendekatkan diri kepadanya dan kepada isterinya pun dikabarkannya pula bahwa hal itu sudah habis hingga itu. Katanya kepada isterinya : Tidaklah kita akan rugi jika kita berkenalan dengan orang yang masyhur itu. Persahabatan itu telah karib. Cuma yang selalu dielakkan benar oleh Zainuddin ialah bersua dengan Hayati berdua-dua. Kalau dia bertemu dengan Hayati senantiasa di dekat suaminya. Dalam hatinya terbit dua perjuangan, pertama cinta yang kokal kepada Hayati, kedua perasaan dendam yang sukar mengikis, lantaran mungkir Hayati kepada janjinya. Kian sehari, kian sebulan, kian nyatalah bahwa kepuasan [177] Aziz hanya di luar rumah. Telah bosan dia di dalam rumahnya, bosan dengan isterinya yang setia. Semalam-malaman hari dia hanya bersenda gurau dengan perempuan-perempuan cantik, dan kadangkadang bersenda gurau dengan teman sepermainan di atas meja judi. Bagaimanakah akal perempuan muda yang malang itu di hadapan nasib yang begini rupa? Akan dicegahnya suaminya dari pada perbuatan itu, tidak sampai hatinya, takut kalau-kalau memba wa celaka yang lebih besar, yaitu pertengkaran mulut yang telah kerap terdengar oleh orang sebelah menyebelah rumah. Oleh karena nasib yang demikian, Hayati telah berubah sikap. Dia telah benci kepada segala yang ramai, mengundurkan diri dari pergaulan, berbenam saja dalam rumahnya seorang diri, tidak ada temannya melainkan penjahitannya. Tidak dia peduli, tidak dia bertanya kemana suaminya; hendak pergi, pergilah, telat pulang, masa bodoh! Mukanya muram, badannya telah kurus. Disinilah dia teringat kembali salah satu dari isi surat Zainuddin kepadanya dahulu, yang menusuk sangat ke dalam jantungnya, yang kian lama kian nyata kembali meskipun beberapa waktu lamanya ter - sembunyi: "Jangan sampai terlintas dalam hatimu bahwa ada pula bahagia selain bahagia cinta. Kalau kau percaya ada pula satu ke` bahagiaan selain kebahagiaan cinta, celaka diri kau dik! Kau menjatuhkan ponis kematian ke atas diri kau sendiri!"

Dalam pada itu, Aziz telah berbuat beberapa pekerjaan yang tidak akan dapat dimaafkan, karena mengingat salahnya selama ini. Yakni dari persahabatannya dengan Zainuddin dia telah mengambil kesempatan yang biasanya diperbuat oleh orang yang rendah budi. Dengan muka yang tebal, tak mengenal kesalahan-kesalahan yang lama, sudah dua tiga kali dia meminjam uang kepada Zainuddin. Inilah agaknya takwil perkataannya kepada Hayati tempo hari, mengatakan bahwa tidak ada jahatnya jika kita bersahabat kembali dengan orang yang ternama demikian. Dia pergi berjudi. Kalau dia menang, maka uang kemenangan itu dibawanya bersama temantemannya mencari perempuan. Kalau dia kalah, dia pulang dengan muka asam, meradang ke sana, menyembur kemari. Sehingga sudah dua tiga kali mengganti babu, karena tidak ada yang tahan lama. Yang lebih menyolok mata lagi, kalau babu itu agak muda, kerap kali dipermainmainkannya, walaupun di hadapan isterinya. Asal sengketa dan perselisihan jangan tumbuh, apa katanya diikut oleh Hayati. Barang masnya telah habis; dokohnya, gelangnya, penitinya, semuanya telah masuk rumah gadai. Tetapi yang sangat menyakitkan hati, pernah dia menyesali untung di hadapan Hayati, dikatakannya bahwa dia menyesal beristeri perempuan kampung, sial. Perempuan yang tak pandai mengobat hati suaminya. Kalau terdengar perkataan demikian, apakah kepandaian Hayati, seorang perempuan yang lemah, lain dari pada menangis? Siapa orang lain yang akan disalahkannya? Kalau bukan dirinya sendiri? Bukankah seketika ninik mamaknya menerima permintaan Aziz, dia sendiri pun menyukainya? Bukankah pernah dia berkirim surat kepada Zainuddin mencegah Zainuddin menyesali bekal suaminya, karena dia sendiri yang memilihnya? Di dalam rumah dirasanya sebagai dalam neraka, akan lari tak dapat! Karena Hayati adalah seorang perempuan lemah lembut, yang lebih suka berkorban, hatta jiwanya sendiri, dari pada meng ganggu orang lain. Dia ingat satu pepatah yang pernah dibacanya dalam buku: "Per uangan laki-laki di medan perang, perjuangan perempuan dalam rumahnya." Bahaya yang telah disangka-sangaa mesti datang itu, pun datanglah. Sepandai-pandai membungkus, yang busuk berbau juga. Semasa Aziz tinggal di Padang masih dapat dia meminta uang ke pada ibunya kalau dia tekor atau meminjam kian kemari. Sekarang hidup di rantau. Berapa kali hutangnya kepada orang yang suka mentemakkan uang, telah dapat dibayar oleh Zainuddin, 'sahabatnya yang kasihan kepadanya itu. Tetapi malang akan turnbuh, ada seorang di antara temannya sama-sama bekerja yang benci melihat perangainya, telah mencari beberapa bukti kesalahannya, yang dapat menyebabkan keberhentiannya dari pada pekerjaannya. Bukti-bukti itu telah dilonggakkan orang dengan diam-diam, orang hendak menjatuhkannya dari pekerjaan dengan cara yang tiba-tiba. [179] Karena orang tahu, kalau dia mengerti hal itu, dia akan meminta bantu kepada sahabatnya pengarang temannya itu, atau dia lari dari kota Surabaya. Maka pada suatu hari datanglah seorang tempatnya berhutang, menagih piutang-yang telah lewat temponya. Datanglah dengan tiba-tiba sekali, karena telah diatur lebih dahulu oleh musuh-musuhnya. Kebetulan uang sedang tak ada, janji tak dapat dipenuhi. Orang pun berkerumun di hadapan rumahnya, melfliat orang yang meminjaminya uang itu dengan muka manis bagai madu, tetapi hati yang kejam bagai hati serigala, menyuruh membayar hutang, kalau tidak barang-barangnya di dalam rumahnya akan diangkut, dilelang. Sedang bertengkar-tengkar demikian, sep kantor tempatnya bekerja datang bersama dengan kawan samanya bekerja yang telah menahankan perangkap buat kejatuhannya itu. Dengan

muka yang sangat pucat dan gugup dia menyambut kedatangan sepnya itu, dan penagih hutang itu pun berdiri ke sisinya. "Tuan!" ujarnya."Sudah sekian lama tuan Aziz ini dari janji ke janji saja. Saya tidak sabar lagi, akan saya minta pertolongan yang berwajib." Hayati mencoba hendak ikut berbicara mempertahankan suaminya yang sudah kehilajigan akal itu. Tetapi tukang ternak itu menjawab dengan pendek dan jitu: "Lebih baik kau diam saja, hai pe rempuan muda! Kau telah jadi korban hawa nafsu syaitan suamimu. Janji apakah yang akan engkau cari lagi? Pada hal barang-barang perhiasanmu telah habis, hidupmu telah melarat. Barang dalam rumah ini akan dibeslag!" "Dan besok kau tak usah datang ke kantor lagi!" kata sepnya kepada Aziz. Muka Aziz pucat! Berapa hari sesudah itu, kelihatanlah orang bekerja mengangkuti segala barang-barang kursi dan meja, perhiasan dan gambargambar di dalam rumah Aziz, karena perkara itu sudah di tangan jurusita. Setelah barang-barang itu habis diangkut, tiba-tiba datang pula tukang tagih sews rumah, memberi tahukan bahwa kunci [180] akan diambil, karena sudah lebih dari 3 bulan sewa rumah itu tak dibayar. Sepatah kata pun tak keluar dari mulut Aziz, apakah yang tinggal hanyalah yang lekat di badan. Hayati pun hanya memakai sehelai kebaya yang telah lusuh, dan kain batik kasar. Mereka keluar dari rumah itu dengan rupa tak keruan. Ketika akan meninggalkan rumah itu masih sempat juga Aziz menikamkan kata-kata yang tajam ke sudut hati Hayati ....... sial!" Hayati tak menjawab. Menangis pun tidak. Apa lagi yang akan ditangiskan, jika kesedihan telah sampai kepuncaknya? "Ke mana kita akan pergi lagi?" kata Hayati. Aziz tak menjawab, mukanya muram saja. Hanya dengan langkah yang tetap, tetapi penuh dengan pengharapan, dia menuju ke rumah Zainuddin! Ke sanalah mereka pergi ........ Kedatangan mereka diterima oleh Zainuddin dan Muluk dengan hati bersih dan suci, penerimaan sahabat kepada sahabatnya. Rumahnya ada mempunyai kamar buat tetamu, cukup luas dan se derhana. Apalagi sempit dan luas rumah, bukan bergantung kepada rumah, tetapi bergantung kepada kesenangan hati yang mempunyai. Mula-mula mau Zainuddin membayarkan utang itu, tetapi dicegah oleh Muluk, dengan alasan bahwa orang yang demikian lebih baik ditahan dan dipelihara dahulu dalam rumah, dari pada ditebuskan barangnya, karena dia pun tak ada mata pencaharian lagi. Tentu pula kawan-kawannya tidak ada yang mendekatinya, sebab tidak ada. lagi yang mereka harapkan. Setelah tinggal dalam rumah itu, lebih seminggu lamanya Aziz ditimpa sakit. Selama sakitnya dijagai oleh Hayati dengan setia, diurus oleh Zainuddin dan Muluk, dijaga dan dirawat supaya lekas sembuh. Setelah bangun dari sakitnya, diselenggarakan dia dan isterinyaoleh Zainuddin, dihormati oleh Mulukdengan sepertinya. Tidak ada satu kalimat yang dapat mengibakan hati mereka, atau menyebabkan jemu mereka tinggal dalam rumah itu. Demikianlah hampir sebulan lamanya. ***

Sudah lewat sebulan ............ "Saudara!" kata Aziz dengan tiba-tiba kepada Zainuddin, sehabis makan pagi di kamar makan, di hadapan isterinya: "Budi baik saudara kepada saya sudah terlalu besar, dha'if benar diri saya sekarang, tak ada balasan dari saya hanyalah memohon kepada Tuhan, moga-moga jasa saudara itu terlukis pada sisinya." "Itu bukan jasa, itu hanya kewajiban seorang sahabat kepada sahabatnya. Apalagi kita hidup di rantau pula," kata Zainuddin, "kita wajib membela antara satu sama lain." "Ah, belum pernah saya memberi kepada saudara, saya hanya selalu menerima." "Karena belum waktunya," kata Zainuddin dengan senyum: "Sekarang sedang saya berkesanggupan, tentu saya tolong. Kelak datang pula kesanggupan saudara, tentu saudara tolong pula saya." "Terlalu baik saudara ini.........." "Yang baik hanya Tuhan," jawab Zainuddin pula. "..... Begini saudara!" katanya, sedang perkataannya tertahan-tahan: "Sudah terlalu banyak kesalahan saya dari kecil, dari semasa muda, sampai kepada beristeri. Waktu inilah kesalahan itu saya bayar. Pahit balasan Tuhan yang harus saya telan! Sekarang saya tobat, saya hendak memilih jalan yang lurus. Sebab itu, saya masih akan meminta lagi pertolongan saudara." "Kalau ada kesanggupan pada saya!" "Saya telah melarat sekarang, saya dan isteri saya. Saudara yang telah menyambut dalam rumah saudara sekian lemanya. Hal ini tale boleh saya derita lama. Di kota Surabaya, saya pun lebih merasa malu. Sebab itu lepaslah saya berangkat mencari pekei jaan lain ke luar kota Surabaya. Saya akan pergi sendiriku lebih dahulu. Di mana pekerjaan dapat, saya kirim kabar segera, supaya isteriku dapat menurutkan ke sana." "Saya tidak keberatan isteri saudara tinggal di sini. Cuma yang saya ragukan, kalau-Kaau kesehatan saudara belum kembali. Kalau saudara belum sembuh betul, saudara berangkat, hanya lantaran malu terlalu lama di sini, maka melaratnya di belakang lebih besar [182] dari manfaatnya. Lebih baik tahan dahulu sampai badan kuat betul." "Sungguh badan saya telah sehat. Budi saudara tinggi memang hak saudara menahan saya di sini sekian lamanya, tetapi sebagai seorang yang hidup, yang menanggung jawab atas diri dan isterinya, saya wajib mencari pekerjaan. Kalau pekerjaan itu tak dapat, ke mana saya akan kembali, kalau bukan kemari juga." "Bagaimana Hayati? kalau tuan-tuan laki isteri pulang saja ke Padang?" tanya Zainuddin pula sambil menoleh kepada Hayati. "Saya rasa lebih baik pulang dahulu, ongkos tuan-tuan saya bayar, ganti memperbaiki perlangkahan dan menetapkan hati. Walau pun kelak akan kembali merantau." "Tidak, itu tidak bisa. Malu!" jawab Aziz! "Bagaimana Hayati?" "Saya hanya menurut! .........." "Baiklah ..... kalau demikian pertimbangan yang telah diambil oleh saudara Aziz, berangkatlah! Dimana pun negeri yang didatangi, kirimi kami surat lekas. Beri kami kabar yang

menggembirakan. Kalau pekerjaandapat boleh Hayati dijemput ke ma ri,atau saya mengantarkan. Cuma nasehat saya, ubahlah haluan hidupmu saudara!" "Saya berjanji, sahabatku!" Besok paginya, berangkatlah Aziz menumpang kereta api yang akan berangkat menuju Banyuwangi, diantarkan oleh Zainuddin dan Hayati ke stasiun. Di sana nyata sekali perasaan yang meliputi ketiga anak muda itu. Ketiganya sama-sama menitikkan air mata..... [183]

22. DEKAT, TETAPI BERJAUHAN
DI BERANDA sebuah rumah makan yang ramai dalam kota Surabaya, sehabis waktu magrib, duduklah Zainuddin seorang dirinya, mengepul asap rokoknya ke udara. Meski pun kendaraan ba nyak lalu lintas di hadapannya, semuanya seakan-akan tak terdengar olehnya, sebab pikirannya sedang melayang-lapang ketempat lain.......... Hayati, kecintaannya, pusat pengharapannya, sekarang sudah ada dalam rumahnya sendiri. Sudah berminggu dia memakan masakan Hayati, sudah berminggu makan minumnya dia menanak kan, kain bajunya, ditolongnya mencucikan. Alangkah beruntungnya sekranya dia, kalau sekiranya jadi dahulunya dia kawin dengan Hayati. Alangkah lapang terluang medan tempatnya berjuang di dalam hidup ini Tentu rambutnya tak akan lekas gugur sebagai sekarang. Tentu dia akan menghadapi perjuangan hidup dengan gembira. Telah hampir genap cita-citanya, tinggal dalam sebuah rumah yang sederhana, cukup perkakas, cukup kekayaan, temama, termasyhur. Hanya satu saja kekurangannya, ibarat alam yang keku rangan matahari, itulah nasibnya yang kekurangan Hayati. Sekarang Hayati itu sudah ada dalam rumahnya. Tetapi "ijab dan kabul" nya dengan Aziz, inai yang melekat di kukunya seketika dia menziarahinya ketika sakit dahulu, semuanya telah menjadi batas, yang menyebabkan mereka seorang di bumi dan seorang di langit, seorang di ufuk Timur dan seorang di ufuk Barat. Sekembali dari stasiun mengantar Aziz, disuruhnya Muluk [194] mencari seorang babu tua untuk teman Hayati di dalam rumah. Setelah itu, dia telah kurang dalam rumah, hanyalah di waktu makan dan di waktu tidur saja. Boleh dikatakan dalam waktu-waktu demikian dia. kurang mengarang. Hayati sendiri gelisah pula dalam rumah itu. Mengapa sejak dia ada, Zainuddin seakan-akan tak memperdulikan dia. Seakan-akan kedatangannya menjadi keberatan kepada Zainuddin. Kalau sekiranya keberatan, mengapa disanggupinya membiarkannya menumpang dalam rumahnya sebelum suaminya datang menjemput. Ada pula yang lain yang menambah masygulnya. Dia diberi kemerdekaan oleh Zainuddin dalam rumah, sejak dari muka lalu ke belakang, cuma satu saja yang tidak boleh dimasukinya, yaitu kamar tulisnya. Demikianlah pesan yang disampaikan secara halus dengan perantaraan Muluk. Inilah yang mengherankan dalam pertalian budi bahasa di dunia ini. Dia sangat cinta, seluruh iramanya, ilham yang menerbitkan semangatnya mengarang, semuanya ialah lantaran ingat akan Hayati. Sekarang Hayati telah ada dalam rumahnya, tetapi tidak diacuhkannya. Itu adalah tersebab dari cinta yang bermukim dalam hatinya bukan cinta kenafsuan, tetapi cinta murni. Cinta yang menyebabkan muliabudiseorang pemuda yang dihinggapinya. Pada malam Zainuddin termenung-menung di rumah makan itu, Hayati menunggunya di rumah dengan kurang sabar, sebab sudah datang waktu makan. Dia bertanya kepada Muluk: "Mengapa engku Zainuddin tak juga pulang?" "Barangkali tengah malam baru dia. kembali, sebab banyak urusannya di luar." "Mengapa sejak saya di sini dia bagai orang ketakutan saja? Adakah kedatangan saya memberatinya?" tanya Hayati dengan masygul.

"Bukan Encik," jawab Muluk sambil menghela nafas panjang. "Bukan, Encik jangan salah terima kepadanya." "Mengapa abang Muluk larang saya mendekat ke kamar tulisnya?" "Ah ..... Encik!" keluh Muluk pula, sambil menggelengkan kepala dan menarik nafas sekali lagi. "Sudah terlalu lama saya makan hati berulam jantung di sini. Berilah saya kepastian. Jangan disusuti juga daging saya, jangan dikuruskan saya oleh angan-angan. Tunjukkan kepada saya, bang Muluk! Masih berdendamkah dia kepada saya! Masih belum adakah pada engku Zainuddin maaf kepada saya?" "Encik .....! Duduklah baik-baik di kursi itu ......." jawab Muluk. "Sebetulnya sudah berkali-kali engku Zainuddin memesankan kepada saya, menyuruh tutup rahasia dirinya, walau pun siapa yang bertanya. Tetapi sekarang ini saya sudah tak dapat menahan lagi. Akan saya terangkan, walau pun kelak dia akan marah kepadaku karena dia sebenarnya lebih banyak maafnya dari pada marahnya." "Bagaimana?" tanya Hayati pula dengan rupa yang ingin tahu dan dada berdebar. "Dia seorang pemuda yang tak beruntung!" "Tak beruntung? Apakah artinya itu? Bukankah kemasyhuran, kemegahan, kemuliaan, menjadi cita-cita laki-laki sebagaimana kecantikan dan kepujian menjadi cita-cita perempuan?" "Apakah artinya kemuliaan, Encik; kalau maksud tak sampai? Dia adalah laksana seekor burung elang yang hendak meningkat lanpit, tetapi sayapnya patah," ujar Muluk. "Saya sudi menjadi temannya, karena saya kenal betul akan dia. Bukankah lebih setahun lamanya dia menumpang di rumah ibuku di Padang Panjang? Dia seorang muda yang melarat. Melarat Sari sejak asal dan turunan, pusaka yang diterimanya sejak dari ayah dan bundanya. Ayahnya terbuang jauh dari kampung halaman, sampai mati di rantau setelah kembali dari buangan, lantaran malu pulang ke kampung. Lagi pula meskipun pulang, bukankah ada pepatah: "Tak ada ranggas di Tanjung, cumanak ampaian kain. Tak ada emas dikandung, dunsanak jadi 'rang lain." Ibunya seorang Mengkasar, mati seketika dia masih perlu kepada bujukan ibu. Hidupnya besar dalam pangkuan orang lain. Ditempuhnya tanah Minangkabau dengan cita-cita besar, cita-cita hendak menempuh tanah bapa, tanah tempat dia dibangsakan menurut adat istiadat dunia. Kiranya kedatangannya ke sana, dipandang orang laksana minyak dengan air saja, dia tetap dipandang orang Mengkasar, sebagaimana di Mengkasar dia tetap dipandang orang Padang." Debar jantung Hayati bertambah-tambah mendengarkan ucapan Muluk itu. "Setelah itu, dia diusir dari sana. Diusir dari tanah asal keturunannya. Tetapi meskipun dia diusir, hatinya tetap dan teguh, sebab ada seorang perempuan - menurut keterangannya sendiri - yang telah memberi bujukan kepadanya, yang telah berjanji akan menunggunya, bila pun masanya dia pulang. Dia hidup di Padang Panjang dengan pengharapan demikian. Dituntutnya i1mu baik keduniaan atau ilmu akhirat, dengan pengharapan bahwa nanti dengan itulah bekalnya menemvuh hayat, bersama perempuan yang berjanji itu. Dalam satu pacuan kuda perempuan itu mulai tertarik dengan laki-laki lain, yang lebih gagah, mulia, kaya raya, beradat dan turunan tulen Minangkabau. Tiba-tiba sampailah kepadanya warta bah wa ibu angkatnya itu telah meninggal pula di Mengkasar. Tetapi dia dapat-waris Rp. 3000,- Lantaran mengingat dia telah ada kesanggupan memelihara perempuan itu dengan

kekayaan demikian, yang warp itu kemudian dapat diperniagakan bila telah beristeri, dicobanyalah meminang perempuan itu kepada keluarganya. Kiranya pinangannya ditolak orang dengan kasar, dia ticlak orang Minangkabau, dia tidak orang beradat berlembaga." "Sudahlah bang Muluk, sudahlah," ujar Hayati sambil menutup mukanya dengan kedua tangannya. Perkataan Hayati itu seakan-akan tidak didengarnya, pembicaraan diteruskannya juga. "Pinangan ditolak orang. Orang lebih suka menerima laki-laki yang lebih cukup syarat-syarat adatnya." "Sudahlah, bang Muluk, sudahlah." "Waktu itulah mulai hatinya remuk. Runtuh hancur luluh rumah kenang-kenangan yang didirikannya di dalam khayalnya. Dicobanya mengirim surat 2 dan 3 pucuk kepada perempuan itu meminta dikasihi, meminta supaya dikembalikan pengharapannya itu, minta supaya dijenguk, dilihat, sebab di waiah perempuan itulah tersimpan tali kehidupannya. Kiranya dapat balasan pula, bahwa cinta ditukar dengan persahabatan. Bahwa perempuan itu bukan dipaksa orang lain kawin dengan tunangannya tetapi atas kemauannya sendiri, sebab sudah dipikirkannya matang-matang. Sebab katanya, dia seorang perempuan miskin, pada hal di zaman sekarang perlu wang, dan Zainuddin seorang miskin pula. Dia terima ponis itu dengan hati yang teguh. Tetapi setelah terdengar olehnya bahwa perempuan itu telah kawin, dia jatuh sakit, hampir 2 bulan lamanya. Selama sakit itu yang jadi buah tuturnya hanya perempuan itu saja......." "Sudahlah, sudahlah bang Muluk .... jangan diteruskan juga ceritera itu ............" "Tidak Encik, biar saya teruskan. Apa yang kejadian sesudah sakitnya tak usah saya ceriterakan. Melainkan kami berangkat ke tanah Jawa ini, menghilangkan diri. Karena di masa sehabis sakit itu hampir dia membunuh diri. Saya dapati dia hendak menghamburi Batang Anai yang deras airnya itu. Itulah sebab saya ikut dia berangkat ke tanah Jawa ini. Kerapkali dia berkata kepadaku, Encik: "Bang Muluk! Semua sukar atas diriku, hatta mati sekalipun........... Sekarang dia masyhur, memang ....... karena yang dijalinnya menjadi hikayat, menjadi sya'ir menjadi tonil, semua adalah penderitaannya sendiri, air matanya, bahkan kadang-kadang darah nya. Itulah sebab saya katakan, dia beruntung hanya kelihatan oleh orang luar. Pada batinnya dia seorang yang melarat. Itulah sebabnya pula dia menjadi seorang yang pengasih penyayang, menjadi seorang yang belas kasihan. Dia selalu suka membantu orang yang melarat, karena sebenarnya dia seorang melarat. Kerapkali datang kepadanya anak-anak muda yang kekurangan ongkos buat kawin, meminta bantu kepadanya, dia keluarkaa uang secukupnya untuk upacara itu. Karena katanya; "Saya merasai [188] sendiri bagaimana pengaruhnya atas diri saya lantaran maksud tak sampai, biarlah anak muda itu tidak menanggung apa yang pernah saya tanggung." "........Encik......... sebetulnya engku Zainuddin masih tetap cinta kepada Encik. Tetapi sebagai seorang budiman dia hormati Encik sebagai isteri dari orang yang telah mengaku sahabatnya, meskipun orang itu pernah mengecewakan hidupnya. Bukan main terharu hatinya ketika dia ketahui kesengsaraan Encik bergaul dengan suami Encik. Encik dilarangnya masuk ke dalam kamarnya ....... Marilah saya bawa Encik ke sana, kita saksikan apa yang ada di dalam, sedang dia tak ada ini."

Maka Muluk pun berdiri dari kursinya, diajaknya Hayati melangkah ke kamar tulis itu. Dibukanya dengan kunci yang terpegang di tangannya. Diterangkannya lampu. Tiba-tiba kelihatanlah di din ding beberapa gambar, yang diambd dari omslag buku-buku yang dikarangnya. Satu diantaranya ialah omslag buku "Terusir" yang menyebabkan namanya telah sangat termasyhur. Dan ada beberapa gambar lain. Warna kamar itu muram saja, tetapi bersih dan kokoh. Di dekat jendela yang menghadap ke beranda muka yang ditumbuhi oleh pohon-pohon palm, ada sebuah meja tulis yang cantik. Di samping itu ada sebuah bangku, tempat Zainuddin berbaring dan beristirahat bila payah mengarang. Tersandar ke Binding sebuah almari kitab, yang dipenuhi oleh kitab kesusasteraan asing, baik Belanda, baik Inggeris dan apalagi kesusasteraan Arab yang berjilid jilid. Sebelah ke atas terletak kitab-kitab Al-Afghaani Al 'Iqdul Farid, Tarikh Ibnu Khadlun dan kitab Ihya Ulumuddin. Di bawahnya berderet Winkler Prins Encyclopaedie, yang berjilid-jilid pula. Di tentang almari itu terletak sebuah gambar besar, tetapi ditutup dengan sutera hijau, sehingga tak kelihatan siapakah Yang tergambar di sana. "Encik Hayati!" kata Muluk memecah tercengang Hayati dalam kamar itu. "Disinilah anak muda yang malang itu selalu menyadari nasibnya. Tetapi dari sinilah sumber kemasyhurannya dalam kalangan kesusasteraan bangsa kita yang mulai tumbuh ini." [189] "Kalau begini indahnya kamar ini, mengapa saya dilarang masuk?" tanya Hayati. "Inilah sebabnya," kata Muluk, sambil mengambil sebuah tongkat, berulukan gading, dari kemuning tua bikinan Donggala, kiriman kepala kampung di sana yang tertarik dengan karargan karangan Zainuddin. "Inilah sebabnya," katanya, sambil menghindarkan tutup sutera yang melindungi gambar di atas kepala almari kitab itu. Kiranya ....... gambar Hayati yang telah diperbesar. Gambar Hayati semasa masih gadis. Di bawah gambar itu tertulis: "Permataku yang hilang." Hayati terkejut melihat gambar itu, wajahnya pucat, terlompat dari mulutnya perkataan: "O, bang Muluk! Rupanya dia masih ingat akan daku!" "Ingat, dan selamanya dia tak akan lupa. Tetapi ..... Hayati yang dicintainya itu telah hilang." "Dia masih ada abang, ini dia!" "Hayati yang dicintainya tidak ada lagi, telah mati. Semangat Zainuddin telah dibawanya bersama-sama ke kuburnya. Hayati yang menumpang di rumahnya sekarang, ialah sahabatnya, isteri pula dari sahabatnya ......." Dengan langkah yang bagaikan jatuh, Hayati keluar dari kamar itu, kembali ke dalam kamarnya sendiri, menghempaskan kepalanya yang mungil ke atas bantal. Pada saat itu tahulah dia sudah, bahwa Zainuddin masih tetap cinta akan dia. Cinta yang tidak pernah padam, melainkan jadi pelita di dalam perjuangan hidupnya, meskipun mereka telah terbatas buat selama lamanya. Demikianlah Hayati tidur di kamar itu. Kedengaran olehnya tiap-tiap jam berbunyi, kedengaran pula langkah Zainuddin pulang tengah malam; sampai akhirnya kedengaran bunyi kokok ayam berderai-derai, alamat hari 'kan siang .......

23. SURAT CERAI
Saudaraku Zainuddin. Dengan perasaan sangat duka, kota Surabaya saya tinggalkan. Amat besar malu yang saya pikul di hadapan umum; Sengaja saya pergi ke Banyuwangi ini ialah hendak nnencari pekerjaan. Tetapi pekerjaan belum juga dapat. Saya tahu sudah, bahwa semua adalah pembalasan Tuhan yang harus saya tanggungkan Dosa saya terlalu besar terhadap kepada diri saudara. Kuncup pengharapan saudara yang mulai akan mekar, saya patahkan, saya rebut Hayati dari tangan saudara, pada hal saya tahu ketika itu bahwa saudara sangat cinta akan dia, dan dia pun mengharap akan bersuamikan saudara. Saya pengaruki keluarganya dengan wang, dengan turunan. Saya hinakan saudara di hadapan mereka Saya tidak insaf bahwasanya panas akan beganti juga dengan hujan bah. wasanya kehidupan ini adalah laksana roda pedati, turun naik silih he•ganti Saya tidak insaf bahwa kelak saya akan mengemis kepada orang yang pernah saya hinakan. Memang setelah saya kawin dengan Hayati, saya berbesar hati beberapa bulan lamanya, lantaran cita-cita saya telah sampan kembang mekar dari Batipuh telah saya petik. Tetapi kemudian pergaulan kami nyata tak sesuai, sebab diaseorang perempuanyang tinggi budi, pada hal saya seorang yang rendah Sangka saya tidak akan sampai nyata balasan Tuhan ke atas diri saya Saya telah jatuh terlalu dalam ke lurah perjudian, tiba-tiba bertemu saya di kota Surabaya yang serarmi itu dengan orang yang telah pernah saya kecewakan hatinya; saya hinakan, saya pandang rendah Bertemu oleh saya dalam keadaan yang tidak saya sangaa-sangka Telah naik gensi dan deraiatnya, pada hal saya jatuh ke bawvh Saya harus menelan kepahitan malu, kepahitan pembalasan ilahi yang begitu terang dan nyata. Sekarang saya telah insaf akan keadaan itu. Sekarang saya sudah menetapkan hukuman atas diri orang yang bersalah sekian besar. Saya mesti mencabut jiwanya, supaya dia lekas tersingkir. Maka sebelum itu, dengan surat ini saya berkata terus terang, bahwa Hayati [191] saya kembalikan ke tangan saudara, dia saya lepaskan, tidak dalam ikatan saya lagi Saya merasa hanya inilah sedikit pernbalas budi kepada tuan-tuan keduanya dari saya yang hina. Saya kembalikan Hayati ke tangan saudara, karena memang saudaralah yang lebih berhak atas dirinya. Hampir dua tahun kami bergaul, ternyata pagaulan kami tidak cocok, karena dia saya dapat dengan jalan tipuan, meskipun berkulit nikah kawin. Akan lebih beruntung saudara mendapat dia, sebab dia seorang perempuan yang amat tinggi budinya. Dan dia pun akan lebih puas berokh suami yang cocok dengan aliran jiwanya Ada pun saya sendiri telah menetapkan ponis atas diri saya. Tak perlu saudara hiraukan bagaimana kesudahan dari kehidupan saya. Karena kehilangan orang yang sebrgai saya ini dari dalam masyarakat, belumlah akan sebagai kepecahan telor ayam sebuah. Maafkan dosaku lahir batin.

Aziz. Adinda Hayati! Hampir dua tahun kita bergaul. Hampir dua tahun kau menuruti aliran hidup saya yang sial yang penuh dengan dosa, penuh dengan tangan yang kotor. Hanya semata-mata lantaran menurutkan nafsu muda saya. Kau suruh saya mengerjakan ibadat kepada Tuhan, untuk menebus sesalahan di zaman remaja hanya sebulan dua dapat kukerjakan. Dasar kotor, kian lama seruan kekotoran itu kedengaran oleh telingaku kembali. Saya kecewakan hatimu, saya habiskan gaji dan pendapatanku untuk melepaskan nafsu angkara murkaku. Saya tahu, kerap kali kau meratapi untung lantaran bersuami saya. Kerap kali pula kau kumaki, kucela, kupikulkan ke atas pundakmu kesalahan-kesudahan yang sebenarnya mesti saya sendiri memikul. Hayati! Berhentilah lakon kesedihanmu hingga ini! Ketahuilah bahwa suami kau Aziz telah insaf akan ulahnya. Dan keinsafan itu akan ditebusnya. Pinang akan disurutkannya kegagang, sirih akan dipulangkannya ke tampuk. Sengaja saya menyingkirkan diri, supaya jangan kau ingat juga kecantikkanmu dan kemudaanmu yang telah hilang percuma lantaran kurampas. Maka [192] sebelum masanya lepas dan penyesalan timbul; semasa tunas angan-anganmu masih bisa tumbuh kembali, saya menyingkir pergi. Saya akan memberikan hukuman kepada anak muda yang sekejam itu, yang mengecewakan perjalanan hidup seorang pujangga, mematahkan pergharapan seorang gadis, hanya dengan pengaruh wang dan turunannya, pada hal dirinya sendiri hanya seorang rendah dalam segala perkara. Hapuskanlah segak kesedihan yang telah terlukis di keningmu. Kembalikanlah senyumanmu yang manis, hiduplah kembali dengan gembira, habiskanlah segala remuk kedukaan yang telah timbul di dirimu hampir dua tahun lamanya, lantaran saya Maka sesampai surat ini, lantaran kau kuambil dahulunya dengan nikah yang sah menurut agama, sekararg kau kulepaskan pula dengan sah menurut agama. Sesampai surat ini ke tangan adinda, jatuhlah thalakku kepadamu 1 kali. Meski pun setelah perkataan itu keluar dari mulutku kau bukan isteriku lagi, namun saya masih berani memohonkan kepada kau atas nama seorang yang telah hampir 2 tahun bergaul dengan dikau, yakni jika idahmu sampai, jarganlah kau kembali ke Padang, tetapi tinggallah dengan Zainuddin, kalau dia masih suka menerima kau jadi isterinya Hanya sekedar inilah suratku. Inilah hanya korban yang dapat kuberikan, untuk pembalas budi baik Zainuddin, yang telah membalas segala kejahatan saya dengan kebaikan sekian lama. Dan jika sekiranya kau menerima kabar apa-apa tentang diriku yang tak baik, tolong maafkan segala kesalahanku selama kau jadi isteriku, dan tolong pula kiranya hai perempuan yang baik budi, membacakan doa-doa permohonan selamat untuk diri makhluk yang malang ini. Bekas suamimu Aziz.

Di lembar yang kedua dari salah satu surat kabar harian terbaca satu perkabaran, dikirim oleh reporter dari Banyuwangi, demikian bunyinya: MEMBUNUH DIRI DI HOTEL Kemarin pagi, pelayan-pelayan di Hotel....... telah ribut lantaran kamar yang ditumpangi oleh seorarg tetamu yang telah hampir semfnggu menumpang di sana, sudah lewat pukul 9 belum juga terbuka. Kira-kira pukul 10 dengan bersama-sama mereka membuka pintu dengan kekerasan. Setelah terbuka, telah didapati di dalamnya suatu keadaan yang amat ngeri. Penumpang itu tidak bangun lagi buat selama-lamanya, rupanya dia telah membunuh dirinya dengan jalan memakan Adalin, obat tidur yang masyhur itu lebih dari 10 buah. Tube obat itu terdapat di atas meja telah kosong. Polisi lekas diberi tahu. Dalam pemeriksaan polisi ternyota bahwa orang yang membunuh diri itu datang dari Surabaya, berasal dari Sumatera. Sore itu juga setelah diselidiki oleh dokter, mayat itu telah dikuburkan di pusara orang Islam di kota ini.......

24. AIR MATA PENGHABISAN
ZAINUDDIN sedang termenung di dalam kamar tulisnya membalik balik surat yang diterimanya itu serta memandang surat kamar tersebut dengan hati sangat terharu. Tiba-tiba Hayati masuklah ke dalam memberanikan dirinya. "Duduklah!" kata Zainuddin. Hayati pun duduklah di sebuah kursi berhadap-hadapan dengan Zainuddin, muka perempuan muda itu muram saja kelihatan. "Adakah surat dari suamiku?" tanya Hayati. "Ada!" "Saya pun menerima pula, inilah dia," katanya lalu diberikannya surat itu ke tangan Zainuddin. Lama sekali kamar itu hening saja, tak sepatah perkataan pun yang keluar dari mulut kedua anak muda itu. Akhimya barulah Hayati berkata "Apa akal saya lagi, Engku Zainuddin?" "Ya, apakah akal kita lagi?" tanyanya pula sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Saya akan berkata terus terang kepadamu, saya akan panggilkan kembali namamu sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan, Zainuddin! Saya akan sudi menanggungkan segenap cobaan yang menimpa diriku itu, asal engkau sudi memaafkan segenap kesalahanku." Pucat wajah Zainuddin mendengarkan perkataan itu. Tiba-tiba diangkatnya kepalanya dan dilihatnya Hayati dengan mata yang gagah: "Maaf?" ....... "Kau meminta maaf Hayati? Setelah segenap daun kehidupanku kau regas, segenap pucuk pengharapanku kau patahkan, kau minta maaf?" Terkejut bagai ditembak halilintar Hayati mendengarkan perkataan itu. Tidak disangkasangkanya Zainuddin akan menjawab [195] demikian, pada hal dia telah menerima berita yang sahih dari Muluk. "Mengapa engkau telah menjawab sekejam itu kepadaku, Zainuddin? Lekas sekalikah pupus dari pada hatimu keadaan kita? Jangan kau jatuhkan kepadaku hukuman yang begitu ngeri! Kasihanilah seorang perempuan yang ditimpa celaka berganti-ganti in!" Zainuddin menekur, sambil mengeluh dia berkata: "Ya, demikianlah perempuan, dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya, walau pun kecil, dan dia lupa kekejamannya sendiri kepada orang lain walau pun bagaimana besarnya." "Lupakah kau," katanya pula - "siapakah diantara kata yang kejam? Bukankah kau telah berjanji, seketika saya diusir ninik mamakmu, sebab saya tak tentu asal, orang hina dina, tidak tulen Minangkabau. Ketika itu kau antarkan daku ke simpang jalan. Kau berjanji akan menunggu kedatanganku, meskipun akan berapa lamanya. Tatapi kemudian kau beroleh ganti yang lebih gagah, kaya raya, berbangsa beradat, berlembaga berketurunan. Kau kawin dengan dia, kau sendiri memberi keterangan bahwa perkawinan itu bukan paksaan orang lain, tetapi pilihan kau sendiri.

Hampir saya mati menanggung cinta, Hayati! Dua bulan lamanya saya terletak di atas tempat tidur. Kau jenguk saya dalam sakitku, memperlihatkan kepadaku bahwa tangan kau telah berinai, bahwa kau telah kepunyaan orang lain. Siapakah diantara kita yang kejam, hai perempuan muda? Saya kirimkan berpucuk-pucuk surat, meratap, menghinakan diri, memohon dikasihani, sehingga saya, yang bagaimana pun hina dipandang orang, wajib juga menjaga kehormatan diri. Tiba-tiba kau balas saja dengan suatu balasan yang tak tersudu di itik, tak termakan di ayam. Kau katakan bahwa kau miskin, saya pun miskin, hidup tidak akan beruntung kalau tidak dengan wang. Sebab itulah kau pilih hidup yang lebih senang, mentereng, cukup wang, berenang di dalam mas, bersayap wang kertas ....... Siapakah diantara kita yang kejam? Siapakah yang telah [196] menghalangi seorang anak muda yang bercita-cita tinggi menambah pengetahuan, tetapi kemudian terbuang jauh ke tanah Jawa ini, hilang kampung dan halamannya? Sehingga dia menjadi seorang anak "komidi" yang tertawa di muka umum, tetapi menangis di dibelakang layar? Tidak Hayati! Saya tidak kejam, saya hanya menuruti katamu. Bukankah engkau minta di dalam suratmu supaya cinta kita itu dihilangkan dan dilupakan saja, diganti dengan persahabatan yang kekal? Permintaan itulah yang saya pegang teguh sekarang. Engkau bukan kecintaanku, bukan tunanganku, bukan isteriku, tetapi janda dari orang lain. Sebab itu secara seorang sahabat, bahkan secara seorang saudara, saya akan kembali teguh memegang janjiku dalam persahabatan itu, sebagaimana teguhku dahulunya memegang cintaku. Itulah sebab dengan segenap ridha hati engkau kubawa tinggal di rumahku ini menunggu kedatangan suamimu. Kiranya sekarang bukan dirinya yang pulang kembali, tetapi surat cerai dan kabar yang mengerikan. Maka sebagai seorang sahabat pula, engkau akan kulepas pulang ke kampungmu, ke tanah asalmu, tanah Minangkabau yang kaya raya, yang beradat berlembaga, yang tak lapuk dihujan, tak lekang dipanas. Ongkos pulangmu biar saya mencarikan, demikian pun belanja berapa sedangnya. Dan kalau saya masih hidup, sebelum engkau beroleh suami pula: Insya Allah kehidupan selama di kampung akan saya bantu." "Zainuddin ....... Itukah keputusan yang engkau berikan kepadaku. Bukankah engkau telah termasyhur di mana-mana, seorang yang berhati mulia? Tidak! Saya tidak akan pulang, saya akan tinggal dengan engkau di sini. Biar saya kau hinakan, biar kau pandang sebagai babu yang hina. Saya tak perlu kau beri belanja berapa pun banyaknya, saya perlu dekat kau!" Ganjil sekali pengaruh air mata dan perkataan itu kepada hati Zainuddin. Perang perasaan dendam dan perasaan cinta dalam hatinya. Apakah yang akan ditunggunya lagi? Bukankah Hayati itu nyanyian hidupnya selama ini? Dia teringat kembali semuanya itu, dia perlu ada berHayati di sampingnya. Dia tahu bahwa dia tidak [197] merasai bahagia hidup kalau tidak dengan Hayati. Tetapi terbayang pula kembali bagaimana mungkirnya dari janjinya. Bila terbayang yang demikian itu, hatinya patah kembali. Dalam kepatahan itu, kedengaran pula ratap Hayati beriba-iba, bersedih-sedih, meminta dikasihani, hatinya pun jatuh pula! Tetapi sebagai terdengar di telinganya beberapa perkataan yang sudah pernah diucapkan ninikmamak Hayati kepadanya. "Kalau dia kawin dengan Hayati, kemana anak mereka akan berbako?" Dilihatnya Hayati duduk menentang bibirnya, laksana seorang pesakitan menentang bibir hakim yang hendak menjatuhkan hukuman, entah bebas entah hukum bunuh. Tampaklah gelung rambut perempuan itu, mukanya masih cantik jelita, air matanya mengalir menambah

kecantikan itu. Kesanalah muara ingatannya selama ini. Menjalar penglihatan matanya kejarinya yang halus bagai duri landak itu,tiba-tiba sampai ke ujung jarinya terbayang kembali olehnya inainya. Disitugelap pemandangannya d an timbul ketetapan hatinya. Zainuddin yang selama ini biasa sabar menerima cobaan, walau pun bagaimana besarnya, sekali ini tak dapat lagi, ibarat bergantang sudah amat penuh, ia berkata dalam hatinya: "Tidak! Pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa!" Sebanyak itu, yang lebih mendenging di telinganva ialah perkataan mamak Hayati, engku Dt ..... tempo hari "Negeri kami! beradat." Bila teringat akan itu, terus dia berkata: "Tidak Hayati! Kau mesti pulang kembali ke Padang! Biarkanlah saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak ditumpang hidup saya, orang tak tentu asal ..... Negeri Minangkabau beradat! ..... Besok hari Senin, ada kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung Periuk, akan terus ke Padang! Kau boleh menumpang dengan kapal itu, ke kampungmu." [198] Setelah itu, dikeluarkannya dompetnya, diambilnya wang kertas dari Rp. 100,- tiga helai banyaknya ..... "Buat belanja pulang!" katanya. Dia pun keluar dari kamar itu, meninggalkan Hayati duduk seorang diri.

25. PULANG
PAGI-PAGI hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936 kapal Van der Wijck yang menjalani lijn K.P.M. dari Mengkasar telah berlabuh di pelabuhan Tanjung Perak. Kapal itu akan menuju Semarang, Tanjung Periuk, dan terus ke Palembang. Penumpangpenumpang yang akan meneruskan pelayaran ke Padang harus pindah kapal di pelabuhan Tanjung Periuk. Dengan kapal itulah Hayati akan menumpang. Demikian putusan yang telah diambil oleh Zainuddin. Dari malamnya Hayati telah bersiap, berdua dengan Muluk membeli barang-barang makanan untuk persiapan di kapal. Meski pun kereta api ada dari Surabaya ke Jakarta, ada yang berangkat siang hari, ada pula yang berangkat malam, tetapi menurut pertimbangan Zainuddin lebih aman jika Hayati berangkat dengan kapal dari Surabaya terus ke Padang, karena tidak ada keluarga yang akan ditempati di Jakarta. Muluk sendiri heran mengapa Zainuddin mengambil keputusan demikian rupa. Zainuddin sendiri pun hanya menggelengkan kepala saja sambil menarik nafas panjang ketika ditanya. Dan hari Senin itu juga pagi-pagi, ditemuinya Hayati; dengan perkataan yang kaku dan dingin dia berkata: "Hayati! Selamat pulang. Barangkali saya sendiri tak dapat mengantarmu ke Tanjung Perak, karena ada urusan yang akan saya selesaikan di Malang, pagi ini juga saya berangkat. Nanti kira-kira pukul 3 bolehlah engkau berangkat ke Tanjung Perak ditemani oleh abang Muluk. Dan bila engkau sampai ke kampung, jangan lupa menyampaikan salamku kepada engku Dt....dan kepada keluarga di sana semuanya." Belum sempat Hayati menjawab perkataan itu, dengan langkah yang tetap dia keluar, terus ke jalan ramai menumpang sebuah auto yang berangkat ke Malang ........... Hayati tinggal tegak bagai terpaku ke tanah, Muluk tegak melihat kejadian yang sedih itu sambil menggelengkan kepala. Hayati kembali masuk ke dalam kamarnya dengan langkah lambat sekali, setelah lebih dahulu melihat tenang-tenang dan sayu kepada gambarnya yang tergantung di dinding, yang berselimutkan kain sutera hijau itu. Sesampai di dalam kamar, hampir 2 jam lamanya dia duduk membuat sepucuk surat yang panjang sekali. Setelah kira kira pukul 3 petang, bersiaplah mereka hendak berangkat. Mata Hayati masih digenangi air mata. "Tanda peringatan apakah yang akan dapat kubawa dari rumah ini, bang Muluk?" tanya Hayati kepada Muluk dengan rawannya. Dengan tak menjawab, Muluk melangkah ke dekat dinding, diambilnya sebuah gambar Zainuddin yang tergantung di sana. "Bawa sajalah ini, sekurang-kurangnya akan jadi peringatan!" katanya dengan perasaan sangat terharu. Diambilnya gambar itu, tidak dimasukkannya ke dalam petinya, tetapi diletakkannya saja ke malam bungkusannya. "Mengapa tidak disimpan ke malam peti?" tanya Muluk. "Supaya mudah mengambilnya kalau akan dilihat nanti," kata Hayati pula. Dengan menumpang sebuah taksi, mereka berangkat ke Tanjung Perak .........

Sesampai di kapal, Muluklah yang mencari tempat buat perempuan itu di atas dek. Menurut kebiasaan, kalau muatan tak banyak, pukul 6 sore kapal itu telah berlayar. Tetapi sekali ini lantaran memunggah muatan terlalu banyak, berangkat dilambatkan sampai pukul 9 malam. Dan kelak pagi-pagi pukul 7 - menurut biasaiya - sudah ada di pelabuhan Semarang. Syukurlah ada dua orang iaki isteri dari Balikpapan yang pulang perlop ke Padang. Kepada nerekalah Hayati ditumpangkan oleh Muluk. Seketika hari telah pukul 5 sore, dipanggilnya pula dua orang kuli Mengkasar, yang [201] biasa disebut "bacok", disuruhnya mengambilkan air atau makanan sampai ke Tanjung Periuk. Seketika dia akan turun, dengan rupa yang sangat terharu Muluk mendekati Hayati, yang sedang tegak melihat pelabuhan Surabaya yang ramai itu di tepi dek. Air matanya kelihataniatuh berlinang. "Hayati!" kata Muluk. "Sebenarnya tak Sampai hatiku hendak melepas engkau berlayar seorang diri. Saya pun telah ingin pula hendak pulang ke kampung. Tetapi apakah akan dayaku, keadaan belum mengizinkan. Sebab itu, berilah saya maaf, dan jangan kau terlalu berkecil hati." Lama sekali Hayati baru dapat menjawab perkataan Muluk, lantaran air matanya terus cucur bagai hujan lebat. Dengan tangis terisak-isak baru dapat dia berkata: "Sampai hati betul Zainuddin menyuruhku pulang,bang Muluk........." "Kuatkan hatimu, hai perempuan muda! Jangan Tuhan kau lupakan, dia senantiasa sayang akan hambaNya!" "Insya Allah, bang Muluk!" "Sekarang saya turun, dan ..... selamat berlayar!" "Se ....... lamat ....... tinggal!" Seketika Muluk akan membelakanginya dan akan turun lagi, dipanggilnya kembali, "Bang Muluk! Tolong sampaikan suratku ini kepada Zainuddin, dan tolong katakan pula kepadanya, sampai kepada saat akan berpisah itu, Hayati masih ingat akan dia!" Dengan menarik nafas panjang, surat itu disambut oleh Muluk, dan dia pun turunlah ke bawah dengan langkah yang bagaikan jatuh. Sampai sehilang-hilangnya masih diturutkan oleh Hayati dengan matanya yang telah merah lantaran menangis tak berhentihentinya itu. Pukul 9 malam kapal itu pun berlayarlah menuju Semarang. Penumpang-penumpang dalam kapal tersebut terdiri dari seorang gezagvoerder (kapitan), 11 orang opsir, seorang markonis, seorang hofmeester, 5 klerk, 80 orang pegawai-pegawai Indonesia, kuli-kuli dan kelasi. Penumpang bangsa Eropah ada 22 orang, 5 anak-anak, [102] dan penumpang-penumpang dek, termasuk Hayati lebih sedikit 100 orang. Setelah menyiapkan tempatnya ditolong oleh beberapa bacok Mengkasar yang baik hati itu, Hayati pun duduklah ke tempatnya, bersandar ke petinya dengan rupa sedih. Dibukanya bungkusannya, dikeluarkannya gambar Zainuddin dari bungkusan itu, lama sekali dia melihat dan mengamat-amatinya. Setelah satu jam kapal berlayar, dia kembali tegak ke tepi dek, melihat lampu-lampu yang berkelap kelip di pelabuhan dan bayangannya yang bagai disemaikan di dalam lautan yang luas itu. Beberapa jam pula setelah itu, orang-orang dalam kapal telah hening tidur, keheningan itu hanya dipecahkan oleh suara mesinmesin kapal yang bekerja terus-terusan.

Orang telah tidur, dengan tak mempunyai syak wasangka apa-apa atas kejadian yang telah ditentukan Allah di dalam azal ......

26. SURAT HAYATI YANG PENGHABISAN
BESOKNYA hari Selasa 20 Oktober, barulah Zainuddin kembali dari Malang. Dia masuk ke dalam rumah dengan wajah muram, terus ke kamar tulisnya. Didapatinya Muluk sedang membersihkan buku-buku dan menyusun kertas-kertas yang terserak di atas meja. "Bang Muluk," katanya dengan tiba-tiba, "kemarilah duduk, ada hal yang akan saya terangkan!" Muluk segera meletakkan sapu bulu ayam yang ada di tangannya, duduk ke sebelah kursi yang ada di hadapan Zainuddin. Dari dalam sakunya dikeluarkannya surat yang ditinggalkan Hayati itu. "Bang Muluk! Terus terang kukatakan, bahwa hatiku berperang sangat hebatnya, sejak akan melepas Hayati pergi, sampai sekarang ini. Saya menyesal melepasnya pergi, tahu benar saya bahwa hidup saya tidak akan selamat kalau tidak disamping Hayati. Semalam, kira-kira pukul 1, dalam Hotel yang saya tumpangi di Malang, saya terbangun dari tidur, terdengar oleh telingaku suara Hayati memanggil-manggil namaku. Sejak mendengar itu, mataku tak mau tidur lagi, saya gelisah; tadi pagi dengan perasaan terharu saya bangun dan saya kembali ke mari dengan segera. Bang Muluk! ....... cinta saya kepada Hayati masih belum usak, walau sebesar rambut sekalipun!" Muka Muluk merah mendengar perkataan Zainuddin itu. Dengan gugup dia berkata: "Saya tak mengerti dengan perangai guru! Selama ini guru meratap, menangis, bersedih, bersedu mengenang [204] Hayati. Sekarang setelah diluangkan Tuhan kesempatan pertemuan yang sah diantara guru dengan dia, guru hukum dia dengan satu hukuman, yang usahkan terbit dari seorang laki-laki yang bercinta dan berbudi, dari hakim yang zalim sekalipun, tidak akan ada hukuman sebagai demikian itu. Sekarang setelah dia pergi, baru guru mengatakan bahwa guru tetap cinta akan dia! Guru jangan marah, jika saya katakan bahwa kadang-kadang perangai guru masih serupa dengan perangai anak-anak". "Ya bang Muluk! Saya sudah salah, hati dendam saya dahulukan dari ketenteraman cinta. Terus terang saya katakan, kalau tidak ada Hayati lagi di sini, saya akan sengsara, terus!" "Diapun demikian! Berat betul langkahnya hendak mening galkan rumah ini. Sampai ketika akan berangkat pesannya masih disuruh sampaikannya kepada guru, bahwasanya nama gurulah yang akan menjadi sebutannya di manapun dia. Inilah surat yang disuruhkannya berikan!" Zainuddin membuka surat itu dengan penuh perhatian dan dibacanya:

Pergantungan jiwaku, Zainuddin ! Kemana lagi langit tempatku bernaung, setelah engkau hilang pula dari padaku, Zainuddin. Apakah artinya hidup ini bagiku kalau engkau pun telah memupus namaku dari hatimu! Sungguh besar sekali harapanku hendak hidup di dekatmu, akan berkhidmat kepadamu dengan segenap daya dan upaya, supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dapat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap kepada dirimu saya tebusi. Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita, sebab

engkau sendiri yang menutupkan pintu di hadapanku: saya kau larang masuk sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam kesakitan yang telah sekim lama bersarang di dalam hatimu, yang selalu menghambat-hambat perasaan cinta yang suci. Lantaran membalaskan dendam itu, engkau ambil suatu keputusan yang maha kejam, engkau renggutkan tali pengharapanku, pada hal pada tali itu pula pengharapanmu sendiri bergantung. Sebab itu percayalah Zainuddin, bahwa hukuman ini bukan mengenai diriku seorang, bukan ia menimpakan celaka kepadaku saja; tetapi kepada kita berdua. Karena saya percaya, bahwu engkau masih tetap cinta kepadaku. Zainuddin! Kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung, percayalah ! Di dalam jiwaku ada suatu kekayaan besar yang engkau sangat perlu kepadanya, dan kekayaan itu belum pernah kuberikan kepada orang lain, wulaupun kepada Aziz, ialah kekayaan cinta. Saya tahu bahwa engkau keku nangan itu. Saya merasa bahwa saya sanggup memberimu bahagia pada tiap-tiap saat hidupmu, yang tiada seorang perempuan agaknya yang sanggup menandingi saya di dalam alam ini dalam kesetiaan memegangnya, sebab sudah lebih dahulu digiling oleh sengsara dan kedukaan, dipupuk dengan air mata dan penderitaan. Dan kalau sedianya engkau kabulkan, kalau sedianya engkau terima kedatanganku, saya pun tidak meminta upah dan balasan dari engkau. Upah yang saya harapkan hanyalah diri Dia, Allah Yang Maha Esa, supaya engkau diberinya bahagia, dihentikannya aliran air matamu yang telah mengalir sekian lama. Upahku yang kedua, yang saya harapkan dari pada-Nya hanyalah supaya saya dapat hidup di dekatmu, laksana hidupnya sebatang rumput sarut di bawah lindungan pohon beringin dengan aman dan sentosa, dipuput oleh angin pagi yang lemah gemulai .............. Zainuddin! ....... Mengapa engkau tak suka memaafkan kesalahanku? Demi Allah! Sudah insaf saya, bahwa tidak ada seorang pun yang pernah saya cintai di dalam alam ini, melainkan engkau seorang. Tidak pernah beroleh tenteram diriku setelah aku coba hidup dengan orang lain. Orang yang telah mengecewakan dirimu itu yang sekarang telah insaf dan telah menghukum dirinya sendiri, meskipun dia sanggup memperoleh tubuhku, dia selamanya belum sanggup memperoleh hatiku. Karena hatiku telah untukmu sejak saya kenal akan dikau. Kalau sedianya engkau maafkan kesalahanku, engkau lupakan kebebalan dan kecongkakan ninik mamakku, kalau....... kalau sekiranya maafmu memberi izin mimpimu sendiri terkabul; kalau sedianya semuanya itu kejadian, engkau akan beroleh seorang perempuan yang masih suci batinnya, suci jiwonya, belum penah disentuh orang lain, hatinya belum pernah dirampas orang, yang tidak ada bedanya dengan 'Permatamu yang hilang', dan dengan gadis Batipuh yang engkau cintai 2 dan 3 tahun yang lalu, yang gambarnya tergantung di kamar tulismu! Piala kecintaan terletak di hadapan kita, penuh dengan madu hayat [206] nikmat Ilahi: Air madu itu telah tersedia di dalamnya untuk kita minum berdua biar isinya menjadi kering, dan setelah keeing kita telah boleh pulang ke alam baqa dengan wajah yang penuh senyuman, kita mati dengan bahagia sebagaimana hidup telah bahagia. Tiba-tiba dengan tak merasa kasihan, engkau sepakkan piala itu dengan kakimu, sehingga terjatuh, isinya tertumpah habis, pialanya pecah. Lantaran itu, baik saya atau engkau sendiri, meskipun akan masih tetap hidup, akan hidup bagai bayang-bayang layaknya. Dan kalau kita mati, kita akan menutup mata dengan penuh was-was dan penyesalan. Apa sebab engkau begitu kejam, tak mau memberi maaf kesalahanku? Padahal telah lebih dahulu bertimpa-timpa azab sengsara ke atas diriku lantaran mungkirku! Kelihatan oleh matamu sendiri bagaimana saya dan suamiku menjadi pengemis di waktu kayamu, menumpang di

rumahmu untuk memperlihatkan bagaimana sengsaraku lantaran tak jadi bersuami engkau. Hilang .... hilang semuanya. Hilang suami yang kusangka dapar memberiku bahagia. Hilang kesenangan dan mimpi yang kuharap-harapkan. Setelah semuanya itu kuderita harus kudengar pula dari mulutmu sendiri kata penyesalan, membongkar kesalahan yang lama, yang memang sudah nyata kesalahan, yang oleh Tuhan sendiri pun kalau kita bertobat kepadaNya, walaupun bagaimana besar dosa, akan diampuniNya. Adakah engkau tahu hai Zainuddin, siapakah perempuan yang duduk di kamar tulismu kemaren itu? Yang engkau beri kata pedih, kata penyesalan yang engkau bongkar kesalahannya dan kedosaanrtya, yang engkau remukkan jiwanya dengan tiada peduli? Perempuan itu tidak lain dari satu bayang-bayang yang telah hilang segenap semangatnya, yang telah habis seluruh kekuatannya, tiada berdaya upaya lagi, habis kekuatan pancaindera dan perasaannya; matanya melihat tetapi tak bercahaya, telinganya mendengar, tetapi tiada ia mafhum lagi apa yang didengarnya Yang tinggal hanya tubuhnya, batinnya sudah tak berkekuatan lagi. Itulah dia perempuan yang engkau sakiti itu. Itulah perempuan yang tidak engkau timbang sengsaranya dan ratapnya. Engkau ulurkan kepadanya tanganmu yang kuat dan kuasa, engkau tikam dia dengan keris pembalasan, mengenai sudut jantungnya, terpancur darah dan akan tetap mengalir sampai sekering-keringnya, mengalir bersama dengan jiwanya. Itulah perempuan yang engkau sakiti itu! Tetapi sungguhpun demikian pembalasan yang engkau timpakan ke atas pundakku, kesalahanmu itu telah kuampuni, telah kuhabisi, telah kumaafkan. Sebabnya ialah lantaran saya cinta akan engkau. Dan karena saya tahu bahwasanya yang demikian engkau lakukan adalah lantaran cinta jua. Cuma satu pengharapan yang penghabisan, heningkan hatimu kembali, sama-sama kita habisi kekecewaan yang sudah-sudah, ampuni saya, maafkan saya, letakkan saya kembali dalam hatimu menurut letak yang bermula, cintai saya kembali sebagaimana cintaku kepadamu dan jangan saya dilupakan. Engkau suruh saya pulang ke kampungku dan engkau berjanji akan membantuku sekuat tenagamu sampai saya bersuami pula. Zainuddin! Apakah artinya harta dan perbantuan itu bagiku, kalau bukan dirimu yang ada dekatku? Saya turutkan permintaan itu, saya akan pulang. Tetapi percayalah Zainuddin bahwa saya pulang ke kampungku, hanya dua yang kunantikan, pertama kedatanganmu kembali, menurut janjiku yang bermula, yaitu akan menunggumu, biar berbilang tahun, hari berganti musim. Dan yang kedua ialah menunggu maut, biar saya mati dengan meratapi keberuntungan yang hanya bergantung di awang-awang itu. Selamat tinggal Zainuddin! Selamat tinggal, wahai orang yang kucintai di dunia ini! Seketika saya meninggalkan rumahmu, hanya namamu yang tetap jadi sebutanku. Dan agaknya kelak, engkaulah yang akan terpatri dalam doaku, bila saya menghadap Tuhan di akhirat .......... Mana tahu, umur di dalam tangan Allah! Jika saya mati dahulu, dan masih sempat engkau ziarah ke tanah pusaraku, bacakan doa di atasnya, tanamkan di sana daun puding panca warna dari bekas tanganmu sendiri, untuk jadi tanda bahwa di sanalah terkuburnya seorang perempuan muda, yang hidupnya penuh dengan penderitaan dan kedukaan, dan matinya diremuk rindu dan dendam.

Mengapa suratku ini banyak membicarakan mati? Entahlah, Zainuddin, saya sendiri pun heran, seakan-akan kematian itu telah dekat datangnya. Kalau kumati dahulu dari padamu, jangan kau berduka hati, melainkan sempurnakanlah permohonan do'a kepada Tuhan, moga-moga jika banyak benar halangan pertemuan kita di dunia, terlapanglah pertemuan kita di akhirat, pertemuan yang tidak akan diakhiri lagi oleh maut dan tidak dipisahkan oleh rasam basi manusia .......... Selamat tinggal Zainuddin, dan biarlah penutup surat ini kuambil perkataan yang paling enak kuucapkan di mulutku dan agaknya entah dengan itu kututup hayatku di samping menyebut kalimat syahadat, yaitu: Aku [208] cinta akan engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di dalam mengenangkanengkau"............ Sambutlah salam dari Hayati.
Setelah selesai surat itu dibukanya, dilihatnya Muluk kembali, kiranya kelihatan oleh Muluk pipinya telah penuh dengan airmata. "Bang Muluk !" katanya beberapa saat kemudian, setelah menyapu air matanya. "Saya akan berangkat ke Jakarta dengan kereta api malam nanti, pukul 9 besok pagi sampai di Tanjung Periuk. Biasanya kapal dari Surabaya merapat di pelabuhan Tanjung Periuk pukul 7 pagi. Hayati akan saya jemput kembali, akan saya bawa pulang ke mari. "Inilah keputusan yang sebaik-baiknya guru," kata Muluk. Dia berdiri dari tempat duduknya, di dekatinya Zainuddin dan dibarut-barutnya punggung anak muda itu. Lalu dia berkata pula, "Mudah-mudahan berhentilah segala kesedihan tuan-tuan keduanya sehingga ini, dan biarlah rahmat Allah meliputi tuan-tuan berdua ....... Sudah putus dalam pikiran Zainuddin, bahwa nanti dengan kereta api malam dia akan berangkat ke Jakarta, menyongsong Hayati di Tanjung Periuk, akan dibawanya kembali ke Surabaya. Alam akan jernih, kabut akan sirna, hujan akan teduh, dan kehidupan akan dimulai di dalam keberuntungan. Tetapi cita-cita manusia tidak dapat melawan kehendak takdir! Nanti malam dia akan berangkat, padahal pukul 3 sorenya, surat-surat kabar harian yang terbit dalam kota Surabaya telah sampai ke rumahnya. Sebagai seorang yang memang telah terikat pikirannya kepada surat kabar, baru saja koran-koran itu terletak di atas meja, segera dibukanya. Di pagina pertama, dengan huruf yang besar-besar telah bertemu perkabaran, "Kapal Van der Wijck tenggelam." Dia terhenyak di tempat duduknya, badannya gemetar, dan perkabaran itu dibacanya terus: KAPAL VAN DER WIJCK TENGGELAM

Dari detik ke detik kapal itu semakin hilang ke dalam dasar lautan .....

"Surabaya, 20 Oktober (Aneta). Pada pukul 1 tadi malam. Marine komandan di sini menerima Radio dari kapal Van derWijck, meminta pertolongan (S.O.S.). sebab telah miring. Seterimanya kabar ini Marine dengan segera telah menjalankan pertolongan yang perlu. Kapal tersebut telah berangkat dari Surabaya ke Semarang pukul 9 malam. Dia telah tenggelam 15 mil jauhnya dari sebelah utara Tanjung Pakis. Pesawat Dornier yang dikirim oleh Marine dari Surabaya telah melihat banyak sekali orang yang tenggelam. Bersama-sama dengan Dornier, kapal Reael juga turut membantu. Pesawat-pesawat terbang yang lain juga telah dikirim ke tempat kecelakaan itu. Belum diketahui berapa banyaknya orang yang karam. Jakarta, 20 Oktober (Aneta). Direksi K.P.M. telah menyiarkan suatu maklumat demikian isinya: Dari kapal Van der Wijck diterima kabar Radio "S.O.S. zwarehelling", kapal itu berangkat dari Surabaya pukul 8 malam. Pada pukul 11.20 telah melampaui satu kapal penerangan. Dengan segala daya upaya telah diikhtiarkan menyambungkan Radio dengan kapal itu. Tetapi sehabis kabar meminta tolong yang pertama, tidak ada lagi kabar-kabar datang dari Van der Wijck. Pagi tadi 2 kapal udara telah berangkat dari Surabaya untuk memeriksa dan menyelidiki di antara 20 sampai 35 mil sebelah Barat dari lichtschip yang dilampauinya tadi, Kapal-kapal penolong yang lain, yaitu kapal Reael, kapal Penarik De Yong, dan Mijnenlegger Reigel, juga telah berangkat ke tempat kecelakaan itu.[210] Pukul 7.45 pagi ini, kapal pesawat Dornier memberikan laporan bahwa Van der Wijch telah tenggelam di tempat yang jauhnya kira-kira 22 mil di sebelah Barat Daya dari lichtschip Surabaya. Kapal terbang itu melihat banyak sekali orang yang tenggelam. Dari Surabaya telah berangkat lain-lain kapal buat pembantu, dokter-dokter dan juru-rawat. Muatan kapal yang tenggelam itu ada 250 orang. 43 orang yang bercelaka telah dapat dipungut oleh pesawat terbang Dornier dan dibawa terus ke Surabaya. 31 orang penumpang Indonesia telah dapat ditolong oleh penangkappenangkap ikan, demikian juga 8 orang Belanda. Adapun, yang lain-lain berusaha menolong jiwa sendiri-sendiri dengan bermacam-macam jalan. Di Morokrambangan telah dibawa mendarat 43 orang, di antaranya 2 orang Belanda. Stuurman 1 telah mendarat di dekat Tuban bersama dengan 20 orang yang lain. Sesampai di sana dia telah menelepon ke Surabaya, menerangkan sebab-sebab tenggelamnya kapal tersebut tidak dapat diketahui, karena kejadian yang ngeri itu berlaku hanya dalam masa 5 menit saja. Di antara penumpang-penumpang yang belum kedapatan adalah 8 orang bangsa Eropah, 3 anak-anak, seorang Markonis, 2 klerk, dan 59 orang Indonesia, dan masih diusahakan mencarinya." Baru sekian berita yang dimuat dalam surat-surat kabar yang dapat dibaca oleh Zainuddin. Seluruh badannya gemetar. Dengan suara sangat gugup dipanggilnya Muluk, yang rupanya sedang membaca perkabaran itu pula di koran yang lain. "Hayati beroleh celaka, bang Muluk!" "Ya, 59 penumpang dari kapal tersebut belum bertemu!" "Kita mesti berangkatsekarang ke Tuban!" Belum sempat Muluk menjawab, Zainuddin telah berlari ke jalan raya, diiringkan dengan tergesa-gesa oleh Muluk, mencari sebuah taksi yang dapat membawa mereka ke tempat kecelakaan itu..............

Sesampai di atas sebuah taksi yang disewa agak mahal, Muluk berkata : "Lebih baik kita pergi dahulu ke kantor Agent K.P.M. mencari keterangan lebih lanjut." "Baiklah!" Taksi itu pun ditujukan ke kantor K.P.M., didapati manusia telah sangat ramai di sana terutama bangsa Belanda, yang semuanya boleh dikatakan bermuka cemas menunggu kabar-kabar daii kapal yang tenggelam itu. Beberapa saat lamanya di sana, dari agen mendapat keterangan sepanjang tersebut di dalarn kawat yang telah tersiar itu, hanya tambahnya, yang baru saja diterima dengan telepon dari Lamongan, menerangkan bahwa orang yang tenggelam, yang jiwanya masih dapat ditolong, telah banyak ditolong oleh penangkap-penangkap ikan di pantai Brondortf. Yang lukaluka telah dibawa dengan pertolongan Asisten Wedana dan Polisi di Brondong Lamongan, untuk diurus di rumah sakit di sana, sampai sembuh. Sebagai kilat layaknya, taksi itu telah dihadapkan menuju Lamongan, satu Kabupaten di Jawa Timur. Lebih kurang 2 jam telah sampai ketempat itu. Didapatinya di sana sini orang ber kerumun-kerumun, buah pembicaraan orang rupanya tidak lain melainkan kapal yang karam itu saja. Mereka teruskan perjalanan ke rumah sakit, di sinipun kelihatan orang berkerumunkerumun, lebih ramai dari yang tadi. Setelah mereka memberi keterangan bahwasanya mereka datang dari Surabaya hendak mencari keluarganya yang turut berlayar itu, mereka dibolehkan masuk. Di kamar sakit, kelihatan prang-prang yang luka-luka ada yang enteng dan ada yang parah. Mereka teruskan ke tempat kaum perempuan. Kelihatan perempuan-perempuan yang sedang berbaring, anak-anak yang merintih diselenggarakan oleh jururawat dengan sibuknya. Oleh seorang jururawat ditunjukkanlah sebuah ranjang, yang di sana sedang terbaring seorang perempuan muda yang mukanya telah pucat .... Hayati ! - Kepalanya penuh [212] dengan perban dan kakinya pun demikian pula ........ masih bernafas ? Hayati telah dapat ditolong oleh beberapa penangkap ikan. Di dalam berita surat-surat kabar tersebut bahwa orang-orang yang tertolong oleh penangkap ikan Kaslibin dari Blimbing 53 orang, oleh Sratip 21 orang, oleh Trunorejo 22 orang, Marzuki 17 orang, Matwi 32 orang. Mana yang tidak luka dibolehkan terns ke Surabaya, dan mana yang luka dengan perintah. Regen dan Asisten Residen, disuruh urus lebih dahulu di rumah sakit di Lamongan, menunggu sembuhnya, atau menunggu keluarganya menjemput. Dengan tafakur, Zainuddin berdiri di dekat tempat tidur itu bersama Muluk, menunggu si sakit bangun dari pingsannya, yang sejak tengah hari tadi, belum juga terbangun. Sedang mereka termenung melihatkan itu, mendekatlah seorang jururawat pererrmpuan kepada kedua orang itu, sambil berkata : "Agaknya tuan yang bernama Zainuddin, bukan?" "Ya di mana nona tahu ?" tanya Zainuddin pula. "Ketika perempuan ini dibawa ke mari, kepalanya yang berdarah diikatnya dengan selendangnya sendiri, ketika menukar selendang itu dengan perban, telah dapat dikeluarkan dari dalam gulungannya sebuah gambar, yang di bawahnya ada tertulis tanda tangan tuan, Zainuddin." Zainuddin menekurkan kepalanya, melihat roman si sakit dengan sepenuh-penuh cinta, di saat demikianlah terang olehnya bagaimana sebenarnya perasaan Hayati terhadap kepada dirinya. "Sabarlah, biar dia bangun sendiri", kata jururawat itu pula. "Adakah harapan akan hidup?" tanya Muluk.

"Siapakah yang dapat menentukan hidup mati orang?" jawab jururawat itu pula. "Bukankah kita hanya berusaha?" Setelah hampir setengah jam mereka duduk di sekitar [213] pembaringan itu, dilamun oleh pekik dan rintih orang-orang sakit yang lain, maka Hayati memutar kepalanya dari sedikit kesedikit, dan tidak lama kemudian, matanya dibukakannya. Dilihatnya wajah Zainuddin tenang-tenang, maka timbullah dari matanya, sekejap saja, cahaya pengharapan, "Kau.... Zain ..." "Ya, Hayati ! Allah rupanya tak izinkan kita berpisah lagi, bila telah beroleh keizinan dari dokter, kita segera berangkat ke Surabaya." Dilihatnya pula Muluk tenang-tenang: „........ Bang !........... su......... rat............... ku!" "Sudah Hayati, sudah kuberikan!" kata Muluk dan lehernya tersenak hendak menangis. Hayati pingsan kembali. Jururawat masuk kembali, bersama dokter setelah memeriksa orang lain, sampailah pemeriksaan kepada Hayati. Dilihatnya muka perempuan muda itu, diperiksai tangannya, didengarkannya turun naik nafasnya. Setelah beberapa lama selesai memeriksai itu, dia masih berdiri dengan tenang. "Bagaimana halnya tuan dokter?" tanya Zainuddin, dengan wajah yang sangat cemas. "Dia terlalu payah, darah terlalu banyak keluar, sekarang dia demam." "Kalau perlu ambillah darahku sendiri tuan dokter, untuk menolong jiwanya." "Sayang di sini perkakas tidak cukup. Baru saja dipesankan ke Surabaya, beberapa dokter akan datang membantu ke mari." Dokter pun pergi pula kepada yang lain ............... Hari telah mulai malam, si sakit masih tidur dengan tenangnya, Zainuddin dan Muluk duduk menjaga dengan tak mengingat kepayahan. Kira-kira pukul 10 malam dibukanya pula matanya. Bagi orang yang tahu dan biasa melihat tanya-tanda orang yang akan mati, telah kelihatan tanda-tanda itu, cahaya matanya sudah tak ada lagi, bibirnya sudah surut ke atas. Diisyaratkannya [214] dengan kepalanya menyuruh Zainuddin mendekatinya. Setelah dekat, dibisikkannya: "Zainuddin. Saya dengar perkataan ...... tuan dokter ...... saya tahu bahwa waktu ...... saya ...... telah dekat." "Tidak Hayati, kau akan sembuh, kita akan kembaH ke Surabaya menyampaikan cita-cita kita, akan hidup beruntung, berdua ! Tidak ........ Hayati ! ........ tidak !" "Sabar ........ Zain, cahaya kematian telah terbayang di mukaku ! Cuma, jika kumati. ........ hatiku telah senang, sebab, telah kuketahui bahwa engkau masih cinta kepadaku!" "Hidupku hanya buat kau seorang Hayati "Akupun! ............" Beberapa menit kemudian dibukanya matanya kembali, diisyaratkannya pula Zainuddin supaya mendekatinya. Setelah dekat, dibisikkannya: "Bacakanlah ..... dua kalimat suci ........ di telingaku." Tiga kali Zainuddin membacakan kalimat Syahadat itu diturutkannya yang mula-mula itu dengan lidahnya, yang kedua dengan isyarat matanya, dan yang ketiga .......... dia sudah tak ada lagi! Muluk tegak dengan tenang melihat perempuan muda itu melepaskan hidupnya yang penghabisan. Zainuddin bingung dan melihat ke wajah Muluk seakan-akan menanyakan,

"benarkah." Orang-orang yang lain, masih berdiri di dekat pembaringan yang lain, tegak dengan hormat di sekeliling mayat itu, seakan-akan memberikan selamat berpisah. Kamar itu menjadi hening diam. Tidak berapa saat kemudian, orang-orang itu pun pergilah seorang demi seorang dengan ta'zim dan tafakur, tinggal Zainuddin bersama Muluk, Zainuddin tidak dapat menahan hatinya lagi, didekatinya kepala mayat itu, dibarutnya rambutnya yang bergelung, air matanya membasahi pipi si mayat; dia meniarap laksana seorang budak mencium tangan penghulunya beberapa saat lamanya, tidak dia bergerak dan tidak menlengong kiri kanan, kemudian dibarutnya kening mayat itu sekali lagi, dan diciumnya bibir yang telah pucat itu, cium yang tidak ada nasibnya buat mendapat semasa hidup, baru dapat diambilnya setelah dia mati. Setelah itu ....... dia jatuh pingsan, tidak sadarkan dirinya .......

27. SEPENINGGAL HAYATI
JENAZAH Hayati dan Zainuddin yang sakit, telah dibawa oleh Muluk ke Surabaya. Di sanalah Hayati berkubur. Ramai orang mengantarkan jenazahnya, terutama orang-orang yang berasal dari Sumatera. Setelah mayat terkubur, hiduplah yang tinggal dalam kenang-kenangan. Gambar besarnya yang tergantung di kepala almari buku masih tetap melihat kepada mereka. Selendang pembalut kepalanya yang berbekas darah, dan gambar Zainuddin yang telah lusuh kena air laut, dan surat penghabisan Hayati, yang terdiri dari tiga kayu kertas, semuanya tersusun di atas meja tulis Zainuddin sebaik-baiknya. Senantiasa dia duduk dalam kamar tulis itu mengamat-amati, merenung segala pusaka yang penuh kenangan itu. Kadang-kadang dia mengeluh menyesali dirinya, sehingga kian hari kian: muram. Setelah cukup tiga hari jenazah Hayati dikebumikan diajaklah Muluk oleh Zainuddin pergi ke pusara itu memarit dan membina kubur, dan menanam puding pancawarna di atasnya, menurut wasiat Hayati. Nisannya diperbuat daripada batu marmar yang ditulis begini bunyinya: HAYATI Meninggal lantaran kecelakaan kapal Van der Wijck pada 20 Oktober 1936. [217] Seketika akan pulang, dihadapinya mejan pusara itu seraya berkata: "Amat besar harapanku, supaya aku pun dapat berkubur di dekatmu kelak." Sejak kejadian yang hebat itu, tubuh Zainuddin kian lama kian lemah, dada sesak, pikiran selalu duka dan sesal yang tiada berkeputusan. Seakan-akan dipandangnya bahwa hidup yang sekarang ini hanya semata-mata singgah kepada suatu negeri yang menjemukan, yang tidak sedikit juga menarik hati. Seakan-akan seorang yang berdiri di peron stasiun sambil melihatlihat jam, menunggu-nunggu kedatangan kereta api dengan tidak sabar, supaya dapat berangkat lekas. Sebab itu hatinya mulai mundur, tidak begitu suka lagi menerima tetamu yang tertarik dengan karangan-karangannya. Dan tidak pula pergi ke mana-mana. Tetapi jika dia duduk seorang dirinya dalam kamar, rasa-rasa kedengaran olehnya suara Hayati memanggilmanggil namanya tengah malam, seketika dia menumpang di sebuah Hotel di Malang itu. Rasarasa kedengaran olehnya air bergemuruh masuk ke dalam kapal Van der Wijck yang mulai karam. Yang sampai kepada waktu menutup hikayat ini, belum juga diketahui orang sebabsebab makanya kapal itu tenggelam dengan tiba-tiba ke dasar lautan. Rasa-rasa terpenging ditelinganya pekik Hayati meminta tolong, tetapi seorangpun tak ada yang dapat menolong, sebab orang rintang memelihara jiwa send iri-sendiri. Mengapa makanya dia kulepaskan pergi, mengapa tidak kutahani, mengapa aku sekejam itu benar menyuruhnya pergi dari rumahku di waktu menangis beriba-iba meminta dia diberi izin tinggal dengan daku, menyelenggarakan hidupnya, mengembalikan mimpi dan angan-angannya.

Terbayanglah kesetiaan dan keteguhan cinta perempuan itu, bagaimana di dalam mengarung ombak besar, di dalam permainan jiwaraga, dia mengambil gambar Zainuddin, buat dibawanya mati, diikatkannya di dalam selendang yang membalut kepalanya .... Sebulan dua di belakang itu, Zainuddin masih tetap berulang-ulang hampir tiap-tiap hari ke kubur Hayati. Oleh karena [218] beroleh pemandangan dari Muluk, supaya hidupnya tenteram dan pikirannya jangan sampai terganggu, hendaklah dia mulai melupakan kejadian yang sedih itu, maka ada jugalah reda pikiran itu sedikit, dan telah dimulainya pula mengarang dan menyusun hikayat, yang isinya lebih mendalam dan meresap dari yang dahulu. Tapi belum dikirimnya buat disiarkan.

28. PENUTUP
Setahun kemudian. OLEH karena itu Zainuddin kurang sekali menerima tetamu sejak kematian Hayati, maka jaranglah teman-temannya yang dapat menemuinya, Kabar berita tentang keadaan dirinya, atau sakit senangnya, tidaklah begitu diketahui orang lagi. Tiba-tiba pada suatu hari di dalam suaatsurat kabar yang terbit dalam kota Surabaya bertemu perkabaran: "ZAINUDDIN PENGARANG YANG TERKENAL WAFAT" "Pengarang muda yang terkenal itu, yang setelah sekian lama tidak kita baca lagi karangankarangannya yang sangat halus dan meresap, kamaren malam telah meninggal dunia di rumahnya di Kaliasin. Dia telah dikuburkan di dekat seorang pamilinya perempuan yang meninggal karena kecelakaan kapal Van der Wijck tempoh hari. Banyak teman sahabatnya yang mengantar ke kubur." Beberapa orang pengarang surat-surat kabar telah datang berziarah ke rumah itu. Mereka dapati beberapa orang pemuda anak Sumatera dan beberapa perempuan tua tengah duduk dengan wajah muram, dan kelihatan juga Muluk. Maka wakil surat-surat kabar itu pun datanglah mendekatinya. Sesudah ta'ziah, mereka meneruskan kewajiban mereka menanyai Muluk tentang kematian orang yang telah berkali-kali menceriterakan kesedihan dan [220] kemelaratan orang lain, dan telah berulang-ulang mengobat ratap si fakir dan si miskin itu. Muluk berceritera: "Tidak kusangka-sangka bahwa guruku, sahabatku dan orang yang paling kucinta itu akan selekas itu meninggalkan saya. Kemaren malam, seketika dia akan masuk kamar tulisnya, dia berpesan menyuruh membangunkannya pagi-pagi. Tiba-tiba kira-kira pukul 3 malam, kedengaran dia merintih karena sakit. Saya bangun dari tidur dan pergi melihatnya. Kulihat nafasnya amat sesak. Lalu segera kupanggilkan dokter. Sayang dokter hanya menunjukkan nama penyakit, tetapi tak kuasa lagi menolong. Jantungnya bergerak amat, keras, tengah menulis akhir dari satu karangannya. Lidahnya segera surut sehingga tak dapat bercakap-cakap lagi. Di dekat dokter dia menengok saya sesenang-tenangnya. Seakan-akan ada yang akan dikatakannya. Setelah itu dilihatnya sebuah tas penyimpan bundel surut-surat, tenang-tenang, dan ditentangnya pula muka saya. Akhir sekali dia melihat kapada gambar besar di dinding itu. Setelah itu dia pun pergilah, buat selama-lamanya. . . .... Tengah hari kemaren mayatnya telah dikuburkan di dekat kuburan Hayati, orang yang dicintainya itu. Orang yang telah menyebabkan kemasyhurannya. Sekembali dari pusara, bundelan surut-surat itu kubaca:

Wasiatku

"Saya tidak ada lagi mempunyai keluarga yang akan menerima hartaku. Ada wangku tersimpan sedikit dalam bank. Semuanya kuhadiahkan kepada sahabatku Muluk, yang telah bertahuntahun sesakit sesenang dengan daku. Harta bends peninggalan ayah bundaku di Mengkasar menjadi hadiah pula untuk orang orang tua yang menjagainya: Daeng Masiga.[221] Karangan-karanganku kuserahkan kepada "Club Anak Surnatera." Sedapat-dapatnya karangankarangan itu dicetak, dan hasil keuntungannya diambil pembantu anak muda yang terlantar dalam menuju cita-citanya".
"Saya heran," kata Muluk menyambung ceriteranya, "apakah sebab guruku membuat wasiat semacam itu. Apakah dia telah sengaja hendak mati, dengan membunuh diri. Tetapi saya teringat, sehingga keheranan saya hilang, bahwa sejak mati Hayati, memang badannya sudah tidak sehat lagi. Kerap mulutnya terlanjur-lanjur saja menyebut mati. Dia mati dalam menulis akhir satu karangan. Di atas meja terletak tulisan yang penghabisan itu: "....... dan akan tercapai juga kemuliaan bangsaku, persatuan tanah airku. Hilang perasaan perbedaan dan kebencian dan tercapai keadilan dan bahagia." Tiba di kalimat "bahagia" itu, sudah terhenti tulisannya dan tidak terang lagi apa ujungnya. Penanya terletak di atas kertas itu. Sekarang, meskipun ada kekayaan ditinggalkannya, apalah gunanya bagiku. Padahal saya kehilangan dirinya, sahabatku, guruku, yang telah sekian lama kukenal kemuliaan dan kebersihan batinnya. Buat apa lagi kekayaan benda itu. Dia telah kukuburkan di dekat pusara orang yang menjadi angan-angannya selama hidupnya. Dan seketika hidupnya, kubur itu senantiasa dibelai dan diperbaikinya. Ke sana selalu dia ziarah di waktu hari baik bulan purnama, dan ke sana dia kerap kali bermenung. Di sana dia kukuburkan, karena di sana baru hatiku puas. Supaya kuburan dua sesaing itu dapat menjadi lukisan tamsil dan ibarat bagi orang yang datang kemulaan". Sekian ceritera Muluk. Demikianlah penghabisan kehidupan orang besar itu. Seorang di antara pembina yang menegakkan batu pertama dari kemuliaan [222] bangsanya; yang hidup didesak dan dilamun oleh cinta. Dan sampai matinya pun dalam penuh cinta. Tetapi sungguh pun dia meninggal namun riwayat tanah air tidaklah akan dapat melupakan namanya dan tidaklah akan sanggup menghilangkan jasanya. Karena demikian nasib tiap-tiap orang yang bercita-cita tinggi; kesenangannya buat orang lain. Buat dirinya sendiri tidak. Sesudah dia menutup mata, barulah orang akan insaf siapa sebetulnya dia ..............." TAMAT [223]

Similar Documents