Free Essay

Paradigma Belajar

In:

Submitted By helgacerry
Words 8213
Pages 33
1

Materi Pembekalan

Revolusi Paradigma Pembelajaran Perguruan Tinggi:
Dari Penguliahan ke Pembelajaran
Suwardjono
Belajar di perguruan tinggi merupakan pilihan strategik untuk mencapai tujuan individual bagi mereka yang menyatakan diri untuk belajar melalui jalur formal tersebut.
Namun, realitas yang dihadapi oleh dosen dan penyelenggara pendidikan dalam banyak hal jauh dari harapan. Perilaku mahasiswa dan dosen dalam belajar-mengajar tidak menunjukkan segala atribut yang seharusnya melekat pada individual yang akan mendapat sebutan sebagai sarjana. Salah satu faktor yang menciptakan kondisi seperti ini adalah kesenjangan persepsi dan pemahaman penyelenggara pendidikan, dosen, dan mahasiswa mengenai makna belajar di perguruan tinggi.
Makalah ini mengevaluasi kondisi budaya belajar-mengajar yang penulis amati dan rasakan selama menjadi staf pengajar di beberapa perguruan tinggi. Kondisi tersebut tidak kondusif untuk menciptakan suasana akademik, profesional, dan ilmiah yang seharusnya melekat pada suatu institusi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi
(higher education). Pengamatan tersebut telah lama terjadi dan telah penulis sampaikan dalam bentuk artikel lebih dari lima belas tahun yang lalu.1 Sejak penulisan artikel tersebut, penulis selalu menyampaikan gagasan tentang pola pengajaran, proses pembelajaran, dan masalah-masalah yang berkaitan dengan penyelenggaraan kuliah dalam berbagai seminar dan lokakarya di berbagai perguruan tinggi. Namun sampai saat ini, tampaknya belum ada suatu perubahan yang cukup berarti dalam budaya belajar di perguruan tinggi di Indonesia.
Atas dasar evaluasi tersebut, penulis mengajukan gagasan yang cukup laik (feasable) untuk melakukan perubahan yang cukup radikal. Perubahan tersebut adalah meluruskan persepsi dan pemahaman tentang arti kuliah dan belajar di perguruan tinggi.
Tulisan ini mempunyai dua tujuan. Pertama, menciptakan citra (image) baru tentang belajar di perguruan tinggi yang sekarang ini, menurut penulis, mengalami disfungsi.
Kedua, menghilangkan kesenjangan harapan antara peserta didik dan dosen/institusi pendidikan sehingga kuliah (dalam arti yang sebenarnya) merupakan kegiatan yang menyenangkan tanpa meninggalkan semangat dan kegigihan ilmiah atau profesional
(scientific or professional vigor and rigor).

Belajar merupakan hak setiap orang. Akan tetapi, kegiatan belajar di suatu perguruan tinggi merupakan suatu privilege karena hanya orang yang memenuhi syarat saja yang berhak belajar di lembaga pendidikan tersebut. Privilege yang melekat pada mereka yang belajar di suatu perguruan tinggi tidak hanya terletak pada sarana fisik dan sumberdaya manusia yang disediakan tetapi juga pada pengakuan secara formal bahwa seseorang telah menjalani kegiatan belajar dan pelatihan tertentu. Dengan pengakuan tersebut, harapannya adalah bahwa seseorang yang telah mengalami proses belajar secara formal akan mempunyai wawasan, pengetahuan, keterampilan, kepribadian dan perilaku tertentu sesuai dengan apa yang ingin dituju oleh lembaga pendidikan. Tujuan lembaga pendidikan pada umumnya dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional. Yang perlu dicatat adalah bahwa belajar merupakan kegiatan individual, kegiatan yang sengaja dipilih secara sadar karena seseorang mempunyai tujuan individual tertentu.
1

Makalah ini sebagian besar diambil dari artikel penulis “Perilaku Belajar di Perguruan Tinggi” yang dimuat dalam Jurnal Akuntansi & Manajemen STIE YKPN (Maret 1991). Gagasan dalam makalah ini telah dipresentasi di berbagai perguruan tinggi bagi baik mahasiswa maupun dosen.

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

2

Materi Pembekalan

Belajar di perguruan tinggi merupakan suatu pilihan di antara berbagai alternatif strategik untuk mencapai tujuan individual. Kesadaran mengenai hal ini akan sangat menentukan sikap dan pandangan belajar di perguruan tinggi yang pada akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang belajar di perguruan tinggi.
Idealnya, karena seseorang mendapat privilege belajar di perguruan tinggi, seseorang dituntut untuk berbuat atau bertindak lebih dari mereka yang tidak mendapatkan privilege tersebut. Mereka yang belajar di perguruan tinggi dituntut tidak hanya mempunyai keterampilan teknis tetapi juga mempunyai daya dan kerangka pikir/nalar serta sikap mental, kepribadian, dan kearifan tertentu (penulis sebut sebagai kepribadian kesarjanaan atau kecendekiaan) sehingga mereka mempunyai wawasan yang luas dan berbeda dengan mereka yang tidak mengenyam pendidikan tinggi dalam menghadapi masalah-masalah dalam dunia nyata (masyarakat). Kepribadian tersebut akhirnya membedakan mereka yang memang benarbenar telah belajar di perguruan tinggi dan tidak. Kepribadian tersebut akan terrefleksi dari sikap, tindakan, dan penampilan bukan karena kesombongan tetapi karena memang itulah yang harus melekat pada seorang sarjana dan masyarakat akan memakluminya. Beberapa atribut yang membentuk kepribadian ini kesarjanaan adalah:






Penguasaan pengetahuan yang mendalam dalam disiplin ilmu
Kemampuan penalaran dan artikulasi
Penguasaan bahasa kesarjanaan
Kesantunan dalam pergaulan ilmiah, profesional, dan sosial.
Kearifan berkaitan dengan disiplin ilmu.

Kearifan timbul dan terbangun dalam diri seorang sarjana karena proses belajar dan refleksi terhadap pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan disiplin ilmunya. Buchori (2000) memberi ciri-ciri manusia arif yaitu mempunyai:2








Pengetahuan yang luas (to be learned)
Kecerdikan (smartness)
Akal sehat (common sense)
Tilikan (insight), yaitu mengenal inti hal-hal yang diketahui
Sikap hati-hati (prudence, discrete)
Pemahaman terhadap norma-norma kebenaran
Kemampuan mencerna (to digest) pengalaman hidup.

Kemampuan penalaran (reasoning) dan artikulasi merupakan bagian penting dari kearifan.
Kemampuan penalaran sampai pada tingkat yang tinggi dapat dicapai kalau pembelajar mampu untuk tahu sesuatu hanya dengan membaca. Membaca buku atau sumber pengetahuan yang baik merupakan sarana dalam pengembangan penalaran. Hal ini menuntut bahwa seorang sarjana menguasai bahasa (Indonesia dan asing/Inggris) lebih dari sekadar untuk pergaulan umum tetapi juga mencakupi kemampuan bahasa untuk menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kepribadian kesarjanaan sebenarnya akan berkembang dan menjadi ciri sarjana kalau mahasiswa tidak hanya mengembangkan pengetahuan dengan cara dengar (hear) dan bincang (talk) tetapi lebih dari itu dengan membaca (read), menulis
(write), mendengarkan (listen), dan berbicara (speak). Empat hal terakhir ini seharusnya menjadi kemampuan dasar yang melekat pada sarjana baik selama belajar maupun setelah lulus dari perguruan tinggi. Sekali lagi, kemampuan dasar ini dapat berkembang sampai tingkat yang
2Mochtar

Buchori, “Peran Pendidikan dalam Budaya Politik di Indonesia,” Basis (Juli-Agustus 2000).

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

3

Materi Pembekalan

memadai atau tinggi kalau mahasiswa mempunyai kemampuan bahasa yang memadai dan tinggi pula (bukan sekadar bahasa pergaulan). Gambar 1 melukiskan kemampuan dasar yang ingin dikembangkan lebih lanjut dalam pendidikan sarjana lebih-lebih pascasarjana yang berorientasi profesional.
.
Gambar 1. Kemampuan Dasar Kesarjanaan

Dengar (to hear)
Bincang (to talk)

+

Baca (to read)
Tulis (to write)
Dengarkan (to listen)
Bicara (to speak)

Menuntut metoda pembelajaran tertentu.

Bila mahasiswa tidak bersedia untuk membaca untuk tahu sesuatu, proses pembelajaran sebenarnya tidak akan pernah terjadi. Hal inilah yang paling sering menjadi hambatan dalam proses pembelajaran di Indonesa. Sebagian pembelajar tidak membaca materi sebelum temu kelas dan sangat menggantungkan penjelasan dari dosen. Salah satu alasan yang sering dilontarkan mahasiswa adalah buku teks sulit dipahami atau bahasa yang terlalu rumit (lihat pembahasan dalam subbagian Kemampuan Berbahasa). Oleh karena itu, salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh institusi adalah memfasilitasi mahasiswa agar kemampuan membaca, menulis, mendengarkan, dan menyampaikan gagasan juga berkembang. Hal ini menuntut metoda pembelajaran tertentu yang akan sangat berbeda dengan metoda pembelajaran yang mungkin pernah dialami sebelumnya. Perbedaan harapan dapat menimbulkan frustrasi di pihak dosen maupun mahasiswa.
Menurut evaluasi subjektif penulis, kepribadian kesarjanaan tampaknya belum terbentuk secara nyata karena dewasa ini mereka yang mempunyai privilege akhirnya berbuat atau bertindak (termasuk cara belajarnya) seperti mereka yang tidak belajar melalui lembaga formal.
Secara umum dapat dikatakan bahwa mereka yang berstatus mahasiswa sebenarnya tidak berbeda dengan mereka yang belajar tidak melalui lembaga pendidikan formal kecuali bahwa mereka yang belajar di perguruan tinggi mempunyai kartu mahasiswa sehingga statusnya dianggap lebih tinggi dan terhormat.
Kondisi belajar-mengajar di perguruan tinggi sampai saat ini belum dapat mengubah secara nyata wawasan dan perilaku pembelajar. Hal ini dapat dibuktikan dengan kualitas penalaran dan pemahaman mahasiswa pada saat diuji dalam pendadaran atau ujian komprehensif. Ada kemungkinan bahwa pada saat mahasiswa lulus dari perguruan tinggi mereka hanya bertambah atributnya (misalnya gelar) dan sedikit keterampilan tetapi mereka sebenarnya tidak berbeda dengan mereka yang memperoleh keterampilan yang sama tanpa melalui pendidikan formal atau bahkan sama dengan mereka yang tidak belajar atau sekolah.
Bila keadaan ini yang memang terjadi, perguruan tinggi akan menjadi sekadar tempat antre untuk memperoleh tiket masuk ke arena belajar yang sesungguhnya yaitu praktik di dunia nyata. Dengan kata lain, mereka yang telah lulus sebenarnya belum pernah menjalani proses belajar seorang sarjana selama menjadi mahasiswa tetapi mereka hanya pernah hidup sebagai mahasiswa. Akibatnya, kontribusi pendidikan tinggi dalam mengubah keadaan masyarakat menjadi lebih baik dan maju akan menjadi kecil walaupun mungkin tujuan individual mahasiswa yang sempit dan jangka pendek tercapai. Berbagai tuduhan dan gambaran

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

4

Materi Pembekalan

negatif lain tentang mutu pendidikan dasar/menengah dan perguruan tinggi serta gagasan perbaikan telah banyak dikemukakan para ahli dan pengamat pendidikan.3
Berbagai faktor menyebabkan terjadinya kondisi belajar seperti itu. Proses belajar, birokrasi, kurikulum, EBTANAS, kompetensi, dan buku pelajaran di pendidikan dasar dan menengah merupakan beberapa dari faktor yang mempengaruhi masukan perguruan tinggi
[lihat misalnya Kompas, “Catatan Pendidikan Akhir Tahun,” 27-31 Desember 2002, Nasoetion
(2000), Tanje (2003), Christianto (2003), dan Sriyanto (2003)}. Masalah akreditasi, perilaku pendidik, undang-undang pendidikan, dan komersialisasi pendidikan juga menjadi faktor yang dituduhkan sebagai pemicu kondisi pendidikan tinggi [misalnya Kompas 21 Desember 2002,
“Pendidikan Nasional, Ibarat Tas yang Tak Bisa Dibuka,” Heryanto (2000), dan Susilo (2007)].
Makalah ini mengevaluasi dan membahas dua gagasan pokok yang bersifat mikro yaitu tujuan belajar dan aspek pembelajaran. Aspek makro yang telah banyak dibahas pengamat dan ahli akhirnya harus diwujudkan dalam bentuk proses pembelajaran/pemelajaran (learning) yang disebut kuliah. Perguruan tinggi merupakan wadah yang tepat untuk melakukan perubahan karena perguruan tinggi lebih mempunyai keleluasaan dalam penentuan kebijakan di level institusional dibanding pendidikan dasar dan menengah.

Tujuan Belajar
Ada dua tujuan yang terlibat dan saling menunjang dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Yang pertama adalah tujuan lembaga pendidikan dalam menyediakan sumber pengetahuan dan pengalaman belajar (knowledge and learning experiences) dan yang kedua adalah tujuan individual mereka yang belajar (mahasiswa). Proses belajar-mengajar mestinya harus mampu menyelaraskan tujuan individual dan tujuan lembaga pendidikan dan bahkan tujuan pendidikan nasional.
Kedua tujuan di atas kadang-kadang tidak disadari benar baik oleh penyelenggara pendidikan maupun oleh mahasiswa sehingga kegiatan belajar hampir tidak ada bedanya dengan kegiatan belajar dalam suatu kursus atau pendidikan keterampilan. Anggaplah sekarang bahwa lembaga pendidikan di samping bertujuan untuk memberi layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan mereka yang membutuhkan pengetahuan dan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan individualnya juga bertujuan untuk mengemban misi pendidikan nasional.
Masalahnya sekarang adalah apakah tujuan individual seseorang memasuki perguruan tinggi. Hal inilah yang acap kali sulit diidentifikasi atau dirumuskan dengan jelas oleh mereka yang memutuskan untuk belajar di perguruan tinggi. Gejala yang sering dirasakan adalah belajar di perguruan tinggi lebih merupakan kebutuhan sosial daripada kebutuhan pengetahuan dan pengalaman belajar. Kebutuhan sosial ini bahkan sering muncul bukan dari diri mereka yang belajar di perguruan tinggi tetapi lebih merupakan kebutuhan sosial orang lain (misalnya orang tua). Sindhunata (2000) menegaskan hal ini dengan menunjukkan bahwa orang tua berani mengeluarkan biaya berapapun asal anaknya dapat bersekolah dan terdidik. Kalau status sarjana atau master yang menjadi tujuan semata-mata tanpa dilandasi sikap membutuhkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang semestinya, dapat terjadi bahwa belajar dianggap mahasiswa sebagai suatu beban, siksaan, percobaah, atau penderitaan (ordeal) dan bukan dianggap sebagai kebutuhan untuk pengembangan dan pematangan diri.
Kesalahan persepsi seperti ini akan menghasilkan suatu sikap dan semangat belajar yang jauh dari harapan. Keadaan dapat menjadi lebih parah lagi kalau ternyata perguruan tinggi juga hanya memberi pengetahuan yang bersifat teknis dan keterampilan tanpa memberi tantangan

3Lihat

misalnya Otto Soemarwoto, “Potret Buruk Perguruan Tinggi Kita,” Kompas (31 Juli 2000).

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

Materi Pembekalan

5

kepada mahasiswa untuk berpikir konseptual dan kritis. Lebih parah lagi kalau harapan mahasiswa memang hanya seperti itu, yang penting lulus.
Orang yang belajar di perguruan tinggi memang mempunyai angan-angan dan tujuan individual. Akan tetapi, angan-angan dan tujuan tersebut dalam kebanyakan hal lebih merupakan bayang-bayang yang samar-samar tetapi indah bahkan nyaris jatuh menjadi mimpi. Yang ideal adalah bahwa seseorang mempunyai tujuan individual yang jelas dan konkret. Tujuan ini dapat dituangkan dalam bentuk career plan bahkan life plan yang jelas horison waktunya.
Career plan adalah bayang-bayang dan impian tentang konsepsi diri yang diletakkan dalam suatu dimensi waktu yang jelas dan realistik. Rencana karir ini akan mempengaruhi gairah dan semangat serta perilaku belajar di perguruan tinggi. Memang rencana karier ini bukan merupakan pekerjaan yang mudah tetapi harus dicoba untuk dilakukan. Tujuan individual seseorang yang belajar sangat erat kaitannya dengan kedudukan dalam masyarakat (konsep diri) seseorang akan mengikatkan dan mengabdikan dirinya. Analogi dengan konsep product positioning dalam bidang pengetahuan pemasaran (marketing), mahasiswa harus menetapkan konsep dirinya dan tidak terpengaruh oleh praktik belajar yang sudah menyimpang.

Aspek Belajar
Apapun tujuan yang ingin dicapai melalui belajar di perguruan tinggi, akhirnya tujuan tersebut harus dicapai dalam bentuk unit kegiatan belajar-mengajar yang disebut kuliah. Kuliah merupakan bentuk interaksi antara dosen, mahasiswa, dan pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri tersimpan dalam bentuk media cetak, audio, visual, dan kemampuan dosen. Pemahaman dan persepsi tentang hubungan ketiga faktor tersebut sangat menentukan keberhasilan proses belajar. Berikut ini adalah evaluasi keadaan tentang beberapa aspek yang berkaitan dengan kegiatan konkret belajar. Pemahaman terhadap hal ini (oleh pengelola, dosen, dan mahasiswa) dapat menjadi titik tolak dalam rangka melakukan perbaikan secara institusional tanpa harus menunggu kebijakan nasional. Hal ini dimungkinkan karena keleluasaan yang melekat dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dibanding pendidikan di bawahnya.
Makna Kuliah
Kuliah merupakan kegiatan yang membedakan pendidikan formal dan nonformal. Namun, hal yang perlu dicatat adalah bahwa kuliah bukan satu-satunya sumber pengetahuan dan bukan satu-satunya kegiatan belajar. Arti kuliah pada umumnya diperoleh mahasiswa bukan karena kesadarannya tentang arti kuliah yang sebenarnya tetapi karena pengalaman mahasiswa dalam mengikuti kuliah. Kesan yang keliru akan mengakibatkan adanya kesenjangan persepsi tujuan antara lembaga pendidikan, dosen, dan mahasiswa sehingga proses belajar-mengajar yang efektif menjadi terhambat. Panel A dalam Gambar 2 di halaman berikut melukiskan persepsi kuliah yang kebanyakan berlaku menurut pengamatan penulis.
Dalam Panel A, kuliah dan dosen dianggap merupakan sumber pengetahuan utama (dan bahkan satu-satunya) sehingga catatan kuliah merupakan jimat yang ampuh dan dosen merupakan dewa pengetahuan (tetapi hanya karena menyembunyikan pengetahuan tersebut).
Mahasiswa mengharapkan dosen mengajar dan menjelaskan dengan jelas sehingga tidak baca bukupun mereka akan paham. Itulah dosen yang baik. Lingkungan belajar seperti itu menempatkan dosen menjadi seperti tukang sulap yang kelihatan pintar tetapi hanya karena mengetahui muslihat-muslihat (tricks) yang sengaja disembunyikannya dan kemudian menjual pengetahuan tersebut melalui loket kuliah. Mahasiswa memperoleh catatan pengetahuan
(tanpa pemahaman) melalui proses dengarkopi sedikit demi sedikit dari tangan dosen seperti membeli kue dari sebuah warung. Mahasiswa sudah merasa puas membeli dan mempunyai kue tanpa harus memakan dan merasakan enaknya kue itu.
Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

6

Materi Pembekalan

.
Gambar 2. Persepsi Tentang Arti Kuliah
B

A

Ilmu/Pengetahuan/Keterampilan

Dosen

Mahasiswa

Ilmu/Pengetahuan/Keterampilan

Dosen

Mahasiswa

Kuliah merupakan ajang konfirmasi pemahaman terhadap ilmu dan pengetahuan sebagai barang bebas

Kekeliruan persepsi ini bukan semata-mata kesalahan mahasiswa karena persepsi tersebut dapat timbul justru dari sikap dosen yang secara tidak sadar telah menciptakan kondisi demikian. Akibatnya, mahasiswa kebanyakan mempunyai perilaku untuk hanya datang, duduk, dengar, dan catat dikurangi berpikir (D3C−B). Catatan kuliah dianggap sumber pengetahuan dan bahkan kalau perlu mahasiswa tidak usah datang ke kuliah tetapi cukup memfotokopi catatan mahasiswa yang lain. Karena pendekatan pengendalian proses pembelajaran di kelas kurang mendukung dan memberdayakan, banyak mahasiswa lebih merasa nyaman menjadi “mesin dengarkopi” (dapat diinggriskan menjadi audiocopy machine).
Kalau tujuan individual akan dicapai secara efektif, arti kuliah harus diredefinisi dan arti kuliah yang telah diredefinisi harus dilaksanakan secara konsekuen. Panel B dalam Gambar 2 merupakan redefinisi arti kuliah dan proses belajar. Dengan konsep ini, ilmu, pengetahuan, dan keterampilan merupakan barang bebas (walaupun diperlukan biaya untuk memperolehnya). Mahasiswa dan dosen mempunyai kedudukan yang sama dalam akses terhadap pengetahuan. Dosen berbeda dengan mahasiswa karena wawasan dan pengalaman-pengalaman berharga yang dimilikinya yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut. Wawasan dan pengalaman dosen diperoleh karena mereka telah mengalami proses belajar dan karena pergaulannya dengan para praktisi atau karena riset atau penelitian yang dilaksanakannya.
Dengan demikian, kuliah harus diartikan sebagai forum untuk mengkonfirmasi pemahaman mahasiswa dan pemahaman dosen terhadap pengetahuan yang bebas tersebut. Kuliah bukan hanya temu kelas.
Fakta yang tidak dapat dihindari adalah bahwa waktu kuliah (tatap muka) adalah sangat pendek dan terbatas. Di lain pihak, cakupan materi dan kedalaman pemahaman tidak dapat diberikan secara seketika dalam waktu yang pendek tersebut. Masalahnya adalah apakah yang harus dikerjakan dalam waktu yang sangat pendek dan terbatas tersebut. Kalau kuliah diisi dengan kegiatan yang sebenarnya mahasiswa dapat melakukan sendiri di luar jam temu kelas
(inilah yang kebanyakan terjadi sampai sekarang) maka kelas tersebut sama sekali tidak mempunyai nilai tambah. Di dalam kelas tersebut tidak terjadi proses belajar yang sesungguhnya; yang sesungguhnya terjadi adalah pengalihan catatan dosen ke catatan kuliah mahasiswa melalui proses dengarkopi (proses yang jauh lebih primitif dibandingkan dengan fotokopi).
Keefektifan temu kelas dalam menunjang proses belajar sangat bergantung pada pemahaman dan konsepsi dosen dan mahasiswa terhadap arti temu kelas. Kesenjangan pengertian dapat menimbulkan frustrasi di kedua belah pihak.

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

7

Materi Pembekalan

Fungsi Temu Kelas
Proses belajar merupakan kegiatan mandiri yang terencana dan kuliah merupakan kegiatan untuk penguatan (reinforcement) pemahaman mahasiswa terhadap materi pengetahuan sebagai hasil kegiatan belajar mandiri. Gambar 3 di bawah ini menunjukkan fungsi temu kelas sebagai medium penguatan pemahaman dan bukan sebagai sumber pengetahuan.
Bila pada awal temu kelas mahasiswa telah menyiapkan diri sebelumnya maka mahasiswa telah mempunyai pengetahuan awal yang cukup memadai. Dengan demikian fungsi kelas akan menjadi sarana untuk lebih memahami apa yang sebelumnya meragukan. Dengan penjelasan seperlunya dari instruktur atau diskusi kelas, mahasiswa akan dengan segera dan mudah menangkap apa yang dijelaskan atau yang didiskusi di kelas. Tingkat pemahaman akan meningkat dengan cukup pesat karena penjelasan instruktur fungsinya hanyalah untuk memperkuat apa yang sudah dipahami mahasiswa. Hal ini ditunjukkan oleh grafik pemahaman padat. Gambar 3. Proses Penguatan Pemahaman
Tingkat
pemahaman

Tatap muka Tatap muka Tatap muka Waktu

Bila mahasiswa tidak menyiapkan diri dan masuk kelas dalam keadaan kosong pikirannya
(ini yang sekarang banyak terjadi) maka pemahaman akan menjadi terhambat atau bahkan tidak ada proses pemahaman sama sekali karena instruktur tidak lagi menjelaskan segala masalah secara rinci dan runtut. Hal ini ditunjukkan oleh grafik pemahaman terputus-putus.
Kalau dibandingkan dengan grafik yang padat, grafik garis putus-putus meningkat tidak begitu tajam dibanding grafik pemahaman yang padat. Setelah temu kelas selesai, tentu saja pemahaman akan menjadi berkurang karena berlalunya waktu. Akan tetapi, penurunan pemahaman pada mahasiswa yang sebelumnya telah belajar tidak akan securam penurunan pemahaman mahasiswa yang tidak belajar sama sekali. Hal ini disebabkan mahasiswa belajar lagi untuk pemahaman topik berikutnya sementara itu topik yang sebelumnya dipelajari ikut menjadi lebih diperkuat lagi oleh materi berikut yang mengacu pada materi sebelumnya. Mahasiswa yang masuk kelas dengan pikiran kosong akan memperoleh pemahaman yang rendah dan samar-samar dan begitu keluar dari kelas pemahaman yang sedikit dan samar-samar tersebut akan segera hilang. Topik berikutnya, yang memerlukan pemahaman topik sebelumnya, akan menjadi lebih sulit untuk dipahaminya dan akhirnya mahasiswa cenderung untuk menghafal saja topik tanpa penalaran dan pemahaman.
Akhirnya mahasiswa merasa tidak mendapat apa-apa dari dosen karena dosen tidak lagi mengajar seperti yang diharapkannya. Hal ini terjadi karena ada bagian yang mahasiswa harus mempelajari atau membaca sendiri dan kalau mengalami keraguan membawa hal tersebut di kelas. Mahasiswa mengeluh: “Kalau saya harus baca sendiri, lalu apa tugas dosen?”

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

Materi Pembekalan

8

Silabus Sebagai Kesepakatan
Kesepakatan (commitment) antara dosen dan mahasiswa dalam bentuk rencana belajar dan silabus merupakan keharusan dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kesepakatan tersebut sebenarnya tersirat bahwa dosen dan mahasiswa harus memegang buku materi dan acuan yang sama (paling tidak ada buku dan acuan lain yang selalu harus dibawa dan digunakan bersama di kelas). Dengan demikian, kuliah atau temu kelas akan diartikan sebagai ajang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman (to share the knowledge and experiences) antara dosen dan mahasiswa. Paling tidak temu kelas harus merupakan ajang konfirmasi pemahaman mahasiswa terhadap materi pengajaran yang sudah jelas sumbernya dengan pemahaman dan pengalaman dosen terhadap materi yang sama. Dalam hal inilah lembaga pendidikan perguruan tinggi harus dipandang berbeda dengan lembaga kursus atau pendidikan keterampilan lainnya. Dalam hal ini pulalah education harus dibedakan dengan training.
Di samping menuntut aspek keterampilan teknis, education lebih menitikberatkan pada aspek pengembangan kepribadian, visi, penalaran, dan daya pikir.
Secara umum, materi yang dirancang dalam silabus tidak mungkin akan dijelaskan oleh dosen seluruhnya. Silabus merupakan peta belajar yang dibuat oleh dosen karena pengalamannya. Dosen akan memandu mahasiswa untuk menjelajahi medan pengetahuan yang telah dipetakan tersebut. Dosen sangat tahu materi yang ada di silabus tetapi tidak selayaknya dosen menyampaikan materi (imparting knowledge) yang secara substantif sebenarnya merampok proses belajar yang menjadi hak mahasiswa. Fungsi dosen adalah berbagi (bersaling-bagi) pengetahuan dengan mahasiswa.
Pengalaman Belajar atau Nilai
Nilai yang diperoleh mahasiswa mempunyai fungsi ganda, sebagai ukuran keberhasilan mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah dan sekaligus sebagai alat evaluasi keberhasilan mata kuliah itu sendiri dalam mengubah pengetahuan dan kepribadian mahasiswa. Dalam kenyataannya, fungsi yang kedua sering diabaikan sama sekali walaupun makna fungsi yang pertama sebenarnya sangat tergantung kemampuan nilai untuk merefleksi apakah peserta telah menjalani proses belajar yang semestinya. Dalam hal tertentu, nilai yang diperoleh mahasiswa memang merupakan indikator kesuksesan mahasiswa dalam menempuh kuliah tetapi mungkin bukan merupakan ukuran keberhasilan pencapaian tujuan atau sasaran pengajaran mata kuliah dalam mengubah pengetahuan, perilaku, atau kepribadian mahasiswa termasuk penalarannya. Dalam hal inilah nilai ujian sebagai ukuran keberhasilan harus dipertimbangkan validitasnya. Ini masalah yang berkaitan dengan kebijakan pengasesan (assessment).
Bagi mahasiswa yang mempunyai tujuan individual yang jelas, tentunya nilai bukan merupakan tujuan tetapi lebih merupakan suatu konsekuensi logis dari apa yang dilakukannya selama mengikuti proses belajar. Oleh karena itu, pertanyaan yang sangat fundamental bagi mahasiswa sejati adalah apakah mereka belajar untuk nilai atau belajar untuk tahu. Tugas dosen dan pengelola pendidikan adalah meyakinkan dan mengendalikan agar mahasiswa yang memang telah berubah pengetahuan dan kepribadiannya mendapatkan nilai yang sepantasnya. Kalau tidak, perguruan tinggi hanya menghasilkan orang bergelar tetapi tidak membawa serta perubahan perilaku dan pengetahuan. Hubungan antara nilai dan proses belajar dapat ditunjukkan dalam skema pada Gambar 4 di halaman berikut.
Masalah pengendalian belajar yang perlu dipikirkan adalah manakah yang dianggap lebih penting dalam proses belajar: proses belajarnya atau nilainya. Keputusan mengenai hal ini akan mempengaruhi sikap dan perilaku dosen dan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar.
Bila penyelenggaraan kuliah memungkinkan seorang mahasiswa dapat memperoleh nilai tinggi tanpa mahasiswa tersebut mengalami atau menjalani proses belajar yang semestinya

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

9

Materi Pembekalan

maka mata kuliah dan proses belajarnya sebenarnya belum mengajarkan apa-apa kepada mahasiswa. Bila mahasiswa lulus tanpa melewati proses belajar yang semestinya, perguruan tinggi hanya akan berfungsi menjadi semacam lembaga jasa pengujian (educational testing service seperti TOEFL). Lebih parah lagi kalau soal ujian tidak valid sebagai alat ukur, nilai dan ijazah tidak lagi merefleksi perubahan perilaku dan pemahaman. Ijazah hanya berfungsi untuk menegaskan bahwa mahasiwa yang bersangkutan pernah hidup sebagai mahasiswa.

Gambar 4. Hubungan Proses Belajar dan Nilai
Institusi Pendidikan

proses belajar dan perubahan perilaku

Alat evaluasi ujian nilai & ijazah Bila proses belajar dianggap hal yang penting daripada sekadar nilai ujian (dan inilah sebenarnya jasa yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan kepada masyarakat) maka pengendalian proses belajar harus menjadi perhatian utama. Kesepakatan mengenai bagaimana proses belajar-mengajar akan dilaksanakan perlu disampaikan kepada mahasiswa. Perguruan tinggi juga harus menciptakan citra bahwa proses belajar yang ditawarkan memang proses belajar yang menuntut calon mahasiswa untuk bersedia menempuhnya. Persepsi mahasiswa yang keliru mengenai hal ini akan menyebabkan mahasiswa merasa frustrasi menjalankan proses belajar khususnya kalau mahasiswa membawa serta kebiasaan salah dari sekolah menengah.
Konsep Tentang Dosen
Telah disebutkan bahwa dalam proses belajar mengajar yang semestinya, dosen tidak mendefinisi diri sebagai dan dipandang sebagai sumber pengetahuan utama bahkan hanya satu-satunya sumber. Dalam proses belajar mengajar yang efektif, dosen semestinya harus dipandang sebagai seorang manager kuliah. Sumber pengetahuan utama adalah buku, perpustakaan, artikel dalam majalah, hasil penelitian, dan media cetak atau audio-visual lainnya (termasuk pengalaman dosen tentunya). Sekali lagi, dosen mendapat tugas untuk memegang suatu kelas karena yang bersangkutan telah mengalami proses belajar tertentu dan telah memperoleh pengalaman-pengalaman berharga (termasuk pengalaman praktik dan penelitian) yang mungkin perlu disampaikan kepada mereka yang akan menjalani proses belajar yang sama.
Dengan demikian mahasiswa yang akan menjalani dan mengalami proses yang sama akan memperoleh pengetahuan yang sama (atau bahkan diharapkan lebih) dengan cara yang lebih efektif dan tidak perlu membuat kesalahan yang sama.
Jadi, dosen harus dipandang sebagai manager kelas dan merupakan nara sumber (resource person) proses belajar. Dalam teknologi pendidikan, dikatakan bahwa dosen bertindak sebagai director, facilitator, motivator, dan evaluator proses belajar. Panel B dalam Gambar 2 sebenarnya melukiskan peran dosen sebagai manager kelas dan nara sumber mata kuliah. Dosen menetapkan sumber pengetahuan yang harus dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa dalam bentuk silabus atau program belajar, mahasiswa menjalani proses belajar tersebut di bawah pengendalian dosen.

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

Materi Pembekalan

10

Kemandirian Belajar
Telah disebutkan di atas bahwa belajar sebenarnya merupakan kegiatan individual dan berlanjut. Di mata mahasiswa, proses belajar mengajar yang sekarang berjalan pada umumnya belum dipandang sebagai proses belajar mandiri. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ketidakmampuan mahasiswa dalam mengungkapkan gagasan dan menemukan suatu gagasan atau masalah untuk bahan penulisan skripsi atau tulisan lainnya. Penulis menduga bahwa hal ini disebabkan proses belajar di kelas sampai tingkat akhir kebanyakan terlalu banyak ditekankan pada aspek doing tetapi kurang penekanan pada aspek thinking. Apa yang diajarkan di kelas lebih banyak berkaitan dengan masalah diketahui-hitung-hitungan atau berkaitan dengan bagaimana mengerjakan sesuatu tetapi kurang menantang mengapa demikian dan apa implikasinya. Dengan kata lain penalaran bukan merupakan basis pemahaman. Akibatnya, pengembangan kemampuan bernalar terhambat. Bahkan dalam banyak hal, dosen cenderung mengisolasi (tidak memberitahu) hasil penelitian atau gagasan-gagasan alternatif yang berbeda
(apalagi yang kontroversial) dengan apa yang diajarkan atau dipraktikkan (berlaku) dengan dalih agar mahasiswa tidak bingung dalam praktik. Dalam bidang akuntansi misalnya, Sterling
(1987) mencotohkan bahwa dosen cenderung mengajarkan apa yang nyatanya dipraktikkan
(the current state) daripada apa yang seharusnya dipraktikkan (the desired state). Sementara itu, dosen menuntut mahasiswa agar berpikir kreatif dan inovatif (dan suka bertanya). Dalam kondisi yang kontradiktif yang mengarah ke isolasi ini (analogi dengan pemasangan kaca mata kuda), mahasiswa akan cenderung untuk mengoptimalkan dirinya dengan menerima saja apa yang diajarkan (menjadi mesin dengarkopi). Akibatnya fiksasi fungsional tentang makna kuliah yang keliru tertanam dalam diri mahasiswa yang pada gilirannya akan menumbuhkan sikap resistensi yang tinggi terhadap perubahan.
Kemandirian belajar sering menjadi terhambat karena aspek berpikir dan bernalar banyak diambil alih oleh dosen, baik pada tahun pertama maupun tahun-tahun berikutnya sampai tingkat akhir. Banyak kegiatan yang sebenarnya merupakan kegiatan mandiri (baik thinking maupun doing) diambil alih oleh instruktur/dosen. Ibarat memakan buah apel, dosen mengunyahkan buah tersebut sampai siap ditelan dan mahasiswa tinggal menelannya. Proses semacam ini sebenarnya merupakan proses pembebalan dan bukan proses penajaman pikiran. Keadaan ini dilukiskan dalam Gambar 5 di halaman berikut.
Dalam Gambar 5 panel atas, mahasiswa yang sudah terbiasa menelan pengetahuan yang telah dikunyahkan dosen tanpa masalah dan kontroversi (kebetulan dosen juga senang demikian) tiba-tiba pada tahun terakhir (akhir tahun keempat) mahasiswa harus mengunyah sendiri pengetahuan dan mengajukan masalah untuk karya tulisnya. Jelas dapat dibayangkan apa yang akan terjadi. Mahasiswa tidak mampu mengidentifikasi masalah yang menjadi perhatiannya yang pantas untuk diangkat menjadi judul skripsi atau tesis. Akhirnya mahasiswa mempunyai kesan yang keliru bahwa yang namanya masalah untuk penulisan skripsi adalah suatu bab dalam sebuah buku teks yang tidak dikuasai dengan baik dan belum dipelajari dengan semestinya semasa kuliah. Masalah dalam skripsi adalah masalah dirinya dalam mempelajari topik dan bukan masalah umum. Akibatnya, banyak judul dan isi skripsi yang sama dengan judul dan isi sebuah bab dalam buku teks tetapi dikemas dalam format skripsi. Dengan demikian, skripsi tidak lebih dari sebuah medium untuk belajar suatu bab dalam buku teks yang kalau mahasiswa telah mempelajari bab tersebut dengan baik, mestinya mahasiswa merasa tidak perlu menulis bab tersebut dalam bentuk skripsi atau tesis.
Kalau proses belajar pada Gambar 5 atas menjadi pola dan berjalan terus, kemandirian hanya akan menjadi slogan saja dan tidak akan pernah terwujud dalam sikap dan perilaku mahasiswa. Sayangnya, hal seperti ini justru yang sering menjadi harapan atau yang disukai mahasiswa. Dalam angket evaluasi dosen, dosen yang skornya tinggi justru dosen yang dapat menyampaikan materi secara sistematis dan dapat menghasilkan catatan yang rapi bagi maha-

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

11

Materi Pembekalan

siswa walaupun catatan tersebut akhirnya sama dengan apa yang terdapat dalam buku yang tidak pernah dibaca mahasiswa. Sekali lagi, hal ini sebenarnya dapat dianggap sebagai perampokan proses belajar walaupun mahasiswa senang dengan hal tersebut. Neusner (1984) menunjukkan bagaimana cara mengevaluasi dosen yang seharusnya sementara Mohanan
(2003) memberi ciri dosen yang berkualitas tinggi (excellent teacher).4 Seandainya mahasiswa telah membaca dan memahami (walaupun tidak secara penuh) materi yang dijelaskan secara runtut dan rinci tersebut mungkin mahasiswa akan berpikir bahwa yang dibahas di kelas tidak menambah pengetahuannya sehingga mahasiswa dapat menuntut lebih banyak dari dosen.
Hal ini akan mendorong dosen untuk selalu meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.
Dengan demikian pengetahuan juga akan menjadi berkembang dan lembaga pendidikan tinggi tidak sekadar berfungsi untuk menyebarkan pengetahuan tetapi juga mengembangkan pengetahuan. Hal ini pulalah yang membedakan perguruan tinggi dengan kursus.
Gambar 5. Kemandirian Belajar
Tingkat kemandirian
(thinking & reasoning)

oleh mahasiswa

oleh dosen

1

2

3

4

5

6
Semester

Tingkat kemandirian
(thinking & reasoning)

oleh mahasiswa

oleh dosen
1

2

3

4

5

6

Kemandirian belajar adalah hasil suatu proses dan pengalaman belajar itu sendiri. Kalau proses belajar tidak memberi pengalaman bahwa belajar merupakan suatu kegiatan individual maka perilaku mandiri dalam belajar akan tetap merupakan impian. Masalahnya adalah kapan pengalaman kemandirian harus ditanamkan kepada peserta didik atau mahasiswa. Kapan mahasiswa harus mempunyai kesan yang benar bahwa belajar di perguruan tinggi sangat berbeda dengan belajar di sekolah menengah atau lembaga kursus.

4

Jacob Neusner, How to Grade Your Professors and Other Unexpected Advice (Boston: Beacon Press, 1984). K. P.
Mohanan, “Assessing Quality of Teaching in Higher Education,” www.cdtl.nus.edu.sg/publications/assess. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pak Hari (H. C. Yohanes) yang menjediakan bahan terakhir.

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

Materi Pembekalan

12

Kemandirian belajar harus dimulai sejak pertama kali mahasiswa memasuki perguruan tinggi. Hal ini dimungkinkan kalau terdapat buku pegangan yang memadai yang dapat dijadikan pegangan bersama antara dosen dan mahasiswa. Sekali lagi, perilaku mandiri akan terbentuk kalau kelas tidak diisi dengan hal-hal yang sebenarnya mahasiswa mampu untuk melakukan sendiri dengan petunjuk seperlunya dari dosen. Di samping itu, mahasiswa harus punya keyakinan bahwa dosen bukan sumber pengetahuan utama. Sumber pengetahuan utama tersedia di perpustakaan dan di media cetak atau audio-visual lainnya termasuk internet. Kemandirian merupakan sikap yang terbentuk akibat rancangan proses belajar yang cermat. Sikap/perilaku mandiri merupakan sikap yang sengaja dibentuk dan bukan sesuatu yang datang dengan sendirinya.
Agar kemandirian dapat terbentuk, tugas dosen adalah mengarahkan, memotivasi, memperlancar dan mengevaluasi proses belajar mandiri mahasiswa sehingga temu kelas akan diisi dengan hal-hal yang bersifat konseptual dan temu kelas akan merupakan ajang konfirmasi pemahaman mahasiswa terhadap materi dan tugas yang harus dikerjakan di luar jam temu kelas. Di lain pihak, mahasiswa dituntut untuk mengerjakan sendiri hal-hal yang sebenarnya mereka mampu untuk mengerjakan dengan petunjuk seperlunya dari dosen. Dengan demikian, dosen akan banyak dapat menyampaikan kearifan (wisdom) daripada sekadar masalah teknis sehingga temu kelas akan mempunyai nilai tambah yang tinggi.
Konsep Memiliki Buku
Buku merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari belajar. Buku merupakan sumber pengetahuan. Hal yang sering kurang disadari mahasiswa adalah bahwa memiliki buku lain sekali artinya dengan memiliki kertas bergambar huruf.5 Lebih menarik lagi adalah gejala bahwa memiliki buku belum merupakan suatu sikap atau budaya kita. Kurangnya minat untuk memiliki buku mungkin timbul karena anggapan bahwa dosen dan kuliah merupakan sumber pengetahuan utama. Mungkin juga masih dianggap hal yang kurang etis di Indonesia untuk memaksa mahasiswa membawa buku dalam kuliah dan digunakan bersama di kelas (mungkin karena kemampuan ekonomik yang tidak sama untuk membeli).
Dari kaca mata dosen, pertanyaan yang menjadi sindroma dosen apabila dosen harus menggunakan buku di kelas adalah: “Kalau mahasiswa sudah memegang buku yang baik dan jelas dalam menguraikan masalah (apalagi berbahasa Indonesia), lalu apa yang harus saya ajarkan di kelas?” Untuk memecahkan sindroma ini acap kali mahasiswa ditempatkan pada posisi kurang menguntungkan (disadvantaged position) dengan digunakannya buku bahasa asing sebagai pegangan utama walaupun terdapat buku berbahasa Indonesia yang sebenarnya cukup memadai (tentu saja buku tersebut tidak sempurna). Alasannya adalah mahasiswa harus menguasai materi sekaligus mampu berbahasa Inggris (membaca buku teks asing). Akibatnya, karena kenyataan kemampuan rata-rata mahasiswa untuk memahami buku berbahasa asing
(Inggris), banyak mahasiswa yang dengan segala upaya mencari terjemahan atau berusaha mencari penerjemah secara bersama-sama dan membawa buku bahasa Inggris di kelas untuk formalitas saja. Hal ini seharusnya tidak terjadi di level pascasarjana karena asumsinya adalah mahasiswa pascasarjana sudah fasih berbahasa Inggris (paling tidak pasif) untuk membaca buku berbahasa asing pada level dan kedalaman pascasarjana.
Bila asumsi ini tidak terpenuhi, pendekatan semacam ini dapat bersifat disfungsional, mahasiswa menjadi terhambat dalam menguasai materi sementara itu mahasiswa juga tidak menjadi mampu berbahasa Inggris. Mungkin pendekatan yang terbaik adalah menggunakan buku berbahasa Indonesia sebagai pegangan utama dan buku berbahasa Inggris sebagai buku
5Memiliki buku di sini tidak harus berarti membeli buku tetapi berarti membawa (menguasai secara fisik misalnya dengan meminjam) selama mengikuti kuliah.

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

13

Materi Pembekalan

pendukung dan keduanya dipaksakan untuk dimiliki mahasiswa. Tentu saja pemilihan buku yang dianggap memadai merupakan keputusan strategik (dan dalam hal tertentu juga politis) penyelenggara atau pengelola pendidikan.
Buku adalah sumber pengetahuan yang harus dibaca, ditulisi, dicorat-coret, ditempeli artikel dan “diajak berdialog” sehingga buku tersebut akan menjadi bagian dari pribadi seseorang. Kalau buku yang dibeli tetap bersih dan tidak pernah diajak dialog maka seseorang sebenarnya hanya memiliki kertas bergambar garis dan huruf dan seandainya buku tersebut hilang maka tidak ada rasa kehilangan apapun karena buku yang sama dapat segera dibeli di toko buku. Lain halnya kalau buku tersebut telah dibaca dan dipahami serta diberi tanda-tanda khusus pada bagian-bagian yang dianggap penting dan menarik, maka apabila buku tersebut hilang maka seseorang akan merasa seperti kehilangan seorang kekasih.
Kemampuan Berbahasa
Pengamatan menunjukkan bahwa penalaran bukan merupakan basis pengajaran padahal kemampuan mahasiswa untuk mengekpresi gagasan tertulis maupun lisan dengan baik sangat dipengaruhi oleh daya nalar dan kemampuan berbahasa khususnya bahasa Indonesia. Dalam hal ini, Nasoetion (2000) menegaskan:
... semua mahasiswa perlu menguasai sekurang-kurangnya satu bahasa asing modern di samping bahasa Indonesia. Bukan ‘bahasa Indonesia yang baik dan benar’ karena bahasa Indonesia harus baik dan benar. Kalau tidak baik dan benar, maka bahasa itu tidak boleh disebut bahasa Indonesia.
Jadi penguasaan berbahasa bukan saja wajib bagi mahasiswa ilmu sastra, melainkan juga bagi mahasiswa sains alam dan matematika (hlm. 23).

Karya tulis akademik, ilmiah, dan profesional menuntut kecermatan bahasa karena karya tersebut harus disebarluaskan kepada pihak yang tidak secara langsung berhadapan dengan penulis baik pada saat tulisan diterbitkan atau pada beberapa tahun sesudah itu. Kecermatan bahasa menjamin bahwa makna yang ingin disampaikan penulis akan sama persis seperti makna yang ditangkap pembaca tanpa terikat oleh waktu. Kesamaan interpretasi terhadap makna akan tercapai kalau penulis dan pembaca mempunyai pemahaman yang sama terhadap kaidah kebahasaan yang digunakan. Lebih dari itu, komunikasi ilmiah dan profesional juga akan menjadi lebih efektif kalau kedua pihak mempunyai kekayaan yang sama dalam hal kosa kata teknis (leksikon). Ciri bahasa keilmuan adalah kemampuan bahasa tersebut untuk mengungkapkan gagasan dan pikiran yang kompleks secara cermat. Kecermatan gagasan dan buah pikiran hanya dapat dilakukan kalau struktur bahasa (termasuk kosa kata dan kaidah pembentukan istilah) sudah canggih dan mantap. Arti penting kemampuan berbahasa untuk tujuan ilmiah dinyatakan Suriasumantri (1999) seperti berikut:6
Kemampuan berbahasa yang baik dan benar merupakan persyaratan mutlak untuk melakukan kegiatan ilmiah sebab bahasa merupakan sarana komunikasi ilmiah yang pokok. Tanpa penguasaan tata bahasa dan kosa kata yang baik akan sukar bagi seorang ilmuwan untuk mengkomunikasikan gagasannya kepada pihak lain. Dengan bahasa selaku alat komunikasi, kita bukan saja menyampaikan informasi tetapi juga argumentasi, di mana kejelasan kosa kata dan logika tata bahasa merupakan persyaratan utama (hlm. 14).

Suriasumantri selanjutnya mengemukakan bahwa bahasa merupakan sarana untuk mengungkapkan perasaan, sikap dan pikiran. Aspek pikiran dan penalaran merupakan aspek yang membedakan bahasa manusia dan makhluk lainnya. Selanjutnya disimpulkan bahwa aspek
6Penebalan

oleh penulis. Kata “di mana” seharusnya berbunyi “yang di dalamnya.”

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

Materi Pembekalan

14

penalaran bahasa Indonesia belum berkembang sepesat aspek kultural. Demikian juga, kemampuan mempergunakan bahasa Indonesia selaku sarana komunikasi ilmiah dirasakan sangat kurang apalagi dalam komunikasi tulisan. Hal ini disebabkan oleh proses pendidikan yang kurang memperlihatkan aspek penalaran dalam pengajaran bahasa. Suwardjono (1991a) menunjukkan arti penting bahasa dalam mengembangkan istilah akuntansi.
Suwardjono menegaskan bahwa kemampuan berbahasa dan menggunakan bahasa sebagai alat ekspresi buah pikiran bukan merupakan keterampilan bawaan alam (gifted) melainkan keterampilan yang harus dipelajari dengan penuh kesadaran. Sayangnya banyak mahasiswa yang merasa dapat berbahasa (bahasa Indonesia khususnya) bukan karena mempelajarinya secara sadar akan tetapi memperolehnya secara alamiah. Bila seseorang ingin mencapai dan menikmati pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan ilmiah, maka bahasa yang dikuasai secara alamiah (pergaulan) harus ditingkatkan menjadi bahasa ilmiah (profesional).
Untuk percakapan dan penulisan sehari-hari dalam pergaulan umum, bahasa yang diperoleh secara alamiah memang cukup akan tetapi tingkat kecanggihan bahasa tersebut sebenarnya ada pada tingkat yang paling bawah. Ciri umum bahasa tersebut adalah struktur bahasa yang sederhana (sering tidak lengkap dan mengandung salah kaprah) dan kosa kata yang sangat terbatas. Keefektifan komunikasi lebih banyak diwarnai oleh ungkapan-ungkapan situasional (colloquial) dan emosional disertai dengan isyarat (gestures). Bahasa tersebut cukup untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat konkret atau peristiwa nyata dalam kehidupan umum sehari-hari. Akan tetapi, bahasa alamiah sering tidak mampu atau kurang memadai untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat ilmiah dan abstrak atau konseptual yang acapkali sulit dicari alat peraga atau analoginya dengan keadaan nyata atau fisik. Untuk mengungkapkan hal ini diperlukan struktur bahasa dan kosa kata yang lebih canggih. Ciri-ciri bahasa keilmuan adalah kemampuannya untuk membedakan gagasan atau pengertian yang memang berbeda dan strukturnya yang baku dan cermat. Dengan karakteristik ini, suatu gagasan dapat terekspresi dengan cermat tanpa kesalahan makna bagi penerimanya.
Pada waktu belajar di luar negeri, penulis bertemu dengan mahasiswa Amerika (teman baik penulis) yang pada waktu itu membawa kamus The American Heritage Dictionary yang cukup tebal. Penulis menanyakan kepadanya mengapa dia masih membawa kamus segala toh dia sudah bisa berbahasa Inggris. Dengan nada yang cukup tinggi (mungkin dia berpikir bahwa penulis menanyakan stupid question dan ingin memberi pelajaran kepada penulis) dia menjawab yang kira-kira artinya demikian: “Apa kamu kira saya ini tahu semua kata bahasa Inggris?” Pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman ini adalah bahwa seseorang (khususnya dosen dan mahasiswa) harus belajar bahasa sendiri (Indonesia) lebih dari apa yang diperolehnya secara alamiah (termasuk bahasa yang diperoleh secara monkey see monkey do).
Karena sudah merasa mampu berbahasa Indonesia, kebanyakan orang tidak merasa perlu untuk belajar bahasa Indonesia dan mempunyai atau membuka kamus bahasa Indonesia
(misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia). Akibatnya, orang sering merasa lebih asing mendengar kata bahasa sendiri daripada mendengar kata bahasa asing. Anehnya, kalau seseorang menjumpai kata asing (Inggris) yang masih asing bagi dirinya, dia dengan sadar dan penuh motivasi berusaha untuk mengetahui artinya dan mencarinya di dalam kamus dan tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa kata itu aneh. Akan tetapi, kalau dia mendengar kata bahasa Indonesia yang masih asing bagi dirinya, dia merasa itu bukan bahasanya dan akan bereaksi dengan mengatakan “Apa artinya ini, kok aneh-aneh?” dan berusaha untuk tidak pernah tahu apalagi membuka kamus dan menggunakannya secara tepat. Sikap seperti ini sebenarnya menunjukkan bahwa seseorang sudah merasa cukup dan puas dengan bahasa awam atau alamiahnya (yang diperoleh secara monkey see monkey do).
Mahasiswa sering mengeluh bahwa mereka sukar memahami suatu buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Ada berbagai alasan yang dapat menerangkan hal tersebut. Pertama, buku yang dibacanya membahas masalah konkret dan sederhana tetapi ditulis dengan bahasa
Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

15

Materi Pembekalan

yang kurang memadai sehingga sulit dipahami apalagi kalau pembaca hanya menggunakan struktur bahasa alamiahnya sehingga pembaca tidak tahu bahwa struktur bahasa dalam buku tersebut keliru dan menjadi tidak mudah dipahami maksudnya. Kedua, mahasiswa membaca buku yang memerlukan pemikiran mendalam tetapi membacanya seperti membaca berita di koran sehingga pemahaman tidak diperoleh. Ketiga, ini yang justru sering terjadi, buku tersebut memang ingin mengungkapkan sesuatu yang kompleks dan konseptual yang memerlukan struktur bahasa dan kosa kata yang canggih dan ditulis dalam bahasa yang sangat memadai dan baku pada tingkatnya tetapi mahasiswa menggunakan struktur bahasa alamiahnya untuk memahami. Buku dengan tingkat bahasa yang tinggi dibaca dengan kemampuan bahasa pada tingkat rendah. Buku dengan tingkat bahasa standar yang tinggi dibaca dengan tingkat bahasa pergaulan umum. Sayangnya, banyak orang yang menuduh bahwa suatu buku sulit dipahami padahal sebenarnya orang tidak mempunyai kemampuan bahasa dan daya nalar yang memadai untuk memahami. Alih-alih belajar bahasa, mahasiswa menuntut agar bahasa buku teks
“membumi.”
Bahasa memang mempunyai tingkatan (level) ditinjau dari luasnya kosa kata khusus (specialized vocabulary) dan ragam bahasa. Buku bacaan asing (berbahasa Inggris) sering diberi keterangan mengenai aras atau level bahasa yang digunakan atas dasar kosa kata khusus dan kekompleksan struktur bahasa. Gambar 6 melukiskan level bahasa yang digunakan dalam berbagai bacaan berbahasa Inggris.
Gambar 6. Level Bahasa
Level
30,000 kata ke atas

Contoh Penggunaan
Buku Shakespeare, filsafat

20,000 kata

Sastra tinggi, beberapa buku klasik

10.000 kata

Buku teks ilmu sosial

5,000 kata

Buku teks ilmu alam atau pasti

4,000 kata

Majalah popular, koran, bacaan pupular lainnya

2.000 kata

Buku cerita sederhanaan (simplified)

1000 kata

Buku teks dan cerita sekolah dasar

500 kata
Orang bisu pun dapat bercerita

Belanja di swalayan, papan nama, iklan layanan masyarakat Bahasa simbol atau isyarat

Oleh karena itu, kalau mahasiswa ingin menikmati dunia pengetahuan yang luas dan tinggi, mahasiswa harus memperbaiki kemampuan bahasanya (baik Indonesia maupun Inggris). Mahasiswa harus mempunyai kemampuan berbahasa pada tingkat yang memadai untuk mampu menyerap gagasan dan pengetahuan yang kompleks dan konseptual. Bahasa mahasiswa harus “melangit.” Mahasiswa harus meningkatkan level bahasanya bukan malah menuntut bahasa ilmu pengetahuan “membumi” (berbahasa gaul). Kalau hanya keterampilan teknis dan komunikasi umum yang menjadi tujuan, bahasa alamiah memang sudah mencukupi.
Untuk mengetahui level bahasa Inggris yang sekarang anda kuasai (paling tidak dari aspek kosa kata), cobalah baca daftar kata yang masuk dalam Oxford 3000TM Vocabulary Trainer yang dimuat dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 7th Edition (hlm. R100-R113). Kalau anda sudah tahu hampir semua arti kata dan penggunaannya, berarti anda sudah ada paling

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

16

Materi Pembekalan

tidak pada level 3000-kata. Akan tetapi, kalau anda tidak tahu lebih dari 150 kata (5%), anda mungkin berada pada level di bawah 3000-kata.
Gambar 7 di bawah ini melukiskan arti penting penguasaan bahasa (Indonesia dan Inggris) kalau kita ingin berkomunikasi dan belajar dalam dua bahasa itu sama baiknya pada tingkat yang tinggi. Yang jelas kita akan mampu menjelajahi medan pengetahuan asing sepenuhnya kalau kita mempunyai kemampuan bahasa pada level yang sama dengan yang digunakan dalam bahasa sumber dan sasaran.
.
Gambar 7. Arti Penting Kemampuan Bahasa
Nasional
(bahasa sasaran)

Asing
(bahasa sumber)

Kekayaan gramatika, kosa kata, gaya bahasa, idiom, ekspresi

Alih bahasa

Penguasaan bahasa asing Yang dapat ditangkap dengan alih bahasa atau penguasaan bahasa asing Yang dapat diungkap dengan bahasa sumber

Medan cipta, karsa, rasa dalam bentuk ilmu pengetahuan, teknologi, dan karya seni

Kekayaan gramatika, kosa kata, gaya bahasa, idiom, ekspresi

Dapatkah ditangkap secara efektif (100%)? oleh mahasiswa tingkat S1 atau di bawahnya tanpa hambatan bahasa?

Medan cipta, karsa, rasa dalam bentuk ilmu pengetahuan, teknologi, dan karya seni

Apakah mahasiswa perlu mampu berbahasa asing (Inggris)? Kalau mahasiswa ingin lebih melebarkan crakrawala pengetahuannya, bahasa asing jelas merupakan hal yang tidak dapat ditinggalkan. Tentu saja dalam hal ini bahasa Inggris yang dimaksud adalah bahasa pada tingkat yang tinggi bukan bahasa pasaran atau pergaulan umum. Masih langkanya buku-buku keilmuan berbahasa Indonesia dewasa ini mengharuskan mahasiswa menguasai bahasa asing
(khususnya bahasa Inggris pada level tinggi). Mata kuliah dan pengetahuan lain di perguruan tinggi (yang bukan mata kuliah bahasa Inggris tetapi menggunakan buku teks asing), walaupun membantu, bukan merupakan sarana untuk belajar bahasa Inggris. Bahasa Inggris harus dipelajari secara khusus dan serius melalui pelajaran dan pelatihan secara khusus. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa seseorang dapat menguasai bahasa asing (termasuk membaca buku teks) dengan baik kalau dia juga menguasai bahasa sendiri (Indonesia) dengan baik pula. Ini berlaku untuk mereka yang selama hidup belum pernah hidup di masyarakat yang berbahasa Inggris secara penuh. Bagaimana mungkin seseorang dapat belajar bahasa Inggris yang mempunyai struktur yang baku dan canggih kalau dia sendiri tidak menguasai bahasa Indonesia yang baku
(dan sebenarnya juga canggih) sebagai pembandingnya? Banyak orang mengeluh dan merasa sulit belajar bahasa Inggris tetapi mereka lupa bahwa kesulitan tersebut sebenarnya disebabkan struktur bahasa Indonesianya sendiri masih belum memadai, lebih-lebih bahasa tulis.

Rangkuman
Belajar di perguruan tinggi merupakan suatu pilihan strategik dalam mencapai tujuan individual seseorang. Semangat, cara belajar, dan sikap mahasiswa terhadap belajar sangat ditentukan oleh kesadaran akan adanya tujuan individual dan tujuan lembaga pendidikan yang jelas.

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

17

Materi Pembekalan

Keselarasan tujuan akan menjadikan belajar-mengajar merupakan kegiatan yang menyenangkan dan mengasyikkan tanpa meninggalkan scientific vigor dan rigor perguruan tinggi.
Dosen dan kuliah bukan merupakan sumber pengetahuan utama. Oleh karena itu, perlu diredefinisi pengertian kuliah sejak mahasiswa masuk perguruan tinggi. Kuliah merupakan ajang untuk mengkonfirmasi pemahaman mahasiswa dalam proses belajar mandiri. Untuk mendukung proses belajar-mengajar yang efektif seperti itu, dosen dan mahasiswa harus mengacu dan memegang buku yang sama. Pengendalian proses belajar harus dipandang lebih penting daripada hasil atau nilai ujian. Kalau proses belajar dijalankan dengan baik, nilai merupakan konsekuensi logis dari proses tersebut. Kalau proses belajar tidak dikendalikan secara semestinya, nilai tidak akan mencerminkan adanya perubahan perilaku walaupun nilai tersebut menambah atribut seseorang. Dengan demikian, akhirnya perguruan tinggi hanya berfungsi sebagai lembaga jasa pengujian (testing service institute) bukan lembaga pedidikan.
Memiliki buku tidak sama dengan memiliki kertas bergambar huruf dan garis. Buku hendaknya diperlakukan sebagai teman atau kekasih sejati; buku harus diajak berdialog.
Kemampuan berbahasa merupakan dasar yang sangat penting untuk dapat memahami pengetahuan yang kompleks dan konseptual. Karya ilmiah dan sastra tinggi tidak dapat begitu saja dipahami dengan hanya menggunakan bahasa alamiah. Penguasaan bahasa yang memadai
(baik struktur maupun kosa kata) juga sangat membantu seseorang untuk mampu mengekspresi gagasan dan perasaan atau mendeskripsi masalah secara cermat dan efektif.
Banyak jalan menuju sukses pribadi. Perguruan tinggi paling tidak memberi jalan dan kontribusi yang berarti untuk menuju sukses pribadi sekaligus sukses bagi masyarakat. Perilaku mahasiswa di perguruan tinggi akan mewarnai berbagai sukses pribadi seseorang dan juga sukses masyarakat dan negara.
Dalam kondisi budaya belajar yang telanjur menyimpang dari tujuan belajar yang seharusnya, tugas perguruan tinggi adalah mengubah secara radikal budaya menyimpang tersebut.
Kesan keliru tentang arti kuliah dan belajar dapat diubah bila perguruan tinggi menciptakan citra baru tentang makna belajar melalui perubahan proses pembelajaran secara radikal. Tidak selayaknya perguruan tinggi mengikuti selera mahasiswa atau masyarakat yang keliru. Perguruan tinggi mampu menghasilkan lulusan yang dapat mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Hall dan Cannon (1975) berikut ini perlu direnungkan dalam penyelenggaraan perguruan tinggi:
Should a university course be devised to help a student to fit into society or to encourage a student to change society?

Jadi, fungsi perguruan tinggi tidak hanya memberi keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja (link and match) tetapi lebih dari itu memberi wawasan, visi, kearifan, daya inovasi, daya belajar cepat dari situasi, daya nalar kritis, dan kepribadian kesarjanaan. Perguruan tinggi mempunyai kekuasaan dan kekuatan yang lebih besar untuk melakukan perubahan secara radikal daripada sekolah dasar dan menengah karena keleluasaan, kebebasan, dan autonomi yang melekat di dalamnya. Sekolah dasar dan menengah terlalu birokatik untuk melakukan perubahan khususnya di bidang metoda pembelajaran yang merupakan bagian dari kurikulum. Daftar Bacaan
Buchori, Mochtar. “Peran Pendidikan dalam Budaya Politik di Indonesia,” Basis (Juli-Agustus 2000).
Christianto, Arif Budi. “Kurikulum Berbasis Kompetensi yang Membingungkan,” Kompas, 17 Januari 2003.
Hall, William C. dan Robert Cannon. University Teaching. Adelaide: ACUE, The University of Adelaide, 1975.
Heryanto, Ariel. “Industrialisasi Pendidikan,” Basis (Juli-Agustus 2000).

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

18

Materi Pembekalan

Kompas. “Catatan Pendidikan Akhir Tahun,” 27-31 Desember 2002.
__________. “Pendidikan Nasional, Ibarat Tas yang Tak Bisa Dibuka,” 21 Desember 2002.
Mohanan, K. P., “Assessing Quality of Teaching in Higher Education,” www.cdtl.nus.edu.sg/publications/assess.
Nasoetion, Andi Hakim. “Ilmu untuk Kehidupan dan Penghidupan,” Basis (Juli-Agustus 2000).
Neusner, Jacob. How to Grade Your Professors and Other Unexpected Advice. Boston: Beacon Press, 1984.
Sindhunata. “Pendidikan Hanya Menghasilkan Air Mata,” Basis (Juli-Agustus 2000).
Sterling, Robert S. "Accounting Research, Education and Practices," dalam Schroeder, Richard G. et al. Accounting
Theory: Text and Reading. New York: John Wiley and Sons, 1987.
Soemarwoto, Otto. “Potret Buruk Perguruan Tinggi Kita,” Kompas (31 Juli 2000).
Sriyanto, HJ. “Pudarnya Citra Profesi Guru,” Kompas, 7 Januari 2003.
Suriasumantri, Jujun S. “Hakikat Dasar Keilmuan,” dalam M. Thoyibi (editor), Filsafat Ilmu dan Perkembangannya
(Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999).
Susilo, M. Joko. Pembodohan Siswa Tersistematis. Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2007.
Suwardjono. “Aspek Kebahasaan Dalam Pengembangan Akuntansi di Indonesia,” Jurnal Akuntansi & Manajemen
STIE YKPN (November 1991a).
__________. “Perilaku Belajar di Perguruan Tinggi,” Jurnal Akuntansi & Manajemen STIE YKPN (Maret 1991b).
Tanje, Sixtus. “Guru versus KBK,” Kompas, 17 Januari 2003.

Refleksi (tugas untuk mahasiswa):
Buatlah satu halaman tanggapan yang dapat berupa komentar, pembelaan diri, sangkalan, atau kritik terhadap gagasan dalam artikel ini. Tanggapan ini bermanfaat untuk bahan diskusi.
Komentar dan kritik diarahkan untuk menjawab pertanyaan antara lain:
1. Apakah perilaku yang digambarkan dalam artikel merefleksi anda atau komunitas di sekitar anda? Mengapa demikian?
2. Dapatkah perilaku belajar anda berubah radikal (paling tidak dalam program yang sekarang sedang anda ambil)?
3. Apa yang paling mengusik pikiran anda dari gagasan dalam artikel ini?
4. Seperti apakah dosen yang paling cocok dengan harapan anda?

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

19

Materi Pembekalan

Makalah Pembekalan

Revolusi Paradigma Pembelajaran Perguruan Tinggi:
Dari Penguliahan ke Pembelajaran
Suwardjono
suwardjono@ugm.ac.id

Setelah anda membaca, memahami, dan merasa tercerahkan, berikan atau sampaikan artikel ini kepada teman, teman mondok, teman lain kelas, kakak kelas, adik kelas, atau siapa saja yang perlu mengetahui gagasan dalam artikel ini.
Untuk dosen, kopi dan sampaikan artikel ini untuk didiskusi dan dipahami bersama sebelum mulai kuliah untuk mahasiswa baru atau untuk mahasiswa lama sebagai pencerahan.

Fakultas Ekonomika dan Busines
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta

Agustus 2009

Artikel ini dapat dikopi atau diperbanyak dan disebarluaskan untuk kepentingan pendidikan tanpa harus minta ijin penulis.

Suwardjono2009

E:\Seminar-Loka\PembekalanUmum

Similar Documents

Free Essay

Pertemuan Rutin Di Luar Kelas Sebagai Penawar Kegalauan Siswa Baru Program Bipa

...Program BIPA Vidi Sukmayadi Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia Vidi_owen@yahoo.com Saripati Bagi siswa BIPA yang datang dan belajar di Indonesia untuk pertama kalinya, gegar budaya, rasa frustasi dan kegalauan hati adalah hal yang wajar sebagai suatu proses transisi. Para siswa harus menghadapi tak hanya tantangan akademis, namun juga tantangan untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang benar-benar baru. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan mengadakan pertemuan khusus secara rutin yang mampu mengakomodasi rasa galau siswa yang diakibatkan oleh berbagai hal bersifat non-akademis selama berada di Indonesia. Selain itu pertemuan tersebut juga harus menyoroti perkembangan dan proses belajar mengajar yang tengah berlangsung. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis melakukan studi kasus pada siswa-siswa BIPA yang baru pertama kali datang ke Indonesia dan belum memiliki keterampilan berbahasa Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mengetahui opini para siswa BIPA mengenai dampak pertemuan rutin tersebut terhadap kemajuan belajar mereka. Tujuan berikutnya adalah untuk melihat kemajuan akademis siswa BIPA pascapertemuan tersebut yang didasari dari opini siswa dan nilai akademis pada tengah dan akhir semester. Hasil studi ini menunjukkan bahwa para siswa merasa bahwa pertemuan rutin tersebut bermanfaat bagi proses belajar, pengalaman bahasa, dan adaptasi budaya mereka. Kata kunci: siswa BIPA,siswa baru, gegar budaya, opini siswa, luar kelas I. Pendahuluan ...

Words: 3023 - Pages: 13

Free Essay

Knowledge Management

...BAB 1 Paradigma Baru Era Pengetahuan Alvin Toffler membagi sejarah peradaban manusia menjadi 3 gelombang perubahan, yaitu: a. Era Manual, suatu zaman dimana factor dominan dari manusia yang dibutuhkan untuk mengelola system industry tradisional adalah otot (enerji fisik). b. Era Mesin Industri, suatu zaman dimana factor dominan dari manusia yang dibutuhkan untuk mengelola system industry adalah keterampilan bekerja dengan menggunakan mesin (enerji mesin). c. Era Pengetahuan, suatu zaman dimana factor dominan dari manusia yang dibutuhkan untuk mengelola system kerja adalah kualitas pikiran (knowledge content) yang digunakan dan diinternalisasikan (dieksplisitkan atau explicit knowledge) pada setiap proses produksi, yang pada akhirnya diwujudkan (dieksplisitkan) pada produk atau jasa yang dihasilkan. Minimal ada tiga hal yang dapat menggambarkan tatanan kehidupan di era pengetahuan, yaitu: a. Informasi/pengetahuan mudah diperoleh dan sekaligus dapat kadaluarsa dengan cepat. b. Permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari hari semakin kompleks. c. Pola perubahan dalam bidang-bidang politik, ekonomi, social, dan budaya berpengaruh signifikan pada kelangsungan organisasi dengan hubungan pengaruh yang semakin sulit diprediksi. Kehidupan semakin kompleks dan tidak pasti. Setiap perubahan akan menciptakan suatu perubahan lainnya dan pastinya tidak bisa dipredikasi. Dalam era pengetahuan kita dipaksa menyesuaikan sejumlah aturan, cara kerja, perilaku, dan paradigma. Selain...

Words: 3287 - Pages: 14

Free Essay

Summary Global War for Talent

...menjadi agenda penting yang difokuskan pada achiever tertinggi. Survei yang baru-baru ini dilakukan oleh Hewitt (2008) menunjukkan bahwa meskipun perekonomian menurun; kebanyakan perusahaan masih berniat untuk fokus pada top talent, dengan hampir setengahnya berencana untuk menjaga atau meningkatkan biaya learning and development. The talent concept “War for talent” secara resmi diluncurkan pada tahun 1998 ketika McKinsey & Company mempublikasikan laporan yang menyatakan bahwa “talent yang lebih baik patut dipertarungkan”. Menurut McKinsey, talent adalah ... “keseluruhan kemampuan seseorang... kemampuan intrinsik, skill, pengetahuan, pengalaman, intelegensi, penilaian, sikap, karakter dan dorongan. Talent juga termasuk kemampuan untuk belajar dan berkembang”. Selain itu, bagi McKinsey talent juga mengacu pada “yang terbaik dan tercerdas”. Saat publikasinya, studi Mckinsey memprediksi perubahan – “The Old Reality” (orang membutuhkan perusahaan) digantikan dengan “The New Reality” (perusahaan membutuhkan orang) – orang, bukan mesin, modal atau geografi, menjadi sumber baru competitive advantage. Factors impacting the war for talent Ada empat faktor signifikan yang mempengaruhi jumlah, kualitas, dan karakteristik talent. Pertama, ialah...

Words: 958 - Pages: 4

Free Essay

Abstract of Behaviorism and Contructivism

...bagaimana belajar dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. The konstruktivis dilihat belajar sebagai pencarian makna. Piaget dan Vygotsky dijelaskan unsur-unsur yang membantu memprediksi apa memahami anak-anak pada tahapan yang berbeda (Rummel, 2008). Rincian dari kedua teori menerangi perbedaan dan hubungan antara teori-teori perilaku dan konstruktivis dalam hubungan dengan bagaimana anak-anak belajar dan bagaimana perilaku mereka dipengaruhi. Bagaimana kurikulum dan pengajaran bekerja dengan teori-teori ini untuk mempromosikan pembelajaran dan bagaimana pendidik Pemandangan belajar terhadap kedua teori juga dikaji. Introduction Banyak mahasiswa yang terdaftar di lembaga pendidikan tinggi di Amerika Serikat telah memiliki pengalaman dengan kedua tatap muka dan kelas online. Peneliti pendidikan telah mulai meneliti karakteristik teknologi kelas online yang berkontribusi untuk membuat kelas online setara dengan tatap muka kelas dalam hubungan dengan efektivitas pedagogis mereka. Pertumbuhan pembelajaran online telah mengubah lingkungan belajar tradisional batu bata dan mortir ruang kelas untuk belajar di dunia maya. Perubahan lingkungan ini telah menyebabkan pendidik untuk melihat lebih dekat pada cara siswa terbaik pengalaman belajar di abad ke-21. Behaviorisme dan konstruktivisme yang teori-teori yang berasal dari dua sekolah filsafat pemikiran yang telah mempengaruhi pandangan pendidik 'belajar belajar. Skinner dan Watson, dua pendukung utama behaviorisme, belajar bagaimana...

Words: 4393 - Pages: 18

Free Essay

Jawaban

...1. pilih 3 dari sepuluh distruptive technology dan jelaskan konsep yang dipilih a. mobile ‘Mobile’ dapat diterapkan penggunaannya secara “huge and wide”. Mobile technology terdiri dari 3 bagian, yaitu : 1. device. Nantinya akan terdapat device yang perkembangannya akan semakin samar jika dilihat dari sisi perbedaannya, yaitu seperti phablets dan fonepads. 2. Operating system (OS). Fragmentasi OS pada device akan dikemas ke dalam berbagai istilah yang menarik seperti : android ice cream sandwich. Hal ini karena operator nirkabel harus selalu membuat update terbaru pada OS nya. 3. Network and standart. Sudah banyak provider internet skala nasional dan internasional, dan untuk saat ini provider terbesar yaitu China. Mobile technology di masa depan Beberapa prediksi tentang perubahan mobile technology di masa depan : Penelitian mengemukakan sekitar 80% akuntan mengekspektasikan bahwa penggunaan mobile technology akan digunakan lebih luas lagi hanya dalam waktu 2 tahun kedepan. Diperkirakan 1,3 miliar orang akan bekerja jarak jauh menggunakan teknologi mobile pada tahun 2015 (International Data Corporation, 2011) dan pada tahun 2016, 38% dari pengusaha berharap untuk berhenti menyediakan pekerja dengan perangkat sebagai gantinya. Jaringan 4G dapat men-download film 800MB hanya dalam 40 detik - yang menjadi pertanda baik untuk data yang kekurangan bandwidth. Saat ini, ada sekitar 10 miliar perangkat yang terhubung secara nirkabel, dan diharapkan sampai dengan tahun 2020...

Words: 3384 - Pages: 14

Free Essay

Economic Management

...BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Dalam era globalisasi sekarang ini, tidak hanya perusahaan yang memiliki daya saing antar perusahaan. Sekolah dasar sekolah dasar baik negeri dan swasta juga ternyata diyakini memiliki daya saing antar organisasi. Diataranya memerlukan seorang pemimpin yang piawai dalam memimpin suatu organisasi. Pemimpin sekolah dasar mempengaruhi system pembelajaran siswa dengan memberitahu visi yang mengarahkan dan memastikan proses pembelajaran organisasi diberikan dengan baik oleh guru juga dapat meningkatkan kemampuan siswa. Gaya kepemimpinan transformasional menggunakan visi sebagai komponen dari kepemimpinan sendiri yang digunakan untuk memotivasi orang ke tingkat yang lebih tinggi dari upaya dan kinerja dalam organisasi pada umumnya dan di sekolah dasar pada khususnya (Stewart, 2006). Visi disini diartikan bahwa seorang pemimpin mengetahui apa nilai-nilai inti dan tugas-tugas inti dari organisasi yang dipimpinnya, dan apa yang harus dicapai oleh organisasi tersebut. Gaya kepemimpinan transformasional, visi dan proses organisasi pembelajaran sekolah dasar merupakan suatu kunci untuk perbaikan sekolah dasar (Leithwood, 2004). Studi ini dilaporkan dengan mengusulkan sebuah model yang meneliti hubungan antara pelaku gaya kepemimpinan, visi sekolah dasar, dan organisasi pembelajaran di sekolah dasar, dan pengaruh kepemimpinan kepala sekolah dasar terhadap organisasi pembelajaran sekolah dasar dengan menggunakan visi sebagai mediator...

Words: 6975 - Pages: 28

Free Essay

Design Organizational

...I. TEORI ORGANISASI Teori Organisasi diawali dengan penelitian yang dilakukan oleh Chester Barnard. Dalam penelitiannya, Barnard menggunakan sudut pandang yang berlawanan dimana kekuasaan berasal dari bawah ke atas. Selain itu, Barnard menekankan aspek kooperatif perusahaan. Sistem kooperatif merupakan gabungan antara kemampuan manusia berkomunikasi dan kemauan mencapai tujuan. Berangkat dari pandangan inilah Teori Organisasi berkembang dan biasa disebut dengan Teori Organisasi Modern. 1. Teori Sistem Terbuka Sistem Terbuka terdiri dari input, proses transformasi, dan output. Lingkungan eksternal merupakan sumber input. Desain organisasi internal memainkan peranan penting dalam proses transformasi. Output direpresentasikan dengan produk, hasil akhir, pengetahuan, dan penyelesaian sistem. 2. Teori Kontingensi Organisasi sebagai pemrosesan informasi merupakan penghubung/transisi dari Sistem Terbuka menuju Kontingensi sebagai akibat dari ketidakpastian informasi antara yang dibutuhkan dan dimiliki. Diawali dengan informasi kemudian organisasi harus menerima, memproses, dan menetapkan informasi secara efektif untuk mencapai kinerja yang optimal. Teori Kontingensi ingin menjelaskan bahwa organisasi menyesuaikan dengan kondisi lingkungan. Organisasi dapat berubah melalui transformasi dan adaptasi internal. 3. Teori Ekologi Organisasi terseleksi dan mengalami pergantian. Organisasi yang ‘kuat’ akan bertahan dan ‘lemah’ akan ‘hilang’. Contohnya ialah merger...

Words: 3034 - Pages: 13

Free Essay

Pemberdayaan Masyarakat

...PEMBERDAYAAN MASYARAKAT: ∗ Konsep Pembangunan Yang Berakar Pada Masyarakat ∗ Oleh: Ginandjar Kartasasmita Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Disampaikan pada Sarasehan DPD GOLKAR Tk. I Jawa Timur Surabaya, 14 Maret 1997 I. Pendahuluan Sesuai dengan tujuan mata kuliah ini yaitu, untuk membahas konsep-konsep pembangunan yang bertumpu pada masyarakat sebagai jembatan antara pembangunan mikro dan makro, maka pada kesempatan ini bahasan pokok yang akan disampaikan adalah tentang pemberdayaan masyarakat. Konsep pemberdayaaan masyarakat mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community-based development) Pertama-tama perlu terlebih dahulu dipahami arti dan makna keberdayaan dan pemberdayaan masyarakat. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental serta terdidik dan kuat serta inovatif, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Namun, selain nilai fisik di atas, ada pula nilai-nilai intrinsik dalam masyarakat yang juga menjadi sumber keberdayaan, seperti nilai kekeluargaan, kegotong-royongan, kejuangan, dan yang khas pada masyarakat kita, kebinekaan. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan (survive), dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan...

Words: 12397 - Pages: 50

Free Essay

Kaerkan Kankmx

...Langkah-langkah untuk Mengatasi Pencemaran Alam Pencemaran alam merupakan isu yang sering menjadi buah mulut masyarakat sejak belakangan ini. Setiap hari terdapat laporan media tentang gejala pencemaran alam. Hal ini telah menyebabkan pelbagai pihak berasa bimbang akan gejala tersebut. Pihak kerajaan dengan pertubuhan bukan kerajaan telah melaksanakan pelbagai usaha untuk memastikan alam sekitar terpelihara. Walau bagaimanapun, gejala pencemaran alam masih lagi berleluasa seolah-olah tidak ada penghujungnya. Jika ditinjau dengan mendalam, terdapat beberapa langkah yang konkrit untuk menangani gejala ini. Salah satu langkah yang dapat digunakan untuk mengatasi pencemaran alam ialah pihak berwajib menghukum individu atau organisasi yang telah didapati bersalah mencemarkan alam sekitar. Pihak berwajib seperti Kementerian Sains, Teknologi, dan Alam Sekitar wajar menguatkuasakan undang-undang yang sedia ada untuk menghukum pihak-pihak yang berkenaan. Hukuman yang dikenakan hendaklah setimpal dengan kesalahan pihak terbabit mencemarkan alam. Selain itu tindakan penguatkuasaan undang-undang hendaklah dilaksanakan tanpa sikap memilih bulu dan dilakukan secara tekal dan tidak seperti melepaskan batuk di tangga. Individu dan organisasi yang mencemarkan alam biasanya tidak serik dengan hukuman yang dikenakan. Mereka akan mengulangi perbuatan keji ini jika hukuman yang dikenakan terhadap mereka tidak begitu berat. Malahan ada yang sanggup membayar denda kerana mencemarkan alam sekitar...

Words: 1407 - Pages: 6

Free Essay

Prescriptive

...Proses-proses Perangkat Lunak Proses perangkat lunak merupakan serangkaian kegiatan yang berhubungan dengannya, yang menuju pada dihasilkannya produk perangkat lunak. Kegiatan ini mencakup pengembangan perangkat lunak mulai dari awal, walaupun pada kenyataannya maki sering terjadi bahwa perangkat lunak yang baru dikembangkan dengan memperluas dan memodifikasi sistem yang telah ada. Proses perangkat lunak sangat rumit, karenannya di butuhkan penilaian dan kreatifitas dan keberhasilan usaha untuk mengotomasi proses perangkat lunak menjadi terbatas. Alasan mengapa otomasi proses memiliki cakupan yang terbatas adalah adanya keragaman proses perangkat lunak. Tidak ada proses ideal dan organisasi berbeda yang mengembangkan pendekatan yang benar2 berbeda dalam pengembangan perangkat lunak. Kegiatan mendasar yang umum bagi semua proses perangkat lunak : 1. Penspesifikasian perangkat lunak : Fungsionalitas perangkat lunak dan batasan operasinya harus didefinisikan 2. Perancangan dan implementasi perangkat lunak : Perangkat lunak yang memenuhi persyaratan harus dibuat 3. Pemvalidasian perangkat lunak : Perangkat lunak tersebut harus divalidasi untuk menjamin bahwa perangkat lunak bekerja sesuai dengan apa yang diinginkan pelanggan 4. Pengevolusian perangkat lunak : Perangkat lunak harus dapat berkembang untuk menghadapi kebutuhan pelanggan yang berubah MODEL PERANGKAT LUNAK Model perangkat lunak merupakan representasi abstrak dari proses perangkat lunak. Model2 generik...

Words: 5325 - Pages: 22

Free Essay

Mercedes Goes After Younger Buyers

...|TUGAS KELOMPOK | |MATA KULIAH METODE PENELITIAN DAN ADMINISTRASI KEBIJAKAN | |INTRODUCTION TO QUALITATIVE RESEARCH METHODS | |CHAPTER 2 & 3 | |(Participant Observation: Pre-Fieldwork & Participant Observation: In the Field) | | | |By: | |STEVEN J. TAYLOR | |ROBERT BOGDAN | | | |Penulis : | |DYAH SULISTYANINGSIH (1006 798 133) ...

Words: 4903 - Pages: 20

Premium Essay

Development

...PAPER TEORI SOSIOLOGI KLASIK PERLOMBAAN DI KAMPUS DAN KEHIDUPAN PERKULIAHAN ( Studi Kasus : Ketika Perlombaan UKM dan Solative Sosiologi Tidak Disesuaikan Dengan Jadwal Kuliah Mahasiswa, Serta Pembedaan antara Masa SMA dan Kuliah) Oleh: Ahmad Rofiki PENDAHULUAN Masa kuliah adalah masa dewasa dini yang telah memikirkan masa depan. Ini ditandai dengan adanya semangat bersaing dan hasrat kuat untuk maju dalam karir1. Tidak seperti pada saat SMA yang masih kental dengan aroma persahabatan kuat. Dalam masa dewasa dini ini kita hanya menyisihkan waktu yang sedikit untuk bergaul bersama teman-teman kampus. Begitu pula ketika kampus mengadakan kegiatan perlombaan UKM dan Solative Sosiologi, kebanyakan dari teman-teman mahasiswa tidak mengikutinya. Di karenakan jadwal perkuliahan mereka tidak di sesuaikan dengan jadwal perlombaan. Tidak seperti di SMA, yang melakukan classmeeting atau perlombaan diadakan saat setelah UAS. Perlombaan di kampus diadakan sebelum UAS, kendati pun perlombaan itu diadakan setelah UAS. Saya yakin tidak ada yang mau untuk menonton. Kenapa demikian, karena kebanyakan mahasiswa sudah sibuk untuk mengurusi liburan pulang kampung mereka. Bagaimana menanamkan kepada para mahasiswa di jurusan sosiologi maupun yang lain, supaya lebih mementingkan mengikuti perlombaan daripada mengikuti jadwal perkuliahan. Saya rasa mustahil, karena mereka lebih mementingkan mendapatkan nilai bagus, memikirkan masa depan dan membuat kedua orang tua bangga dengan cara lulus tepat...

Words: 6032 - Pages: 25

Free Essay

Principal of Management

...Pengenalan Jika seorang pakar bedah yang mempunyai kemahiran yang diiktiraf dunia, mengetuai sebilangan pembantu yang juga berpengalaman dalam membantu doktor, tidak akan mampu menghalang ajal yang kian hampir menyelubungi pesakit. Tekanan yang dialami pasukan itu lebih tinggi kerana melengahkan sesuatu prosedur pembedahan akan memberi kesan yang nyata iaitu kematian. Hal yang demikian sedemikian merupakan satu disiplin kelompok manusia yang menghargai masa. Satu saat pun tidak boleh dianggap sia-sia. Namun begitu, suasana tersebut tidak dapat kita lihat di kalangan masyarakat kita yang melengahkan yang penting dan mengutamakan keseronokan. Mengapa? Telah bersabda Rasulullah S.A.W ; “Dua hal yang paling aku cemaskan atas engkau; panjang angan-angan dan mengikut hawa nafsu. Sesungguhnya panjang angan-angan itu dapat melupakan Akhirat, sedang mengikuti hawa nafsu dapat menjauhkan diri dari kebenaran.” “Aku menjamin tiga orang dengan tiga hal; orang yang gila dunia, orang yang rakus mengumpulkannya dan orang yang kikir harta benda, dengan kefakiran yang tidak akan kaya sudahnya, kesibukan yang tidak ada sudahnya serta kesulitan yang tidak pernah ada jalan keluarnya.” Bab 26: Panjang angan-angan, Penenang Jiwa Islam mengajar umatnya agar jangan sesekali kamu yakni Muslim jauh daripadaNya. Oleh yang demikian, Islam membendung umatnya agar tidak mudah lalai dengan pentas ujian iaitu dunia yang diciptakan ini. Segala isi bumi ini merupakan ujian untuk umatnya memiliki ganjaran sebenarnya...

Words: 2908 - Pages: 12

Free Essay

Pbs Sejarah Neslte

...TAJUK PERKEMBANGAN SYARIKAT NESTLE DI MALAYSIA DARI 1912 HINGGA MASA KINI NAMA : WONG CHIEN WEN NO. KAD PENGENALAN : 941213-14-5532 ANGKA GILIRAN : SB9002/1027(13P1) PUSAT PEPERIKSAAN : SMK TAMAN SEA, PJ PENGERTIAN SEJARAH Apakah ialah Sejarah? Menurut Wikipedia, Sejarah (dari Yunani ἱστορία - historia, bermaksud "siasatan, pengetahuan yang diperoleh oleh penyiasatan") adalah istilah payung yang berkaitan dengan peristiwa masa lalu serta penemuan, koleksi, organisasi, dan pembentangan maklumat mengenai peristiwa-peristiwa ini. Istilah ini termasuk kosmik, geologi dan sejarah organik, tetapi sering generik tersirat bermakna sejarah manusia. Ulama yang menulis tentang sejarah dipanggil sejarah.Sejarah juga boleh merujuk kepada disiplin akademik yang menggunakan naratif untuk memeriksa dan menganalisis urutan peristiwa lepas, dan objektif menentukan corak punca dan kesan yang menentukan mereka.Sejarawan kadang-kadang membahaskan sifat sejarah dan kegunaan dengan membincangkan kajian disiplin sebagai akhir dalam sendiri dan sebagai satu cara menyediakan "perspektif" masalah sekarang.Cerita biasa kepada budaya tertentu, tetapi tidak disokong oleh sumber luaran (seperti cerita sekitar Raja Arthur) biasanya diklasifikasikan sebagai warisan legenda atau budaya, kerana mereka tidak menyokong "Siasatan berkepentingan" yang diperlukan disiplin sejarah. Peristiwa yang berlaku sebelum rekod bertulis dianggap prasejarah. Herodotus...

Words: 4011 - Pages: 17

Free Essay

Ethics

...an advantage competitive which difficult to be imitated. Therefore, ethics behavior is needed to reach long-range success in a business. Key Words: Ethics, Business, Moral ABSTRAK Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai baik atau buruk. Sedangkan Penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah. Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik. Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah competitive...

Words: 5457 - Pages: 22