Kemacetan lalu lintas telah menjadi fenomena umum di banyak kota besar di Indonesia. Kondisi kemacetan di Kota Bogor hampir sama dengan beberapa kota metropolitan seperti Bandung, Bekasi, dan Depok, yang dipengaruhi oleh arus mobilitas penduduk Jakarta maupun yang berkepentingan di Jakarta. Meskipun tingkat kemacetan di Bogor masih jauh di bawah Jakarta, namun dampak yang ditimbulkan kemacetan itu tetap sama, yakni berpengaruh terhadap masalah polusi, kesehatan lingkungan, dan masalah produktivitas serta waktu. Akibat dari waktu produktif yang terganggu, akan ditemukan masalah produktivitas kerja dan distribusi barang (Mirlanda 2011).
Perkembangan Kota Bogor yang pesat menyebabkan banyak penduduk yang datang dan menetap. Hal ini bisa dilihat dengan berkembangnya jumlah pemukiman penduduk di berbagai wilayah di Kota Bogor. Mobilitas penduduk meningkatkan kebutuhan akan moda transportasi, baik kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Seiring dengan peningkatan pendapatan penduduk, pemilikan kendaraan dan jumlah perjalanan juga akan meningkat sehingga kebutuhan terhadap fasilitas dan pelayanan transportasi juga ikut meningkat. Faktor-faktor tersebut yang mempercepat peningkatan kemacetan lalu lintas di Kota Bogor.
Kemacetan lalu lintas sangat merugikan karena berdampak negatif pada kondisi sosial dan ekonomi pengguna jalan itu sendiri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sapta (2009) kepada responden di Kota Bogor, kemacetan membuang waktu pengguna jalan serta berdampak sosial-ekonomi di saat yang bersamaan, yakni tidak hanya waktu yang terkuras dan stress tetapi juga menye-babkan boros bahan bakar (BBM). Hilangnya waktu merupakan opportunity cost yang harus ditanggung pengguna jalan, padahal waktu yang hilang tersebut dapat digunakan untuk aktivitas lainnya yang dapat mendatangkan benefit, baik secara sosial maupun ekonomi bagi pengguna jalan itu sendiri.
Dampak kemacetan memang bersifat multiplier, salah satu yang signifikan terlihat pada pemborosan BBM. Berdasarkan persepsi masyarakat Bogor dalam penelitian oleh Sapta (2009), hampir seluruh responden setuju bahwa kemacetan hanya membuat boros konsumsi bahan bakar kendaraan. Para pegawai pergi ke tempat kerja dengan menggunakan kendaraan pribadi sehingga mereka merasakan benar dampak kemacetan tersebut. Begitu pula para sopir angkutan umum mengeluhkan pendapatan mereka berkurang karena sering terjebak kemacetan, mereka harus menambah uang bensin agar beroperasi seperti biasanya atau mereka harus mengurangi operasional kendaraan.
Kendaraan yang melaju pada lalu lintas normal, tidak terjebak kemacetan, biasanya mengkonsumsi BBM sesuai dengan efisiensi mesin kendaraan dalam mengkonsumsi BBM. Efisiensi kendaraan bermotor biasanya ditunjukkan dengan perbandingan per satu liter bensin dengan jarak yang dapat ditempuhnya, tetapi hal ini juga dipengaruhi oleh jenis kendaraan, jumlah muatan, kapasitas mesin, dan teknologi mesin. Menurunnya efisiensi konsumsi BBM akibat kemacetan merupakan kerugian yang harus ditanggung oleh setiap pengguna kendaraan baik mobil maupun motor. Kerugian yang ditanggung pengguna jalan adalah selisih antara rata-rata pengeluaran saat kemacetan per kendaraan dengan rata-rata pengeluaran normal per kendaraan.
Adapun total kerugian ekonomi akibat peningkatan konsumsi BBM sebagai akibat kemacetan lalu lintas yang terjadi di sejumlah titik di Kota Bogor adalah sebesar Rp 713.122.380 per hari (Sapta 2009). Maka potensi ekonomi yang hilang dari peningkatan konsumsi BBM akibat kemacetan di Kota Bogor mencapai Rp 256,724 miliar per tahun. Potensi nilai ekonomi yang hilang ini tergolong sangat besar, mengingat Kota Bogor merupakan daerah yang termasuk kategori sub-urban. Tidak hanya uang ratusan juta per hari yang terbuang percuma akibat kemacetan di Kota Bogor, tetapi juga pendapatan masyarakatpun berkurang. Hal tersebut diasumsikan dari waktu kerja produktif yang mungkin hilang akibat kemacetan lalu lintas, namun belum ada angka pasti berapa potensi pendapatan yang hilang.
Kerugian akibat kemacetan berupa pemborosan BBM dan hilangnya potensi pendapatan relatif mudah untuk dikuantifikasi menjadi sejumlah uang tertentu. Masalahnya, komponen kerugian lain dari kemacetan seperti masalah polusi, kesehatan lingkungan, dan stress itu lebih sulit untuk dikuantifikasi. Hal-hal yang intangible tersebut apabila dihitung secara ekonomi tentunya akan menambah nilai kerugian akibat kemacetan.