Free Essay

Math

In:

Submitted By liliwati
Words 50483
Pages 202
Sudaryatno Sudirham

Pilihan Topik

Matematika
(Aplikasi dalam Analisis Rangkaian Listrik )

Darpublic – Edisi Juli 2012

Pilihan Topik Matematika
(Aplikasi dalam Analisis Rangkaian Listrik )

oleh

Sudaryatno Sudirham

i

Hak cipta pada penulis.

SUDIRHAM, SUDARYATNO Beberapa Topik Matematika Aplikasi Dalam Analisis Rangkaian Listrik Darpublic, Kanayakan D-30, Bandung, 40135.

ii

Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Pengantar
Buku ini berisi bahasan mengenai topik-topik matematika yang dipilih terkait dengan penggunaannya dalam Analisis Rangkaian Listrik. Sudah barang tentu bahwa matematika sebagai ilmu dasar tidak hanya terpakai dalam analisis rangkaian listrik. Namun uraian dalam buku ini dikaitkan dengan buku-buku lain yang penulis susun, bahkan contoh-contoh persoalan yang diberikan banyak diambil dari buku-buku tersebut; dengan penulisan buku ini penulis bermaksud memberi penjelasan mengenai dasar matematika yang digunakan di dalamnya. Dalam buku ini penulis mencoba menyajikan bahasan matematika dari sisi pandang aplikasi teknik, dengan sangat membatasi penggunaan ungkapan matematis; pendefinisian dan pembuktian formula-formula diganti dengan pernyataan-pernyataan serta gambaran grafis yang lebih mudah difahami. Dengan cara demikian penulis berharap bahwa pengertian matematis yang diperlukan bisa difahami dengan lebih mudah. Pendalaman lebih lanjut dapat diperoleh dari buku-buku tentang matematika yang digunakan sebagai referensi dalam kuliah matematika. Kemajuan teknologi komputer telah sangat membantu proses pemecahan persoalan di bidang teknik. Namun buku ini tidak membahas cara perhitungan dengan menggunakan komputer tersebut, melainkan menyajikan bahasan mengenai pengertian-pengertian dasar tentang topik matematika yang dipilih, yang penulis anggap dapat memberikan pemahaman mengenai proses perhitungan dengan menggunakan komputer. Akhir kata, penulis harapkan tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Bandung, Juli 2012 Wassalam, Penulis

iii

Darpublic
Kanayakan D-30, Bandung, 40135 Dalam format .pdf buku ini dapat diunduh bebas di www.buku-e.lipi.go.id dan www.ee-cafe.org Selain Buku-e, di www.ee-cafe.org tersedia juga open course dalam format .ppsx beranimasi dan .pdf

iv

Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Daftar Isi
Pengantar Daftar Isi Bab 1: Pengertian Fungsi dan Grafik Fungsi. Domain. Kurva, Kekontinyuan, Simetri. Bentuk Implisit. Fungsi Bernilai Tunggal dan Bernilai Banyak. Fungsi dengan Banyak Peubah Bebas. Koordinat Polar. Pembatasan Bahasan dan Sajian Bahasan. Bab 2: Fungsi Linier Fungsi Tetapan. Fungsi Linier – Persamaan Garis Lurus. Pergeseran Kurva. Perpotongan Garis. Bab 3: Gabungan Fungsi Linier Fungsi anak Tangga. Fungsi Ramp. Pulsa. Perkalian Ramp dan Pulsa. Gabungan Fungsi Ramp. Bab 4: Mononom dan Polinom Mononom: Mononom Pangkat Dua, Mononom Pangkat Tiga. Polinom: Fungsi Kuadrat. Penambahan Mononom Pangkat Tiga pada Fungsi Kuadrat. Bab 5: Bangun Geometris Persamaan Kurva. Jarak Antara Dua Titik. Parabola. Lingkaran. Elips. Hiperbola. Kurva berderajat Dua. Perputaran Sumbu. Bab 6: Fungsi Trigonometri Peubah Bebas Bersatuan Derajat. Peubah Bebas Bersatuan Radian. Fungsi Trigonometri Inversi. Bab 7: Gabungan Fungsi Sinus Fungsi Sinus Dan Cosinus. Kombinasi Fungsi Sinus. Spetrum Dan Lebar Pita Fungsi Periodik. Bab 8: Fungsi Logaritma. Natural, Eksponensial, Hiperbolik Fungsi Logaritma Natural. Fungsi Exponensial. Fungsi Hiperbolik. Bab 9: Koordinat Polar Relasi koordinat Polar dan Koordinat Sudut-siku. Persamaan Kurva Dalam Koordinat Polar. Persamaan Garis Lurus. Parabola, Elips, Hiperbola. Lemniskat dan Oval Cassini. Luas Bidang. iii v 1

15

29

39

57

71

87

97

107

v

Bab 10: Turunan Fungsi Polinom Pengertian Dasar. Mononom. Polinom. Nilai Puncak. Garis Singgung. Bab 11: Turunan Fungsi-Fungsi Fungsi Perkalian Dua Fungsi. Fungsi Pangkat Dari Suatu Fungsi. Fungsi Rasional. Fungsi Implisit. Fungsi Berpangkat Tidak Bulat. Kaidah Rantai. Diferensial dx dan dy. Bab 12: Turunan Fungsi-Fungsi Transenden Fungsi Trigonometri. Fungsi Trigonimetri Inversi. Fungsi Trigonometri Dari Suatu Fungsi. Fungsi Logaritmik. Fungsi Eksponensial. Bab 13: Integral Macam-macam Integral. Integral Tak Tentu, Integral Tentu. Luas Sebagai Suatu Integral. Aplikasi. Bab 14: Integral Tak Tentu Fungsi-Fungsi Fungsi Tetapan. Mononom. Polinom. Fungsi Pangkat dari Fungsi. Fungsi Berpangkat Satu. Fungsi Eksponensial. Tetapan Berpangkat Fungsi. Fungsi Trigonometri. Fungsi Hiperbolik. Integral Menghasilkan Fungsi Trigonometri. Tabel Relasi Diferensial-Integral. Bab 15: Persamaan Diferensial Orde-1 Pengertian. Solusi. Persamaan Diferensial Orde Satu Dengan Peubah Yang Dapat Dipisahkan. Persamaan Diferensial Homogen Orde Satu. Persamaan Diferensial Linier Orde Satu. Solusi Pada Berbagai Fungsi Pemaksa. Bab 16: Persamaan Diferensial Orde-2 Persamaan Diferensial Linier Orde Dua. Tiga Kemungkinan Bentuk Solusi. Bab 17: Matriks Konsep Dasar Matriks. Pengertian dan Operasi Matriks. Matriks Khusus. Putaran Matriks. Sistem Persamaan Linier. Eliminasi Gauss. Kebalikan Matriks, Eliminasi Gauss-Jordan.

119

135

147

155

177

187

201

211

vi

Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 18: Bilangan dan Peubah Kompleks Pengertian dan Definisi. Operasi-Operasi Aljabar. Repersentasi Grafis. Bentuk Sudut Siku dan Bentuk Polar. Fungsi Kompleks. Pole dan Zero. Aplikasi untuk Menyatakan Fungsi Sinus. Bab 19: Transformasi Laplace Pemahaman Transformasi Laplace. Transformasi Laplace. Sifat-sifat Transformasi Laplace. Transformasi Balik Bab 20: Deret dan Transformasi Fourier Deret Fourier. Koefisien Fourier. Deret Fourier Bentuk Eksponensial. Transformasi Fourier. Sifat-Sifat Transformasi Fourier. Transformasi Balik. Daftar Pustaka Biodata penulis

241

251

271

297 298

vii

Halaman Kosong

viii Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 1

Pengertian Fungsi dan Grafik

Fungsi dan dan bentuk-bentuk kurvanya akan kita gunakan secara luas di buku ini untuk memahami berbagai relasi matematis. Oleh karena itu bab pertama ini kita akan mempelajari secara umum lebih dulu mengenai fungsi dan grafik. 1.1. Fungsi Apabila suatu besaran y memiliki nilai yang tergantung dari nilai besaran lain x, maka dikatakan bahwa besaran y tersebut merupakan fungsi besaran x. Contoh: panjang batang logam merupakan fungsi temperatur. Secara umum suatu fungsi dituliskan sebagai sebuah persamaan

y = f (x)

(1.1)

Perhatikan bahwa penulisan y = f (x) bukanlah berarti y sama dengan f kali x, melainkan untuk menyatakan bahwa y merupakan fungsi dari x yang tidak lain adalah sebuah aturan atau sebuah ketentuan berapakah y akan memiliki nilai jika kepada x kita berikan suatu nilai. y dan x adalah peubah (variable) yang dibedakan sebagai peubah-takbebas (y) dan peubah-bebas (x). Peubah-bebas x adalah simbol dari suatu besaran yang bisa memiliki nilai sembarang dari suatu set bilangan. Sementara peubah-tak-bebas y memiliki nilai yang tergantung dari nilai yang dimiliki x. Dilihat dari nilai yang dimiliki oleh ruas kiri dan ruas kanan, (1.1) adalah sebuah persamaan. Namun kedua ruas itu memiliki peran yang berbeda. Kita ambil contoh dalam relasi fisis

LT = L0 (1 + λT ) dengan LT adalah panjang sebatang logam pada temperatur T, L0 adalah panjang pada temperatur nol, T temperatur dan λ adalah koefisien muai panjang. Panjang batang tergantung dari temperatur; makin tinggi temperatur makin panjang batang logam. Namun sebaliknya, makin panjang batang logam tidak selalu berarti temperaturnya makin tinggi. Jika logam tersebut mengalami beban tarikan misalnya, ia akan bertambah panjang namun tidak berarti temperaturnya meningkat.

1

Walaupun nilai x di ruas kanan (1.1) bisa berubah secara bebas, sementara ruas kiri tergantung dari ruas kanan, namun nilai x tetap harus ditenttukan sebatas mana ia boleh bervariasi. 1.2. Domain Domain ialah rentang nilai (interval nilai) di mana peubah-bebas x bervariasi. Dalam kebanyakan aplikasi, rentang nilai ini bisa berbentuk sebagai berikut: a). rentang nilai berupa bilangan-nyata yang terletak antara dua nilai a dan b. Kita tuliskan rentang nilai ini sebagai a 1; perpotongan dengan kurva dari fungsi yang berpangkat rendah terjadi pada nilai y yang besar. Contoh Fungsi Mononom Pangkat Dua. Kita ambil beberapa contoh peristiwa fisis. 1). Suatu benda dengan massa m yang mendapat gaya F akan memperoleh percepatan a sehingga kecepatan benda sebagai fungsi waktu (apabila kecepatan awal adalah nol) dapat dinyatakan sebagai

v(t ) = at
Jarak yang ditempuh mulai dari titik awal adalah

s (t ) =

1 2 at 2

2). Dalam tabung katoda, jika kecepatan awal elektron adalah nol, dan waktu tempuh dari anoda ke katoda adalah t, maka kecepatan elektron pada waktu mencapai katoda adalah

vk = at

41

anoda ] l (lihat contoh fungsi linier sub-bab-2.7).

katoda

Waktu tempuh dapat dihitung dari formula s (t ) = = l.

1 2 at , di mana s(t) 2

3). Dalam teori atom, di mana elektron dipandang sebagai gelombang, fungsi gelombang dari elektron-bebas dibawah pengaruh medan sentral adalah ψ = e jkr dengan k adalah vektor bilangan gelombang yang searah dengan rambatan gelombang. gelombang Energi kinetik elektron gelombang, Ek , adalah sebagai
Ek

k =

2π , λ : panjang λ

Ek = me massa electron,

h 2k 2 2me

h suatu konstanta.

k

Ek dan k memiliki relasi mononomial pangkat dua (Dari Bab-8, ref. [4]) Mononom Pangkat Ganjil. Pangkat ganjil paling kecil adalah 1 dan dalam hal demikian ini kita mendapatkan persamaan garis y = kx . Pangkat ganjil berikutnya adalah 3, 5, 7 dan seterusnya. Gb.4.5. memperlihatkan kurva fungsi mononom berpangkat ganjil. Kurva fungsi mononom pangkat ganjil simetris terhadap titik asal. Ia bernilai positif untuk x positif dan bernilai negatif untuk x negatif. Makin tinggi pangkat mononom makin cepat perubahan nilai y untuk x > 1.

42 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Untuk x < 1 kurva makin landai yang berarti makin tajam “pembengkokan” garis lurus yang terjadi di dalam rentang −1 ≤ x ≤ 1 .
3 2 1 0 -1 0 -2 -3

y = 2x

y = 2x5 y = 2x3
1 1.5

-1.5

-1

-0.5

0.5

Gb.4.5. Kurva fungsi mononom pangkat ganjil. Apabila peningkatan pangkat disertai juga dengan peningkatan koefisien k, perpotongan kurva dengan garis y = kx bisa terjadi pada nilai x < 1. 4.2. Polinom Pangkat Dua Fungsi polinom pangkat dua berbentuk

y = ax 2 + bx + c

(4.4)

Berikut ini kita akan melihat apa yang terjadi pada proses penambahan mononom demi mononom. Untuk penggambaran kurva masing-masing mononom dalam tinjauan fungsi (4.4) diambil semua koefisien mononom positif. Dengan mengambil nilai-nilai a = 2, b = 15, dan c = 13, kurva masing-masing mononom diperlihatkan pada Gb.4.6.
150

y y1=2x
2

y2=15x y3=13 0

-10

0

x

-150

Gb.4.6. Kurva masing-masing mononom dari fungsi kuadrat.

43

Jika kurva y2 = 15x ditambahkan pada y1 = 2x2 maka kurva y1 akan bertambah tinggi di sebelah kanan titik [0,0] dan menjadi rendah di sebelah kiri titik [0,0] seperti terlihat pada Gb.4.7.a. y1=2x2 y4=2x2+15x
0 -10 0 150

y

x

x = −15/2 y2=15x (a) sumbu simetri −15/4
0 -10 0 -150 150

y y4=2x2+15x x

−15/2

(b)
150

-150

sumbu simetri

y

y5 = 2x2+15x+13 y4 = 2x2+15x

0 -10 0

x

(c)

-150

Gb.4.7. Penjumlahan y1 = 2x2 , y2 = 15x, dan y3 = 13 44 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Karena y2 = 15 x melalui titik [0,0] dan y1 = 2x2 juga melalui titik [0,0] maka penjumlahan kedua kurva akan memberikan kurva

y4 = y1 + y2 = 2 x 2 + 15 x

(4.5)

yang juga melalui titik [0,0]. Selain di x = 0 kurva penjumlahan ini juga memotong sumbu-x di x = −15 / 2 karena dua titik ini (yaitu x = 0 dan

x = −15 / 2 ) memenuhi persamaan

y3 = 2 x 2 + 15 x = 0 . Kurva ini

memiliki sumbu simetri yang memotong sumbu-x di x = −15 / 4 seperti terlihat pada Gb.4.7.b. Jika kemudian tetapan 13 ditambahkan pada y4 tebentuklah

y5 = 2 x 2 + 15 x + 13

(4.6)

yang merupakan pergeseran dari y4 ke arah positif sumbu-y sebesar 13 skala, seperti terlihat pada Gb.4.7.c. Kita lihat sekarang bentuk umum fungsi pangkat dua (4.4)

y = ax 2 + bx + c yang dapat kita tuliskan sebagai

b  b  b2   y = a x 2 + x  + c = a x + +c  − a  2a  4a   b  b 2 − 4ac  = a x +  − 2a  4a 
2

2

(4.7)

Kurva dari fungsi (4.7) ini dapat kita fahami sebagai berikut: kurva y b adalah kurva y = ax2 yang tergeser sejajar sumbu-x sejauh − 2a kemudian tergeser lagi sejajar sumbu-y sejauh

 b 2 − 4ac  . −  4a   

Perhatikan Gb.4.8.

45

y = ax2 +bx +c

y

x1
}

x2
0 0 -50

y = ax2

x



b 2a

 b 2 − 4 ac   −  4a   

Gb.4.8. Pergeseran kurva y = ax2 sejajar sumbu-x ke kiri sejauh –b/2a kemudian tergeser lagi sejajar sumbu-y ke bawah sejauh –(b2−4ac)/4a.

b dan kurva memotong sumbu-x di 2a sebelah kiri dan kanan sumbu simetri ini, yaitu di x1 dan x2 . Dari persamaan (4.7) kita dapatkan
Sumbu simetri terletak pada x = −

b  b 2 − 4ac b  b 2 − 4ac   y = a x + = 0 → a x +  −  = 2a  4a 2a  4a   b  b 2 − 4ac b  b 2 − 4ac   →x + →x +  = =± 2a  2a    4a 2 4a 2
2

2

2

x1, x2 = −

b b 2 − 4ac ± 2a 2a

(4.8)

yang kita kenal sebagai akar-akar persamaan kuadrat. Keadaan kritis terjadi pada waktu kurva fungsi kuadrat bersinggungan dengan sumbu-x; dua akar nyata dari persamaan kuadrat menjadi sama besar. Hal ini terjadi jika pergeseran sejajar sumbu-y bernilai nol

46 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”



b 2 − 4ac = 0 ⇒ (b 2 − 4ac) = 0 4a

(4.9)

Jika (b 2 − 4ac) < 0 maka kurva tidak memotong sumbu-x. Keadaan ini memberikan akar kompleks yang belum akan kita bahas. Tinjauan di atas memberikan hal-hal berikut: 1. Jika c = 0, maka fungsi menjadi y = ax 2 + bx yang memotong sumbux di x = 0 dan x = − yang juga
2

b b dan memiliki sumbu simetri di x = − a 2a menjadi sumbu simetri kurva fungsi kuadrat

y = ax + bx + c .
2. Nilai puncak fungsi

y = ax 2 + bx + c
2

adalah

nilai
2

puncak

y = ax 2 + bx ditambah c yaitu y = −

b b − 4ac + c atau − . 4a 4a

3. Fungsi kuadrat y = ax 2 + bx + c memotong sumbu-x di

x1,2 = −

b ± 2a

b 2 − 4ac 2a

Fungsi Polinom Pangkat Dua Sebagai Mononom Tergeser. Mononom pangkat dua yang tergeser tergeser adalah ( y − b) = k ( x − a) 2 yang dapat kita tuliskan sebagai

y = kx 2 − 2akx + ka 2 + b = Ax 2 + Bx + C dengan A = kx 2 , B = −2akx , C = ka 2 + b . Jadi bentuk kurva polinom pangkat dua memiliki bentuk yang sama dengan mononom tergeser.

47

4.3. Mononom dan Polinom Pangkat Tiga Fungsi mononom pangkat tiga kita tuliskan y = kx3 . Jika k positif, fungsi ini akan bernilai positif untuk x positif dan bernilai negatif untuk x negatif. Jika k negatif maka keadaan akan menjadi sebaliknya. Kurva fungsi ini diperlihatkan pada Gb.4.9.

y y = −2x 3

500 400 300 200 100

y = 2x 3

0 -5 -4 -3 -2 -100 0 -1

1

2

3

4

x

5

y = 2x 3

-200 -300 -400 -500

y = −2x 3

Gb.4.9. Kurva fungsi y = kx3. Fungsi mononom yang tergeser sejajar dengan sumbu-x dengan pergeseran sebesar a skala diperoleh dengan mengganti peubah x dengan (x − a), dan jika tergeser sejajar sumbu-y sebesar b skala kita peroleh dengan mengganti y dengan (y − b) . Fungsi mononom pangkat tiga yang tergeser akan menjadi

y = k ( x − a )3 + b dengan bentuk kurva diperlihatkan pada Gb.4.10.

(4.10)

48 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

y

600 400 200 0

y = 10x3

-5

-3

-1 -200 -400 -600

1

3

x

5

y = 10(x−2)3 y = 10(x−2)3 + 100

Gb.4.10. Kurva fungsi pangkat tiga tergeser. Jika mononom pangkat tiga ditambahkan pada polinom pangkat dua, terbentuklan polinom pangkat tiga, dengan persamaan umum yang berbentuk

y = ax3 + bx 2 + cx + d

(4.11)

Karena y = kx3 naik untuk x positif (pada k positif) maka penambahan ke fungsi kuadrat akan menyebabkan kurva fungsi kuadrat naik di sebelah kanan titik-asal [0,0] dan turun di sebelah kiri [0,0]. Kita ambil a = 4 untuk menggambarkan y1 = ax 3 dan b =19, c = −80, d = −200 untuk menggambarkan kurva fungsi y2 = bx 2 + cx + d seperti terlihat pada Gb.4.11.a.

49

2000

y y 2 = 19 x 2 − 80 x − 200
0 10 0

y1= 4x3 x 10

(a)
-2000

2000

y y 3 = y1 + y 2 = 4 x 3 + 19 x 2 − 80 x − 200
0 -10 0

y2

x

10

y1

(b)

-2000

Gb.4.11. Mononom pangkat tiga y1 dan fungsi kuadrat y2. Dengan a positif maka kurva y1 bernilai positif untuk x > 0 dan bernilai negatif untuk x < 0. Kurva fungsi kuadrat y2 telah kita kenal. Jika y1 ditambahkan pada y2 maka nilai-nilai y2 di sebelah kiri titik [0,0] akan berkurang sedangkan yang di sebelah kanan titik [0,0] akan bertambah. Kurva yang kita peroleh akan terlihat seperti pada Gb.4.9.b. Terlihat pada gambar ini bahwa penjumlahan y1 dan y2 menghasilkan kurva y3 yang memotong sumbu-x di tiga titik. Ini berarti bahwa persamaan pangkat tiga ax 3 + bx 2 + cx + d = 0 (dengan nilai koefisien yang kita ambil) memiliki tiga akar nyata, yang ditunjukkan oleh perpotongan fungsi y3 dengan sumbu-x tersebut.

50 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Hal demikian tidak selalu terjadi. Jika koefisien a kurang positif, penurunan kurva y1 di daerah x negatif tidak terlalu tajam. Hal ini menyebabkan pengurangan nilai y2 didaerah ini juga tidak terlalu banyak. Kita akan memperoleh kurva seperti ditunjukkan pada Gb.4.12.a. Di sini fungsi pangkat tiga memotong sumbu-x di tiga tempat akan tetapi yang terlihat hanya dua. Titik potong yang ke-tiga berada jauh di x negatif. Makin kecil nilai a (tetap positif) akan makin jauh letak titik perpotongan yang ke-tiga ini.
2000

y2 y3 = y1 + y2
-10 10

y1

(a) a kurang positif

-2000

2000

y2

-10

15

y3 = y1+y2 y1
-2000

(b) a terlalu positif Gb.4.12. Pengaruh nilai a kurva fungsi pangkat tiga y = y1 + y2. Jika koefisien a terlalu positif, penurunan y1 di daerah negatif sangat tajam. Pengurangan y2 di daerah ini terjadi sangat besar. Kurva yang kita 51

peroleh akan terlihat seperti pada Gb.4.12.b. Di sini kurva tidak memotong sumbu-x di daerah negatif. Hanya ada satu titik potong di sumbu-x positif. Jika a = 0 akan terjadi fungsi kuadrat yang sudah kita bahas di sub-bab sebelumnya. Kita lihat sekarang keadaan di mana a bernilai negatif. Nilai a negatif akan membuat kurva y1 bernilai positif di daerah x negatif dan bernilai negatif di daerah x positif. Hal ini menyebabkan nilai y2 akan bertambah di daerah negatif dan akan berkurang di daerah positif. Jika a tidak terlalu negatif, kurva yang kita peroleh akan berbentuk seperti terlihat pada Gb.4.13.a.

y3 = y1 + y2
2000

y2 y1
0 -10 0 15

(a) y2 y1

-2000

y3 = y1 + y2

0 -10 0

15

(b)

-2000

Gb.4.13. Fungsi pangkat tiga y3 = y1 + y2 dengan a negatif. Kurva berpotongan dengan sumbu-x di tiga tiga tempat. Akan tetapi perpotongan yang ke-tiga berada jauh di daerah x positif. Makin negatif a 52 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

makin jauh letak titik perpotongan tersebut. Jika a terlalu negatif kurva berpotongan dengan sumbu-x di satu tempat, seperti terlihat pada Gb.4.13.b. CATATAN: Sesungguhnya perpotongan kurva fungsi pangkat tiga dengan sumbu-x tidak semata-mata ditentukan oleh nilai koefisien a pada mononom pertama ax3. Bentuk dan posisi kurva fungsi kuadratnya, juga akan menentukan letak titik potong. 4.4. Domain, Kekontinyuan, Simetri Peubah x pada semua fungsi polinom dapat mengambil nilai dari −∞ sampai +∞. Nilai peubah y akan mengikuti nilai x. Fungsi polinom kontinyu dalam rentang x tersebut. Demikian pula halnya jika kita mempunyai fungsi yang merupakan hasilkali antara polinom dengan polinom, y = y1 × y 2 . Kita telah melihat bahwa kurva mononom pangkat dua y = kx 2 simetris terhadap sumbu-y karena penggantian x dengan −x tidak mengubah fungsi ini. Hal ini juga akan berlaku untuk semua kurva mononom yang berpangkat genap. Kenyataan ini menimbulkan istilah simetri genap untuk fungsi-fungsi yang simetris terhadap sumbu-y; misalnya fungsi cosinus yang akan kita pelajari di bab lain. Kita juga telah melihat bahwa kurva mononom pangkat tiga y = kx 3 simetris terhadap titik asal [0,0]. Penggantian y dengan −y dan penggantian x dengan −x tidak akan mengubah fungsi ini. Hal ini berlaku pula untuk semua kurva mononom berpangkat ganjil. Istilah simetri ganjil diberikan pada fungsi yang simetris terhadap titik asal [0,0], seperti fungsi sinus yang akan kita pelajari di Bab-6. Penjumlahan antara mononom berpangkat genap dengan mononom berpangkat ganjil tidak menghasilkan kurva yang memiliki sumbu simetri. Hal ini disebabkan karena kaidah untuk terjadinya simetri bagi mononom berpangkat genap tidak sama dengan kaidah yang diperlukan untuk terjadinya simetri pada kurva mononom berpangkat ganjil. Keadaan khusus terjadi pada mononom berpangkat satu yang juga merupakan mononom berpangkat ganjil. Kurva dari fungsi ini juga simetris terhadap titik asal [0,0]. Namun fungsi ini adalah fungsi linier dengan kurva yang berbentuk garis lurus, berbeda dengan kurva fungsi mononom pangkat tiga. Kelinieran ini menyebabkan penjumlahan 53

dengan kurva mononom pangkat dua menghasilkan pergeseran kurva fungsi pangkat dua; kurva yang tergeser ini memiliki sumbu simetri yang sejajar dengan sumbu-y.

Soal-Soal 1. Tentukanlah koordinat titik puncak dan perpotongan dengan sumbu-y kurva fungsi-fungsi berikut ini.

y1 = 4 x 2 ; y3 = 3x 2 − 12 ;
2.

y2 = 5x 2 − 7 ; y 4 = −4 x 2 + 8

Dari soal nomer-1, tentukanlah koordinat titik perpotongan antara kurva-kurva fungsi berikut ini

y1 dan y 2 ;
3.

y 2 dan y3 ;

y 3 dan y 4

Tentukanlah koordinat titik puncak dan perpotongan dengan sumbu-y kurva fungsi-fungsi berikut ini.

y1 = 5 x 2 − 10 x ;
4.

y 2 = 3x 2 − 12 x ;

y3 = −4 x 2 + 2 x

Dari soal nomer-3, selidikilah koordinat titik perpotongan kurva-kurva fungsi berikut.

y1 dan y 2 ; y 2 dan y3 ; y1 dan y3
5. Tentukanlah koordinat titik puncak dan perpotongan dengan sumbu-y kurva fungsi-fungsi berikut ini.

y1 = 5 x 2 − 10 x − 7 ; y2 = 3x 2 − 12 x + 2 ; y3 = −4 x 2 + 2 x + 8
6. Dari soal nomer-5, selidikilah koordinat titik perpotongan kurva-kurva fungsi berikut.

y1 dan y 2 ;

y 2 dan y 3 ; y1 dan y3

54 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 5

Bangun Geometris

5.1. Persamaan Kurva Persamaan suatu kurva secara umum dapat kita tuliskan sebagai
F ( x, y ) = 0

(5.1)

Persamaan ini menentukan tempat kedudukan titik-titik yang memenuhi persamaan tersebut. Jadi setiap titik pada kurva akan memenuhi persamaan dan setiap titik yang memenuhi persamaan harus pula terletak pada kurva. Berikut ini adalah karakteristik umum suatu kurva. Beberapa di antaranya telah kita pelajari di bab pertama. Simetri. Kurva suatu fungsi mungkin simetris terhadap garis atau titik tertentu a) jika fungsi tidak berubah apabila x kita ganti dengan −x maka kurva fungsi tersebut simetris terhadap sumbu-y; b) jika fungsi tidak berubah apabila x dan y dipertukarkan, kurva funsi tersebut simetris terhadap garis-bagi kuadran I dan III. jika fungsi tidak berubah apabila y diganti dengan −y, kurva funsi tersebut simetris terhadap sumbu-x.

c)

d) jika fungsi tidak berubah jika x dan y diganti dengan −x dan −y, kurva fungsi tersebut simetris terhadap titik-asal [0,0]. Nilai Peubah. Dalam melihat bentuk-bentuk geometris hanya nilai-nyata dari y dan x yang kita perhatikan. Apabila dalam suatu persamaan terdapat pangkat genap suatu peubah maka akan terlibat suatu nilai yang berasal dari akar pangkat dua (pangkat genap) dari peubah tersebut. Dalam keadaan demikian kita anggap bahwa bilangan negatif tidak memiliki akar, karena kita belum membahas bilangan kompleks. Hal ini telah dikemukakan di bab pertama dalam sub-bab pembatasan pembahasan. Contoh: y 2 + x 2 = 1 . Jika kita cari nilai y kita dapatkan

y = ± 1− x2

55

Apabila nilai mutlak x lebih besar dari 1, maka nilai bilangan di bawah tanda akar akan negatif. Dalam hal demikian ini kita membatasi x hanya pada rentang −1 ≤ x ≤ 1 . Karena kurva ini simetris terhadap garis y = x, maka ia memiliki nilai juga terbatas pada rentang −1 ≤ y ≤ 1 . Titik Potong Dengan Sumbu Koordinat. Koordinat titik potong dengan sumbu-x dapat diperoleh dengan memberi nilai y = 0, sedangkan koordinat titik potong dengan sumbu-y diperoleh dengan memberi nilai x = 0. Contoh: y 2 + x 2 = 1 . Titik potong dengan sumbu-x adalah P[1,0] dan Q[−1,0]. Titik potong dengan sumbu-y adalah R[0,1] dan S[0,−1]. Contoh: xy = 1. Dengan memberi nilai x = 0 kita tidak akan mendapatkan solusi untuk y. Demikian pula memberi y = 0 tidak akan memberi solusi untuk x. Kurva persamaan ini tidak memotong sumbu-x maupun sumbu-y. Asimptot. Suatu titik P[x,y] pada kurva yang bergerak sepanjang kurva menjauhi titik-asal mungkin akan semakin dekat dengan suatu garis tertentu, namun tidak akan menyentuhnya. Garis tersebut merupakan asimptot dari kurva. Contoh: y 2 ( x 2 − x) = x 2 + 10 .
2 Persamaan ini memberikan y = ± x + 10

x( x − 1)

Apa yang berada di dalam tanda akar, tidak boleh negatif. Hal ini berarti jika x harus positif maka ia tidak boleh lebih kecil dari satu agar x(x−1) positif; jika x negatif maka x(x−1) akan tetap positif. Jadi haruslah x < 0 atau x > 1. Tidak ada bagian kurva yang berada antara x = 0 dan x = 1. Garis vertikal x = 0 dan x = 1 adalah asimptot dari kurva. Lihat Gb.5.1.

56 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

4

y

0 -4 0

x

4

-4

Gb.5.1. Garis asimptot (ditunjukkan oleh garis patah-patah). Persamaan kurva ini juga bisa dituliskan sebagai y2 = x 2 + 10 x2 − x = 1 + 10 / x 2 1 − 1/ x

Jika x → ±∞ maka y2 = 1, dan y = ±1. Garis mendatar y = 1 dan y = −1 juga merupakan asimptot dari kurva. Soal-Soal: Tentukan sumbu simetri, titik-titik potong dengan sumbu koordinat, dan garis asimptot kurva-kurva dari fungsi berikut: 1 1 y=x+ ; y= y = x2 + 1 ; ; 2 x x +1 1 y = x2 − 1 ; y= . 2 x −1 5.2. Jarak Antara Dua Titik Jika koordinat dua titik diketahui, misalnya P[xp,yp) dan Q[xq,yq], maka jarak antara keduanya adalah

PQ = ( x p − xq ) 2 + ( y p − yq ) 2

(5.2)

Formula ini sangat bermanfaat jika kita hendak mencari tempat kedudukan titik yang berjarak tertentu dari suatu titik lain. Kita akan melihatnya pada ulasan bentuk-bentuk geometris berikut ini.

57

Soal-Soal: 1). Diketahui dua titik P(-2,1) dan Q(2,-3). Dengan menggunakan persamaan persamaan (5.2) tentukan tempat kedudukan titik-titik yang berjarak sama terhadap P dan Q. 2). Diketahui dua titik P(-1,0) dan Q(2,0). Dengan menggunakan persamaan persamaan (5.2) tentukan tempat kedudukan R yang sedemikian rupa sehingga RP = 2× RQ. 5.3. Parabola Kita telah melihat bentuk kurva

y = kx 2

(5.3)

yang simetris terhadap sumbu-y. Bentuk kurva ini disebut parabola. Dalam persamaan ini, ada suatu nilai k sedemikian rupa sehingga jarak antara satu titik P yang terletak pada kurva dengan titik Q yang terletak di sumbu-y sama dengan jarak antara titik P dan suatu garis tertentu, seperti diperlihatkan pada Gb.5.2. Titik Q disebut titik fokus parabola, dan garis tertentu y = −p disebut garis direktriks dan titik puncak parabola berada di tengah antara titik fokus dan direktriknya. y y=kx2

P[x,y] Q[0,p]
[0,0]

x R[x,−p]

Gb.5.2. Titik fokus dan garis direktriks. Hubungan antara k dan p dapat dicari sebagai berikut.

PQ = (PR − p) 2 + x 2 = ( y − p) 2 + x 2 =

y 2 − 2 py + p 2 + x 2

PR = ( y + p)

58 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Karena PQ = PR, maka

y 2 − 2 py + p 2 + x 2 = y + p

y 2 − 2 py + p 2 + x 2 = y 2 + 2 py + p 2 + x 2 = +4 py atau y= x2 1 1 yang berarti k = atau p = 4p 4p 4k
1 2 x 4p

Dengan demikian persamaan parabola dapat kita tuliskan

y=

(5.4)

dengan direktiks y = −p dan titik fokus Q[0,p]. Contoh: Persamaan parabola y = 0,5 x 2 dapat kita tuliskan

y=

1 2 1 x = x2 2 4 × 0,5

dan parabola ini memiliki direktrik y = − p = −0,5 dan titik fokus di Q[0,(0,5)]. Soal-Soal: Tentukan titik fokus dan direktrik parabola-parabola berikut:

y2 + 4x = 8 ; x2 + 2x − 4 y − 3 = 0 ;
5.4. Lingkaran

x2 − 8 y = 4 ; y2 + x + y = 0

Lingkaran merupakan tempat kedudukan titik-titik yang berjarak sama terhadap satu titik tertentu. Titik tertentu itu disebut titik pusat lingkaran. Jika titik tertentu itu adalah titik-asal [0,0] maka jarak suatu titik X[x,y] ke titik-asal adalah

XO = x 2 + y 2
59

Jika jarak ini tertentu, r misalnya, maka

x2 + y2 = r
Oleh karena itu persamaan lingkaran dengan titik pusat [0,0] adalah

x2 + y2 = r 2 dengan r adalah jari-jari lingkaran.

(5.5)

Jika titik pusat lingkaran tidak berimpit dengan titik asal, kita dapat melihatnya sebagai lingkaran tergeser. Lingkaran dengan titik pusat di P[a,b] mempunyai persamaan

( x − a ) 2 + ( y − b) 2 = r 2 lingkaran-satuan, berpusat di [0,0] dengan persamaan x 2 + y 2 = 1 .

(5.6)

Gb.5.3. memperlihatkan bentuk lingkaran dengan jari-jari 1 yang disebut

y
1 y1 0,5

-1

[0,0] 0,5

1

x

-1

Gb.5.3. Lingkaran Pada Gb.5.3 ini pula diperlihatkan lingkaran dengan r2 = 0,4 berpusat di [(0,5),(0,5)] yang berarti lingkaran tergeser sejajar sumbu-x sebesar 0,5 skala dan sejajar sumbu-y sebesar 0,5 skala, dengan persamaan

( x − 0,5) 2 + ( y − 0,5) 2 = 0,4

60 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Soal-Soal: Tentukan persamaan dan cari titik-titik potong dengan sumbu-sumbu koordinat lingkaran berikut 1) Titik pusat di P(1,2), jari-jari 4. 2) Titik pusat di Q(-2,1), jari-jari 5. 3) Titik pusat R(2,3) jari-jari 3. 4) Titik pusat S(3,2) jari-jari 2. 5.5. Elips Elips adalah tempat kedudukan titik yang jumlah jarak terhadap dua titik tertentu adalah konstan. Kedua titik tertentu tersebut merupakan X[x,y] dua titik fokus dari elips. Perhatikan Gb.5.4. Misalkan diketahui posisi dua titik P[−a,0] dan Q(a,0]. Jarak antara titik sembarang X[x,y] dengan kedua titik tersebut masing-masing adalah
P[-c, 0] Q[c, 0]

x

Gb.5.4. Elips

XP = ( x + c) + y
2

2

dan

XQ = ( x − c) 2 + y 2
Jika jumlah antara keduanya adalah konstan, misalkan 2a, maka

( x + c ) 2 + y 2 + ( x − c ) 2 + y 2 = 2a
Jika suku kedua ruas kiri dipindahkan ke ruas kanan dan kedua ruas di kuadratkan, akan kita peroleh

( x + c ) 2 + y 2 = 4a 2 − 4a ( x − c ) 2 + y 2 + ( x − c ) 2 + y 2 yang dapat disederhanakan menjadi

a−

c x = ( x − c) 2 + y 2 a
61

Jika kedua ruas di kuadratkan kita dapatkan

a 2 − 2cx +

c2 a
2

x 2 = x 2 − 2cx + c 2 + y 2

yang dapat disederhanakan menjadi

x2 a2

+

y2 a2 − c2

=1

Kita perhatikan penyebut pada suku ke-dua ruas kiri persamaan terakhir ini, dengan melihat pada Gb.5.4. Pada segitiga XPQ, jumlah dua sisi selalu lebih besar dari sisi yang ketiga, (XP + XQ) > PQ atau 2a > 2c, sehingga penyebut suku ke-2 di ruas kiri selalu positif dan memiliki akar nyata; misalkan persamaan elips

a 2 − c 2 = b . Dengan demikian kita mendapatkan x2 a2 y2 b2

+

=1

(5.7)

Titik-titik potong dengan sumbu-x adalah [±a,0] dan titik-titik potong dengan sumbu-y adalah [0,±b]. Jadi suatu elips dilingkupi oleh satu segi panjang 2a×2b; 2a adalah sumbu panjang elips dan 2b adalah sumbu pendeknya. (Perhatikan bahwa jika a = b yang berarti c = 0, kita mendapatkan persamaan lingkaran). Apabila titik fokus elips tidak terletak pada sumbu-x, kita bisa melihatnya sebagai elips tergeser. Persamaan elips tergeser adalah

( x − p) 2

a2

+

( y − q)2

b2

=1

(5.8)

dengan p adalah pergeseran sejajar sumbu-x dan q adalah pergeseran sejajar sumbu-y. Gb.5.5. adalah elips dengan persamaan

( x − 0,5) 2 ( y − 0,25) 2 + =1 1 0,5 2

62 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

1 y

0 -1 0 1

x 2

-1

Gb.5.5. Elips tergeser. Soal-Soal: Tentukan titik-titk fokus dan gambarkan (skets) elips berikut: 1) 9 x 2 + 4 x 2 = 36 ; 2) 4 x 2 + 9 y 2 = 144 ; 3) 4 x 2 + y 2 = 1 ; 4) 16( x − 2) 2 + 9( y + 3) 2 = 144 5.6. Hiperbola Hiperbola merupakan tempat kedudukan titik-titik yang selisih jaraknya antara dua titik tertentu adalah konstan. Penurunan persamaan hiperbola dapat dilakukan seperti halnya dengan penurunan persamaan elips di atas. Perhatikan Gb.5.6. Misalkan diketahui posisi dua titik P[−c,0] dan Q(c,0]. Jarak antara titik sembarang X[x,y] dengan kedua titik tersebut masingmasing adalah

XP = ( x + c) 2 + y 2 XQ = ( x − c) 2 + y 2

dan

63

y X(x,y)

P[-c,0]

Q[c,0]

x

Gb.5.6. Posisi titik X terhadap P[-c,0] dan Q[c,0]. Jika selisih antara XP dan XQ harus tetap, misalnya 2a, maka

( x + c) 2 + y 2 − ( x − c) 2 + y 2 = 2a
Suku kedua ruas kiri dipindahkan ke ruas kanan dan kedua ruas di kuadratkan, kemudian dilakukan penyederhanaan

(c / a ) x − a = ( x − c ) 2 + y 2
Jika kedua ruas dikuadratkan akan diperoleh

x2 a2



y2 c2 − a2

=1

Kita lihat lagi Gb.5.6. Dalam segitiga PXQ, selisih (XP−XQ) = 2a selalu lebih kecil dari PQ = 2c. Jadi a < c sehingga penyebut pada suku kedua ruas kiri selalu positif, misalkan dapatkan persamaan

c 2 − a 2 = b 2 . Dengan demikian kita
=1

x2 a2



y2 b2

(5.9)

Inilah persamaan hiperbola, dengan bentuk kurva seperti pada Gb.5.7.

64 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

y

+∞ X(x,y)

-c -a

a c

x

−∞

Gb.5.7. Kurva hiperbola Dengan memberi nilai y = 0, kita dapatkan titik potong hiperbola dengan sumbu-x yaitu [±a,0]. Dengan memberikan nilai x = 0, kita tidak memperoleh solusi untuk y. Kurva tidak memotong sumbu-y; tidak ada bagian kurva yang terletak antara x = −a dan x = a. Soal-Soal: Gambarkan (skets) hiperbola berikut: 1)

x2 y 2 − =1; 9 16 x2 y 2 − =1; 16 9

2)

y 2 x2 − =1; 9 16 x2 y 2 − = −1 9 16

3)

4)

5.4. Kurva Berderajat Dua Parabola, lingkaran, elips, dan hiperbola adalah bentuk-bentuk khusus kurva berderajat dua, atau kurva pangkat dua. Bentuk umum persamaan berderajat dua adalah

Ax 2 + Bxy + Cy 2 + Dx + Ey + F = 0
Persamaan parabola adalah bentuk khusus dari (5.10) dengan
B = C = D = F = 0; A = 1; E = −4 p

(5.10)

65

sehingga diperoleh persamaan (5.4) y =

1 2 x . 4p Lingkaran satuan adalah bentuk khusus dari (5.10) dengan
B = D = E = 0; A = 1; C = 1;
F = −1

Bahkan persamaan garis luruspun merupakan keadaan khusus dari (5.10), di mana
A = B = C = 0; D = − a; E = 1; F = −b

yang memberikan persamaan garis lurus y = ax + b . Namun dalam kasus terakhir ini persamaan berderajat dua (5.10) berubah status menjadi persamaan berderajat satu. Bentuk Ax2 dan Cy2 adalah bentuk-bentuk berderajat dua yang telah sering kita temui pada persamaan kurva yang telah kita bahas. Namun bentuk Bxy, yang juga merupakan bentuk berderajat dua, belum pernah kita temui. Dalam sub-bab berikut ini hal tersebut akan kita lihat. 5.5. Perputaran Sumbu Koordinat Dalam bangun geometris yang sudah kita lihat, mulai dari parabola sampai hiperbola, tidak satupun mengandung bentuk Bxy. Hal Ini sesungguhnya merupakan konsekuensi dari pemilihan koordinat. Dalam bangun hiperbola misalnya, kita telah memilih titik-titik fokus P[−c,0] dan Q[c,0] sehingga hiperbola simetris terhadap sumbu-x dan memotong sumbu-x di x = ±a. Sekarang akan kita coba memilih titik fokus di P[−a,−a] dan Q[a,a] seperti pada Gb.5.8. y X

Q[a,a] P[-a,-a] x

Gb.5.8. Titik fokus di P[-a.-a] dan Q[a,a] Selisih jarak XP dan XQ yang tetap kita misalkan 2a

66 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

( x + a ) 2 + ( y + a ) 2 − ( x − a ) 2 + ( y − a ) 2 = 2a
Jika suku kedua ruas kiri dipindahkan ke ruas kanan kemudian kedua ruas dikuadratkan dan dilakukan penyederhanaan, akan kita peroleh

x + y − a = ( x − a) 2 + ( y − a ) 2
Jika ruas kanan dan kiri dikuadratkan lagi kita dapatkan

2 xy = a 2

(5.11)

Mempetukarkan x dengan y tidak mengubah persamaan ini. Kurva persamaan ini simetris terhadap garis y = x, yaitu garis bagi kuadran II dan III seperti terlihat pada Gb.5.9. y 5

0 -5 0

x

-5

Gb.5.9. Kurva 2xy = a2. Kalau kita bandingkan kurva Gb.5.9 ini dengan kurva hiperbola sebelumnya pada Gb.5.7. terlihat bahwa kurva pada Gb.5.9. memiliki sumbu simetri yang terputar 45o berlawanan dengan arah perputaran jarum jam, dibandingkan dengan sumbu simetri Gb.5.7 yaitu sumbu-x. Apakah memang demikian? Kita akan lihat secara umum mengenai perputaran sumbu ini. Perhatikan Gb.5.10. y y’ P[x,y] P[x’,y’] x’ β α O Q Q’ x

Gb.5.10. Perputaran sumbu. 67

Sumbu x-y diputar sebesar α menjadi sumbu x’-y’. Titik P dapat dinyatakan dengan dua koordinat P[x,y] dengan referensi sumbu x-y, atau P[x’,y’] dengan referensi sumbu x’-y’. Dari Gb.5.10. kita dapatkan x = OQ = OP cos(α + β) (5.12) y = PQ = OP sin(α + β) Sementara itu

x' = OQ' = OP cos β y ' = PQ' = OP sin β

(5.13)

Dengan kesamaan (Catatan: lihat fungsi trigonometri di Bab-6) cos(α + β) = cos α cos β − sin α sin β

sin(α + β) = sin α cos β + cos α sin β
Dengan (5.13) dan (5.14), maka (5.12) menjadi x = x' cos α − y ' sin α

(5.14)

y = x' sin α + y ' cos α
Persamaan (5.15) inilah persamaan rotasi sumbu.

(5.15)

Kita coba aplikasikan (5.15) pada (5.11) yang memiliki kurva pada Gb.5.10, di mana rotasi sumbu terjadi pada sudut 45o sehingga

cos α = sin α = 1 / 2 . Oleh karena itu kita peroleh x'− y ' x'+ y ' x= dan y = 2 2 Nilai x dan y ini kita masukkan ke (5.11) dan kita mendapatkan x '− y ' x'+ y ' 2 × = ( x' ) 2 − ( y ' ) 2 = a 2 2 2 Bentuk persamaan ini sama dengan bentuk persamaan (5.9); pada (5.9) sumbu simetri adalah sumbu-x, sedangkan di sini sumbu simetri adalah sumbu-x’ yaitu sumbu-x yang diputar 45o. Dengan pembahasan mengenai perputaran sumbu ini, menjadi lengkaplah pergeseran kurva yang kita bahas. Pergeseran kurva sejajar sumbu-x dan sumbu-y yang telah kita bahas sebelumnya dapat pula kita pandang sebagai pergeseran atau translasi sumbu koordinat. Dengan demikian kita mengenal translasi dan rotasi sumbu koordinat, di mana sumbu-sumbu simetri dari suatu kurva tidak berimpit dengan sumbu koordinat, dan titik simetri tidak berimpit dengan titik asal [0,0].

68 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 6

Fungsi Trigonometri

Trigon adalah poligon yang paling sederhana. Ia bersisi tiga yang disebut segitiga; ia unik. Suatu segitiga ABC dengan sisi-sisi a, b, dan c adalah satu-satunya segitiga yang memiliki sisi-sisi ini; tidak ada segitiga lain yang memiliki sisi-sisi a, b, dan c, yang berbeda bentuk dan ukuran dari segitiga ABC. Bentuk dan ukuran yang pasti ini menjamin adanya relasi yang pasti antara sisi-sisi dan sudutnya. Dengan kepastian ini ia menjadi wahana transformasi dari berbagai gejala fisis yang kita kenal; bentuk segitiga yang digunakan untuk keperluan ini adalah segitiga siku-siku. Segitiga siku-siku dengan sisi-miring c dan sisi siku-siku b dan c, dan sudut α adalah antara sisi b dan c, mempunyai relasi pasti
B

c
A

α b = c cos α

a = c sin α
C

a = c sin α dan b = c cos α
Sinus dan cosinus adalah fungsi-fungsi trigonometri. Sudut α menjadi peubah bebas dan a menjadi peubah tak bebas yang nilainya tergantung dari α, dengan c merupakan tetapan; kita dapat menuliskan fungsi

y = A sin α
Jika α bervariasi terhadap waktu, a = ωt , maka

y = A sin ωt
Inilah fungsi sinus yang sering kita jumpai, yang digunakan untuk menyatakan berbagai besaran fisis yang berubah terhadap waktu secara sinusoidal. Sebagai contoh: getaran garpu tala, gelombang suara gong yang ditabuh, gelombang tegangan saluran transmisi enegi listrik, gelombang tegangan medan listrik pemancar radio, dan sebagainya. ω dalam contoh di atas disebut frekuensi sudut, t adalah waktu yang biasanya dinyatakan dalam satuan detik, dan sudut α dapat dinyatakan dalam satuan derajat ataupun radian; jadi ω memiliki satuan derajat/detik atau radian/detik.

69

6.1. Peubah Bebas Bersatuan Derajat Berikut ini adalah fungsi-fungsi trigonometri dengan sudut θ sebagai peubah-bebas.

y1 = sin θ y2 = cos θ y3 = tan θ = y4 y5 y6 sin θ cos θ cos θ = cot θ = sin θ 1 = sec θ = cos θ 1 = csc θ = sin θ

(6.1)

Untuk menjelaskan fungsi trigonometri, kita gambarkan lingkaransatuan, yaitu lingkaran berjari-jari satu. Bentuk lingkaran ini diperlihatkan pada Gb.6.1. Kita menggunakan referensi arah positif berlawanan dengan arah jarum jam; artinya sudut θ makin besar jika jarijari r berputar berlawanan dengan arah perputaran jarum jam.

y
1 P r O [0,0] θ -θ Q 1

-1

x

P’ -1

Gb.6.1. Lingkaran berjari-jari 1.

70 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Fungsi sinus. Dengan membuat jari-jari r = OP = 1, maka

PQ = PQ (6.2) r PQ = 0 pada waktu θ = 0o, dan membesar jika θ membesar sampai mencapai maksimum PQ = 1 pada waktu θ = 90o. Kemudian PQ menurun lagi dan mencapai PQ = 0 pada waktu θ = 180o. Sesudah itu PQ menjadi negatif (arah ke bawah) dan mencapai minimum PQ = −1 pada waktu θ = 270o, kemudian meningkat lagi mencapai PQ = 0 pada waktu θ = 360o. Setelah itu keadaan akan berulang, dan satu siklus berikutnya terjadi pada waktu θ = 720o. Kejadian berulang lagi dan demikian seterusnya. Kejadian satu siklus kita sebut satu perioda. Secara singkat kita memperoleh sin θ =

sin 0o = 0; sin 90o = 1; sin 180o = 0; sin 270o = −1; sin 360o = 0
Fungsi Cosinus. Karena telah ditetapkan r = 1, maka

cos θ =

OQ = OQ r

(6.3)

OQ = 1 pada waktu θ = 0, dan mengecil jika θ membesar sampai mencapai minimum OQ = 0 pada waktu θ = π/2. Kemudian OQ meningkat lagi tetapi negatif dan mencapai OQ = −1 pada waktu θ = π. Sesudah itu OQ mengecil dan tetap negatif dan mencapai minimum OQ = 0 pada waktu θ = 1,5π, kemudian meningkat lagi mencapai OQ = 1 pada waktu θ = 2π. Setelah itu keadaan akan berulang, dan satu siklus berikutnya terjadi pada waktu θ = 4π. Kejadian berulang lagi dan demikian seterusnya. Secara singkat

cos 0o = 1; cos 90o = 0; cos 180o = −1; cos 270o = 0; cos 360o = 1
Pada Gb.6.1, jika sin(θ) = PQ dan cos(θ) = OQ, sedangkan dalil Pitagoras memberikan PQ2 + OQ2 = OP2 =1, maka

sin 2 (θ) + cos 2 (θ) = 1
Dari Gb.6.1. dapat kita peroleh juga

(6.4.a)

71

sin( −θ) =

P′Q −PQ = = − sin θ r r OQ = cos θ r

(6.4.b) (6.4.c)

cos(−θ) =

Pada segitiga siku-siku OPQ maupun OP’Q sisi tegak selalu lebih kecil dari sisi miring. Oleh karena itulah sinθ maupun cosθ akan bernilai antara −1 dan +1. Fungsi Tangent.

tan θ = tan(−θ) =

PQ OQ

(6.4.d)

P′Q −PQ = = − tan θ OQ OQ

(6.4.e)

Nilai tanθ akan menjadi 0 jika θ = 0o, dan akan menuju +∞ jika θ menuju 90o karena pada waktu itu PQ juga ∞ dan tan(−θ) akan menuju −∞ pada waktu θ menuju −90o. Jadi tanθ bernilai antara −∞ sampai +∞. Nilai tanθ = 1 bila θ = 45o karena pada waktu itu PQ = OQ; tan(−θ) = −1 jika θ = −45o. Lihat pula kurva pada Gb.6.5. Fungsi Cotangent.

cot θ = cot(−θ) =

OQ PQ

(6.4.f)

OQ OQ = = − cot θ ′Q − PQ P

(6.4.g)

Nilai cotθ akan menuju +∞ jika θ menuju 0o karena PQ akan menuju 0 walau OQ menuju 0; cotθ = 0 jika θ = 90o karena OQ = 0. Sebaliknya cotθ akan menuju −∞ jika θ menuju −0 karena P’Q akan menuju −0; cotθ = 0 jika θ = −90o karena P’Q menuju −∞. Lihat pula kurva Gb.6.6.

72 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Fungsi Secan dan Cosecan

sec θ = csc θ =

1 r = cos θ OQ 1 r = sin θ PQ

(6.4.h)

(6.4.i)

Nilai secθ menuju ∞ jika θ menuju 90o karena OQ menuju 0 dan secθ = 1 pada waktu θ = 0o karena pada waktu itu OQ = r atau cosθ = 1. Sementara itu cscθ akan menuju ∞ jika θ menuju 0 karena sinθ menuju 0. Lihat pula Gb.6.7. Relasi-Relasi. Relasi-relasi yang lain dapat kita turunkan dengan mengunakan Gb.6.2., yaitu y 1 cosα β α -1 [0,0] cosα cosβ sinα cosβ sinα sinα sinβ

β 1

cosα sinβ x

-1

Gb.6.2. Relasi-relasi

sin(α + β) = sin α cos β + cos α sin β cos(α + β) = cos α cos β − sin α sin β

(6.5)

Karena sin( −β) = − sin β dan cos(−β) = cos β maka kita peroleh pula

sin(α − β) = sin α cos β − cos α sin β cos(α − β) = cos α cos β + sin α sin β

(6.6)

73

6.2. Kurva Fungsi Trigonometri Dalam Koordinat x-y Bilangan-nyata dengan desimal yang tidak terbatas, π, digunakan untuk menyatakan besar sudut dengan r s satuan radian. Jumlah radian dalam sudut θ θ didefinisikan dengan persamaan s θ= , s = rθ (6.7) r o Jika θ = 360 maka s menjadi penuh satu keliling lingkaran, atau s = 2πr . Jadi jumlah radian dalam sudut 360o adalah 2π. Dengan demikian maka ukuran sudut

θ1 = 180o adalah π rad. θ 2 = 90o adalah 0,5π rad. θ3 = 1o adalah (π / 180) rad. dst.
Fungsi Sinus. Dengan menggunakan satuan radian, fungsi trigonometri akan kita gambarkan pada sistem koordinat x-y, yang kita ketahui bahwa sumbu-x adalah sumbu bilangan-nyata, termasuk π. Bentuk kurva fungsi sinus

y = sin(x) terlihat pada Gb.6.3. yang dibuat untuk nilai x dari −2π sampai +2π.

(6.8)

Fungsi ini mencapai nilai maksimum +1 pada x = π/2 atau θ = 90o, mencapai nilai nol pada x = π atau θ = 180o, mencapai minimum −1 (arah negatif) pada x = 1,5π atau θ = 270o, kembali nol pada x = 2π atau θ = 360o; inilah satu perioda. y 1,5 1 0,5 0 0 -0,5 -1 -1,5

−2π

−π

π



x

Gb.6.3. Kurva fungsi sinus dalam dua perioda.

74 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Fungsi Cosinus. Kurva fungsi cosinus y = cos(x)

(6.9)

terlihat pada Gb.6.4. Fungsi ini mencapai nilai maksimum +1 pada x = 0 atau θ = 0o, mencapai nilai nol pada x = π/2 atau θ = 90o, mencapai minimum −1 (arah negatif) pada x = π atau θ = 180o, kembali nol pada x = 1,5π atau θ = 270o, dan ke nilai maksimum +1 lagi setelah satu perioda, 2π.
1,5 y 1 0,5 −π 0 -0,5 -1 -1,5 0 π 2π x perioda

Gb.6.4. Kurva fungsi cosinus. Fungsi sinus maupun fungsi cosinus adalah fungsi periodik dengan perioda sama sebesar 2π, dengan nilai maksimum dan minimum yang sama yaitu +1 dan −1. Perbedaan antara keduanya terlihat, yaitu

sin( x) = − sin( − x)

sedangkan

cos( x) = cos(− x)

(6.10)

Fungsi sinus simetris terhadap titik-asal [0,0], dan disebut memiliki simetri ganjil. Fungsi cosinus simetris terhadap sumbu-y dan disebut memiliki simetri genap. Dengan memperbandingkan Gb.6.3. dan Gb.6.4 kita lihat bahwa fungsi sinus dapat dipandang sebagai fungsi cosinus yang tergeser sejajar sumbu-x sebesar π/2. Oleh karena itu fungsi sinus dapat kita nyatakan dalam cosinus

y = sin( x) = cos( x − π / 2)
Fungsi Tangent. Selanjutnya kita lihat fungsi

(6.11)

y = tan( x) =

sin( x) cos( x)

(6.12)

75

Karena cos(x) = 0 pada x = +π/2 dan −π/2, maka tan(x) bernilai tak hingga pada x = +π/2 dan −π/2. y 3 2 1 -1,5π -π 0 -0,5π 0 -1 -2 -3 Gb.6.5. Kurva 0,5π π 1,5π

y = tan(x)

Fungsi Cotangent. Fungsi ini adalah kebalikan dari fungsi tangent.

y = cot( x) =

cos( x) 1 = sin( x) tan( x )

(6.13)

Karena sin(x) = 0 pada x = 0, maka cot(x) bernilai tak hingga pada x = 0. Lihat Gb.6.6.
3 2 1 -1,5π -π 0 -0,5π 0 -1 -2 -3 0,5π π 1,5π

Gb.6.6. Kurva y = cot (x)

76 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Fungsi Secan. Fungsi ini adalah kebalikan fungsi cosinus.

y = sec( x) =

1 cos( x)

(6.14.a)

Kurva fungsi ini terlihat pada Gb.6.7.a. Perhatikan bahwa sec(x) bernilai 1 pada x = 0 karena pada nilai x itu cos(x) juga bernilai 1. Fungsi Cosecan. Fungsi ini adalah kebalikan fungsi sinus.

y = csc( x) =

1 sin( x)

(6.14.b)

Kurva fungsi ini terlihat pada Gb.6.7.b. csc(x) bernilai ∞ pada x = 0 kara pada nilai x ini sin(x) bernilai 0.
3 2 1 0 -1,5π -π -0,5π -1 -2 -3 0 0,5π π 1,5π

(a) y = sec(x)
3 2 1 0 -1,5π -π -0,5π -1 -2 -3 0 0,5π π 1,5π

(b) y = csc(x) Gb.6.7. Kurva y = sec(x) dan y = csc(x) 77

Soal-Soal: Skets kurva fungsi-fungsi berikut:

y = 2 sin x ;

y = 3 sin 2 x ;

y = 2 cos 3 x ;

y = 3 cos(2 x + π / 4) ;
6.3. Fungsi Trigonometri Inversi

y = 2 tan( x / 3)

Sinus Inversi. Jika fungsi sinus kita tuliskan sinus inversi dituliskan sebagai

y = sin(x ) , maka fungsi
(6.15)

y = arcsin x atau

y = sin −1 x

Perhatikan bahwa sin−1x bukan berarti 1/sinx, melainkan inversi sinus x yang bisa kita baca sebagai: y adalah sudut yang sinusnya sama dengan x. Karena fungsi sinus adalah periodik dari −∞ sampai +∞ maka fungsi

y = sin −1 x tidaklah bernilai tunggal. Kurva fungsi ini terlihat pada Gb.6.8.a.

Ia akan terlihat bernilai tunggal jika kita membatasi nilai y; kita hanya meninjau fungsi sinus inversi pada − π ≤ y ≤ π . Dengan pembatasan ini 2 2 maka kita hanya terlibat dengan nilai-nilai utama dari sin−1x. Jadi nilai utama y = sin −1 x terletak pada − π ≤ sin −1 x ≤ π . Kurva fungsi 2 2 y = sin −1 x yang dibatasi ini terlihat pada Gb.6.8.b. Perhatikanlah bahwa pada x = 0, y = sin−1x = 0 karena pada y = 0 sin(y) = 0 = x. Pada x = 1, y = sin−1x = π/2 karena sin(y) = sin(π/2) = 1 = x. Contoh:

y = sin −1 (1) = 0,5π ; y = sin −1 (−1) = −0,5π y = sin −1 (0,5) = π ; 6 π 6

y = sin −1 (−0,5) = −

78 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

y 2π

π 0,5π -1 0 x 0 1 y 0,25π 0 -1 -0,5 -0,25π −2π -0,5π 0 0,5 x 1

−π

a)

Gb.6.8. Kurva y = sin−1x

b)

Jika kita bandingkan Gb.6.8. (fungsi sinus inversi) dengan Gb.6.3. (fungsi sinus) terlihat bahwa jika sumbu-y pada Gb.6.8. kita gambarkan horizontal sedangkan sumbu-x kita gambarkan vertikal, maka kita akan memperoleh bentuk kurva fungsi sinus pada Gb.6.3. pada rentang π π − ≤ y ≤ , yaitu rentang di mana kita membatasi nilai y pada fungsi 2 2 sinus inversi, atau rentang nilai utama fungsi sinus inversi. Cosinus Inversi. Fungsi cosinus inversi kita peroleh melalui hubungan

y = cos −1 x =

π − sin −1 x 2

(6.16)

Hubungan ini berasal dari relasi segitiga siku-siku. Jika sudut lancip segitiga siku-siku adalah α dan β, maka β = π / 2 − α dan sin α = cos β . Oleh karena itu jika sin α = x maka cos β = x sehingga

cos −1 x = β = π / 2 − α = π / 2 − sin −1 x

79

Karena dengan pembatasan − π ≤ y ≤ π pada fungsi sinus inversi 2 2 π π maka nilai-nilai utama dari cos −1 x akan −1 memberikan − ≤ sin x ≤ 2 2 −1 terletak pada 0 ≤ cos x ≤ π . Gb.6.9.b. memperlihatkan kurva fungsi cosinus inversi pada nilai utama. Perhatikan bahwa jika sumbu-x digambar vertikal sedang sumbu-y digambar horizontal, kita dapatkan fungsi cosinus seperti pada Gb.6.4. dalam rentang 0 ≤ x ≤ π . y π y x 0 1 0,5π 0,25π 0 -1 -0,5 0 0,5 x 1 1π

0,75π -1 0

−π

a) Gb.6.9. Kurva y = cos
−1

b)

x

Tangent Inversi. Fungsi tangent inversi adalah

y = tan −1 x dengan nilai utama −

(6.17)

π π < tan −1 x < 2 2

Untuk fungsi ini, nilai y = ± (π / 2) tidak kita masukkan pada pembatasan untuk y karena nilai tangent akan menjadi tak hingga pada nilai y tersebut. Gb.6.10.a. memperlihatkan kurva y = tan −1 x lengkap sedangkan Gb.6.10.b. dibatasi pada nilai − 0,5π < y < 0.5π .

80 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

1,5π y π 0,5π 0 x 0 -10 -5 -0,25π -0,5π 0 5 x 10 y 0,5π

0,25π -3 -2 -1 0 1 2 3

-0,5π -π -1,5π

a) Gb.6.10. Kurva

y = tan

b) −1

x

Jika kita mempertukarkan posisi sumbu-x dan sumbu-y pada Gb.6.10.b ini, kita akan memperoleh kurva pada Gb.6.5. yaitu kurva fungsi tangent, dalam rentang π π − < tan −1 x < 2 2 Inilah batas nilai-nilai utama fungsi tangent inversi. Cotangent inversi. Fungsi ini diperoleh melalui hubungan π y = cot −1 x = − tan −1 x 2 dengan nilai utama 0 < cot −1 x < π

(6.18)

0 dan π tidak masuk dalam pembatasan y karena pada nilai tersebut y menjadi tak hingga. Hubungan (6.18) diperoleh dari segitiga siku-siku. Jika sudut lancip segitiga siku-siku adalah α dan β, maka β = π / 2 − α dan tan α = cot β . Oleh karena itu jika tan α = x maka cot β = x sehingga

cot −1 x = β = π / 2 − α = π / 2 − tan −1 x
Kurva fungsi cotangent inversi terlihat pada Gb.6.11.

81



y

0,5π

0 -10 -5 0 5

x

10

Gb.6.11. Kurva y = cot −1 x Pertukaran posisi sumbu-x dan sumbu-y Gb.6.11. ini akan memberikan bentuk kurva fungsi cotangent pada Gb.6.6. Fungsi Secan Inversi. Selanjutnya kita memperoleh fungsi secan inversi

y = sec −1 x = cos −1

1 x

(6.19)

dengan nilai utama 0 ≤ sec −1 x ≤ π . π 0,75π 0,5π 0,25π 0 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3
−1

4

Gb.6.12. Kurva y = sec Fungsi Cosecan Inversi.

x

1 x dengan nilai utama − π ≤ csc −1 x ≤ π 2 2 csc −1 x = sin −1
82 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

(6.20)

Pertukaran posisi sumbu-x dan sumbu-y pada gambar kurva kedua fungsi terakhir ini juga akan memberikan bentuk kurva fungsi non-konversinya.
0,5π y 0,25π

0 -4 -3 -2 -1 -0,25π 0 1 2 3 x 4

-0,5π

Gb.6.12. Kurva y = csc −1 x Hubungan Fungsi-Fungsi Inversi. Hubungan antara fungsi inversi dengan fungsi-fungsi non-inversi dapat kita cari dengan menggunakan gambar segitiga siku-siku. 1). Dari fungsi y = sin −1 x , yaitu sudut y yang sinus-nya adalah x dapat kita gambarkan segitiga siku-siku dengan sisi miring sama dengan 1 seperti terlihat di samping ini. Dari gambar ini selain fungsi

1 y

x

1 − x2

y = sin −1 x dan sin y = x , kita dapat peroleh cos y = 1 − x 2 , tan y = x 1 − x2
, dst.

2).

Dari

fungsi
−1

cosinus

inversi
1 y x

y = cos x dapat kita gambarkan segitiga siku-siku seperti di samping ini.

1 − x2

83

Selain cos y = x dari gambar ini kita dapatkan

sin y = 1 − x 2 ,

tan y =

1 − x2 , x

dst.

3). Dari fungsi y = tan −1 x , kita gambarkan segitiga seperti di samping ini. Selain tan y = x , kita peroleh

1+ x2 x y 1

sin y =

x 1 + x2

,

cos y =

1 1 + x2

,

dst

4). Dari fungsi y = sec −1 x kita gambarkan segitiga seperti di samping ini.

x y 1

x2 −1

Dari gambar ini kita peroleh

tan y = 1 − x 2 , sin y =

x2 − 1 , dst. x

Soal-Soal: 1) Dari fungsi y = cot −1 x tentukan sin y dan cos y 2) Dari fungsi y = csc −1 x tentukan tan y dan cos y

84 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 7

Gabungan Fungsi Sinus

7.1. Fungsi Sinus Dan Cosinus Banyak peristiwa terjadi secara siklis sinusoidal, seperti misalnya gelombang cahaya, gelombang radio pembawa, gelombang tegangan listrik sistem tenaga, dsb. Peristiwa-peristiwa itu merupakan fungsi waktu, sehingga kita akan melihatnya dengan menggunakan waktu sebagai peubah bebas, dengan simbol t, satuan detik. Dalam peristiwa sinusoidal, jumlah siklus yang terjadi setiap detik disebut frekuensi siklus, dengan simbol f , dengan satuan Hertz (1 Hz = 1 siklus per detik). Jadi jika fungsi sinus memiliki perioda T0 maka 1 (7.1) f0 = T0 Sebagaimana dikemukakan di bab sebelumnya, kita menggunakan jumlah radian untuk menyatakan sudut. Karena satu siklus perubahan sudut bersesuaian dengan perubahan sebesar 2π radian, maka f siklus per detik bersesuaian dengan 2πf radian per detik. Jadi di samping frekuensi siklus f kita memiliki frekuensi sudut dengan simbol ω, dengan satuan radian per detik. Relasi antara frekuensi siklus (f) dengan frekuensi sudut (ω), dan juga dengan perioda (T0), adalah 2π ω = 2πf 0 = (7.2) T0 Suatu fungsi cosinus yang memiliki amplitudo (nilai puncak) A dituliskan sebagai  2πt   y = A cos ωt = A cos (7.3) T   0  Catatan: Sebelum kita lanjutkan pembahasan kita, ada sedikit catatan yang perlu dicermati. Di bab sebelum ini kita menyatakan fungsi sinus y = sin(x) atau fungsi cosinus y = cos(x) dengan x sebagai peubah bebas dengan satuan radian. Pada (7.3) kita menyatakan fungsi cosinus y = cos ωt dengan t sebagai peubah bebas dengan satuan detik. Faktor ω-lah yang membuat satuan detik menjadi radian; ω disebut frekuensi susut, satuan rad/detik.

85

Gb.7.1. memperlihatkan kurva fungsi cosinus. Jika fungsi cosinus ini kita geser ke arah positif sebesar ¼ perioda kita akan mendapatkan fungsi sinus. Gb.7.2.

 2πt  π   y = A cos ωt −  = A sin ωt = A sin  T  2   0  y A T0

(7.4)

0 0 -A

t

 2πt   Gb.7.1. Fungsi cosinus y = A cos ωt = A cos T   0  y A

T0

0 0 -A

t

 2πt  π   Gb.7.2. Fungsi sinus y = A sin ωt = A sin   T  = A cos ωt − 2     0 
Pergeseran fungsi cosinus sebesar Ts diperlihatkan pada Gb.7.3. Persamaan kurva cosinus tergeser ini adalah

 2πt 2πTs y = A cos ω(t − Ts ) = A cos T − T 0  0

   

86 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

y A

T0

0 0 -A

Ts

t

Gb.7.3. Fungsi cosinus tergeser Kita perhatikan bahwa puncak pertama fungsi cosinus menunjukkan pergeseran. Pada Gb.7.1. pergeseran adalah nol. Pada Gb.7.3. pergeseran adalah Ts . Pada Gb.7.2. pergeseran adalah π/2 yang kemudian menjadi kurva fungsi sinus. Jadi akan sangat mudah menuliskan persamaan suatu fungsi sinusoidal sembarang, yaitu dengan menuliskannya dalam bentuk cosinus, dengan memasukkan pergeseran yang terjadi yaitu yang ditunjukkan oleh posisi puncak yang pertama. Untuk selanjutnya, peristiwa-peristiwa yang berubah secara sinusoidal kita nyatakan dengan menggunakan fungsi cosinus, yang dianggap sebagai bentuk normal Perhatikanlah bahwa Ts adalah pergeseran waktu dalam detik, sehingga fungsi sinusoidal dengan pergeseran Ts kita tuliskan (Gb.7.3)

y = A cos ω(t − Ts ) yang dapat pula kita tuliskan

y = A cos(ωt − ωTs )
Pada penulisan terakhir ini, ωTs mempunyai satuan radian, sama dengan satuan ωt. Selanjutnya 2πTs ϕ = ωTs = (7.5) T0 disebut sudut fasa dari fungsi cosinus dan menunjukkan posisi puncak pertama dari fungsi cosinus. Fungsi cosinus dengan sudut fasa ϕ kita tuliskan

y = cos(ωt − ϕ)

(7.6) 87

Jika ϕ = π/2 maka kita mempunyai fungsi sinus. Jadi untuk mengubah fungsi sinus ke dalam format normal (menggunakan fungsi cosinus) kita menambahkan pergeseran sebesar π/2 pada fungsi cosinus. 7.2. Kombinasi Fungsi Sinus. Dalam tinjauan selanjutnya, jika disebut fungsi sinus, yang dimaksudkan adalah fungsi sinus yang dinyatakan dalam bentuk normal, yaitu cosinus. Fungsi sinus adalah fungsi periodik. Fungsi-fungsi periodik lain yang bukan sinus, dapat dinyatakan sebagai jumlah dari fungsi-fungsi sinus. Atau dengan kata lain suatu fungsi periodik dapat diuraikan menjadi jumlah dari beberapa komponen sinus, yang memiliki amplitudo, sudut fasa, dan frekuensi yang berlainan satu sama lain. Dalam penguraian itu, fungsi akan terdiri dari komponen-komponen yang berupa komponen searah (nilai rata-rata dari fungsi), komponen sinus dengan frekuensi dasar f0 , dan harmonisa yang memiliki frekuensi harmonisa nf0 . Sebaliknya dapat juga dikatakan bahwa jumlah dari beberapa fungsi sinus yang memiliki amplitudo, frekuensi, serta sudut fasa yang berlainan, akan membentuk fungsi periodik, walaupun bukan berbentuk sinus. Gb.7.4. memperlihatkan beberapa bentuk fungsi periodik; bentuk fungsi-fungsi periodik ini tergantung macam komponen sinus yang menyusunnya. Frekuensi harmonisa adalah nilai frekuensi yang merupakan kelipatan bulat n dari frekuensi dasar f0. Frekuensi f0 kita sebut sebagai frekuensi dasar karena frekuensi inilah yang menentukan perioda T0 = 1/f0 . Frekuensi harmonisa dimulai dari harmonisa kedua (2fo), harmonisa ketiga (3f0), dan seterusnya, yang secara umum kita katakan harmonisa ke-n mempunyai frekuensi nf0 . 7.3. Spektrum Dan Lebar Pita. Spektrum. Jika kita menghadapi suatu fungsi periodik, kita bisa mempertanyakan bagaimana komponen-komponen sinusoidalnya. Bagaimana penyebaran amplitudo dan sudut fasa setiap komponen, atau dengan singkat bagaimana spektrum fungsi tersebut. Kita juga mempertanyakan bagaimana sebaran frekuensi dari komponenkomponen tersebut.

88 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

y 4 y 0 -5 -4 y = 3 cos 2f0t 15 4 0 -5 -4 y = 1 + 3 cos 2f0t 15

t

t

y 4 0 -5 -4 15

t

y = 1 + 3 cos 2πf 0 t − 2 cos(2π(2 f 0 )t )

1 -5 -4 15

y = 1 + 3 cos 2πf 0t − 2 cos(2π(2 f 0 )t + π / 4)
Gb.7.4. Beberapa fungsi periodik. Berikut ini kita akan melihat suatu contoh fungsi yang dinyatakan dengan persamaan y = 10 + 30 cos (2πf 0t ) + 15 sin (2π(2 f 0 )t ) − 7,5 cos(2π(4 f 0 )t )

Fungsi ini merupakan jumlah dari satu komponen konstan dan tiga komponen sinus. Komponen konstan sering disebut komponen berfrekuensi nol karena y(t) = A cos(2πft) = A jika f = 0. Komponen sinus yang pertama adalah komponen sinus dasar karena komponen inilah yang mempunyai frekuensi paling rendah tetapi tidak nol. Suku ketiga dan keempat adalah harmonisa ke-2 dan ke-4; harmonisa ke-3 tidak ada. Fungsi ini dinyatakan dengan campuran fungsi sinus dan cosinus. Untuk melihat bagaimana spektrum fungsi ini, kita harus menuliskan tiap suku dengan bentuk yang sama yaitu bentuk normal (standar). Telah dikatakan 89

di depan bahwa bentuk normal pernyataan fungsi sinusoidal adalah menggunakan fungsi cosinus, yaitu y = A cos(2πft + ϕ) . Dengan menggunakan kesamaan

sin( 2πft ) = cos(2πft − π / 2)

dan − cos(2πft ) = cos(2πft + π)

persamaan fungsi di atas dapat kita tulis y = 10 + 30 cos( 2πf 0t ) + 15 cos( 2π2 f 0t − π / 2) + 7,5 cos( 2π4 f 0t + π)

Dalam pernyataan terakhir ini semua suku telah kita tuliskan dalam bentuk standar, dan kita dapat melihat amplitudo dan sudut fasa dari tiap komponen seperti dalam tabel berikut. Frekuensi Amplitudo Sudut fasa 0 10 − f0 30 0 2 f0 15 −π/2 4 f0 7,5 π

Fungsi yang kita ambil sebagai cintoh mungkin merupakan pernyataan suatu sinyal (dalam rangkaian listrik misalnya). Tabel ini menunjukkan apa yang disebut sebagai spektrum dari sinyal yang diwakilinya. Suatu spektrum sinyal menunjukkan bagaimana komposisi baik amplitudo maupun sudut fasa dari semua komponen cosinus sebagai fungsi dari frekuensi. Sinyal yang kita bahas ini berisi empat macam frekuensi, yaitu : 0, f0 , 2f0 , dan 4f0. Amplitudo dari setiap frekuensi secara berturut-turut adalah 10, 30, 15, dan 7,5 satuan (volt misalnya, jika ia adalah sinyal tegangan). Sudut fasa dari komponen sinus yang berfrekuensi f0 , 2f0 dan 4f0 berturut turut adalah 0, −π/2, dan π radian. Dari tabel tersebut di atas kita dapat menggambarkan dua grafik yaitu grafik amplitudo dan grafik sudut fasa, masing-masing sebagai fungsi frekuensi. Grafik yang pertama kita sebut spektrum amplitudo (Gb.7.5.a) dan grafik yang kedua kita sebut spektrum sudut fasa (Gb.7.5.b).

90 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

40 Amplitudo 30 20 10 0 0 1 2 3 4 5 Frekuensi [×f0]

Gb.7.5.a. Spektrum Amplitudo
2π Sudut Fasa π/2 0 0 −π/2 −2π Frekuensi [×f0] 1 2 3 4 5

Gb.7.5.b. Spektrum sudut fasa. Penguraian fungsi periodik menjadi penjumlahan harmonisa sinus, dapat dilakukan untuk semua bentuk fungsi periodik dengan syarat tertentu. Fungsi persegi misalnya, yang juga periodik, dapat diuraikan menjadi jumlah harmonisa sinus. Empat suku pertama dari persamaan hasil uraian fungsi persegi ini adalah sebagai berikut :

y = A cos(2πf 0t − π / 2) +

A cos(2π3 f 0t − π / 2) 3 A A + cos(2π5 f 0t − π / 2) + cos(2π7 f 0t − π / 2) + .... 5 7

Dari persamaan ini, terlihat bahwa semua harmonisa mempunyai sudut fasa sama besar yaitu –π/2; amplitudonya menurun dengan meningkatnya frekuensi dengan faktor 1/n; tidak ada komponen konstan dan tidak ada harmonisa genap. Tabel amplitudo dan sudut fasa adalah seperti berikut.

91

Frekuensi: Amplitudo: Sudut Fasa:

0 0 -

f0 A -π/2

2f0 0 -

3f0 A/3 -π/2

4f0 0 -

5f0 A/5 -π/2

.. .. ..

nf0 A/n -π/2

Gb.7.6. berikut ini memperlihatkan bagaimana fungsi persegi dibangun dari harmonisa-harmonisanya.

a)

b)

c)

d)

e)

Gb.7.10. Uraian fungsi persegi. a). sinus dasar. b). harmonisa-3 dan sinus dasar + harmonisa-3. c). harmonisa-5 dan sinus dasar + harmonisa-3 + harmonisa-5. d). harmonisa-7 dan sinus dasar + harmonisa-3 + harmonisa-5 + harmonisa-7. e) hasil penjumlahan yang dilakukan sampai pada harmonisa ke-21. Lebar Pita. Dari contoh fungsi persegi di atas, terlihat bahwa dengan menambahkan harmonisa-harmonisa pada sinus dasarnya kita akan makin mendekati bentuk persegi. Penambahan ini dapat kita lakukan terus sampai ke suatu harmonisa tinggi yang memberikan bentuk fungsi yang kita anggap cukup memuaskan artinya cukup dekat dengan bentuk yang kita inginkan. Pada spektrum amplitudo, kita juga dapat melihat bahwa makin tinggi frekuensi harmonisa akan makin rendah amplitudonya. Hal ini tidak hanya berlaku untuk fungsi persegi saja melainkan berlaku secara umum. Oleh karena itu secara umum kita dapat menetapkan suatu batas

92 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

frekuensi tertinggi dari suatu fungsi periodik, dengan menganggap amplitudo harmonisa-harmonisa yang frekuensinya di atas frekuensi tertinggi ini dapat diabaikan. Batas frekuensi tertinggi tersebut dapat kita tetapkan, misalnya frekuensi harmonisa yang amplitudonya tinggal 2% dari amplitudo sinus dasar. Jika batas frekuensi tertinggi kita tetapkan, batas frekuensi terendah juga perlu kita tetapkan. Batas frekuensi terendah adalah frekuensi sinus dasar jika bentuk fungsi yang kita tinjau tidak mengandung komponen konstan. Jika mengandung komponen konstan maka frekuensi terendah adalah nol. Selisih dari frekuensi tertinggi dan terendah disebut lebar pita (band width).

93

Soal-Soal: Fungsi Sinus, Gabungan Sinus, Spektrum 1. Tentukan persamaan bentuk kurva fungsi sinus berikut ini dalam format cosinus y = A cos( x − x s ) : a). Amplitudo 10, puncak pertama terjadi pada x = 0, frekuensi siklus 10 siklus/skala. b). Amplitudo 10, puncak pertama terjadi pada x = 0,02, frekuensi siklus 10 siklus/skala. c). Amplitudo 10, pergeseran sudut fasa 0o, frekuensi sudut 10 rad/skala. d). Amplitudo 10, pergeseran sudut fasa +30o, frekuensi sudut 10 rad/skala. 2. Carilah spektrum amplitudo dan sudut fasa dari fungsi gabungan sinus berikut ini: y = 4 + 5 sin 2π2000t − 2 cos 2π4000t + 0,2 sin 2π8000t

Dengan mengambil batas amplitudo harmonisa tertinggi 5%, tentukan lebar pita fungsi ini. 3. Carilah spektrum amplitudo dan sudut fasa dari fungsi gabungan sinus berikut ini, dan tentukan juga lebar pita fungsi ini dengan mengambil batas amplitudo harmonisa tertinggi 5%. y = 3 cos(2π1000t − 60o ) - 2sin2 π2000t + cos2π8000t

4.

Carilah spektrum amplitudo dan sudut fasa dari fungsi gabungan sinus berikut ini, dan tentukan juga lebar pita fungsi ini dengan mengambil batas amplitudo harmonisa tertinggi 5%. y = 10 cos 100t + 2 cos 300t + cos 500t + 0.2 cos1500t + 0,02 cos 5000t

5.

Carilah spektrum amplitudo dan sudut fasa dari fungsi gabungan sinus berikut ini, dan tentukan juga lebar pita fungsi ini dengan mengambil batas amplitudo harmonisa tertinggi 5%. y = 10 + 10 cos 2π500t + 3 cos 2π1000t + 2 cos 2π1500t + 0,2 cos 2π2000t

94 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 8

Fungsi Logaritma Natural, Eksponensial, Hiperbolik

8.1. Fungsi Logarithma Natural. Definisi. Logaritma natural adalah logaritma dengan menggunakan basis bilangan e. Bilangan e ini, seperti halnya bilangan π, adalah bilangannyata dengan desimal tak terbatas. Sampai dengan 10 angka di belakang koma, nilainya adalah e = 2,7182818284 Bilangan e merupakan salah satu bilangan-nyata yang sangat penting dalam matematika: (8.1) ln e = 1

ln e a = a ln e = a

(8.2)

Kita lihat sekarang fungsi logaritma natural. Fungsi logaritma natural dari x dituliskan sebagai (8.3) y = ln x Fungsi ini didefinisikan melalui integral (mengenai integrasi akan kita pelajari pada Bab-12), yaitu

ln x =

∫1 t dt

x1

(8.4)

Di sini kita akan melihat definisi tersebut secara grafis di mana integral dengan batas tertentu seperti (8.4) berarti luas bidang antara fungsi 1/t dan sumbu-x yang dibatasi oleh t = 1 dan t = x . Perhatikan Gb.8.1. Nilai fungsi y = ln x adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva (1/t) dan sumbu-t, dalam rentang antara t = 1 dan t = x.
6 y 5 4 3 2 1 0 0 1 2 x 1/t ln x

t
3 4

Gb.8.1. Definisi ln x ditunjukkan secara grafis.

97

Kurva fungsi y = ln x dalam koordinat x-y adalah seperti pada Gb.8.2. Nilai ln x = 1 terjadi pada nilai x = e.
2

y 1,5
1 0,5 0 -0,5 -1 -1,5 -2 0 1 2

y = ln x

e

3

x

4

Gb.8.2. Kurva y = ln x. Sifat-Sifat. Sifat-sifat logaritma natural mirip dengan logaritma biasa. Jika x dan a adalah positif dan n adalah bilangan rasional, maka:

ln ax = ln a + ln x x ln = ln x − ln a; a ln x n = n ln x ln e = 1 ln e x = x ln x bernilai negatif untuk x < 1
(8.5)

Soal-Soal Dengan membagi luas bidang di bawah kurva (1/t) pada Gb.8.1 dalam segmen-segmen selebar ∆t = 0,1 dan mendekati luas segmen sebagai luas trapesium, hitunglah 1). ln 1,5 2). ln 2 ; 3). ln 0,5

98 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

8.2. Fungsi Eksponensial Antilogaritma dan Fungsi Eksponensial. Antilogaritma adalah inversi dari logaritma; kita melihatnya sebagai suatu fungsi x = ln y

(8.6)

Mengingat sifat logaritma sebagaimana disebutkan di atas, ekspresi ini ekivalen dengan

y = ex yang disebut fungsi eksponensial.

(8.7)

Fungsi eksponensial yang penting dan sering kita jumpai adalah fungsi eksponensial dengan eksponen negatif; fungsi ini dianggap mulai muncul pada x = 0 walaupun faktor u(x), yaitu fungsi anak tangga satuan, tidak dituliskan.

y = ae −bx ; x ≥ 0

(8.8)

Eksponen negatif ini menunjukkan bahwa makin besar bx maka nilai fungsi makin kecil. untuk suatu nilai b tertentu, makin besar x fungsi ini akan makin menurun. Makin besar b akan makin cepat penurunan tersebut. Dengan mengambil nilai a = 1, kita akan melihat bentuk kurva fungsi eksponensial (8.8) untuk beberapa nilai b, dalam rentang x ≥ 0 seperti terlihat pada Gb.8.3. Pada Gb.8.3. ini terlihat bahwa makin besar nilai b, makin cepat fungsi menurun. y 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 x 4 e− x e−2x

Gb.8.3. Perbandingan kurva y = e−x dan y = e−2x.

99

Penurunan kurva fungsi eksponensial ini sudah mencapai sekitar 36% dari nilai awalnya (yaitu nilai pada x = 0), pada saat x = 1/b. Pada saat x = 5b kurva sudah sangat menurun mendekati sumbu-x, nilai fungsi sudah di bawah 1% dari nilai awalnya. Oleh karena itu fungsi eksponensial biasa dianggap sudah bernilai nol pada x = 5/b. Persamaan umum fungsi eksponensial dengan amplitudo A adalah

y = Ae − at u (t )

(8.9)

Faktor u(t) adalah fungsi anak tangga satuan untuk menyatakan bahwa kita hanya meninjau keadaan pada t ≥ 0. Fungsi ini menurun makin cepat jika a makin besar. Didefinisikanlah

τ= sehingga (8.9) dituliskan

1 a

(8.10)

y = Ae −t / τu (t )

(8.11)

τ disebut konstanta waktu; makin kecil τ, makin cepat fungsi eksponensial menurun. Gabungan Fungsi Eksponensial. Gabungan fungsi eksponensial yang banyak dijumpai dalam rekayasa adalah eksponensial ganda yaitu penjumlahan dua fungsi eksponensial. Kedua fungsi mempunyai amplitudo sama tetapi berlawanan tanda; konstanta waktu dari keduanya juga berbeda. Persamaan fungsi gabungan ini adalah

y = A e −t / τ1 − e −t / τ 2 u (t )
Bentuk kurva dari fungsi ini terlihat pada Gb.8.4.

(

)

(8.12)

Fungsi ini dapat digunakan untuk memodelkan surja. Gelombang surja (surge) merupakan jenis pulsa yang awalnya naik dengan cepat sampai suatu nilai maksimum tertentu kemudian menurun dengan agak lebih lambat. Surja tegangan yang dibangkitkan untuk keperluan laboratorium berbentuk “mulus” namun kejadian alamiah yang sering dimodelkan dengan surja tidaklah mulus, misalnya arus terpaan petir.

100 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

5 A

y1 = Ae − t / τ1

y4
3 2 1 0

y 2 = Ae − t / τ 2 y = A e − t / τ1 − e − t / τ2

(

)

0

0

1

2

3

4

t/τ

5

Gb.8.4. Kurva gabungan dua fungsi eksponensial.

Soal-Soal 1. Gambarkan dan tentukan persamaan kurva fungsi eksponensial yang muncul pada x = 0 dan konstanta τ , berikut ini : a). ya = amplitudo 5, τ = 2. b). yb = amplitudo 10, τ = 2. c). yc = amplitudo −5, τ = 4. 2. Dari fungsi pada soal 10, gambarkanlah bentuk kurva fungsi berikut.

a). y d = y a + yb b). y e = y a + y c c). y f = y a + yb + y c
3. Gambarkanlah bentuk kurva fungsi berikut.

a). y1 = 10 1 − e −0,5 x u ( x) b). y 2 = 10 − 5e −0,2 x

{

{

} }u( x)

101

8.3. Fungsi Hiperbolik Definisi. Kombinasi tertentu dari fungsi eksponensial membentuk fungsi hiperbolik, seperti cosinus hiperbolik (cosh) dan sinus hiperbolik (sinh)

cosh v =

ev + e−v e v − e −v ; sinh v = 2 2

(8.13)

Persamaan (8.13) ini merupakan definisi dari cosinus hiperbolik dan sinus hiperbolik. Definisi ini mengingatkan kita pada fungsi trigonometri biasa cosinus dan sinus. Pada fungsi trigonometri biasa, jika x = cosθ dan y = sinθ maka fungsi sinus dan cosinus ini memenuhi persamaan “lingkaran satuan” (berjari-jari 1), yaitu

x 2 + y 2 = 1 = sin 2 θ + cos 2 θ .
Pada fungsi hiperbolik, jika x = cosh v dan y = sinh v, maka fungsifungsi ini memenuhi persamaan “hiperbola satuan”:

x2 − y2 = 1
Hal ini dapat kita uji dengan mensubstitusikan cosh v untuk x dan sinh v untuk y dan kita akan mendapatkan bahwa persamaan “hiperbola satuan” akan terpenuhi. Kita coba:

x 2 − y 2 = cosh 2 v − sinh 2 v =

e 2 v + 2 + e −2 v e 2 v − 2 + e −2 v 4 − = =1 4 4 4

Bentuk kurva fungsi hiperbolik satuan terlihat pada Gb. 8.5. dengan

x = cosh v =

ev + e−v e v − e −v ; y = sinh v = 2 2 y 4 3 2 1 0 -1 0 -2 -3 -4 v=∞ v=0 P[x,y] x 1 2 3 4

Gb.8.5. Kurva fungsi hiperbolik satuan. 102 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Jika kita masukkan

x = cosh v =

ev + e−v e v − e −v ; y = sinh v = 2 2

maka titik P[x,y] akan berada di bagian positif kurva tersebut. Karena ev selalu bernilai positif dan e−v = 1/ev juga selalu positif untuk semua nilai nyata dari v, maka titik P[x,y] selalu berada di bagian positif (sebelah kanan sumbu-y) kurva hiperbolik. Mirip dengan fungsi trigonometri, fungsi hiperbolik yang lain didefinisikan sebagai

tanh v =

sinh v e v − e −v = ; cosh v e v + e − v

coth v =

cosh v e v + e −v = sinh v e v − e − v

(8.14)

sech v =

1 2 = ; v cosh v e + e − v

csch v =

1 2 = v sinh v e − e − v

(8.15)

Identitas. Beberapa identitas fungsi hiperbolik kita lihat di bawah ini. 1). cosh 2 v − sinh 2 v = 1 . Identitas ini telah kita buktikan di atas. Identitas ini mirip dengan identitas fungsi trigonometri biasa. 2). 1 − tanh 2 v = sech 2v . Identitas ini diperoleh dengan membagi identitas pertama dengan cosh2v. 3). coth 2 v − 1 = csch 2 v . Identitas ini diperoleh dengan membagi identitas pertama dengan sinh2v. 4). cosh v + sinh v = eu . Ini merupakan konsekuensi definisinya. 5).

cosh v − sinh v = e −u . definisinya.

Ini

juga

merupakan

konsekuensi

103

Kurva-Kurva Fungsi Hiperbolik. Gb.8.6 berikut ini memperlihatkan kurva fungsi-fungsi hiperbolik. y 4 3 2

1 x e 2
-2 -1

1 0 -1 -2 -3 -4 0

y = sinh x
1 2 x



1 −x e 2

(a)
4

y = cosh x
3 2 1 0 -2 -1 -1 0

y

y = sech x
1 x 2

b) y = cosh x
4 y 3 2

1 x e 2
-2 -1

1 0 -1 -2 -3 -4 0

y = sinh x
1 2 x

c)

104 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

y

4 3 2 1 0

y = coth x

y = tanh x
0 1

-2

-1

x

-1 -2 -3 -4

2

y = coth x

d) y 4 3 2 1 0 -2 -1 -1 -2 0 1 x

y = cschx y = sinh x

2

y = cschx

-3 -4

e) Gb.8.6. Kurva-kurva fungsi hiperbolik.

105

Soal-Soal 1). Turunkan relasi sinh(u + v) dan cosh(u + v) . 2). Diketahui sinh v = −3 / 4 . Hitung cosh v, coth v, dan csch v. 3). Diketahui sinh v = −3 / 4 . Hitung cosh v, tanhv, dan sech v.

106 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 9

Koordinat Polar

9.1. Relasi Koordinat Polar dan Koordinat Sudut-siku Pada pernyataan posisi satu titik P[xP,yP] pada sistem koordinat sudutsiku terdapat hubungan

yP = r sin θ ; xP = r cos θ

(9.1)

dengan r adalah jarak antara titik P dengan titik-asal [0,0] dan θ adalah sudut yang dibentuk oleh arah r dengan sumbu-x, seperti terlihat pada Gb. 17.1. y yP r θ [0,0]

P[r,θ]

xP

x

Gb.9.1. Posisi titik P pada sistem koordinat polar. Dalam koordinat polar, r dan θ inilah yang digunakan untuk menyatakan posisi titik P. Posisi titik P seperti pada Gb. 17.1. dituliskan sebagai P[r,θ]. 17.2. Persamaan Kurva Dalam Koordinat Polar Di Bab-5 kita telah melihat persamaan lingkaran berjari-jari c berpusat di O[a,b] dalam koordinat sudut-siku, yaitu

( x − a ) 2 + ( y − b) 2 = c 2
Kita dapat menyatakan lingkaran ini dalam koordinat polar dengan mengganti x dan y menurut relasi (9.1), yaitu

(r cos θ − a) 2 + (r sin θ − b) 2 = c 2 yang dapat dituliskan sebagai

(9.2.a)

107

(r 2 cos 2 θ − 2ra cos θ + a 2 ) + (r 2 sin 2 θ − 2rb sin θ + b 2 ) − c 2 = 0 r (r − 2(a cos θ + b sin θ) ) + a 2 + b 2 − c 2 = 0 dengan bentuk kurva seperti Gb.9.2.a Jika lingkaran ini berjari-jari c = a dan berpusat di O[a,0] maka persamaan (9.2.b) menjadi r (r − 2a cos θ) = 0

(r

2

− 2r (a cos θ + b sin θ) + a 2 + b 2 − c 2 = 0

)

(9.2.b)

(9.2.c)

Pada faktor pertama, jika kita mengambil r = 0 , kita menemui titik pusat. Faktor ke-dua adalah

r − 2a cos θ = 0

(9.2.d)

merupakan persamaan lingkaran dengan bentuk kurva seperti pada Gb.9.2.b. y P[r,θ] y P[r,θ] r b θ [0,0] a x a [0,0] θ x r

(a) Gb.9.2. Lingkaran

(b)

Berikut ini tiga contoh bentuk kurva dalam koordinat bola. Contoh: r = 2(1 − cos θ) . Bentuk kurva fungsi ini terlihat pada Gb.9.3 yang disebut kardioid (cardioid) karena bentuk yang seperti hati.

108 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

3 P[r,θ] r 1 0 -5 -3 -1 -1 -2 -3 θ 2

y

1 x

Gb.9.3 Kurva kardioid, r = 2(1 − cos θ) Perhatikan bahwa pada θ = 0, r = 0; pada θ = π/2 , r = 2; pada θ = π, r = 4; pada θ = 1,5π, r = 2. Contoh: r 2 = 16 cos θ . Bentuk kurva fungsi ini terlihat pada Gb.9.4
3 2 1 0 -5 -3 -1 -1 -2 -3 1 3 r θ x 5 y P[r,θ]

Gb.9.4 Kurva r 2 = 16 cos θ Perhatikan bahwa pada θ = 0, r = 4; pada θ = π/2 , r = 0; pada θ = π, r = 4; pada θ = 1,5π, r = 0. Contoh: rθ = 2 . Untuk θ > 0 bentuk kurva fungsi ini terlihat pada Gb.9.5

109

2 y 1,5 1 0,5 0 -0,5 θ = π θ = 3π -1 -1 0 r θ

y=2 P[r,θ]

1 θ = 4π θ = 2π

2

x

3

Gb.9.5 Kurva rθ = 2

Pada persamaan kurva ini jika θ = 0 maka 0 = 2; suatu hal yang tidak benar. Ini berarti bahwa tidak ada titik pada kurva yang bersesuaian dengan θ = 0. Akan tetapi jika θ mendekati nol maka r mendekati ∞; garis y = 2 merupakan asimptot dari kurva ini. Perhatikanlah bahwa perpotongan kurva dengan sumbu-x tidak berarti θ = 0 dan terjadi pada θ = π, 2π, 3π, 4π, dst. 17.3. Persamaan Garis Lurus Salah satu cara untuk menyatakan persamaan kurva dalam koordinat polar adalah menggunakan relasi (9.1) jika persamaan dalam koordinat sudut-siku diketahui. Hal ini telah kita lakukan misalnya pada persamaan lingkaran (9.2.a) menjadi (9.2.b) atau (9.2.c). Berikut ini kita akan menurunkan persamaan kurva dalam koordinat polar langsung dari bentuk / persyaratan kurva. Gb.9.6 memperlihatkan kurva dua garis lurus l1 sejajar sumbu-x dan l2 sejajar sumbu-y. y l1 P[r,θ] r O θ a x b O y l2 r θ x P[r,θ]

Gb.9.6 Garis lurus melalui titik-asal [0,0]. Garis l1 berjarak a dari titik-asal; setiap titik P yang berada pada garis ini harus memenuhi

110 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

r cos θ = a
Inilah persamaan garis l1.

(9.3)

Garis l2 berjarak b dari titik-asal; setiap titik P yang berada pada garis ini harus memenuhi

r sin θ = b
Inilah persamaan garis l2.

(9.4)

Kita lihat sekarang garis l3 yang berjarak a dari titik asal dengan kemiringan positif seperti terlihat pada Gb.9.7. Karena garis memiliki kemiringan tertentu maka sudut antara garis tegak-lurus ke l3, yaitu β juga tertentu. Kita manfaatkan β untuk mencari persamaan garis l3. Jika titik P harus terletak pada l3 maka r cos(β − θ) = a

(9.5)

Inilah persamaan garis l3. y l3 A α a O β r θ x P[r,θ]

Gb.9.7. Garis lurus l3 berjarak a dari [0,0], memiliki kemiringan positif. Jika kita bandingkan persamaan ini dengan persamaan (9.3) terlihat bahwa persamaan (9.5) ini adalah bentuk umum dari (9.3), yang akan kita peroleh jika kita melakukan perputaran sumbu. Jika perputaran kita lakukan sedemikian rupa sehingga memperoleh kemiringan garis positif, maka akan kita peroleh persamaan garis seperti (9.5). Apabila perputaran sumbu kita lakukan sehingga garis yang kita hadapi, l4, memiliki kemiringan negatif, seperti pada Gb.9.8., maka persamaan garis adalah r cos(θ − β) = a

(9.6)

111

y P[r,θ] r a β O θ x l4

Gb.9.8. Garis lurus l4 berjarak a dari [0,0], kemiringan negatif. 17.4. Parabola, Elips, Hiperbola Ketiga bangun geometris ini telah kita lihat pada Bab-5 dalam koordinat sudut-siku. Kita akan melihatnya sekarang dalam koordinat polar. Eksentrisitas. Pengertian sehari-hari dari istilah eksentrik adalah menyimpang dari yang umum. Dalam matematika, eksentrisitas adalah rasio antara jarak suatu titik P terhadap titik tertentu dengan jarak antara titik P terhadap garis tertentu. Titik tertentu itu disebut titik fokus dan garis tertentu itu disebut direktriks; kedua istilah ini telah kita kenal pada waktu pembahasan mengenai parabola di Bab-5. Sesungguhnya, dengan pengertian eksentrisitas ini kita dapat membahas sekaligus parabola, elips, dan hiperbola. Perhatikan Gb.9.8. Jika es adalah eksentrisitas, maka

es =
D

PF PD y P[r,θ] r θ

(9.7)

A k direktriks

F

B

x

Gb.9.8. Titik fokus dan garis direktriks. Jika kita mengambil titik fokus F sebagai titik asal, maka

PF = r

112 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

dan dengan (9.7) menjadi r = es PD ; sedangkan

PD = AB = AF + FB = k + r cos θ sehingga r = es (k + r cos θ) = es k + es r cos θ Dari sini kita dapatkan

r=

es k 1 − es cos θ

(9.8)

Nilai es menentukan persamaan bangun geometris yang kita akan peroleh. Parabola. Jika es = 1 , yang berarti PF = PD, maka

r=

k 1 − cos θ

(9.9)

Inilah persamaan parabola. Perhatikan bahwa jika θ mendekati nol, maka r mendekati tak hingga. Jika θ = π/2 maka r = k. Jika θ = π titik P akan mencapai puncak kurva dan r = k/2, yang berarti bahwa puncak parabola berada di tegah-tengah antara garis direktriks dan titik fokus. Hal ini telah kita lihat di Bab-5. Elips. Jika es < 1, misalnya es = 0,5 , PF = PD/2, maka k r= 2 − cos θ Inilah persamaan elips. Perhatikan bahwa karena −1 ≤ cos θ ≤ +1 maka penyebut pada persamaan (9.10) tidak akan pernah nol. Oleh karena itu r selalu mempunyai nilai untuk semua nilai θ. Jika θ = 0 maka r = k, titik P mencapai jarak terjauh dari F. dan jika θ = π/2 maka r = k/2 . Jika θ = π maka r = k/3, titik P mencapai jarak terdekat dengan F. Hiperbola. Jika es > 1 , misal es = 2 , berarti PF = 2 × PD , maka

(9.10)

r=

2k 1 − 2 cos θ

(9.11)

Inilah persamaan hiperbola. 113

Jika θ mendekati π/3 maka r menuju tak hingga. Jika θ = π / 2 maka r = 2k. Jika θ = π , titik P ada di puncak kurva, dan r = k/3 = PF. 17.4. Lemniskat dan Oval Cassini Di laut Aegea di hadapan selat Dardanella, terdapat sebuah pulau yang penting dalam mitologi Yunani yaitu pulau Lemnos atau Limnos. Pulau vulkanik ini berbentuk tak beraturan dengan dua teluk yang menjorok dalam ke daratan di pantai utara dan pantai selatan. Giovanni Domenico Cassini dikenal juga dengan nama Jean Dominique Cassini (1625 – 1712) adalah astronom Italia. Cassini menemukan empat di antara sembilan atau sepuluh satelit planet Saturnus. Ia pula yang menemukan celah cincin Saturnus, antara cincin terluar dengan cincin ke-dua yang paling terang; celah itu kemudian disebut Cassini’s division. Bangun-geometris yang disebut lemniskat dan oval Cassini merupakan situasi khusus dari kurva yang merupakan tempat kedudukan titik-titik yang hasil kali jaraknya terhadap dua titik tertentu bernilai konstan. Misalkan dua titik tertentu tersebut adalah F1[a,π] dan F2[a,0]. Lihat Gb.9.9. θ = π/2 r θ=π F1[a,π] θ F2[a,0] θ=0 P[r,θ]

Gb.9.9. Menurunkan persamaan kurva dengan persyaratan PF1×PF2 = konstan Dari Gb.9.9. kita dapatkan

(PF1 )2 = (r sin θ)2 + (a + r cos θ)2
= r 2 + a 2 + 2ar cos θ

(PF2 )2 = (r sin θ)2 + (a − r cos θ)2
= r 2 + a 2 − 2ar cos θ
Misalkan hasil kali PF1 × PF2 = b 2 , maka kita peroleh relasi

114 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

b 4 = r 2 + a 2 + 2ar cos θ × r 2 + a 2 − 2ar cos θ = r 4 + a 4 + 2a 2 r 2 − (2ar cos θ) 2 = r + a + 2a r (1 − 2 cos θ)
4 4 2 2 2

(

)(

)
(9.12)

Kita manfaatkan identitas trigonometri

cos 2θ = cos 2 θ − sin 2 θ = 2 cos 2 θ − 1 untuk menuliskan (9.12) sebagai

b 4 = r 4 + a 4 − 2a 2 r 2 cos 2θ

(9.13)

Jika b kita buat ber-relasi dengan a yaitu b = ka maka persamaan (9.13) ini dapat kita tuliskan

0 = r 4 − 2a 2 r 2 cos 2θ + a 4 (1 − k 4 )
Untuk r > 0, persamaan ini menjadi

r 2 = a 2 cos 2θ ± a 2 cos 2 2θ − (1 − k 4 )

(9.14)

Lemniskat. Bentuk kurva yang disebut lemniskat ini diperoleh pada kondisi khusus (9.14) yaitu k = 1, yang berarti b = a atau PF1 × PF2 = a 2 . Pada kondisi ini persamaan (9.14) menjadi

0 = r 2 (r 2 − 2a 2 cos 2θ)
Faktor pertama r = 0 akan memberikan sebuah titik. Faktor yang ke-dua memberikan persamaan

r 2 = 2a 2 cos 2θ
Dengan mengambil a = 1, kurva dari persamaan ini terlihat pada Gb.9.10.

115

θ = π/2 0,6 0,2 -1,5 -1 -0,5 0 -0,2 -0,6 0 0,5 1

θ=π

θ=0 1,5

Gb.9.10. Kurva persamaan (9.14), k = 1 = a. Bentuk lemniskat masih akan diperoleh pada k > 1, misalnya k = 1,1. Pada keadaan ini, dengan tetap mengambil a = 1, bentuk kurva yang akan diperoleh terlihat seperti pada Gb.9.11. θ = π/2 1,5 1 0,5 θ=π -2 -1 -0,5 -1 -1,5 0 0 1 θ=0 2

Gb.9.11. Kurva persamaan (9.14), k = 1,1 & a = 1. Oval Cassini. Kondisi khusus yang ke-tiga adalah k < 1, misalkan k = 0,8. Dengan tetap mengambil a = 1, bentuk kurva yang diperoleh adalah seperti pada Gb.9.12, yang disebut “oval Cassini”. Kurva ini terbelah menjadi dua bagian, mengingatkan kita pada Cassini’s division di planet Saturnus.

116 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

θ = π/2 1,5 1 0,5 θ=π -2 -1 -0,5 -1 -1,5 0 0 1 θ=0 2

Gb.9.12. Kurva persamaan (9.14), k = 0,8 & a = 1. 17.5. Luas Bidang Dalam Koordinat Polar Kita akan menghitung luas bidang yang dibatasi oleh suatu kurva dan dua garis masing-masing mempunyai sudut kemiringan α dan β. Lihat Gb.9.12 y θ=β

∆θ

θ

θ=α x

Gb.9.12. Mencari luas bidang antara kurva dan dua garis. Antara α dan β kita bagi dalam n segmen. β−α ∆θ = n Luas setiap segmen bisa didekati dengan luas sektor lingkaran. Antara θ dan (θ + ∆θ) ada suatu nilai θk sedemikian rupa sehingga luas sektor lingkaran adalah

Ak = (rk 2 ∆θ) / 2
Luas antara θ = α dan θ = β menjadi

117

Aαβ =

∑ (rk 2 ∆θ) / 2 = ∑ ( f (θk ))2 ∆θ / 2
∑ (rk 2∆θ) / 2 = ∆lim0 ∑ [ f (θ)]2 ∆θ / 2 θ→
2

Jika n menuju ∞, ∆θ menuju nol, kita dapat menuliskan luas bidang menjadi

Aαβ = lim = atau ∆θ → 0 1 β

2

∫α [ f (θ)] dθ
Aαβ =

∫α 2 dθ

β r2

(9.15)

118 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 10

Turunan Fungsi Polinom

10.1. Pengertian Dasar Kita telah melihat bahwa apabila koordinat dua titik yang terletak pada suatu garis lurus diketahui, misalnya [x1,y1] dan [x2,y2], maka kemiringan garis tersebut dinyatakan oleh persamaan

m=

∆y ( y2 − y1 ) = ∆x ( x2 − x1 )

(10.1)

Untuk garis lurus, m bernilai konstan dimanapun titik [x1,y1] dan [x2,y2] berada. Bagaimanakah jika yang kita hadapi bukan garis lurus melainkan garis lengkung? Perhatikan Gb.10.1. y y = f(x) P2 ∆y P1 ∆x x y y = f(x)

(a)

P′2 P1 ∆x′ ∆y′

(b) Gb.10.1. Tentang kemiringan garis. Pada Gb.10.1.a. ∆y/∆x merupakan kemiringan garis lurus P1P2 dan bukan kemiringan garis lengkung y = f(x). Jika ∆x kita perkecil, seperti terlihat pada GB.10.1.b., ∆y/∆x menjadi ∆y′/∆x′ yang merupakan kemiringan garis lurus P1P′2. Jika ∆x terus kita perkecil maka kita dapatkan

x

119

kemiringan garis lurus yang sangat dekat dengan titik P1, dan jika ∆x mendekati nol maka kita mendapatkan kemiringan garis singgung kurva y di titik P1. Jadi jika kita mempunyai persamaan garis y = f (x) dan melihat pada suatu titik tertentu [x,y], maka pada kondisi dimana ∆x mendekati nol, persamaan (10.1) dapat kita tuliskan
∆x → 0

lim

∆y f ( x + ∆x ) − f ( x ) = lim = f ′( x) ∆x ∆x →0 ∆x

(10.2)

f ′(x) merupakan fungsi dari x karena untuk setiap posisi titik yang kita tinjau f ′(x) memiliki nilai berbeda; f ′(x) disebut fungsi turunan dari f (x) , dan kita tahu bahwa dalam hal garis lurus, f ′(x) bernilai konstan dan merupakan kemiringan garis lurus tersebut. Jadi formulasi (10.1) tidak hanya berlaku untuk garis lurus. Jika ∆x mendekati nol, maka ia dapat diaplikasikan juga untuk garis lengkung, dengan pengertian bahwa kemiringan m adalah kemiringan garis lurus yang menyinggung kurva lengkung di titik [x,y]. Perhatikan Gb. 11.2. y (x2,y2)

(x1,y1)

x

Gb.10.2. Garis singgung pada garis lengkung. Jika fungsi garis lengkung adalah y = f (x) maka f ′(x) pada titik [x1,y1] adalah kemiringan garis singgung di titik [x1,y1], dan f ′(x) di titik (x2,y2) adalah kemiringan garis singgung di [x2,y2]. Bagaimana mencari f ′(x) akan kita pelajari lebih lanjut.

∆y seperti yang dinyatakan oleh ∆x (10.2) benar ada, fungsi f(x) memiliki turunan di titik tersebut dan dikatakan sebagai “dapat didiferensiasi di titik tersebut” dan nilai
Jika pada suatu titik x1 di mana lim
∆x → 0

120 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

∆y merupakan nilai turunan di titik tersebut (ekivalen dengan ∆x → 0 ∆x kemiringan garis singgung di titik tersebut). lim
Persamaan (10.2) biasanya ditulis

dy d ∆y = ( y ) = lim dx dx ∆ x → 0 ∆x f ( x + ∆x ) − f ( x ) = lim = f ′( x) ∆x ∆x → 0

(10.3)

dy kita baca “turunan terhadap x dari fungsi y”, atau “turunan fungsi y dx terhadap x”. Penurunan ini dapat dilakukan jika y memang merupakan fungsi x. Jika tidak, tentulah penurunan itu tidak dapat dilakukan. Misalnya y merupakan fungsi t , y = f (t ) ; maka penurunan y hanya bisa dilakukan terhadap t, tidak terhadap x. y′ =
10.2. Fungsi Mononom Kita lihat uraian-uraian berikut ini. 1). y0 = f ( x) = k , bernilai konstan. Di sini

dy df (t ) = = f ′(t ) dt dt

′ y0 = lim
2). y1 = f1 ( x) = 2 x

∆x → 0

f ( x + ∆x) − f ( x) 0 = =0 ∆x ∆x

⇒ f1′( x) = lim 2( x + ∆x) − 2 x = 2∆x = 2 ∆x → 0 ∆x ∆x

121

10 y 8 6 4 2 0 0 1 2 3 x 4 5

f 1 ( x) = 2 x f1′( x) = 2

Gb.10.3. Fungsi mononom y = 2x dan turunannya. Kurva f1′( x) membentuk garis lurus sejajar sumbu-x; ia bernilai konstan 2 untuk semua x. 3). y2 = f 2 ( x) = 2 x 2

′ f 2 ( x) = lim

2( x + ∆x) 2 − 2 x 2 2( x 2 + 2 x∆x + ∆x 2 ) − 2 x 2 = lim ∆x ∆x ∆x → 0 ∆x → 0 = lim (2 × 2 x + 2∆x) = 4 x
∆x → 0

Turunan fungsi ini membentuk kurva garis lurus dengan kemiringan 4. 4). y3 = f 3 ( x) = 2 x 3
′ f 3 ( x) = lim = lim 2 ( x + ∆x ) 3 − 2 x 3 ∆x → 0 ∆x

2( x 3 + 3 x 2 ∆x + 3 x∆x 3 + ∆x 3 ) − 2 x 3 ∆x → 0 ∆x
∆x → 0

= lim 2 × 3 x 2 + 2 × 3 x∆x 2 + 2∆x 2 = 6 x 2

Turunan fungsi ini membentuk kurva parabola.

122 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

5). Secara umum, turunan mononom

y = f ( x ) = mx n adalah (10.4) (10.5)

y′ = (m × n) x ( n −1)

Jika n pada (10.4) bernilai 1 maka kurva fungsi y = f (x) akan berbentuk garis lurus dan turunannya akan berupa nilai konstan,

y′ = f ′( x) = k
Jika n > 1, maka turunan fungsi akan merupakan fungsi x, y′ = f ′(x) . Dengan demikian maka fungsi turunan ini dapat diturunkan lagi dan kita mendapatkan fungsi turunan berikutnya y′′ = f ′′(x) yang mungkin masih juga merupakan fungsi x dan masih dapat diturunkan lagi untuk memperoleh fungsi turunan berikutnya lagi

y′′′ = f ′′′(x) dan demikian seterusnya. y ′ = f ′( x) = y ′′ = f ′′( x) = y ′′′ = f ′′′( x) =

dy kita sebut turunan pertama, dx d 2 y turunan kedua, dx 2 d 3 y turunan ke-tiga, dst. dx 3

Contoh: y4 = f 4 ( x) = 2 x 3 ′ y4 = 2(3) x (3−1) = 6 x 2 ; ′′ y4 = 6(2) x (2 −1) = 12 x; ′′ y4′ = 12

6) Dari (10.4) dan (10.5) kita dapat mencari titik-potong antara kurva suatu fungsi dengan kurva fungsi turunannya. Fungsi mononom

y = f ( x ) = mx n

memiliki

turunan

y′ = (m × n) x ( n −1) . Koordinat titik potong P antara kurva mononom f(x) dengan turunan pertamanya diperoleh dengan

123

y = y′ → mx n = (m × n) x ( n −1) n ⇒ xP = n dan yP = mxP Koordinat titik potong kurva mononom dengan kurva-kurva turunan selanjutnya dapat pula dicari.

Gb.10.4. memperlihatkan kurva mononom y = x 4 dan turunanturunannya y′ = 4x 3 , y′′ = 12x 2 , y′′′ = 24 x , y′′′′ = 24 .

200

y ′′ = 12x 2 y ′ = 4x 3 y ′′′ = 24 x y ′′′′ = 24
0 1 2 3 4

y = x4
100

y ′′ = 12x 2
0 -3 -2 -1 -100

y ′ = 4x 3

Gb.10.4. Mononom dan fungsi turunan-nya. 10.3. Fungsi Polinom Polinom merupakan jumlah terbatas dari mononom. Kita lihat contohcontoh berikut. 1). y1 = f1 ( x) = 4 x + 2

f1′( x) = lim

∆x → x

{4( x + ∆x) + 2} − {4 x + 2} = 4
∆x

Kurva fungsi ini dan turunannya terlihat pada Gb.10.5.

124 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

10 y 8 6 4 2 0 -1 -0,5 -2 -4 0 0,5

f1(x) = 4x + 2

f1′(x) = 4

1

1,5 x

2

Gb.10.5. f1(x) = 4x + 2 dan turunannya. Suku yang bernilai konstan pada f1(x), berapapun besarnya, positif maupun negatif, tidak memberikan kontribusi dalam fungsi turunannya. 2). y2 = f 2 ( x) = 4( x − 2) ⇒ f 2 ( x) = 4 x − 8 ⇒ f 2 ( x) = 4 ′
10 y 5 0 -1 -5 -10 -15 0 1 2 3 x 4

′ f 2 ( x) = 4

f 2 ( x ) = 4( x − 2)

Gb.10.6. f2(x) = 4(x – 2) dan turunannya. 3). y3 = f 3 ( x) = 4 x 2 + 2 x − 5

′ y3 = lim

+ 2( x + ∆x ) − 5 − 4 x 2 + 2 x − 5 ∆x → 0 ∆x = 4 × 2x + 2 = 8x + 2
2

{4( x + ∆x)

}{

}
}

4). y4 = f 4 ( x) = 5 x3 + 4 x 2 + 2 x − 5
′ y4 = lim

{5( x + ∆x)

3

∆x → 0

+ 4( x + ∆x) 2 + 2( x + ∆x) − 5 − 5 x 3 + 4 x 2 + 2 x − 5 ∆x

}{

= 5 × 3 x 2 + 4 × 2 x + 2 = 15 x 2 + 8 x + 2

125

5) Secara Umum: Turunan suatu polinom, yang merupakan jumlah beberapa mononom, adalah jumlah turunan masing-masing mononom dengan syarat setiap mononom yang membentuk polinom itu memang memiliki turunan. 10.4. Nilai Puncak Kita telah melihat bahwa turunan fungsi di suatu nilai x merupakan kemiringan garis singgung terhadap kurva fungsi di titik [x,y]. Jika titik [xp,yp] adalah titik puncak suatu kurva, maka garis singgung di titik [xp,yp] tersebut akan berupa garis mendatar yang kemiringannya nol. Dengan kata lain posisi titik puncak suatu kurva adalah posisi titik di mana turunan pertama fungsi bernilai nol. Polinom Orde Dua. Kita ambil contoh fungsi polinom orde dua (fungsi kuadrat):

y = 2 x 2 + 15 x + 13
Turunan pertama fungsi ini adalah y′ = 4 x + 15 Jika kita beri y ′ = 0 maka kita dapatkan nilai xp dari titik puncak yaitu xp = −(15/4) = −3,75 Jika nilai xp ini kita masukkan ke fungsi asalnya, maka akan kita dapatkan nilai puncak yp.

y p = 2 x p 2 + 15 x p + 13 = 2(-3,75)2 + 15 × (−3,75) + 13 = −15,125
Secara umum, xp dari fungsi kuadrat y = ax 2 + bx + c dapat diberoleh dengan membuat

y′ = 2ax + b = 0 sehingga diperoleh

(10.6)

xp = −

b 2a

(10.7)

126 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Nilai puncak, yp dari fungsi kuadrat y = ax 2 + bx + c dapat diperoleh dengan memasukkan xp

y p = ax p 2 + bx p + c = −

b2 b 2 − 4ac +c=− 4a 4a

(10.8)

Maksimum dan Minimum. Bagaimanakah secara umum menentukan apakah suatu nilai puncak merupakan nilai minimum atau maksimum? Kita manfaatkan karakter turunan kedua di sekitar nilai puncak. Lihat Gb.10.7.
P y

y′ y′ Q x

Gb.10.7. Garis singgung di sekitar titik puncak. Turunan pertama di suatu titik pada kurva adalah garis singgung pada kurva di titik tersebut. Di sekitar titik maksimum, mulai dari kiri ke kanan, kemiringan garis singgung terus menurun sampai menjadi nol di titik puncak kemudian menjadi negatif. Ini berarti turunan pertama y′ di sekitar titik maksimum terus menurun dan berarti pula turunan kedua di titik maksimum bernilai negatif. Sebaliknya, di sekitar titik minimum, mulai dari kiri ke kanan, kemiringan garis singgung terus meningkat sampai menjadi nol di titik puncak kemudian menjadi positif. Ini berarti turunan pertama y′ di sekitar titik minimum terus menurun dan berarti pula turunan kedua di titik minimum bernilai positif. Jadi apabila turunan kedua di titik puncak bernilai negatif, titik puncak tersebut adalah titik maksimum. Apabila turunan kedua di titik puncak bernilai positif, titik puncak tersebut adalah titik minimum.

127

Dalam kasus fungsi kuadrat y = ax 2 + bx + c , turunan pertama adalah y′ = 2ax + b dan turunan kedua adalah y′′ = 2a . Jadi pada fungsi kuadrat, apabila a bernilai positif maka ia memiliki nilai minimum; jika a negatif ia memiliki nilai maksimum. Contoh: Kita lihat kembali contoh fungsi kuadrat yang dibahas di atas.

y = 2 x 2 + 15 x + 13
Nilai puncak fungsi ini adalah y p = −15,125 dan ini merupakan nilai minimum, karena turunan keduanya y′′ = 4 adalah positif. Lihat pula Gb.10.5.c. Contoh: Kita ubah contoh di atas menjadi:

y = −2 x 2 + 15 x + 13
Turunan pertama fungsi menjadi

y′ = −4 x + 15 , yang jika y′ = 0 memberi x p = +3,75
Nilai puncak adalah

y p = −2(3,75)^ 2 + 15 × 3,75 + 13 = +41,125
Turunan kedua adalah y′′ = −4 bernilai negatif. Ini berarti bahwa nilai puncak tersebut adalah nilai maksimum. Contoh: Dua buah bilangan positif berjumlah 20. Kita diminta menentukan kedua bilangan tersebut sedemikian rupa sehingga perkaliannya mencapai nilai maksimum, sementara jumlahnya tetap 20. Jika salah satu bilangan kita sebut x maka bilangan yang lain adalah (20−x). Perkalian antara keduanya menjadi

y = x(20 − x) = 20 x − x 2
Turunan pertama yang disamakan dengan nol akan memberikan nilai x yang memberikan ypuncak.

y′ = 20 − 2 x = 0 memberikan x = 10 dan nilai puncaknya adalah 128 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

y puncak = 200 − 100 = 100
Turunan kedua adalah y′′ = −2 ; ia bernilai negatif. Jadi ypuncak yang kita peroleh adalah nilai maksimum; kedua bilangan yang dicari adalah 10 dan (20−10) = 10. Kurva dari fungsi dalam contoh ini terlihat pada Gb.10.8. y 120 100 80 60 40 20 0 -5 -20 -40 Gb.11.8. Kurva 0 5 10 15 20 x 25

y = x(20 − x)

Kurva tersebut memotong sumbu-x di

y = x(20 − x) = 0 ⇒ x1 = 0 dan x2 = 20
Dalam contoh di atas kita memperoleh hanya satu nilai maksimum; semua nilai x yang lain akan memberikan nilai y dibawah nilai maksimum ypuncak yang kita peroleh. Nilai maksimum demikian ini kita sebut nilai maksimum absolut. Jika seandainya ypuncak yang kita peroleh adalah nilai minimum, maka ia akan menjadi minimum absolut, seperti pada contoh berikut. Contoh: Dua buah bilangan positif berselisih 20. Kita diminta menentukan kedua bilangan tersebut sedemikian rupa sehingga perkaliannya mencapai nilai minimum, sementara selisihnya tetap 20. Jika salah satu bilangan kita sebut x (positif) maka bilangan yang lain adalah (x + 20). Perkalian antara keduanya menjadi

y = x( x + 20) = x 2 + 20 x
129

Turunan pertama yang disamakan dengan nol akan memberikan nilai x yang memberikan ypuncak.

y′ = 2 x + 20 = 0 sehingga x = −10 dan nilai puncak adalah

y puncak = 100 − 200 = −100
Turunan kedua adalah y′′ = +2 ; ia bernilai positif. Jadi ypuncak yang kita peroleh adalah nilai minimum; kedua bilangan yang dicari adalah −10 dan (−10+20) = +10. Kurva fungsi dalam contoh ini terlihat pada Gb.10.9. y 40 20 -25 -20 -15 -10 0 -5 -20 0 -40 -60 -80 -100 -120 x 5

Gb.10.9. Kurva y = x( x + 20) Polinom Orde Tiga. Fungsi pangkat tiga diberikan secara umum oleh

y = ax3 + bx 2 + cx + d
Turunan dari (10.29) adalah

(10.10)

y′ = 3ax 2 + 2bx + c
Dengan membuat y ′ = 0 kita akan mendapatkan xp.

(10.11)

y′ = 0 = 3ax p 2 + 2bx p + c
Ada dua posisi nilai puncak, yaitu

130 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

x p1 , x p 2 = =

− 2b ± 4b 2 − 12ac 6a
2

(10.12)

− b ± b − 3ac 3a

Dengan memasukkan xp1 dan xp2 ke penyataan fungsi (10.11) kita peroleh nilai puncak yp1 dan yp2. Namun bila xp1 = xp2 berarti dua titik puncak berimpit atau kita sebut titik belok. Contoh: Kita akan mencari di mana letak titik puncak dari kurva fungsi

y = 2 x 3 − 3x 2 + 3 dan apakah nilai puncak merupakan nilai minimum atau maksimum.
Jika turunan pertama fungsi ini kita samakan dengan nol, akan kita peroleh nilai x di mana puncak-puncak kurva terjadi.

y′ = 6 x 2 − 6 x = 6 x( x − 1) = 0 memberikan x = 0 dan x =1
Memasukkan nilai x yang diperoleh ke persamaan asalnya memberikan nilai y, yaitu nilai puncaknya.

x = 0 memberikan x = 1 memberikan

y puncak = +3 y puncak = +2

Jadi posisi titik puncak adalah di P[0,3] dan Q[1,2]. Apakah nilai puncak ypuncak minimum atau maksimum kita lihat dari turunan kedua dari fungsi y

y′′ = 12 x − 6 Untuk x = 0 ⇒ y′′ = −6 Untuk x = 1 ⇒ y′′ = +6
Jadi nilai puncak di P[0,3] adalah suatu nilai maksimum, sedangkan nilai puncak di Q[1,2] adalah minimum. Kurva dari fungsi dalam contoh ini terlihat pada Gb.10.10.

131

y

15 10 5 0 P[0,3] Q[1,2] R

-2

-1,5

-1

-0,5

-5

0

0,5 ys

1

1,5

2 x 2,5

-10 -15 -20

Gb.10.10. Kurva y = 2 x3 − 3x 2 + 3 dan garis singgung di R. 10.5. Garis Singgung Persamaan garis singgung pada titik R yang terletak di kurva suatu fungsi y = f (x) secara umum adalah y s = mx dengan kemiringan m adalah turunan pertama fungsi di titik R. Contoh: Lihat fungsi y = 2 x 3 − 3x 2 + 3 yang kurvanya diberikan pada Gb.10.10. Turunan pertama adalah y′ = 6 x 2 − 6 x = 6 x( x − 1) . Titik R dengan absis xR = 2 , memiliki ordinat yR = 2 × 8 − 3 × 4 + 3 = 7 ; jadi koordinat R adalah R(2,7). Kemiringan garis singgung di titik R adalah m = 6 × 2 × 1 = 12 . Persamaan garis singgung ys = 12 x + K . Garis ini harus melalui R(2,7) dengan kata lain koordinat R harus memenuhi persamaan garis singgung. Jika koordinat R kita masukkan ke persamaan garis singgung akan kita dapatkan nilai K.

ys = 12 x + K ⇒ 7 = 12 × 2 + K ⇒ K = 7 − 24 = −17 .
Persamaan garis singgung di titk R adalah ys = 12 x − 17

132 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

10.6. Contoh Hubungan Diferensial Berikut ini adalah beberapa contoh relasi diferensial. (ref. [3] Bab-2) Arus Listrik. Arus litrik adalah jumlah muatan listrik yang mengalir per detik, melalui suatu luas penampang tertentu. Ia merupakan laju aliran muatan. Kalau arus diberi simbol i dan muatan diberi simbol q maka

i=

dq dt

Satuan arus adalah ampere (A), satuan muatan adalah coulomb (C). Jadi 1 A = 1 C/detik. Tegangan Listrik. Tegangan listrik didefinisikan sebagai laju perubahan energi per satuan muatan. Kalau tegangan diberi simbol v dan energi diberi simbol w, maka dw v= dq Satuan daya adalah watt (W). Satuan energi adalah joule (J). Jadi 1 W = 1 J/detik. Daya Listrik. Daya listrik didefinisikan sebagai laju perubahan energi. Jika daya diberi simbol p maka

p=

dw dt p= dw dw dq = = vi dt dq dt

Dari definisi tegangan dan arus kita dapatkan

Karakteristik Induktor. Karakteristik suatu piranti listrik dinyatakan dengan relasi antara arus yang melewati piranti dengan tegangan yang ada di terminal piranti tersebut. Jika L adalah induktansi induktor, vL dan iL masing-masing adalah tegangan dan arus-nya, maka relasi antara arus dan tegangan induktor adalah di vL = L L dt Karakteristik Kapasitor. Untuk kapasitaor, jika C adalah kapasitansi kapasitor, vC dan iC adalah tegangan dan arus kapasitor, maka

iC = C

dvc dt
133

Soal-Soal 1. Carilah turunan fungsi-fungsi berikut untuk kemudian menentukan nilai puncak

y1 = 5 x 2 − 10 x − 7; y2 = 3 x 2 − 12 x + 2 ; y3 = −4 x 2 + 2 x + 8
2. Carilah turunan fungsi-fungsi berikut untuk kemudian menentukan nilai puncak

y1 = 2 x 3 − 5 x 2 + 4 x − 2 ; y2 = x 4 − 7 x 3 + 2 x 2 + 6 ; y3 = 3 x 7 − 7 x 3 + 21x 2

134 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 11

Turunan Perkalian Fungsi, Pangkat Dari Fungsi, Fungsi Rasional, Fungsi Implisit

11.1. Fungsi Yang Merupakan Perkalian Dua Fungsi Misalkan kita memiliki dua fungsi x, v(x) dan w(x) , dan kita hendak mencari turunan terhadap x dari fungsi y = vw . Misalkan nilai x berubah sebesar ∆x, maka fungsi w berubah sebesar ∆w, fungsi v berubah sebesar ∆v, dan fungsi y berubah sebesar ∆y. Perubahan ini terjadi sedemikian rupa sehingga setelah perubahan sebesar ∆x hubungan y = vw tetap berlaku, yaitu

( y + ∆y ) = (v + ∆v )( w + ∆w) = (vw + v∆w + w∆v + ∆w∆v)
Dari sini kita dapatkan

(11.1)

∆y ( y + ∆y ) − y ( wv + v∆w + w∆v + ∆w∆v) − vw = = ∆x ∆x ∆x ∆w ∆v ∆v∆w =v +w + ∆x ∆x ∆x

(11.2)

Jika ∆x mendekati nol maka demikian pula ∆v dan ∆w, sehingga ∆v∆w ∆x juga mendekati nol. Persamaan (11.2) akan memberikan dy d (vw) dw dv = =v +w dx dx dx dx

(11.3)

Inilah formulasi turunan fungsi yang merupakan hasilkali dari dua fungsi. Contoh: Kita uji kebenaran formulasi ini dengan melihat suatu fungsi mononom y = 6x 5 yang kita tahu turunannya adalah y ′ = 30x 4 . Kita pandang sekarang fungsi y sebagai perkalian dua fungsi

135

y = vw dengan v = 2x 3 dan w = 3x 2 . Menurut (11.3) turunan dari y menjadi y′ = d (2 x 3 × 3x 2 ) = 2 x 3 × 6 x + 3x 2 × 6 x 2 = 12 x 4 + 18x 4 = 30 x 4 dx

Ternyata sesuai dengan apa yang diharapkan. Bagaimanakah d (uvw) jika u, v, w ketiganya adalah fungsi x. Kita dx aplikasikan (11.3) secara bertahap seperti berikut. d (uvw) d (uv)( w) dw d (uv) = = (uv) +w dx dx dx dx dw du   dv = (uv) + wu +v  dx dx   dx dw dv du = (uv) + (uw) + (vw) dx dx dx

(11.4)

Contoh: Kita uji formula ini dengan mengambil fungsi penguji sebelumnya, yaitu y = 6x 5 yang kita tahu turunannya adalah

y ′ = 30x 4 . Kita pandang sekarang fungsi y sebagai perkalian tiga fungsi y = uvw dengan u = 2 x , v = 3x 2 , dan w = x . Menurut (11.9) turunan dari y adalah

dy d (uvw) = = (2 x 2 × 3x 2 )(1) + (2 x 2 × x)(6 x) dx dx + (3x 2 × x)(4 x) = 6 x 4 + 12 x 4 + 12 x 4 = 30 x 4
Ternyata sesuai dengan yang kita harapkan. 11.2. Fungsi Yang Merupakan Pangkat Dari Suatu Fungsi Yang dimaksud di sini adalah bagaimana turunan dy jika y = vn dengan dx v adalah fungsi x, dan n adalah bilangan bulat. Kita ambil contoh fungsi

y1 = v 6 = v 3 × v 2 × v dengan v merupakan fungsi x. aplikasikan formulasi (11.4) akan kita dapatkan

Jika kita

136 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

dy1 dv dv 2 dv 3 = (v 3 v 2 ) + (v 3 v ) + (v 2 v ) dx dx dx dx  dv dv dv  dv 2  dv = v5 + v4 v + v  + v3v2 +v  dx dx dx  dx  dx  dv dv dv dv   dv = v5 + 2v 5 + v5 + v4v +v  dx dx dx dx dx   dv = 6v 5 dx
Contoh ini memperlihatkan bahwa

   

dv 6 dv 6 dv dv = = 6v 5 dx dv dx dx yang secara umum dapat kita tulis

dv n dv = nv n −1 dx dx

(11.5)

Contoh: Kita ambil contoh yang merupakan gabungan antara perkalian dan pangkat dua fungsi.

y = ( x 2 + 1) 3 ( x 3 − 1) 2
Kita gabungkan relasi turunan untuk perkalian dua fungsi dan pangkat suatu fungsi.

dy d ( x 3 − 1) 2 d ( x 2 + 1) 3 = ( x 2 + 1) 3 + ( x 3 − 1) 2 dx dx dx = ( x 2 + 1) 3 2( x 3 − 1)(3 x 2 ) + ( x 3 − 1) 2 3( x 2 + 1) 2 2 x = 6 x 2 ( x 2 + 1) 3 ( x 3 − 1) + 6 x( x 3 − 1) 2 ( x 2 + 1) 2 = 6 x( x 3 − 1)( x 2 + 1) 2 (2 x 3 + x − 1)

137

11.3. Fungsi Rasional Fungsi rasional merupakan rasio dari dua fungsi v y= w

(11.6)

Tinjauan atas fungsi demikian ini hanya terbatas pada keadaan w ≠ 0 . Kita coba memandang fungsi ini sebagai perkalian dari dua fungsi:

y = vw −1
Kalau kita aplikasikan (11.3) pada (11.7) kita peroleh

(11.7)

dy d  v  d (vw −1 ) dw −1 dv =v + w −1 =  = dx dx dx  w  dx dx dv dv − v dv 1 dv = −vw −2 + w −1 = + dx dx w 2 dx w dx = dw  1  dv −v w  2  dx dx  w

atau

dw   dv −v w  d  v   dx dx  =   dx  w  w2

(11.8)

Inilah formulasi turunan fungsi rasional. Fungsi v dan w biasanya merupakan polinom dengan v mempunyai orde lebih rendah dari w. (Pangkat tertinggi peubah x dari v lebih kecil dari pangkat tertinggi peubah x dari w). Contoh:
2 1). y = x − 3 x3

dy x 3 (2 x) − ( x 2 − 3)(3x 2 ) = dx x6 =
2). y = x 2 + 1 x2 138 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

2 x 4 − (3 x 4 − 9 x 2 ) x6

=

− x2 + 9 x4

dy x 2 × 0 − 1× 2x 2 = 2x + = 2x − dx 4 x3
2 3). y = x + 1 ; dengan x 2 ≠ 1 (agar penyebut tidak nol) x2 −1

dy ( x 2 − 1)2 x − ( x 2 + 1)2 x = dx ( x 2 − 1) 2 = 2x 3 − 2x − 2x 3 − 2x ( x − 1)
2 2

=

− 4x ( x − 1) 2
2

11.4. Fungsi Implisit Sebagian fungsi implisit dapat diubah ke dalam bentuk explisit namun sebagian yang lain tidak. Untuk fungsi yang dapat diubah dalam bentuk eksplisit, turunan fungsi dapat dicari dengan cara seperti yang sudah kita pelajari di atas. Untuk mencari turunan fungsi yang tak dapat diubah ke dalam bentuk eksplisit perlu cara khusus, yang disebut diferensiasi implisit. Dalam cara ini kita menganggap bahwa fungsi y dapat didiferensiasi terhadap x. Kita akan mengambil beberapa contoh. Contoh: 1).

x 2 + xy + y 2 = 8 . Fungsi implisit ini merupakan sebuah persamaan. Jika kita melakukan operasi matematis di ruas kiri, maka operasi yang sama harus dilakukan pula di ruas kanan agar kesamaan tetap terjaga. Kita lakukan diferensiasi (cari turunan) di kedua ruas, dan kita akan peroleh dy dx dy +y + 2y =0 dx dx dx dy ( x + 2 y) = −2 x − y dx 2x + x
Untuk titik-titik di mana ( x + 2 y ) ≠ 0 kita peroleh turunan

dy 2x + y =− dx x + 2y
Untuk suatu titik tertentu, misalnya [1,2], maka

139

dy 2+2 =− = −0,8 . dx 1+ 4
Inilah kemiringan garis singgung di titik [1,2] pada kurva fungsi y bentuk implisit yang sedang kita hadapi. 2). x 4 + 4 xy 3 − 3 y 4 = 4 . Fungsi implisit ini juga merupakan sebuah persamaan. Kita lakukan diferensiasi pada kedua ruas, dan kita akan memperoleh dy 3 d (4 x) d (3 y 4 ) + y3 − =0 dx dx dx dy dy 4 x 3 + 4 x (3 y 2 ) + 4 y 3 − 12 y 3 =0 dx dx dy (12 xy 2 − 12 y 3 ) = −4( x3 + y 3 ) dx 4x 3 + 4x

Di semua titik di mana ( xy 2 − y 3 ) ≠ 0 kita dapat memperoleh turunan dy − ( x3 + y3 ) = dx 3( xy 2 − y3 )

11.5. Fungsi Berpangkat Tidak Bulat Pada waktu kita mencari turunan fungsi yang merupakan pangkat dari suatu fungsi lain, y = vn , kita syaratkan bahwa n adalah bilangan bulat. Kita akan melihat sekarang bagaimana jika n merupakan sebuah rasio p dengan p dan q adalah bilangan bulat dan q ≠ 0, serta v adalah n= q fungsi yang bisa diturunkan.

y = v p/q
Fungsi (11.9) dapat kita tuliskan

(11.9)

yq = v p

(11.10)

yang merupakan bentuk implisit fungsi y. Jika kita lakukan diferensiasi terhadap x di kedua ruas (11.10) kita peroleh

qy q −1

dy dv = pv p −1 dx dx

140 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Jika y ≠ 0, kita dapatkan

dy d (v p / q ) pv p −1 dv = = dx dx qy q −1 dx
Akan tetapi dari (11.9) kita lihat bahwa

(11.11)

y q −1 = v p / q sehingga (11.11) menjadi

(

)

q −1

= v p −( p / q )

dy d (v p / q ) pv p −1 dv = = dx dx qv p −( p / q ) dx p dv = v ( p −1) − p +( p / q ) q dx p dv = v ( p / q )−1 q dx

(11.12)

Formulasi (11.12) ini mirip dengan (11.5), hanya perlu persyaratan bahwa v ≠ 0 untuk p/q < 1. 11.6. Kaidah Rantai Apabila kita mempunyai persamaan x = f (t ) dan y = f (t )

(11.13)

maka relasi antara x dan y dapat dinyatakan dalam t. Persamaan demikian disebut persamaan parametrik, dan t disebut parameter. Jika kita eliminasi t dari kedua persamaan di atas, kita dapatkan persamaan yang berbentuk

y = F (x)
Bagaimanakah dy = F ′(x) dari (11.14) ber-relasi dengan dx dy dx = g ′(t ) dan = f ′(t ) ? dt dt Pertanyaan ini terjawab oleh kaidah rantai berikut ini.

(11.14)

141

Jika

y = F (x) dapat diturunkan terhadap x dan x = f (t ) dapat diturunkan terhadap t, maka y = F ( f (t ) ) = g (t ) dapat diturunkan terhadap t menjadi dy dy dx (11.15) = dt dx dt

Relasi ini sudah kita kenal. 11.7. Diferensial dx dan dy Pada pembahasan fungsi linier kita tuliskan kemiringan garis, m, sebagai

m=

∆y ( y 2 − y1 ) = ∆x ( x 2 − x1 )

kita lihat kasus jika ∆x mendekati nol namun tidak sama dengan nol. Limit ini kita gunakan untuk menyatakan turunan fungsi y(x) terhadap x pada formulasi

dy ∆y = lim = f ′( x) dx ∆x→0 ∆x
Sekarang kita akan melihat dx dan dy yang didefinisikan sedemikian rupa sehingga rasio dy/dx , jika dx≠ 0, sama dengan turunan fungsi y terhadap x. Hal ini mudah dilakukan jika x adalah peubah bebas dan y merupakan fungsi dari x: y = F (x)

(11.16)

Kita ambil definisi sebagai berikut 1. dx, kita sebut sebagai diferensial x, merupakan bilangan nyata berapapun nilainya, dan merupakan peubah bebas yang lain selain x; dy, kita sebut sebagai diferensial y, adalah fungsi dari x dan dx yang dinyatakan dengan

2.

dy = F ' ( x )dx
Kita telah terbiasa menuliskan turunan fungsi y terhadap x sebagai

(11.17)

142 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

dy = f ′(x) . dx
Perhatikanlah bahwa ini bukanlah rasio dari dy terhadap dx melainkan turunan fungsi y terhadap x. Akan tetapi jika kita bersikukuh memandang relasi ini sebagai suatu rasio dari dy terhadap dx maka kita juga akan memperoleh relasi (11.17), namun sesungguhnya (11.17) didefinisikan dan bukan berasal dari relasi ini. Pengertian terhadap dy lebih jelas jika dilihat secara geometris seperti terlihat pada Gb.11.1. Di titik P pada kurva, jika nilai x berubah sebesar dx satuan, maka di sepanjang garis singgung di titik P nilai y akan berubah sebesar dy. Diferensial dx dianggap bernilai positif jika ia “mengarah ke kanan” dan negatif jika “mengarah ke kiri”. Diferensial dy dianggap bernilai positif jika ia “mengarah ke atas” dan negatif jika “mengarah ke bawah”. y dy P θ x y dx P dy θ x y dy P dx θ x dx dy θ x y dx P

Gb.11.1. Penjelasan geometris tentang diferensial. dy = tan θ ; dy = (tan θ)dx dx 1. 2.

dy adalah laju perubahan y terhadap perubahan x. dx dy adalah besar perubahan nilai y sepanjang garis singgung di titik P pada kurva, jika nilai x berubah sebesar dx skala.

143

Dengan pengertian diferensial seperti di atas, kita kumpulkan formula turunan fungsi dan formula diferensial fungsi dalam Tabel-10.1. Dalam tabel ini v adalah fungsi x. Tabel-11.1 Turunan Fungsi 1. 2. 3. 4. Diferensial

dc = 0 ; c = konstan dx dcv dv =c dx dx d (v + w) dv dw = + dx dx dx dvw dw dv =v +w dx dx dx

1. dc = 0 ; c = konstan 2. dcv = cdv 3. d (v + w) = dv + dw 4. d (vw) = vdw + wdv

v d   w dv − v dw  w dx 5. = dx 2 dx w
6.

 v  wdv − vdw 5. d   =  w w2
6. dv n = nv n −1 dv 7. d (cx n ) = cnx n −1dx

dv n dv = nv n −1 dx dx dcx n = cnx n −1 dx

7.

Ada dua cara untuk mencari diferensial suatu fungsi. 1. 2. Mencari turunannya lebih dulu (kolom kiri Tabel-11.1), kemudian dikalikan dengan dx. Menggunakan langsung formula diferensial (kolom kanan Tabel-10.1)

Kita ambil suatu contoh: cari dy dari fungsi

y = x 3 − 3x 2 + 5x − 6

144 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Turunan y adalah : sehingga

y ′ = 3x 2 − 6 x + 5 dy = (3 x 2 − 6 x + 5)dx

Kita dapat pula mencari langsung dengan menggunakan formula dalam tabel di atas: dy = d ( x 3 ) + d (−3 x 2 ) + d (5 x) + d (−6) = 3x 2 dx − 6 xdx + 5dx = (3 x 2 − 6 x + 5)dx

145

Soal-Soal : Carilah turunan fungsi-fungsi berikut. y = ( x − 1) 3 ( x + 3) 2 ; y = ( x 3 − 2 x) 4 ; y = ( x + 2) 2 ( x 2 + 1) − 3

y=

2x + 1 x2 − 1

;
2

 x + 1 y=  ;  x − 1 2x y= 3x 2 + 1

2 xy + y 2 = x + y; x2 y2 = x2 + y2; x3 + y3 = 1 ; x−y =2 x − 2y

146 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 12

Turunan Fungsi Trigonometri, Trigonometri Inversi, Logaritmik, Eksponensial
12.1. Turunan Fungsi Trigonometri Jika y = sin x maka

dy d sin x sin( x + ∆x) − sin x = = dx dx ∆x sin x cos ∆x + cos x sin ∆x − sin x = ∆x
Untuk nilai yang kecil, ∆x menuju nol, sin∆x = ∆x dan cos∆x = 1. Oleh karena itu d sin x (12.1) = cos x dx Jika y = cos x maka

dy d cos x cos( x + ∆x) − cos x cos x cos ∆x − sin x sin ∆x − cos x = = = dx dx ∆x ∆x Jik ∆x menuju nol, maka sin∆x = ∆x dan cos∆x = 1. Oleh karena itu d cos x (12.2) = − sin x dx
Turunan fungsi trigonometri yang lain tidak terlalu sulit untuk dicari.

d tan x d  sin x  cos 2 x − sin x(− sin x) 1 =  = = sec 2 x = 2 2 dx dx  cos x  cos x cos x d cot x d  cos x  − sin 2 x − cos x(cos x ) −1 =  = = − csc 2 x = 2 dx dx  sin x  sin x sin 2 x

d sec x d  1  0 − (− sin x) sin x = = = sec x tan x  = 2 dx dx  cos x  cos x cos 2 x d csc x d  1  0 − (cos x) − cos x =  = = − csc x cot x = dx dx  sin x  sin 2 x sin 2 x

147

Soal-Soal: Carilah turunan fungsi-fungsi berikut.

y = tan(4 x 2 ) ; y = cot(3 x + 6) ;

y = 5 sin 2 (3x) ; y = 3 cos 2 x y = sin 3 (2 x) − cos(2 x) y = (csc x + cot x) 2

y = sec 4 x − tan 4 x ;

Contoh-Contoh Dalam Praktik Rekayasa. Berikut ini kita akan melihat turunan fungsi trigonometri dalam rangkaian listrik. (ref. [3] Bab-4). 1). Tegangan pada suatu kapasitor merupakan fungsi sinus vC = 200sin400t volt. Kita akan melihat bentuk arus yang mengalir pada kapasitor yang memiliki kapasitansi C = 2×10-6 farad ini. Hubungan antara tegangan kapasitor vC dan arus kapasitor iC adalah

iC = C
Arus yang melalui kapasitor adalah

dvC dt

iC = C

dvC d = 2 × 106 × (200 sin 400t ) = 0,160 cos 400t ampere dt dt

Daya adalah perkalian tegangan dan arus. Jadi daya yang diserap kapasitor adalah pC = vC iC = 200 sin 400t × 0,16 cos 400t = 32 cos 400t sin 400t = 16 sin 800t watt

Bentuk kurva tegangan dan arus terlihat pada gambar di bawah ini.
200 vC iC pC 100 0 0 -100 -200 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 t [detik] vC iC pC

Pada waktu tegangan mulai naik pada t = 0, arus justru sudah mulai menurun dari nilai maksimumnya. Dengan kata lain kurva arus mencapai nilai puncak-nya lebih dulu dari kurva tegangan; dikatakan 148 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

bahwa arus kapasitor mendahului tegangan kapasitor. Perbedaan kemunculan ini disebut perbedaan fasa yang untuk kapasitor besarnya adalah 90o; jadi arus mendahului tegangan dengan beda fasa sebesar 90o. Kurva daya bervariasi secara sinusoidal dengan frekuensi dua kali lipat dari frekuensi tegangan maupun arus. Variasi ini simetris terhadap sumbu waktu. Kapasitor menyerap daya selama setengah perioda dan memberikan daya selama setengah perioda berikutnya. Secara keseluruhan tidak akan ada penyerapan daya netto; daya ini disebut daya reaktif. 2). Arus pada suatu inductor L = 2,5 henry merupakan fungsi sinus terhadap waktu sebagai iL = −0,2cos400t ampere. Berapakah tegangan antara ujung-ujung induktor dan daya yang diserapnya ? Hubungan antara tegangan induktor vL dan arus induktor iL adalah di vL = L L dt vL = L diL d = 2,5 × (− 0,2 cos 400t ) = 2,5 × 0,2 × sin 400t × 400 = 200 sin 400t dt dt

Daya yang diserap inductor adalag tegangan kali arusnya. p L = v LiL = 200 sin 400t × (−0.2 cos 400t ) = −40 sin 400t cos 400t = −20 sin 800t W Kurva tegangan, arus, dan daya adalah sebagai berikut. vL iL pL 200 100 pL 0 0 -100 -200 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 t[detik] vL iL

Kurva tegangan mencapai nilai puncak pertama-nya lebih awal dari kurva arus. Jadi tegangan mendahului arus atau lebih sering dikatakan bahwa arus ketinggalan dari tegangan (hal ini merupakan kebalikan dari kapasitor). Perbedaan fasa di sini juga 90o, artinya arus ketinggalan dari tegangan dengan sudut fasa 90o. Daya bervariasi secara sinus dan simetris terhadap sumbu waktu, yang berarti tak terjadi transfer energi netto; ini adalah daya reaktif.

149

12.2. Turunan Fungsi Trigonometri Inversi 1) y = sin −1 x 1 y

x = sin y ⇒ dx = cos ydy ⇒ x 2

dy 1 = dx cos y

1− x
2) y = cos −1 x

dy 1 = dx 1 − x2

x = cos y ⇒ dx = − sin ydy ⇒
1 y x 3) y = tan −1 x

1 − x2

dy −1 = ; dy = −1 dx sin y dx 1 − x2

1+ x2 y 1 4) y = cot −1 x

x = tan y ⇒ dx =

1 cos 2 y

dy ⇒

x

dy = cos 2 y ; dx

dy 1 = dx 1 + x 2

1+ x

x = cot y ⇒ dx =
2

−1 sin 2 y

dy ⇒

y x

1

dy = − sin 2 y ; dx

dy −1 = dx 1 + x 2

150 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

5) y = sec −1 x

⇒ x = sec y =

1 0 − (− sin x) ⇒ dx = dy cos y cos 2 y

x y 1

x

2

−1

 dy cos 2 y 1  x  = = × 2   2 dx sin y x  x −1  1 = x x2 − 1 1 0 − (cos x) ⇒ dx = dy sin y sin 2 y x x2 − 1

6) y = csc −1 x x y

x = csc y =

1

dy sin 2 y 1 = =− × dx − cos y x2 = −1 x x2 − 1

x2 − 1

Soal-Soal 1). Jika α = sin −1 (0.5) carilah cos α , tan α , sec α , dan csc α . 2). Jika α = cos −1 (−0.5) carilah sin α , tan α , sec α , dan csc α . 3). Hitunglah sin −1 (1) − sin −1 ( −1) . 4). Hitunglah tan −1 (1) − tan −1 ( −1) . 5). Hitunglah sec −1 ( 2) − sec −1 ( −2) . 12.3. Fungsi Trigonometri Dari Suatu Fungsi Jika v = f(x), maka

d (sin v) d (sin v) dv dv = = cos v dx dv dx dx d (cos v) d (cos v) dv dv = = − sin v dx dv dx dx
151

d (tan v) d  sin v  cos 2 x + sin 2 x dv dv =  = sec 2 v = 2 dx dx  cos v  dx dx cos x d (cot v) d  cos v  2 dv =   = − csc v dx dx  sin v  dx d (sec v) d  1  0 + sin v dv dv =  = sec v tan v = 2 dx dx  cos v  dx cos v dx d (csc v) d  1  dv =   = − csc v cot v dx dx  sin v  dx
Jika w = f(x), maka

1 d (sin −1 w) dw = 2 dx dx 1− w 1 d (cos −1 w) dw =− 2 dx dx 1− w d (tan −1 w) 1 dw = dx 1 + w2 dx d (cot −1 w) 1 dw =− dx 1 + w2 dx

d (sec −1 w) 1 dw = 2 dx w w − 1 dx d (csc −1 w) 1 dw =− dx w w2 − 1 dx
Soal-Soal : Carilah turunan fungsi-fungsi berikut.

y = sin −1 (0,5 x) ; 1 x y = tan −1 ; 3 3

y = cos −1 (2 x) y = sec −1 4 x

152 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

12.4. Turunan Fungsi Logaritmik Walaupun kita belum membicarakan tentang integral, kita telah mengetahui bahwa fungsi f ( x) = ln x didefinisikan melalui suatu integrasi (lihat bahasan tentang fungsi logaritmik sub-bab 8.1) x1 f ( x) = ln x = dt ( x > 0) 1 t



y = ln x adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva (1/t) dan sumbu-t, di selang antara t = 1 dan t = x pada Gb.11.1.
6 5 4

1/t
3 2 1 0 0 1 y

lnx ln(x+∆x)−lnx

2

x

3x

t

4

1/x

x+∆x

1/(x+∆x)

Gb.12.1. Definisi lnx dan turunan lnx secara grafis. Kita lihat pula

 (12.3) dt   t  Apa yang berada dalam tanda kurung (12.3) adalah luas bidang yang dibatasi oleh kurva (1/t) dan sumbu-t, antara t = x dan t = x + ∆x. Luas bidang ini lebih kecil dari luas persegi panjang (∆x × 1/x). Namun jika ∆x makin kecil, luas bidang tersebut akan makin mendekati (∆x × 1/x); dan jika ∆x mendekati nol luas tersebut sama dengan (∆x × 1/x). Pada keadaan batas ini (12.3) akan bernilai (1/x). Jadi

ln( x + ∆x) − ln( x) 1  =  ∆x ∆x  

∫x

x + ∆x 1

d ln x 1 = dx x

(12.4)

153

Jika v adalah v = f(x), kita mencari turunan dari lnv dengan memanfaatkan kaidah rantai. Kita ambil contoh: v = 3x 2 + 4

d ln v d ln v dv 1 d (3 x 2 + 4) 6x = = = 2 dx dv dx 3x + 4 dx 3x 2 + 4 Soal-Soal: Carilah turunan fungsi-fungsi berikut.

y = ln( x 2 + 2 x) ; y = ln

x ; 2 + 2x

y = ln(cos x) ; y = ln(ln x)

12.5. Turunan Fungsi Eksponensial Fungsi eksponensial berbentuk

y = ex

(12.5)

Persamaan (12.5) berarti ln y = x ln e = x , dan jika kita lakukan penurunan secara implisit di kedua sisinya akan kita dapatkan

d ln y 1 dy = = 1 atau dx y dx

dy = y = ex dx

(12.6)

Jadi turunan dari ex adalah ex itu sendiri. Inilah fungsi eksponensial yang tidak berubah terhadap operasi penurunan yang berarti bahwa penurunan dapat dilakukan beberapa kali tanpa mengubah bentuk fungsi. Turunanturunan dari y = e x adalah

y′ = e x

y′′ = e x

y′′′ = e x dst.

Formula yang lebih umum adalah jika eksponennya merupakan suatu fungsi, v = v(x ) .

dev de v dv dv = = ev dx dv dx dx
−1 Kita ambil contoh: y = e tan x

(12.7)

−1 dy d tan −1 x e tan x = e tan x = dx dx 1 + x2

−1

Soal-Soal: Carilah turunan fungsi-fungsi berikut. y = x 2e x ; y = e x − e− x 2

; y=

e x − e− x e +e x −x

;

y = esin

−1

x

; y = e1 / x

154 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 13

Integral

Dalam bab sebelumnya, kita mempelajari salah satu bagian utama kalkulus, yaitu kalkulus diferensial. Berikut ini kita akan membahas bagian utama kedua, yaitu kalkulus integral. Dalam pengertian sehari-hari, kata “integral” mengandung arti “keseluruhan”. Istilah “mengintegrasi” bisa berarti “menunjukkan keseluruhan” atau “memberikan total”; dalam matematika berarti “menemukan fungsi yang turunannya diketahui”. Misalkan dari suatu fungsi f(x) yang diketahui kita diminta untuk mencari suatu fungsi y sedemikian rupa sehingga dalam rentang nilai x tertentu, misalnya a< x < b, dipenuhi persamaan

dy = f (x) dx

(13.1)

Persamaan seperti (13.1) ini, yang menyatakan turunan fungsi sebagai fungsi x (dalam beberapa hal ia mungkin juga merupakan fungsi x dan y) disebut persamaan diferensial. Sebagai contoh:

dy = 2x2 + 5x + 6 dx d2y dx
2

+ 6 xy

dy + 3x 2 y 2 = 0 dx

Pembahasan yang akan kita lakukan hanya mengenai bentuk persamaan diferensial seperti contoh yang pertama. 13.1. Integral Tak Tentu Suatu fungsi y = F (x) dikatakan sebagai solusi dari persamaan diferensial (13.1) jika dalam rentang a< x < b ia dapat diturunkan dan dapat memenuhi

dF ( x) = f ( x) dx

(13.2)

Perhatikan bahwa jika F(x) memenuhi (13.2) maka F ( x) + K dengan K adalah suatu nilai tetapan sembarang, juga akan memenuhi (13.2) sebab 155

d [F ( x) + K ] dF ( x) dK dF ( x) = + = +0 dx dx dx dx
Jadi secara umum dapat kita tuliskan

(13.3)

∫ f ( x)dx = F ( x) + K yang kita baca: integral f(x) dx adalah F(x) ditambah K.

(13.4)

Persamaan (13.2) dapat pula kita tulisan dalam bentuk diferensial, yaitu

dF ( x ) = f ( x )dx yang jika integrasi dilakukan pada ruas kiri dan kanan akan memberikan

∫ dF ( x) = ∫ f ( x)dx ∫ dF ( x) = F ( x) + K

(13.5)

Jika kita bandingkan (13.5) dan (13.4), kita dapat menyimpulkan bahwa (13. 6)

Jadi integral dari diferensial suatu fungsi adalah fungsi itu sendiri ditambah suatu nilai tetapan. Integral semacam ini disebut integral tak tentu; masih ada nilai tetapan K yang harus dicari. Kita ambil dua contoh untuk inegrasi integrasi tak tentu ini. 1) Cari solusi persamaan diferensial

dy = 5x 4 dx

Kita tuliskan persamaan tersebut dalam bentuk diferensial

dy = 5 x 4 dx
Menurut relasi (11.4) dan (11.5) di Bab-9,

d ( x 5 ) = 5 x 4 dx
Oleh karena itu

y = 5 x 4 dx = d ( x 5 ) = x 5 + K





156 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

2). Carilah solusi persamaan

dy = x2 y dx dan kita

Kita tuliskan dalam bentuk diferensial dy = x 2 y dx

kelompokkan peubah dalam persamaan ini sehingga ruas kiri mengandung hanya peubah tak bebas y dan ruas kanan hanya mengandung peubah bebas x. Proses ini kita lakukan dengan membagi kedua ruas dengan √y.

y −1 / 2 dy = x 2 dx
Ruas kiri memberikan diferensial d 2 y1 / 2 = y −1 / 2 dy dan ruas kanan

(

)

1  memberikan diferensial d  x3  = x 2 dx , sehingga 3  1  d 2 y1 / 2 = d  x 3  3 
Jika kedua ruas diintegrasi, diperoleh

(

)

2 y1 / 2 + K1 = 2 y1 / 2 =

1 3 x + K 2 atau 3

1 3 1 x + K 2 − K1 = x 3 + K 3 3

Dua contoh telah kita lihat. Dalam proses integrasi seperti di atas terasa adanya keharusan untuk memiliki kemampuan menduga jawaban. Beberapa hal tersebut di bawah ini dapat memperingan upaya pendugaan tersebut. 1. Integral dari suatu diferensial dy adalah y ditambah konstanta sembarang K.

∫ dy = y + K
2. Suatu konstanta yang berada di dalam tanda integral dapat dikeluarkan

∫ ady = a ∫ dy
157

3.

Jika bilangan n ≠ −1, maka integral dari yndy diperoleh dengan menambah pangkat n dengan 1 menjadi (n + 1) dan membaginya dengan (n + 1).



y n dy =

y n +1 + K, n +1

jika n ≠ −1

Penggunaan Integral Tak Tentu. Dalam integral tak tentu, terdapat suatu nilai K yang merupakan bilangan nyata sembarang. Ini berarti bahwa integral tak tentu memberikan hasil yang tidak tunggal melainkan banyak hasil yang tergantung dari berapa nilai yang dimiliki oleh K. Dalam pemanfaatan integral tak tentu, nilai K diperoleh dengan menerapkan apa yang disebut sebagai syarat awal atau kondisi awal. Kita akan mencoba memahami melalui pengamatan kurva. Jika kita gambarkan kurva y = 10x 2 kita akan mendapatkan kurva bernilai tunggal seperti Gb.13.1.a. Akan tetapi jika kita melakukan integrasi

10 x3 dx tidak hanya satu kurva yang dapat memenuhi syarat akan 3 tetapi banyak kurva seperti pada Gb.13.1.b; kita akan mendapatkan satu kurva jika K dapat ditentukan.



yi = 10x2 +Ki y = 10x2 100 y 100 y K3 K2 K1 -5 -3 -1 1 3 x 5 -5 -3 -1 1 3 x 5

50

50

a) b) Gb.13.1. Integral tak tentu memberikan banyak solusi. Sebagai contoh kita akan menentukan posisi benda yang bergerak dengan kecepatan sebagai fungsi waktu yang diketahui. Kecepatan sebuah benda bergerak dinyatakan sebagai v = at = 3t , dengan v adalah kecepatan, a adalah percepatan yang dalam soal ini bernilai 3, t waktu. Kalau posisi

158 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

awal benda adalah s 0 = 3 pada waktu t = 0, tentukanlah posisi benda pada t = 4. Kita ingat pengertian-pengertian dalam mekanika bahwa kecepatan ds adalah laju perubahan jarak, v = ; sedangkan percepatan adalah laju dt dv perubahan kecepatan, a = . Karena kecepatan sebagai fungsi t dt diketahui, dan kita akan mencari posisi (jarak), maka kita gunakan relasi

v=

ds yang memberikan ds = vdt dt

sehingga integrasinya memberikan

s = atdt = 3



t2 + K = 1,5t 2 + K 2

Kita terapkan sekarang kondisi awal, yaitu s0 = 3 pada t = 0.

3 = 0 + K yang memberikan K = 3
Dengan demikian maka s sebagai fungsi t menjadi s = 1,5t 2 + 3 sehingga pada t = 4 posisi benda adalah s4 = 27 Luas Sebagai Suatu Integral. Kita akan mencari luas bidang yang dibatasi oleh suatu kurva y = f (x) , sumbu-x, garis vertikal x = p, dan x = q. Sebagai contoh pertama kita ambil fungsi tetapan y = 2 seperti terlihat pada Gb.13.2. y 2 Apx ∆Apx x 0 p x x+∆x q y = f(x) =2

Gb.13.2. Mencari luas bidang di bawah y = 2.

159

Jika luas dari p sampai x adalah Apx, dan kita bisa mencari fungsi pertambahan luas ∆Apx yaitu pertambahan luas jika x bertambah menjadi x+∆x, maka kita dapat menggunakan fungsi pertambahan tersebut mulai dari x = p sampai x = q untuk memperoleh Apq yaitu luas dari p sampai q. Pertambahan luas yang dimaksud tentulah

∆A px = 2∆x atau

∆Apx ∆x

= 2 = f ( x)

(13.7)

Jika ∆x diperkecil menuju nol maka kita dapatkan limit
∆x → 0

lim

∆A px ∆x

=

dApx dx

= f ( x) = 2

(13.8)

Dari (13.8) kita peroleh

Apx = dApx = 2dx = 2 x + K





(13.9)

Kondisi awal (kondisi batas) adalah Apx = 0 untuk x = p. Jika kondisi ini kita terapkan pada (13.9) kita akan memperoleh nilai K yaitu
0 = 2 p + K atau K = −2 p

(13.10)

sehingga

A px = 2 x − 2 p

(13.11)

Kita mendapatkan luas Apx (yang dihitung mulai dari x = p) merupakan fungsi x. Jika perhitungan diteruskan sampai x = q kita peroleh

A pq = 2q − 2 p = 2(q − p)

(13.12)

Inilah hasil yang kita peroleh, yang sudah kita kenal dalam planimetri yang menyatakan bahwa luas segi empat adalah panjang kali lebar yang dalam kasus kita ini panjang adalah (q − p) dan lebar adalah 2. Bagaimanakah jika kurva yang kita hadapi bukan kurva dari fungsi tetapan? Kita lihat kasus fungsi sembarang dengan syarat bahwa ia kontinyu dalam rentang p ≤ x ≤ q seperti digambarkan pada Gb.13.3.

160 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

y

f(x+∆x ) f(x)

y = f(x)

∆Apx Apx

0

p

x

x+∆x

q

x

Gb.13.3. Fungsi sembarang kontinyu dalam a ≤ x ≤ b Dalam kasus ini, ∆Apx bisa memiliki dua nilai tergantung dari apakah dalam menghitungnya kita memilih ∆Apx = f(x)∆x atau ∆Apx = f(x+∆x)∆x. Namun kita akan mempunyai nilai

∆A px = f ( x)∆x ≤ f ( x 0 )∆x ≤ f ( x + ∆x)∆x

(13.13)

dengan x0 adalah suatu nilai x yang terletak antara x dan x+∆x. Jika ∆x kita buat mendekati nol kita akan mempunyai

∆A px = f ( x)∆x = f ( x0 )∆x = f ( x + ∆x)∆x
Dengan demikian kita akan mendapatkan limit

(13.14)

∆x →0

lim

∆A px ∆x

=

dA px dx

= f ( x)

(13.15)

Dari sini kita peroleh

A px = dA px =



∫ f ( x)dx = F ( x) + K

(13.16)

Dengan memasukkan kondisi awal Apx = 0 untuk x = p dan kemudian memasukkan nilai x = q kita akan memperoleh

A pq = F (q) − F ( p) = F ( x)] q p

(13.17)

161

13.2. Integral Tentu Integral tentu merupakan integral yang batas-batas integrasinya jelas. Konsep dasar integral tentu adalah luas bidang yang dipandang sebagai suatu limit. Kita akan menghitung luas bidang yang dibatasi oleh suatu kurva y = f(x), sumbu-x, garis x = p, dan x = q, yaitu luas bagian yang diarsir pada Gb.13.4.a. Sebutlah luas bidang ini Apq. Bidang ini kita bagi dalam n segmen dan kita akan menghitung luas setiap segmen dan kemudian menjumlahkannya untuk memperoleh Apq. Jika penjumlahan luas segmen kita lakukan dengan menghitung luas segmen seperti tergambar pada Gb.13.4.b, kita akan memperoleh luas yang lebih kecil dari dari luas yang kita harapkan; sebutlah jumlah luas segmen ini Apqb (jumlah luas segmen bawah). Jika penjumlahan luas segmen kita lakukan dengan menghitung luas segmen seperti tergambar pada Gb.13.4.c, kita akan memperoleh luas yang lebih besar dari dari luas yang kita harapkan; sebutlah jumlah luas segmen ini Apqa (jumlah luas segmen atas). Kedua macam perhitungan tersebut di atas akan mengakibatkan terjadinya error. Antara Apqb dan Apqa ada selisih seperti terlihat pada Gb.13.4.d. Jika x0k adalah suatu nilai x di antara kedua batas segmen kek, yaitu antara xk dan (xk+∆x), maka berlaku

f ( xk ) ≤ f ( x0 k ) ≤ f ( xk + ∆x)

(13.18)

Jika pertidaksamaan (13.18) dikalikan dengan ∆xk yang yang cukup kecil dan bernilai positif, maka

f ( xk )∆xk ≤ f ( x0k )∆xk ≤ f ( xk + ∆x)∆xk

(13.19)

Jika luas segmen di ruas kiri, tengah, dan kanan dari (13.19) kita jumlahkan dari 1 sampai n (yaitu sebanyak jumlah segmen yang kita buat), kita akan memperoleh



n

f ( xk ) ∆ x k ≤

k =1



n

f ( x0 k )∆xk ≤

k =1

∑ f ( xk + ∆x)∆xk k =1

n

(13.20)

Ruas paling kiri adalah jumlah luas segmen bawah, Apqb; ruas paling kanan adalah jumlah luas segmen atas, Apqa; ruas yang di tengah adalah jumlah luas segmen pertengahan, kita namakan An. Jelaslah bahwa

162 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

A pqb ≤ An ≤ A pqa y (13.21)

y = f(x)

(a) 0 p y x2 y = f(x)

xk

xk+1

xn

x

(b) 0 p y

x2

xk xk+1

xn

x

y = f(x)

(c) 0 p y x2 y = f(x)

xk xk+1

xn

x

(d) 0 p

x2

xk xk+1

xn

x

Gb.13.4. Menghitung luas bidang di bawah kurva. Nilai An dapat dipakai sebagai pendekatan pada luas bidang yang kita cari. Error yang terjadi sangat tergantung dari jumlah segmen, n. Jika n

163

kita perbesar menuju tak hingga dan semua ∆xk menuju nol, maka luas bidang yang kita cari adalah

A pq = lim Apqb = lim An = lim A pqa
∆x k → 0 ∆x k → 0 ∆x k → 0

(13.22)

Jadi apabila kita menghitung limitnya, kita akan memperoleh nilai limit yang sama, apakah kita menggunakan penjumlahan segmen bawah, atau atas, atau pertengahannya. Limit yang sama ini disebut integral tertentu, dituliskan

Apq =

∫p f ( x)dx q q

(13.23)

Integral tertentu (13.23) ini terkait dengan integral tak tentu (11.12)

Apq =

∫p f ( x)dx = F ( x)]p = F (q) − F ( p) q (13.24)

Jadi untuk memperoleh limit bersama dari penjumlahan segmen bawah, penjumlahan segmen atas, maupun penjumlahan segmen pertengahan dari fungsi f(x) dalam rentang p ≤ x ≤ q, kita cukup melakukan: a. b. c. d. integrasi untuk memperoleh F ( x ) =

∫ f ( x)dx ;

masukkan batas atas x = q untuk mendapat F(q); masukkan batas bawah x = p untuk mendapat F(p); kurangkan perolehan batas bawah dari batas atas, F(q) − F(p).

Walaupun dalam pembahasan di atas kita mengambil contoh fungsi yang bernilai positif dalam rentang p ≤ x ≤ q , namun pembahasan itu berlaku pula untuk fungsi yang dalam rentang p ≤ x ≤ q sempat bernilai negatif. Kita hanya perlu mendefinisikan kembali apa yang disebut dengan Apx dalam pembahasan sebelumnya. Pendefinisian yang baru ini akan berlaku umum, yaitu Apx adalah luas bidang yang dibatasi oleh y = f (x) dan sumbu-x dari p sampai x, yang merupakan jumlah luas bagian yang berada di atas sumbu-x dikurangi dengan luas bagian yang di bawah sumbu-x.

164 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Agar lebih jelas kita mengambil contoh pada Gb 13.2. Kita akan menghitung luas antara y = x 3 − 12 x dan sumbu-x dari x = −3 sampai x = +3. Bentuk kurva diperlihatkan pada Gb.13.5.

y = x 3 − 12 x

20 10 0 x 0 1 2 3 4

-4

-3

-2

-1 -10

Gb.13.5. Kurva y = x 3 − 12 x

-20

Di sini terlihat bahwa dari x = −3 sampai 0 kurva berada di atas sumbu-x dan antara x = 0 sampai +3 kurva ada di bawah sumbu-x. Untuk bagian yang di atas sumbu-x kita mempunyai luas

 x4 Aa = ( x − 12 x)dx = − 6x 2  −3 4  



0

0

3

= −0 − (20,25 − 54) = 33,75
−3

Untuk kurva yang di bawah sumbu-x kita dapatkan

 x4 Ab = ( x − 12 x)dx = − 6 x 2  = 20,25 − 54 − (0) = −33,75 0 4  



3

3

3

0

Luas yang kita cari adalah luas bagian yang berada di atas sumbu-x dikurangi dengan luas bagian yang di bawah sumbu-x

Apq = Aa − Ab = 33,75 − (−33,755) = 67,5
Contoh ini menunjukkan bahwa dengan pengertian yang baru mengenai Apx, formulasi
A=

∫p f ( x)dx = F (q) − F ( p))

q

tetap berlaku untuk kurva yang memiliki bagian baik di atas maupun di bawah sumbu-x.

165

Dengan demikian maka untuk bentuk kurva seperti pada Gb.13.6. kita dapatkan

Apq = − A1 + A2 − A3 + A4 yang kita peroleh dari

Apq = y ∫p f ( x)dx = F (q) − F ( p)) y = f(x)

q

p A1

A2 A3

A4 q x

Gb.13.6. Kurva memotong sumbu-x di beberapa titik. Luas Bidang Di Antara Dua Kurva. Kita akan menghitung luas bidang di antara kurva y1 = f1 ( x) dan y2 = f 2 ( x) pada batas antara x = p dan x = q . Kurva yang kita hadapi sudah barang tentu harus kontinyu dalam rentang p ≤ x ≤ q . Kita tetapkan bahwa kurva y1 = f1 ( x) berada di atas y2 = f 2 ( x) meskipun mungkin mereka memiliki bagian-bagian yang berada di bawah sumbu-x. Perhatikan Gb.13.7. y y1

p

0 y2

x

x+∆x

q

x

Gb.13.7. Menghitung luas bidang antara dua kurva. Rentang p ≤ x ≤ q kita bagi dalam n segmen, yang salah satunya diperlihatkan pada Gb.13.7. dengan batas kiri x dan batas kanan (x+∆x), dimana ∆x = (q − p ) / n .

166 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Luas segmen dapat didekati dengan
Asegmen = { f1 ( x) − f 2 ( x)}∆x

(13.25)

yang jika kita jumlahkan seluruh segmen akan kita peroleh

∑ Asegmen = ∑ { f1( x) − f 2 ( x)}∆x
1 x= p

n

x = q − ∆x

(13.25)

Dengan membuat n menuju tak hingga sehingga ∆x menuju nol kita sampai pada suatu limit

A pq = lim

n→∞ 1

∑ Asegmen = ∫p { f1( x) − f 2 ( x)}dx

q

(13.26)

Kita lihat beberapa contoh. 1). Jika y1 = 4 dan y2 = −2 berapakah luas bidang antara y1 dan y2 dari x1 = p = −2 sampai x2 = q = +3.

Apq =

∫−2 ({4 − (−2)}dx = 6 x]−2 = 18 − (−12) = 30
+3

+3

Hasil ini dengan mudah dijakinkan menggunakan planimetri. Luas yang dicari adalah luas persegi panjang dengan lebar y1 − y2 = 6 dan panjang x2 − x1 = 5 . 2). Jika y1 = x 2 dan y2 = 4 berpakah luas bidang yang dibatasi oleh y1 dan y2. Terlebih dulu kita cari batas-batas integrasi yaitu nilai x pada perpotongan antara y1 dan y2.

y1 = y2 → x 2 = 4 ⇒ x1 = p = −2, x2 = q = 2
Perhatikan bahwa y1 adalah fungsi pangkat dua dengan titik puncak minimum yang berada pada posisi [0,0]. Oleh karena itu bagian kurva y1 yang membatasi bidang yang akan kita cari luasnya, berada di di bawah y2 = 4.

167

Apq =



 − 8  16 − 16 32 x3  8   − = (4 − x 2 )dx =  4 x −   =  8 −  −  − 8 − =  −2 3  3  3  3 3 3    - 2
2

2

Jika kita terbalik dalam memandang posisi y1 terhadap y2 kita akan melakukan kesalahan:
 x3  8   −8  − 16 + 16 Apq * = ( x − 4)dx =  − 4 x  =  − 8  −  + 8 = − =0   3 −2 3 3 3 3      - 2 
2



2

2

3). Jika y1 = − x 2 + 2 dan y2 = − x berapakah luas bidang yang dibatasi oleh y1 dan y2. Terlebih dulu kita perhatikan karakter fungsi-fungsi ini. Fungsi y1 adalah fungsi kuadrat dengan titik puncak maksimum yang memotong sumbu-y di y = 2. Fungsi y2 adalah garis lurus melalui titik asal [0,0] dengan kemiringan negatif −1, yang berarti ia menurun pada arah x positif. Dengan demikian maka bagian kurva y1 yang membatasi bidang yang akan kita cari luasnya berada di atas y2. Batas integrasi adalah nilai x pada perpotongan kedua kurva.

y1 = y2 ⇒ − x 2 + 2 = − x atau − x 2 + x + 2 = 0 x1 = p = − 1 + 12 + 8 − 1 − 12 + 8 = −1 ; x2 = q = =2 −2 −2
2

 x3 x 2  Apq = (− x + 2 + x)dx =  − + + 2 x   3  −1 2   −1



2

2

 8   −1 1  =  − + 2 + 4 −  − + − 2  = 4,5 3 3 2    
Penerapan Integral Tentu. Pembahasan di atas terfokus pada penghitungan luas bidang di bawah suatu kurva. Dalam praktik kita tidak selalu menghitung luas melainkan menghitung berbagai besaran fisis, yang berubah terhadap waktu misalnya. Perubahan besaran fisis ini dapat pula divisualisasi dengan membuat absis dengan satuan waktu dan

168 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

ordinat dengan satuan besaran fisis yang dimaksud. Dengan demikian seolah-olah kita menghitung luas bidang di bawah kurva. Berikut ini dua contoh dalam kelistrikan. 1). Sebuah piranti menyerap daya 100 W pada tegangan konstan 200V. Berapakah energi yang diserap oleh piranti ini selama 8 jam ? Daya adalah laju perubahan energi. Jika daya diberi simbol p dan energi diberi simbol w, maka p= dw yang memberikan w = dt

∫ pdt

Perhatikan bahwa peubah bebas di sini adalah waktu, t. Kalau batas bawah dari wktu kita buat 0, maka batas atasnya adalah 8, dengan satuan jam. Dengan demikian maka energi yang diserap selama 8 jam adalah w= ∫0 pdt = ∫0100dt = 100t 0 = 800 Watt.hour [Wh]
8

8

8

= 0,8 kilo Watt hour [kWh]

2). Arus yang melalui suatu piranti berubah terhadap waktu sebagai i(t) = 0,05 t ampere. Berapakah jumlah muatan yang dipindahkan melalui piranti ini antara t = 0 sampai t = 5 detik ? Arus i adalah laju perubahan transfer muatan, q. i= dq sehingga dt
5

q = idt



Jumlah muatan yang dipindahkan dalam 5 detik adalah

q = idt =

∫0

5

∫0

5

0,05tdt =

0,05 2 t 2

=
0

1,25 = 0,625 coulomb 2

Pendekatan Numerik. Dalam pembahasan mengenai integral tentu, kita fahami bahwa langkah-langkah dalam menghitung suatu integral adalah: 1. Membagi rentang f(x) ke dalam n segmen; agar proses perhitungan menjadi sederhana buat segmen yang sama lebar, ∆x. 2. Integral dalam rentang p ≤ x ≤ q dari f(x) dihitung sebagai 169

∫p

q

f ( x)dx = lim

∆x → 0

∑ f ( xk )∆xk k =1

n

dengan f(xk) adalah nilai f(x) dalam interval ∆xk yang besarnya akan sama dengan nilai terendah dan tertinggi dalam segmen ∆xk jika ∆x menuju nol. Dalam aplikasi praktis, kita tentu bisa menetapkan suatu nilai ∆x sedemikian rupa sehingga jika kita mengambil f(xk) sama dengan nilai terendah ataupun tertinggi dalam ∆xk, hasil perhitungan akan lebih rendah ataupun lebih tinggi dari nilai yang diharapkan. Namun error yang terjadi masih berada dalam batas-batas toleransi yang dapat kita terima. Dengan cara ini kita mendekati secara numerik perhitungan suatu integral, dan kita dapat menghitung dengan bantuan komputer. Sebagai ilustrasi kita akan menghitung kembali luas bidang yang dibatasi oleh kurva y = x 3 − 12 x dengan sumbu-x antara x = −3 dan x = +3. Luas ini telah dihitung dan menghasilkan Apq = 67,5 . Kali ini perhitungan

Apq =

∫−3 ( x

3

3

− 12 x)dx

akan kita lakukan dengan pendekatan numerik

dengan bantuan komputer. Karena yang akan kita hitung adalah luas antara kurva dan sumbu-x, maka bagian kurva yang berada di bawah sumbu-x harus dihitung sebagai positif. Jika kita mengambil nilai ∆x = 0,15 maka rentang −3 ≤ x ≤ 3 akan terbagi dalam 40 segmen. Perhitungan menghasilkan

Apq =

∑ ( xk 3 − 12 xk ) = 67,39875 ≈ 67,4 k =1

40

Error yang terjadi adalah sekitar 0,15%. Jika kita mengambil ∆x = 0,05 maka rentang −3 ≤ x ≤ 3 akan terbagi dalam 120 segmen. Perhitungan menghasilkan
120

Apq =

∑ ( xk 3 − 12 xk ) = 67,48875 ≈ 67,5 k =1

Error yang terjadi adalah sekitar 0,02%.

170 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Jika kita masih mau menerima hasil perhitungan dengan error 0,2%, maka hasil pendekatan numerik sebesar 67,4 cukup memadai. Perhitungan numerik di atas dilakukan dengan menghitung luas setiap segmen sebagai hasilkali nilai minimum ataupun nilai maksimum masing-masing segmen dengan ∆x. Satu alternatif lain untuk menghitung luas segmen adalah dengan melihatnya sebagai sebuah trapesium. Luas setiap segmen menjadi

Asegmen = ( f ( xk min ) + f ( xkmaks ) ) × ∆x / 2

(13.27)

Perhitungan pendekatan numerik ini kita lakukan dengan bantuan komputer. Kita bisa memanfaatkan program aplikasi yang ada, ataupun menggunakan spread sheet jika fungsi yang kita hadapi cukup sederhana. Soal-Soal: 1. Carilah titik-titik perpotongan fungsi-fungsi berikut dengan sumbu-x kemudian cari luas bidang yang dibatasi oleh kurva fungsi dengan sumbu-x.

y = 2x − x2 ;
2.

y 2 − y3 = x

Carilah luas bidang yang dibatasi oleh kurva dan garis berikut.

Luas antara kurva y 2 = x dan garis x = 4 Luas antara kurva y = 2 x − x 2 dan garis x = −3
3. Carilah luas bidang yang dibatasi oleh dua kurva berikut.

y = x 4 − 2x 2 dan y = 2 x 2 − 5 dan
13.3. Volume Sebagai Suatu Integral

y = 2x 2 y = −2 x 2 + 5

Di sub-bab sebelumnya kita menghitung luas bidang sebagai suatu integral. Berikut ini kita akan melihat penggunaan integral untuk menghitung volume. Balok. Kita ambil contoh sebuah balok seperti tergambar pada Gb.13.8. Balok ini dibatasi oleh dua bidang datar paralel di p dan q. Balok ini diiris tipis-tipis dengan tebal irisan ∆x sehingga volume balok, V, merupakan jumlah dari volume semua irisan.

171

∆x

Gb.13.8. Balok Jika A(x) adalah luas irisan di sebelah kiri dan A(x+∆x) adalah luas irisan di sebelah kanan maka volume irisan ∆V adalah

A( x)∆x ≤ ∆V ≤ A( x + ∆x)∆x
Volume balok V adalah

V=

∑ A( x )∆x p q

dengan A(x ) adalah luas rata-rata irisan antara A(x) dan A(x+∆x). Apabila ∆x cukup tipis dan kita mengambil A(x) sebagai pengganti A(x ) maka kita memperoleh pendekatan dari nilai V, yaitu

V≈

∑ A( x)∆x p q

q

Jika ∆x menuju nol dan A(x) kontinyu antara p dan q maka

V = lim

∑ A( x)∆x = ∫p A( x)dx ∆x → o p q

(13.28)

Rotasi Bidang Segitiga Pada Sumbu-x. Satu kerucut dapat dibayangkan sebagai segitiga yang berputar sekitar salah satu sisinya. Segitiga ini akan menyapu satu volume kerucut seperti terlihat pada Gb.13.9. Segitiga OPQ, dengan OQ berimpit dengan sumbu-x, berputar mengelilingi sumbu-x.

172 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

P y O ∆x

Q

x

Gb.13.9. Rotasi Segitiga OPQ mengelilingi sumbu-x Formula (13.28) dapat kita terapkan disini. Dalam hal ini A(x) adalah luas lingkaran dengan jari-jari r(x); sedangkan r(x) memiliki persamaan garis OP.

V=

∫0 A( x)dx = ∫0 π[r ( x)] dx = ∫0 πm x dx h h 2 h 2 2

(13.29)

dengan m adalah kemiringan garis OP dan h adalah jarak O-Q. Formula (13.29) akan memberikan volume kerucut

Vkerucut =

πm 2 h3 π(PQ/OQ) 2 h3 h = = πr 2 3 3 3

(13.30)

dengan OQ = h dan r adalah nilai PQ pada x = h. Bagaimanakah jika OQ tidak berimpit dengan sumbu-x? Kita akan memiliki kerucut yang terpotong di bagian puncak. Volume kerucut terporong demikian ini diperoleh dengan menyesuaikan persamaan garis OP. Jika semula persamaan garis ini berbentuk y = mx berubah menjadi

y = mx + b dengan b adalah perpotongan garis OP dengan sumbu-y.
Rotasi Bidang Sembarang. Jika f(x) kontinyu pada a ≤ x ≤ b , rotasi bidang antara kurva fungsi ini dengan sumbu-x antara a ≤ x ≤ b sekeliling sumbu-x akan membangun suatu volume benda yang dapat dihitung menggunakan relasi (13.10). y 0 a ∆x f(x)

b

x

Gb.13.10. Rotasi bidang mengelilingi sumbu-x

173

Dalam menghitung integral (13.28) penyesuaian harus dilakukan pada A(x) dan batas-batas integrasi.

A( x) = π(r ( x) )2 = π( f ( x) )2 V=

sehingga

∫a π( f ( x)) dx
2

b

(13.31)

Gabungan Fungsi Linier. Jika f(x) pada (13.31) merupakan gabungan fungsi linier, kita akan mendapatkan situasi seperti pada Gb.13.11. y 0 a ∆x 2000

b

x

Gb.13.11. Fungsi f(x) merupakan gabungan fungsi linier. Fungsi f(x) kontinyu bagian demi bagian. Pada Gb.13.11. terdapat tiga rentang x dimana fungsi linier kontinyu. Kita dapat menghitung volume total sebagai jumlah volume dari tiga bagian. Fungsi f(x) Memotong Sumbu-x. Formula (13.29) menunjukkan bahwa dalam menghitung volume, f(x) dikuadratkan. Oleh karena itu jika ada bagian fungsi yang bernilai negatif, dalam penghitungan volume bagian ini akan menjadi positif. 13.4. Panjang Kurva Pada Bidang Datar Jika kurva y = f (x) kita bagi dalam n segmen masing-masing selebar ∆x, maka ∆l dalam segmen tersebut adalah

∆l = PQ = ∆x 2 + ∆y 2
Salah satu segmen diperlihatkan pada Gb.13.12. Ada satu titik P′ yang terletak pada kurva di segmen ini yang terletak antara P dan Q di mana turunan fungsi y ′(P ′) , yang merupakan garis singgung di P′, sejajar dengan PQ. Menggunakan pengertian y′( P′) ini, ∆l dapat dinyatakan sebagai

∆l = ∆x 2 + [( y′(P′) )∆x]2 = 1 + ( y′(P′) )2 ∆x
174 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

y

y = f(x)

Q ∆l P ∆x ∆y

Gb.13.12. Salah satu segmen pada kurva y = f (x) . Setiap segmen memiliki y′(P′) masing-masing yaitu y ′ , dan ∆l k masing-masing yaitu ∆lk . Jika n dibuat menuju ∞, panjang kurva dari x = a ke x = b adalah

a

b

x

lab = lim

n →∞



n

∆lk = lim

k =1

n →∞

∑ ∫

n

1 + ( y′ )2 ∆x = lim k
2

k =1

∆x → 0



n

′ 1 + ( yk )2 ∆x

k =1

atau

lab =

 dy  1 +   dx a  dx  b (13.32)

Perlu kita ingat bahwa panjang suatu kurva tidak tergantung dari posisi sumbu koordinat. Oleh karena itu (13.32) dapat ditulis juga sebagai

lab =

∫a′

b′

 dx  1 +   dy  dy   

2

dengan a′ dan b′ adalah batas-batas peubah

bebas. 13.5. Nilai Rata-Rata Suatu Fungsi Untuk fungsi y = f (x) yang kontinyu dalam rentang p ≤ x ≤ q nilai rata-rata fungsi ini didefinisikan sebagai

( yrr ) x =

q 1 f ( x)dx q− p p



(13.33)

(Penulisan (yrr)x untuk menyatakan nilai rata-rata fungsi x) Definisi (13.33) dapat kita tuliskan 175

( y rr ) x ⋅ (q − p) =

∫p f ( x)dx

q

(13.34)

Ruas kanan (13.34) adalah luas bidang antara kurva fungsi y = f (x) dengan sumbu-x mulai dari x = p sampai x = q. Ruas kiri (13.34) dapat ditafsirkan sebagai luas segi empat dengan panjang (q − p) dan lebar (yrr)x. Namun kita perlu hati-hati sebab dalam menghitung ruas kanan (13.34) sebagai luas bidang antara kurva fungsi y = f (x) dengan sumbux bagian kurva yang berada di bawah sumbu-x memberi kontribusi positif pada luas bidang yang dihitung; sedangkan dalam menghitung nilai ratarata (13.33) kontibusi tersebut adalah negatif. Sebagai contoh, kita ambil fungsi y = x 3 − 12 x .
3

Luas bidang antara

y = x − 12 x dengan sumbu-x dari x = −3 sampai x = +3 adalah positif,

A pq = 67,5

(telah pernah kita hitung). Sementara itu jika kita

menghitung nilai rata-rata fungsi ini dari x = −3 sampai x = +3 hasilnya adalah (yrr)x = 0 karena bagian kurva yang berada di atas dan di bawah sumbu-x akan saling meniadakan.

176 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 14

Integral Tak Tentu Fungsi-Fungsi

Dalam bab sebelumnya kita telah mengenal macam-macam perhitungan integral. Salah satu cara mudah untuk menghitung integral adalah dengan pendekatan numerik, walaupun cara ini memberikan hasil yang mengandung error. Namun error dalam pendekatan numerik bisa ditekan sampai pada batas-batas toleransi. Dalam bab ini kita akan melihat perhitungan integral tak tentu secara analitis dari macam-macam fungsi. 14.1. Integral Fungsi Tetapan:

∫ adx

∫ adx = ax + K karena dax = adx Contoh: y = ∫ 2dx = 2 x + K
14.2. Integral Fungsi Mononom:

∫ x dx n Karena dx n = x n −1dx dengan syarat n ≠ −1, maka Contoh: y = 2 x 2 dx = 2 x 2 dx = 14.3. Integral Fungsi Polinom



x n dx =

x n +1 +K n +1





2 3 x +K 3 + x m )dx

∫ (x

n

Polinom merupakan jumlah terbatas dari mononom. Integral suatu polinom sama dengan jumlah integral mononom yang menyusunnya. Karena d ( x n + x m ) = x n dx + x m dx maka

∫ (x

n

+ x m )dx =

x n +1 x m +1 + + K, n +1 m +1

dengan syarat n ≠ −1, m ≠ −1

Soal-Soal : Carilah integral tak tentu berikut ini.

∫ 5dx ; ∫ 2 xdx; ∫ 4 x dx; ∫ (2 x + 5)dx ; 1 2 3 2 ∫0 ( x − 2 x + 4)dx ; ∫ (4 x + 6 x + 4 x + 2)dx
4

177

14.4. Integral Fungsi Pangkat Dari Fungsi: Jika v adalah polinom, maka

∫v

n

dx v n +1 dv + K n +1 karena ∫

v n dv =

d

v n +1 = v n dv dengan syarat n ≠ −1. Formulasi ini digunakan untuk n +1

mencari

∫ v dx . n Contoh: Hitunglah y = (2 x + 1) 2 dx Misalkan v = 2 x + 1 → dv = 2dx → dx =



dv 2

v2 v3 8 x 3 + 12 x 2 + 6 x + 1 dv = +K= +K 2 6 6 4 1 = x3 + 2 x 2 + x + + K 3 6 Kita coba untuk meyakinkan hasil ini dengan hasil yang akan diperoleh jika polinom kita kuadratkan lebih dulu. y = (2 x + 1) 2 dx =





4 x3 4 x 2 + + x + K′ 3 2 Hasil perhitungan sama dengan hasil sebelumnya, y = (2 x + 1) 2 dx = (4 x 2 + 4 x + 1)dx =





K ′ = K + 1/ 6 .
Contoh: Hitunglah y =

dx 1 − x2 dv dv Misalkan 1 − x 2 = v → = −2 x → dx = dx − 2x y= ∫

3x



3x 1− x 2

dx =

3x v
1/ 2

dv 3 −1 / 2 3 v1/ 2 =− v dv = − = −3 1 − x 2 − 2x 2 2 1/ 2



Soal-Soal : Carilah integral tak tentu berikut ini.

∫ ( x + 1)

2

dx ;



4 x + 1dx ;



2 + 5 x dx ;

∫ (3x + 2)2 dx ; ∫

1

x 2 x2 + 1

dx

178 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

14.5. Integral Fungsi Berpangkat -1:

∫v
∫v

dv dv Karena

d (ln v) =

dv , v

maka

= ln v + K .

Integrasi

ini

memecahkan masalah persyaratan n ≠ −1 pada integrasi Contoh: Carilah integral y = Misalkan v = x 2 + 1 →

∫ v dx . n ∫ x 2 + 1 dx

2x

dv dv = 2 x → dx = dx 2x

y=

∫ x2 + 1 dx = ∫ v x 2 dx

2x

2 x dv = ln v + K = ln( x 2 + 1) + K 2x

Soal-Soal: Carilah integral tak tentu berikut ini.



dx ; 2x + 3

∫ 4 − x3 ; ∫ 2 − 3x ; ∫ x + 1 ; ∫ 1 − x 2 ; ∫ 4 x 2 + 1

dx

xdx

xdx

xdx

14.6. Integral Fungsi Eksponensial: ev dv Karena dev = ev dv maka Soal-Soal:



∫ e dv = e v x/3

v

+K

∫e

2x

dx ;

∫ xe

x2

dx ;

∫e

dx ;

∫ 1 + 2e x

e x dx

14.7. Integral Tetapan Berpangkat Fungsi : a v dv Karena da v = a v ln adv maka





a v dv =

av +K ln a

179

Contoh: Carilah y = 32 x dx Misalkan v = 2x →



dv dv = 2 → dx = dx 2

y = 32 x dx =
14.8. Integral Fungsi Trigonometri Karena d sin v = cos vdv maka





3v 1 32 x dv = +K 2 2 ln 3

∫ cos vdx = sin v + K ∫ sin vdx = − cos v + K ∫

Karena d cos v = − sin vdx maka

Relasi diferensial dan integral fungsi trigonometri yang lain termuat dalam Tabel-13.1. Contoh: Carilah integral tak tentu y = sin 2 xdx Misalkan v = 2 x →

dv dv = 2 → dx = dx 2

y = sin 2 xdx =





sin v − cos v cos 2 x dv = =− 2 2 2

Soal-Soal : Carilah integral tak tentu berikut ini.

∫ sin 4 xdx ; ∫ cos(2 x + 2)dx ; ∫ 4 cos 3xdx .
∫ 2 sin x cos xdx ; ∫ sin
2 2

x cos xdx .

∫ sin

2

xdx ;

∫ cos

axdx

∫ cos

2

x sin xdx ;



sin 2 x 2 − cos 2 x

dx .

180 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

14.9. Integral Fungsi Hiperbolik Karena d (sinh v) = cosh v maka

∫ cosh vdv = sinh v + K ∫ sinh vdv = cosh v + K

Karena d (cosh v ) = sinh vdv maka

Relasi diferensial dan integral fungsi hiperbolik yang lain termuat dalam Tabel-13.1. Contoh: Carilah y = cosh(2 x + 1)dx Misalkan v = 2 x + 1 →



dv dv = 2 → dx = dx 2

y = cosh(2 x + 1)dx =



1 1 cosh(v)dv = sinh v + K 2 2 1 = sinh( 2 x + 1) + K 2



Soal-Soal: Carilah integral berikut



sinh x x

dx ;

∫ tanh xdx ; ∫ cosh

2

2 xdx ;

∫ cosh 4 x dx ; ∫ tanh

sinh x

2

xdx

14.10. Integral Menghasilkan Fungsi Trigonometri Inversi Integral fungsi-fungsi yang berbentuk



dv 1 − v2

,

∫ 1 + v2 ,
31,

dv

dan setrusnya mulai nomer 20 v2 − 1 menghasilkan fungsi-fungsi trigonometri inversi. Contoh: Carilah y =

∫v

dv

sampai



dx 1 − 4x2

181

Jika kita membuat pemisalan v = 1 − 4 x 2 maka

dv = −8 x atau dx

dx =

dv . Kalau pemisalan ini kita masukkan dalam persoalan − 8x

integral yang diberikan, kita akan mendapatkan bentuk

∫v

−1 / 2

dv − 8x

yang tidak dapat diproses lebih lanjut; persoalan integral tidak dapat ter-transformasi menjadi integral dalam peubah v. Namun bentuk



dx 1 − 4x2

ini dapat kita transformasi menjadi bentuk

yang termuat dalam Tabel-13.1, yaitu nomer 20. Kita misalkan v = 2x dv dv yang akan memberikan = 2 atau dx = . Persoalan integral kita 2 dx menjadi

y=



dx 1 − 4x y= 2

=

∫2

dv 1− v
2

=

1 2



dv 1 − v2

yang menghasilkan

1 −1 1 sin v + K = sin −1 (2 x) + K 2 2

Soal-Soal: Carilah integral tak tentu berikut ini.



dx 1 + 4x2

;



dx 1 − x2

;



dx 4 + x2

;

∫x

dx 4 + x2

;

∫ 1 − x2

dx

182 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

14.9. Relasi Diferensial dan Integral Berikut ini daftar formula untuk deferensial beserta pasangan integralnya. Beberapa di antaranya perlu untuk diingat, misalnya formula 1 sampai 9 dan 16, 17 yang sering kita temui. Tabel-14.1. 1. dv =

dv dx dx

1. dv = v + K



2. d (kv) = kdv 3. d (v + w) = dv + dw 4. dv n = nv n −1dv

2.

∫ kdv = k ∫ dv
∫ ∫ ∫

3. (dv + dw) = dv + dw

4. v n dv =



v n +1 + C ; n≠1 n +1

5. d (ln v) =

dv v

5.

∫v

dv

= ln v + K v 6. dev = ev dv 7. da v = a v ln adv

6.

∫ e dv = e v +K

7. a v dv =



av +K ln a

8. d (sin v) = cos vdv 9. d (cos v) = − sin vdv

8. cos vdv = sin v + K 9. sin vdv = − cos v + K 10. sec 2 vdv = tan v + K

∫ ∫

10. d (tan v) = sec 2 vdv



183

11. d (cot v) = − csc 2 vdv 12. d (sec v) = sec v tan vdv 13. d (csc v) = − csc v cot vdv 14. d (sinh v) = cosh v 15. d (cosh v) = sinh vdv

11. csc2 vdv = − cot v + K



12.

∫ sec tan vdv = sec v + K

13.

∫ csc cot vdv = − csc v + K
∫ ∫ ∫

14. cosh vdv = sinh v + K 15. sinh vdv = cosh v + K 16. sec h 2 vdv = tanh v + K 17. csc h 2vdv = − coth v + K

16. d (tanh v) = sec h 2vdv 17. d (coth v) = − csc h 2vdv 18. d (sechv) = − sec hv tanh vdv 19. d (cschv) = − csc hv coth vdv



18.

∫ sec hv tanh vdv = −sechv + K ∫ cschv coth vdv = −coshv + K

∫ dv 1− v dv 1− v
2

19.

20. d (sin −1 v) =

dv 1− v
2

20.

2

= sin −1 v + K

21. d (cos −1 v) =

−dv 1 − v2

21.

= − cos −1 v + K ′

22. d tan −1 v =

dv 1+ v
2

22.

∫ 1 + v 2 = tan

dv

−1

v+K

184 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

23. d cot −1 v =

−dv 1+ v
2

23.

∫ 1 + v2 = − cot
∫v
∫ dv v −1
2

dv

−1

v+K

24. d sec −1 v =

dv v v −1
2

24.

= sec −1 v + K , v >0

25. d csc −1 v =
−1

− dv v v −1
2

25.

dv v v −1
2

= − csc −1 v + K , v >0

26. d (sinh

v) =

dv 1+ v dv v −1
2

2

26. ∫ 27. 28.

dv 1+ v dv v2 − 1
2

= sinh −1 v + K

27. d (cosh −1 v) = 28. d (tanh −1 v) = 29. d (coth −1 v) = 30. d (sec h −1v) = 31. d (csc h −1v) =



= cosh −1 v + K
−1

dv 1− v dv
2

∫ 1 − v 2 = tanh dv dv

v + K ; jika |v|1

v 1− v −dv v 1+ v

2

= − sec h −1 v + K ; = − csc h −1 v + K ;

2

Catatan Tentang Isi Tabel-14.1. Dengan menggunakan relasi-relasi dalam Tabel-13.1 kita dapat melakukan proses integrasi fungsi-fungsi mencakup: Fungsi mononom dan polinom: Fungsi polinom berpangkat: Fungsi exponensial: v ∫ vdv n ∫ v dv ; ∫ v v dv

∫ e dv ; ∫ a dv
185

Fungsi trigonometri:

∫ cos vdv ; ∫ sin vdv ; ∫ sec

2

vdv ;

∫ csc

2

vdv ;

∫ sec tan vdv ; ∫ csc cot vdv . tetapi tidak: Fungsi

∫ tan vdv ; ∫ cot vdv ; ∫ sec vdv ; ∫ csc vdv .
2

∫ cosh vdv ; ∫ sinh vdv ; ∫ sec h vdv ; 2 ∫ csc h vdv ; ∫ sec hv tanh vdv ; ∫ cschv coth vdv . hiperbolik: tetapi tidak:

∫ tanh vdv ; ∫ coth vdv ; ∫ sec hvdv ; ∫ csc hvdv .
∫ 1 + v2 ; ∫ v
∫ 1 − v2 ; ∫ v dv Integrasi fungsi aljabar yang menghasilkan fungsi trigonometri inversi dan fungsi hiperbolik inversi, seperti

∫ ∫

dv 1− v dv v2 − 1
2

;

dv

dv v −1
2

;



dv 1 + v2

;

;

dv 1 − v2

;

∫v

dv 1 + v2

.

tetapi tidak mengintegrasi fungsi inversi seperti

∫ sin berbentuk −1

vdv ;

∫ tan

−1

xdx ; sinh



−1

vdv ;

∫ tanh

−1

vdv

Tabel-14.1 tidak memuat relasi integrasi fungsi-fungsi aljabar yang

∫ a2 + v2 ; ∫

dv

a 2 ± v 2 dv;



v 2 − a 2 dv; dsb

186 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 15

Persamaan Diferensial Orde-1

15.1. Pengertian Persamaan diferensial adalah suatu persamaan di mana terdapat satu atau lebih turunan fungsi. Persamaan duferensial diklasifikasikan sebagai: 1. Menurut jenis atau tipe: ada persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial. Jenis yang kedua tidak kita pelajari di buku ini, karena kita hanya meninjau fungsi dengan satu peubah bebas. 2. Menurut orde: orde persamaan diferensial adalah orde tertinggi turunan fungsi yang ada dalam persamaan. tiga; 3.

d3y dx3

adalah orde

d2y
2

adalah orde dua;

dx Menurut derajat: derajat suatu persamaan diferensial adalah pangkat tertinggi dari turunan fungsi orde tertinggi.
2 5

dy adalah orde satu. dx

 d3y   d2y  y = e x adalah persamaan Sebagai contoh:  3  +  2  + 2  dx   dx  x +1     diferensial biasa, orde tiga, derajat dua.
Dalam buku ini kita hanya akan membahas persamaan diferensial biasa, orde satu dan orde dua, derajat satu. 15.2. Solusi Suatu fungsi y = f(x) dikatakan merupakan solusi suatu persamaan diferensial jika persamaan tersebut tetap terpenuhi dengan digantikannya y dan turunannya dalam persamaan tersebut oleh f(x) dan turunannya. Kita ambil satu contoh: y = ke − x adalah solusi dari persamaan

dy − x adalah dy + y = 0 karena turunan y = ke = −ke − x , dan jika ini kita dt dt

masukkan dalam persamaan akan kita peroleh persamaan terpenuhi.

− ke − x + ke − x = 0 .;

187

Pada contoh di atas kita lihat bahwa persamaan diferensial orde satu mempunyai solusi yang melibatkan satu tetapan sembarang yaitu k. Pada umumnya suatu persamaan orde n akan memiliki solusi yang mengandung n tetapan sembarang. Pada persamaan diferensial orde dua yang akan kita bahas di bab berikutnya, kita akan menemukan solusi dengan dua tetapan sembarang. Nilai dari tetapan ini ditentukan oleh kondisi awal. 15.3. Persamaan Diferensial Orde Satu Dengan Peubah Yang Dapat Dipisahkan Solusi suatu persamaan diferensial bisa diperoleh apabila peubah-peubah dapat dipisahkan; pada pemisahan peubah ini kita mengumpulkan semua y dengan dy dan semua x dengan dx. Jika hal ini bisa dilakukan maka persamaan tersebut dapat kita tuliskan dalam bentuk

f ( y )dy + g ( x)dx = 0

(15.1)

Apabila kita lakukan integrasi kita akan mendapatkan solusi umum dengan satu tetapan sembarang K, yaitu

∫ f ( y)dy + ∫ g ( x)dx) = K
Kita ambil dua contoh. 1).

(15.2)

dy dy e x = ex− y . Persamaan ini dapat kita tuliskan = dx dx e y sehingga kita dapatkan persamaan dengan peubah terpisah e y dy − e x dx = 0 dan

∫ e dy − ∫ e dx = K y x

sehingga e y − e x = K atau e y = e x + K

2).

dy 1 = . Pemisahan peubah akan memberikan bentuk dx xy ydy − dx = 0 dan x

∫ ydy − ∫ x

dx

=K

188 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

sehingga

y2 − ln x = K atau y = ln x 2 + K ′ 2

15.4. Persamaan Diferensial Homogen Orde Satu Suatu persamaan disebut homogen jika ia dapat dituliskan dalam bentuk

dy  y = F  dx x

(15.3)

Persamaan demikian ini dapat dipecahkan dengan membuat peubah bebas baru

v=
Dengan peubah baru ini maka

y x

y = vx dan
Persamaan (14.2) menjadi

dy dv =v+ x dx dx

v+x

dv = F (v ) dx

(15.4)

yang kemudian dapat dicari solusinya melalui pemisahan peubah.

dx dv + =0 x v − F (v )

(15.5)

Solusi persamaan aslinya diperoleh dengan menggantikan v dengan y/x setelah persamaan terakhir ini dipecahkan. Kita ambil contoh: ( x 2 + y 2 )dx + 2 xydy = 0
2 Persamaan ini dapat kita tulis x 2 (1 + y )dx + 2 xydy = 0 atau 2

x

(1 +

y2 x2

)dx = −2

y dy 1 + ( y / x) 2 dy sehingga =− = F ( y / x) x dx 2( y / x)

189

yang merupakan bentuk persamaan homogen. Peubah baru v = y/x memberikan

y = vx dan

dy dv =v+ x dx dx

dan membuat persamaan menjadi

v+x

dv 1 + v2 dv 1 + v2 1 + 3v 2 =− = −v − =− atau x dx 2v dx 2v 2v

Dari sini kita dapatkan

dv (1 + 3v ) / 2v
2

=−

dx x

atau

dx 2vdv + =0 x 1 + 3v 2

Kita harus mencari solusi persamaan ini untuk mendapatkan v sebagai fungsi x. Kita perlu pengalaman untuk ini. Kita tahu bahwa

d (ln x) 1 = . Kita coba hitung dx x

d ln(1 + 3x 2 ) d ln(1 + 3x 2 ) d (1 + 3 x 2 ) 1 = = (6 x ) 2 dx dx d (1 + 3x ) 1 + 3x 2
Kembali ke persamaan kita. Dari percobaan perhitungan di atas kita dapatkan solusi dari

dx 2vdv + =0 x 1 + 3v 2 adalah ln x +

1 1 ln(1 + 3v 2 ) = K = ln K ′ atau 3 3

3 ln x + ln(1 + 3v 2 ) = K = ln K ′ sehingga x 3 (1 + 3v 2 ) = K ′
Dalam x dan y solusi ini adalah

x 3 1 + 3( y / x) 2 = K ′ atau x x 2 + 3 y 2 = K ′

(

)

(

)

190 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

15.5. Persamaan Diferensial Linier Orde Satu Dalam persamaan diferensial linier, semua suku berderajat satu atau nol. Dalam menentukan derajat ini kita harus memperhitungkan pangkat dari peubah dan turunannya; misal y(dy/dx) adalah berderajat dua karena y dan dy/dx masing-masing berpangkat satu dan harus kita jumlahkan untuk menentukan derajat dari y(dy/dx). Persamaan diferensial orde satu yang juga linier dapat kita tuliskan dalam bentuk

dy + Py = Q dx

(15.6)

dengan P dan Q merupakan fungsi x atau tetapan. Persamaan diferensial bentuk inilah selanjutnya akan kita bahas dan kita akan membatasi pada situasi dimana P adalah suatu tetapan. Hal ini kita lakukan karena kita akan langsung melihat pemanfaatan praktis dengan contoh yang terjadi pada analisis rangkaian listrik. Dalam analisis rangkaian listrik, peubah fisis seperti tegangan dan arus merupakan fungsi waktu. Oleh karena itu persamaan diferensial yang akan kita tinjau kita tuliskan secara umum sebagai

a

dy + by = f (t ) dt

(15.7)

Persamaan diferensial linier orde satu seperti ini biasa kita temui pada peristiwa transien (atau peristiwa peralihan) dalam rangkaian listrik. Cara yang akan kita gunakan untuk mencari solusi adalah cara pendugaan. Peubah y adalah keluaran rangkaian (atau biasa disebut tanggapan rangkaian) yang dapat berupa tegangan ataupun arus sedangkan nilai a dan b ditentukan oleh nilai-nilai elemen yang membentuk rangkaian. Fungsi f(t) adalah masukan pada rangkaian yang dapat berupa tegangan ataupun arus dan disebut fungsi pemaksa atau fungsi penggerak. Persamaan diferensial seperti (15.7) mempunyai solusi total yang merupakan jumlah dari solusi khusus dan solusi homogen. Solusi khusus adalah fungsi yang dapat memenuhi persamaan (15.7) sedangkan solusi homogen adalah fungsi yang dapat memenuhi persamaan homogen

a

dy + by = 0 dt

(15.8)

191

Hal ini dapat difahami karena jika f1(t) memenuhi (15.7) dan fungsi f2(t) memenuhi (15.8), maka y = (f1+f2) akan memenuhi (15.7) sebab

dy d ( f1 + f 2 ) + by = a + b( f1 + f 2 ) dt dt df df df = a 1 + bf1 + a 2 + bf 2 = a 1 + bf1 + 0 dt dt dt a
Jadi y = (f1+f2) adalah solusi dari (15.7), dan kita sebut solusi total yang terdiri dari solusi khusus f1 dari (15.7) dan solusi homogen f2 dari (15.8). Peristiwa Transien. Sebagaimana telah disebutkan, persamaan diferensial seperti (14.7) dijumpai dalam peristiwa transien, yaitu selang peralihan dari suatu keadaan mantap ke keadaan mantap yang lain.. Peralihan kita anggap mulai terjadi pada t = 0 dan peristiwa transien yang kita tinjau terjadi dalam kurun waktu setelah mulai terjadi perubahan yaitu dalam kurun waktu t > 0. Sesaat setelah mulai perubahan kita beri tanda t = 0+ dan sesaat sebelum terjadi perubahan kita beri tanda t = 0−. Solusi Homogen. Persamaan (15.8) menyatakan bahwa y ditambah dengan suatu koefisien konstan kali dy/dt, sama dengan nol untuk semua nilai t. Hal ini hanya mungkin terjadi jika y dan dy/dt berbentuk sama. Fungsi yang turunannya mempunyai bentuk sama dengan fungsi itu sendiri adalah fungsi eksponensial. Jadi kita dapat menduga bahwa solusi dari (15.8) mempunyai bentuk eksponensial y = K1est . Jika solusi dugaan ini kita masukkan ke (15.8), kita peroleh

aK1se st + bK1e st = 0

atau

K1 (as + b ) y = 0

(15.9)

Peubah y tidak mungkin bernilai nol untuk seluruh t dan K1 juga tidak boleh bernilai nol karena hal itu akan membuat y bernilai nol untuk seluruh t. Satu-satunya cara agar persamaan (15.9) terpenuhi adalah

as + b = 0

(15.10)

Persamaan (15.10) ini disebut persamaan karakteristik sistem orde pertama. Persamaan ini hanya mempunyai satu akar yaitu s = −(b/a). Jadi solusi homogen yang kita cari adalah

ya = K1e st = K1e −(b / a ) t

(15.11)

Nilai K1 masih harus kita tentukan melalui penerapan suatu persyaratan tertentu yang kita sebut kondisi awal yaitu kondisi pada t = 0+ sesaat 192 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

setelah mulainya perubahan keadaan. Ada kemungkinan bahwa y telah mempunyai nilai tertentu pada t = 0+ sehingga nilai K1 haruslah sedemikian rupa sehingga nilai y pada t = 0+ tersebut dapat dipenuhi. Akan tetapi kondisi awal ini tidak dapat kita terapkan pada solusi homogen karena solusi ini baru merupakan sebagian dari solusi. Kondisi awal harus kita terapkan pada solusi total dan bukan hanya untuk solusi homogen saja. Oleh karena itu kita harus mencari solusi khusus lebih dulu agar solusi total dapat kita peroleh untuk kemudian menerapkan kondisi awal. Solusi khusus. Solusi khusus dari (15.7) tergantung dari bentuk fungsi pemaksa f(t). Seperti halnya dengan solusi homogen, kita dapat melakukan pendugaan pada solusi khusus. Bentuk solusi khusus haruslah sedemikian rupa sehingga jika dimasukkan ke persamaan (15.7) maka ruas kiri dan ruas kanan persamaan itu akan berisi bentuk fungsi yang sama. Jika solusi khusus kita sebut yp, maka yp dan turunannya harus mempunyai bentuk sama agar hal tersebut terpenuhi. Untuk berbagai bentuk f(t), solusi khusus dugaan yp adalah sebagai berikut.

Jika f (t ) = 0 , maka y p = 0 Jika f (t ) = A = konstan, maka y p = konstan = K Jika f (t ) = Aeαt = eksponensial, maka y p = eksponensial = Ke αt Jika f (t ) = A sin ωt , atau f (t ) = A cos ωt , maka y p = K c cos ωt + K s sin ωt Perhatikan : y = K c cos ωt + K s sin ωt adalah bentuk umum fungsi sinus maupun cosinus .
Solusi total. Jika solusi khusus kita sebut yp, maka solusi total adalah

y = y p + ya = y p + K1e s t

(15.12)

Pada solusi lengkap inilah kita dapat menerapkan kondisi awal yang akan memberikan nilai K1. Kondisi Awal. Kondisi awal adalah kondisi pada awal terjadinya perubahan yaitu pada t = 0+. Dalam menurunkan persamaan diferensial pada peristiwa transien kita harus memilih peubah yang disebut peubah 193

status. Peubah status harus merupakan fungsi kontinyu. Nilai peubah ini, sesaat sesudah dan sesaat sebelum terjadi perubahan harus bernilai sama. Jika kondisi awal ini kita sebut y(0+) maka

y (0 + ) = y ( 0 − )

(15.13)

Jika kondisi awal ini kita masukkan pada dugaan solusi lengkap (14.12) akan kita peroleh nilai K1.

y (0 + ) = y p (0 + ) + K1 → K1 = y (0 + ) − y p (0 + )

(15.14)

yp(0+) adalah nilai solusi khusus pada t = 0+. Nilai y(0+) dan yp(0+) adalah tertentu (yaitu nilai pada t = 0+). Jika kita sebut

y (0+ ) − y p (0 + ) = A0 maka solusi total menjadi

(15.15)

y = y p + A0 e s t
15.6. Solusi Pada Berbagai Fungsi Pemaksa

(15.16)

Tanpa Fungsi Pemaksa, f(t) = 0. Jika f(t) =0 maka solusi yang akan kita peroleh hanyalah solusi homogen saja. Walaupun demikian, dalam mencari soluai kita akan menganggap bahwa fungsi pemaksa tetap ada, akan tetapi bernilai nol. Hal ini kita lakukan karena kondisi awal harus diterapkan pada solusi total, sedangkan solusi total harus terdiri dari solusi homogen dan solusi khusus (walaupun mungkin bernilai nol). Kondisi awal tidak dapat diterapkan hanya pada solusi homogen saja atau solusi khusus saja. Contoh: Dari suatu analisis rangkaian diperoleh persamaan dv + 1000v = 0 dt untuk t > 0. Kondisi awal adalah v(0+) = 12 V.

Persamaan karakteristik : s + 1000 = 0 → s = −1000 Dugaan solusi homogen : va = A0e −1000t Dugaan solusi khusus : v p = 0 (karena tidak ada fungsi pemaksa) Dugaan solusi total : v = v p + A0 e st = 0 + A0 e −1000t

194 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Kondisi awal : v (0 + ) = v(0 − ) = 12 V. Penerapan kondisi awal pada dugaan solusi total memberikan : 12 = 0 + A0 → A0 = 12 Solusi total menjadi : v = 12 e −1000 t V
Contoh: Pada kondisi awal v(0+) = 10 menghasilkan persamaan dv + 3v = 0 dt V, analisis transien

Persamaan karakteristik : s + 3 = 0 → s = −3 Dugaan solusi homogen : va = A0 e −3 t Dugaan solusi khusus : v p = 0 Dugaan solusi total : v = v p + A0 e − 3t Kondisi awal : v (0 + ) = 10 V Penerapan kondisi awal memberikan : 10 = 0 + A0 Solusi total menjadi : v = 10 e −3t V
Fungsi Pemaksa Berbentuk Anak Tangga. Kita telah mempelajari bahwa fungsi anak tangga adalah fungsi yang bernilai 0 untuk t < 0 dan bernilai konstan untuk t > 0. Jadi jika kita hanya meninjau keadaan untuk t > 0 saja, maka fungsi pemaksa anak tangga dapat kita tuliskan sebagai f(t) = A (tetapan). Contoh: Suatu analisis rangkaian memberikan persamaan

10−3

dv + v = 12 dt

dengan kondisi awal v(0+) = 0 V.

Persamaan karakteristik : 10−3 s + 1 = 0 → s = −1 / 10 −3 = −1000 Dugaan solusi homogen : va = A0e −1000 t

195

Karena f(t) = 12 konstan, kita dapat menduga bahwa solusi khusus akan bernilai konstan juga karena turunannya akan nol sehingga kedua ruas persamaan tersebut dapat berisi suatu nilai konstan.

Dugaan solusi khusus : v p = K Masukkan v p dugaan ini ke persamaan : 0 + K = 12 ⇒ v p = 12 Dugaan solusi total : v = 12 + A0e −1000 t V Kondisi awal : v(0 + ) = v(0−) = 0. Penerapan kondisi awal memberikan : 0 = 12 + A0 → A0 = −12 Solusi total menjadi : v = 12 − 12 e −1000t V
Contoh: Pada kondisi awal v(0+) = 11 V, analisis transien menghasilkan persamaan

dv + 5v = 200 dt
Persamaan karakteristik : s + 5 = 0 → s = −5 Dugaan solusi homogen : va = A0 e − 5 t Dugaan solusi khusus : v p = K → 0 + 5K = 200 → v p = 40 Dugaan solusi lengkap : v = v p + A0 e −5t = 40 + A0 e −5t Kondisi awal : v(0 + ) = 11 V. Penerapan kondisi awal memberikan : 11 = 40 + A0 → A0 = −29 Tanggapan total : v = 40 − 29 e −5t V.
Fungsi Pemaksa Berbentuk Sinus. Berikut ini kita akan mencari solusi jika fungsi pemaksa berbentuk sinus. Karena solusi homogen tidak tergantung dari bentuk fungsi pemaksa, maka pencarian solusi homogen dari persamaan ini sama seperti apa yang kita lihat pada contoh-contoh sebelumnya. Jadi dalam hal ini perhatian kita lebih kita tujukan pada pencarian solusi khusus. Dengan pengertian bahwa kita hanya memandang kejadian pada t > 0, bentuk umum dari fungsi sinus yang muncul pada t = 0 kita tuliskan y = A cos(ωt + θ)

196 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Melalui relasi

y = A cos(ωt + θ) = A{cos ωt cos θ − sin ωt sin θ} bentuk umum fungsi sinus dapat kita tuliskan sebagai

y = Ac cos ωt + As sin ωt dengan Ac = A cos θ dan As = − A sin θ
Dengan bentuk umum seperti di atas kita terhindar dari perhitungan sudut fasa θ, karena sudut fasa ini tercakup dalam koefisien Ac dan As. Koefisien Ac dan As tidak selalu ada. Jika sudut fasa θ = 0 maka As = 0 dan jika θ = 90o maka Ac = 0. Jika kita memerlukan nilai sudut fasa θ dari fungsi sinus yang dinyatakan dengan pernyataan umum, kita dapat A menggunakan relasi tan θ = s . Ac Turunan fungsi sinus akan berbentuk sinus juga. Oleh karena itu, penjumlahan y = sinωt dan turunannya akan berbentuk fungsi sinus juga.

y = Ac cos ωt + As sin ωt ; dy = − Ac ω sin ωt + As ω cos ωt ; dt d2y dt
2

= − Ac ω2 cos ωt − As ω2 sin ωt

Contoh: Pada kondisi awal v(0+) = 0 V suatu analisis transien dv menghasilkan persamaan + 5v = 100 cos10t dt

Persamaan karakteristik : s + 5 = 0 → s = −5 Dugaan solusi homogen : va = A0 e −5 t
Fungsi pemaksa berbentuk sinus. Solusi khusus kita duga akan berbentuk sinus juga.

197

Dugaan solusi khusus : v p = Ac cos10t + As sin 10t Substitusi solusi khusus ini ke persamaan memberikan : − 10 Ac sin 10t + 10 As cos10t + 5 Ac cos10t + 5 As sin 10t = 100 cos10t → −10 Ac + 5 As = 0 dan 10 As + 5 Ac = 100 → As = 2 Ac → 20 Ac + 5 Ac = 100 Solusi khusus : v p = 4 cos10t + 8 sin 10t Dugaan solusi total : v = 4 cos10t + 8 sin 10t + A0e −5 t Kondisi awal v(0 + ) = 0. Penerapan kondisi awal : 0 = 4 + A0 → A0 = −4 Jadi : v = 4 cos10t + 8 sin 10t − 4e −5t V
Contoh: Apabila kondisi awal adalah v(0+) = 10 V, bagaimanakah solusi pada contoh sebelum ini? Solusi total telah diperoleh; hanya kondisi awal yang berubah.
Solusi total : v = 4 cos10t + 8 sin 10t + A0 e −5t Kondisi awal v(0 + ) = 10 → 10 = 4 + A0 → A0 = 6 Jadi : v = 4 cos 10t + 8 sin 10t + 6 e −5 t V

⇒ Ac = 4 dan As = 8

Ringkasan. Solusi total terdiri dari solusi khusus dan solusi homogen. Solusi homogen merupakan bagian transien dengan konstanta waktu yang ditentukan oleh tetapan-tetapan dalam persamaan, yang dalam hal rangkaian listrik ditentukan oleh nilai-nilai elemen rangkaian. Solusi khusus merupakan solusi yang tergantung dari bentuk fungsi pemaksa, yang dalam hal rangkaian listrik ditentukan oleh masukan dari luar; solusi khusus merupakan bagian mantap atau kondisi final.

198 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

y = y p (t ) + A0 e− t / τ

Solusi khusus : ditentukan oleh fungsi pemaksa. merupakan komponen mantap; tetap ada untuk t →∞.

Solusi homogen : tidak ditentukan oleh fungsi pemaksa. merupakan komponen transien; hilang pada t →∞; sudah dapat dianggap hilang pada t = 5τ. konstanta waktu τ = a/b pada (14.10)

Soal-Soal: 1. Carilah solusi persamaan diferensial berikut.

a).

dv + 10v = 0 , v(0 + ) = 10 ; dt dv b). + 15v = 0 , v (0 + ) = 5 dt

2.

Carilah solusi persamaan diferensial berikut.

a).

di + 8i = 0 , i (0 + ) = 2 ; dt di b). + 10 4 i = 0 , i (0 + ) = −0,005 dt

199

3.

Carilah solusi persamaan diferensial berikut.

a).

dv + 10v = 10u (t ) , v(0 + ) = 0 ; dt dv b). + 10v = 10u (t ) , v(0 + ) = 5 dt

4.

Carilah solusi persamaan diferensial berikut.

a).

di + 10 4 i = 100u (t ) , i(0 + ) = 0 ; dt di b). + 10 4 i = 100u (t ) , i (0 + ) = −0,02 dt dv + 5v = 10 cos(5t )u (t ) , v (0 + ) = 0 ; dt dv b). + 10v = 10 cos(5t )u (t ) , v (0 + ) = 5 dt

5.

Carilah solusi persamaan diferensial berikut.

a).

200 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 16

Persamaan Diferensial Orde-2

16.1. Persamaan Diferensial Linier Orde Dua Secara umum persamaan diferensial linier orde dua berbentuk

a

d2y dt
2

+b

dy + cy = f (t ) dt

(16.1)

Pada persamaan diferensial orde satu kita telah melihat bahwa solusi total terdiri dari dua komponen yaitu solusi homogen dan solusi khusus. Hal yang sama juga terjadi pada persamaan diferensial orde dua yang dengan mudah dapat ditunjukkan secara matematis seperti halnya pada persamaan orde pertama. Perbedaan dari kedua macam persamaan ini terletak pada kondisi awalnya. Pada persamaan orde dua terdapat dua kondisi awal dan kedua kondisi awal ini harus diterapkan pada dugaan solusi total. Dua kondisi awal tersebut adalah

y (0+ ) = y (0− ) dan

dy + (0 ) = y ' (0 − ) dt

(16.2)

Solusi homogen. Solusi homogen diperoleh dari persamaan rangkaian dengan memberikan nilai nol pada ruas kanan dari persamaan (4.25), sehingga persamaan menjadi

a

d2y dt
2

+b

dy + cy = 0 dt

(16.3)

Agar persamaan ini dapat dipenuhi, y dan turunannya harus mempunyai bentuk sama sehingga dapat diduga y berbentuk fungsi eksponensial ya = Kest dengan nilai K dan s yang masih harus ditentukan. Kalau solusi dugaan ini dimasukkan ke (16.3) akan diperoleh :

aKs 2e st + bKse st + cKe st = 0 atau

Ke st as 2 + bs + c = 0

(

)

(16.4)

Fungsi est tidak boleh nol untuk semua nilai t . Kondisi K = 0 juga tidak diperkenankan karena hal itu akan berarti ya = 0 untuk seluruh t. Satusatunya jalan agar persamaan ini dipenuhi adalah

as 2 + bs + c = 0

(16.4)

201

Persamaan ini adalah persamaan karakteristik persamaan diferensial orde dua. Secara umum, persamaan karakteristik yang berbentuk persamaan kwadrat itu mempunyai dua akar yaitu:

s1, s2 =

− b ± b 2 − 4ac 2a

(16.5)

Akar-akar persamaan ini mempunyai tiga kemungkinan nilai, yaitu: dua akar riil berbeda, dua akar sama, atau dua akar kompleks konjugat. Konsekuensi dari masing-masing kemungkinan nilai akar ini terhadap bentuk solusi akan kita lihat lebih lanjut. Untuk sementara ini kita melihat secara umum bahwa persamaan karakteristik mempunyai dua akar. Dengan adanya dua akar tersebut maka kita mempunyai dua solusi homogen, yaitu:

ya1 = K1e s1t

dan

ya 2 = K 2 e s 2 t

(16.6)

Jika ya1 merupakan solusi dan ya2 juga merupakan solusi, maka jumlah keduanya juga merupakan solusi. Jadi solusi homogen yang kita cari akan berbentuk

ya = K1e s1t + K 2 e s 2t

(16.7)

Konstanta K1 dan K2 kita cari melalui penerapan kondisi awal pada solusi total. Solusi Khusus. Sulusi khusus kita cari dari persamaan (16.1). Solusi khusus ini ditentukan oleh bentuk fungsi pemaksa, f(t). Cara menduga bentuk solusi khusus sama dengan apa yang kita pelajari pada persamaan orde satu. Kita umpamakan solusi khusus ykhusus = yp. Solusi Total. Dengan solusi khusus yp maka solusi total menjadi

y = y p + ya = y p + K1e s1t + K 2e s 2t

(16.8)

202 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

16.2. Tiga Kemungkinan Bentuk Solusi Sebagaimana disebutkan, akar-akar persamaan karakteristik yang berbentuk umum as2 + bs + c = 0 dapat mempunyai tiga kemungkinan nilai akar, yaitu: a). Dua akar riil berbeda, s1 ≠ s2, jika {b2− 4ac } > 0; b). Dua akar sama, s1 = s2 = s , jika {b2−4ac } = 0 c). Dua akar kompleks konjugat s1 , s2 = α ± jβ , jika {b2−4ac } < 0. Tiga kemungkinan nilai akar tersebut akan memberikan tiga kemungkinan bentuk solusi yang akan kita lihat berikut ini, dengan contoh solusi pada persamaan diferensial tanpa fungsi pemaksa. Dua Akar Nyata Berbeda. Kalau kondisi awal y(0+) dan dy/dt (0+) kita terapkan pada solusi total (16.8), kita akan memperoleh dua persamaan yaitu

y (0+ ) = y p (0 + ) + K1 + K 2 dan y ' (0 + ) = y′p (0+ ) + s1K1 + s2 K 2 yang akan menentukan nilai K1 dan K2. Jika kita sebut

(16.9)

A0 = y (0 + ) − y p (0+ ) B0 = y′(0+ ) − y′p (0 + ) maka kita peroleh

dan
(16.10)

K1 + K 2 = A0 dan dari sini kita memperoleh

dan

s1K1 + s2 K 2 = B0 s1 A0 − B0 s1 − s2

K1 =

s2 A0 − B0 s2 − s1

dan

K2 =

sehingga solusi total menjadi

y = yp +

s2 A0 − B0 s1t s1 A0 − B0 s2 t e + e s2 − s1 s1 − s2

(16.11)

Berikut ini kita lihat suatu contoh. Seperti halnya pada persamaan orde pertama, pada persamaan orde dua ini kita juga mengartikan solusi 203

persamaan sebagai solusi total. Hal ini didasari oleh pengertian tentang kondisi awal, yang hanya dapat diterapkan pada solusi total. Persamaan yang hanya mempunyai solusi homogen kita fahami sebagai persamaan dengan solusi khusus yang bernilai nol. Contoh: Dari analisis transien suatu rangkaian listrik diperoleh persamaan

d 2v dt dengan kondisi awal
2

+ 8,5 × 103

dv + 4 × 106 v = 0 dt

v(0+)=15 V dan dv/dt(0+) = 0

Persamaan karkteristik : s 2 + 8,5 × 103 s + 4 × 10 6 = 0 → akar - akar : s1, s2 = −4250 ± 103 (4,25) 2 − 4 s1 = −500, s2 = −8000 ( dua akar riil berbeda).
Dugaan solusi total : v = 0 + K1e −500t + K 2 e −8000t (solusi homogen nol) Kondisi awal : a). v(0 + ) = v(0 − ) = 15 V → 15 = K1 + K 2 ⇒ K 2 = 15 − K1 b). dv + (0 ) = 0 → 0 = K1s1 + K 2 s2 = K1s1 + (15 − K1 ) s2 dt − 15s2 − 15(−8000) ⇒ K1 = = = 16 ⇒ K 2 = 15 − K1 = −1 s1 − s2 − 500 + 8000 (hanya terdiri dari solusi homogen).

Solusi total : v = 16e − 500 t − e −8000 t V

Dua Akar Nyata Sama Besar. Kedua akar yang sama besar tersebut dapat kita tuliskan sebagai

s1 = s dan s2 = s + δ ; dengan δ → 0
Dengan demikian maka solusi total dapat kita tulis sebagai

(16.12)

y = y p + K1e s1t + K 2 e s2t = y p + K1e st + K 2e( s + δ)t

(16.13)

204 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Kalau kondisi awal pertama y(0+) kita terapkan, kita akan memperoleh

y (0 + ) = y p (0 + ) + K1 + K 2 → K1 + K 2 = y (0+ ) − y p (0+ ) = A0
Jika kondisi awal kedua dy/dt (0+) kita terapkan, kita peroleh

y′(0 + ) = y′p (0+ ) + K1s + K 2 ( s + δ) → ( K1 + K 2 ) s + K 2δ = y′(0+ ) − y ′p (0+ ) = B0
Dari kedua persamaan ini kita dapatkan

B − A0 s A0 s + K 2δ = B0 → K 2 = 0 δ B − A0 s → K1 = A0 − 0 δ
Solusi total menjadi

(16.14)

B − A0 s  st B0 − A0 s ( s + δ)t  y = y p +  A0 − 0 e e + δ δ    B − A0 s  B0 − A0 s δ t  st = y p +  A0 − 0 e e + δ δ      1 eδ t  st  e = y p +  A0 + ( B0 − A0 s) − +  δ δ     
Karena (16.15.a)

 1 eδ t   δt   = lim  e − 1  = t lim  − +  δ  δ →0 δ  δ →0 δ    

maka solusi total dapat kita tulis

y = y p + [A0 + ( B0 − A0 s ) t ] e st

(16.15.b)

Solusi total seperti dinyatakan oleh (16.15.b) merupakan bentuk khusus yang diperoleh jika persamaan karakteristik mempunyai dua akar sama besar. A0 dan B0 mempunyai nilai tertentu yang ditetapkan oleh kondisi awal. Dengan demikian kita dapat menuliskan (16.15.b) sebagai 205

y = y p + [K a + K b t ] e st

(16.15.c)

dengan nilai Ka yang ditentukan oleh kondisi awal, dan nilai Kb ditentukan oleh kondisi awal dan s. Dalam rangkaian listrik, nilai s tergantung dari elemen-elemen yang membentuk rangkaian dan tidak ada kaitannya dengan kondisi awal. Dengan kata lain, jika kita mengetahui bahwa persamaan karakteristik rangkaian mempunyai akar-akar yang sama besar (akar kembar) maka bentuk tanggapan rangkaian akan seperti yang ditunjukkan oleh (16.15.c). Contoh: Pada kondisi awal v(0+)=15 V dan dv/dt(0+)=0, analisis transien rangkaian listrik memberikan persamaan d 2v dt
2

+ 4 × 103

dv + 4 × 106 v = 0 dt

Persamaan karakteristik : s 2 + 4000s + 4 × 106 = 0 akar - akar : s1, s2 = −2000 ± 4 × 106 − 4 × 106 = −2000 = s Di sini terdapat dua akar sama besar; oleh karena itu solusi total akan berbentuk : v = v p + (K a + K b t ) e st = 0 + (K a + K b t ) e st , karena v p = 0.
Aplikasi kondisi awal pertama pada solusi total ini memberikan v(0 + ) = 15 = K a . Aplikasi kondisi awal kedua memberikan dv + (0 ) = 0 dt

Jadi : v = (15 + 30000t ) e − 2000 t V

dv = K b e st + (K a + K bt ) s e st dt dv + → (0 ) = 0 = K b + K a s → K b = − K a s = 30000 dt

206 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Akar-Akar Kompleks Konjugat. Kita belum membahas bilangan kompleks di buku ini. Kita baru memandang fungsi-fungsi yang memiliki nilai bilangan nyata. Namun agar pembahasan menjadi lengkap, berikut ini diberikan solusinya. Dua akar kompleks konjugat dapat dituliskan sebagai

s1 = α + jβ
Solusi total dari situasi ini adalah

dan

s2 = α − j β

y = y p + K1e (α + jβ) t + K 2 e( α − jβ) t = y p + K1e + jβ t + K 2e − jβ t e αt
Aplikasikan kondisi awal yang pertama, y(0+),

(

)

(16.16)

y (0+ ) = y p (0+ ) + (K1 + K 2 ) → K1 + K 2 = y (0 + ) − y p (0+ ) = A0 dv + (0 ) = y′(0+ ) , dt

Aplikasi kondisi awal yang kedua,

dy dy p = + jβK1e jβt − jβ K 2 e − jβt e αt dt dt + K1e jβt + K 2e − jβt α eαt
Kita akan memperoleh dy + (0 ) = y ′(0 + ) = y′p (0 + ) + ( jβK1 − jβK 2 ) + (K1 + K 2 ) α dt → jβ(K1 − K 2 ) + α(K1 + K 2 ) = y′(0 + ) − y′p (0 + ) = B0

(

(

)

)

K1 + K 2 = A0 B − αA0 jβ(K1 − K 2 ) + α(K1 + K 2 ) = B0 → K1 − K 2 = 0 jβ

K1 =

A0 + ( B0 − αA0 ) / jβ 2

K2 =

A0 − ( B0 − αA0 ) / jβ 2

Solusi total menjadi 207

 A + ( B0 − αA0 ) / jβ + jβ t A0 − ( B0 − αA0 ) / jβ − jβ t  αt y = yp +  0 e + e e 2 2    e + jβ t + e − jβ t ( B0 − αA0 ) e + jβ t − e − jβ t = y p +  A0 +  β 2j 2    ( B − αA0 ) sin β t  eαt = y p +  A0 cos βt + 0   β  
(16.17) A0 dan B0 mempunyai nilai tertentu yang ditetapkan oleh kondisi awal sedangkan α dan β memiliki nilai tertentu (dalam rangkaian listrik ditentukan oleh nilai elemen rangkaian). Dengan demikian solusi total dapat kita tuliskan sebagai

 αt e  

y = y p + (K a cos βt + K b sin βt ) eαt

(16.18)

dengan Ka dan Kb yang masih harus ditentukan melalui penerapan kondisi awal. Ini adalah bentuk solusi total khusus untuk persamaan diferensial yang memiliki persamaan karakteristik dengan dua akar kompleks konjugat. Persamaan (16.18) menunjukkan bahwa bila persamaan karakteristik memberikan dua akar kompleks konjugat, maka solusi persamaan diferensial orde dua akan terdiri dari solusi khusus yp ditambah fungsi sinus yang teredam.

208 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Soal-Soal: 1. Carilah solusi persamaan diferensial berikut.
a). b). c). d 2v dt 2 dt dt
2

+7

dv dv + + 10v = 0 ; v(0 + ) = 0, (0 ) = 15 dt dt dv dv + + 4 v = 0 ; v (0 + ) = 0 , (0 ) = 10 dt dt dv dv + + 5v = 0 ; v(0 + ) = 0 , (0 ) = 5 dt dt

d 2v d 2v
2

+4 +4

2.

Carilah solusi persamaan diferensial berikut.
a). b). c). d 2v dt 2 dt 2 d 2v dt
2

+ 10

dv dv(0) + 24v = 100u (t ) ; v(0 + ) = 5, = 25 dt dt dv dv(0) + 25v = 100u (t ); v(0 + ) = 5, = 10 dt dt

d 2v

+ 10 +8

dv dv(0) + 25v = 100u (t ); v(0 + ) = 5, = 10 dt dt

3.

Carilah solusi persamaan diferensial berikut.
a). b). d 2v dt 2 d 2v dt 2 +6 +6 dv dv + + 8v = 100[cos1000 t ] u (t ) , v(0 + ) = 0, (0 ) = 0 dt dt dv dv + + 9v = 100[cos1000 t ] u (t ) , v(0 + ) = 0, (0 ) = 0 dt dt

c).

d 2v dt
2

+2

dv dv + + 10v = 100[cos 1000 t ] u (t ) , v(0 + ) = 0, (0 ) = 0 dt dt

209

210 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 17

Matriks

17.1. Konsep Dasar Matriks Matrik adalah susunan teratur bilangan-bilangan dalam baris dan kolom yang membentuk suatu susunan persegi panjang yang kita perlakukan sebagai suatu kesatuan. Dalam penulisannya matriks dibatasi oleh suatu kurung siku (ataupun dengan kurung biasa) seperti contoh berikut
2 0 3   1 2 4  3 2 1   

;   ; 4

2

[3

2 4] ;

2 4 1    3 0 2

(17.1)

Dalam contoh matriks (17.1) ini, banyaknya baris matriks yang pertama sama dengan banyaknya kolom, dalam hal ini 3, dan disebut matriks bujur sangkar. Yang kedua terdiri dari dua baris dan satu kolom, disebut matriks kolom atau vektor kolom. Yang ketiga terdiri dari satu baris tiga kolom, disebut matriks baris atau vektor baris. Yang keempat adalah matrik persegi panjang dengan dua baris dan tiga kolom. Secara umum suatu matrik terdiri dari m baris dan n kolom, sehingga suatu matrik akan terdiri dari m×n elemen-elemen. Elemen-elemen matriks ini dapat berupa bilangan riil maupun kompleks, akan tetapi dalam contoh-contoh selanjutnya kita hanya akan melihat matriks dengan elemen yang berupa bilangan nyata, dan disebut matriks nyata. Secara umum setiap elemen matriks diberi notasi sesuai dengan posisinya dalam matriks. Jika b (b = 1…m) adalah nomer baris dan k (k = 1…n) adalah nomer kolom, maka b dan k digunakan sebagai subscript-ganda elemen matriks. Notasi yang kita gunakan untuk memberi nama matriks adalah huruf besar cetak tebal, sedangkan huruf kecil cetak tebal digunakan sebagai notasi untuk vektor baris ataupun kolom, seperti contoh berikut.
2 0 3  A = 1 2 4    3 2 1   

; B =

2 4 1   3 0 2

; a =   ; b = [3 2 4] (17.2) 4
 

2

Secara umum, matriks A dapat kita tuliskan

211

 a11 a12  a a22 A =  21 L L  am1 am 2 

L a1n   L a2 n  = [abk ] L L  L amn  

(17.3)

Posisi elemen-elemen a11 …amn disebut diagonal utama matriks. Banyaknya baris dan kolom merupakan ukuran matrik. Dalam contoh (17.1), berturut-turut kita mempunyai matriks dengan ukuran 3×3, 2×1, 1×3, dan 2×3. Matriks dengan m = n disebut matriks bujur sangkar, dan kita katakan matriks ini berordo n. Matriks A pada contoh (17.2) adalah matriks bujur sangkar berordo 3. Anak matriks atau sub-matriks adalah matriks yang diperoleh dengan menghilangkan sebagian baris dan/atau sebagian kolom dari suatu matriks. Sebagai contoh, matriks B =
2 4 1   3 0 2

mempunyai dua anak matriks 1× 3 , yaitu [2 4 1] , [3 0 2] ; tiga anak matriks 2× 1, yaitu   ,   ,   ; 3 0 2 enam anak matriks 1× 1 yaitu [2] , [4] , [1] , [3] , [0] , [2]; enam anak matriks 1×2 yaitu [2 4] , [2 1] , [4 1] , [3 0] , [3 2] , [0 2] ; tiga anak matriks 2×2 yaitu   ,   ,  . 3 0 3 2 0 2 Dengan menggunakan pengertian anak matriks ini, kita dapat memandang matriks sebagai tersusun dari anak-anak matriks yang berupa vektor-vektor. Sebagai contoh, matriks A= 1 2 4 dapat kita pandang sebagai matriks A = a 2     
3 2 1    a3    2 0 3  a1 

2

4

1 

2 4

2 1 

4 1 

212 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

dengan anak-anak matriks berupa vektor baris a1 = [2 0 3] , a 2 = [1 2 4] , a3 = [3 2 1] . Dengan cara pandang ini matriks A mirip bentuknya dengan vektor kolom. Matriks A juga dapat kita pandang sebagai matriks A = [a1 a 2 a3 ] dengan anak-anak matriks a1 = 1  ,  
 3    2 0    a 2 =  2 ,  2   3   a3 = 4 yang berupa 1   

vektor-vektor kolom. Dengan cara ini matriks A terlihat seperti vektor baris. 17.2. Pengertian-Pengertian dan Operasi-Operasi Matriks Kesamaan Matriks Dua matriks A dan B sama jika dan hanya jika berukuran sama dan elemen-elemen pada posisi yang sama juga sama. Kita menuliskan kesamaan ini A = B. Jika A =   maka haruslah B =  . 3 0 3 0 Penjumlahan Penjumlahan dua matriks hanya didefinisikan untuk matriks yang berukuran sama (banyaknya baris dan banyaknya kolom dari kedua matriks tersebut sama). Jumlah dari dua matriks A dan B yang masingmasing berukuran m×n adalah sebuah matriks C berukuran m×n yang elemen-elemennya merupakan jumlah dari elemen-elemen matriks A dan B yang posisinya sama. Jika A=   dan B=   , maka C= A + B =   3 0 2 2 5 2 Penjumlahan matriks mempunyai sifat-sifat sebagai berikut a. A + B = B + A b. (A + B ) + C = A + (B + C) Matriks Nol. Matriks nol, 0, yang berukuran m×n adalah matriks yang berukuran m×n dengan semua elemennya bernilai nol. 213 (17.4)
2 4 1 3  3 7  2 4 2 4

Matriks Negatif Negatif dari matriks berukuran m×n adalah matriks berukuran m×n yang diperoleh dengan mengalikan seluruh elemennya dengan faktor (−1). Operasi penjumlahan yang melibatkan matriks nol dan matriks negatif adalah c). A + 0 = A d). A + (− A) = A − A = 0 Perkalian Matriks dengan Bilangan Skalar Hasil kali suatu bilangan skalar a dengan matriks berukuran m×n adalah matriks berukuran m×n yang seluruh elemennya bernilai a kali. Kita menuliskan perkalian matriks A dengan bilangan skalar a sebagai aA = Aa.
2 2 1 2 2 1  4 4 2       2  1 3 2  = 1 3 2  2 =  2 6 4   6 4 6  3 2 3  3 2 3      

(17.5)

Perkalian matriks dengan bilangan skalar ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut. a. b. c. a (A + B ) = a A + a B (a + b )A = aA + bA a[bA ] = (ab )A

(17.6)

Perkalian Matriks dengan Matriks Perkalian antara dua matriks A dan B yaitu C=AB (dalam urutan perkalian seperti ini) hanya terdefinisikan jika banyaknya kolom matriks A sama dengan banyaknya baris matriks B. Jadi jika matriks A berukuran m×n dan B berukuran p×q maka perkalian AB hanya dapat dilakukan jika n = p. Hasil kali matriks AB akan berupa matriks yang berukuran m×q yang nilai elemennya pada baris ke b kolom ke k merupakan hasil kali internal (hasil kali dot) vektor baris ke b dari matriks A dan vektor kolom ke k dari matriks B (matriks A dipandang sebagai terdiri dari anak-anak matriks yang berupa vektor baris dan matriks B terdiri dari anak matriks yang berupa vektor kolom). Jadi

214 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

jika A = [ab ] dan B = [b k ] maka C = AB = [cbk ] = [ab • b k ] Mengalikan matriks A ke matriks B dari sebelah kiri seperti di atas kita sebut menggandaawalkan matriks A ke matriks B. Akan kita lihat bahwa menggandaawalkan A ke B tidak selalu sama dengan menggandaawalkan B ke A; AB ≠ BA. • Perkalian internal vektor. Kita ambil contoh vektor baris a = [2 3] dan vektor kolom b =   . Banyaknya kolom a adalah 2, sama 3
   4

dengan banyaknya baris b, maka perkalian internal c = a • b dapat kita lakukan, yaitu
 4 c = a • b = [2 3]   = [2 × 4 + 3 × 3] = [17] .  3

Jika urutan kita balik, banyaknya kolom b adalah 1 sama dengan banyaknya baris a, maka. kita dapat melakukan perkalian
 4 4 × 2 4 × 3 8 12 d = b • a =   [2 3] =  =  3   3 × 2 3 × 3  6 9 

Jadi, pembalikan urutan perkalian (seandainya perkalian ini dapat dilakukan) akan memberikan hasil yang berbeda. Perkalian matriks tidak komutatif. • Perkalian matriks dengan vektor. Misalkan
2 1  A=  3 4

dan

 2 b =   . Banyaknya kolom A sama dengan banyaknya baris b, maka  3

perkalian Ab dapat dilakukan. Matriks A kita pandang sebagai
a  A =  1  , yaitu matrik dengan anak matriks berupa vektor baris a 2 

a1 = [2 1] dan a 2 = [3 4] . Perkalian C = Ab adalah

a  C = Ab =  1  b = a 2 

 a1 • b   2 × 2 + 1 × 3   7   = =  a 2 • b  3 × 2 + 4 × 3 18

Jika urutan perkalian dibalik D = bA , perkalian tak dapat dilakukan karena b terdiri dari satu kolom sedangkan A terdiri dari dua baris.

215



Perkalian dua matriks bujur sangkar. Misalkan

2 1  A=  dan 3 4

berupa vektor baris a1 = [2 1] dan a 2 = [3 4] . Matriks B kita pandang sebagai B = [b1 b 2 ] , yaitu matriks dengan dua anak
4 2

4 2 B=  . Banyaknya kolom A sama dengan banyaknya baris B; 5 3 oleh karena itu kita dapat melakukan perkalian C = AB . Matriks A a  kita pandang sebagai A =  1  , yaitu matrik dengan anak matriks a 2 

matriks berupa vektor kolom b1 =   dan b 2 =   . Perkalian 5 3 C = AB adalah
a   a • b a1 • b 2  C = AB =  1  [b1 b 2 ] =  1 1  a 2  a 2 • b1 a 2 • b 2   2 × 4 + 1 × 5 2 × 2 + 1 × 3  13 7  = =  3 × 4 + 4 × 5 3 × 2 + 4 × 3 32 18



Perkalian dua matriks persegi panjang. Misalkan A = 

 2 4 3  1 3 2 

1 2  dan B = 4 3 . Banyaknya kolom A adalah 3, sama dengan   2 3  

banyaknya baris B. Kita dapat melakukan perkalian
1 2   2 4 3   2 × 1 + 4 × 4 + 3 × 2 2 × 2 + 4 × 3 + 3 × 3 25 25 C = AB =   4 3 =  =  1 3 2  1 × 1 + 3 × 4 + 2 × 2 1 × 2 + 3 × 3 + 2 × 3  17 17   2 3   

Pernyataan matriks dengan anak matriks pada perhitungan di atas adalah sebagai
a  A =  1  , B = [b1 b 2 ] , sehingga a 2  a   a • b a1 • b 2  C = AB =  1  [b1 b 2 ] =  1 1 . a 2  a 2 • b1 a 2 • b 2 

216 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Dalam operasi perkalian matrike, matriks yang pertama kita susun dari anak matriks yang berupa vektro baris sedangkan matriks yang kedua kita susun dari anak matriks yang berupa vektor kolom. Jadi perkalian matriks adalah perkalian dari baris ke kolom. Perkalian matriks mempunyai sifat sebagai berikut. a. Asosiatif dan distributif terhadap penjumlahan

(aA )B = a(AB ) = A(aB )
A(BC) = (AB )C

(A + B )C = AC + BC
(17.7)
C(A + B ) = CA + CB

b. c.

Tidak komutatif. Jika perkalian AB maupun terdefinisikan, maka pada umumnya AB ≠ BA Hukum pembatalan tidak selalu berlaku. Jika AB = 0 tidak selalu berakibat A = 0 atau B = 0.

BA

Matriks-Matriks Khusus Melihat pada nilai-nilai elemen dari matriks, terdapat beberapa bentuk matriks khusus. • Matriks Segitiga. Matriks segitiga ada dua macam yaitu matriks segitiga bawah dan matriks segitiga atas. Matriks segitiga bawah adalah matriks yang elemen-elemen di atas diagonal utamanya bernilai nol. Matriks segitiga atas adalah matriks yang elemenelemen di bawah diagonal utamanya bernilai nol. Perhatikan contoh berikut. Matriks segitiga bawah : T1 = − 1 1 0  
3  4 3  2 − 2 1  1 3 0 0 3   2 0 0

Matriks segitiga atas : T2 = 0 

217



Matriks Diagonal. Matriks diagonal adalah matriks yang elemenelemen di atas maupun di bawah diagonal utamanya bernilai nol. Contoh :
 2 0 0   D = 0 1 0 0 0 0  



Matriks Satuan. Matriks satuan, disebut juga matriks identitas, adalah matriks diagonal yang elemen diagonalnya bernilai 1. Matriks ini dilambangkan dengan I.
1 0 0    I = 0 1 0  0 0 1   

Suatu matrik jika dikalikan dengan matriks satuan akan kembali pada matriks asalnya.
AI = IA = A

(17.8)

Putaran Matriks Putaran matriks atau transposisi dari matriks A berukuran m×n adalah suatu matriks AT yang berukuran n×m dengan kolom-kolom matriks A sebagai baris-barisnya yang berarti pula bahwa baris-baris matriks A menjadi kolom-kolom matriks AT.
 a11 a12  a a Jika A =  21 22 L L  am1 am 2   a11 a21  a a22 A T =  12 L L  a1n a2n 
L a1n   L a2 n  = [abk ] L L  L amn   L am1   L am 2  = a pq L L  L amn  

maka

[ ]

(17.9)

Perhatikan contoh-contoh berikut ini.

218 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”



Putaran vektor baris dan vektor kolom. Putaran vektor baris akan menjadi vektor kolom. Sebaliknya putaran vektor kolom akan menjadi vektor baris.
2   a = [2 4 3] ⇒ aT = 4 3  

;

 5   b = 4 ⇒ b T = [5 4 3]  3  



Putaran jumlah dua vektor baris. Putaran jumlah dua vektor baris sama dengan jumlah putaran masing-masing vektor. Jika a = [2 4 3] dan b = [1 3 2] maka a + b = [3 7 5]
 3   2  1        = 7  =  4  +  3  = a T + b T .  5  3  2      

(a + b )

T

Secara umum : (a + b )T = a T + bT •

(17.10)

Putaran hasil kali vektor baris dan vektor kolom. Putaran hasil kali vektor baris dengan vektor kolom atau vektor kolom dengan vektor baris, sama dengan hasil kali putaran masing-masing dengan urutan dibalik. Jika a = [2 4 3] dan b = 3 maka ab = [2 × 1 + 4 × 3 + 3 × 2]  
2     2  3   1 

⇒ ab T = [2 × 1 + 4 × 3 + 3 × 2] = [1 3 2] 4 = bTa T  
 2  3    2 × 1 2 × 3 2 × 2 3 × 1 3 × 3 3 × 2   

Jika a = 4 dan b = [1 3 2] maka ab = 4 × 1 4 × 3 4 × 2    
 2 × 1 4 × 1 3 × 1  1      =  2 × 3 4 × 3 3 × 3 = 3 [2 4 3] = b TaT  2 × 2 4 × 2 3 × 2  2    

⇒ (ab )

T

219

Secara umum : •

(ab )T = bTaT
2 1  2 4 3 maka A T = 4 3    1 3 2   3 2  

(17.11)

Putaran matriks persegi panjang. Jika A = 

Jika matriks A dinyatakan sebagai susunan dsri vektor baris
 a1    T A =  L  maka putarannya adalah A T = a1 L aT . Di sini m a m   

[

]

terlihat jelas bagaimana baris-baris di A menjadi kolom-kolom di AT. Sebaliknya, jika matriks A dinyatakan dengan vektor kolom A = [a1 a 2 L a m ] maka putarannya akan berbentuk matriks dengan anak-anak matriks berupa vektor baris. • Putaran jumlah matriks. Putaran jumlah dua matriks sama dengan jumlah putaran masing-masing matriks. Hal ini telah kita lihat pada putaran jumlah vektor baris.

(A + B )T = A T + B T
Jika A = [a1 L a m ] dan B = [b1 L b m ] maka A + B = [a1 + b1 L a m + b m ] . Dengan demikian

(17.12)

(A + B )T


 (a + b )T   aT + b T   a T   b T  1  1 1   1   1  1 T T = L  =  L  = L + L  = A + B (a + b )T  aT + b T  aT  b T  m   m m  m  m  m        

Putaran hasil kali matriks. Putaran hasilkali dua matriks sama dengan hasil kali putaran masing-masing dengan urutan yang dibalik. Hal ini telah kita lihat pada putaran hasil kali vektor baris dan vektor kolom.

(AB )T = BT AT

(17.13)

220 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Jika

 a1    A = L dan B = [b1 L b n ] a m    a1 • b1 L a1 • b n     AB =  L L L . Dengan demikian a m • b n L a m • b n     a1 • b1 L a1 • b n   b1      ABT =  L L L  =  L  [a1 L a m ] = B T A T a m • b n L a m • b n  b n     

maka

maka



Matriks simetris. Berkaitan dengan putaran matriks, kita mengenal kesimetrisan pada matriks nyata. Matriks simetris adalah matriks yang putarannya sama dengan matriksnya sendiri. Jadi matriks A dikatakan simetris apabila A T = A . Jika B T = −B dikatakan bahwa matriks B adalah simetris miring. Karena dalam putaran matriks elemen-elemen diagonal utama tidak berubah nilai, maka matriks simetris miring dapat terjadi jika elemen-elemen diagonal utamanya bernilai nol.

17.3. Sistem Persamaan Linier Suatu sistem persamaan linier (atau himpunan persaman linier simultan) adalah satu set persamaan dari sejumlah unsur yang tak diketahui. Bentuk umum sistem persamaan linier ini adalah a11x1 + L + a1n xn = b1 a21x1 + L + a2n xn = b2 . . . . . . . . . . . am1x1 + L + amn xn = bm

(17.14)

Sistem (17.14) ini mengandung m persamaan dengan n unsur yang tak diketahui yaitu x1 ….xn. Bilangan a11 …..amn disebut koefisien dari sistem itu, yang biasanya merupakan bilangan-bilangan yang diketahui. Bilangan-bilangan b1 ….bm juga merupakan bilangan-bilangan yang diketahui, bisa bernilai tidak nol maupun bernilai nol; jika seluruh b bernilai nol maka sistem persamaan tersebut disebut sistem persamaan homogen. 221

Dari sistem persamaan linier diharapkan adanya solusi yaitu satu set nilai dari x1, …xn yang memenuhi sistem persamaan tersebut. Jika sistem ini homogen, ia mengandung solusi trivial (solusi tak penting) yaitu x1 = 0, …., xn = 0. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul tentang solusi dari sistem persamaan ini adalah sebagai berikut. a). Benar adakah solusi dari sistem ini ? b). Bagaimanakah cara kita untuk memperoleh solusi? c). Kalau sistem ini mempunyai lebih dari satu solusi, bagaimanakah himpunan solusi tersebut? d). Dalam keadaan bagaimanakah sistem ini tepat mempunyai satu solusi? Memperhatikan sistem persamaan (17.14) kita dapat melakukan operasioperasi yang kita sebut operasi baris sebagai berikut. a). Ruas kiri dan ruas kanan dari setiap persamaan dapat dikalikan dengan faktor bukan nol yang sama tanpa mempengaruhi himpunan sistem persamaan tersebut. b). Ruas kiri dari setiap persamaan dapat dijumlahkan ke ruas kiri persamaan yang lain asal ruas kanannya juga dijumlahkan. Operasi ini tidak mengganggu keseluruhan sistem persamaan tersebut. c). Mempertukarkan tempat (urutan) persamaan tidaklah mengganggu himpunan sistem persamaan. Sistem persamaan (17.14) dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks dengan memanfaatkan pengertian perkalian matriks. Bentuk itu adalah
 a11 a12   a21 a22 L L  am1 am 2 
L a1n   x1   b1      L a2 n   x2   b2  = L L  L  L      L amn   xn  bm     

(17.15)

atau secara singkat dengan
 a11 a12  a a22 A =  21 L L  am1 am 2 

Ax = b
L a1n   x1   b1       L a2 n  x b ; x =  2 ; b =  2  L  L L L      L amn   xn  bm      

(17.16)

(17.17)

222 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Dari (17.17) kita dapat membangun suatu matriks baru yang kita sebut matriks gandengan, yaitu dengan menggandengkan matriks A dengan b menjadi
 a11 a12  ~  a21 a22 A= L L  am1 am 2 
L a1n L a2 n L L L amn

| b1   | b2  | L  | bm  

(17.18)

Matriks gandengan ini menyatakan sistem persamaan linier (17.14) secara lengkap. Operasi-operasi baris pada sistem persamaan (17.14) kita terjemahkan ke dalam matriks gandengan (17.18) menjadi sebagai berikut. a). Setiap elemen dari baris yang sama (17.18) dapat dikalikan dengan faktor bukan nol yang sama. b). Satu baris dari (17.18) boleh dijumlahkan ke baris yang lain. c). Tempat baris (urutan baris) dapat dipertukarkan. Setiap operasi baris akan menghasilkan matriks gandengan baru. Matriks gandengan baru ini kita sebut sebagai setara baris dengan matriks gandengan yang lama. Operasi baris dapat kita lakukan lagi pada matriks gandengan baru dan menghasilkan matriks gandengan yang lebih baru lagi dan yang terakhir inipun setara baris dengan matriks gandengan yang lama. Dengan singkat kita katakan bahwa operasi baris menghasilkan matriks gandengan yang setara baris dengan matriks gandengan asalnya. Hal ini berarti bahwa matriks gandengan baru menyatakan sistem persamaan linier yang sama dengan matriks gandengan asalnya. Eliminasi Gauss Eliminasi Gauss merupakan langkah-langkah sistematis untuk memecahkan sistem persamaan linier. Karena matriks gandengan merupakan pernyataan lengkap dari suatu sistem persamaan linier, maka eliminasi Gauss cukup dilakukan pada matriks gandengan ini. Bagaimana langkah-langkah ini dilaksanakan, akan kita lihat melalui contoh berikut ini. Misalkan kita mempunyai sistem persamaan linier seperti berikut.

223

x A − xB = 8 − x A + 4 x B − 2 xC = 0 x A − 3x B + 5 x C − 2 x D = 8 − x A + 4 x B − 3 xC + 2 x D = 0

(17.19)

Sistem persamaan ini dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks sebagai
0   x A  8   1 −1 0       − 1 4 − 2 0   xB  =  0   1 − 3 5 − 2  xC  8        − 1 4 − 3 2   xD   0      

dengan matriks gandeng
0  1 −1 0  − 1 4 − 2 0  1 −3 5 −2  − 1 4 − 3 2  | 8  | 0 | 8  | 0 

Langkah 1 : Langkah pertama pada eliminasi Gauss pada matriks gandengan adalah mempertahankan baris ke-1 (disebut mengambil baris ke-1 sebagai pivot) dan menghilangkan suku pertama barisbaris berikutnya. Langkah ini dilaksanakan dengan menambahkan baris ke-1 ke baris ke-2, mengurangkan baris ke-1 dari baris ke-3 dan menambahkan baris ke-1 ke baris ke-4. Hasil operasi ini adalah
0 1 −1 0  0 3 −2 0  0 − 2 5 − 2  0 3 − 3 2  | 8  | 8 | 0  | 8  pivot + baris1 − baris 1 + baris 1

Langkah 2 : Langkah kedua adalah mengambil baris ke-2 dari matriks gandeng yang baru saja kita peroleh dan menghilangkan suku kedua baris-baris berikutnya. Ini kita lakukan dengan mengalikan baris ke2 dengan 2/3 kemudian menambahkannya ke baris ke-3, dan mengurangkan baris ke-2 dari baris ke-4. Hasil opersi ini adalah

224 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

0 0 1 −1  −2 0 0 3 0 0 5 − 4 / 3 − 2  −1 2 0 0  0 1 −1 0  0 3 −2 0  0 0 11 − 6  0 0 − 1 2 

8   8  pivot | 16 / 3 + 2/3 baris 2  | 0  − baris 2  | | 8  8 | 16 × 3  | 0  | |



Langkah 3 : Langkah ketiga adalah mengambil baris ke-3 sebagai pivot dan menghilangkan suku ke-3 dari baris ke-4. Ini dapat kita lakukan dengan mengalikan baris ke-4 dengan 11 kemudian menambahkan kepadanya baris ke-3. Hasilnya adalah:
0 1 −1 0  0 3 −2 0  0 0 11 − 6  0 16 0 0  | | 8  8 | 16 pivot  | 16 × 11 + baris 3 

(17.20)

Matriks gandeng terakhir ini menyatakan persamaan linier: x A − xB = 8 3 xB − 2 xC = 8 11xC − 6 xD = 16 16 xD = 16

yang dengan substitusi mundur akan memberikan: xD = 1 ; xC = 2 ; xB = 4 ; x A = 12 .

Sistem-sistem tertentu, kurang tertentu, dan tertentu berlebihan Sistem persamaan linier yang diambil sebagai contoh untuk melakukan eliminasi Gauss di atas kita sebut sistem tertentu; yaitu sistem yang memberikan tepat satu solusi. Sistem tertentu terjadi jika banyaknya unsur yang tak diketahui sama dengan banyaknya persamaan dan persamaan-persamaan ini tidak saling bergantungan. Jika banyaknya persamaan lebih kecil dari banyaknya unsur yang tak diketahui, maka sistem itu menjadi kurang tertentu. Sistem yang kurang tertentu

225

memberikan tidak hanya satu solusi akan tetapi banyak solusi. Jika banyaknya persamaan lebih besar dari banyaknya unsur yang tak diketahui, sistem menjadi tertentu berlebihan. Sistem yang kurang tertentu selalu mempunyai solusi (dan banyak) sedangkan sistem tertentu dan tertentu berlebihan bisa memberikan solusi bisa juga tidak memberikan solusi. Berikut ini akan kita lihat contoh sistem yang memberikan banyak solusi dan yang tidak memberikan solusi • Sistem persamaan yang memberikan banyak solusi. Kita lihat persamaan berikut. x A − xB = 8 − x A + 4 xB − 2 xC = 0 − 3xB + 2 xC = −8

(17.21)

Matriks gandeng dari sistem ini adalah
 1 −1 0 | 8    − 1 4 − 2 | 0   0 − 3 2 | − 8  

Eliminasi Gauss dari matriks gandeng ini kita lakukan seperti pada contoh di atas, yang akan menghasilkan
1 − 1 0 | 8    0 3 − 2 | 8  ⇒ 0 − 3 2 | − 8    1 − 1 0 | 8    0 3 − 2 | 8  0 0 0 | 0  

(17.22)

Matriks gandengan ini menyatakan sistem persamaan : x A − xB = 8 3 xB − 2 xC = 8 0=0

(17.23)

Dari persamaan ke-2 kita mendapatkan xb = (8 + 2 xc ) / 3 yang kemudian memberikan xa = 8 + (8 + 2 xc ) / 3 . Karena xc tetap sembarang maka kita mendapatkan banyak solusi. Kita hanya akan memperoleh nilai xa dan xb jika kita menentukan nilai xc lebih dulu. • Sistem yang tidak memberikan solusi. Kita ambil contoh sistem persamaan berikut.

226 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

x A − xB = 8 − x A + 4 xB − 2 xC = 0 − 3xB + 2 xC = −10

(17.24)

Matriks gandeng dan eliminasi Gauss memberikan
 1 −1 0 | 8    − 1 4 − 2 | 0   0 − 3 2 | − 10  

⇒ 0 

1

0 | 8   3 −2 | 8  0 − 3 2 | − 10  

−1

1 − 1 0 | 8  ⇒ 0 3 − 2 | 8    0 0 0 | − 2  

(17.25)

Sistem persamaan dari matriks gandeng terakhir ini adalah x A − xB = 8 3 xB − 2 xC = 8 0 = −2

(17.26)

Kita lihat di sini bahwa penerapan eliminasi Gauss pada akhirnya menghasilkan suatu kontradiksi yang dapat kita lihat pada baris terakhir (17.26).. Hal Ini menunjukkan bahwa sistem persamaan yang sedang kita tinjau tidak memberikan solusi. Bentuk matriks pada langkah terakhir eliminasi Gauss, seperti matriks pada (17.20), (17.22) dan (17.25) disebut bentuk eselon. Dari (17.25) misalnya, bentuk eselon matriks koefisien dan matriks gandengannya adalah
1 − 1 0    0 3 − 2 dan 0 0 0   1 − 1 0 | 8    0 3 − 2 | 8  0 0 0 | − 2  

Secara umum bentuk eselon matriks gandengan adalah

227

a11 a12 L L L a1n   0 c22 L L L c2 n  M  k rr L k rn   0  M   0 

| | | | | | |

b1  ′  b2    ′ br  ′ br +1    bm  

(17.27)

dan sistem yang telah tereduksi pada langkah akhir eliminasi Gauss akan berbentuk a11x1 + a12 x2 + LLLL + a1n xn = b1 ′ c22 x2 + LLLL + a2 n xn = b2
M

′ krr xr + L + krn xn = br ′ 0 = br +1
M

(17.28)

′ 0 = bm

dengan a11 ≠ 0, a22 ≠ 0 , k rr ≠ 0 , dan r ≤ n. Perhatikan (17.28) ini.
′ ′ a). Jika r = n dan br +1,K, bm sama dengan nol atau tidak ada, maka sistem persamaan ini akan memberikan tepat satu solusi. ′ ′ b). Jika r < n dan br +1,K, bm sama dengan nol atau tidak ada, maka sistem persamaan ini akan memberikan banyak solusi. ′ ′ c). Jika r = n ataupun r < n dan br +1,K, bm tidak sama dengan nol atau mempunyai nilai, maka sistem persamaan ini tidak memberikan solusi.

Jadi

suatu

sistem

persamaan

akan

memberikan

solusi

jika

′ ′ br +1,K, bm sama dengan nol atau tidak ada. Pada suatu sistem persamaan

yang memberikan solusi, ketunggalan solusi terjadi jika r = n ; jika r < n akan memberikan banyak solusi. Nilai r yang dimiliki oleh matriks gandengan pada (17.27) ditentukan oleh banyaknya vektor baris yang bebas linier dalam matriks gandeng. Pengertian tentang kebebasan linier vektor-vektor kita bahas berikut ini.

228 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bebas linier dan tak-bebas linier vektor-vektor Misalkan a1 , a 2 , L a m adalah vektor-vektor baris dari suatu matriks A =[abk]. Kita tinjau suatu persamaan vektor c1a1 + c2a 2 + L + cma m = 0

(17.29)

Jika persamaan vektor ini terpenuhi hanya jika semua koefisien ( c1 … cm) bernilai nol, maka vektor-vektor baris tersebut adalah bebas linier. Jika persamaan vektor tersebut dapat dipenuhi dengan koefisien yang tidak semuanya bernilai nol (artinya setidak-tidaknya ada satu koefisien yang tidak bernilai nol) maka vektor-vektor itu tidak bebas linier. Jika satu himpunan vektor terdiri dari vektor-vektor yang bebas linier, maka tak satupun dari vektor-vektor itu dapat dinyatakan dalam kombinasi linier dari vektor yang lain. Hal ini dapat dimengerti karena dalam persamaan (17.29) semua koefisien bernilai nol. Jika vektorvektor tidak bebas linier maka nilai koefisien pada persamaan (17.29) (atau setidak-tidaknya sebagian tidak bernilai nol) maka satu vektor dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari vektor yang lain; misalnya vektor a1 dapat dinyatakan sebagai a1 = − c2 c a2 − L − m am = 0 c1 c1

(17.30)

karena koefisien-koefisien ini tidak seluruhnya bernilai nol Kita ambil contoh dua vektor baris a1 = [2 3 1 2] dan a 2 = [4 2 6 2]

Vektor a1 dan a2 adalah bebas linier karena c1a1 + c2a 2 = c1[2 3 1 2] + c2 [4 2 6 2] = 0

hanya akan terjadi jika c1 = c2 = 0 Ambil vektor ketiga a3 = [4 6 2 4] . Vektor a3 dan a1 tidak bebas linier karena kita dapat menyatakan a3 sebagai a3 = 2a1 = 2[2 3 1 2] = [4 6 2 4] . Vektor a1, a2 dan a3 juga tidak bebas linier karena kita dapat menyatakan a3 sebagai a3 = 2a1 + 0a 2 = 2 [2 3 1 2] + 0 [4 2 6 2] = [4 6 2 4]

Akan tetapi jika kita hanya melihat a3 dan a2 saja, mereka adalah bebas linier.

229

Kita lihat vektor lain yaitu a 4 = [6 7 5 5] . Vektor a4 , a1 dan a2 tidak bebas linier karena kita dapat menyatakan a4 sebagai a 4 = 2a1 + 0.5a 2 = 2 [2 3 1 2] + 0.5 [4 2 6 2] = [6 7 5 5]

Rank matriks. Dengan pengertian tentang vektor yang bebas linier, didefinisikan rank matriks. Banyaknya vektor baris yang bebas linier dalam suatu matriks A = [abk] disebut rank matriks A disingkat rank A. Rank matriks B = 0 adalah nol. Bagaimanakah menentukan rank suatu matriks? Kita mengetahui bahwa operasi baris menghasilkan matriks yang setara baris dengan matriks asalnya. Hal ini berarti pula bahwa rank matriks baru sama dengan rank matriks asalnya. Dengan perkataan lain operasi baris tidak mengubah rank matriks. Jadi rank suatu matriks dapat diperoleh melalui operasi baris, yaitu sama dengan rank matriks yang dihasilkan pada langkah terakhir eliminasi Gauss. Bentuk eselon matriks yang diperoleh pada langkah terakhir eliminasi Gauss, mengandung vektor-vektor baris yang bebas linier karena vektor yang tak bebas linier telah tereliminasi. Kita ambil contoh matriks pada (17.20), (17.22) dan (17.25). • Bentuk eselon matriks koefisien dan matriks gandengannya dari (17.20), yaitu dari sistem persamaan yang memberikan solusi tunggal, adalah
0 0 1 −1 0 1 −1 0    0 3 − 2 0  dan 0 3 − 2 0 0 0 11 − 6 0 0 11 − 6    0 16  0 16 0 0 0 0    | | 8  8 | 16  | 16 

Dalam kasus ini rank matriks koefisien sama dengan rank matriks gandengan, yaitu 4. Selain dari pada itu rank matriks sama dengan banyaknya unsur yang tak diketahui yaitu 4 • Bentuk eselon matriks koefisien dan matriks gandengannya dari (17.22), yaitu dari sistem persamaan yang memberikan banyak solusi, adalah

230 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

1 − 1 0    0 3 − 2  0 0 0  

1 − 1 0 | 8  dan 0 3 − 2 | 8    0 0 0 | 0  

Dalam kasus ini rank matriks koefisien sama dengan rank matriks gandengan, yaitu 2. Akan tetapi rank matriks ini lebih kecil dari banyaknya unsur yang tak diketahui. • Bentuk eselon matriks koefisien dan matriks gandengannya dari (17.25), yaitu dari sistem persamaan yang tidak memberikan solusi, adalah
1 − 1 0    0 3 − 2 dan 0 0 0   1 − 1 0 | 8    0 3 − 2 | 8  0 0 0 | − 2  

Dalam kasus ini rank matriks koefisien tidak sama dengan rank matriks gandengan. Rank matriks koefisien adalah 2 sedangkan rank matriks gandengannya adalah 3. Ketidak samaan rank dari kedua matriks ini menunjukkan tidak adanya solusi. Apa yang kita amati dalam contoh-contoh di atas ternyata berlaku umum. Kita melihat bahwa (a) agar suatu sistem persamaan memberikan solusi maka rank matriks koefisien harus sama dengan rank matriks gandengannya; (b) agar sistem persamaan memberikan solusi tunggal maka rank matriks koefisien harus sama dengan banyaknya unsur yang tak diketahui; (c) jika rank matriks koefisien lebih kecil dari banyaknya unsur yang tak diketahui maka akan diperoleh banyak solusi. Sistem Persamaan Homogen Sistem persamaan disebut homogen apabila nilai b di ruas kanan dari sistem seperti (17.14) bernilai nol. Jika tidak demikian maka sistem itu disebut tak homogen. Sistem persamaan homogen berbentuk

231

a11x1 + a12 x2 + L + a1n xn = 0 a21x1 + a22 x2 + L + a2n xn = 0 . . . . . . . . . . . am1x1 + am 2 x2 + L + amn xn = 0

(17.31)

Bentuk matriks gandengan sistem ini adalah
 a11 a12  a a22 ~ A =  21 L L  am1 am 2 
L a1n L a2 n L L L amn

0  0 | L  | 0  | |

(17.32)

Eliminasi Gauss pada sistem demikian ini akan menghasilkan
′ ′ ′ a11 a12 L a1n  0 a′ L a′ n ~ 22 2 A′ =  L L L L  ′ 0 0 amn 0  0  0 | L  | 0  | |

(17.33)

Jika rank matriks gandengan terakhir ini sama dengan banyaknya unsur yang tak diketahui, r = n, sistem persamaan akhirnya akan berbentuk
′ ′ ′ a11x1 + a12 x2 + L + a1n xn = 0 ′ a22 x2 + L + a′ n xn = 0 2 M ′ amn xn = 0

(17.34)

Dari (17.34) terlihat bahwa xn = 0 dan substitusi mundur akhirnya memberikan semua x bernilai nol. Ini merupakan solusi trivial dan solusi trivial ini diakibatkan oleh kenyataan bahwa r = n. Solusi tak trivial hanya akan diperoleh jika r < n . Kita akan melihat beberapa contoh. • Sistem persamaan homogen yang hanya memberikan solusi trivial x A − xB = 0 − x A + 4 xB − 2 xC = 0 x A − 3 xB + 5 xC − 2 xD = 0 − x A + 4 xB − 3 xC + 2 xD = 0

(17.35)

Matriks gandengan sistem ini dan hasil eliminasi Gauss-nya adalah

232 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

0  1 −1 0  −1 4 − 2 0   1 −3 5 −2  − 1 4 − 3 2 

| 0  | 0 eliminasi Gauss | 0  | 0 

0 1 −1 0  0 3 −2 0  0 0 11 − 6  0 16 0 0 

| 0  | 0 | 0  | 0 

Rank matrik koefisien adalah 4; banyaknya unsur yang tak diketahui juga 4. Sistem persamaan liniernya menjadi x A − xB = 0 3 xB − 2 xC = 0 11xC − 6 xD = 0 16 xD = 0

⇒ yang akhirnya memberikan xD = xC = xB = x A = 0

(17.36)

Inilah solusi trivial yang dihasilkan jika terjadi keadaan r = n . • Sistem persamaan yang memberikan solusi tak trivial x A − xB = 0 − x A + 4 xB − 2 xC = 0 x A − 3 xB + 5 xC − 2 xD = 0 − x A + 4 xB − 13 xC + 6 xD = 0

(17.37)

Matriks gandengan dan hasil eliminasinya adalah
0 0  1 −1  −1 4 − 2 0   1 −3 5 −2  − 1 4 − 13 6  | 0  | 0 eliminasi Gauss | 0  | 0  0 1 −1 0  0 3 −2 0  0 0 11 − 6  0 0 0 0  | 0  | 0 | 0  | 0 

dan sistem persamaan menjadi x A − xB = 0 3 xB − 2 xC = 0 11xC − 6 xD = 0 0=0

(17.38)

233

Jika xC =

kita

mengambil

nilai

xD = 1

maka

akan

diperoleh

6 12 12 ; xB = ; xA = . Solusi ini membentuk vektor solusi 11 33 33 12 / 33   12 / 33 yang jika digandaawalkan dengan matriks koefisiennya x1 =   6 / 11     1   

akan menghasilkan vektor nol b = 0.
0  12/33 0 1 −1 0      0 3 − 2 0  12/33 0 Ax1 =  = 0 0 11 − 6  6/11  0      0 0   1  0  0 0     

(17.39)

Jika kita menetapkan nilai xD yang lain, misalnya xD = 33 akan
12    12 diperoleh vektor solusi yang lain, yaitu x2 =   = 33x1 , yang jika 18    33  

digandaawalkan dengan matriks koefisiennya juga menghasilkan vektor nol.. Vektor solusi x2 ini merupakan perkalian solusi sebelumnya dengan bilangan skalar (dalam hal ini 33), yang sesungguhnya bisa bernilai sembarang. Secara umum vektor solusi berbentuk (17.40) xc = cx1 dengan c adalah skalar sembarang. Vektor solusi yang lain lagi dapat kita peroleh menjumlahkan vektor-vektor solusi, misalnya x1 dan x2.
12 / 33 12      12 / 33 12  x3 = x1 + x 2 =  + = x1 + 33x1 = 34x1  6 / 11  18      1  33    

dengan

(17.41)

Jelas bahwa x3 juga merupakan solusi karena jika digandaawalkan akan memberikan hasil vektor nol. Jadi secara umum vektor solusi

234 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

dapat juga diperoleh dengan menjumlahkan vektor solusi yang kita nyatakan sebagai x j = ∑ xc

(17.42)

Contoh di atas memperlihatkan bahwa solusi dari sistem persamaan homogen membentuk vektor-vektor yang seluruhnya dapat diperoleh melalui perkalian salah satu vektor solusi dengan skalar (17.40) dan penjumlahan vektor-vektor solusi (17.42). Kita katakan bahwa solusi dari sistem persamaan homogen membentuk suatu ruang vektor. Dalam sistem persamaan homogen yang sedang kita tinjau ini, ruang vektor yang terbentuk adalah ber-dimensi satu. Perhatikan bahwa setiap vektor solusi merupakan hasilkali skalar dengan vektor x1 walaupun diperoleh dari penjumlahan vektor sebagaimana terlihat pada (17.41). Jika kita perhatikan lebih lanjut ruang vektor yang terbentuk oleh vektor solusi akan berdimensi (n − r), yaitu selisih antara banyaknya unsur yang tak diketahui dengan rank matriks koefisien. Dalam kasus yang sedang kita tinjau ini, banyaknya unsur yang tak diketahui adalah 3 sedangkan rank matriks koefisien adalah 2. Kita akan melihat kasus yang lain. • Sistem persamaan dengan vektor solusi berdimensi 2. Kita lihat sistem berikut. x A − xB = 0 − x A + 4 xB − 5 xC + 2 xD = 0 x A − 4 xB + 5 xC − 2 xD = 0 − x A + 7 xB − 10 xC + 4 xD = 0

(17.43)

Matriks gandengan dan hasil eliminasi Gauss adalah
0 0  1 −1  −1 4 −5 2   1 −4 5 −2  − 1 7 − 10 4  | 0  | 0 eliminasi Gauss | 0  | 0  1 −1 0  0 3 − 5 0 0 0  0 0 0  0 | 0  2 | 0 0 | 0  0 | 0 

Rank matriks ini adalah 2 sedangkan banyaknya unsur tak diketahui 4. Sistem persamaan menjadi

235

x A − xB = 0 3 xB − 5 xC + 2 xD = 0 0=0 0=0

(17.44)

Jika kita memberi nilai xC = 1 dan xD = 0 , kita akan mendapatkan xB = 5 / 3 ; x A = 5/3 .
5 / 3   5/3 Vektor x1 =   adalah salah satu vektor solusi; jika kita gandaawalkan  1     0   

matriks koe fisien dengan vektor ini maka akan diperoleh vektor b = 0
1 −1 0  0 3 −5 Ax1 =  0 0 0  0 0 0  0 5 / 3  5 / 3 − 5 / 3  0       2 5 / 3 0 + 5 − 5 + 0 0 = =   0 0  1   0       0  0   0   0      

Jika Ax1 = 0, maka perkalian dengan skalar k akan memberikan Ak1x1 = 0 , Ak2x1 = 0 , dan Ak1x1 + Ak2x1 = A(k1 + k 2 )x1 = Ac1x1 = 0 . Dengan kata lain, jika x1 adalah vektor solusi, maka k1x1 , k2 x1 , (k1x1 + k2x1 ) adalah juga vektor-vektor solusi dan sebagaimana kita tahu vektor-vektor ini kita peroleh dengan memberi nilai xC = 1 dan xD = 0 . Jika xC = 0 dan xD = 1 akan kita peroleh xB = −2 / 3 dan x A = −2 / 3 yang membentuk vektor solusi
 −2 / 3    − 2 / 3 x2 =  . Dengan skalar l  0     1   

sembarang kita akan memperoleh vektor-vektor solusi yang lain seperti l1x 2 , l2 x 2 , (l1x 2 + l2x 2 ) . Secara keseluruhan maka vektor-vektor solusi kita adalah x = kx1 + lx 2

(17.45)

236 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Inilah vektor-vektor berdimensi 2.

solusi

yang

membentuk

ruang

vektor

Dari dua contoh terakhir ini terbukti teorema yang mengatakan bahwa solusi sistem persamaan linier homogen dengan n unsur tak diketahui dan rank matriks koefisien r akan membentuk ruang vektor berdimensi (n − r). Kebalikan matriks dan metoda eliminasi Gauss-Jordan Pengertin tentang kebalikan matriks (inversi matriks) erat kaitannya dengan pemecahan sistem persamaan linier. Namun demikian pengertian ini khusus ditujukan untuk matriks bujur sangkar n × n. Kebalikan matriks A (inversi matriks A) didefinisikan sebagai matriks yang jika digandaawalkan ke matriks A akan menghasilkan matriks identitas. Kebalikan matriks A dituliskan sebagai A−1 sehingga definisi ini memberikan relasi
A −1A = I = AA −1

(17.45)

Jika A berukuran n × n maka A−1 juga berukuran n × n dan demikian pula matriks identitasnya. Tidak semua matriks bujur sangkar memiliki kebalikan; jika A memiliki kebalikan maka A disebut matriks tak singular dan jika tak memiliki kebalikan disebut matriks singular. Jika A adalah matriks tak singular maka hanya ada satu kebalikan A; dengan kata lain kebalikan matriks adalah unik atau bersifat tunggal. Hal ini mudah dimengerti sebab jika A mempunyai dua kebalikan, misalnya P dan Q, maka AP = I =PA dan juga AQ = I =QA, dan hal ini hanya mungkin terjadi jika P = Q.
P = IP = ( AQ)P = QAP = Q( AP ) = QI = Q

(17.46)

Berbekal pengertian kebalikan matriks, kita akan meninjau persamaan matriks dari suatu sistem persamaan linier tak homogen, yaitu
Ax = b

(17.47)

Jika kita menggandaawalkan kebalikan matriks A ke ruas kiri dan kanan (17.47), akan kita peroleh
A −1 Ax = A −1 b → Ix = x = A −1 b

(17.48)

237

Persamaan (17.48) menunjukkan bahwa kita dapat memperoleh vektor solusi x dari sistem persamaan linier jika kebalikan matriks koefisien A ada, atau jika matriks A tak singular. Jadi persoalan kita sekarang adalah bagaimana mengetahui apakah matriks A singular atau tak singular dan bagaimana mencari kebalikan matriks A jika ia tak singular. Dari pembahasan sebelumnya kita mengetahui bahwa jika matriks koefisien A pada (17.47) adalah matriks bujur sangkar n × n, maka solusi tunggal akan kita peroleh jika rank A sama dengan n. Hal ini berarti bahwa vektor x pada (17.48) dapat kita peroleh jika rank A−1 sama dengan n. Dengan perkataan lain matriks A yang berukuran n × n tak singular jika rank A sama dengan n dan akan singular jika rank A lebih kecil dari n. Mencari kebalikan matriks A dapat kita lakukan dengan cara eliminasi Gauss-Jordan. Metoda ini didasari oleh persamaan (17.47). Jika X adalah kebalikan matriks A maka
AX = I

Untuk mencari X kita bentuk matriks gandengan A = [A I ] dan kita
~

lakukan eliminasi Gauss pada A sehingga matriks gandengan ini berubah menjadi [U H ] dengan U berbentuk matriks segitiga atas. Eliminasi Gauss-Jordan selanjutnya beroperasi pada [U H ] dengan mengeliminasi unsur-unsur segitiga atas pada U sehingga U berbentuk matriks identitas I. Langkah akhir ini akan menghasilkan [I X] . Perhatikan contoh berikut. Kita akan mencari kebalikan dari matriks
2 2 1   A =  3 − 2 2 − 2 4 1  

~

Kita bentuk matriks gandengan [A I ]

[A I] =  3 

1

2 2 | 1 0 0  − 2 2 | 0 1 0 − 2 4 1 | 0 0 1  

238 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Kita lakukan eliminasi Gauss pada matriks gandengan ini
2 | 1 0 0 pivot 1 2   0 − 8 − 4 | − 3 1 0 − 3 × baris 1 ⇒  0 8 5 | 2 0 1 + 2 × baris 1   2 | 1 0 0 1 2   0 − 8 − 4 | − 3 1 0 pivot  0 0 1 | − 1 1 1  + baris 2  

Kemudian kita lakukan eliminasi Gauss-Jordan
0 0 1 2 2 | 1   0 1 1 / 2 | 3 / 8 − 1 / 8 0 × (−1 / 8) ⇒  0 0 1 | − 1 1 1   −2 − 2  − 2 × baris 3 1 2 0 | 3   0 1 0 | 7 / 8 − 5 / 8 − 1 / 2 − 0.5 × baris3 0 0 1 | − 1 1 1    1 0 0 | 10 / 8 − 6 / 8 − 1  − 2 × baris 2   0 1 0 | 7 / 8 − 5 / 8 − 1 / 2  0 0 1 | − 1 1 1   

Hasil terakhir ini memberikan kebalikan matriks A, yaitu :
10 / 8 − 6 / 8 − 1    A −1 =  7 / 8 − 5 / 8 − 1 / 2  −1 1 1   

Hasil ini dapat kita teliti balik dengan menggandaawalkannya dengan matriks A
2 2 10 / 8 − 6 / 8 − 1   1    A A =  7 / 8 − 5 / 8 − 1 / 2   3 − 2 2  −1 1 1  − 2 4 1     10 / 8 − 18 / 8 + 2 20 / 8 + 12 / 8 − 4 20 / 8 − 12 / 8 − 1  1 0 0     =  7 / 8 − 15 / 8 + 1 14 / 8 + 10 / 8 − 2 14 / 8 − 10 / 8 − 1 / 2 = 0 1 0  −1+ 3 − 2 −2−2+4 − 2 + 2 + 1  0 0 1    
−1

239

Dengan demikian untuk suatu sistem persamaan linier tak homogen yang persamaan matriksnya
2 2  x1  8  1      3 − 2 2  x2  = 0  − 2 4 1   x3  0     

vektor solusinya adalah
2 2  x1   1      x2  =  3 − 2 2  x3  − 2 4 1     
−1

8  10 / 8 − 6 / 8 − 1  8  10         0  =  7 / 8 − 5 / 8 − 1 / 2   0  =  7  0   − 1 1 1   0  − 8       

Kebalikan matriks diagonal. Kebalikan matriks diagonal dapat dengan mudah kita peroleh.
0  a11 0   0 L 0    0 0 ann   
−1

0  1 / a11 0   = 0 L 0   0 0 1 / ann   

(17.49)

Kebalikan dari kebalikan matriks. Kebalikan dari kebalikan matriks adalah matriks itu sendiri.

(A )

−1 −1

=A

(17.50)

Kebalikan dari perkalian matriks. Kebalikan dari perkalian dua matriks adalah perkalian dari kebalikan masing-masing matriks dengan urutan dibalik. (AB )−1 = B −1A −1 (17.51) Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut
I = (AB )(AB )−1

A −1I = A −1(AB )(AB )−1 = A −1A B(AB )−1 = IB(AB )−1 A
−1

= B(AB )

−1

(

)

B A

−1 −1

= B −1B(AB )−1 = I (AB )−1 = (AB )−1

240 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 18

Bilangan dan Peubah Kompleks

Jika kita menggambarkan kurva fungsi

y= x dengan x adalah peubah bebas yang merupakan bilangan-bilangan nyata seperti yang kita temui dalam bab-bab sebelumnya, maka penggambaran kurva hanya dapat kita lakukan untuk nilai x > 0.
2 1.5 1 0.5 0 0 1 2 3 4

Maka dibuat pengertian bilangan khayal dengan operator j = − 1 sehingga jika dari bilangan nyata 1 kita peroleh bilangan khayal j1, dari bilangan nyata 2 kita dapatkan bilangan khayal j2 dan seterusnya. Dalam penggambaran grafis, bilangan nyata digambarkan di sumbu mendatar yang selanjutnya disebut sumbu-nyata (real-axis) diberi tanda Re, sedangkan bilangan khayal atau bilangan imajiner digambarkan pada sumbu yang tegak lurus pada sumbu-nyata yang diberi tanda Im. Bidang yang dibatasi oleh kedua sumbu ini kita sebut bidang kompleks.
18.1. Definisi Bilangan Kompleks Suatu bilangan kompleks s didefinisikan sebagai s = σ + jω

(18.1)

dengan σ dan ω keduanya adalah bilangan nyata (σ ∈ ℜ dan ω ∈ ℜ).

241

Representasi bilangan kompleks seperti di atas disebut representasi sudut siku ; σ adalah bagian riil dari s dan ditulis Re(s) = σ, ω adalah bagian imajiner dari s dituliskan Im(s) = ω. 18.2. Representasi Grafis Suatu bilangan kompleks dapat kita pandang sebagai pasangan berurut dari dua bilangan riil. s = σ + jω ⇔ (σ,ω)

(18.2)

Dengan demikian kita dapat menggambarkan bilangan kompleks di bidang kompleks seperti pada Gb.18.1.a. Bidang dengan sumbu koordinat Re (sumbu riil) dan Im (sumbu imajiner) ini disebut bidang kompleks atau bidang s. Suatu kumpulan bilangan kompleks akan terletak di bidang kompleks ini. Pasangan berurut (σ,ω) dapat pula diasosiasikan dengan sebuah vektor seperti terlihat pada Gb.18.1.b.; dengan kata lain vektor tersebut merepresentasikan bilangan kompleks. Dengan representasi vektor ini kita dapat menyatakan bilangan kompleks sebagai

s = σ + jω = A(cos θ + j sin θ)

(18.3)

dengan A adalah panjang vektor dan θ adalah sudut yang dibentuk oleh arah vektor dengan sumbu nyata. Bentuk pernyataan bilangan kompleks seperti (18.3) ini disebut bentuk sudut siku. Selain bentuk susut siku kita mengenal juga pernyataan dalam bentuk polar. Im jω Im

• s(σ,ω)



ρ A θ

Re σ σ a) Pasangan berurut bilangan (σ,ω) b). Representasi bilangan pada bidang kompleks kompleks secara vektor Gb.18.1.. Representasi grafis bilangan kompleks. Bentuk polar diturunkan dari bentuk sudut siku melalui relasi geometri sederhana. Jika panjang vektor pada Gb.18.1.b. adalah A, dan θ adalah sudut yang dibentuk oleh vektor tersebut dengan sumbu Re maka

Re

σ = A cos θ A = σ 2 + ω2

dan

ω = A sin θ  ω θ = tan −1   σ
(18.4)

dan

Melalui persamaan atau identitas Euler, yaitu

e jθ = cos θ + j sin θ representasi polar dari bilangan kompleks menjadi

(18.5)

s = Ae jθ

(18.7)

Nilai absolut (magnitude) s adalah A, ditulis | s | = A = σ 2 + ω2 . Sudut θ disebut sudut fasa, ditulis ∠s = θ = tan −1 (ω / σ) . Pernyataan dalam bentuk sudut siku dapat diubah ke dalam bentuk polar; sebaliknya pernyataan dalam bentuk polar dapat pula diubah ke dalam bentuk sudut siku. 18.3. Operasi-Operasi Aljabar Penjumlahan dan Pengurangan. Penjumlahan bilangan kompleks adalah sebagai berikut:

s1 + s2 = (σ1 + jω1 ) + (σ 2 + jω2 ) = (σ1 + σ 2 ) + j (ω1 + ω2 ) s1 − s2 = (σ1 + jω1 ) − (σ 2 + jω2 ) = (σ1 − σ 2 ) + j (ω1 − ω2 )
Perkalian. Perkalian dua bilangan kompleks adalah sebagai berikut.

( s1 )( s2 ) = (σ1 + jω1 )(σ 2 + jω2 ) = (σ1σ 2 − ω1ω2 ) + j (ω1σ 2 + σ1ω2 )
Pembagian. Pembagian satu bilangan kompleks oleh bilangan kompleks yang lain adalah sebagai berikut.

s1 σ1 + jω1 σ 2 − jω 2 (σ1σ 2 + ω1ω 2 ) + j (ω1σ 2 − σ1ω 2 ) = × = s 2 σ 2 + jω 2 σ 2 − jω 2 σ 2 + ω2 2 2
243

CONTOH: Jika s1 = 2 + j 3 dan s 2 = 3 + j 4 maka

s1 + s 2 = (2 + j 3) + (3 + j 4) = 5 + j 7 s1 − s 2 = (2 + j 3) − (3 + j 4) = −1 − j1 ( s1 )( s 2 ) = (2 + j 3)(3 + j 4) = (6 − 12) + j (8 + 9) = −6 + j17 s1 2 + j 3 3 − j 4 (6 + 12) + j (−8 + 9) 18 1 = × = = + j 2 2 s2 3 + j4 3 − j4 25 25 3 +4
CONTOH: Misalkan suatu bilangan kompleks s = 10 e j0,5. Nilai bilangan kompleks ini adalah |s| = 10 dan sudut fasanya ∠s = 0,5 rad. Bentuk sudut sikunya adalah: s = 10 (cos 0,5 + j sin 0,5) = 10 (0,88 + j 0,48) = 8,8 + j 4,8 CONTOH: Misalkan suatu bilangan kompleks s = 3+ j4. Nilai absolut s adalah | s | = ρ = 3 2 + 4 2 = 5 Sudut fasanya adalah ∠s = θ = tan −1 Representasi polar adalah: s = 5e j0,93 CONTOH: Misalkan suatu bilangan kompleks s = −1. Representasi polar adalah : s = −1 = e jπ = e −jπ  0  Pemahaman : tan −1   tidak bernilai tunggal. Kita harus  −1 berhati-hati menentukan sudut fasanya. Di sini kita harus memilih π rad. CONTOH: Representasi polar dari bilangan kompleks mempermudah operasi perkalian dan pembagian.

4 = 0,93 rad . 3

( s1 )(s 2 ) = ρ1e jθ1 ρ 2 e jθ2 = ρ1ρ 2 e j (θ1 +θ2 )

244 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

s1 ρ1e jθ1 ρ = = 1 e j (θ1 −θ2 ) jθ 2 s2 ρ 2e ρ2
Konjugat Kompleks. Konjugat dari suatu bilangan kompleks diperoleh dengan mengganti j dengan −j .

Im

s = σ + jω Re s*= σ − jω

Gb.17.2. Konjugat bilangan kompleks. Perhatikan Gb.18.2. Jika s = σ + jω maka konjugatnya adalah s = σ − jω .

Relasi-relasi antara suatu bilangan kompleks dengan konjugatnya adalah sebagai berikut.

( s )(s*) =| s | 2 atau |s| = s s * ;
∗ ∗ [s1 + s2 ]∗ = s1 + s2 ∗ ∗ [s1 s2 ]∗ = (s1 )(s2 )

 s1  s∗ = 1   ∗ s2  s2 
18.4. Fungsi Kompleks Fungsi kompleks X(s) merupakan suatu fungsi yang memetakan suatu set peubah bebas kompleks ke dalam satu set peubah tak bebas kompleks. Peubah bebas kompleks adalah peubah bebas yang berupa bilangan kompleks; dan peubah tak bebas kompleks adalah peubah tak bebas yang juga berupa bilangan kompleks.



245

Zero. Kita lihat fungsi kompleks

X ( s) = 2s − 4
Untuk beberapa nilai s kita dapat nilai X(s) pada tabel dan gambar berikut:

s1 s2 s3

s 1 + j1
2 + j2 2 + j0
4 3 2 1 0 -1

X1 X2 X3

X(s) −2 + j 2
0 + j4 0 + j0

X2 s2 s1 X3
0 1

X1

s3
2

-2

Setiap nilai s memberikan X(s). Ada satu nilai s yang khusus yaitu yang memberikan nilai X ( s ) = 0 + j 0 ; s ini kita sebut zero yang artinya membuat fungsi kompleks menjadi bernilai nol. Suatu fungsi kompleks X(s) dikatakan mempunyai zero di s = z1 jika s → z1

lim X ( s ) = 0

Pole. Kita lihat sekarang fungsi

X (s) =

1 2s − 4

Kita dapat membuat tabel dan gambar seperti pada pembahasan mengenai zero, akan tetapi tidak kita lakukan. Kita lebih tertarik pada peubah s yang khusus, yaitu yang membuat fungsi kompleks menjadi bernilai tak hingga; s ini kita sebut pole. pada fungsi kompleks yang diambil contoh ini zero ada di
2s − 4 = 0 ⇒ s = 2 + j0

246 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Suatu fungsi kompleks X(s) dikatakan mempunyai pole di s = p1 jika s → p1

lim X ( s ) = ∞

CONTOH: Tinjau suatu fungsi kompleks X ( s ) = Fungsi ini mempunyai 18.5. Fungsi Rasional Kompleks

s−b , a≠b s−a pole di s = a dan zero di s = b

Fungsi rasional kompleks adalah fungsi kompleks yang merupakan rasio dua polinomial kompleks dengan koefisien-koefisien nyata.

X (s) =

bm s m + bm −1s m −1 + L + b0 an s + an −1s n n −1

+ L + a0

=

B( s ) A( s )

Kita definisikan bahwa orde dari fungsi ini adalah n. Polinomial B(s) disebut numerator (kita mengguanakan istilah pembilang), sedangkan A(s) disebut denominator (kita menggunakan istilah penyebut). Dalam penulisan fungsi rasional biasanya diambil an = 1 (dengan mengeluarkan an dari suku-suku penyebut). Fungsi rasional X(s) dikatakan proper (kita menggunakan istilah patut) jika m ≤ n ; dikatakan not proper (kurang patut) jika m > n. Fungsi rasional dengan m > n sering juga disebut fungsi non-kausal. Jika X(s) adalah fungsi rasional dengan koefisien nyata, kita dapat menyatakan B(s) dan A(s) dalam faktor-faktor yang linier.

X (s) =

K ( s − z1 )( s − z 2 ) L ( s − z m ) ( s − p1 )( s − p 2 ) L ( s − p n )

(18.11)

Jika koefisien X(s) nyata maka akar-akar kompleks dari B(s) dan A(s) akan berupa pasangan konjugat. Bentuk pernyataan fungsi rasional seperti (18.11) ini memperlihatkan dengan jelas pole dan zero-nya. Pada umumnya kita menghadapi fungsi yang proper, sehingga jumlah zero lebih kecil dari jumlah pole. Dalam keadaan demikian sering kita menganggap bahwa fungsi demikian mempunyai (n − m) zero di tak hingga.

247

CONTOH : Misalkan kita mempunyai fungsi rasional

X (s) =

( s + 1)(s + 2) ( s + 2)(s + 4) ( s + 1) . ( s + 4)

Fungsi ini dapat ditulis sebagai X 1 ( s ) =

X1(s) merupakan bentuk tereduksi dari X(s). Numerator dan denominator dari fungsi X(s) mempunyai faktor yang sama yaitu (s + 2) dan faktor yang sama ini dapat dieliminir. Numerator dan denominator dari fungsi tereduksi X1(s) mempunyai pula faktor sama, yaitu 1. Jadi faktor yang sama antara polinom B1(s) dan A1(s) pada X1(s) adalah 1; rasio dua polinom yang demikian ini disebut coprime. Dalam menangani fungsi rasional kita bekerja pada bentuk yang sudah tereduksi; kita bekerja pada numerator dan denominator yang coprime. 18.6. Diagram Pole-Zero Fungsi rasional dapat direpresentasikan secara grafis, yaitu dengan hanya menggambarkan pole dan zero yang dimilikinya. Pole diberi tanda “×” sedangkan zero diberi tanda “o”. Hasilnya kita sebut diagram pole-zero. CONTOH: Tinjau fungsi X ( s ) =

5( s − 1) . ( s + 1)( s + 2 + j1)( s + 2 − j1)

Im × −2 × × −1 1 Re −1 1

Zero ada di s = 1 ; Pole ada di s = −1, (−2−j1), (−2+j1).

248 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

18.7. Aplikasi Bilangan Kompleks untuk Menyatakan Fungsi Sinus Kita telah melihat di sub-bab 18.2. bahwa melalui persamaan atau identitas Euler, representasi polar dari bilangan kompleks adalah

s = Ae jθ = A cos θ + jA sin θ nyata dari bilangan kompleks Ae jθ yang kita tuliskan

(18.12)

Dari relasi (18.2) ini kita dapat menyatakan bahwa A cos θ adalah bagian

A cos θ = Re Ae jθ

(18.13)

Jika relasi (18.13) ini kita tetapkan sebagai relasi untuk menyatakan fungsi sinus (yang dalam hal ini dinyatakan sebagai cosinus) maka penulisan Re di ruas kanan (18.13) tidak perlu dituliskan lagi sehingga

A cos θ = Ae jθ

(18.14)

Relasi (18.14) inilah pernyataan besaran sinusoidal menggunakan bilangan kompleks: A di ruas kiri adalah amplitudo besaran sinusoidal, dan A di ruas kanan adalah panjang vektor pernyataan bilangan komplek secara vektor. Karena dalam pernyataan bilangan kompleks secara vektor θ adalah sudut antara arah vektor dengan sumbu nyata, maka kita dapat menyatakan bilangan kompleks dengan menyatakan panjang vektor dan sudutnya

Ae jθ = A∠θ sehingga (18.14) menjadi

(18.15)

A cos θ = A∠θ

(18.16)

Dalam besaran-besaran berbentuk sinusoidal dengan amlitudo A, misalnya tegangan sinusoidal, θ merupakan fungsi waktu yang dapat kita tulis θ = ωt + ψ ; ω adalah frekuensi sudut dalam radian/detik, dan ψ adalah sudut fasa yaitu pergeseran sudut yang sudah terjadi pada t = 0 . Dari (18.16) kita dapat menyatakan

A cos(ωt + ψ ) = A∠(ωt + ψ) = A∠ψ t = 0

(18.17)

Inilah pernyataan besaran sinusoidal dalam fasor. Dalam menyatakan besaran sinusoidal ke dalam bentuk fasor, kita mengambil bentuk seperti ruas paling kanan (18.17) tanpa menyebut lagi t = 0, karena hanya amplitudo dan sudut fasa sajalah yang membedakan satu besaran sinusoidal 249

dengan besaran sinusoidal yang lain, dan perbedaan itu kita amati pada t = 0. Hubungan antara cosinus dan sinus suatu sin ωt = cos(ωt − π / 2) . Oleh karena itu bentuk fasor dari sudut adalah (18.18)

A sin(ωt + ψ ) adalah A∠(ψ − π / 2)

Dalam analisis rangkaian listrik, penulisan dalam bentuk fasor dilakukan seperti contoh berikut:

v = V cos(ωt + α) menjadi V = V∠α i = I cos(ωt + β) menjadi I = I∠β

Operasi perkalian fasor menjadi lebih mudah dilakukan

V1 = V1∠α1 = V1e jα 1 ;

V2 = V2 ∠α 2 = V2 e jα 2

⇒ V1 × V2 = V1V2 e j (α1 + α 2 ) = V1V2 ∠(α1 + α 2 )
∗ V1 = V1∠α1 , I1 = I1∠β1 ⇒ I1 = I1∠ − β1 ∗ ⇒ V1 × I1 = V1I1∠(α1 − β1 )

Penjumlahan dan pengurangan akan lebih mudah jika fasor-fasor dinyatakan dalam bentuk sudut siku

V1 = V1∠α1 = V1 (cos α1 + j sin α1 ) V2 = V2 ∠α 2 = V2 (cos α 2 + j sin α 2 ) ⇒ V1 + V2 = (V1 cos α1 + V2 cos α 2 ) + j (V1 sin α1 + V2 sin α 2 )

Selanjutnya lihat ”Analisis Rangkaian Listrik Jilid-1” pada bab Fasor dan Impedansi.

250 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 19

Transformasi Laplace
F (s) =

Transformasi Laplace, didefinisikan sebagai suatu integral

∫0



f (t )e − st dt

(19.1)

dengan s merupakan peubah kompleks, s = σ + jω. Batas bawah integrasi ini adalah nol yang berarti bahwa dalam kita hanya meninjau besaran dengan nilai lebih besar dari nol. Untuk itu kita menggunakan fungsi anak tangga satuan u(t) untuk menyatakan f(t). 19.1. Transformasi Laplace Melalui transformasi Laplace kita menyatakan suatu fungsi yang semula dinyatakan sebagai fungsi waktu, t, menjadi suatu fungsi s di mana s adalah peubah kompleks. Transformasi Laplace dari suatu fungsi f(t) yang didefinisikan sebagai

F (s) =

∫0



f (t )e − st dt kita tuliskan dengan notasi :

L[ f (t )] = F ( s) = ∫0
∞ ∞



f (t )e − st dt

(19.2)

Fungsi Tetapan. Kita lihat lebih dulu fungsi tetapan f (t ) = Au (t ) sehingga

L[ Au(t)] = ∫0

Au (t ) e

− st

dt =

∫0

Ae

− st

Ae − (σ + jω)t dt = − σ + jω



0

Batas atas, dengan σ > 0, memberikan nilai 0, sedangkan batas bawah memberikan nilai A/s. Jadi

L[ Au(t )] = A s

(19.3)

Fungsi Eksponensial. Transformasi Laplace fungsi eksponensial beramplitudo A, yaitu f (t ) = Ae − at u (t ) adalah
∞ ∞

L[ Ae

− at

u (t )] =

∫0

Ae

− at − st

e

u (t )dt =

∫0

Ae

− ( s + a )t

Ae − ( s + a )t =− s+a



0

251

Dengan a > 0, batas atas memberikan nilai 0 sedangkan batas bawah memberikan A/(s+a). Jadi

A L[ Ae− at u(t )] = s + a f(t) = (A cos ωt) u(t) adalah :

(19.4)

Fungsi Sinus. Transformasi Laplace fungsi sinus

L[( A cos ωt )u (t ) ] = ∫0



( A cos ωt ) e − st u (t )dt =

∫0 ( A cos ωt ) e



− st

dt

Dengan memanfaatkan hubungan Euler

cos ω = (e jωt + e − jωt ) / 2 ruas kanan persamaan di atas menjadi

∫0



A

∞ A ( jω − s )t ∞ A ( − jω − s ) t e jωt + e − jωt − st e dt = e dt + e dt 0 2 0 2 2 As = 2 s + ω2





Jadi

L [( A cos ωt ) u (t )] = A L [( A sin ωt ) u (t )] = A

s s + ω2
2

(19.5)

Dengan cara yang sama, diperoleh

ω s + ω2
2

(19.6)

19.2. Tabel Transformasi Laplace Mencari transformasi Laplace dari beberapa di atas merupakan contoh bagaimana suatu transformasi dari fungsi t ke dalam fungsi s dilakukan. Kita lihat bahwa nilai tetapan A, selalu muncul sebagai faktor pengali dalam pernyataan fungsi di kawasan s. Transformasi dari beberapa fungsi yang lain termuat dalam Tabel-19.1. dengan mengambil nilai tetapan A = 1.

252 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Tabel-19.1. Pasangan Transformasi Laplace Pernyataan Fungsi di Kawasan t : f(t) impuls : anak tangga : δ(t) u(t) [e−at]u(t) [cos ωt] u(t) [sin ωt] u(t) Pernyataan Fungsi di Kawasan s : L[f(t)]=F(s) 1

eksponensial : cosinus : sinus :

1 s 1 s+a s

s 2 + ω2 ω s 2 + ω2 s+a ω cosinus teredam : [e−atcos ωt] u(t) sinus teredam : [e−atsin ωt] u(t)

(s + a )2 + ω2 (s + a )2 + ω2 s cos θ − ω sin θ s 2 + ω2 s sin θ + ω cos θ s 2 + ω2 1 s2 1

cosinus tergeser : [cos (ωt + θ)] u(t) sinus tergeser : ramp : ramp teredam : [sin (ωt + θ)] u(t) [ t ] u(t) [ t e−at ] u(t)

(s + a )2

CONTOH: Carilah transformasi Laplace dari bentuk gelombang berikut:

a). f1 (t ) = 5 cos(10t )u (t ) b). f 2 (t ) = 5 sin(10t )u (t ) c). f 3 (t ) = 3e − 2t u (t )

253

Solusi : Dengan menggunakan Tabel-3.1 kita peroleh :
a). f1 (t ) = 5 cos(10t )u (t ) → F1 ( s ) = b). f 2 (t ) = 5 sin(10t )u (t ) → F2 ( s) = c). f 3 (t ) = 3e − 2t u (t ) 5s s + (10) 5 × 10
2 2

= =

5s s + 100 50
2

s 2 + (10) 2 3 → F3 ( s) = s+2

s 2 + 100

19.3. Sifat-Sifat Transformasi Laplace Sifat Unik. Sifat ini dapat dinyatakan sebagai berikut. Jika f(t) mempunyai transformasi Laplace F(s) maka transformasi balik dari F(s) adalah f(t). Bukti dari pernyataan ini tidak kita bahas di sini. Sifat ini memudahkan kita untuk mencari F(s) dari suatu fungsi f(t) dan sebaliknya mencari fungsi f(t) dari suatu fungsi F(s) dengan menggunakan tabel transformasi Lapalace. Mencari fungsi f(t) dari suatu fungsi F(s) disebut mencari transformasi balik dari F(s), dengan notasi L−1[F(s)] = f(t) . Hal terakhir ini akan kita bahas lebih lanjut setelah membahas sifat-sifat transformasi Laplace. Sifat Linier. Karena transformasi Laplace adalah sebuah integral, maka ia bersifat linier. Transformasi Laplace dari jumlah beberapa fungsi t adalah jumlah dari transformasi masing-masing fungsi. Jika f (t ) = A1 f1 (t ) + A2 f 2 (t ) maka transformasi Laplace-nya adalah
∞ ∞ ∞

F (s) =

∫0

[A1 f1 (t ) + A2 f 2 (t )]e − st dt = A1 ∫

0

f1 (t )dt + A2

∫0 f 2 (t )dt (19.7)

= A1F1 ( s ) + A2 F2 ( s ) dengan F1(s) dan F2(s) adalah transformasi Laplace dari f1(t) dan f2(t).

254 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

CONTOH: a). Carilah transformasi Laplace dari :

v1 (t ) = (1 + 3e −2t ) u (t ) b). Jika transformasi Laplace fungsi eksponensial Ae−atu(t) adalah 1/(s+a), carilah transformasi dari v2(t)=Acosωt u(t).
Solusi :

a). v1 (t ) = (1 + 3e − 2t ) u (t ) → V1 ( s ) =

1 3 + s s+2

b). v2(t) = A cos(ωt )u (t ) = A =

A j ωt e u (t ) + e − jωt u (t ) 2 A 1 As 1  A  2s  =  V2 ( s ) =  + = 2  s − jω s + jω  2  s 2 + ω2  s 2 + ω2    
Integrasi. Transformasi Laplace dari integrasi suatu fungsi dapat kita lihat sebagai berikut. Misalkan f (t ) =

(

e j ωt + e − j ωt u (t ) 2

)

∫0 f1( x)dx . Maka
   

t

 F (s) =    0



∫ ∫0

t

 e − st  f1 ( x)dx  e − st dt =     −s 

∫0

t

 e − st f1 ( x)dx  − f1 (t ) dt   0 0 − s 







Suku pertama ruas kanan persamaan di atas akan bernilai nol untuk t = ∞ karena e−st = 0 pada t→∞ , dan juga akan bernilai nol untuk t = 0 karena integral yang di dalam tanda kurung akan bernilai nol (intervalnya nol). Tinggallah suku kedua ruas kanan; jadi

e 1 F (s) = − f1 (t ) dt = s −s

∞ − st


0



∫ f1 (t )e
0

− st

dt =

F1 ( s ) s

(19.8)

CONTOH: Carilah transformasi Laplace dari fungsi ramp r(t)=tu(t). Solusi : Kita mengetahui bahwa fungsi ramp adalah integral dari fungsi anak tangga. 255

r (t ) = tu (t ) = → R( s) =

∫0 u( x)dx
∞ t

t

  ∫0  ∫0 u( x)dx  e  

 − st 1 dt = 2 s

Hasil ini sudah tercantum dalam Tabel.3.1.

Diferensiasi. Transformasi Laplace dari suatu diferensiasi dapat kita lihat sebagai berikut. Misalkan f (t ) =
F (s) =

df1 (t ) maka dt

∫0



df1 (t ) − st e dt = f1 (t )e − st dt

[

] −∫
∞ 0



0

f1 (t )( − s ) e − st dt

Suku pertama ruas kanan bernilai nol untuk t = ∞ karena e−st = 0 untuk t→ ∞ , dan bernilai −f(0) untuk t = 0. Dengan demikian dapat kita tuliskan

L 

∞ df1 (t )  − st  = s 0 f (t )e dt − f (0) = sF1 ( s ) − f1 (0) dt  



(19.9)

CONTOH: Carilah transformasi Laplace dari fungsi cos(ωt) dengan memandang fungsi ini sebagai turunan dari sin(ωt). Solusi :

1 d sin(ωt ) ω dt  1 ω s → F (s) =  s 2 − sin(0)  = 2   2 ω s +ω  s + ω2 f (t ) = cos(ωt ) =
Penurunan di atas dapat kita kembangkan lebih lanjut sehingga kita mendapatkan transformasi dari fungsi-fungsi yang merupakan fungsi turunan yang lebih tinggi.

256 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

jika f (t ) = jika f (t ) =

d 2 f1 (t ) dt
2

→ F ( s) = s 2 F1 (s) − sf1 (0) − f1′ (0) → F (s) = s 3F1 ( s) − s 2 f1 (0) − sf1′ (0) − f1′′(0)

(19.10)

d 3 f1 (t ) dt 3

Translasi di Kawasan t. Sifat transformasi Laplace berkenaan dengan translasi di kawasan t ini dapat dinyatakan sebagai berikut Jika transformasi Laplace dari f(t) adalah F(s), maka transformasi Laplace dari f(t−a)u(t−a) untuk a > 0 adalah e−asF(s). Hal ini dapat kita lihat sebagai berikut. Menurut definisi, transformasi Laplace dari f(t−a)u(t−a) adalah

∫0



f (t − a )u (t − a)e − st dt

Karena u(t−a) bernilai nol untuk t < a dan bernilai satu untuk t > a , bentuk integral ini dapat kita ubah batas bawahnya serta tidak lagi menuliskan faktor u(t−a), menjadi

∫0



f (t − a )u (t − a)e − st dt =

∫a



f (t − a)e − st dt

Kita ganti peubah integrasinya dari t menjadi τ dengan suatu hubungan τ = (t−a). Dengan penggantian ini maka dt menjadi dτ dan τ = 0 ketika t = a dan τ = ∞ ketika t = ∞. Persamaan di atas menjadi

∫0



f (t − a)u (t − a)e − st dt = = e − as

∫0



f (τ)e − s ( τ + a ) dτ
(19.11)

∫0



f (τ)e − sτ dτ = e − as F ( s )

CONTOH: Carilah transformasi Laplace dari bentuk gelombang sinyal seperti yang tergambar di samping ini. A Solusi : Model bentuk gelombang ini dapat kita tuliskan sebagai f (t ) = Au (t ) − Au (t − a ) .

f(t)

0

a

→t

257

Transformasi Laplace-nya adalah :

F (s) =

A − as A A(1 − e − as ) −e = s s s

Translasi di Kawasan s. Sifat mengenai translasi di kawasan s dapat dinyatakan sebagai berikut. Jika transformasi Laplace dari f(t) adalah F(s) , maka transformasi Laplace dari e−αtf(t) adalah F(s + α). Bukti dari pernyataan ini dapat langsung diperoleh dari definisi transformasi Laplace, yaitu

∫0 e

∞ − αt

f (t )e − st dt =

∫0



f (t )e − ( s + α )t dt = F ( s + α)

(19.12)

Sifat ini dapat digunakan untuk menentukan transformasi fungsi teredam jika diketahui bentuk transformasi fungsi tak teredamnya. CONTOH: Carilah transformasi Laplace dari fungsi-fungsi ramp teredam dan sinus teredam berikut ini :

a). v1 = tu (t )e −αt
Solusi :

;

b). v2 = e −αt cos ωt u (t )

a). Karena untuk v(t ) = tu (t ) → F ( s ) =

1 s2

, 1

( s + α) 2 s b). Karena untuk v(t ) = cos ωt u (t ) → V ( s ) = 2 , s + ω2 maka jika v2 (t ) = e − αt cos ωt u (t ) ⇒ V2 ( s ) =

maka jika v1 (t ) = tu (t )e − αt ⇒ V1 ( s ) =

s+α

( s + α) 2 + ω2

Pen-skalaan (scaling). Sifat ini dapat dinyatakan sebagai : Jika transformasi Laplace dari f(t) adalah F(s) , maka untuk a 1 s > 0 transformasi dari f(at) adalah F   . a a

258 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bukti dari sifat ini dapat langsung diperoleh dari definisinya. Dengan mengganti peubah t menjadi τ = at maka transformasi Laplace dari f(at) adalah:

∫0



f (at )e − st dt =

− τ 1 ∞ 1 s f (τ)e a dτ = F   a 0 a a

s



(19.13)

Jadi, jika skala waktu diperbesar (a > 1) maka skala frekuensi s mengecil dan sebaliknya apabila skala waktu diperkecil (a < 1) maka skala frekuensi menjadi besar. Nilai Awal dan Nilai Akhir. Sifat transformasi Laplace berkenaan dengan nilai awal dan nilai akhir dapat dinyatakan sebagai berikut.

Nilai awal : lim f (t ) = lim sF ( s ) t →0+ s →∞ s →0

Nilai akhir : lim f (t ) = lim sF ( s ) t →∞

Jadi nilai f(t) pada t = 0+ di kawasan waktu (nilai awal) sama dengan nilai sF(s) pada tak hingga di kawasan s. Sedangkan nilai f(t) pada t = ∞ (nilai akhir) sama dengan nilai sF(s) pada titik asal di kawasan s. Sifat ini dapat diturunkan dari sifat diferensiasi. CONTOH: Transformasi Laplace dari suatu sinyal adalah

V ( s ) = 100

s+3 s ( s + 5)(s + 20)

Carilah nilai awal dan nilai akhir dari v(t). Solusi : Nilai awal adalah :

  s+3 lim v(t ) = lim sV ( s ) = lim  s × 100 =0 s ( s + 5)( s + 20)  s →∞   t →0 + s →∞
Nilai akhir adalah :

  s+3 lim v(t ) = lim sV ( s ) = lim  s × 100 =3 s ( s + 5)(s + 20)  s →0   t →∞ s →0
259

Tabel 19.2. memuat sifat-sifat transformasi Laplace yang dibahas di atas kecuali sifat yang terakhir yaitu konvolusi. Konvolusi akan dibahas di bagian akhir dari pembahasan mengenai transformasi balik. Tabel 19.2. Sifat-sifat Transformasi Laplace Pernyataan f(t) linier : A1 f1(t) + A2 f2(t) Pernyataan F(s) =L[f(t)] A1F1(s) + A2 F2(s)

integrasi :

∫0 f ( x)dx diferensiasi :

t

F (s) s df (t ) dt sF ( s ) − f (0 − ) s 2 F ( s ) − sf (0 − ) − f ′(0 − )

d 2 f (t ) dt 2

d 3 f (t ) dt 3 linier : A1 f1(t) + A2 f2(t) translasi di t: [ f (t − a )]u (t − a) translasi di s : e− at f (t ) penskalaan : f (at )

s 3 F ( s ) − s 2 f (0 − ) − sf (0 − ) − f ′′(0− )
A1F1(s) + A2 F2(s)

e − as F (s ) F ( s + a)

1 s F  a a s →∞ s →0

nilai awal : lim f (t ) t →0 +

lim sF ( s ) lim sF ( s )

nilai akhir : lim f (t ) t →∞ t

konvolusi :

∫0 f1 ( x) f 2 (t − x)dx

F1 ( s ) F2 ( s )

260 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

19.4. Transformasi Balik Berikut ini kita akan membahas mengenai transformasi balik, yaitu mencari f(t) dari suatu F(s) yang diketahui. Jika F(s) yang ingin dicari transformasi baliknya ada dalam tabel transformasi Laplace yang kita punyai, pekerjaan kita cukup mudah. Akan tetapi pada umumnya F(s) berupa rasio polinomial yang bentuknya tidak sederhana dan tidak selalu ada pasangannya seperti dalam tabel. Untuk mengatasi hal itu, F(s) kita uraikan menjadi suatu penjumlahan dari bentuk-bentuk yang ada dalam tabel, sehingga kita akan memperoleh f(t) sebagai jumlah dari bentukbentuk fungsi sederhana. Dengan perkataan lain kita membuat F(s) menjadi transformasi dari suatu gelombang komposit dan kelinieran dari transformasi Laplace akan memberikan transformasi balik dari F(s) yang berupa jumlah dari bentuk-bentuk gelombang sederhana. Pole dan Zero. Tentang pole dan zero telah kita pelajari di bab sebelumnya. Pada umumnya, transformasi Laplace berbentuk rasio polinom (19.14) an s n + an −1s n −1 + L + a1s + a0 yang masing-masing polinom dapat dinyatakan dalam bentuk faktor menjadi

F ( s) =

bm s m + bm −1s m −1 + L + b1s + b0

F (s) = K

( s − z1 )( s − z 2 ) L ( s − z m ) ( s − p1 )( s − p2 ) L ( s − pn )

(19.15)

dengan K = bm/an dan disebut faktor skala. Akar-akar dari pembilang dari pernyataan F(s) di atas memberikan zero sedangkan akar-akar dari penyebut memberikan pole. Pole dan zero disebut frekuensi kritis karena pada nilai-nilai itu F(s) menjadi nol atau tak-hingga. CONTOH: Gambarkan diagram pole-zero dari 1 a). F ( s ) = s +1 A( s + a) b). F ( s ) = ( s + a) 2 + b 2 1 c). F ( s ) = s

261

Solusi : a). Fungsi ini mempunyai pole di s = −1 tanpa zero tertentu. b). Fungsi ini mempunyai zero di s = −a. Pole dapat dicari dari

jω × −1 jω +jb −a σ −jb jω σ σ

( s + a) 2 + b 2 = 0 → pole di s = −a ± jb
c). Fungsi ini tidak mempunyai zero tertentu sedangkan pole terletak di titik asal, s = 0 + j0.

Bentuk Umum F(s). Bentuk umum F(s) adalah seperti (19.15) yaitu

F (s) = K

( s − z1 )( s − z 2 ) L ( s − z m ) ( s − p1 )( s − p2 ) L ( s − pn )

Jika fungsi ini memiliki pole yang semuanya berbeda, jadi pi ≠ pj untuk i ≠ j , maka dikatakan bahwa F(s) mempunyai pole sederhana. Jika ada pole yang berupa bilangan kompleks kita katakan bahwa fungsi ini mempunyai pole kompleks. Jika ada pole-pole yang bernilai sama kita katakan bahwa fungsi ini mempunyai pole ganda. Fungsi Dengan Pole Sederhana. Apabila fungsi rasional F(s) hanya mempunyai pole sederhana, maka ia dapat diuraikan menjadi berbentuk

F (s) =

kn k1 k2 + +L+ ( s − p1 ) ( s − p2 ) ( s − pn )

(19.16)

Jadi F(s) merupakan kombinasi linier dari beberapa fungsi sederhana; konstanta k yang berkaitan dengan setiap fungsi pembangun F(s) itu kita sebut residu. Kita ingat bahwa transformasi balik dari masing-masing fungsi sederhana itu berbentuk ke−αt. Dengan demikian maka transformasi balik dari F(s) menjadi

262 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

f (t ) = k1e p1t + k 2e p2t + L + k n e p n t

(19.17)

Persoalan kita sekarang adalah bagaimana menentukan residu. Untuk mencari k1, kita kalikan kedua ruas (19.16) dengan (s − p1) sehingga faktor (s− p1) hilang dari ruas kiri sedangkan ruas kanan menjadi k1 ditambah suku-suku lain yang semuanya mengandung faktor (s− p1). Kemudian kita substitusikan s = p1 sehingga semua suku di ruas kanan bernilai nol kecuali k1 dan dengan demikian diperoleh nilai k1. Untuk mencari k2, kita kalikan kedua ruas (19.16) dengan (s − p2) kemudian kita substitusikan s = p2; demikian seterusnya sampai semua nilai k diperoleh, dan transformasi balik dapat dicari. CONTOH: Carilah f(t) dari fungsi transformasi berikut.

4 4( s + 2) ; b). F ( s ) = ; ( s + 1)( s + 3) ( s + 1)( s + 3) 6( s + 2) c). F ( s ) = s ( s + 1)( s + 4) a). F ( s ) =
Solusi : a). F ( s ) =

4 k k = 1 + 2 ( s + 1)(s + 3) s + 1 s + 3 k 4 → F ( s ) × ( s + 1) → = k1 + 2 ( s + 1) ( s + 3) s+3 4 → substitusi s = −1 → = k1 → k1 = 2 −1+ 3

→ F ( s ) × ( s + 3) dan substitusi s = −3 → ⇒ F (s) =

2 −2 + ⇒ f (t ) = 2e −t − 2e −3t s +1 s + 3

4 = k 2 → k 2 = −2 − 3 +1

263

b). F ( s ) =

4( s + 2) k k = 1 + 2 ( s + 1)(s + 3) s + 1 s + 3

4 ( −1 + 2 ) = k1 → k1 = 2 −1+ 3 4(−3 + 2) → F ( s ) × ( s + 3) dan substitusi s = −3 → = k2 → k2 = 2 − 3 +1 2 2 ⇒ F ( s) = + ⇒ f (t ) = 2e − t + 2e − 3t s +1 s + 3 → F ( s ) × ( s + 1) dan substitusi s = −1 →
c). F ( s ) =

k 6( s + 2) k k = 1+ 2 + 3 s ( s + 1)(s + 4) s s + 1 s + 4

Dengan cara seperti di a) dan b) kita peroleh

→ k1 = k3 =

6( s + 2) 6( s + 2) = 3 ; k2 = = −2 ; ( s + 1)( s + 4) s = 0 s ( s + 4) s = −1 6( s + 2) = −1 s ( s + 1) s = −4 3 −2 −1 + + → f (t ) = 3 − 2e − t − e − 4t s s +1 s + 4

⇒ F ( s) =

Fungsi Dengan Pole Kompleks. Fungsi F(s) merupakan rasio polinomial dengan koefisien nyata. Jika F(s) mempunyai pole kompleks yang berbentuk p = −α + jβ, maka ia juga harus mempunyai pole lain yang berbentuk p* = −α − jβ; sebab jika tidak maka koefisien polinomial tersebut tidak akan nyata. Jadi pole kompleks dari F(s) haruslah berpasangan konjugat. Oleh karena itu uraian F(s) harus mengandung dua suku yang berbentuk

F (s) = L +

k k* + +L s + α − jβ s + α + jβ

(19.18)

Residu k dan k* pada pole konjugat juga merupakan residu konjugat sebab F(s) adalah fungsi rasional dengan koefisien rasional. Residu ini dapat kita cari dengan cara yang sama seperti mencari residu pada uraian fungsi dengan pole sederhana. Kita cukup mencari salah satu residu dari pole kompleks karena residu yang lain merupakan konjugatnya.

264 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Transformasi balik dari dua suku dengan pole kompleks akan berupa cosinus teredam. Tansformasi balik dari dua suku pada (19.18) adalah

f k (t ) = ke −(α − jβ)t + k * e −(α + jβ)t = k e jθ e −(α − jβ)t + k e − jθ e −(α + jβ)t = k e −( α − j (β+ θ))t + k e −(α + j (β+θ))t = 2 k e − αt e j (β+ θ)t + e − j (β+θ)t = 2 k e −αt cos(β + θ) 2

Jadi f(t) dari (19.18) akan berbentuk :

f (t ) = L + 2 k e −αt cos(β + θ) + L
CONTOH: Carilah transformasi balik dari 8 F (s) = 2 s ( s + 4s + 8) Solusi : Fungsi ini mempunyai pole sederhana di s = 0, dan pole kompleks yang dapat ditentukan dari faktor penyebut yang berbentuk kwadrat, yaitu

− 4 ± 16 − 32 = −2 ± j 2 2 Uraian dari F(s), penentuan residu, serta transformasi baliknya adalah sebagai berikut. s=
F (s) = → k1 =
∗ k k2 k2 = 1+ + s( s 2 + 4 s + 8) s s + 2 − j 2 s + 2 + j 2

8

8 s( s + 4 s + 8)
2

×s s =0

=

8 =1 8

→ k2 = =
∗ → k2 =

8 s( s 2 + 4s + 8) 8 s( s + 2 + j 2) 2 − j (3π / 4) e 2

× ( s + 2 − j 2) s = −2 + j 2

= s = −2 + j 2

8 2 j (3π / 4) = e 2 − 8 − j8

265

⇒ f(t) = u (t ) + = u (t ) +

2 j (3π / 4 ) − ( 2 − j 2 )t 2 − j (3π / 4) − ( 2 + j 2 )t e e + e e 2 2 2 − 2t j (3π / 4 + 2t ) e e + e − j (3π / 4 + 2t ) 2

[

]

= u (t ) + 2e − 2t cos(2t + 3π / 4)
Fungsi Dengan Pole Ganda. Pada kondisi tertentu, fungsi F(s) dapat mempunyai pole ganda. Penguraian F(s) yang demikian ini dilakukan dengan “memecah” faktor yang mengandung pole ganda dengan tujuan untuk mendapatkan bentuk fungsi dengan pole sederhana yang dapat diuraikan seperti biasanya. Untuk jelasnya kita ambil suatu fungsi yang mengandung pole ganda (dua pole sama) seperti berikut ini.

F (s) =

K ( s − z1 ) ( s − p1 )( s − p2 ) 2

(19.19)

Dengan mengeluarkan salah satu faktor yang mengandung pole ganda kita dapatkan

F (s) =

1 s − p2

 K ( s − z1 )     ( s − p1 )( s − p2 ) 

(19.20)

Bagian yang didalam tanda kurung dari (19.20) mengandung pole sederhana sehingga kita dapat menguraikannya seperti biasa.

 K ( s − z1 )  k1 k2 F1 ( s ) =  + = ( s − p1 )( s − p2 )  s − p1 s − p2 

(19.21)

Residu pada (19.21) dapat ditentukan, misalnya k1 = A dan k2 = B , dan faktor yang kita keluarkan kita masukkan kembali sehingga (19.20) menjadi

F (s) =

1 s − p2

 A B  A B + +  = 2  s − p1 s − p2  ( s − p2 )(s − p1 ) ( s − p2 )

dan suku pertama ruas kanan diuraikan lebih lanjut menjadi

F (s) =

k11 k B + 12 + s − p1 s − p2 ( s − p2 ) 2

(19.22)

266 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Transformasi balik dari (19.22) adalah

f (t ) = k11e p1t + k12e p 2t + Bte p2t
CONTOH: Tentukan transformasi balik dari fungsi: s F (s) = ( s + 1)( s + 2) 2 Solusi :

F (s) = =

s ( s + 1)( s + 2)
2

=

 s 1  ( s + 2)  ( s + 1)(s + 2)   

k  1  k1 + 2 ( s + 2)  s + 1 s + 2    s = −1 ( s + 2) s = −1 → k2 = s ( s + 1) =2 s = −2

→ k1 =
⇒ F ( s) =

1  −1 2  −1 2 = + + ( s + 2)  s + 1 s + 2  ( s + 1)( s + 2) ( s + 2) 2   k k 2 = 11 + 12 + s + 1 s + 2 ( s + 2) 2
−1 s+2 s = −1

→ k11 =

= −1

→ k12 =

−1 =1 s + 1 s = −2

−1 1 2 ⇒ F (s) = + + ⇒ f (t ) = −e − t + e − 2t + 2te − 2t s + 1 s + 2 ( s + 2) 2

Konvolusi. Transformasi Laplace menyatakan secara timbal balik bahwa

jika f (t ) = f1 (t ) + f 2 (t ) jika F ( s) = F1 ( s ) + F2 ( s ) jika F ( s ) = F1 ( s ) F2 ( s )

maka maka

F (s) = F1 ( s ) + F2 ( s ) f (t) = f1 (t ) + f 2 (t ) f (t ) ≠ f1 (t ) f 2 (t )

Kelinieran dari transformasi Laplace ini tidak mencakup perkalian. Jadi

maka

Mencari fungsi f(t) dari suatu fungsi F(s) yang merupakan hasil kali dua fungsi s yang berlainan, melibatkan sifat transformasi Laplace yang kita sebut konvolusi. Sifat ini dapat dinyatakan sebagai berikut. 267

jika F ( s ) = F1 ( s ) F2 ( s ) maka

L−1[F ( s)] = f (t ) = ∫ f1 (τ) f 2 (t − τ)dτ = ∫ f 2 (τ) f1 (t − τ)dτ t t 0 0

(19.23)

Kita katakan bahwa transformasi balik dari perkalian dua F(s) diperoleh dengan melakukan konvolusi dari kedua bentuk gelombang yang bersangkutan. Kedua bentuk integral pada (19.23) disebut integral konvolusi. Pandanglah dua fungsi waktu f1(t) dan f2(t). Transformasi Laplace masing-masing adalah

F1 ( s ) =

∫0



f1 (τ)e − sτ dτ dan F2 ( s ) =

∫0



f 2 (t )e − st dt .

Jika kedua ruas dari persamaan pertama kita kalikan dengan F2(s) akan kita peroleh

F1 ( s ) F2 ( s ) =

∫0



f1 (τ) e − sτ F2 ( s ) dτ

Sifat translasi di kawasan waktu menyatakan bahwa e−sτ F2(s) adalah transformasi Laplace dari [ f2(t−τ) ] u(t−τ) sehingga persamaan tersebut dapat ditulis

F1 ( s ) F2 ( s ) =

∫0



 f1 (τ)  

∫0



 f 2 (t − τ)u (t − τ)e − st dt  dτ 

Karena untuk τ > t nilai u(t−τ) = 0, maka integrasi yang berada di dalam kurung pada persamaan di atas cukup dilakukan dari 0 sampai t saja, sehingga ∞  t  F1 ( s ) F2 ( s ) = f1 (τ)  f 2 (t − τ)e − st dt  dτ 0  0 





=

∫0 ∫0 f1(τ) f 2 (t − τ)e 

∞ t

− st

 dt  dτ 

Dengan mempertukarkan urutan integrasi, kita peroleh

268 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

F1 ( s ) F2 ( s ) =

∫0 ∫0
 

∞ t

  f1 (τ) f 2 (t − τ)dτ e − st dt = L   

∫0 f1(τ) f 2 (t − τ)dτ 

t



CONTOH: Carilah f(t) dari F(s) berikut.

a). F ( s ) = c). F ( s ) =

1 ( s + a) 1
2

b). F ( s ) =

1 ( s + a)( s + b)

s 2 ( s + a)

Solusi : a). Fungsi ini kita pandang sebagai perkalian dari dua fungsi. 1 F ( s ) = F1 ( s ) F2 ( s ) dengan F1 ( s ) = F2 ( s ) = ( s + a)

→ f1 (t ) = f 2 (t ) = e − at ⇒ f (t ) = =

∫0 f1( x) f 2 (t − x)dx = ∫0 e t − ax − at + ax e dx 0

t

t − ax − a (t − x )

e

dx



= e − at dx = te − at

∫0

t

b). Fungsi ini juga merupakan perkalian dari dua fungsi.

F ( s ) = F1 ( s ) F2 ( s ) dengan F1 ( s ) = 1 1 dan F2 ( s ) = (s + a) ( s + b)

→ f1 (t ) = e − at dan f 2 (t ) = e −bt

⇒ f (t ) =

∫0

t

f1 ( x) f 2 (t − x)dx =

∫0 e
−bt

t − ax − b (t − x )

e

dx

=e =

− bt t ( − a + b) x

∫0 e

dx = e

e −bt e( −a +b )t − 1 e − at − e −bt = −a+b −a+b

(

)

 e ( − a + b) x     − a + b 0  

t

269

c). Fungsi ketiga ini juga dapat dipandang sebagai perkalian dua fungsi. 1 1 F ( s ) = F1 ( s ) F2 ( s ) dengan F1 ( s ) = 2 dan F2 ( s ) = s+a s

→ f1 (t ) = t dan f 2 (t ) = e − at ⇒ f (t ) =

∫0 f1 ( x) f 2 (t − x)dx = ∫0 xe ∫

t

t

− a (t − x )

dx = e − at

∫0 xe

t

ax

dx

t  ax t   at t e ax xe te − 0 e ax  − − 2 = e − at  dx  = e − at   a   a 0 a a 0 0        

 te at − 0 e at − 1  at − 1 + e − at = e − at  − = a2  a2  a  

270 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Bab 20

Deret dan Transformasi Fourier

Pada kasus tertentu dijumpai keadaan dimana pemecahan persoalan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan transformasi Laplace akan tetapi dapat dilakukan melalui transformasi Fourier. Topik-topik yang akan kita bahas berikut ini meliputi: deret Fourier, transformasi Fourier, sifat-sifat transformasi Fourier. 20.1. Deret Fourier Koefisien Fourier. Suatu fungsi periodik dapat diuraikan menjadi komponen-komponen sinus. Penguraian ini tidak lain adalah pernyataan fungsi periodik kedalam deret Fourier. Jika f(t) adalah fungsi periodik yang memenuhi persyaratan Dirichlet, maka f(t) dapat dinyatakan sebagai deret Fourier :

f (t ) = a0 +

n =1

∑ [a n cos(nω0t ) + bn sin(nω0t )]



(20.1)

yang dapat kita tuliskan sebagai

f (t ) = a0 +

n =1

∑  



2 2 a n + bn (cos(nω0 t − θ n ) )  

(20.2)

Koefisien Fourier a0, an, dan bn ditentukan dengan hubungan berikut.

a0 = an = bn =

1 T0 2 T0 2 T0

∫−T / 2 f (t )dt
0

T0 / 2

∫−T / 2 f (t ) cos(nω0t )dt
0

T0 / 2

; n>0 ; n>0

(20.3)

∫−T / 2 f (t ) sin(nω0 t )dt
0

T0 / 2

Hubungan (20.3) dapat diperoleh dari (20.1). Misalkan kita mencari an: kita kalikan (20.1) dengan cos(kωot) kemudian kita integrasikan antara −To/2 sampai To/2 dan kita akan memperoleh

271

∫−T / 2 f (t ) cos(kωo t )dt = ∫−T / 2 a0 cos(kωo t )dt o o

To / 2

To / 2

 To / 2   −T / 2 a n cos(nω 0 t ) cos(kω o t )dt   o  +  To / 2  n =1 + bn sin( nω 0 t ) cos(kω o t )dt    −To / 2  Dengan menggunakan kesamaan tigonometri 1 1 cos α cos β = cos(α − β) + cos(α + β) 2 2 1 1 cos α sin β = sin(α − β) + sin(α + β) 2 2 maka persamaan di atas menjadi









∫−T / 2 f (t ) cos(kωot )dt = ∫−T / 2 a0 cos(kωot )dt o o

To / 2

To / 2

 an To / 2 (cos((n − k )ω0t ) + cos((n + k )ωot ))dt  ∞   2 −To / 2   +  bn To / 2  n =1  + (sin((n − k )ω0t ) + sin((n + k )ωot ))dtdt   2 −To / 2 







Karena integral untuk satu perioda dari fungsi sinus adalah nol, maka semua integral di ruas kanan persamaan ini bernilai nol kecuali satu yaitu

a n To / 2 (cos((n − k )ω 0 t ))dt = a n yang terjadi jika n = k 2 −To / 2 2



oleh karena itu

an =

2 To

∫−T / 2 f (t ) cos(nω0 t )dt o To / 2

Pada fungsi-fungsi yang sering kita temui, banyak diantara koefisienkoefisien Fourier-nya bernilai nol. Keadaan ini ditentukan oleh kesimetrisan fungsi f(t) . Kita akan melihatnya dalam urain berikut ini. 20.2. Kesimetrisan Fungsi Simetri Genap. Suatu fungsi dikatakan mempunyai simetri genap jika f(t) = f(−t). Salah satu contoh fungsi yang memiliki simetri genap adalah fungsi cosinus, cos(ωt) = cos(−ωt). Untuk fungsi semacam ini, dari (1) kita dapatkan

272 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

f (t ) = a0 +

∑[an cos(nω0t ) + bn sin(nω0t )] n =1 ∞



dan

f (−t ) = a0 +

∑ [an cos(nω0t ) − bn sin(nω0t )] n =1

Kalau kedua fungsi ini harus sama, maka haruslah bn = 0, dan f(t) menjadi

f (t ) = ao +

∑ [an cos(nω0t )] n =1



(20.4) v(t) T

CONTOH: Tentukan deret Fourier dari bentuk gelombang deretan pulsa berikut ini.

A
−T/2 0 To T/2

Solusi : Bentuk gelombang ini memiliki simetri genap, amplitudo A, perioda To , lebar pulsa T. ao = 1 To

∫−T / 2
T /2

T /2

Adt =

At To

T /2

=
−T/ 2

AT ; bn = 0 ; To 2A
T /2

2 an = To =

∫−T / 2 A cos(nωot )dt = Toωon sin nωot −T / 2
 2 A   nπT  = sin    πn   To       

 nπT A 2 sin  T πn   o 

Untuk n = 2, 4, 6, …. (genap), an = 0; an hanya mempunyai nilai untuk n = 1, 3, 5, …. (ganjil).

f (t ) = =
Pemahaman :

AT + To

n =1, ganjil






2 A   nπT sin  nπ   To  

  cos(nωot )   

AT + To

n =1, ganjil



2A (− 1)(n −1) / 2 cos(nωot ) nπ

273

Pada fungsi yang memiliki simetri genap, bn = 0. Oleh karena itu sudut fasa harmonisa tanθn = bn/an = 0 yang berarti θn = 0o. Simetri Ganjil. Suatu fungsi dikatakan mempunyai simetri ganjil jika f(t) = −f(−t). Contoh fungsi yang memiliki simetri ganjil adalah fungsi sinus, sin(ωt) = −sin(−ωt). Untuk fungsi semacam ini, dari (1) kita dapatkan

− f ( −t ) = − a 0 +

∑ [− an cos(nω0t ) + bn sin(nω0t )] n =1 ∞



Kalau fungsi ini harus sama dengan

f (t ) = a0 + maka haruslah

∑ [an cos(nω0t ) + bn sin(nω0t )] n =1

a0 = 0 dan an = 0



f (t ) =

∑ [bn sin(nω0t )] n =1



(20.5)

CONTOH: Carilah deret Fourier dari bentuk gelombang persegi di samping ini. Solusi: Bentuk gelombang ini memiliki simetri ganjil, amplitudo A, perioda To = T. ao = 0 ; a n = 0 ;

v(t) A

T t

−A

bn = = =

2  T 

∫0

T /2

A sin( nωot )dt +

 ∫T / 2 − A sin(nωot )dt  

T



2A  T /2 T  − cos(nωot ) 0 + cos(nωot ) T / 2    Tnωo  A 1 + cos 2 (nπ) − 2 cos(nπ) nπ

(

)

Untuk n ganjil cos(nπ) = −1 sedangkan untuk n genap cos(nπ) = 1. Dengan demikian maka

274 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

A (1 + 1 + 2) = 4 A untuk n ganjil nπ nπ A bn = (1 + 1 − 2) = 0 untuk n genap nπ bn =

⇒ v(t ) =

4A sin( nωot ) nπ n =1, ganjil





Pemahaman: Pada bentuk gelombang dengan semetri ganjil, an = 0. Oleh karena itu sudut fasa harmonisa tanθn = bn/an = ∞ atau θn = 90o. Simetri Setengah Gelombang. Suatu fungsi dikatakan mempunyai simetri setengah gelombang jika f(t) = −f(t−To/2). Fungsi dengan sifat ini tidak berubah bentuk dan nilainya jika diinversi kemudian digeser setengah perioda. Fungsi sinus(ωt) misalnya, jika kita kita inversikan kemudian kita geser sebesar π akan kembali menjadi sinus(ωt). Demikain pula halnya dengan fungsi-fungsi cosinus, gelombang persegi, dan gelombang segitiga.
− f (t − To / 2) = −a0 + = − a0 +

∑ [− (−1)n an cos(nω0t ) − (−1) n bn sin(nω0t )] n =1

n =1 ∞

∑ [− an cos(nω0 (t − π)) − bn sin(nω0 (t − π))]



Kalau fungsi ini harus sama dengan

f (t ) = a0 +

∑ [an cos(nω0t ) + bn sin(nω0t )] n =1



maka haruslah ao = 0 dan n harus ganjil. Hal ini berarti bahwa fungsi ini hanya mempunyai harmonisa ganjil saja. Berikut ini diberikan formula untuk menentukan koefisien Fourier pada beberapa bentuk gelombang periodik. Bentuk-bentuk gelombang yang tercantum disini adalah bentuk gelombang yang persamaan matematisnya mudah diperoleh, sehingga pencarian koefisien Fourier menggunakan hubungan (20.3) dapat dilakukan.

275

Penyearahan Setengah Gelombang: v a0 = A / π 2A / π n genap; a n = 0 n ganjil 1− n2 b1 = A / 2 ; bn = 0 n ≠ 1 an =

t
T0

Sinyal ini tidak simetris terhadap sumbu waktu; oleh karena itu a 0 ≠ 0 . Perhitungan a0, an, bn lebih mudah dilakukan dengan menggunakan relasi (3.12). Penyearahan Gelombang Penuh Sinyal Sinus: v A

a0 = 2 A / π n genap; a n = 0 n ganjil 1− n2 bn = 0 untuk semua n an = 4A / π

T0

t

Sinyal ini memiliki simetri genap sehingga ia tidak mengandung komponen sinus; bn = 0 untuk semua n. Ia tidak simetris terhadap sumbu waktu oleh karena itu a 0 ≠ 0 , dengan nilai dua kali lipat dari penyearahan setengah gelombang. Demikian pula halnya an untuk n genap bernilai dua kali lipat dari penyearahan setengah gelombang. Sinyal Persegi: v A
T0

a0 = 0 t a n = 0 semua n ; bn = 4A n ganjil; bn = 0 n genap nπ

Sinyal persegi yang tergam-bar ini memiliki simetri ganjil. Ia tidak mengandung komponen cosinus; an = 0 untuk semua n. Ia simetris terhadap sumbu waktu, jadi a0 = 0.

276 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

Deretan Pulsa: v A T0 a 0 = AT / T0 an = 2A nπT sin nπ T0

T

t

bn = 0 untuk semua n

Sinyal yang tergambar ini memiliki simetri genap; bn = 0 untuk semua n. Ia tidak simetris terhadap sumbu waktu, oleh karena itu a 0 ≠ 0 . Sinyal Segitiga: v A t
T0

a0 = 0 n ganjil; an = 0 n genap ( nπ) 2 bn = 0 untuk semua n an = 8A

Sinyal segitiga yang tergambar ini mempunyai simetri genap; bn = 0 untuk semua n. Ia simetris terhadap sumbu waktu; a0 = 0. Sinyal Gigi Gergaji: v A a0 = A / 2 an = 0 untuk semua n bn = − A untuk semua n nπ

T0

t

Sinyal ini tidak simetris terhadap sumbu waktu; a0 = A / 2. Ia memiliki simetri ganjil; an = 0 untuk semua n.

20.3. Deret Fourier Bentuk Eksponensial Deret Fourier dalam bentuk seperti (20.1) sering disebut sebagai bentuk sinus-cosinus. Bentuk ini dapat kita ubah kedalam cosinus seperti (20.2). Sekarang bentuk (20.2) akan kita ubah ke dalam bentuk eksponensial dengan menggunakan hubungan

277

cos α =

e jα + e − jα . 2

Dengan menggunakan relasi ini maka (20.2) akan menjadi f (t ) = a 0 + = a0 +


∑   n =1



2 2 an + bn (cos(nω0t − θ n ) )  

∑  n =1  ∞



2 2 an + bn

e j ( nω 0 t − θ n ) + e − j ( nω 0 t − θ n )   2    ∞  a2 + b2  n − j ( nω 0 t − θ n )   n e j ( nω 0 t − θ n )  + e    2    n =1   

(20.6)

= a0 +

∑  n =1  

 a2 + b2 n n 2



Suku ketiga (20.6) adalah penjumlahan dari n = 1 sampai n =∞. Jika penjumlahan ini kita ubah mulai dari n = −1 sampai n = −∞, dengan penyesuaian an menjadi a−n , bn menjadi b−n , dan θn menjadi θ−n, maka menurut (20.3) perubahan ini berakibat a− n = b− n = 2 T0 / 2 2 T0 / 2 f (t ) cos(−nω0t )dt = f (t ) cos(nω0t )dt = an T0 −T0 / 2 T0 −T0 / 2





2 T0 / 2 2 T0 / 2 f (t ) sin(−nω0t )dt = − f (t ) sin(nω0t )dt = −b T0 −T0 / 2 T0 −T0 / 2





b − bn tan θ− n = − n = ⇒ θ− n = −θn a− n an

(20.7) Dengan (20.7) ini maka (20.6) menjadi

f (t ) =

 a2 + b2  −∞  a 2 + b2  n j ( nω0 t − θ n )  n j ( nω 0 t − θ n )   n  n e + e     2 2 n =0   n = −1  







(20.8) Suku pertama dari (20.8) merupakan penjumlahan yang kita mulai dari n = 0 untuk memasukkan a0 sebagai salah satu suku penjumlahan ini. Dengan cara ini maka (20.8) dapat ditulis menjadi

278 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

 a2 + b2  +∞  n n − j θ n  j ( n ω0 t ) f (t ) = e = cn e j ( n ω 0 t )  e 2   n = −∞  n = −∞ 



+∞



(20.9)

Inilah bentuk eksponensial deret Fourier, dengan cn adalah koefisien Fourier yang mungkin berupa besaran kompleks.

cn = cn =
2 2 an + bn

2 2 an + bn

2

e − jθ =

an − jbn 2

(20.10)

dan ∠cn = θn dengan 2 −b  b  θ n = tan −1  n  jika an < 0; θn = tan −1  n   a  a   n   n

(20.11) jika an > 0

Jika an dan bn pada (20.3) kita masukkan ke (20.10) akan kita dapatkan

cn =

an − jbn 1 = 2 T0

∫−T / 2 f (t ) e
0

T0 / 2

− jnωn t

dt

(20.12)

dan dengan (20.12) ini maka (20.9) menjadi f (t ) =

n = −∞

∑ cn e j (nω t ) = ∑  T0 ∫−T / 2 f (t ) e− jnω t dt  e j (nω t ) (20.13)    
0 o 0

+∞

+∞

 1

T0 / 2
0



n = −∞

Persamaan (20.11) menunjukkan bahwa 2|cn| adalah amplitudo dari harmonisa ke-n dan sudut fasa harmonisa ke-n ini adalah ∠cn. Persamaan (20.10) ataupun (20.12) dapat kita pandang sebagai pengubahan sinyal periodik f(t) menjadi suatu spektrum yang terdiri dari spektrum amplitudo dan spektrum sudut fasa seperti telah kita kenal di Bab-1. Persamaan (20.9) ataupun (20.13) memberikan f(t) apabila komposisi harmonisanya cn diketahui. Persamaan (20.12) menjadi cikal bakal transformasi Fourier, sedangkan persamaan (20.13) adalah transformasi baliknya.

279

CONTOH: Carilah koefisien Fourier cn dari fungsi pada contoh-10.1. Solusi :

1 T / 2 − jnωo t A cn = Ae dt = To −T / 2 To



 e − jnωo t   − jnωo 

    −T / 2

T /2

=

A nωoTo

 e jnωoT / 2 − e − jnωoT / 2    = 2 A sin (nω T / 2) o   nωoTo j  

20.4. Transformasi Fourier Spektrum Kontinyu. Deret Fourier, yang koefisiennya diberikan oleh (20.12) hanya berlaku untuk sinyal periodik. Sinyal-sinyal aperiodik seperti sinyal eksponensial dan sinyal anak tangga tidak dapat direpresentasikan dengan deret Fourier. Untuk menangani sinyal-sinyal demikian ini kita memerlukan transformasi Fourier dan konsep spektrum kontinyu. Sinyal aperiodik dipandang sebagai sinyal periodik dengan perioda tak-hingga. Jika diingat bahwa ω0 = 2π/T0 , maka (20.13) menjadi

f (t ) =

n = −∞

∑  T0 ∫−T / 2 f (t ) e− jnω t dt  e jnω t    
0 0 0



 1 T0 / 2



∞ 1  T0 / 2 − jnω0 t  = dt  ω0 e jnω0t   −T / 2 f (t ) e  2π n = −∞  0 

(20.14)

∑ ∫

Kita lihat sekarang apa yang terjadi jika perioda T0 diperbesar. Karena ω0 = 2π/T0 maka jika T0 makin besar, ω0 akan makin kecil. Beda frekuensi antara dua harmonisa yang berturutan, yaitu

∆ω = (n + 1)ω0 − nω0 = ω0 =

2π T0

juga akan makin kecil yang berarti untuk suatu selang frekuensi tertentu jumlah harmonisa semakin banyak. Oleh karena itu jika perioda sinyal T0 diperbesar menuju ∞ maka spektrum sinyal menjadi spektrum kontinyu, ∆ω menjadi dω (pertambahan frekuensi infinitisimal), dan nω0 menjadi

280 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

peubah kontinyu ω. Penjumlahan pada (20.14) menjadi integral. Jadi dengan membuat T0 → ∞ maka (20.14) menjadi

f (t ) =

1 2π

 ∫−∞  ∫−∞ f (t ) e 







− j ωt

1  dt  e jωt dω =  2π 

∫−∞ F (ω) e



j ωt

dω (20.15)

dengan F(ω) merupakan sebuah fungsi frekuensi yang baru, sedemikian rupa sehingga

F (ω) =

∫−∞ f (t ) e



− jωt

dt

(20.16)

dan F(ω) inilah transformasi Fourier dari f(t), yang ditulis dengan notasi

F[ f (t )] = F (ω)
Proses transformasi balik dapat kita lakukan melalui persamaan (20.15).

f (t ) = F −1 (ω)
CONTOH: Carilah transformasi Fourier dari bentuk gelombang pulsa di samping ini. Solusi : v(t) A −T/2 0 T/2

Bentuk gelombang ini adalah aperiodik yang hanya mempunyai nilai antara −T/2 dan +T/2, sedangkan untuk t yang lain nilainya nol. Oleh karena itu integrasi yang diminta oleh (20.16) cukup dilakukan antara −T/2 dan +T/2 saja. T /2 T /2 A − jωt A  e jωT / 2 − e − jωT / 2  − jωt F (ω) = Ae dt = − e =   −T / 2 jω ω/ 2  j2  −T / 2   sin(ωT / 2) = AT ωT / 2 Kita bandingkan transformasi Fourier (20.16)



F (ω) =

∫−∞ f (t ) e



− jωt

dt

dengan koefisien Fourier

281

cn =

a n − jbn 2

=

T0 ∫− T

1

T0 / 2
0

/2

f (t ) e − jnω n t dt

(20.17)

Koefisien Fourier cn merupakan spektrum sinyal periodik dengan perioda T0 yang terdiri dari spektrum amplitudo |cn| dan spektrum sudut fasa ∠cn, dan keduanya merupakan spektrum garis (tidak kontinyu, memiliki nilai pada frekuensi-frekuensi tertentu yang diskrit). Sementara itu transformasi Fourier F(ω) diperoleh dengan mengembangkan perioda sinyal menjadi tak-hingga guna mencakup sinyal aperiodik yang kita anggap sebagai sinyal periodik yang periodenya tak-hingga. Faktor 1/T0 pada cn dikeluarkan untuk memperoleh F(ω) yang merupakan spektrum kontinyu, baik spektrum amplitudo |F(jω)| maupun spektrum sudut fasa ∠ F(ω). CONTOH: Gambarkan spektrum amplitudo dari sinyal pada contoh sebelumnya. Solusi : Spektrum amplitudo sinyal aperiodik ini merupakan spektrum kontinyu |F(jω)|.
F (ω) = AT sin(ωT / 2) ωT / 2

|F(ω)|

-5
Pemahaman:

−6π −4π −2π 0 T T0 T

2 π 4 π 6π ω T T T

Sinyal ini mempunyai simetri genap. Sudut fasa harmonisa adalah nol sehingga spektrum sudut fasa tidak digambarkan. Perhatikan pula bahwa |F(ω)| mempunyai spektrum di dua sisi, ω positif maupun negatif; nilai nol terjadi jika sin(ωT/2)=0 yaitu pada ω = ±2kπ/T (k = 1,2,3,…); nilai maksimum terjadi pada ω = 0, yaitu pada waktu nilai sin(ωT/2)/(ωT/2) = 1.

282 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

CONTOH: Carilah transformasi Fourier dari f(t) = [A e−αt ] u(t) dan gambarkan spektrum amplitudo dan fasanya. Solusi :

F (ω) =

∫−∞ Ae



− αt

u (t )e − jωt dt =


∫0



Ae − (α + jω)t dt α>0

=−A

e − (α + jω)t α + jω

=
0

A untuk α + jω

⇒ F (ω) =

| A| α 2 + ω2 ω α

⇒ θ(ω) = ∠F ( jω) = − tan −1
|F(ω)| 25 A/α

θ(ω) +90o 90

ω

−90o

Pemahaman: Untuk α < 0, tidak ada transformasi Fourier-nya karena integrasi menjadi tidak konvergen. 20.3. Transformasi Balik Pada transformasi Fourier transformasi balik sering dilakukan dengan mengaplikasikan relasi formalnya yaitu persamaan (20.15). Hal ini dapat dimengerti karena aplikasi formula tersebut relatif mudah dilakukan CONTOH: Carilah f(t) dari

F (ω) = 2πδ(ω)

283

Solusi: f (t ) = 1 2π

∫−∞




2πδ(ω) e jωt dω =

1 2π

∫0

0+


2πδ(ω) e jωt dω

=

∫α

α+

δ(ω)(1) dω = 1

Pemahaman :
Fungsi 2πδ( ω) adalah fungsi di kawasan frekuensi yang hanya mempunyai nilai di ω=0 sebesar 2π. Oleh karena itu e jωt juga hanya mempunyai nilai di ω=0 sebesar e j0t =1. Karena fungsi hanya mempunyai nilai di ω=0 maka integral dari −∞ sampai +∞ cukup dilakukan dari 0− sampai 0+, yaitu sedikit di bawah dan di atas ω=0. Contoh ini menunjukkan bahwa transformasi Fourier dari sinyal searah beramplitudo 1 adalah 2πδ( ω).

CONTOH: Carilah f(t) dari

F ( jω) = 2πδ(ω − α)
Solusi : f (t ) = 1 2π

∫−∞ ∫α



2πδ(ω − α ) e jωt dω =


1 2π

∫α

α+


2πδ(ω − α ) e jωt dω

= e jα t

α+

δ(ω − α ) dω = e jαt

Pemahaman :
Fungsi 2πδ( ω−α) adalah fungsi di kawasan frekuensi yang hanya mempunyai nilai di ω=α sebesar 2π. Oleh karena itu e jωt juga hanya mempunyai nilai di ω=α sebesar ejαt. Karena fungsi hanya mempunyai nilai di ω=α maka integral dari −∞ sampai +∞ cukup dilakukan dari α− sampai α+, yaitu sedikit di bawah dan di atas ω=α.

284 Sudaryatno Sudirham, “Pilihan Topik Matematika”

CONTOH: Carilah f(t) dari
F (ω) = πA [u (ω + α) − u (ω − α)] α

Solusi : f (t ) = = = 1 2π 1 2π

∫−∞ α [u(ω + α) − u(ω − α)] e ∫ jωt πA [1] e jωt dω = A e −∞ α 2α jt ∞ j αt



πA

jωt α



A e 2α

−e jt

− j αt

=

A e αt

jαt

−e j2

−α − jαt

=A

sin( αt ) αt

Pemahaman: Dalam soal ini F(ω) mempunyai nilai pada selang −α

Similar Documents

Free Essay

Math

...and solve problems in everyday life”. In my everyday life I have to keep the balance in my check book, pay bills, take care of kids, run my house, cook, clean etc. With cooking I am using math, measuring how much food to make for four people (I still haven’t mastered that one). With bills I am using math, how much each company gets, to how much money I have to spare (which these days is not much). In my everyday life I do use some form of a math. It might not be how I was taught, but I have learned to adapt to my surroundings and do math how I know it be used, the basic ways, none of that fancy stuff. For my weakest ability I would say I fall into “Confidence with Mathematics”. Math has never been one of my favorite subjects to learn. It is like my brain knows I have to learn it, but it puts up a wall and doesn’t allow the information to stay in there. The handout “The Case for Quantitative Literacy” states I should be at ease with applying quantitative methods, and comfortable with quantitative ideas. To be honest this class scares the crap out of me, and I am worried I won’t do well in this class. The handout also says confidence is the opposite of “Math Anxiety”, well I can assure you I have plenty of anxiety right now with this class. I have never been a confident person with math, I guess I doubt my abilities, because once I get over my fears and anxiety I do fine. I just have to mentally get myself there and usually it’s towards the end of the class. There are several...

Words: 418 - Pages: 2

Premium Essay

Math

...solutions. If you have a graphing calculator, this method is the quickest. If you don't have a calculator, it can be difficult to graph the equation. Completing the square: This is probably the most difficult method. I find it hardest to remember how to apply this method. Since the quadratic formula was derived from this method, I don't think there is a good reason to use completing the square when you have the formula Factoring: this is probably the easiest method for solving an equation with integer solutions. If you can see how to split up the original equation into its factor pair, this is the quickest and allows you to solve the problem in one step. Week 9 capstone part 1 Has the content in this course allowed you to think of math as a useful tool? If so, how? What concepts...

Words: 662 - Pages: 3

Premium Essay

Math

...This article is about the study of topics, such as quantity and structure. For other uses, see Mathematics (disambiguation). "Math" redirects here. For other uses, see Math (disambiguation). Euclid (holding calipers), Greek mathematician, 3rd century BC, as imagined by Raphael in this detail from The School of Athens.[1] Mathematics is the study of topics such as quantity (numbers),[2] structure,[3] space,[2] and change.[4][5][6] There is a range of views among mathematicians and philosophers as to the exact scope and definition of mathematics.[7][8] Mathematicians seek out patterns[9][10] and use them to formulate new conjectures. Mathematicians resolve the truth or falsity of conjectures by mathematical proof. When mathematical structures are good models of real phenomena, then mathematical reasoning can provide insight or predictions about nature. Through the use of abstraction and logic, mathematics developed from counting, calculation, measurement, and the systematic study of the shapes and motions of physical objects. Practical mathematics has been a human activity for as far back as written records exist. The research required to solve mathematical problems can take years or even centuries of sustained inquiry. Rigorous arguments first appeared in Greek mathematics, most notably in Euclid's Elements. Since the pioneering work of Giuseppe Peano (1858–1932), David Hilbert (1862–1943), and others on axiomatic systems in the late 19th century, it has become customary...

Words: 634 - Pages: 3

Premium Essay

Math

...Diana Garza 1-16-12 Reflection The ideas Stein presents on problem saving and just math in general are that everyone has a different way of saving their own math problems. For explains when you’re doing a math problem you submit all kinds of different numbers into a data or formula till something works or maybe it’s impossible to come up with a solution. For math in general he talks about how math is so big and its due in large measure to the wide variety of situations how it can sit for a long time without being unexamined. Waiting for someone comes along to find a totally unexpected use for it. Just like has work he couldn’t figure it out and someone else found a use for it and now everyone uses it for their banking account. For myself this made me think about how math isn’t always going to have a solution. To any math problem I come across have to come with a clear mind and ready to understand it carefully. If I don’t understand or having hard time taking a small break will help a lot. The guidelines for problem solving will help me a lot to take it step by step instead of trying to do it all at once. Just like the introduction said the impossible takes forever. The things that surprised me are that I didn’t realize how much math can be used in music and how someone who was trying to find something else came to the discovery that he find toe. What may people were trying to find before...

Words: 270 - Pages: 2

Free Essay

Math

...Sample Exam 2 - MATH 321 Problem 1. Change the order of integration and evaluate. (a) (b) 2 0 1 0 1 (x y/2 + y)2 dxdy. + y 3 x) dxdy. 1 0 0 x 0 y 1 (x2 y 1/2 Problem 2. (a) Sketch the region for the integral f (x, y, z) dzdydx. (b) Write the integral with the integration order dxdydz. THE FUNCTION f IS NOT GIVEN, SO THAT NO EVALUATION IS REQUIRED. Problem 3. Evaluate e−x −y dxdy, where B consists of points B (x, y) satisfying x2 + y 2 ≤ 1 and y ≤ 0. − Problem 4. (a) Compute the integral of f along the path → if c − f (x, y, z) = x + y + yz and →(t) = (sin t, cos t, t), 0 ≤ t ≤ 2π. c → − → − → − (b) Find the work done by the force F (x, y) = (x2 − y 2 ) i + 2xy j in moving a particle counterclockwise around the square with corners (0, 0), (a, 0), (a, a), (0, a), a > 0. Problem 5. (a) Compute the integral of z 2 over the surface of the unit sphere. → → − − → − → − − F · d S , where F (x, y, z) = (x, y, −y) and S is → (b) Calculate S the cylindrical surface defined by x2 + y 2 = 1, 0 ≤ z ≤ 1, with normal pointing out of the cylinder. → − Problem 6. Let S be an oriented surface and C a closed curve → − bounding S . Verify the equality → − → − → → − − ( × F ) · dS = F ·ds − → → − if F is a gradient field. S C 2 2 1...

Words: 254 - Pages: 2

Premium Essay

Math

...say whether I was able to learn how to be a better teacher and what the teacher did that I could possibly use in the future. While analyzing and going through the process of this assignment it is helping realize how to become a better teacher as well. I would also like to get more comfortable and experience on using this template of the paper. Memories Of A Teacher My teacher, Mr. G, used many different instructional techniques and approaches to his lessons. Mr. G had taught me math for three years in a row, so I think that I have a good grasp on his approaches to the lessons that he would teach. He would assign many homework assignments, as well as in-class assignments, which helped me and other students understand and get practice with the lesson that we were learning. I think that with math having a lot of homework is a good thing. In my mind, the only way to learn how to do math is plenty of practice. The more you practice, the easier it will be. Mr. G would also have the students do some math problems on the chalk board or smart board to show the class and go over the corrections with the whole class so that everyone would understand the problem. Playing “racing” games also helped and added fun to the class. With the “racing” games, the students would get into groups and have to take...

Words: 1027 - Pages: 5

Free Essay

Math

...STAT2011 Statistical Models sydney.edu.au/science/maths/stat2011 Semester 1, 2014 Computer Exercise Weeks 1 Due by the end of your week 2 session Last compiled: March 11, 2014 Username: mac 1. Below appears the code to generate a single sample of size 4000 from the population {1, 2, 3, 4, 5, 6}. form it into a 1000-by-4 matrix and then find the minimum of each row: > rolls1 table(rolls1) rolls1 1 2 3 4 5 6 703 625 679 662 672 659 2. Next we form this 4000-long vector into a 1000-by-4 matrix: > four.rolls=matrix(rolls1,ncol=4,nrow=1000) 3. Next we find the minimum of each row: > min.roll=apply(four.rolls,1,min) 4. Finally we count how many times the minimum of the 4 rolls was a 1: > sum(min.roll==1) [1] 549 5. (a) First simulate 48,000 rolls: > rolls2=sample(x=c(1,2,3,4,5,6),size=48000,replace=TRUE) > table(rolls2) rolls2 1 2 3 4 5 6 8166 8027 8068 7868 7912 7959 (b) Next we form this into a 2-column matrix (thus with 24,000 rows): > two.rolls=matrix(rolls2,nrow=24000,ncol=2) (c) Here we compute the sum of each (2-roll) row: > sum.rolls=apply(two.rolls,1,sum) > table(sum.rolls) sum.rolls 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 742 1339 2006 2570 3409 4013 3423 2651 1913 1291 1 12 643 Note table() gives us the frequency table for the 24,000 row sums. (d) Next we form the vector of sums into a 24-row matrix (thus with 1,000 columns): > twodozen=matrix(sum.rolls,nrow=24,ncol=1000,byrow=TRUE) (e) To find the 1,000 column minima use > min.pair=apply(twodozen,2,min) (f) Finally compute the...

Words: 597 - Pages: 3

Premium Essay

Math

...Jasmine Petersen Dr. Abdeljabbar MAT 1111 April 23, 2014 Algebra is one of the most important subjects someone can learn. It is a subject that transfers into daily life. A lot of people do not realize that they are using algebra. Algebra can be anything from calculating the amount of money you’ve spent on your grocery shopping, designing structural plans for a building, and keeping track of the calories you have in your diet. Our professor told us that in every subject, we use math. My major is chemistry and mathematics is used widely in chemistry as well as all other sciences. Mathematical calculations are absolutely necessary to explore important concepts in chemistry. You’ll need to convert things from one unit to another. For example, you need to convert 12 inches to feet. Also, we use simple arithmetic to balance equations. A lot of things I’ve had learned from this course and one of them was that we use Math for everyday life. I’ve also learned many ways how to solve equations such as linear, quadratic, exponential, and logarithmic equations. All the material that we did learn was all easy to learn and understand. I believe that the instructor did a good job explaining on how to solve problems. If my friend was asking me how to determine the differences between the equation of the ellipse and the equation of the hyperbola, I would first give he or she the definition of the two words ellipse and hyperbola. An ellipse is a set of all points in a plane such that the sum...

Words: 623 - Pages: 3

Free Essay

Math

...A | Course Title & Number | Calculus II: MTH104 | B | Pre/Co-requisite(s) | Pre-requisite: MTH103 (Calculus I) | C | Number of credits | 3 | D | Faculty Name | Dr. Ghada Alobaidi | E | Term/ Year | Fall 2014 | F | Sections | Course | Days | Time | Location | MTH104.02 MTH104.04MTH104.06 | UTR UTRMW | 9:00-9:50 10:00-10:50 8:00-9:15 | PHY 113NAB 007NAB010 | | | | | | G | Instructor Information | Instructor | Office | Telephone | Email | Ghada Alobaidi | NAB 249 | 06 515 2754 | galobaidi@aus.edu | Office Hours: UT: 11:00 – 12:30 , R: 11:00 – 12:00 or by appointment. | H | Course Description from Catalog | Covers techniques of integration, improper integrals, sequences, infinite series, power series, parameterized curves, polar coordinates, integration in polar coordinates and complex numbers. | I | Course Learning Outcomes | Upon completion of the course, students will be able to: * Read, analyze, and apply to problems, written material related to the study of calculus. * Use the appropriate technique(s) – including integration by parts, trigonometric substitutions, partial fractions, etc. to integrate algebraic, logarithmic, exponential, trigonometric, and composite functions. * Evaluate improper integrals and test them for convergence. * Compute arc length and surface area of revolution of graphs and parametric curves. * Graph polar curves and find enclosed area and arc length. * Apply theorems about limits of...

Words: 1366 - Pages: 6

Premium Essay

Math

...Math is used everyday – adding the cost of the groceries before checkout, totaling up the monthly bills, estimating the distance and time a car ride is to a place a person has not been. The problems worked this week have showed how math works in the real world. This paper will show how two math problems from chapter five real world applications numbers 35 and 37 worked out. Number 35 A person hired a firm to build a CB radio tower. The firm charges $100 for labor for the first 10 feet. After that, the cost of labor for each succeeding 10 feet is $25 more than the preceding 10 feet. That is, the nest 10 feet will cost $125; the next 10 feet will cost $150, etc. How much will it cost to build a 90-foot tower? Solving this problem involves the arithmetic sequence. The arithmetic sequence is a sequence of numbers in which each succeeding term differs from the preceding term by the same amount (Bluman, 2011). n = number of terms altogether n = 9 d = the common differences d = 25 ª1 = first term ª1 = 100 ªn = last term ª2 = ª9 The formula used to solve this problem came from the book page 222. ªn = ª1 + (n -1)d ª9 = 100 + (9-1)25 ª9 = 100 + (8)25 ...

Words: 540 - Pages: 3

Premium Essay

Math

...you come to geometry, your opinion may vary. This class introduces a lot of new topics, which can be challenging, and take lots of practice outside of school if you do not pay attention or do your math homework. I strongly advise you to do your math homework everyday, not for just a grade, but it also helps you when it comes time for quizzes and tests. She rarely checks homework, but when she does, she will not tell you. It is also a great review for tests and quizzes. Ms.Hull’s tests and quizzes are not the easiest things you will take. The quizzes take new concepts and apply to the quiz. Also, her tests are usually always hard. It is a good idea to practice new concepts and review old ones from previous units, so you can get a good grade on the tests. I also advise you to be organized throughout the year. Organization is the key to success especially in math class. Tool kits are an extremely helpful resource to use. There are going to be a lot of conjectures and theorems that will be new, and it would be hard to just memorize them. My overall geometry year was not exactly the way I hoped it would turn out. It was extremely had, and it moves at a very quick pace, so keeping up was hard for me personally. If I could have done something differently, it would have been practicing math more often. Each concept was hard, and I did not have anytime to review it, because I have a lot of honors classes which require a lot of work too. The key to being successful in this course...

Words: 361 - Pages: 2

Free Essay

Math

...|7|SURVEY OF MATHEMATICS FALL 2015 | |8| | |8| | |8| | |8| | | |  | | |Instructor  | | |Gary F. Melendy | | | | | |Title  | | |Instructor ...

Words: 1789 - Pages: 8

Free Essay

Math

...Math 1P05 Assignment #1 Due: September 26 Questions 3, 4, 6, 7, 11 and 12 require some Maple work. 1. Solve the following inequalities: a) b) c) 2. Appendix D #72 3. Consider the functions and . a) Use a Maple graph to estimate the largest value of at which the graphs intersect. Hand in a graph that clearly shows this intersection. b) Use Maple to help you find all solutions of the equation. 4. Consider the function. a) Find the domain of. b) Find and its domain. What is the range of? c) To check your result in b), plot and the line on the same set of axes. (Hint: To get a nice graph, choose a plotting range for bothand.) Be sure to label each curve. 5. Section 1.6 #62 6. Section 2.1 #4. In d), use Maple to plot the curve and the tangent line. Draw the secant lines by hand on your Maple graph. 7. Section 2.2 #24. Use Maple to plot the function. 8. Section 2.2 #36 9. Section 2.3 #14 10. Section 2.3 #26 11. Section 2.3 #34 12. Section 2.3 #36 Recommended Problems Appendix A all odd-numbered exercises 1-37, 47-55 Appendix B all odd-numbered exercises 21-35 Appendix D all odd-numbered exercises 23-33, 65-71 Section 1.5 #19, 21 Section 1.6 all odd-numbered exercises 15-25, 35-41, 51, 53 Section 2.1 #3, 5, 7 Section 2.2 all odd-numbered exercises 5-9, 15-25, 29-37 Section 2.3 all odd-numbered exercises...

Words: 271 - Pages: 2

Premium Essay

Math

...find the national average cost of food for an individual, as well as for a family of 4 for a given month. http://www.cnpp.usda.gov/sites/default/files/usda_food_plans_cost_of_food/CostofFoodJan2012.pdf 5. Find a website for your local city government. http://www.usa.gov/Agencies/Local.shtml 6. Find the website for your favorite sports team (state what that team is as well by the link). http://blackhawks.nhl.com/ (Chicago Blackhawks) 7. Many of us do not realize how often we use math in our daily lives. Many of us believe that math is learned in classes, and often forgotten, as we do not practice it in the real world. Truth is, we actually use math every day, all of the time. Math is used everywhere, in each of our lives. Math does not always need to be thought of as rocket science. Math is such a large part of our lives, we do not even notice we are computing problems in our lives! For example, if one were interested in baking, one must understand that math is involved. One may ask, “How is math involved with cooking?” Fractions are needed to bake an item. A real world problem for baking could be as such: Heena is baking a cake that requires two and one-half cups of flour. Heena poured four and one-sixth cups of flour into a bowl. How much flour should Heena take out of the bowl? In this scenario of a real world problem, we have fractions, and subtraction of fractions, since Heena has added four and one-sixth cups of flour, rather than the needed...

Words: 665 - Pages: 3

Free Essay

Math

...Math was always the class that could never quite keep my attention in school. I was a daydreamer and a poor student and applying myself to it was pretty much out of the question. When I would pay some attention I would still forget the steps it had taken me to find the solution. So, when the next time came around I was lost. This probably came about because as a kid I wasn’t real fond of structure. I was more into abstract thought and didn’t think that life required much more than that at the time. I was not interested in things I had to write down and figure out step by step on a piece of paper. I figured I could be Tom Sawyer until about the age of seventy two. My thoughts didn’t need a rhyme or reason and didn’t need laws to keep them within any certain limits. The furthest I ever made it in school was Algebra II and I barely passed that. The reason wasn’t that I couldn’t understand math. It was more that I didn’t apply myself to the concepts of it, or the practice and study it took to get there. I was always more interested in other concepts. Concepts that were gathered by free thinkers, philosophers, idealists. Now I knew that a lot of those figures I read about tried their hand in the sciences, physics, and mathematics in their day, but I was more interested in their philosophical views on everyday life. It was not until I started reading on the subject of quantum physics and standard physics that I became interested in math. The fact that the laws of standard physics...

Words: 473 - Pages: 2