Free Essay

Pedang Ular Merah

In:

Submitted By rohma
Words 126872
Pages 508
Pedang Ular Merah Karya : Kho Ping Hoo Djvu : Widodo & Dewi KZ Converter : Hendra & Dewi KZ Ebook pdf oleh : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/ http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info

Jilid 01

Pegunungan tai hang san di perbatasan Mongolia merupakan daerah pegunungan yang amat luas dan di situ penuh dengan hutan-hutan liar yang jarang dikunjungi manusia. Di puncak bukit yang paling ujung yakni di bagian barat terdapat sebuah hutan yang benarbenar masih liar dan belum pernah ada manusia berani memasukinya. Hutan ini terkenal menjadi sarang binatang buas, terutama sekali banyak terdapat ular berbisa semacam ular yang berkulit merah dan tidak terdapat di lain bagian dunia akan tetapi yang banyak terdapat di hutan itu, membuat hutan itu dinamakan hutan ular merah.

Pada suatu pagi yang sejuk dengan sinar matahari yang cerah terdengarlah suara nyaring dan merdu dari seorang anak perempuan berusia paling banyak enam tahun, anak itu mungil dan cantik sekali dengan sepasang matanya yang bening kocak dan dua kuncir rambutnya yang panjang dan hitam. Tiap kali ia menggerakkan kepalanya, kuncirnya itu menyabet ke kanan ke kiri dan kalau kuncirnya melewati pundak lalu jatuh bergantung di atas pundaknya ke depan, ia tampak lucu dan manis. Sambil memetik bunga-bunga hutan yang beraneka warna, anak ini bernyanyi dengan merdu. Akan tetapi sungguh mengherankan suaranya yang amat merdu itu bcrlawanan sekali dengan kata-kata nyanyiannya yang dapat membuat orang melengak saking heran tidak mengerti.

Aku bukan dewata bukan pula setan

Akan tetapi baik dewata maupun setan

Takkan dapat menguasai aku

Biar dewata berbisik, biar setan menggoda

Aku tak hendak patuh. tak sudi tunduk.

Aku tertawa kalau ingin menangis.

Menangis kalau ingin tertawa

Siapa peduli ? Aku adalah aku

Bukan dewata, Bukan pula setan !

Tidak hanya kata-kata saja yang aneh, juga nyanyiannya itu terdengar lucu dan sumbang. Namun anak perempuan itu agaknya merasa suka akan nyanyian ini dan dianggapnya enak dinyanyikan, buktinya ia bernyanyi dengan wajah gembira dan mengulangi nyanyian itu berkali-kali.

Tiba-tiba dua ekor kupu-kupu yang indah sekali sayapnya beterbangan mengelilingi bungabunga itu. Anak perempuan ini berhenti menyanyi dan biarpun matanya memandang kagum kcpada dua ekor kupu-kupu itu, namun kedua tangannya masih bekerja mengumpulkan kembang mawar hutan.

"Aduh…!" tiba-tiba ia memekik kesakitan ketika ibu jari tangan kanannya tertusuk oleh duri kembang. Saking kagetnya ia menarik keras tangan itu yang tentu saja membuat lukanya lebih besar dan dalam. Duri kcmbang itu ternyata runcing besar dan kuat. Darah mengalir dari ibu jarinya dan terasa amat pedih dan sakit. Seperti seorang anak kecil yang manja, rasa sakit ini membuat anak itu marah dan ia lalu membuang kembang-kembang tadi kemudian mcnangis keras.

"Ha, ha, ha, ha !” terdengar suara tertawa bcrgelak dari atas pohon menyaingi suara tangis, anak itu tiba-tiba menghentikan tangisannya dan sambil menengok ke atas pohon ia berkata cemberut, "Suhu mcmang kejam! Aku terluka dan terasa sakit, mengapa ditertawakan ?"

Bagaikan seekor burung garuda yang besar, dari atas pohon itu melayang turun seorang kakek yang tinggi besar dan berkulit muka kchitaman. Sepasang matanya lebar dan bersinar liar seperti mata harimau, baju dan rambutnva tidak karuan, awut-awutan dan tidak terpelihara. Benar-benar mengherankan betapa tubuh yang tinggi besar itu dapat melompat turun dan ketika kedua kakinya tiba di atas tanah di depan anak perempuan itu, telapak kakinya sama sekali tidak menerbitkan suara, seperti kucing melompat saja layaknya!

kembali ia tertawa terbahak-bahak di depan anak perempuan itu yang menjadi makin marah. Sambil membanting-banting kakinya yang kecil, ia bertanya, "Mengapa suhu tertawa ?"

"He, bukankah kau tadi menangis, Eng Eng? Kalau ada yang mcnangis, harus ada yang tertawa. Aku tertawa kalau ingin menangis dan menangis kalau ingin tertawa, bukankah kau sudah tahu ? Dan kau, mengapa kau menangis?" Pertanyaan ini diajukan dengan muka yang bodoh dan melihat sinar mata kakek ini, mudah saja orang menduga bahwa dia memang seorang yang miring otaknya, seorang yang tidak waras pikirannya !

"Aku tidak seperti suhu. Aku menangis atau tertawa tentu ada sebabnya. Dan sekarang aku menangis karena jari tanganku terluka oleh duri bunga itu !" Anak yang disebut Eng Eng itu lupa bahwa pada saat itu ia sudah tidak menangis lagi. Akan te-tapi ibu jarinya benar-benar terasa amat sakit dan perih sehingga mukanya yang berkulit halus itu mengerinyit.

Kakek itu sudah biasa dibantah oleh muridnya dan hal ini sama sekali tidak dipedulikan, bahkan ia lalu tertawa-tawa dan melihat ibu jari muridnya,"Tertusuk duri ? Kau tentu mengganggu kembang itu, kalau tidak tak rnungkin ia akan menusukmu dengan durinya, Ha. ha ha.."

"Sudablab. suhu. Aku yang kesakitan, kau menggoda saja. Memang aku yang bersalah, memetik kembang tanpa melihat karena tertarik oleh dua ekor kupu-kupu yang beterbangan itu.”

Kakek itu menengok dan ketika melihat dua ekor kupu-kupu beterbangan dengan lincah gembira, ia berkata, "Mereka itukah yang mengganggumu ?” Ia lalu menggerakkan kedua tangannya bergantian ke arah kupu-kupu yang terbang sejauh dua tombak dari tempat ia berdiri dan aneh sekali ! Tiba-tiba seperti tertiup oleh angin besar, kedua kupu-kupu itu terbangnya kacau balau dan melayang ke arah kakek tadi ! Kakek itu mengulurkan tangan kirinya dan kini kedua kupu-kupu itu jatuh ke atas telapak tangannya, hinggap disitu tak dapat terbang lagi, hanya menggerak-gerakkan sayap tanpa dapat pergi dari situ.

“Bagus, bagus, suhu!" seru anak perempuan itu dan ia bertepuk tangan. Untuk sesaat ia terlupa akan sakit pada ibu jarinya, akan tetapi baru saja ia bertepuk tangan, la mengeluh karena lupa jarinya serasa sakit.

"Aduh..aduh..!" Dan ia menangis lagi.

Kakek itu lalu melemparkan sepasang kupu-kupu tadi ke atas dan kedua binatang ini segera dapat terbang lagi dengan cepat, pergi dari tempat yang berbahaya ini, sedangkan kakek itu tertawa lagi ha-ha-hi-hi.

'Sakitkah...? Sakitkah....... " ia menghampiri sambil tertawa terus.

"Tentu saja sakit, kalau tidak masa aku menangis?

Kakek yang aneh itu lalu memegang tangan muridnya dan ketika ia melihat ibu jari yang terluka, ternyata bahwa ujung duri kembang itu ketika tadi tangan dibetot keras, telah patah dan tertinggal di dalam daging, nampak membayang di kulit ibu jari. Kakek itu memencetnya dan anak itu berseru mengaduh-aduh. Air mata anak itu mengalir turun membasahi kedua pipinya yang merah.

'He, he, he, he! Siapa bilang sakit? Tidak sakit sama sekali. Aku tidak merasakan sakit sama sekali." katanya.

Anak perempuan itu cemberut. "tentu saja suhu tidak merasa sakit. akan tetapi aku merasa sakit setengah mati!"

"Bohong tidak sakit. tidak sakit ! Hayo kau harus menurut aku, bukankah kau muridku? Katakan tidak sakit" Kakek yang miring otaknya itu berkata keras sambil memandang kepada muridnya dengan sepasang mata yang dilebarkan. Biarpun mulutnya masih cemberut, anak itu menurut juga dan berkata keras,

"Tidak sakit !" Akan tetapi kctika kakek itu memijit ibu jarinya lagi ia berjengir kesakitan.

'Jangan pura - pura !" kakek itu mencela. "Salah sama sekali. Kalau mulutmu bilang tidak sakit, hati dan pikiranmu juga harus berkata tidak sakit. Hayo ulang terus sampai kau benar benar tidak merasa sakit lagi !"

Berkali - kali anak perempuan itu berkata. "Tidak sakit, tidak sakit !' Akan tetapi masih saja kulit mukanya berkerut menahan sakit. "Sudahlah, suhu, lekas keluarkan duri itu dari dalam ibu jariku," ia mengeluh.

"Tidak, kalau kau masih merasa sakit aku tidak mau mengeluarkannya Ha, ha, ha ! Hayo kau mengerahkan semangatmu sambil menginjak langit menghadap bumi."

Kalau orang lain yang mendengar perintah ini, tentu takkan mengerti dia. Akan tetapi anak perempuan itu memang sudah mendapat pelajaran yang aneh-aneh dari kakek itu, maka mendengar perintah suhunya ini, ia lalu bergerak jungkir balik dan tahu-tahu anak itu sudah berdiri dengan kedua kaki lurus ke atas kepala di bawah. Ia menggunakan dua tangannya untuk mewakili kakinya dan menjaga tubuhnya. Dapat diduga bahwa anak ini telah seringkali berlatih seperti itu, buktinya dapat menginjak langit menghadapi bumi, yakni berdiri jungkir balik dengan mudah sekali dan tubuhnya sama sekali tidak bergoyang-goyang.

Keseimbangan badannya tidak terganggu sama sekali. Otomatis setelah tubuhnya berada dalam keadaan seperti itu, kedua matanya lalu dimeramkan dan jalan-jalan pernapasannya demikian halus dan lambat seperti orang dalam semadhi atau tidur nyenyak !

"Nah, sekarang kumpulkan seluruh ingatan dan perasaanmu lalu kau berkata lagi tidak sakit" Kakck itupun membuat gerakan dengan tubuhnya dan tahu-tahu tubuhnya telah jungkir balik kepala dibawah dan kedua kaki di atas. Kalau anak perempuan itu masih mempergunakan dua tangan untuk menahan tubuhnya, adalab kakek ini sama sekali tidak mempergunakan tangannya dan ketika tubuhnya berjungkir balik, kepalanyalah yang menahan tubuhnya. Akan tetapi ketika kepala itu tiba di atas tanah, sama sekali tidak mengeluarkan suara seakan-akan kepalanya berubah empuk dan berdaging.

Anak perempuan itu masih merasakan betapa ibu jarinya sakit berdenyut-denyut akan tetapi biarpun kalau bicara kepada suhunya ia nampaknya seperti pembantah dan bandel, sesungguhnya ia amat taat dan sayang kepada suhunya itu. Maka ia lalu mengerahkan seluruh kckuatan hati dan pikirannya dan tiga kali ia berkata, "Tidak sakit, tidak sakit, tidak sakit!" Kctika ia berkata sampai dua kali, ibu jarinya masih terasa sakit, akan tetapi pada saat itu semua pikiran dan perasaannya telah terkumpul dan terpengaruh oleh kata katanya sendiri, ditambah dengan kcmauannya yang keras sekali, maka pada ucapan ke tiga kalinya, benar saja rasa nyeri di ibu jarinya telah lenyap sama sekali !

"Tidak sakit, suhu !" katanya lagl dan suaranya yang terdengar gembira Itu meyakinkan kepada suhunya bahwa kali ini anak itu benar benar tidak merasa sakit lagi.

"Angkat lengan kananmu ke sini !" ia memerintah. Anak itu menurut, menggeser lengan kiri ke bawah kepala dan rnengangkat tangan kanannya yang diacungkan kepada suhunya. Dengan demikian anak itu kini hanya menahan tubuhnya dengao satu tangan saja !

Dengan gerakan dan gaya yang enak saja seakan-akan ia sedang berdiri biasa di atas kedua kakinya, kakek yang mcnahan tubuh dengan kepalanya itu lalu menangkap tangan muridnya. Ia memijit-mijit ibu jari yang terluka di sekitar luka itu sehingga darah menitik keluar. Akan tetapi ujung duri tadi kini terbawa keluar dan dengan mudah dicabut oleh kakck itu yang mempergunakan giginya. Selama pengobatan ini, anak perempuan itu sama sekali tidak pernah mengeluh bahkan rnukanya tidak menunjukkan rasa sakit lagi. Memang kemauannya telah bulat, hati dan pikiran berikut perasaan telah dapat dikuasai oleh keyakinan dan kcmauannya sehingga benar beoar rasa sakit itu menghilang !

Sambil mengobati luka di tangan muridnya, kakek itu tiada hentinya tertawa - tawa dan muridnya diam saja sambil meramkan mata. Kalau ada orang yang mendengar ketawa itu dan melihat guru dan murid ini berjungkir balik seperti itu tentu orang itu akan berlari tunggang langgang dan mengira telah melihat setan di dalam hutan yang liar ini!

Siapakah sebenarnya kakek yang miring otaknya ini dan siapa pula anak perempuan yang mungil dan manis itu ?

Kakek yang gila itu bukanlah orang sembarangan. Ia tak pernah mau menyebutkan namanya, maka di dunia kangouw ia dijuluki orang Hek Sin mo (Iblis Sakti Hitam) karena tingkah lakunya aneh sepcrti Iblis dan mukanya kehitam-hitaman. Banyak orang kang ouw baik para pendekar silat maupun para penjahat, meremang bulu tengkuknya kalau teringat kepadanya, oleh karena Hek sin-mo ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali. Ilmu silatnya yang aneh akan tetapi sukar dikalahkan, ditambah oleh kelakuannya yang aneh, membikin ia amat ditakuti dan dianggap sebagai tokoh persilatan yang mengerikan. Hanya satu hal yang membuat semua orang menaruh hati segan kepadanya, yakni kejujurannya yang luar biasa.

Memang kakek ini berotak miring. Dulu dia adalab seorang nelayan muda yang jujur keras hati dan mudah marah serta gemar berkelahi. Ketika ia masih muda, pada suatu hari ia dikalahkan oleh seorang pendekar pedang sehingga ia menjadi takluk dan menganggap pendekar itu sebagai suhunya. Kemudian ia mengikuti pendekar itu ke sebuah pulau di sebelah timur pantai laut Tiongkok. Ketika ia bersama pendekar itu memasuki pulau yang dicarl, pemuda yang tadinya bernama Hek Houw (Macan Hitam) ini tersasar memasuki sebuah gua yang disebut gua siluman. Dan aneh sekali, sekeluarnya dari goa ini telah menjadt gila akan tetapi juga ia telah memiliki ilmu silat yang amat luar biasa. la telah menemukan ilmu kepandaian mujijat dan yang demikian hebat pengaruhnya sehingga otaknya menjadi miring ! Semenjak saat itu ia berlari pergi dari pendekar yang dianggap suhunya itu dan merantau ke seluruh penjuru daratan Tiongkok seperti seorang gila !

Yang hebat ialah bahwa ilmu kepandaiannya makin lama makin tinggi. la melatih lweekang dan bersamadhi. dalam keadaan jungkir balik dan melatih ilmu silat dengan cara yang aneh, jauh berbeda dengan Ilmu silat biasa, bahkan boleh dibilang segala gerakannya berlawanan dan terbalik daripada ilmu silat biasa ! Akan tetapi, Hek Sin mo tak pernah mempergunakan senjata, sungguhpun tiap kali senjata lawannya terampas olehnya ia dapat mainkan senjata apa saja dengan amat aneh seperti anehnya Ilmu pukulannya! Hek Sin-mo tidak pernah mencari musuh, namun di mana saja ia berada dan bertemu dengan orang pandai ia Selalu mengalahkan orang pandai itu. la pernab dalam perantauannya tersesat jalan sampai ke puncak Go-bi-san dan bertemu dengan lima tokoh Go-bi-pai yang berilmu tinggi. Melihat gerak - geriknya yang aneh, lima orang tokoh Go-bi pai itu mencobanya seorang demi seorang. Dan apakah akibatnya! Seorang demi seorang kelima tokoh Go bi-pai itu roboh oleh Hek Sin.mo ! Masih banyak sekali orang-orang pandai yang sudah memiliki ilmn silat tinggi, kena dikalahkan oleh Hek Sin-mo, dan satu hal yang mcmbuat nama Hek Sin-mo makin terkenal adalah bahwa tidak seorangpun diantara jago-jago yang dirobohkannya ini menderita luka berat atau binasa. Tentu saja hal ini amat menggemparkan kalangan kang ouw.

Sekalipun mereka yang dikalahkan tidak mau mengaku dan menyimpan rahasia kekalahannya terhadap seorang gila, namun lambat laun orang-orang mendengar juga.

Anak perempuan yang kecil itu adalah murid tunggalnya. Anak ini bernama Suma Eng dan selalu disebut Eng Eng oleh suhunya. anak yang mungil dan manis ini mempunyai riwayat yang amat menyedihkan. Ia kini telah menjadi seorang anak yatim piatu, tak berayah ibu lagi. Ibunya adalah putri seorang pembesar militer, yakni Suma Cian-bu dan ibunya bernama Suma Lilian. Sungguh amat mengharukan bahwa puteri pembesar ini telah menjadi korban dan dinodai oleh seorang pemuda ahli silat yang berwatak buruk yakni yang bernama Gak Bin Tong. Perbuatan terkutuk dari Gak Bin Tong ini menghancurkan kehidupan Suma Lilian karena putri perwira ini telah mengandung. Suma Lilian pergi merantau dengan hati hancur dan pikiran seperti gila ! Setelah anaknya lahir, yakni Suma Eng lahir dan anak itu dibawa pergi oleh seorang pendekar yang merasa kasihan melihat keadaan anak itu, Suma Lilian lalu merantau seperti orang gila untuk mencari dan

membalas dendam kepada Gak Bin Tong yang mencela-kakan hidupnya. Akhir dari perantauannya ini, Suma Lilian bertemu dengan seorang tua gila yakni Hek Sin mo !

Biarpun Hek Sin-mo seorang gila, namun ia masih memiliki pribudi dan merasa kasihan melihat Suma Lilian. Nyonya muda yang sengsara ini ia ambil murid dan diberi pclajaran Ilmu silat. Akhirnya, Suma Lilian bertemu juga dengan Gak Bin Tong dan berhasil membunuh manusia durjana ini, akan tetapi ia sendiripun menjadi korban dan tewas berbareng dengan orang yang mencelakakannya atau yang sesungguhnya adalah ayah daripada anak itu ! (semua peristiwa di atas dituturkan dalam buku Jl LlONG J1O CU).

Setelah Suma Lilian meninggal dunia, Hek Sin mo lalu mencari anak kecil yang ditinggalkan oleh muridnya itu, dan setelah bertemu Hek Sin mo lalu membawa pergi anak itu yakni Suma Eng, putri tunggal dari Suma Lilian dan Gak Bin Tong ! ( Inipun diceritakan dalam buku Ji LiONG JIO CU).

Demikianlah sedikit riwayat yang dipersingkat oleh karena riwayat ini telah dituturkan dalam buku Ji Liong Jio Co. Suma Eng atau selanjutnya kita sebut Eng Eng saja, semenjak kecil hidupnya di bawah asuhan Hek Sin-mo yang memang telah berobah pikirannya dan tidak waras otaknya. Memang harus dikasihani anak kecil ini karena wataknyapun menjadi aneh, Sungguhpun otaknya sehat. Ia tidak tahu tentang ayah ibunya, bahkan sedikitpun tidak terkandung dalam pikirannya untuk menanyakan hal ini kepada suhunya. Hal ini ada baiknya bagi anak itu sendiri, oleh karena andaikata ia bertanya juga, suhunya pasti takkan dapat menuturkannya dan hanya akan tertawa saja, seperti telah dituturkan di bagian depan, Eng Eng suka sekali bernyanyi dan tentu saja ia hanya bisa menyanyikan lagu lagu karangan suhunya yang gila ! Juga Eng Eng diberi pelajaran ilmu silat yang amat aneh, bahkan dilatih pula lweekang dan samadhi secara terbalik, dengan kaki di atas dan kepala di bawah. Kejadian yang telah dituturkan di bagian depan, ketika Eng Eng terluka oleh duri kembang, biarpun nampaknya hanya orang gila saja yang memaksa orang menyatakan tidak sakit padahal ibu jarinya terasa amat sakit dan perih namun sesungguhnya kegilaan ini mengandung pelajaran kcbatinan yang amat tinggi! Secara tak sadar, yaitu tanpa diberi penjelasan atau pelajaran tentang teorinya, anak kecil itu telah mendapat pelajaran bagaimana cara untuk menguasai pikiran dan perasaan. Bagaimana cara untuk memperkuat semangat dan batin sehingga jiwa dan batinnya tidak dipengaruhi oleh perasaan raga, sebaliknya dengan keteguhan iman dan batin, Eng Eng bahkan dapat mengalahkan perasaannya yang harus tunduk kcpada suara batinnya, Sungguhpun anggota tubuhnya terasa sakit namun berkat kemauan yang keras dan batin yang teguh rasa sakit itu dapat tunduk padanya dan tidak terasa sama sekali olehnya. Memang sungguh mengherankan betapa seorang anak sekecil itu, tanpa disadarinya dan dengan cara yang amat aneh, telah dapat menguasai dan memiliki ilmu tinggi yang hanya dapat dicapai dan dimiliki oleh seorang pertapa yang telah bertapa selama bertahun-tahun !

Hek Sin-mo sengaja memilih hutan yang liar dan sunyi itu karena dia memang tidak suka tinggal di tempat ramai. Di mana saja ia berada, selalu orang-orang, terutama anak-anak kecil yang tidak tahu siapa adanya kakek tua yang gila ini, mengganggunya seperti biasanya orang gila diganggu dan dipermainkan orang. Di tempat yang sunyi ini, dimana tidak ada lain manusia kecuali dia dan muridnya, ia boleh berbuat sekehendak hatinya, boleh menangis kalau ingin tertawa dan boleh tertawa kalau ingin menangis. Muridnya tak pernah metertawakannya, bahkan sering kali membantunya menangis atau tertawa !

Eng Eng mendapat latihan ilmu silat yang aneh, ilmu ginkang yang tinggi dan ilmu

lweekang yang lebih aneh lagi. Selain Ilmu silat, Eng Eng tidak mendapat pelajaran lain oleh karena Hek Sin.mo adalah seorang yang buta huruf, maka otomatis Eng Eng juga buta huruf, bahkan anak perempuan yang patut dikasihani ini sama sekali tidak tahu bahwa di dunia ini orang dapat mencatat dan menuliskan kata-kata yang keluar dari mulut ! Akan tetapi kekurangan ini ditutup oleh kecantikannya yang wajar dan murni, bakatnya dalam hal gerakan ilmu silat yang kadang-kadang membuat suhunya berlonjak-lonjak dan menari kegirangan, dan disamping itu sungguh mengherankan bahwa Eng Eng mempunyai bakat yang baik dalam hal melukis. Pernah anak ini secara iseng-iseng menggurat-guratkan jari telunjuk yang terlatih dan dengan tenaga dalam yang mengagumkan ia telah membuat coratcoret pada kulit sebatang pohon besar. Sambil tersenyum-senyum dan tertawa ha ha hi hi, Eng Eng mulai melukis wajah suhunya. Ia telah mengguratkan garis-garis tubuh suhunya dari kepala sampai kaki dan tak lama kemudian pada batang pohon besar itu berdiri gambar Hek Sin-mo yang bagus dan cocok sekali !

Karena adat suhunya yang aneh, Eng Eng bcrwatak jenaka itu seringkali menggodanya. Anak ini tidak tahu akan arti sopan santun, dan tidak tahu pula apa yang dinamakan perbuatan kurang ajar. Pernah ia mengganggu suhunya yang sedang tidur dan menggunakan sebatang rumput untuk mengilik-iliki hidung suhunya. Kakek ini dalam tidurnya merasa gatal gatal pada hidungnya, dan beberapa kali ia mengebutkan tangannya untuk mengusir benda yang menggatalkan hidungnya tanpa membuka matanya. Eng Eng menahan kegelian hatinya dan terus mempermainkan suhunya ! Akhirnya suhunya bangun dan menyumpah-nyumpah terus mengamuk pada lalat lalat yang dikira tadi mengganggunya. Kasihan binatang - binatang kecil itu karena tiap kali kakek itu mengebutkan tangannya yang lebar, lalat - lalat itu mampus dan hancur tubuhnya !

Kini setelah Eng Eng menggambar suhunya pada pohon besar itu, ia memandang gambarnya dengan puas dan tertawa-tawa senang. Tiba-tiba ia mendengar desir angin dan maklum bahwa suhunya datang. Cepat anak yang nakal ini bcrsembunyi di dalam semak belukar untuk melihat bagaimana sikap suhunya kalau melihat gambar itu. Benar saja, Hek Sin-mo muncul dengan langkahnya yang lebar , Pada waktu itu, senjakala telah tiba dan dalam keadaan yang hampir gelap, kakek ini melihat bayangan orang pada batang pohon besar itu ia nampak tercengang dan segera membentak.

"Ei. eh, orang gila dari mana berani lancang memasuki hutanku ?"

Akan tetapi tentu saja gambar itu tidak dapat menjawab, bahkan bergcrakpun tidak! Hek Sin-mo menjadi marah dan mcmbentak lagi.

"Orang gendeng! Kau siapa dan mengapa tidak menjawab? Hayo pergi dari sini!"

Tiba-tiba "orang" itu menjawab "Kalau aku tidak mau pergi, kau mau apakah ?" Suara ini terdengar aneh dan menyeramkan. Eng Eng yang bersembunyi di semak belukar yang berada di belakang pohon itulah yang menjawab. Gadis cilik yang telah mempunyai ilmu khikang tinggi ini telah mempergunakan tenaga perut untuk mengeluarkan suara yang besar dan parau, berbeda dengan suaranya sendiri dan dengan tenaga khikangnya ia telah dapat mengirimkan suaranya ke pohon itu!

Hek Sin-mo memandang dengan mata terbelalak. Orang tua ini karena tak dapat menjaga

kesehatan, biarpun ia berilmu tinggi, maka kedua matanya sudah kurang sempurna daya penglihatannya.

“Tidak mau pergi? Aku akan melemparmu keluar !" Dan ia lalu menyerbu dengan pukulan tangan kanannya ke arah bayangan itu. Pukulan Hek Sin – mo ini tak perlu mengenai tubuh. baru saja angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan orang yang sudah begitu tinggi ilmu kepandaiannya. Ia melihat betapa batang pohon itu bergoyang dan daun-daun rontok ke bawah, akan tetapi "orang" itu sama sekali tidak bergerak, seakanakan angin pukulannya itu hanya angin gunung yang sejuk saja!

Tentu saja hal ini membuat Hek Sin - mo melengak dan juga marah sekali. Ia tidak pernah mau membunuh orang dan dalam setiap pertempuran, kepandaiannya yang aneh sudah cukup tinggi untuk merobohkan lawan lanpa melukainya. Tadipun ketika ia mengerahkan pukulan, ia tidak berniat melukai "orang" itu dan hanya ingin menggunakan angin pukulannya untuk melemparkan orang itu agar menjadi takut dan pergi. Sama sekali tak pernah disangkanya betapa "orang” itu dapat menerima hawa pukulannya dengan tersenyumsenyum dan tidak bergoyang sedikitpun.

Sekali lagi ia memukul dengan tenaga lebih besar dan kini hasilnya hanyalah daun-daun yang jatuh seperti hujan menimpa di atas kepalanya. batang pohon itu bergoyang-goyang keras dan terdengar suara cekikikan seakan-akan mengejeknya! Kini Hek sin mo benarbenar kehabisan akal dan kemarahannya yang semenjak puluhan tahun sudah dapat menjadi jinak di dasar hatinya, kini timbul dengan hebatnya. Sepasang matanya liar memandang, mulutnya berbusa dan kedua tangannya menggerak-gerakkan jari tangan dengan sikap mengerikan sekali.

"Kau menantang dan mencari mati !" serunya dan berbareng dengan seruan ini, tubuhnya menubruk ke depan. kedua tangan ditumbukkan ke arah dada "orang" itu sekuat tenaga !

"Blek ._...! Kraak- !" Tentu saja ke-dua tangannya tidak mengenai "orang" itu dan hanya mcnghantam batang pohon besar yang menjadi tumbang setelah mengeluarkan suara hiruk pikuk !

Eng Eng yang bersembunyi di belakang po-hon itu, tentu saja menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa pohon itu tiba-tiba menjadi tumbang dan menimpa ke tempat ia bersembunyi ! Gadis cilik tiu cepat melompat keluar dari semak-semak dan hendak menjauhkan diri, akan tetapi pohon yang penuh dengan cabang besar-besar dan daun itu roboh dengan cepat dan biarpun Eng Eng sudah mengelak tetap saja ia masih kena terpukul oleh cabang dan ranting sehingga ia terpelanting ke tempat yang jauh ! Eng Eng memekik keras dan pekikan ini bukan karena pukulan cabang pohon, melainkan karena begitu ia jatuh di atas tanah, la merasa betapa betisnya amat panas dan sakit sekali. Ketika ia melihat, ternyata bahwa betisnya telah tergigit oleh seekor ular merah yang berbahaya ! Ia memekik lalu tak sadarkan diri lagi !

Sementara itu Hek Sin-mo yang masih berdiri bengong melihat betapa "orang" yang diserangnya itu ternyata menempel pada batang pohon, terkejut mendengar jeritan Eng Eng. Cepat ia melompat dan melihat muridnya menggeletak dengan betis masih tergigit

oleh seekor ular merah ia berseru marah sekali. Sekali injak saja hancur luluh tubuh ular itu beserta kepalanya. dan ia lalu menyambar tubuh muridnya dibawa keluar dari semak-semak.Dengan bingung Hek Sin mo meletakkan muridnya di dekat tempat di mana pohon tadi berdiri. Ia menggoyang-goyang tubuh muridnya dan memanggil-manggil namanya, akan tetapi Eng Eng tidak bergerak dan menyahut seperti "orang" di batang pohon tadi. Hek Sin – mo sudah lama tinggal di hutan ini ia melihat seekor harimau besar mati seketika ketika terkena gigitan ular merah. Kini melihat keadaan muridnya, hatinya menjadi gelisah dan sedih sekali. Akan tetapi, anehnya sungguhpun hatinya menangis, yang keluar dari mulutnya hanya suara ketawa bergelak - gelak yang menyeramkan dan dari kedua matanya keluar air mata berderai derai!

Ia melihat muka muridnya pucat sekali dan ketika merobek celana di bagian betis ternyata betis anak itu telah mengembang besar dan berwarna merah seperti darah. Bukan main marahnya Hek Sin-mo. Tiba-tiba ia berdiri lagi dan kembali ia menginjak-injak tubuh ular merah yang sudah hancur lebur. Kemudian ia membuka semak-semak dan mencaricari ular merah. Hendak dibunuhnya semua ular-ular merah yang berada di hutan itu. Kebetulan sekali ia melihat seekor ular merah yang merayap pergi ketakutan dari dalam semak. Cepat ia melangkah maju dan kembali ular itu harus mengalami nasib yang mengerikan, tubuhnya lumat dan hancur lebur oleh injakan kaki kakek gila ini.

Ketika Hek Sin-mo kembali ke tempat dekat pohon itu matanya tertarik oleh lubang yang berada di bawah pohon yang tumbang. Ternyata bahwa pohon itu tumbang dengan akarnya dan di bawab akar pohon terdapat lobang yang besar. Ia maju mendekat dan alangkah marahnya ketika ia melihat puluhan ekor ular merah berada di dalam lobang itu ! Tanpa memperdulikan bahaya lagi ia lalu mengulur tangannya dan mencengkeram puluhan ular merah kecil itu dan alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa ular-ular itu telah mati !

Ia membanting ular-ular itu dan mengeluarkan semua ular dari dalam lobang. Tak seekorpun ular merah yang masih hidup dan semuanya ada tiga puluh ekor lebih. ketika bangkai - bangkai ular itu sudah dikeluarkan semua, ia membelalakkan matanya melihat benda yang bersinar merah sekali berada di dasar lobang. Tanpa rasa takut sedikitpun, Hek Sin mo mengambil benda itu dan ternyata bahwa benda itu adalah sebatang pedang yang bersinar merah ! Pedang itu lemas, dapat digulung akan tetapi berkilauan dan tajam serta runcing sekali. Melihat pedang ini timbul sebuah pikiran dalam kepala Hek sin mo. Ia menghampiri muridnya dan dengan hati - hati ia lalu menusukkan ujung pedang pada betis Eng Eng yang mengembung itu. Maksud Iblis Sakti Hitam ini untuk membuka kulit betis dan mengeluarkan bisa ular. la tidak mengerti tentang ilmu pengobatan dan hanya mengira-ira saja, akan tetapi alangkah girangnya ketika baru saja batang pedang itu ditusukkan ke dalam betis, tiba-tiba ia melihat betis itu mengempis kembali ! Saking kaget dan herannya, ia tidak mencabut pedang itu dan membiarkan ujung pedang menancap pada betis Eng Eng! Perlahan akan tetapi tentu warna merah yang menyelimuti kulit tubuh gadis cilik itu melenyap dan mukanya yang pucat kini menjadi bercahaya kembali.

"Aduh aduh ...," bibir Eng Eng mulai menggetar dan mengeluh.

bukan main girangnya hati Hek Sin-mo dan tiba-tiba ia menangis keras. Menangis, lalu bangun berdiri dan menari-nari! Tentu saja orang gila ini tidak tahu bahwa pedang itu sebetulnya mengandung bisa yang menjadi lawan dari pada bisa ular. Ular-ular merah yang mati di dekat pedang itu menyatakan bahwa bisa pedang itu lebih lihai dari pada bisa ular dan ketika pedang itu menusuk betis Eng Eng maka otomatis bisa ular yang menguasainya menjadi lenyap dan tidak bahaya lagi !

Eng Eng bangun dan melihat ke arah betisnya. Ia merasa betisnya panas dan sakit akan tetapi cepat ia lalu berjungkir balik dengan mengerahkan tenaga mengusir rasa sakit itu. Sungguh lucu dan mengerikan melihat Hek Sin-mo menangis terisak-isak sambil menari-nari sedangkan Eng Eng masih berjungkir balik dengan pedang masih tertancap pada betisnya. Pengerahan tenaga lweekang yang dilakukannya sambil berjungkir balik ini ternyata dapat mendorong keluar darah berikut sisa-sisa bisa ular sehingga pedang yang bersinar merah itu menjadi lebih merah karena darah yang menyembur keluar dari betisnya !

Hek Sin mo menghampiri muridnya dan mencabut pedang itu.Ia membersihkan pedang itu dengan bajunya, kemudian sambil berjingkrak-jingkrak ia menciumi pedang itu.

"Ang coa kiam (Pedang Ular Merah) yang baik. Ang-coa kiam yang cantik manis.......”

karena ucapan ini dikeluarkan sambil menangis, maka ia terdengar seperti seorang pemuda yang merindukan kekasihnya. Sebenarnya kakek itu sedang menyatakan kegembiraan dan terima kasihnya kepada pedang itu.

Luka di betis Eng Eng menjadi sembuh dan pedang itu menjadi pedang kesayangan gadis kecil ini. Oleh karena ilmu silat yang ia pelajari dari suhunya bukanlah ilmu silat tangan yang dapat pula memainkan segala senjata, maka ia hanya sayang kepada pedang itu karena indahnya. Ia tidak mempelajari ilmu pedang yang khusus, akan tetapi bila Eng Eng sedang gembira dapat mainkan pedang itu dengan gerakan yang aneh dan cepat sekali. Gerakannya, seperti juga gerakan suhunya, kacau balau dan nampaknya tidak teratur, akan tetapi pada dasarnya kekuatan dan kecepatannya yang amat mengagumkan. Pedang di tangannya menjadi segulung sinar merah yang gerakannya aneh dan menyeleweng ke sana ke mari sukar sekali diikuti oleh pandangan mata.

Karena kesalahan seekor ular merah yang menggigit betis Eng Eng, guru dan murid ini amat benci kepada ular merah, dan ular merah di hutan itu hampir habis oleh pembasmian kedua orang ini. Di mana saja mereka melihat ular merah, tanpa ampun lagi binatang itu tentu mereka binasakan.

Demikianlah, di dalam hutan yang liar itu, tanpa diketahui oleh siapapun juga, Hek Sinmo melatih muridnya dan boleh dibilang ia menumpahkan seluruh kepandaiannya kepada murid ini. Sepuluh tahun kemudian, apabila mereka berlatih silat, Hek Sin-mo sudah terdesak hebat oleh muridnya dan ia hanya dapat mempertahankan diri sampai napasnya menjadi senin kemis karena makin tua makin lemahlah dia.

Kesukaan Hek Sin mo membunuh ular merah menjadi kebiasaan dan kesukaan yang berakar di dalam hatinya. Setelah agak sukar mencari ular merah di dalam hutan itu, kakek ini mulai mencari ular merah di hutan berikutnya! Dan kegemarannya yang aneh inilah yang menamatkan riwayatnya.

Pada suatu hari Eng Eng nampak gelisah oleh karena semenjak siang tadi ia tidak melihat suhunya. Hari telah mulai gelap dan gadis ini mulai mencari-cari suhunya sambil memanggil-manggil dengan suaranya yang nyaring. akhirnya ia mendapatkan suhunya menggeletak di depan sebuah goa yang gelap, dan di kanan kirinya menggeletak hampir seratus ekor ular merah dalam keadaan hancur dan putus-putus ! Ternyata bahwa tak disangka-sangka Hek Sin - mo menjumpai tempat sembunyi ular-ular merah yang menjadi musuh besarnya itu, yakni di dalam sebuah goa. Ular-ular yang belum terbunuh dan yang sisanya masih kurang lebih seratus ekor itu, pada lari mengungsi dan bersembunyi di dalam goa itu.

Ketika Hek Sin mo melihat seekor ular keluar dari goa itu, cepat ia menginjaknya sampai hancur. Dan tiba-tiba saja, banyak sekali ular merah menyerbu keluar dari goa itu. Melihat itu, Hek Sin - mo tidak menjadi takut, bahkan ia lalu lertawa bergelak dan mengamuk menghadapi serbuan ular ular merah ini. Betapapun lihainya, menghadapi hampir seratus ekor ular itu, akhirnya terkena beberapa kali gigitan ular merah. Berkat kekuatan dan kelihaiannya, ia tidak segera roboh dan masih mengamuk terus sehingga saking girang dan gembiranya ia memegang ular terakhir dan membunuhnya dengan..... menggigit kepala ular itu sampai remuk! Akan tetapi, bisa ular yang sudah mulai menyerang jantungnya, membuat ia roboh dan menggeletak tak bernyawa bersama ular terakhir yang masih digigitnya.

Melihat keadaan suhunya ini, Eng Eng memeluk dan menangis sedih. Ia memang tidak seperti suhunya. Kalau hatinya sedih biarpun beberapa kali telah dicobanya, ia tidak dapat tertawa dan selalu menangis! Kini ia menangis terisak-isak,ia tidak mengerti bahwa seorang manusia kalau sudah mati harus dikubur, dan hanya kekhawatirannya melihat mayat suhunya menjadi korban binatang buas saja yang membuat ia mengangkat tubuh suhunya dan meletakkannya di dalam gua. Ia masih belum tahu bahwa suhunya telah mati dan dikiranya sedang tidur atau pingsan saja. Maka tiap hari ia menjaga tubuh suhunya dan sepekan kemudian, setelah suhunya tidak juga bangun bahkan tubuhnya mulai membusuk menyiarkan bau yang amat tidak enak, barulah ia dapat menduga bahwa suhunya takkan bangun lagi ! Selama sepekan, Eng Eng tidak keluar dari goa, tidak makan,tidak tidur, hanya menjaga suhunya dengan setia dan hati berduka. Ketika matahari menerangi keadaan di dalam gua dan ia melihat tubuh suhunya membusuk dan hidungnya mencium bau yang amat memusingkan, ia tidak kuat menahan dan akhirnya Eng Eng rebah pingsan di dekat mayat suhunya!

Ketika ia siuman kembali, ia berjalan terhuyung-huyung keluar dari goa seperti seorang pemabok. Tubuhnya lemas, kepalanya pening dan seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit yang terdengar dari mulutnya hanyalah bisikan yang merupakan keluhan menyayat hati. "Suhu ..... suhu. ... suhu „..." Akhirnya kakinya memba wanya ke pinggir sebuah anak sungai dan melihat air yang jernih itu gadis ini lalu berlutut dan mencelupkan kepalanya kedalam air ! Sampai setengah hari lamanya ia duduk termenung di pinggir anak sungai, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia bingung, sedih, lapar, dan juga hawa mayat membuatnya pening sekali. Kemudian jalan pikirannya dapat ia pergunakan dan karena teringat akan keadaan binatang - binatang yang mati dan bangkainya berbau seperti bau mayat suhunya, ia dapat juga menduga bahwa suhunya tentu telah mati. Ia menangis lagi tersedu sedan dan bagaikan seorang gila ia lalu lari keluar dari hutan itu !

Segila-gilanya Hek Sin-mo, karena ia pernah hidup di dunia ramai dan tahu akan adat istiadat dan kesopanan, maka biarpun ia tidak memperdulikan pakaian sendiri, untuk muridnya ia selalu mencarikan pakaian yang bersih dan baik. Apalagi setelah Eng Eng menjadi dewasa dan melihat betapa cantiknya murid yang amat dikasihaninya itu, ia

meninggalkan hutan dan bagaikan seorang iblis ia memasuki rumah - rumah orang dusun yang kaya dan mencuri pakaian yang indah-indah. Oleh karena itulah maka Eng Eng selalu mengenakan pakaian yang cukup sopan dan indah.

Akan tetapi oleh karena Hek Sin-mo mencari pakaian tanpa melihat potongannya, diantara banyak pakaian itu terdapat pula pakaian laki-laki dan anehnya, Eng Eng juga tidak memperdulikan perbedaan potongan pakaian itu. Kadang-kadang gadis ini mengenakan pakaian wanita dan kadang-kadang mengenakan pakaian laki-laki. scorang gadis yang sementara tinggal di dalam hutan liar bersama kakek gila, tentu saja tidak tahu mana baju untuk wanita dan mana untuk laki laki. Jangankan tentang model pakaian terakhir, lebih baik jangan ditanyakan kepadanya! Ketika Eng Eng berlari keluar dari hutan dengan hati bingung dan berduka, ia kebetulan mengenakan pakaian laki-laki dan rambutnya tertutup oleh ikat kepala untuk laki-laki maka ia kelihatan seperti seorang pemuda yang amat tampan wajahnya. Gadis ini semenjak kecil tidak mengenal bedak atau yanci (pemerah pipi, bibir), maka kulit mukanya putih halus sewajarnya. Ia tidak membawa apa-apa melainkan pedang Ang coa-kiam yang dibelitkan pada pinggang karena pedang ini memang lemas sekali. Ketika dibawa oleh suhunya yang gila Eng Eng telah berusia enam tahun dan biarpun semenjak itu sampai dewasa ia selalu berada dalam hutan, jauh dari masyarakat ramai,akan tetapi ia masih ingat akan keadaan di dunia dan tahu bahwa selain dia dan suhunya, di dunia ini masih banyak manusia lain dengan rumah-rumah besar.

Memang pada waktu pertamakali ia bertemu dengan dusun semenjak turun gunung, ia merasa kagum dan terheran-heran. Juga ia merasa gembira sekali melihat orang-orang yang tinggal di dusun itu. Sebaliknya, semua orang yang dijumpainya di jalan juga memandangnya dengan heran dan kagum. Ia merupakan seorang pemuda yang tampan dan yang tersenyum pada setiap orang yang memandangnya, pemuda yang nampak tolol karena menengok ke kanan ke kiri memandangi rumah-rumah bagaikan seorang dusun yang bodoh masuk ke kantor besar!

Pada suatu hari, Eng Eng tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Telah beberapa kali ia pernah melihat sebuah rumah makan dl dalam dusun dan melihat betapa banyak orang makan di dalam rumah makan itu. Akan tetapi ia sendiri belum pernah makan di rumah makan dan selalu apabila merasa lapar ia makan seperti yang biasa ia lakukan dengan suhunya, yakni mencari buah - buahan di hutan atau menangkap kelinci lalu dipanggang dagingnya.

Kali ini, ketika ia memasuki dusun itu hidungnya mencium bau daging panggang yang amat sedap. Ia menghampiri rumah makan di pinggir dusun itu dan sampai lama berdiri di depan pintunya, menikmati bau sedap yang keluar dari dapur makan. Seorang pelayan yang melihat dia berdiri di depan pintu cepat menghampirinya. Seperti biasa, melihat orang yang pakaiannya cukup indah, pelayan itu berlaku ramah tamah dan manis budi.

"Silakan masuk, kongcu. Masih banyak bangku kosong. Silakan!"

Eng Eng belum pernah makan di rumah makan dan tidak tahu cara bagaimana memesan makanan, tidak tahu pula bahwa makanan yang dihidangkan di situ harus dibayar! Kini ada orang yang dengan manis mempersilakannya masuk, tentu saja ia mengangguk tersenyum dan mengikuti pelayan itu masuk ke dalam rumah makan. Gerakan tangan pelayan itu membuatnya mengerti bahwa la dipersilakan masuk, maka tanpa banyak sungkan lagi Eng Eng lalu mengambil tempat duduk di atas bangku. Seorang laki-laki muda yang berpakaian seperti piauwsu (pengantar barang ) kebetulan duduk di atas bangku itu. Tentu saja orang yang

sedang makan mi ini menjadi terheran melihat betapa seorang pemuda tampan tanpa permisi tahu-tahu menduduki bangku di mejanya dan memandangnya dengan mata jenaka !

Memang perbuatan Eng Eng yang tak disengaja ini amat aneh dalam pandangan orang itu. Ruang rumah makan itu masih kosong dan banyak meja dan bangku yang belum terisi tamu akan tetapi "pemuda" ini duduk di bangku di meja yang telah dipakai orang! Piauwsu muda itu mengira bahwa "pemuda" tampan ini hendak memperkenalkan diri kepadanya maka ia lalu mengangguk ramah yang dibalas oleh Eng Eng dengan anggukan kepala pula ! Piauwsu itu menanti sampai mengganggunya memperkenalkan diri akan tetapi pemuda tampan itu duduk tanpa membuka mulut, hanya tersenyum-senyum saja dengan tarikan mata yang manis dan lucu, "Sahabat," piauwsu itu menjadi tak sabar dan berkata, "aku adalah Ting Kwan Ek wakil kepala piauwkiok dari kota Han leng"

Eng Eng mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu menjawab, "Bagus, bagus kau tentu lapar sekali !”

Tentu saja Ting piauwsu menjadi melongo mendengar ucapan ini. Apakah ia salah dengar? "Maaf, sahabat," katanya, "apakah maksudmu?"

Eng Eng memandang ke arah mangkok mi-nya yang sudah hampir kosong lalu berkata lagi,”Kau tentu lapar sekali, makanmu amat gembul!”

Memang gadis ini sudah biasa makan berdua dengan suhunya dan ucapan seperti ini sudah biasa ia keluarkan kepada suhunya. Akan tetapi, ia menjadi tidak mengerti mengapa orang yang mengaku Ting Kwan Ek ini ketika mendengar kata - katanya menjadi merah mukanya dan terbatuk-batuk seakan-akan ada mi yang melintang dan mengganjal kerongkongannya !

"Kalau makan jangan terburu-buru, selain kau bisa tercekik karenanya juga makanan ini sukar menjadi hancur di dalam perut sehingga kau akan sukar buang air pula?" Eng Eng memberi nasehat yang seringkali ia dengar dari suhunya dulu.

Kini Ting Kwan Ek benar - benar menjadi melongo. la merasa marah, heran dan juga bingung. Gilakah pemuda ini? Tak mungkin, mukanya begitu terang dan sinar matanya lembut dan tajam, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa otaknya miring. Apakah pemuda ini sengaja hendak mempermainkannya? Akan tetapi hal ini meragukan pula, karena sikap pemuda tampan ini demikian sungguh-sungguh. Ah, barangkali dia seorang perampok tunggal yang tinggi kepandaiannya dan sengaja datang hendak mencari perkara !

Dalam pekerjaannya sebagai piauwsu, Tan Kwan Ek sudah seringkali bertemu dengan penjahat-penjahat yang berilmu tinggi dan berwatak aneh, maka kini tlmbul perkiraannya bahwa pemuda tampan Inl tentulah seorang dari golongan hek-to ( jalan hidup golongan penjahat) yang datang hendak mengganggunya. Ia bersikap hati-hati dan merasa bahwa lebih baik menjauhi permusuhan dengan orang ini. Ia berdiri dan berkata, 'Maaf sahabat, karena aku mengganggumu lebih baik aku pindah ke lain meja." Piauwsu ini lalu mengangkat rnangkok dan sumpitnya dan duduknya pindah ke lain bangku. Akan tetapi Eng Eng menganggap hal inl biasa saja, sama sekali tidak mau memperdulikan orang lain.

Hanya saja ia merasa kecewa mengapa orang itu tidak mau membagi makanannya dengan dia dan membawa pergi mangkok terisi mi itu !

Pelayan yang tadi menyambutnya lalu menghampirinya dan karena pemuda ini sejak tadi tidak memesan makanan ia Ialu berkata,”Kongcu, kau hendak makan apakah ?"

Eng Eng memandangnya dengan heran lalu bertanya, "Kau punya makanan apa?" Pelayan itu menyebutkan nama beberapa macam masakan sehingga Eng Eng menjadi bingung. Kemudian ia memutar tubuhnya dan sambil menuding ke arah mangkok mi di depan piauwsu tadi, ia berkata,"Aku ingin makan seperti yang dimakannya itu !'

Pelayan tersenyum geli dan piauwsu itu menjadi makin merah mukanya. Benar - benar orang muda yang tampan itu telah berlaku kurang ajar sekali dan benar - benar hendak mencari perkara dengan dia. la maklum bahwa orang ini tentulah seorang dari kalangan perampok yang sengaja hendak memperlihatkan sikap bermusuhan dengan dia. Sebagal seorang piauwsu ia mengerti bahwa dirinya tentulah dimusuhi oleh para perampok, dan tentu pemuda ini sedang memancing-mancing kemarahannya. Akan tetapi, Ting piauwsu biarpun usianya baru tiga puluh tahun, namun ia telah mempunyai banyak pengalaman. la pura-pura tidak mendengar omongan Eng Eng ini dan melanjutkan makan mi-nya, diselingi dengan meneguk cawan araknya.

Tak lama kemudian pelayan datang membawa semangkok mi. Karena Eng Eng sudah merasa amat lapar, maka cepat ia menyikat habis mi semangkok itu. Ting piauwsu memperhatikan cara Eng Eng makan dan hatinya berdebar. Mi yang dihidangkan itu masih amat panas, akan tetapi pemuda tampan ini dapat makan begitu saja tanpa merasakan panas dan mempergunakan sumpitnya juga istimewa. Orang Iain tentu akan mempergunakan sepasang sumpit untuk menjepit mi, akan tetapi pemuda tampan ini hanya rnemakai sebatang sumpit saja. Sumpit yang hanya sebatang ini digerakkan dengan cepat dan dengan dua kali putaran saja mi yang panjang-panjang itu telah membelit sumpit dan ketika sumpit diangkat, mi semangkok itu telah terangkat semua dari mangkok lalu dimakan seperti orang menggerogoti paha kelinci yang gemuk !

Melihat cara Eng Eng makan mi, makin yakinlah hati Ting piauwsu bahwa pemuda itu tentulah seorang penjahat yang kejam dan yang sengaja datang hendak mengganggunya. Sebagai seorang piauwsu, memang sudah sering kali ia bertempur melawan perampok perampok dan seringkali pula merobohkan para penjahat. Piauwkiok (perusahaan pengawal barang) yang dipegangnya, yakni Pek Eng Piauw-Kiok(Ekspedisi Garuda Putih) dari kota Hun-leng sudah amat terkenal sebagai sebuah perusahaan ekspedisi yang besar dan kuat. Bendera piauwkiok yang bersulam seekor burung garuda putih sudah merupakan bendera yang garang dan jarang sekali ada perampok berani mengganggu barang-barang yang dikirim apabila melihat bendera ini berkibar di kendaraan barang. Yang paling disegani oleh para penjahat, adalah ketua dan wakil ketua Pek Eng Piauw Kiok. Ketuanya adalah seorang ahli silat bernama Ouw Teng Sin yang menjadi suheng (kakak seperguruan) dari Ting Kwan Ek sendiri. Ouw piauwsu berjuluk Pek eng - to (Golok Garuda Putih) dan karena julukannya inilah maka perusahaan piauwkiok yang dipimpinnya memakal nama Pek Eng Piauwkiok. Sudah hampir dua puluh tahun Ouw-piauwsu mendirikan perusahaan di kota Hun.leng dan mendapat banyak kemajuan. Nama perusahannnya sudah amat terkenal dan mendapat kepercayaan besar. Apalagi setelah sepuluh tahun yang lalu ia dibantu oleh sutenya (adik seperguruannya) yakni Ting Kwan Ek yang kepandaiannya sudah hampir setingkat dengan kepandaian Ouw-piauwsu, maka perusahaan ini berjalan makin lancar. Selain pandai dalam hal ilmu silat, Ting piauwsu adalah seorang yang cerdik dan pandai mengurus perusahaan. Dengan bantuan Ting Kwan Ek, Ouw - piauwsu dapat duduk dengan enak

di rumahnya dan menyerahkan segala pekerjaan kepada adik seperguruannya itu.

Kini setelah dalam perjalanannya, Ting Kwan Ek berteme dengan Eng Eng, piauwsu yang cerdik dan baik hati ini lalu sengaja menjauhkan diri. Hal ini bukan karena ia berhati kecil dan penakut, akan tetapi oleh karena pada saat itu ia sedang melakukan tugas yang amat penting. Ia tidak mau mengacaukan tugasnya dengan melibatkan diri dalam pertempuran atau meladeni pancingan serta kehendak pemuda tampan yang nampaknya mencari perkara dengan dia itu. Tugas ini adalah tugas mengirimkan sebuah benda yang tak ternilai harganya dari kota raja ke Hun leng dan benda berharga itu kini telah tersimpan baik-baik di kantong bajunya sebelah dalam.

Ketika ia melihat Eng Eng sedang makan mi dengan enaknya dan begitu mi semangkok habis, lalu minta tambah semangkok lagi sambil berkata berkali kali, "Enak… enak…! Ting Kwan Ek tidak mau membuang waktu lagi. la menaruh sepotong uang perak di dekat mangkoknya yang sudah kosong. kemudian dengan tergesa - gesa ia bertindak keluar.

Eng Eng tanpa menengok dapat mendengar bahwa orang yang tadi duduk menjauhinya telah melangkah keluar, akan tetapi tanpa memperdulikannya ia menyerang mi dalam mangkok kedua dengan lahap dan nikmatnya. Tiba-tiba ia mendengar suara ribut - ribut di luar rumah makan. biarpun ia menjadi amat tertarik ketika suara rebut-ribut itu disusul oleh suara beradunya senjata, ia belum mau berdiri melihat sebelum mi dalam mangkoknya habis.

Ternyata bahwa ketika Ting piauwsu melangkah keluar dari rumah makan, tiba-tiba mendengar bentakan orang,

”Ting Kwan Ek, perlahan dulu jalan !"

Ting piauwsu cepat menengok dan ia amat terkejut ketika melihat bahwa yang menegurnya adalah seorang tosu (pendeta To) tua berjanggut hitam berdiri menghadang di depannya.

“Ban Yang Tojin !” hatinya berteriak, akan tetapi, saking kagetnya, mulutnya ikut pula berseru menyebut nama yang amat menyeramkan hatinya ini. Siapakah orangnya tidak menjadi gugup melihat Ban Yang Tojin, apalagi kalau orang itu membawa barang berharga seperti yang dibawa oleh Ting Kwan Ek.

Ban Yang Tojin adalah orang kedua dari tiga saudara seperguruan yang terkenal dengan sebutan Thian te Sam-kui (Tiga Setan Langit Bumi) dan telah menggemparkan kalangan kang-ouw karena selain mereka ini berkepandaian tinggi sekali, juga sepak terjang mereka amat ganas. Orang pertama adalah seorang hwesio(pendeta Budha) yang bernama Ban Im Hosiang, sedangkan orang ketiga adalah seorang laki laki setengah tua dan pesolek bernama Ban Hwa Yong. Biarpun ketiga orang saudara seperguruan ini terkenal sebagai tiga setan yang selalu saling membantu, namun mereka berlainan, baik melihat rupa, pakaian, maupun kesukaan masing-masing. Ban Im Hosiang adalah seorang hwesio gundul yang amat sakti dan kesukaannya adalah mendatangi to-koh-tokoh persilatan untuk menantang pibu (mengadu kepandaian) akan tetapi kemudian ia menjatuhkan tangan maut.

Sebagian besar orang yang sudah berpibu dengan dia, tentu akan tewas atau sedikitnya menjadi penderita cacat selama hidupnya!

Oleh karena itu, apabila ada seorang ahli silat yang mendengar akan kedatangan hwesio itu, lebih dulu ia telah pergi dan menjauhkan diri. Orang kedua adalah Ban Yang Tojin ini yang rnempunyai kesukaan untuk merampok. Akan tetapi ia bukanlah perampok biasa yang cukup merasa puas dengan hasil rampokan berupa benda benda berharga yang kecil seperti perhiasan-perhiasan, permata dan emas dan yang dijadikan korbannya selain adalah pembawa-pembawa benda yang amat besar harganya! Adapun Ban Hwa Yong adalah seorang berusia empat puluh tahun yang selalu berpakaian rapi dan indah, ia pesolek sekali dan kesukaannya mengganggu anak bini orang! Ia adaiah seorang penjahat pemetik bunga (jai hwa - cat) yang banyak dikutuk orang karena kekejamannya !

Ting Kwan Ek adalah seorang piauwsu yang sudah banyak merantau dan mengalami hal-hal yang berbahaya, akan tetapi kali ini ketika tahu-tahu ia berhadapan dengan Ban Yang Tojin, ia menjadi pucat juga. Kalau saja ia tidak sedang membawa patung Buddha dari emas yang disembunyikan di dalam saku baju dalamnya, tentu ia tidak akan merasa gelisah bertemu dengan Ban Yang Tojin. la telah mendengar bahwa tosu ini selamanya tidak mau rnengganggu orang, kecuali kalau ia sedang berusaha merampok orang itu ! Kini tosu jahat ini tahu-tahu muncul dan menegurnya pada saat ia membawa benda yang amat berharga itu maka tentu saja tosu ini telah tahu akan benda berharga yang dibawanya!

"Ban Yang Totiang !" la menekan rasa takutnya dan menjura sambil memberi hormat. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagiku telah bertemu dengan totiang di tempat ini.”

Tosu itu tersenyum dan senyumnya membuat Ting piauwsu merasa dingin pada belakang lehernya. Senyumnya itu merupakan senyum ejekan yang penuh arti.

“Ting piauwsu, apakah arti penghormatan besar? Hanya berarti dan berguna bagi sikepala angin, orang sombong yang tidak tahu bahwa dibalik penghormatan besar itu tersembunyi maksud-maksud tertentu ? Bagiku penghormatan besar tiada gunanya seperti angin lalu, hanya terasa selama penghormatannya masih berada di depan muka, memandang dengan sinar mata merendah, mulutnya memuji-muji. Palsu celaka! Aku tidak butuh penghormatan, baik yang sudah lalu, sekarang, maupun kelak. Tidak butuh, apalagi dari seorang seperti engkau yang mempergunakan penghormatan untuk menyembunyikan sesuatu. Ha, ha, ha !”

Ting Kwan Ek adaiah seorang gagah. Biarpun ia maklum bahwa tosu ini amat berbahaya, namun kata - katanya yang amat tajam itu menyakiti hatinya dan membuatnya mendongkol sekali. Namun ia masih menahan sabar dan bertanya dengan suara tetap halus, "Maaf, totiang, kalau kiranya aku melaku-kan sesuatu tanpa kusadari yang membuat totiang menjadi tersinggung. Akan tetapi, sepanjang ingatanku yang dangkal, kita belum pernah bertemu dan belum pernah berurusan. bolehkah aku mengetahui sebetulnya apakah yang totiang kehendaki dari orang seperti aku?'

"Yang ku hendaki? Ha, ha. ha, tak laku, tanggalkanlah penghormatanmu berikut disaku bajumu."

Biarpun ia sudah menduga bahwa tosu ini berniat buruk, akan tetapi pucat jugalah wajah Ting Kwan Ek ketika tosu itu menyatakan niatnya merampas benda berharga yang dibawanya dengan demikian terang-terangan. Ia bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan dan dengan hati-hati ia lalu melangkah mundur dua tindak sambil menjura dan berkata, "Totiang, sepanjang ingatanku baik aku sendiri maupun Pek - eng Piauwkiok, belum pernah menganggu kepadamu orang tua. Tentu totiang maklum bahwa aku bersedia memberikan semua barang yang menjadi milikku apabila totiang membutuhkannya, akan tetapi sebagai seorang piauwsu, tidak mungkin aku memberikan sesuatu yang bukan milikku. Harap saja totiang suka memandang nama piauwkiok kami dan menjaga tali persahabatan antara orang kang ouw."

"Tikus kecil, siapakah kau ini maka berani menyebut - nyebut tentang tali persahabatan dengan aku? Tak usah banyak membuka mulut, hayo lekas kau keluarkan isi sakumu sebelum aku menjadi tak sabar dan minta kau mengeluarken semua isi perutmu !"

'Ban Yang Totiang" jawab Ting Piauwsu marah. “Tak kusangka bahwa seorang pertapa seperti totiang dapat mengeluarkan ucapan serendah itu !”

'Bangsat rendah, kau perlu diberi pelajaran' ucap Ban Yang Tosu sambil mencabut keluar senjatanya, yakni sebatang baja runcing yang panjangnya tiga kaki dengan ujungnya berbentuk bintang.

“Ingin aku melihat pengajaran macam apa yang hendak kau berikan." kata Ting Kwan Ek tenang sambil mencabut keluar goloknya yang lebar. Seperti juga suhengnya Ting piauwsu adalah seorang ahli golok yang pandai dan permainan goloknya yang berdasarkan Pek eng to hwat (ilmu golok garuda Putih) amat terkenal kelihaiannya.

Dengan mengeluarkan tertawa mengejek, tiba-tiba Ban Yang Tosu lalu menyerang hebat dengan senjatanya yang aneh bentuknya itu. Gerakan serangannya selain cepat, juga berat sekali sehingga ketika Ting piauwsu menangkis dengan goloknya, piauwsu ini merasa betapa goloknya terpental dan telapak tangannya terasa pedas dan panas ! Kembali tosu itu tertawa mengejek dan senjatanya meluncur lagi, kini menyambar ke arah muka Ting piauwsu, mendatangkan angin dingin menyambar muka lawan. Ting Kwan Ek tidak mendapat kesempatan menangkis lagi, maka dengan cepat dan sambil mengeluarkan seruan terkejut, ia lalu membuang diri ke belakang menendangkan kaki kanan ke depan untuk menjaga serangan susuIan lalu mengayun tubuhnya itu ke belakang dengan gerak tipu Burung Walet Menyambar Ikan. Dengan gerakan ini ia berjungkir balik dan terus melompat ke belakang sehingga ia dapat terhindar dari bahaya maut.

"Ha, ha, ha Ting Kwan Ek, kau masih tidak mau meninggalkan patung Buddha Itu?” seru Ban Yang Tojin sambil melangkah maju.

"Aku takkan menyerah sebelum putus napasku !” kata Ting Kwan Ek dengan gagah dan piauwsu ini mendahului lawannya mengirim serangan dengan goloknya. la membuka serangan dengan gerak tipu pek-eng kai-peng (Garuda Putih membuka Sayap) sebuah tipu serangan dari ilmu golok Pek-eng to-hwat. Ketika tosu itu mengelak dengan mudah, Ting piauwsu

lalu menyusul dengan serangan bertubi-tubi yang dihadapi dengan tertawa bergelak oleh tosu yang lihai itu. Tiba-tiba Ting Kwan Ek menjadi terkejut ketika lawannya mempercepat gerakan senjatanya dan cepat ia terdesak hebat.

"Tidak kau serahkan patung itu?" tosu itu masih mengejeknya, akan tetapi Ting piauwsu tentu saja tidak mau mengalah. Patung itu adalah mllik seorang pembesar tinggi yang telah mempercayainya. Kalau ia mengalah dan memberikan benda itu kepada tosu perampok ini, tidak saja namanya dan nama Pek eng Piauwkiok akan tercemar, akan tetapi juga ia harus mempertanggung-jawabkannya di depan pembesar itu.

Maka, mendengar seruan Ban Yang Tojin ia tidak menjawab, hanya memutar goloknya lebih cepat lagi untuk melindungi tubuhnya dan juga untuk membalas dengan serangan nekad dan mati-matian. Terdengar Ban Yang Tojin tertawa panjang dan dibarengi dengao gerakan senjatanya yang llhai, la membentak.

"Lepas senjata!"

Dua senjata itu bertumbuk nyaring bunga berpijar dan tahu-tahu golok Ting piauwsu telah terlepas dari pegangan dan melayang ke atas!

Tiba-tiba nampak berkelebat bayangan yang ringan sekali gerakannya dan bayangan itu melompat ke atas dan dalam sekejap mata golok yang terlempar ke atas itu telah dipegangnya !

Bayangan ini bukan lain adalah Eng Eng yang semenjak tadl menonton pertempuran itu bersama pelayan yang tadi melayaninya.

Sambil tersenyum-senyum, Eng Eng memandang kepada Ting Kwan Ek dan berkata, "Hm, kau agaknya lebih pandai makan mi daripada mainkan golok! Menghadapi seekor kambing bandot tua berjenggot hitam seperti ini saja, kau sudah kepayahan !"

Ting Kwan Ek merasa sangat mendongkol mendengar ucapan ini, akan tetapi diam-diam iapun mengharapkan pertolongan pemuda tampan yang bersikap aneh ini. Juga ia merasa senang mendengar betapa pemuda ini memaki Ban Yang Tojin sebagai kambing bandot berjenggot hitam! Padahal sama sekali Eng Eng tidak berniat memaki atau membenci tosu itu. la tidak tahu mengapa kedua orang itu bertempur, hanya yang ia ketahui bahwa kepandaian Ting Kwan Ek masih jauh lebih rendah daripada kepandaian lawannya. Melihat per-mainan silat Ban Yang Tojin, tlmbul kegembiraan dalam hati Eng Eng untuk mencoba kepandaian tosu ini.

Sebaliknya, ketika melihat gerakan pemuda ini dan mendengar ia dimaki kambing bandot, tentu saja Ban Yang tojin merasa marah sekali,

“Eh, tikus kecil! Kenapa kau berani berlaku lancang mencampuri urusanku? Hayo lekas pergi sebelum aku menjadi marah dan menelanjangimu di depan orang banyak!" Sesungguhnya di antara binatang yang pernah dilihatnya di dalam hutan, Eng Eng memang paling takut dan benci terhadap binatang tikus. Ketakutan dan kebencian yang berdasarkan kejijikan. Maka kini mendengar ia dimaki tikus kecil, dan bahkan akan ditelanjangi pula, tentu saja senyumnya menghilang terganti oleh kemarahan yang membuat gadis yang manis Itu cemberut. Ia tidak tahu bahwa Ban Yan Tojin mengira ia seorang pemuda tulen, kalau tosu itu mengetahui bahwa pemuda ini sebenarnya seorang gadis, kiranya tidak akan mengeluarkan hinaan seperti itu.

"Kau ini monyet tua yang bermuka kambing ! Kau berani menghinaku. maka sebelum kau pergi, kau harus meninggalkan jenggotmu lebih dulu?" Sambil berkata demikian Eng Eng menggerakkan golok di tangannya ke arah muka Ban Yang Tojin. Angin menyambar dan tosu itu merasa betapa dinginnya sambaran angin golok itu. Ia terkejut sekali dan cepat mengelak, akan tetapi golok Itu menyambar sangat dekat sehingga terlambat sedikit saja jenggotnya akan benar-benar terbabat habis. Bukan main marahnya dan ia tahu pula bahwa pemuda yang nampak tampan dan lemah-lembut ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada Ting Kwan Ek.

"Bagus klranya kau sengaja membela orang she Ting itu ! Aku harus robohkan kau dulu dengan beberapa gebukan !” Katanya dan segera ia menyerang kalang kabut.

Akan tetapi tak lama kemudian tosu ini berseru kaget, juga Ting Kwan Ek berseru karena kagum dan heran. Dengan amat cepatnya Eng Eng bergerak melayani tosu itu akan tetapi gerakannya benar-benar kacau balau seperti gerakan orang yang tidak pandai silat. Bahkan goIoknya yang dipegang secara sembarangan itu digerakkan dengan ngawur saja, dan bukan hanya dipergunakan untuk menusuk dan membacok, akan tetapi juga untuk mengemplang dengan punggung golok. Hal ini tidak mengherankan, karena memang begitulah orang yang tidak pandai ilmu silat akan tetapi anehnya, biarpun gerakannya kacau balau setiap gerakan merupakan tangkisan, elakan ataupun serangan yang amat berbahaya! Biarpun Ban Yang Tojin sudah mengeIuarkan seluruh ketangkasan dan tenaganya, namun ia masih belum berhasil mendesak lawannya. Jangankan mendesak bahkan senjatanya itu belum dapat menyentuh ujung baju lawannya. Sebaliknya golok di tangan Eng Eng itu seakan-akan bermata dan selalu mengikuti jenggotnya ! Berkali-kali "pemuda” yang nakal itu berseru sambil tersenyum.

"Jenggotmu, jenggotmu! Tak pantas rnonyet berjenggot seperti kambing! Tinggalkan jenggotmu !"

Sebenarnya, ilmu silat yang dipelajari oleh Eng Eng dari suhunya, yaitu Hek Sin-mo yang gila, adalah semacam ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat yang amat tlnggi dan lihai sekali.

Setiap gerakan dari ilmu silat ini berkembang sesuai dengan gerakan lawan dan untuk setiap serangan maupun tangkisan lawan, selalu dengan otomatis menimbulkan gerakan pembalasan yang luar biasa sekali. Akan tetapi, dasar ilmu silat ini tertutup oleh gerakan luar yang benar-benar kacau balau dan gerakan kacau balau ini sesungguhnya tak pernah dipelajari oleh Eng Eng. Baik Hek sin mo maupun Eng Eng, membuat gerakan kacau balau dengan sengaja sesuai dengan watak mereka yang bebas, namun demiklan, di balik

gerakan kacau balau ini, keaslian ilmu silatnya sendiri masih tidak berobah dan tetap menjadi dasar gerakan yang amat kuat.

Kalau dibandingkan, sesungguhnya ilmu kepandaian Ban Yang Tojin tidak seharusnya kalah oleh Eng Eng yang masih muda dan belum mempunyai banyak pengalaman bertempur. Akan tetapi, tosu ini yang selamanya hi-dup belum pernah menghadapi seorang lawan yang memiliki ilmu silat seaneh itu, menjadi bingung dan pikiran serta ketenangannya dapat dlkacaukan oleh gerakan-gerakan Eng Eng. Selain itu, memang dalam mempelajari ilmu Iweekang, Eng Eng melatih diri dengan cara terbalik sehingga biarpun dibandingkan dengan Ban Yang Tojin ia masih kalah latihan, namun apabila senjata mereka beradu Ban Yang Tojin merasakan getaran yang amat luar biasa dan yang membuat tangannya tergetar! Semua ini ditambah lagi dengan ejekan yang diucapkan Eng Eng dan yang membuatnya makin tak dapat mengendalikan ketenangan-nya, maka kini ia berada dalam keadaan terdesak. Yang amat membuatnya mendongkol adalah golok di tangan lawannya itu benar-benar mengancam jenggotnya dan tentu saja hal ini berarti pula mengancam lehernya!

Setelah mendesak tosu itu sehingga mundur tiga empat langkah, tiba-tiba Eng Eng melakukan serangan yang luar biasa cepat dan kuatnya, sambil membentak, "Lepas jenggotmu!" Serangan ini benar-benar hebat sekali dan golok di tangannya berkelebat menyilaukan mata.

Ban Yang Tojin terkejut sekali. Ia menangkis dengan senjatanya, akan tetapi begitu senjata golok itu tertangkis, golok ini terpentlal miring dan masih terus melanjutkan tuju-annya ke arah jenggot dan tenggorokannya! Ban Yang Tojin tak keburu menangkis lagi dan cepat memutar tubuh mengelak akan tetapi terlambat.

"Bret!" Golok di tangan Eng Eng telah makan pundak kirinya, membuat kulit dan sedikit daging pundak yang terobek bersama dengan bajunya!

Ban Yang Tojin terbelalak kaget dan menahan sakit. la tidak saja merasa pundaknya sakit dan perih, akan tetapi juga merasa malu tercampur heran bagaimana seorang anak muda yang lemah lembut seperti itu dapat melukainya dalam pertempuran kurang dari tiga puluh jurus! Ia lebih merasa malu dari pada sakit, maka sambil melompat jauh ia berseru,"Ting piauwsu ! Lain kali aku akan datang lagi membayar kebaikanmu dan pembelamu ini !”

Eng Eng tertawa geli lalu menyerahkan golok yang masih berlepotan darah itu kepada pemiliknya. "Jangan terlalu banyak makan sebaliknya perbanyaklah latihan golokmu!" katanya kepada Ting Kwan Ek. Piauwsu itu kini tidak mendongkol atau marah mendengar ucapan Eng Eng yang berkali-kali seperti menghinanya itu. Ia sedang terheran-heran memikirkan siapa adanya pemuda yang aneh ini dan amat kagumlah ia menyaksikan kepandaian pemuda yang dapat mengalahkan Ban Yang Tojin secara demikian aneh dan mudah.

Ting Kwan Ek menjura dengan penuh hormat lalu berkata, "Taihiap telah menolong nyawaku dari bahaya maut dan kepandaian taihiap telah membuka mataku dan membuat hatiku merasa kagum sekali. Percayalah, taihiap pertolonganmu takkan mudah kulupakan begitu saja. Aku Ting Kwan Ek, dan juga semua anggauta Pek - eng Piauwkiok bukanlah orang - orang yang mudah melupakan kawan atau lawan. Mohon tanya nama taihiap agar dapat kucatat dalam kepalaku."

Ucapan ini sukar sekali dimengerti maksudnya oleh Eng Eng, akan tetapi ketika mendengar Ting piauwsu menanyakan namanya, ia tertawa dan mukanya berseri jenaka ketika ia meniru jawaban suhunya tentang namanya.

"Siapa aku dan siapa namaku? Aku adalah aku!" Ia lalu tertawa dengan bebas kemudian ia lalu bernyanyi perlahan sambil berjalan pergi. Tentu saja, Ting Kwan Ek menjadi bengong, demikianpun pelayan dan orang-orang lain yang berada di situ, apa lagi ketika Ting piauwsu mendengar nyanyian itu.

la mengerutkan keningnya. Gilakah pemuda ini ? ataukah sengaja mempermainkannya? Ia maklum bahwa memang banyak sekali terdapat orang - orang luar biasa dan sakti di dunia ini, orang-orang yang mempunyai watak yang amat aneh dan berbeda dengan manusia biasa, akan tetapi belum pernah ia menyaksikan atau bertemu dengan orang seaneh pemuda tampan ini ! Dengan penasaran ia lalu mengikuti pemuda yang pergi dengan langkah lambat itu sambil memperhatikan kata-kata yang dinyanyikan oleh Eng Eng.

Aku bukan dewata, bukan pula setan!

Akan tetapi baik dewata maupun setan

Takkan dapat menguasai aku.

Biar dewata berbisik, biar setan menggoda

Aku tak hendak patuh tak sudi tunduk.

Aku tertawa kalau ingin menangis

Menangis kalau ingin tertawa.

Siapa perduli! Aku adalah aku.

Bukan dewata Bukan pula setan!

Ting Kwan Ek terkejut sekali mendengar nyanyian ini. Kata - kata nyanyian ini

mengingatkan ia akan seorang tokoh yang amat ditakuti oleh orang di dunia Kang - ouw. la pernah mendengar suhengnya bercerita bahwa di dunia persilatan terdapat seorang aneh yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi dan luar biasa, juga beradat aneh dan dianggap berotak miring. Ia segera mempercepat langkah kakinya mengejar.

"Taihiap, tunggu dulu!" Ia berseru.

Eng Eng menoleh dan melihat betapa piauwsu itu mempercepat langkah mengejarnya, ia tertawa geli lalu berlari cepat! Ting piauwsu merasa gemas sekali melihat dirinya dipermainkan, ia lalu mengerahkan kepandaiannya berlari cepat. Akan tetapi Eng Eng juga mempercepat larinya sehingga jarak diantara mereka tak banyak berobah. Ting Kwan Ek merasa makin penasaran. Kalau dalam hal ilmu silat ia memang kalah jauh, akan tetapi apakah ia mau kalah juga dalam ilmu berlari cepat? Di dunia Kang ouw. ia telah mendapat julukan Hui ma (Kuda Terbang) karena ia memang telah mempelajari ilmu berlari cepat yang disebut Couw yang hui (Terbang di Atas Rumput) sehingga biarpun diadu balap dengan seekor kuda, belum tentu ia kalah. Akan tetapi sekarang, betapapun ia mengerahkan kepandaiannya, tetap saja ia tidak dapat mengejar pemuda tampan itu.

"Taihiap, sudahlah jangan mempermainkan aku lagi. Aku menerima kalah!" ia berseru sambil menahan napasnya yang terengah-engah.

Tiba - tiba terdengar Eng Eng tertawa dan ketika ia menggerakkan kedua kakinya tubuhnya mencelat ke atas dan berjungkir balik di udara, lalu melompat ke belakang dan berdiri di depan Ting Kwan Ek!

Piauwsu ini memang sejak tadi sudah merasa heran sekali melihat pemuda tampan ini. la menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda yang lemah lembut, bersuara merdu seperti wanita, akan tetapi yang bersikap aneh dan berkepandaian Iuar biasa tlngglnya Ini ? Kini melihat Eng Eng tersenyum-senyum di hadapannya dan bertanya, "Kenapa kau mengejar dan mengikutiku. Kau mau apakah sebetulnya?"

“Maaf taihiap. Sesungguhnya aku tidak mempunyai niat buruk. Kalau aku tidak salah sangka, taihiap tentu mempunyai hubungan dengan Hek Sin-mo orang tua yang luar biasa itu, bukan ?”

Sebetulnya Eng Eng tidak pernah tahu siapa nama suhunya, akan tetapi dulu suhunya pernah sambil tertawa-tawa berkata, "Ha, ha ha, orang - orang gila itu menyebutku Hek Sin mo ! Nama yang bagus. ha ha !"

Kini mendengar Ting piauwsu menyebut nama suhunya, ia melengak dan cepat menjawab, "Hek Sin-mo adalah suhuku !" SambiI berkata demikian, karena merasa panas Eng Eng lalu merenggut kain pengikat kepalanya dan menggunakan kain itu untuk meng-hapus peluh di mukanya. Kemudian ia memakai lagl pengikat kepalanya. Untnk sesaat Ting Kwan Ek memandang dengan kagum. Belum pernah ia melihat seorang pemuda yang mempunyai rambut sebagus itu.

Hitam panjang dan bagus sekali, seperti rambut seorang wanita.

"Dan bolehkah kiranya aku mengetahui nama taihiap ? Juga kalau taihiap sudi aku mempersilakan taihiap supaya suka menjadi tamu kehormatan Pek-eng Piauwkiok di Hunleng."

Eng Eng tidak mengerti apakah yang disebut piauwkiok dan mengapa orang ini menjadikan dia sebagai tamu kehormatan. Akan tetapi melihat wajah orang yang bersungguh-sungguh dan tidak mengandung bayangan jahat, ia merasa suka berkenalan dengan Ting piauwsu ini.

"Baik, baik ! Memang aku tidak mempunyai seorangpun kenalan di tempat ini."

Bukan main girangnya di dalam hati Ting Kwan Ek. Kini ia telah dapat menduga bahwa pemuda ini agaknya tidak waras otaknya, akan tetapi melihat ilmu silatnya yang sangat tinggi, maka kalau ia bisa menarik tenaga pemuda ini dipihaknya, ia boleh berhati lega.

la masih merasa ngeri akan ucapan Ban Yang Tojin yang mengancam hendak membalas dendam. Baru menghadapi Ban Yang Tojin seorang saja, ia tidak berdaya. la yakin bahwa Ban Yang Tojin akan datang bersama Ban Im Hosiang dan Ban Hwa Yong! Bagaimana ia bisa menghadapi Thian-te Sam-kui yang terkenal ganas dan lihai? Kepada siapa ia harus minta bantuan? Pemuda murid Hek Sin-mo ini sudah membuktikan kepandaiannya dan kalau saja ia bisa mendapat bantuan pemuda ini, alangkah baiknya!

"Kalau begitu, marilah kita berangkat, taihiap. Kota Hun - leng tidak berapa jauh lagi dari sini."

Demikianlah Eng Eng lalu mengikuti Ting Kwan Ek menuju ke Hun-leng. Sampai pada saat itu, Eng Eng belum memberitahukan namanya dan Ting piauwsu juga tidak berani mendesaknya, takut kalau kalau pemuda aneh ini menjadi marah dan membatalkan niatnya mengunjungi Hun-leng.

Pek eng-to Ouw Tang Sin si golok garuda putih adalah seorang berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Biarpun ia sudah termasuk golongan tua, namun melihat potongan tubuhnya yang kekar kuat dan mukanya yang gagah, ia masih nampak muda dan terhitung tampan menarik. Ouw Tang Sin yang kini lebih terkenal dengan sebutan Ouw piauwsu setelah mengepalal Pek eng Piauwkiok, sesungguhnya adalah seorang ahli silat yang mempunyai jiwa gagah dan budlman. Akan tetapi ia mempunyai cacat batin, yakni bersifat mata keranjang, lstrinya masih muda berusia dua puluh lima tahun dan cantik pula. Akan tetapi agaknya Ouw - piauwsu masih belum puas dan masih selalu main - main di Iuar sungguhpun ia tidak mau melakukan gangguan mengandaIkan kepandaiannya. Betapapun juga ia kini mempunyai banyak uang, wajahnya tampan, namanya terkenal. maka mudahlah baginya untuk mencari kekasih di luar. Hal ini rnembuat istrinya selalu menaruh hati cemburu.

Ouw Tang Sin tinggal di rumah yang besar dan di situ ia membuka kantor piauwkiok. Juga Ting Kwan Ek, sutenya, setelah bekerja membantunya lalu pindah bersama isteri dan dua orang anaknya di rumah itu pula, menempati bangunan sebelah kiri. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah Ting-piauwsu datang membantu, Ouw plauwsu menjadi malas dan jarang sekali menguruskan piauwkiok, cukup ia serahkan kepada sutenya saja. la Iebih senang pergi main-main dengan kawan-kawannya bermain judi atau mencari kekasih baru di lain kota !

Selain Ouw piauwsu dan Ting piauwsu berdua yang mengepalai perusahaan ekspedisi ini, disitu terdapat juga pembantu yang jum-lahnya sampai dua puluh orang. Barang-barang yang dipercayakan kepada Pek eng Piauwkiok amat banyak dan barang barang ini harus dikirimkan ke banyak tempat. Untuk mengirimkan barang-barang kecil yang begitu berharga, cukup dilakukan oleh para pembantu.

Serombongan diantar oleh sedikitnya lima orang piauwsu dan cukup ditancapi bendera garuda Putih tanda bahwa barang-barang itu dilindungi oleh Pek eng Piauwkiok. Untuk benda-benda kiriman yang berharga, maka barulah Ting piauwsu turun tangan sendiri untuk mengawal barang itu. Dua puluh orang pembantu ini boleh juga disebut murid-murid dari Ouw piauwsu karena biarpun ketika masuk bekerja di situ mereka telah memiliki kepandaian silat yang sudah diuji oleh Ouw piauwsu, namun mereka masih mendapat latihan - latihan ilmu golok Pek eng to yang Iihai ! Oleh karena pengaruh Pek eng Piauw-kiok masih besar dan namanya makin terkenal, maka sampai bertahun - tahun belum pernah kiriman barang yang mereka kawal itu diganggu oleh penjahat. Perampok - perampok akan berpikir masak-masak dahulu sebelum berani meraba kumis harimau, yakni sebelum mengganggu barang yang dilindungl oleh Pek-eng Piauwkiok.

Pada hari itu kebetulan Ouw Tang Sin berada di rumah. Ketika ia melihat Ting Kwan Ek datang bersama seorang pemuda yang tam-pan dan bermuka putih, ia merasa heran, lain bangun menyambut.

"Bagaimana, sute? Tidak ada gangguankah di jalan dan apakah patung itu sudah kau bawa dengan aman !" tanyanya tanpa mem-perdulikan Eng Eng karena disangkanya bahwa pemuda itu tentu seorang langganan saja.

"Aman ? Ah, suheng, hampir saja celaka. Jangankan patung itu, bahkan nyawaku sendiri hampir saja melayang dalam tangan Ban Yang Tojin."

Ouw Tang Sin menjadl pucat. "Apa ? Orang kedua dari Thian te Sam-kui itu turun tangan kepadamu? Dan bagaimana selanjutnya?"

Ting piauwsu lalu menggerakkan tangannya dan Eng Eng yang mendengarkan percakapan itu dengan sikap tidak mengacuhkan, "kalau tidak ada In-kong (tuan penolong) yang gagah perkasa ini tentu sutemu sekarang hanya tinggal nama saja dan nama besar Pek - eng Piauwkiok kita akan hancur!"

Baru sekarang Ouw Tang Sin menengok dan memandang kepada Eng Eng. Ia merasa heran dan masih belum mengerti akan maksud ucapan sutenya. Dengan cara bagaimanakah seorang pemuda lemah seperti ini menolong nyawa sutenya?

"Apa maksudmu, sute? Bagaimanakah kong-cu (tuan muda) ini dapat menolongmu?"

Ting piauwsu dapat mengerti mengapa suhengnya menjadi heran, dan dengan senyum bangga ia ber kata,”Tentu saja dengan mengalahkan Ban Yang Tojin!"

Kini benar-benar Ouw Tang Sin melongo.

"Apa? Ban Yang Tojin kalah dengannya..? Sute, jangan kau main – main!"

Ting piauwsu tertawa dan sambil menjura ia berkata kepada Eng Eng.

"Taihiap, perkenalkanlah. Inl adalab su-hengku yang bernama Ouw Tang Sin, kepala dari Pek-eng Piauwkiok. Dan suheng, kongcu ini adalab ...... " Sampai di sini Ting Kwan Ek nampak bingung karena sesungguhnya ia belum tahu siapa nama penolongnya yang muda ini!

Eng Eng tersenyum, mengangguk kepada Quw Tang Sin dan berkata,”Suhu menyebutku Eng Eng dan kalau tidak salah namaku adalah Suma Eng."

Tentu saja Ouw Tang Sin dan Ting Kwan Ek saling pandang dengan heran. Di mana ada orang memperkenalkan namanya dengan tambahan kata kata kalau tidak salah? Bagaimana orang bisa merasa ragu - ragu atas namanya sendirl? Dan pula, nama Eng Eng lebih patut dipergunakan oleh seorang wanita! Setelah untuk sejenak berdiri melenggong, akhirnya Ting piauwsu ingat masih saja berdiri berhadapan maka buru-buru ia lalu mempersilakan Eng Eng duduk.

Dengan tidak sabar Ouw Tang Sin lalu bertanya kepada sutenya tentang peristiwa yang terjadi. Ketika Ting piauwsu menceritakan betapa ia hampir terbunuh kemudian betapa Suma Eng mengalahkan Ban Yang Tojin, Ouw Tang Sin merasa sukar sekali untuk dapat percaya omongan adik seperguruannya.

Pada saat itu, muncullah dua orang wanita dan dua orang anak kecil. Mereka ini adalah nyonya Ting, nyonya Ouw, dan kedua orang anak dari Ting piauwsu. Nyonya Ting adalah seorang wanita yang berwajah sabar dan manis budi, nyonya Ouw juga berwajah cantik, akan tetapi dalam pandangan Eng Eng adalah seorang wanita muda yang cantik dan genit. Sepasang mata nyonya Ouw yang bening itu mengerling kepadanya dengan genitnya.

Sebagai seorang wanita, tentu saja Eng Eng lebih senang berkenalan dengan wanita pula, maka ketika ia diperkenalkan, ia lalu bangkit berdiri, menghampirl mereka dan ia lalu memegang tangan nyonya Ting dan nyonya Ouw sambil berkata,

"Cici, aku girang sekali dapat berkenalan dengan kalian!" Eng Eng masih ingat bahwa terhadap seorang wanita yang lebih tua, harus menyebut cici!

Bukan main kagetnya semua orang melihat perbuatan ini. Ting Kwan Ek, Ouw Tang Sin sampai melompat bangun dari tempat duduk mereka dengan mata terbelalak. Sedangkan kedua orang nyonya muda itu tersipu-sipu dan muka mereka menjadi merah sekali. Nyonya Ting memandang marah, akan tetapi nyonya Ouw memandang wajah yang tampan itu dengan senyum di bibir dan kembali kerling matanya menyambar ganas !

Akan tetapi Eng Eng tidak memperdulikan ini semua karena ia merasa tidak tahu akan perasaan hati mereka. Ia lalu melihat anak bungsu dari keluarga Ting, seorang anak perempuan berusia lima tahun. Sambil tersenyum Eng Eng lalu berjongkok, mencium anak ini dan menggendongnya dan menimang-nimangnya.

"Adik yang manis? Mari bermain-main dengan cici."

Empat orang yang tadinya melongo itu kini saling pandang dan meledaklah suara ketawa mereka. Eng Eng menjadi terheran dan cepat memandang, lalu bertanya "Eh.. eh, apakah yaug kalian ketawakan ?”

Nyonya Ting lalu memegang tangannya dan berkata, "Sesungguhnya, bukankah kau seorang perempuan ?"

"Eh, cici, kau ini aneh benar. Siapa bilang bahwa aku adalah seorang laki laki !"

Ting piauwsu memukul-mukul kepalanya sendiri sambil tertawa geli, lalu berkata, "Sungguh lucu dan sungguh bodoh aku ini. Mengapa mataku seperti buta, tidak tahu bahwa kau adalah seorang lihiap (pendekar wanita)? akan tetapi, mengapa kau diam saja dan tidak mau menyangkal ketika aku menyebutmu-taihiap? Ah, nona, kau benar-benar telah mempermainkan aku !"

"Siapa yang mempermainkan orang? Dan mengapa kau mengira bahwa aku seorang laki-laki?" tanya Eng Eng sambil menurunkan anak perempuan itu dari gendongan,

"Pakaianmu.. siapa yang mengira bahwa kau seorang wanita??"

'Mengapa pula pakaianku? Aku memang sudah seringkali mengenakan pakaian seperti ini," jawab Eng Eng.

Tiba tiba teringatlah Ting Kwan Ek bahwa gadis perkasa ini adalah murid dari Hek Sin-mo yang miring otaknya, maka kembali timbul dugaannya kalau - kalau gadis ini juga gila seperti gurunya! Ia berkata kepada suhengnya.

"Suheng, Suma lihiap ini adalah murid tunggal dari Hek Sin mo !”

Ouw piauwsu tercengang mendengar ini dan iapun timbul dugaan seperti yang dipikirkan oleh sutenya, Ting piauwsu tentu saja tidak mau menyatakan keinginannya mendapat bantuan dari Eng Eng di depan gadis itu, maka ia lalu berkata kepada istrinya.

"Suma lihiap tentu lelah, kau antarkanlah dia ke kamarnya, agar supaya dia bisa beristirahat." Diam-diam ia mengejapkan matanya kepada istrinya itu. Eng Eng tidak membantah karena ia Iebih senang bercakap-cakap dengan nyonya Ting yang nampak manis budi itu, sedangkan nyonya Ouw yang bernama Lo Kim Bwe itu semenjak tadi memandang dengan muka merah dan terheran-heran.

Setelah Eng Eng masuk ke dalam bersama Ting hujin ( Nyonya Ting ) OuW Tang Sin menghela napas dan berkata,

"Sute, sungguh sukar untuk percaya bahwa dia bisa mengalahkan Ban Yang Tojin. Dan dia seorang wanita pula!"

"Akupun heran sekali, suheng. baru sekarang aku tahu bahwa dia adalah seorang wanita! Sikapnya benar-benar aneh sekali, jangan-jangan dia........" Ting Kwan Ek lalu menunjuk ke arah keningnya sendiri.

"Gurunya terkenal sebagai seorang sakti yang berotak miring." kata Ouw piauwsu yang duduk kembali. Lo Kim Bwe lalu menyuruh pelayan mengeluarkan minuman untuk mereka berdua, kemudian nyonya muda yang cantik dan genit ini lalu masuk ke ruang dalam untuk ikut bercakap-cakap dengan tamu mereka yang aneh itu.

"Suheng. betapapun juga, dia benar benar berkepandaian tinggi." la lalu menceritakan tentang jalannya pertempuran antara Eng Eng dan Ban Yang Tojin sehingga Ouw piauwsu merasa makin terheran-heran.

"Celaka, kau telah menanam bibit permusuhan dengan Thian te Sam kui, bagaimana kalau mereka datang mengganggu kita ?"

"Akupun mengkhawatirkan haI ini, suheng. Oleh karena itulah maka aku rnembujuk murid Hek Sin-mo itu untuk suka datang ke sini. Agaknya dia tidak waras otaknya atau memang aneh adatnya. Kalau kita bisa mengikatnya disini kita boleh mempunyai pembantu yang boleh dipercaya."

Ouw Tang Sin mengangguk- angguk menyatakan setuju atas siasat sutenya itu, namun dengan perlahan ia berkata, "Aku masih ragu-ragu dan biarlah aku mencari kesempatan untuk menguji kepandaiannya. Dalam menghadapi Thian-te Sam kui, kita harus berhati-hati. Kau sudah tahu akan keganasan mereka, sute."

"Tentu, suheng. Akan kubujuk agar supaya Suma Eng suka melayani kau menguji kepandaian dan sementara itu lebih baik kita jangan menerima pengiriman barang barang berharga dan untuk sementara waktu, aku tidak akan pergi dari Hun • leng sehingga sewaktu - waktu datang bahaya, kita bisa menghadapinya bersama-sama."

Sementara itu, setelah berada di dalam kamar bersama nyonya Ting, Eng Eng lalu melepaskan ikat kepala dan buntalannya, kemudian atas permintaan nyonya Ting, ia menceritakan semua pengalamannya semenjak kecil dan hidup di dalam hutan bersama suhunya. Nyonya Ting yang baik hati merasa sangat terharu dan tahulah ia kini bahwa Eng Eng sama sekali bukannya berotak miring, akan tetapi adatnya yang aneh timbul oleh karena ia tidak mengetahui tata susila kehidupan masyarakat ramai.

la minta agar supaya Eng Eng berganti pakaian dan setelah buntalan dibuka, ia melihat bahwa di antara pakaian dara perkasa itu terdapat beberapa stel pakaian wanita yang cukup Indah, hasil curian Hek Sin-mo.

"Adik Eng Eng yang baik, sesungguhnya seorang wanita harus mengenakan pakaian wanita pula, karena pakaian yang kau pakai tadi adalah pakaian untuk laki laki. Kecuali kalau memang kau hendak menyamar agar memudahkan perantauanmu, tiada halangan kau mengenakan pakaian laki-laki.”

Sambil tertawa-tawa karena tidak mengerti betul Eng Eng lalu mengenakan pakaian wanita dibantu oleh Ting hujin yang baik hati dan ramah tamah. Setelah ia mengenakan pakaian itu, Ting hujin sendiri memandang kagum dan beberapa kali mengeluarkan ucapan memuji. Memang kecantikan yang dimiliki oleh Eng Eng adalah kecantikan yang wajar, kecantikan yang sama sekali tidak tersentuh Oleh bantuan Iuar berupa bedak ataupun yanci. Bahkan gadis ini tidak pernah menyisir rambutnya akan tetapi oleh karena selama tinggaI di dalam hutan ia selalu mandi dan mencuci rambutnya dengan semacam daun yang berbusa, rambutnya bersih, hitam dan halus. Kini nyonya Ting yang merasa kagum meIihat kecantikannya dan sayang melihat kemurnian dan ketulusannya, lalu menghias gadis itu seperti menghias seorang calon pengantin. Makin bertambah kemolekan Eng Eng dan ketika nyonya Ouw masuk ke dalam kamar kecantikan nyonya muda yang banyak dibantu oleh hiasan ini nampaknya muram dan tidak berarti! la berdiri dengan mata terbelalak heran dan kagum.

"aduh hampir aku tak dapat percaya bahwa pemuda tampan tadi kini telah menjadi seorang gadis cantik jelita" katanya. Sambil tersenyum-senyum ia menghampiri, Eng Eng merasa

tidak enak dan entah mengapa, ia tidak suka kepada nyonya muda yang berbe-dak tebal, bermata genit dan berbau harum menyolok di hidung karena memakai wangi-wangian ini.

Demikianlah, semenjak hari itu Eng Eng menjadi murid nyonya Ting, menerima pelajaran tentang tatasusila dan kesopanan seorang wanita. Baru sekarang terbuka matanya terhadap kehidupan manusia di dunia ramai. Karena menganggap bahwa Eng Eng sudah cukup dewasa untuk mempelajari kesopanan dan batas persoalan laki-laki dan wanita. Nyonya Ting lalu memberi keterangan tentang segala macam hal itu. Berbeda dengan nyonya Ouw yang pandai ilmu silat, Nyonya Ting ini adalah seorang terpelajar dan dengan halus ia memberi pelajaran kepada Eng Eng tentang prikemanusiaan dan sopan-santun. Bahkan ia hendak memberi pelajaran ilmu membaca kepada Eng Eng akan tetapi Eng Eng tidak suka dan tidak sabar mempelajarinya.

Eng Eng merasa suka tinggal di samping nyonya Ting yang manis budi. Ia duka pula kepada kedua anak kecil putera dan puteri Ting - piauwsu dan memberi pelajaran dasar-dasar ilmu silat kepada mereka. Perhubungannya terhadap Ting piauwsu dan Ouw piauwsu tetap baik dan terbuka. Biarpun ia kini telah mendengar dari nyonya Ting tentang kekurangajaran laki-laki terhadap wanita, namun kebe-basannya masih belum dapat dikekang dan ia bergaul dengan kedua orang kepala piauwkiok dengan ramah dan terbuka. la tidak merasa sungkan untuk makan bersama-sama mereka, untuk duduk mengobrol sampai jauh malam!

Tentu saja kecantikan gadis ini dan keramahan serta kejenakaannya memabokkan kepala Ouw-piauwsu yang terkenal mata keranjang! Hatinya berdebar-debar keras apabila ia bercakap-cakap dengan Eng Eng dan gadis ini mengobral senyumnya yang manis, sungguhpun senyum itu bersih dan jujur.

Kalau dulu nyonya Ouw, yakni Lo Kim Bwe tergila gila kepada Eng Eng ketika dara pendekar ini datang sebagai seorang pemuda, kini rasa cintanya ini berobah kebencian yang hebat berdasarkan cemburu terhadap Eng Eng yang ramah tamah dan manis budi terhadap laki-laki yang manapun, juga membuat hati Lo Kim Bwe menjadi panas dan ia menyangka bahwa suaminya bermain gila dengan Eng Eng! Kim Bwe adalah puteri seorang perampok besar. Lima tahun yang lalu ketika Ouw Tang Sin sedang mengantarkan barang berharga ke kota raja, di tengah hutan ia di-ganggu oleh kawanan perampok yang dikepalai oleh Lo Beng Tat, perampok yang telah terkenal karena ilmu silatnya yang tinggi. Lo Beng Tat mempunyai banyak sekali anak buah sedikitnya ada lima puluh orang perampok yang menjadi kaki tangannya.

Ouw Tang Sin tentu saja tidak mau menyerah dan dibantu oleh anak buahnya, ia melakukan perlawanan hebat sehingga banyak sekali perampok yang tewas oleh amukannya. Akan tetapi ia harus menyerah karena tidak saja kepala perampok she Lo itu tangguh sekali, juga ia dikeroyok oleh banyak orang. Enam orang kawannya tewas dalam pertempuran itu dan ia sendiri kena ditawan oleh Lo Beng Tat.

Lo Beng Tat merasa kagum melihat kegagahan Ouw piauwsu. Perampok ini mempunyai dua orang anak, yakni yang sulung seorang laki-laki bernama Lo Houw yang me-miliki kegagahan seperti ayahnya. Anak kedua yang bungsu, bernama Lo Kim Bwe yang cantik jelita dan juga pandai ilmu silat pula. melihat kegagahan Ouw piauwsu timbul niatan untuk mengambil mantu piauwsu ini.

Dengan perantaraan seorang perampok tua kepala rampok itu menyampaikan kehendaknya kepada Ouw Tang Sin. Tentu saja Ouw piauwsu tidak sudi menerima "pinangan" ini. Ia memang belum menikah sungguhpun usianya telah tiga puluh tahun lebih, akan tetapi siapa mau dipunggut mantu seorang kepala rampok ? Dan pula, seorang perampok yang hidup seperti orang liar di dalam hutan mana bisa mempunyai seorang anak gadis yang patut dan cantik?

Akan tetapi, ketika ia melihat Kim Bwe, puteri kepala rampok itu, ia menjadi melongo! Gadis yang berusia dua puluh tahun itu benar-benar cantik jelita seperti puteri bangsawan, matanya kocak dan pinggangnya ramping. Ditambah oleh gaya Kim Bwe yang memang genit menarik, hati Ouw piauwsu yang mata keranjang ini dengan mudah jatuh terpikat. Akhirnya ia menerima juga dan dikawinkanlah mereka di dalam hutan itu ! Tak lama kemudian, Ouw piauwsu lalu mengajak istrinya pulang ke Hun-leng dan melanjutkan pekerjaannya.

Dua bulan kemudian semenjak Eng Eng tinggal di rumah Pek-eng Piauwkiok, Baik Ouwpiauwsu maupun Ting piauwsu selama dua bulan itu tidak berani meninggalkan rumah, takut kalau datang gangguan dari Ban Yang Tojin dan kawan – kawannya. Antaran barang-barang dilakukan oleh anak buah mereka saja.

Pada suatu bari, Ouw piauwsu dan Ting piauwsu bercakap - cakap dengan Eng Eng yang kini mengenakan pakaian wanita yang ringkas dan mencetak tubuhnya sehingga tidak saja ia nampak manis molek, akan tetapi juga nampak gagah sekali.

"Suma lihiap, kau tentu sudah maklum bahwa keadaan kami dan perusahaan kami berada dalambahaya dan ancaman. Ban Yang Tojin yang dulu pernah kau kalahkan." kata Ting Kwan Ek kepada Eng Eng.

"Ting twako, mengapa orang macam Ban Yang Tojin saja harus ditakuti ? Kalau dia memang penasaran, biarkan ia datang ke sini untuk mencari penyakit !" jawab Eng Eng. Memang, atas permintaan Ting hujin, Eng Eng selanjutnya menyebut twako (kakak) kepada Tingpiauwsu. Akan tetapi kepada Ouw Tang Sin ia tidak mau menyebut kakak, dan bahkan menyebut "Ouw piauwsu" saja ! Entah mengapa mungkin perasaan wanitanya yang halus, sungguh ia sendiri tidak tahu mengapa ia merasa kurang suka kepada Ouw Tang Sin dan isterinya. Namun, ia selalu ingat akan pelajaran yang diterimanya dari Ting hujin bahwa seorang wanita harus dapat menyimpan perasaan hatinya dan jangan memperlihatkan apa yang dipikir dan dirasainya kepada orang lain. Oleh karena ini ia dapat menekan perasaan tidak sukanya dan bersikap biasa terhadap Ouw Piauwsu dan nyonyanya.

“Nona, kau tidak tahu .' kata Ouw Tang Sin mendengar gadis itu memandang rendah Ban Yang Tin. 'Ban Yang Tojin hanyalah orang kedua dari tiga iblis yang terkenal dengan nama Thian-te Sam-kui. Kita telah menyakiti hati Ban Yang Tojin dan aku merasa kuatir kalau-kalau Ban Yang Tojin akan datang mengganggu kita bersama dua orang saudaranya yang lebih lihai lagi, yaitu Ban Im Hosiang dan Ban Hwa Yong. Kalau sampai mereka bertiga datang, mereka ini sama sekaIi tidak boleh dipandang rendah !"

"suma lihiap,” Ting piauwsu menyambung, "Sesungguhnya kami merasa amat bersyukur dengan

adanya kau di sini, karena dengan kepandaianmu kami merasa aman dan mengandalkan bantuanmu yang amat berharga untuk menghadapi iblis iblis jahat itu. Aku sendiri telah menyaksikan kepandaianmu, akan tetapi suheng belum pernah menyaksikannya. Maka, apabila kau tidak berkeberatan, marilah kau layani suheng main-main sebentar agar pengetahuan kami yang rendah mendapat tambahan dan kita dapat mengukur pula sampai dimana kekuatan kita untuk menghadapi mereka."

Seandainya dua bulan yang lalu, Ting Kwan Ek bicara seperti ini mungkin Eng Eng tidak akan mengerti betul maksudnya akan tetapi Eng Eng telah mendapat keterangan yang jelas setiap harinya oleh nyonya Ting tentang keadaan di dunia ramai dan ditambah oleh kecerdikannya, maka tahulah dia bahwa orang she Ouw itu masih belum percaya kepadanya. Ia tersenyum dan bangkit berdiri, lalu berkata, "Baiklah akupun ingin sekali menyaksikan kehebatan Pek eng to hwat seperti yang pernah kudengar dari cici !" Ia selalu menyebut Ting hujin dengan panggilan cici atau kakak perempuan.

Ouw Tang Sin tersenyum puas, dan ia memang sudah bersiap untuk melakukan pibu ini. Pakaian yang dipakainya ringkas dan pendek sedangkan goloknya memang selama ini tak pernah berpisah dari pinggangnya dalam persiapannya menjaga datangnya musuh tangguh. Ia lalu melompat berdiri di tengah lapangan lian bu thia (ruang belajar silat) yang berada di tengah ruangan besar itu sambil mencabut goloknya.

"Bagus, nona. Silakan kau maju memperbaiki sedikit kepandaian!"

Pada saat itu, Lo Kim Bwe muncul dari pintu dalam dan nyonya muda yang juga pandai silat ini lalu menonton dengan hati tertarik. Lo Kim Bwe sendiri memlliki ilmu silat siang-to (sepasang golok) yang cukup lihai, maka kini melihat suaminya hendak mengadu kepandaian dengan nona Suma Eng yang diam-diam dibenci dan dlcemburuinya, ia memperhatikan dengan mata tajam. Seperti juga suaminya, nyonya yang pandai ilmu silat inipun telah bersiap untuk menjaga kedatangan musuh-musuh yang tangguh. Bahkan ia telah memberi kabar kepada ayah dan kakaknya untuk datang melakukan penjagaan.

Eng Eng menghampiri Ouw Tang Sin yang sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya, sepasang kaki, dipentang teguh dan goloknya melintang di depan dada. Dengan secara sembarangan saja Eng Eng lalu berdiri dekat dengan piauwsu itu, lalu berkata,"Nah, kau maju dan seranglah, Ouw piauwsu, Masih menanti apalagi ?"

"Mana senjatamu, nona? Keluarkanlah senjatamu agar mataku terbuka dan menyaksikan kelihaianmu."

"Aku tidak biasa menggunakan senjata kalau tidak terpaksa, demikianlah pesan suhuku. Hayo kau seranglah, kalau kiranya aku tidak tahan menghadapi golokmu, tanpa kau minta aku akan mengeluarkan senjata."

Diam-diam Ouw Tang Sin merasa mendongkol juga karena ucapan ini bersifat memandangnya rendah sekali. la lalu majukan kakinya dan menggerakkan tangan kirinya, kemudian berseru,"Nona, awas golok !" berbareng dengan ucapannya ini, ia menyerang dengan

goloknya, menggunakan gerak tipu Pek eng-tho sim (garuda Putih Mencuri Hati).

Dengan gerakan yang cepat sekali goloknya berkelebat menyambar ke arah dada Eng Eng yang masih berdiri dengan tenang, seakan-akan tidak memperdulikan berkelebatnya golok yang menyilaukan mata. Melihat betapa Eng Eng sama sekali tidak mengelak sedangkan goloknya sudah mendekati dada, Ouw-piauwsu menjadi terkejut sekali dan cepat ia menahan serangannya. Orang yang dapat menahan gerakan golok yang cepat itu secara tiba-tiba sudah menunjukkan bahwa ilmu silatnya cukup baik dan tenaganya sudah sempurna, karena ia dapat menguasai tenaga dalam goloknya. Tentu saja Ouw piauwsu tidak tega untuk melukai dada nona cantik yang menarik hatinya itu.

“Eh, nona, mengapa kau tidak mengelak?” tanyanya heran sambil menahan serangannya.

Suma Eng tersenyum mengejek, “Mengapa harus mengelak? Golokmu masih jauh dan tidak dielak juga ternyata kau tarik kembali. Mengapa aku harus bersusah payah mengelak?”

“Kalau diteruskan bukankah kau akan terluka berat?” tanya pula Ouw piauwsu dengan mendongkol juga, merasa dipermainkan.

“Kalau kau teruskan seranganmu, tak usah kau suruh tentu akan kuhindarkan bahaya itu.”

“Kau tabah sekali, nona. Nah awaslah seranganku ini !”

Kini Ouw Tang Sin tidak berlaku sungkan lagi dan ia mulai menyerang dengan gerak tipu Garuda Putih Menyambar Air. Goloknya mula-mula diangkat ke atas dan agaknya hendak membabat pinggang akan tetapi tiba- tiba goloknya meluncur ke bawah dan membabat pergelangan kaKi orang ! Eng Eng seperti juga tadi, berdiri dengan sembarangan saja dan ketika golok itu hampir membabat kakinya ia tidak melompat, melainkan mengangkat kaki kirinya dan memapaki golok itu dari atas ! Memang luar biasa sekali cara menyambut golok dengan kaki ini. Dengan gerakan yang melebihi cepatnya sambaran golok; kaki yang diangkatnya ini menginjak dengan tiba-tiba dan kalau sambaran golok dilanjutkan golok itu tentu akan kena diinjak-injak sebelum mengenai sasaran.

Ouw Tang Sin terkejut dan juga heran. Tentu saja ia tidak mau membiarkan goloknya terinjak, karena hal ini berarti merupakan penghinaan baginya. Ia menarik kembali goloknya dan ia membacok bertubi - tubi sambil mengeluarkan gerak tipu Garuda Putih Bermain di Awan, sebuah cabang dari ilmu golok Pek-eng-to-hwat yang lihai. Goloknya menyambar-nyambar dengan cepat sekali, berobah menjadi seguluug sinar putih yang lebar dan mendatangkan angin membuat rambut Eng Eng berkibar-kibar. Diam-diam Eng Eng memuji dan maklum bahwa ilmu kepandaian Ouw piauwsu masih lebih tinggi setingkat dari pada ilmu silat Ting Kwan Ek.

Akan tetapi hasil serangan - serangan dari Ouw Tang Sin, ini tidak ada sama sekali bahkan akibatnya membuat Ting Kwan Ek dan juga Lo Kim Bwe menjadi bengong saking

herannya. Mereka hanya melihat tubuh Eng Eng bergerak dengan aneh seperti orang menarinari melenggok ke kanan kiri, kadang- kadang melompat atau menyampok dengan tangannya. Akan tetapi biarpun gerakan tubuh ini nampak aneh dan tidak teratur sama sekali, namun sedikitpun golok di tangan Ouw piauwsu tak pernah mengenai sasaran. Beberapa kali punggung golok itu terkena sampokan tangan Eng Eng dan Ouw piauwsu merasa betapa tangannya tergetar secara aneh !

Sebetulnya Eng Eng sedang menghadapi Ouw Tang Sin dengan ilmu silat tangan kosong yang disebut Kwan-im jip-pek-to (Dewi Kwan Im Menyambut atau Masuk Dalam Ratusan Golok) dan mempergunakan ginkang yang sudah sempurna itu untuk menghindarkan diri dari sambaran golok. Akan tetapi oleh karena ilmu silat ini hanya sebagai dasarnya saja, sedangkan gerakannya dilakukan dengan bebas, maka nampaknya tidak karuan dan membingungkan lawan.

Betapapun juga, tidak mudah bagi Eng Eng untuk membalas dengan serangannya. Gerakan golok lawan benar-benar cepat dan bertubi-tubi sehingga ia hanya dapat mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mengelak dan menjaga diri saja. Ouw Tang Sin adalah seorang ahli silat kawakan yang sudah banyak mengalami pertempuran-pertempuran besar dan ilmu silat serta tenaganya termasuk tingkat tinggi. Sampai lima puluh jurus lebih Ouw Tang Sin menyerang, namun sedikit juga belum pernah dapat menyerempet ujung baju dara perkasa itu! Diam-diam Ouw Tang Sin terkejut dan tunduk betul. Kini ia tidak ragu-ragu lagi dan mulai percaya akan penuturan sutenya. Siapakah orangnya yang dapat menghadapi goloknya dengan tangan kosong sampai lima puluh jurus tanpa terdesak sama sekali! Ia mengalami hal yang aneh dalam pertempuran menghadapi Eng Eng ini. Sebagian besar dari serangannya gagal di tengah jalan, bahkan gagal sebelum serangan itu dilancarkan. Beberapa kali, baru saja goloknya hendak digerakkan untuk menyerang, agaknya nona itu sudah maklum dan, dapat menduga sehingga selalu mendahuluinya dengan pemasangan kaki atau tangan ke arah jalan darah pada nadi tangannya yang memegang golok. Dangan demikian, apabila serangan ia teruskan, sebelum goloknya mengenai tubuh lawan, terlebih dulu nadinya akan terkena tiamhwat (ilmu totokan) gadis yang. sangat lihai itu.

Eng Eng merasa gemas juga melihat betapa Ouw piauwsu belum juga mau mengaku kalah. Menurut patut, setelah dilawan dengan tangan kosong sampai lima puluh jurus tanpa bisa mendapat kemenangan, piauwsu itu sudah harus mengaku kalah. Agaknya orang ini perlu diberi bukti, katanya dalam hati.

Memang Ouw Tang Sin belum merasa puas dan pula ia telah “jatuh hati” terhadap gadis cantik jelita yang pandai sekali ini. Berpibu melawan Eng Eng dianggapnya sebagai suatu kesempatan yang baik sekali untuk berdekatan dengan gadis itu. Selain demikian, iapun hendak mendesak gadis itu sekuatnya agar supaya gadis ini memperlihatkan kepandaiannya yang terlihai, karena dengan jalan ini akan lebih tebal kepercayaannya untuk mengandalkan bantuan Eng Eng menghadapi Thian - te Sam- kui yang tangguh.

Demikianlah dengan membuta dengan kenyataan bahwa gadis itu berlaku murah dan mengalah terhadapnya. Ouw Tang Sin memutar goloknya makin cepat lagi, mengeluarkan gerak tipu simpanan dari ilmu golok Pek-eng-to-hwat, Tiba-tiba ia merasa terkejut dan silau matanya karena entah dengan gerakan bagaimana, tahu-tahu gadis itu telah memegang sebatang pedang yang ketika digerakkan mengeluarkan sinar yang menyilaukan mata ! Ketika melihat sinar pedang bergulung mengarah lehernya, Ouw Tang Sin cepat menangkis dengan goloknya, akan tetapi bagaikan mempunyai mata, pedang itu dapat mengelak dari benturan dan kini menerobos ke bawah hendak menusuk perutnya ! Ouw Tang Sin terkejut sekali karena gerakan serangan ini seperti serangan sungguh-sungguh dan agaknya perutnya akan tertembus pedang kalau ia tidak cepat bertindak. Untuk mengelak tidak ada

waktu lagi, maka ia cepat menyabetkan goloknya ke bawah, ke arah pergelangan tangan lawan! Pikirnya, kalau gadis ini melanjutkan serangannya, tentu pergelangan tangannya akan terbabat putus oleh goloknya!

“Trang?” Bunga api menyambar dan Ouw Tang Sin cepat melepaskan gagang goloknya. Ketika ia membacok ke bawah tadi, ia telah menggunakan tenaga, maka ketika ditimpa dari atas, tenaga bacokan ke bawah menjadi berlipat kekuatannya sehingga tangannya terasa panas dan sakit. Setelah goloknya terlepas dan ia melihat ke bawah ternyata bahwa goloknya telah dapat dipatahkan menjadi dua oleh pedang yang luar biasa dan yang bersinar kemerah-merahan itu !

Akan tetapi, ketika ia memandang kepada Eng Eng dengan senyum kagum gadis itu sudah bertangan kosong lagi, entah kapan ia menyimpan pedangnya yang luar biasa tadi.

“Hebat, hebat!” Seru Ouw Tang Sin sambil menjura. “setelah kau bersenjata, dalam tiga jurus saja kau berhasil mengalahkan aku! Ah, nona Suma Eng, kini aku tidak ragu-ragu lagi dan terimalah hormat serta kagumku. Kau benar-benar lihai!”

Eng Eng tidak melayani pujian ini, hanya tersenyum dan dengan tenang duduk kembali ke atas bangku.

“Baru kali ini aku melihat pedangmu yang hebat, lihiap.” Kata Ting Kwan Ek dengan girang. “Pedangmu bersinar merah dan dapat kau lilitkan seperti ikat pinggang, benarbenar luar biasa. Pedang apakah gerangan pusakamu itu, Suma lihiap?”

Eng Eng tersenyum puas dan girang mendengar orang memuji pedangnya. “Pedangku ini oleh suhu diberi nama Ang-coa-kiam ( Pedang Ular Merah ). dan jarang sekali kupergunakan kalau tidak perlu.”

Mendengar nama pedang ini, Ouw Tang Sin dan Ting Kwan Ek saling pandang dengan heran.

“Nona Suma Eng, pedang Ang-coa-kiam adalah pusaka milik Kim liong.pai di Liong san. Bagaimana bisa terjatuh di dalam tanganmu ?” Ouw Tang Sin berseru.

Tentu saja Eng Eng tidak tahu apakah yang disebut Kim - liong - pai ( Partai Naga Emas) dan di mana letaknya bukit Liong san, maka ia hanya memandang sambil mengerutkan alis karena Ouw piauwsu menyatakan bahwa pedang itu milik orang lain.

Ting Kwan Ek yang lebih cerdik lalu memandang kepada suhengnya dengan sinar mata mencela, kemudian ia buru buru berkata kepada Eng Eng. “Suma lihiap, tentu saja pedangmu itu bukan milik orang lain. Hanya saja memang betul bahwa Kim-liong-pai memiliki sebuah pedang pusaka yang namanya juga Ang-coa-kiam. Bolehkah kami melihat

pedangmu itu sebentar saja? Kami pernah melihat Ang.coa kiam dari Kim-liong-pai maka dapat kami mengenal pedang itu.”

Eng Eng mengeluarkan pedangnya dan memberikan senjata itu kepada Ting Kwan Ek. Dengan kagum kedua orang piauwsu itu bergantian memeriksa pedang yang luar biasa itu dan Ouw piauwsu segera berkata.

“Ah, bukan ? Pedang ini bukan pedang pusaka dari Kim-liong pai ! Pedang Angcoa-kiam yang menjadi pedang pusaka Kim-liong-pai berbentuk seekor ular merah yang runcing ekornya dan kepalanya menjadi gagang. Pedang ini sama sekali tidak berbentuk ular, hanya warnanya yang agak sama dengan Ang- coa kiam dari Kim.liong-pai !”

Ting Kwan Ek mengangguk - angguk dan mengembalikan pedang itu kepada Eng Eng. “Memang bukan, akan tetapi kurasa belum tentu Kalah ampuhnya dengan Ang-coa-kiam dan Kim-Liongpai.”

“Jangan bilang demikian, sute. Ang-coa- kiam dari Kim- Liong-pai luar biasa sekali dan telah terkenal di empat penjuru dunia. Apa lagi kalau dimainkan oleh anggota Kim liongpai yang memiliki ilmu pedang Ang coa-kiam- sut,” kata Ouw-piauwsu.

Ting piauwsu tidak menjawab, hanya di dalam hatinya ia menyesal mengapa suheng-nya sebodoh itu, karena ucapan ini sama artinya dengan merendahkan nilai pedang dara perkasa itu.

Akan tetapi, karena belum lama terjun dalam dunia ramai, Eng Eng tidak merasa demikian, hanya di dalam hati ia ingin sekali mencoba kelihaian perkumpulan Kim liong- pai dengan pedangnya yang bernama Ang coa-kiam itu.

Pada saat itu, dari luar mendatangi dua orang laki-laki yang seorang sudah tua akan tetapi bertubuh tinggi besar, bermuka penuh cambang bauk dan sikapnya kasar sekali, pakaiannya menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli silat, dan di pinggangnya tergantung sepasang golok yang lebar dan berat. Orang kedua masih muda, berusia paling banyak dua puluh lima tanun, juga bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.

“Cihu, Kami datang?” seru orang muda itu sambil tertawa menyeringai dan matanya tajam mengerling ke arah Eng Eng,

“Ayah! Adik Houw!” Lo Kim Bwe yang masih duduk di situ segera melompat berdiri dan dengan wajah girang menyambut kedatangan kedua orang ini. Ouw Tang Sin juga cepat berdiri menyambut dengan muka berseri-seri, sedangkan Ting piauwsu juga berdiri dan memberi hormat kepada orang tua yang baru datang.

Orang tua tinggi besar yang bersikap gagah dan galak seperti Thio Hui tokoh perkasa di jaman Sam-kok ini bukan lain adalah ayah dari nyonya Ouw Tang Sin yang bernama Lo Beng Tat. Adapun pemuda yang tinggi besar bermuka hitam itu adalah adik dari Lo Kim Bwe dan bernama Lo Houw, Kedua orang ini sengaja datang atas undangan Lo Kim Bwe guna membantu dan memperkuat kedudukan Ouw Tang Sin yang mengkhawatirkan datangnya gangguan dari Thian-te Sam-kui.

Ketika mereka berdua ini diperkenalkan kepada Eng Eng, Lo Houw memandang dengan sepasang mata yang lebar. Pandangan ini mengandung kekaguman dan juga kurang ajar sekali sehingga Eng Eng menjadi merah mukanya. Perasaan wanitanya membuatnya merasa malu dan jengah, ia tidak berani menentang pandangan mata orang yang kurang ajar ini.

“Nona Suma Eng, sungguh aku merasa beruntung dan girang sekali mendapat kesempatan bertemu dan berkenalan dengan kau.” kata Lo Houw yang pemberani dan sudah biasa menghadapi wanita ini, kemudian ia berpaling kepada Ouw Tang Sin dan bertanya, “Cihu (kakak ipar). mengapa kau tidak dulu- dulu memberi kabar bahwa ada nona Suma Eng di rumahmu? Kau harus menceritakan padaku bagaimana nona itu bisa berada di sini. Siapakah ia dan darimana datangnya dan untuk berapa lama ia tinggal di sini?”

Ting Kwan Ek mengerutkan keningnya dan hatinya mendongkol sekali. Diam-diam ia takut kalau Eng Eng menjadi marah, akan tetapi ketika ia mengerling ke arah nona itu, ia melihat Eng Eng menahan senyum dan gadis ini tanpa berkata sesuatu apapun lalu pergi dari situ, kembali ke kamar yang berada dekat kamar Ting hujin.

Eng Eng merasa mendongkol sekali, akan tetapi melihat muka kedua orang piauwsu yang menjadi tuan rumah, ia dapat menekan kemarahannya. Kalau tidak melihat muka kedua orang tuan rumah, tentu ia sudah memberi hajaran kepada laki - laki kasar dan kurang ajar itu. Setelah mendengar keterangan dan pelajaran tentang sopan santun, Eng Eng dapat merasa bahwa orang tinggi besar bermuka hitam memang kurang ajar dan tidak sopan.

Melihat muka Eng Eng yang menjadi merah dan matanya menyinarkan kemarahan, Ting hujin lalu bertanya,

“Eh, adik Eng, kau kenapakah? Tidak seperti biasa, kegembiraan yang biasa lenyap sama sekali dari wajahmu, terganti oleh cahaya kemarahan. Ada terjadi apakah gerangan?”

Di antara serumah itu hanya nyonya Ting yang ramah tamah dan manis budi, ini saja yang membuat Eng Eng merasa suka tinggal di rumah itu. Ia telah menganggap nyonya muda ini seperti kakaknya sendiri, dan tidak pernah merahasiakan perasaannya Nyonya Ting juga merasa amat sayang dan kasihan kepada nona yang bernasib malang yang sama sekali masih hijau dan gelap akan keadaan kehidupan dunia ramai.

“Cici, kalau kau tidak berada lagi di dalam rumah ini, aku sebetulnya sudah tidak suka lagi tinggal di sini. Hanya kau seorang yang kupercaya dan kusayangi, dan hanya Ting twako yang kuhormati karena iapun menghormati kepadaku. Akan tetapi yang lainlain....... dan terutama sekali dua orang yang baru datang itu! Yang muda sungguh

mempunyai mata kurang ajar sekali.”

“Hush, jangan keras-keras, adik Eng! Mereka itu adalah keluarga dari Kim Bwe! Mereka itu datang atas undangan nyonya Ouw untuk memperkuat kedudukan kita dan kepandaian mereka cukup tinggi. Yang tua adalah ayah dari Kim Bwe bernama Lo Beng Tat, sedangkan yang muda bernama Lo Houw adik dari Kim Bwe.”

“Perduli apa!” Eng Eng mencela. “Siapapun juga adanya orang itu, tidak patut ia memandangku seperti orang kelaparan!”

Nyonya Ting tersenyum geli. 'Salahmu sendiri adik Eng mengapa engkau mempunyai wajah demikian cantik jelita dan tubuhmu demikian molek dan ramping?”

Eng Eng memandang kepada nyonya Ting sambil cemberut. “Cici, apakah engkau juga hendak menggodaku?”

Nyonya muda itu tertawa,“Sudahlah, adik Eng.” Ia menghibur, “bersikaplah sabar, Kalau dia tidak melakukan atau mengeluarkan ucapan yang menghina, perlu apa kau harus marahmarah? Anggap saja ia seperti patung, habis perkara! Mereka belum mendengar tentang kelihaianmu, maka mereka berani bersikap kurang ajar.”

Akan tetapi, pada waktu itu, di luar terjadi pembicaraan yang amat menarik perhatian, Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin menceritakan kepada kedua orang tamu itu bahwa Eng Eng adalah seorang dara perkasa yang berkepandaian tinggi dan yang mereka harapkan untuk dapat menghadapi Thian-te Sam kui.

“Ah, cihu, jangan kau main-main !” kata Lo Houw sambil tersenyum menyeringai. “Thian te Sam-kui adalah tokoh-tokoh kang- ouw yang amat dahsyat dan menakutkan. Terus terang saja, ketika aku mendengar bahwa kau bermusuhan dengan Thian-te Sam-kui, aku merasa terkejut dan seram. Kalau saja musuh itu orang-orang lain, aku tidak takut menghadapinya. Akan tetapi Thian te Sam-kui.....? hm, sungguh harus kunyatakan bahwa Ting-piauwsu kurang hati-hati sehingga bisa bentrok, dengan mereka !”

Ting piauwsu merasa mendongkol sekali, akan tetapi Lo Beng Tat yang sudah tua dan berpengalaman, lalu mencela puteranya. “Tak perlu hal ini dibicarakan lagi. Yang terpenting sekarang kita harus dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi mereka itu. Kalau nona tadi memang berkepandaian tinggi dan mau membantu, alangkah baiknya, karena makin banyak kawan makin baik. Kalau kiranya perlu dapat juga aku mencari kawan yang akan membantu kita.

“Kurasa dengan kita berdua dan dibantu oleh cihu dan Ting piauwsu, kita akan cukup menghadapi mereka !” kata Lo Houw yang selalu menyombongkan kepandaiannya sendiri. “Adapun nona itu.. hm, dia memang cantik jelita seperti bidadari dan nampak gagah, akan tetapi kepandaiannya.? Aku masih meragukannya !”

“Houw te (adik Houw), jangan kau memandang rendah.” kata Ouw piauwsu, “aku sendiri sudah mencoba kepandaiannya dan ternyata golokku tidak berdaya terhadap dia !”

Kata-kata ini mencengangkan Lo Beng Tat dan Lo Houw karena mereka ini sudah tahu akan kepandaian Ouw Tang Sin. Agaknya mereka tidak dapat mempercayai ucapan ini. Akan tetapi belum ada orang membuka mulut, tiba- tiba Kim Bwe berkata dengan muka berseri,

“Aku sudah memikirkan hal ini berhari-hari dan sekarang setelah adik Houw datang, makin kuatlah kehendak hatiku ini. Ayah, bagaimana kalau adik Houw dijodohkan dengan nona Suma Eng ? Selain ia cantik dan gagah sehingga cocok untuk menjadi isteri adik Houw, juga ikatan ini akan membuat dia lebih bersungguh-sungguh membela kita .”

Serta merta Lo Houw menyatakan setujunya. Ia tertawa lalu berdiri dan menjura kepada kakak perempuannya dengan sikap lucu yang dibuat-buat sambil berkata.

“Enci Kim Bwe, tidak percuma aku mempunyai saudara tua seperti kau ini ! Terima kasih, enci yang baik, terima kasih ! Kalau memang hal ini dapat berhasil, selama hidupku aku akan menjadi adikmu yang berbakti .”

Akan tetapi Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin mengerutkan kening, dan di dalam hati masingmasing, kedua orang ini tidak setuju dengan usul ini. Ting Kwan Ek tidak setuju oleh karena dalam pandangannya Lo Houw tidak pantas menjadi suami Eng Eng. Sedangkan Ouw Tang Sin yang sudah tergila-gila kepada Eng Eng, tentu saja tidak senang mendengar gadis ini hendak dijodohkan dengan lain orang! Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menyatakan ketidak-setujuan mereka karena merasa tidak berhak.

Lo Beng Tat berpikir sebentar, kemudian tertawa girang. “Bagus, Kim Bwe, memang bagus sekali pikiranmu ini. Akupun tidak keberatan mempunyai seorang nyonya mantu secantik dia.”

Kim Bwe merasa girang sekali. Dia memang sengaja hendak merangkap perjodohan ini agar supaya Hatinya terlepas dari pada cemburu terhadap Eng Eng dan suaminya.

“Adik Ting,” katanya kepada Ting piauwsu “karena kau dan isterimu lebih dekat hubungannya dengan Eng Eng, maka kuharap kau suka menyuruh isterimu menjadi perantara dan wakil nona itu untuk menerima pinangan ini dan membicarakannya dengan nona Suma Eng.”

Ting Kwan Ek merasa tidak enak sekali.akan tetapi sambil tersenyum ia menjawab. “Kami tentu saja tidak berhak sama sekali untuk memutuskan hal ini dan tak dapat kami memaksa kepada nona Suma Eng untuk menerima atau menolaknya. Segala keputusan tergantung kepada

pikiran nona itu sendiri. Akan tetapi tentu saja isteriku tidak akan merasa keberatan untuk menyampaikan pinangan ini.” Setelah berkata demikian, ia lalu masuk ke dalam ruangan sebelah kiri.

Melihat kedatangan Ting piauwsu, Eng Eng lalu masuk ke dalam kamarnya sendiri dengan hati masih mendongkol dan gemas kepada muka hitam yang dianggapnya menjemukan itu.

Ketika Ting Kwan Ek memberitahukan kepada isterinya tentang usul pinangan itu, isterinya mengerutkan keningnya dan berkata sambil menarik napas panjang, “Ah, benarbenar mencari perkara dan kesulitan ! Baru saja Eng Eng telah datang dan menuturkan dengan marah betapa Lo Houw bersikap tidak menyenangkan. Gadis itu agaknya amat benci melihat muka dan pandangan mata Lo Houw yang dianggapnya kurang ajar.” la lalu menuturkan kepada suaminya tentang percakapan antara dia dan Eng Eng tadi.

“Ah, sukar sekali kalau begitu Akan tetapi isteriku, betapapun juga, kau harus menyampaikan pinangan ini kepada Suma lihiap. Diterima atau tidak, bukanlah urusan kita. Suheng telah menyerahkan urusan ini kepada kita untuk disampaikan kepada yang bersangkutan, mau tidak mau kita harus melakukan. Kau yang pandai saja bicara agar Suma lihiap tidak menjadi marah.”

“Baiklah, akan kucoba.” Kata isterinya dengan hati rusuh karena ia dapat menduga dengan penuh keyakinan bahwa Eng Eng pasti akan marah mendengar pinangan ini, ia maklum bahwa gadis itu masih belum tahu betul tentang tata susila kehidupan dan masih kasar, apalagi tentang jodoh dan pinangan, dalam hal ini benar-benar Eng Eng masih belum mengerti.

Benar saja, betapapun hati - hatinya menyampaikan pinangan itu kepada Eng Eng di dalam kamar gadis ini, Eng Eng menyambut dengan mata memancarkan cahaya berapi dan mukanya menjadi merah sekali.

“Apa ?” teriaknya keras sehingga terdengar sampai di luar kamar. “Si muka hitam yang kurang ajar itu minta aku menjadi isterinya? Minta aku menjadi seperti cici terhadap Ting twako? Gila! Dia gila, kurang ajar dan berani mati ! Akan kutampar mukanya yang hitam untuk kelancangannya itu !”

Eng Eng marah sekali. Tanpa ia ketahui sebabnya, mendengar bahwa ia diminta menjadi isterinya si muka hitam menimbulkan perasaan malu, jengah, terhina dan yang bergabung menjadi perasaan hebat. Ia hendak melompat keluar dan memberi hajaran kepada si muka hitam, akan tetapi nyonya Ting cepat mencegahnya dan berkata,

“Adik Eng, jangan kau marah. Urusan ini dapat dibereskan dengan amat mudah. Kalau kau tidak setuju, kau berhak menolak dan habis perkara ! Mengapa mesti marah-marah?”

“Tidak ! Aku harus memberi hajaran kepada monyet hitam itu, agar supaya ia dapat tahu siapa aku dan tidak berani kurang ajar lagi !” Sambil berkata demikian, ia melompat

keluar dari kamarnya.

Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya ketika melihat bahwa di luar kamarnya telah berdiri Lo Houw si muka hitam itu sendiri! Pemuda ini nampaknya marah akan tetapi melihat Eng Eng, kemarahannya itu mereda dan kembali mulutnya menyeringai membuat mukanya yang sudah hitam itu semakin tambah memburuk.

“Nona yang manis! Aku tidak merasa sakit hati melihat kemarahanmu, karena sudah biasanya seorang gadis menjadi marah kalau dilamar orang. Kemarahan yang timbul karena malu-malu. Betul tidak?”

“Monyet hitam, kalau kau tidak lekas menutup mulut dan pergi dari sini, akan kuhancurkan kepalamu!” Bentak Eng Eng dengan alis berdiri.

“Aduh galaknya!” Lo Houw mengejek seakan - akan melihat seorang anak kecil yang sedang marah. “Kau belum tahu siapa aku, nona. Aku Lo Houw dijuluki orang Si Ruyung Maut, dan kalau baru menghadapi keroyokan sepuluh orang saja, aku takkan mudah menyerah. Apa lagi seorang nona manis seperti engkau ini! Ha, ha, ha, makin marah kau menjadi makin cantik saja !”

Eng Eng tak dapat menahan kesabarannya lagi dan hendak menerjang, akan tetapi nyonya Ting yang sudah keluar pula, segera menubruk dan membujuk. “Eng Eng jangan ......! Jangan kau berkelahi di dalam rumah, hal ini amat tidak baik. Bersabarlah kau, adikku.”

Kemudian ia berpaling kepada Lo Houw dan berkata dengan suara kaku,

“Adik Lo Houw, kuharap kau suka berlaku sopan dan jangan mengganggu tamu kita.”

Dengan muka berubah gelap karena malu, Lo Houw hendak mengundurkan diri akan tetapi Eng Eng sudah memberontak dari pelukan nyonya Ting dan berkata keras,

“Aku tidak sudi mengalah begitu saja ! Aku bukan tamu lagi ! Hei, monyet hitam, kalau kau memang gagah, keluarlah dan mari kita membuat perhitungan di luar!” Sambil berkata demikian. Eng Eng lalu berlari Keluar dari rumah itu dan berdiri di halaman depan, menanti datangnya seorang yang dibencinya.

Mendengar suara ribut-ribut ini, semua orang keluar pula dan kebetulan sekali ketika Eng Eng keluar dari rumah itu, ia bertemu dengan Lo Beng Tat dan Ouw Tang Sin yang masih berada di ruang depan, Ouw Tang Sin menjadi bingung mendengar dan melihat kemarahan Eng Eng, akan tetapi Lo Beng Tat yang berwatak kasar, menjadi marah sekali mendengar betapa puteranya dimaki-maki oleh Eng Eng. Ia bangkit berdiri dan sekali ayun tubuhnya, ia telah berdiri di depan gadis itu.

“Nona Suma !” Bentaknya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah muka Eng Eng, “karena mendengar kata-kata anak perempuan dan mantuku bahwa kau adalah seorang gadis baik-baik aku dengan sesungguh hati mengajukan pinangan padamu untuk puteraku. Apakah salahnya hal ini ? Mengapa kau menjadi marah marah tanpa sebab? Misalnya kau tidak setuju, kau boleh menolak dengan sopan dan baik-baik, tidak menjadi marah-marah seperti gadis gila!”

“Bangsat tua bangka, apa kau kira aku takut kepadamu ? Jangan banyak membuka mulutmu yang kotor !Eng Eng membalas dengan makian, karena ucapan Lo Beng Tat ini bagaikan minyak yang menambah berkobarnya api kemarahan dalam hatinya.

Lo Beng Tat adalah seorang kepala rampok yang ganas, kasar dan tak kenal takut. Ia terkenal dengan ilmu golok kembar dan juga memiliki tenaga yang besar sekali. Tingkat kepandaiannya, apabila dibandingkan dengan Ouw Tang Sin mantunya mungkin masih menang setingkat terutama sekali dalam tenaga karena sesungguhnya raksasa tua ini tenaganya amat mengejutkan orang. Kini mendengar makian seorang gadis muda kepadanya, tentu saja ia menjadi marah sekali. Sekali ia menggerakkan tangan kanan, sepasang golok telah tercabut yang segera dipegang olen kedua tangannya. Golok ini lebar dan tajam sekali berkilauan menyilaukan mata.

“Kau mencari mampus!” teriak Lo Beng Tat yang segera menyerang dengan sepasang goloknya. la memutar sepasang goloknya bagaikan kitiran cepatnya, golok kanan mengancam kepala, sedangkan golok kiri diputar menyerang pinggang lawan!

“Bagus, tua bangka, perlihatkanlah keburukan ilmu silatmu!” Eng Eng mengejek dan begitu tubuhnya berkelebat, ia telah dapat mengelak dari serangan dua batang golok itu. Lo Beng Tat mengejar lagi dan melanjutkan serangannya bertubi-tubi. Ouw Tang Sin menjadi makin bingung. Untuk mencegah mertuanya, ia tidak berani, akan tetapi kalau dilanjutkan pertempuran itu, berarti fihaknya telah ada perpecahan, dan bagaimana nanti kalau musuh-musuh yang ditakutinya itu datang mengganggu? Juga Ting Kwan Ek, Kim Bwe, dan semua orang yang keluar tak berani turun tangan mencegah pertempuran itu. Ting piauwsu hanya memandang dengan muka pucat dan diam-diam ia amat benci kepada Lo Houw yang dianggap menjadi gara- gara dan biang keladi semua ini.

Setelah menghadapi sepasang golok besar Lo Beng Tat sampai dua puluh jurus lamanya, Eng Eng harus mengakui bahwa ilmu golok orang tua ini benar - benar berbahaya. Ia lalu berseru keras dan sinar merah berkelebat ketika ia mengeluarkan pedangnya, Ting Kwan Ek sudah maklum akan kelihaian ilmu pedang gadis itu, maka ia segera berseru.

“Suma lihiap, harap kau jangan menurunkan tangan kejam !”

Akan tetapi sambil menggerakkan pedangnya yang luar biasa, Eng Eng menjawab sambit tersenyum mengejek, “Ting - twako, apa kau kira monyet tua ini tidak akan melukai aku dengan goloknya, kalau ia mampu melakukan hal itu?”

Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu membalas dengan pedangnya yang luar biasa gerakannya. Sejak tadi, Lo Beng Tat sudah merasa terheran-heran dan kaget sekali. Belum pernah ia menyaksikan ilmu silat seperti yang dimainkan oleh gadis itu ketika menghadapi sepasang goloknya. Ia terkenal memiliki ilmu golok yang ganas sekali, akan tetapi gadis itu, dengan tangan kosong dapat menghadapi sepasang goloknya, dengan gerakan tubuh yang aneh, kadang-kadang terhuyung-huyung seperti orang mau jatuh, kadang seperti menari-nari.

Namun goloknya tetap saja dapat dielakkan dengan amat cepat dan tak terduga-duga. Kini melihat gadis itu memegang sebatang pedang yang sinarnya kemerah-merahan dan yang gerakannya amat luar biasa makin terkejut. Ia mencoba untuk menangkis dengan golok kiri dan membalas menyerang dengan golok kanan, akan tetapi ketika pedang itu membentur golok kirinya pedang itu melesat ke samping dan mendahului golok kanannya, menyambar ke arah lengan tangan kanannya! Ia cepat melompat mundur sambil menarik tangan kanannya dengan muka pucat. Hampir saja tangan kanannva menjadi korban dalam gebrakan pertama setelah gadis itu memegang pedangnya.

Eng Eng tidak mau memberi hati kepada lawannya dan terus maju menyerang sehingga sebentar saja Lo Beng Tat terdesak hebat, memutar dua batang goloknya untuk melindungi tubuhnya, sambil menggerakkan kedua kakinya mundur teratur.

Bukan main gelisahnya Ting Kwan Ek melihat hal ini. Kalau sampai orang itu terluka, tentu hal ini akan menjadi semakin hebat dan besar sekali kemungkinannya bahwa dia akan terlibat dan akan bertentangan dengan keluarga suhengnya! Ia lalu membisiki telinga isterinya dan terdengarlah kemudian nyonya Ting berseru.

“Adik Eng, dengarlah omonganku, pandanglah mukaku, jangan kau membunuh atau melukai orang!” Suara nyonya Ting ini terdengar mengharukan dan mengandung isak tangis sehingga pengaruhnya jauh lebih besar bagi Eng Eng dari pada ucapan Ting piauwsu tadi. Memang kepada nyonya ini Eng Eng amat menyayang dan menghormatinya, maka begitu mendengar seruan ini, ia memutar otaknya dan berpikir mengapa nyonya Ting melarangnya membunuh atau melukai orang yang dianggapnya jahat ini. Pengetahuannya yang amat dangkal tentang hubungan kekeluargaan dan sebagainya, membuat ia tidak mengerti mengapa nyonya Ting seakan-akan membela orang tua ini, Akan tetapi, untuk melanggar larangan ini, ia tidak tega, karena dari suara nyonya itu, ia maklum bahwa nyonya Ting sedang berada dalam keadaan yang amat Cemas dan berduka karena pertempuran ini.

“Baiklah cici, aku hanya akan memperlihatkan bahwa adikmu tidak boleh dibuat permainan !” Ia lalu menggerakkan pedangnya lebih cepat lagi dan terdengarlah suara keras dibarengi pekik Lo Beng Tat. Sebuah goloknya yang kanan, terlepas dari pegangan dan terlempar ke udara ! Sebelum ia tahu bagaimana lawannya dapat melakukan hal ini, tangan kiri Eng Eng sudah bergerak, didahului oleh tusukan pedangnya yang cepat sekali hendak menancap ke ulu hati lawan ! Tentu saja bagi Lo Beng Tat gerakan pedang yang mengancam ulu hatinya itu lebih penting untuk diperhatikan karena lebih berbahaya, maka cepat la mengelak ke kanan untuk menghindarkan diri dari tusukan pedang itu. Tidak tahunya bahwa serangan pedang ini hanya pancingan belaka, karena Eng Eng lebih mengutamakan tangan kirinya yang dengan tepat telah menotok urat nadi tangan kiri Lo Beng Tat yang memegang golok.

“Aduh'!” Kepala rampok itu berseru kesakitan dan sebentar saja golok kirinya telah pindah tangan !

Eng Eng menghentikan gerakannya dan kini sambil menimang-nimang golok besar di tangan kirinya, ia tersenyum dan menyimpan kembali pedangnya.

“Kalau tidak memandang muka ciciku yang baik, bukan hanya golok yang kurampas, melainkan kepala orang!” katanya sambil tersenyum manis.

Lo Beng Tat hanya berdiri melongo saking heran dan terkejut, kemudian ia sadar dan menudingkan golok kanannya ke arah Eng Eng.

“Kau benar seorang yang tidak kenal budi, seorang perempuan liar yang baru keluar dari hutan dan tidak tahu aturan ! Berbulan- bulan kau tinggal di rumah kami, makan nasi kami, mendapat perlakuan yang baik dan manis budi! Sekarang bahkan kami mempunyai pikiran untuk menarik kau sebagai seorang anggauta keluarga, akan tetapi apakah balasanmu? Kau menghina ayahku, dan mencaci maki adikku, sungguh, hari ini aku harus mengadu jiwa dengan kau, perempuan liar !” Sambil berkata demikian, Lo Kim Bwe menggerakkan sepasang goloknya dan menyerang Eng Eng dengan kalang kabut ! Terdengar Ouw Tang Sin, Ting Kwan Ek, dan nyonya Ting berseru membujuk, akan tetapi Lo Kim Bwe tidak perdulikan semua itu dan terus menyerang dengan hebatnya.

“Jangan takut, enci Bwe, aku membantumu!” seru Lo Houw yang sudah mengeluarkan ruyungnya dan menyerang Eng Eng pula dengan gerakan yang berat dan kuat sekali.

“Celaka !” Ting Kwan Ek berseru bingung. “Bagaimana baiknya sekarang ?”

Ouw Tang Sin juga menjadi bingung dan serba salah, akan tetapi ia hanya mengangkat pundak karena tidak berdaya.

“Eng Eng, sekali lagi, kuharap kau tidak melukai mereka !” Nyonya Ting berseru kembali.

Akan tetapi kini kemarahan Eng Eng sudah banyak mereda setelah ia berhasil mengalahkan Lo Beng Tat. Sambil tersenyum-senyum ia menyambut serangan kedua saudara Lo itu dengan senjata golok yang tadi dirampasnya dari Lo Beng Tat. Golok itu masih dipegang di tangan kiri dan ternyata bahwa gerakan tangan kirinya memainkan golok itupun amat mengagumkan ! Terbelalak mata Lo Beng Tat yang terkenal sebagai ahli golok ketika ia menyaksikan betapa dengan golok di tangan kiri, Eng Eng menjawab seruan nyonya Ting tadi dan kini ia memutar goloknya demikian rupa sehingga tubuhnya lenyap di tengah gulungan sinar putih dari golok itu. Baik Kim Bwe maupun Lo Houw tak dapat melihat bayangan Eng Eng dan yang mereka lihat Hanyalah bayangan sinar putih dari golok itu yang menyambar-nyambar ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa dan menimbulkan hawa dingin!

Baru saja bertempur tiga puluh jurus lebih sepasang golok di tangan Kim Bwe telah terpental jauh dan nyonya muda yang genit ini terpaksa melompat mundur.

“Mengapa kau diam saja? Apakah kau tidak mau membantu isterimu ?” bentaknya dengan mulut cemberut dan mata berapi kepada suaminya.

Ouw Tang Sin menjadi bingung dan serba salah. Tidak membantu, bagaimana? Yang bertempur melawan Eng Eng adalah isteri dan iparnya, akan tetapi kalau membantu, ia sudah merasa jerih terhadap kelihaian Eng Eng !

“Ha, agaknya kau sudah tergila-gila kepada gadis liar itu, bukan ?” Kim Bwe mendesak marah.

Terpaksa Ouw Tang Sin mencabut senjatanya, akan tetapi Ting Kwan Ek mencegah. “Jangan, suheng, apakah kau hendak membikin keadaan menjadi makin kusut ?”

Ouw Tang Sin makin menjadi ragu-ragu dan pada saat itu, terdengar jeritan ngeri dari Lo Houw karena ujung golok Eng Eng telah menggurat mukanya sehingga mukanya berlumuran darah dari jidat sampai ke dagu ! Eng Eng sengaja memberi hajaran hebat kepada pemuda muka hitam itu. Memang ia hanya menggaris saja sehingga kulit muka pemuda Itu pecah dan biarpun ia tidak menderita luka hebat, namun terpaksa wajahnya akan bercacad dengan goresan dari atas ke bawah untuk selamanya ! Lo Houw melempar ruyungnya dan mendekap mukanya dengan kedua tangannya. Darah mengalir melalui celah - celah jarinya.

“Bangsat perempuan keji!” Kim Bwe berteriak dan ia melompat maju hendak menyerang Eng Eng dengan mati matian !

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa terbahak-bahak yang amat mengerikan. Sebatang piauw yang merupakan kilat hitam menyambar ke arah dada Kim Bwe ! Tiba- tiba Eng Eng berseru keras dan nona perkasa ini menubruk maju menangkap tangan Kim Bwe dan menariknya kuat kuat sehingga nyonya muda itu terseret jatuh dan piauw yang menyambarnya itu lewat sambil mengeluarkan bunyi melengking lalu menancap pada tiang pintu, bergoyang-goyang mengerikan !

Eng Eng melepaskan tangan Kim Bwe dan tubuhnya melesat ke arah dari mana datangnya piauw (senjata rahasia vang disambitkan) tadi. Orang-orang hanya melihat bayangannya saja berkelebat keluar dan sebentar kemudian lenyaplah gadis itu ! Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin cepat mengejar dan tak lama kemudian mereka melihat Eng Eng yang masih memegang golok bertempur melawan seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yaag mengenakan pakaian mewah dan indah gerakannya. Laki-laki ini amat gesitnya, dan senjatanya adalah sepasang tombak yang ada Kaitannya.

Melihat laki-laki ini Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin menjadi pucat.

“Ban Hwa Yong !” mereka berseru dengan suara tertahan. Memang laki - laki itu adalah Ban Hwa Yong saudara termuda dan Thian-te Sam-kui. Ketika Ban Hwa Yong mendengar seruan ini dan melihat bahwa yang datang adalah Ouw piauwsu dan Ting piauwsu, ia tertawa bergelak, menyerang Eng Eng dengan cepat dan hebat sehingga terpaksa Eng Eng melompat mundur. Ban Hwa Yong menggerakkan tubuhnya melompat pergi sambil berkata,“Ha, ha, ha! Jiwi - piauwsu dari Pek - eng Piauwkiok! Bagus sekali, kulihat di sini terdapat dua bunga indah yang kalian harus persembahkan kepadaku pada hari besok!” Setelah berkata demikian, lalu lompat pergi.

“Bangsat pengecut!” Eng Eng bergerak mengejar, akan tetapi dari arah Ban Hwa Yong meluncurlah tiga batang piauw hitam. Memang Ban Hwa Yong telah terkenal akan keahliannya melepaskan berbagai macam senjata rahasia dan lemparannya dengan tiga batang piauw ini tidak boleh dipandang ringan. Tidak saja ia memiliki kepandaian menyambit piauw yang disebut ilmu melepas piauw “seratus kali lepas seratus kali mengenai sasaran”, juga piauw itu telah direndam dalam racun yang amat berbahaya. Sambitannya juga cepat sekali datangnya, begitu cepat sehingga sukar sekali untuk dikelit.

Akan tetapi Eng Eng bukan murid Hek Sin-mo yang luar biasa ilmu kepandaiannya dan ginkangnya kalau ia dapat dijadikan korban oleh hanya sambaran tiga batang piauw itu. Piauw itu menyambar ke arah tiga tempat. Yang pertama menyambar ke arah ulu hatinya dengan kecepatan luar biasa, piauw kedua menyambar ke arah sisi kanannya setinggi kepalanya, adapun piauw ketiga menyambar ke arah sisi kirinya setinggi pahanya. Inilah sambitan piauw yang disebut “mengurung harimau menutup pintu guanya”. Dengan cara serangan piauw seperti ini seakan- akan jalan keluar bagi yang diserang telah tertutup sama sekali. Mengelak ke kiri akan terserang oleh piauw ke tiga. Mengelak ke kanan akan diserang oleh piauw ke dua!

Adapun Eng Eng yang menghadapi serangan ini, tetap saja tenang sekali. Sambil tersenyum mengejek, ia menggerakkan goloknya, menyampok piauw yang meluncur ke arah ulu hatinya, tangan kanan yang tidak bersenjata diulurkannya ke atas, menangkap piauw yang terbang di sebelah kanannya lalu langsung disambitkan ke depan kembali, sedangkan kaki kirinya dengan gerakan istimewa sekali menendang ke arah piauw vang melayang sebelah kirinya, mengirim kembali piauw itu ke depan! Berbareng dengan tiga gerakan ini, yakni gerakan kedua tangan dan kaki kiri, tiga batang piauw itu dapat “diretour” kembali ke arah penyerangnya!

Ban Hwa Yong terkejut sekali melihat kelihaian Eng Eng ini. dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu!

Eng Eng melompat mengejarnya akan tetapi ternyata Ban Hwa Yong telah menghilang di balik rumah-rumah orang! Ting Kwan Ek mengejar Eng Eng dau setelah menjura ia berkata,

“Suma lihiap, amat besarlah budimu yang telah kaulimpahkan kepada kami sekeluarga dari Pek - eng Piauwkiok. Sungguh aku merasa menyesal sekali atas kejadian di rumah tadi,

dan harap kau sudi kiranya memberi ampun kepada mereka dan suka kembali ke rumah kami.”

Akan tetapi Eng Eng menggelengkan kepala, melemparkan goloknya yang dirampasnya dari Lo Beng Tat ke atas tanah dan menjawab,

“Tidak Ting-twako. Aku tidak sudi kembali ke rumah kotor itu! Sampaikan salamku kepada cici!” Setelah berkata demikian, gadis itu lalu berjalan pergi.

“Lihiap, pakaianmu masih berada di kamarmu.” kata Ting Kwan Ek dengan gelisah dan bingung.

“Biarlah, lain kali kuambil l” jawab gadis itu yang segera berlari pergi. Ting-piauwsu tidak berdaya, hanya berdiri tunduk dengan kecewa sekali.

Ouw Tang Sin menghampiri sutenya dan sambil memegang lengan sutenya, ia berkata. “Sute, kaumaafkanlah aku banyak-banyak. Aku benar-benar merasa menyesal sekali, akan tetapi apakah yang dapat kita lakukan?”

Kedua orang ini lalu kembali ke rumah mereka dan mereka disambut oleh semua orang dengan gelisah. Ternyata bahwa piauw yang disambitkan oleh Ban Hwa Yong ke arah Kim Bwe itu diberi sehelai kertas yang berisi ancaman mengerikan seperti berikut ;

Thian - te Sam kui takkan berhenti berusaha sebelum Pek eng Piauwkiok musnah dan hancur lebur beserta seluruh anggautanya ! Tunggulah besok pagi-pagi sebelum terang !

Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin saling pandang dengan wajah pucat.

“Kaulah yang mencari perkara!” Kata Ouw Tang Sin kepada isterinya yang sementara itu sedang merawat luka di muka Lo Houw. Isterinya tidak menjawab hanya, cemberut saja sambil melepas kerling membenci ke arah suaminya.

Ting Kwan Ek, Ouw Tang Sin dan Lo Beng Tat lalu mengadakan perundingan. Mereka mengumpulkan anggauta.anggauta mereka yang pada waktu itu hanya ada sepuluh orang saja, karena yang lain sedang menjalankan tugas mengantar barang. Ketika terjadi keributan tadi, para pembantu mereka itu hanya menonton saja tanpa berani ikut turun tangan.

“Kita harus mengadakan persiapan untuk menyambut mereka,” kata Lo Beng Tat. Orang tua ini untung juga bahwa kini terdapat alasan baginya untuk melupakan kekalahannya terhadap Eng Eng. Dengan menghadapi ancaman Thian - te Sam - kui maka peristiwa yang tadi terjadi memang tak perlu dipikirkan lagi dan semua pikiran harus dahulukan kepada

bahaya yang mengancam hebat.

“Sudah terang bahwa Thian-te Sam-kui besok pagi-pagi hendak datang menyerbu, dan tak usah kita menyombongkan diri, karena sesungguhnya kepandaian mereka masih lebih tinggi dari pada kita. Kalau kita lawan begitu saja, biarpun kita berjumlah lebih banyak, agaknya sedikit sekali harapan untuk menang.”

“Habis, bagaimana baiknya, gakhu (ayah mertua) ? Untuk memanggil bantuan sudah tidak ada waktu lagi,” kata Ouw Tang Sin gelisah.

“Memang tidak ada waktu,” menyambung Ting Kwan Ek dengan gemas dan menggigit bibir. “Akan tetapi, betapapun juga kita harus menghadapi mereka dengan senjata di tangan. Lebih baik mati seperti harimau dari pada disembelih seperti babi !”

Ucapan yang bersemangat ini membangunkan keberanian semua orang, dan Lo Houw yang kini sudah diobati lukanya, berkata, “Biarlah kita maju berbareng. Ada ayah, cihu, Tingpiauwsu, aku sendiri dan enci Kim Bwe. Kita berlima dibantu oleh semua saudara, para piauwsu yang jumlahnya sepuluh orang, masa kita tak dapat mengusir mereka itu semua?”

Lo Beng Tat menggeleng-gelengkan kepalanya. “Takkan ada gunanya. Biarpun jumlah kita ada lima belas orang, akan tetapi kalau kita maju secara keroyokan, belum tentu kita akan dapat menang. Kita harus mempergunakan siasat!”

Sebagai seorang kepala rampok, Lo Beng Tat tentu saja memiliki banyak akal dalam menghadapi musuh - musuh tangguh. Ia lain mengajukan siasatnya yang didengar oleh semua orang dengan penuh perhatian,

“He, kau berempat !” Lo Beng Tat menunjuk kepada empat orang piauwsu yang duduknya paling depan seperti memerintah kepada anak buahnya sendiri saja, karena kepala rampok ini memang sudah biasa memerintah para perampok yang menjadi kaki tangannya. “Kalian keluarlah dan jaga baik-baik di luar, di atas genteng di empat penjuru. Siasat yang hendak kita bicarakan tak boleh terdengar oleh orang lain, takut kalau-kalau fihak musuh akan mencuri dengar!” Empat orang piauwsu itu mengerti maksud orang tua ini dan mereka lalu keluar.

“Nah, dengar baik-baik. Besok pagi-pagi, tiga orang itu tentu akan datang bersama, dan kita berlima yang mengerti ilmu silat boleh duduk menanti di ruang depan yang lebar itu, Ting piauwsu, lebih baik kau suruh isteri, anak-anakmu. dan para pelayan yang lemah lebih dulu menyingkir ke lain tempat agar tidak menimbulkan hal-hal yang membutuhkan tenaga bantuan kita. Kemudian para piauwsu yang pandai melepas anak panah atau senjata rahasia lain, bersembunyi merupakan baihok (barisan pendam) mengurung ruangan itu. Apa bila ketiga orang iblis itu sudah datang dan hendak turun tangan, aku akan memberi tanda dengan lambaian tangan dan para piauwsu harus serentak menyerang dengan senjata rahasia. Nah dengan serangan tiba - tiba itu, ditambah oleh serangan kita, mustahil kita takkan dapat mengalahkan mereka.”

Diam-diam Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin merasa malu dan tidak setuju dengan cara yang curang dan pengecut ini, akan tetapi pada waktu yang amat terdesak dan berbahaya, agaknya tidak ada lain jalan lagi yang lebih baik.

Semua orang menyetujui siasat ini dan segera setiap orang piauwsu diharuskan mempersiapkan diri. Kebetulan sekali pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar dan ternyata rombongan piauwsu yang pergi ke Kanglam mengantar dan mengambil barangbarang telah kembali. Akan tetapi, apakah yang terdapat dalam kendaraan mereka ? Bukan barang berharga, melainkan mayat tiga orang piauwsu! Rombongan ini berdiri dari lima orang piauwsu yang terpilih pandai dan mereka kembali dari Kanglam membawa beberapa bal kain sutera yang mahal. Ketika rombongan ini hendak memasuki kota Han- leng mereka dicegat oleh Thian te Sam-kui ! Ketiga iblis ini selain mencabut dan merobek- robek bendera Pek-eng Piauwkiok, juga membunuh tiga orang piauwsu, merampas barang-barang dan setelah mengerat daun telinga kedua piauwsu yang lainnya, mereka lalu menyuruh dua orang piauwsu itu masuk ke dalam kota Hun-leng, membawa jenazah ketiga orang kawannya! Sambil merintih-rintih kedua orang piauwsu ini menuturkan pengalamannya kepada Tingpiauwsu dan Ouw piauwsu yang menjadi marah dan sakit hati sekali. Sambil mengepal tangan mereka berjanji hendak menghancurkan Thian-te Sam-kui pada esok hari atau mereka siap untuk menerima kematian di tangan ketiga orang Iblis Bumi Langit yang lihai itu!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di perusahaan Pek eng Piauwkiok itu semua orang telah bersiap sedia. Di atas genteng, terpisah menjadi dua rombongan di kanan kirlr telah siap dua belas orang piauwsu yang memegang anak panah, menjaga di atas ruang depan itu. Lo Beng Tat dengan garangnya telah duduk di kursi tengah sambil menaruh sepasang goloknya di atas meja, Lo Houw telah siap pula dengan sepasang ruyung di tangan. Lo Kim Bwe juga duduk di situ dengan sepasang goloknya pula. Adapun Ouw piauwsu dan Ting piauwsu dengan wajah tegang juga telah berkumpul di situ dengan senjata di tangan.

Keadaan sunyi sekali, karena hari masih amat pagi. Yang terdengar hanya kokok ayam jantan dan kicau burung-burung pagi. Semua berdiam diri, tidak berani mengeluarkan suara, dan memasang telinga dengan penuh perhatian, menanti datangnya ketiga iblis yang menakutkan itu.

Untuk lebih memperkuat penjagaan mereka Ting piauwsu telah melepaskan tiga ekor anjing peliharaan di luar pekarangan depan. Semua orang merasa gelisah dan boleh dibilang hampir semalam penuh tak seorangpun dapat meramkan mata.

Tiba-tiba terdengar anjing-anjing penjaga yang menggonggong keras dan riuh, akan tetapi dengan mendadak pula suara mereka lenyap seakan-akan leher ketiga anjing itu dicekik oleh tangan yang kuat ! Keadaan menjadi sunyi kembali dan semua orang yang bersiap di ruang depan itu, makin gelisah dan memandang keluar dengan hati berdebar. Lo Beng Tat, jago tua itu kini telah mengambil golok yang ditaruh di atas meja, dipegangnya dengan kedua tangannya.

Tiba-tiba dari luar menyambar tiga bayangan hitam dan bayangan-bayangan ini langsung menubruk ke arah Lo Beng Tat, Ouw Tang Sin dan Ting Kwan Ek ! Ketiga orang ini terkejut sekali. Lo Beng Tat mengayun goloknya membacok, demikian Ouw Tang Sin dan Ting Kwan Ek

membacok ke arah bayangan yang menyambar ke arah mereka.

“Crap ! Crap ! Crap !” Darah muncrat membasahi lantai dibarengi oleh jatuhnya tiga bayangan yang menyerang itu, ketika golok ketiga orang ini mengenai sasarannya. Mereka semua memandang dan hampir saja Ting Kwan Ek mengeluarkan seruan keras saking kagetnya ketika melihat bahwa tiga bayangan yang menubruk tadi bukan lain adalah tiga ekor anjingnya yang tadinya menjaga di luar dan yang tadi masih terdengar gonggongannya. Kini tiga ekor anjing itu telah menggeletak di atas lantai dengan tubuh hampir terbelah dua dan darahnya membanjir di tempat itu!

Ting Kwan Ek dan Ouw.Tang Sin cepat menyeret bangkai ketiga anjing itu dan melemparkannya keluar ruangan. Pada saat ituv terdengarlah suara ketawa bergelak dari luar dan muncullah seorang hwesio yang gemuk dan bundar.

“Ha, ha, ha I Para piauwsu dari Pek - eng Piauwkiok ! Kalian semua hanyalah anjinganjing kaki dua yang pengecut dan nasib kalian takkan jauh bedanya dengan tiga ekor anjing kaki empat itu, Ha, ha, ha !” Dengan tenang dan enaknya, hwesio gendut itu memasuki pekarangan depan lalu berjalan melenggang ke ruang depan menghampiri tuan rumah yang sudah siap dan berdiri dengan senjata di tangan itu.

-o0dw0o-

JILID II

“HM, yang datang bukankah Ban Im Hosiang ketua dari Thiau-te Sam-kui?" Tanya Lo Beng Tat sambil menenangkan hatinya yang berdebar. "Harap kau suka memandang mukaku, kalau mantuku Ouw Tang Sin telah melakukan pelanggaran, aku sanggup mintakan maaf !"

Hwesio itu tertawa lagi bergelak-gelak, "Lo Beng Tat, kau seorang kepala rampok telah menyerahkan anakmu kepada seorang piauwsu, hal ini sudah amat ganjil dan menunjukan bahwa kau bukan seorang yang dapat dipercaya! Mana ada harimau yang mengawinkan anaknya pada seekor ular yang menjadi musuhnya? Aku tidak mau memandang muka seorang yang tak berharga seperti kau! Pula Pek-eng Piauw-kiok telah menghina Thian-te Sam-kui, maka hari ini harus hancur dan musnahl"

"Hwesio keparat !" Lo Beng Tat yang berwatak kasar itu memaki marah. "Siapa takut padamu? Kau telah memilih jalan Kematianmu." Sambil berkata demikian Lo Beng Tat memberi tanda dengan tangan kanan dengan mengacungkan goloknya itu kepada Ban Im Hosiang. Pada saat itu terdengarlah bunyi "srr srr !!" susul menyusul dari atas genteng karena enam orang di sebelah kiri dan enam orang di sebelah kanan telah melepaskan anak panah ke arah tubuh yang gendut dari Ban Im Hosiang itu. Hwesio ini terkejut juga, akan tetapi benar-benar mengagumkan gerakannya yang amat tenang dan cepat. Biarpun tubuhnya dan sudah terancam oleh belasan batang anak panah itu, ia masih berlaku sigap sekali. Dengan seruan keras ia mengenjot kakinya dan tubuhnya mumbul bagaikan se- buah balon

karet tertiup angin, kemudian ia menarik kedua kakinya ke atas sehingga lututnya menempel pada perutnya dan kedua tangannya yang tertutup oleh lengan baju yang lebar dan panjang digerakkan sedemikian rupa sehingga dua potong lebihan kain itu merupakan segulung sinar putih yang melindungi seluruh tubuhnya.

Lo Beng Tat dan yang lain lain melihat dengan mata terbelalak betapa semua anak panah itu runtuh ke atas lantai ketika terkena sambatan gulungan sinar itu. Lo Beng Tat terkejut cekali dan dengan hati kecut ia melihat hwesio iiu telah turun kembali sambil tertawa bergelak-gelak,

"Ha, ha, ha! Lo Beng Tat, perampok rendah, Kau tidak malu mempergunakan akal pengecut"

"Hujani anak panah " teriak Lo Beng Tat ke atas, akan tetapi tidak ada anak panah lagi yang melayang turun, sebaliknya mereka lalu mendengar ribut ribut di atas genteng. Tak lama kemudian, nampak tubuh orang dilemparkan dari atas dan ketika tubuh orang-orang itu jatuh berdebuk di atas lantai, ternyata bahwa mereka ini adalah para piauwsu yang tadi membokong dan atas, dalam keadaan tidak bernyawa pula ! Dua belas orang piauwsu itu semuanya telah ditewaskan dan kini mayat mereka bertumpuk-tumpuk di depan Lo Beng Tat!

Bukan main kagetnya semua orang menyaksikan pemandangan yang mengerikan ini dan ketika terdengar suara tertawa mengejek dari atas, maka nampaklah berkelebat bayangan Ban Hwa Yong melompat dari atas genteng sebelah kiri dan bayangan Ban Yang Tojin dari genteng sebelah kanan. Ternyata bahwa kedua oranc inilah yang telah menewaskan para piauwsu tadi. Kini Thian-te Sam kui ketiga iblis itu, lengkap ketiga tiganya telah hadir di situ ! Ban Yang Tojin dengan senjatanya tombak berujung bintang di tangan, sedangkan Ban Hwa Yong dengan sepasang senjatanya yang melengkung ujungnya seperti kaitan. Bahkan Ban Im Hosiang sambil tertawa besar juga sudah mengeluarkan senjatanya yang hebat, yakni sebatang pedang perak yang berkilau saking tajamnya.

Merasa bahwa tidak ada gunanya untuk bercakap pula dengan tiga orang musuh yang datang dengan nafsu memburuh ini. Ting piauwsu lalu bersetu keras dan melompat maju, menyerang dengan goloknya. Juga Ouw piauwsu, Lu Kim Bwe, Lo Houw, dan Lo Beng Tat cepat pula maju mengeroyok tiga orang lawan itu.

"Suheng, jangan dirusak bunga indah ini!" Ban Hwa Yong tertawa berkata kepada koedua suhengnya, kemudian manusia cabul ini lalu menubruk maju menghadapi Lo Kim Bwe yang menyerangnya dengan sepasang goloknya. Sekali saja Ban Hwa Yong menangkis dengan sepasang senjatanya, kedua golok itu terlempar dari tangan Kim Bwe dan sebelum nyonya muda cantik ini sempat mengelak, Ban Hwa Yong telah mengulur tangan kirinya menangkapnya! Kim Bwe hendak melawan akan tetapi dengan gerakan yang cepat, Ban Hwa Yong sudah menotok pundak nyonya ini sehingga tubuh Kim Bwe menjadi lemas tidak berdaya lagi. Sambil tertawa bergolak Ban Hwa Yong lalu mengalihkan senjata di tangan kanan semua dan menggunakan tangan kiri nya untuk memeluk tubuh nyonya itu dan mengempitnya dengan cara yang kurang ajar sekali

"Bangsat rendah lepaskan isteriku " Ouw Tang Sio maju menyerangnya dengan golok yang dimainkan secara hebat sekali.

Melihat gerakan ini, Ban Hwa Yong maklum bahwa ilmu golok Ouw piauwsu tak boleh dibuat permainan, maka dengan tangan kanan ia menangkis keras. Biarpun Ouw-piauwsu merasa betapa tangannya sampai tergetar karena tangkisan itu, namun ia masih dapat mempertahankan goloknya dan tidak sampai terlepas. Ia lalu menyerang lagi dengan hebat. Ban Hwa Yong sedang mengempit tubuh Kim Bwe, maka tentu saja gerakannya tidak leluasa lagi dan ia hanya dapat menggerakkan senjatanya menangkis.

"Twa - suheng, tolong bereskan dulu cacing ini “ serunya sambil tertawa dan ketika Ban lm Hosiang menggerakkan pedangnya dari samping, Ouw Tang Sin cepat menangkis pedang yang bersinar terang ini.

"Trangl" golok di tangan Ouw Tang Sin terlepas ke atas lantai, bukan golok itu saja, bahkan jaga lengannya yang tadi memegang golok, telah terputus oleh pedang itu sebatas sikunya, Ouw Tang Sio menjerit ngeri dan pada saat itu, Ban Hwa Yong menyusulkan pula dengan serangan senjatanya dan terkaitlah perut Ouw-piauwsu oleh senjata itu. Sekali Ban Hwa Yong menarik tangannya, robeklah perut Ouw-piauwsu, tubuhnya roboh dan menggeletak dengan perut terbuka, tewas pada saat Itu juga.

Sementara itu, setelah menolong sutenya, Ban Im Hosiang dan Ban Yang Tojin mengamuk hebat dan tentu saja para lawannya yang berkepandaian jauh di bawah tingkat kepandaian mereka itu bagaikan rumput kering menghadapi api. Sebentar saja Ting Kwan Ek terguling mandi darah, demikian pula Lo Houw dan Lo Beng Tat. Belum sampai dua puluh jurus, seluruh isi rumah dan pemimpin Pek-eng Piauwkiok telah tewas semua, kecuali Kim Bwe yang masih dikempit oleh lengan kiri Ban Hwa Yong.

Tiga Iblis Bumi Langit ini lalu melakukan perampokan, mengambil semua barang berharga, bahkan lalu membunuh semua orang yang berada di dalam rumah itu ! Celakalah nyonya Ting dengan anak-anakya, karena nyonya ini biarpun telah dibujuk oleh suaminya, tetap tidak mau meninggalkan rumah itu. Ketika Ban Hwa Yong melihat nyonya Ting, timbul pula pikiran jahatnya untuk menculik nyonya yang muda dan manis Ini, akan tetapi nyonya Ting melakukan perlawanan hebat sehingga ia lalu dibunuh berikut anak-anaknya yang masih kecil. Benar-benar musnah dan hancur lebur Pek-eng Piauwkiok, cocok dengan ancaman tiga orang Iblis jahat itu. Benar-benar mengerikan sekali! Tidak kurang dari dua puluh orang melayang nyawanya di dalam tangan Thian tu Sam-koi!

Sambil tertawa-tawa, rnembawa hasil rampokan dan menculik Kim Bwe, tiga orang manusia yang berhati iblis itu meninggalkan rumah itu dan dengan cepatnya melarikan diri keluar kota Hun - leng. Para tetangga yang mendengar teriakan - teriakan dan pertempuran itu, cepat menyembunyikan diri dan biarpun keadaannya sudah sunyi, mereka masih tidak berani keluar dari pintu .

O0odwo0O

Belum lama setelah ketiga orang iblis itu pergi, nampak bayangan yang ramping dan gesit melompat memasuki pekarangan Pek-eng Piauwkiok. Bayangan ini adalah Eng Eng yang hendak mengambil pakaiannya lebelum melanjutkan perjalanannya. Ia merasa heran melihat keadaan yang amat sunyi di sekitar rumah itu, dan ketika ia memasuki ruangan depan gadis ini berdiri terbelalak bagaikan patung. Ia melihat tumpukan tubuh manusia yang sudah menjadi mayat dan darah memenuhi ruangan itu! Ketika melpat para piauwsu, Lo Beng Tat, Lo Houw, dan Ouw Tang Sin menggeletak menjadi mayat hatinya tidak merasa apa paa, akan tetapi ketika ia melihat Ting Kwan Ek berada di situ pula rebah mandi darah dengan tangan kanan masih memegang goloknya bukan main kagetnya.

"Ting - twako........” serunya dan cepat

ia melompat ke dekat tuouh Ting piauwsu. dilihatnya Ting piauwsu membuka mata dan menggerak. gerakkan bibirnya.

"Ting-twako, siapa yang melakukan perbuatan ini?" tanya Eng Eng sambil berjongkok di dekat tubuh orang yang bernasib malang itu.

Ting Kwan Ek masih dapat menggerakkan bibirnya dengan amat lemah, dan akhirnya dapat juga bibir itu mengeluarkan kata kata yang perlahan sekail, "Thian-te Sam-kui...!"

Setelah berkata demikian agaknya ia telah mengerahkan tenaganya terlalu banyak untuk menahan nyawanya, maka tiba-tiba ia menjadi lemas dan menghembuskan nafas yang terakhir!

Mengalirlah air mata dari kedua mata Eng Eng. Ia teringat kepada suhunya yang meninggal dunia. Di dalam dunia ini, baginya hanya Ting Kwan Ek dan isterinya yang dianggap sebagai manusia-manusia baik dan sayang kepadanya. Eng Eng mengambil colok yang masih dipegang oleh tangan Ting Kwan Ek, lalu katanya penuh kegemasan. "Ting - twako, aku akan membunuh tiga iblis itu dengan golokmu ini!"

Setelah berkata demikian, ia lalu melompat ke dalam rumah dan melihat nyonya Ting menggeletak di dekat anak-anaknya yang semuanya telah menjadi mayat. Eng Eng menubruk mayat nyonya Ting dan menangis tersedu sedu. Baru kali ini selama hidupnya Eig Eng merasa amat sedih dan hancur hatinya. Kembali la berjanji kepada nyonya Ting untuk membunuh tiga iblis jahat itu. Kemudian setelah mengambil bungkusan pakaiannya, Eng Eng lalu melompat keluar dari rumah itu dan berlari cepat sekali memasuki hutan.

Iu betlari cepat sekali sehingga setelah mata hari naik tinggi, ia telah memasuki hutan ke tiga di atas pegunungan yang indah pemandangannya. Dasar sudah menjadi nasib orang kedua dari Thian-te Sam-kui, atau memang karena dosa-dosanya sudah bertumpuk-tumpuk, maka orang kedua itu, yakni Ban Yang Tojin, telah memisahkan diri dari kedua orang saudaranya dan berada di dalam hutan itu. Demikianlah ketika Ban Yang Tojin sedang berjalan di dalam hutan itu, hendak pergi ke kota Tit-le di mana tinggal seorang sahabatnya tiba-tiba bayangan seorang yang ramping tubuhnya tahu-tahu telah berkelebat dan telah berdiri di depannya !

Ban Yang Tojin terkejut dan heran melihat seorang gadis cantik dan gagah sekali telah berdiri di depannya dengan memegang sebatang golok besar. Tojin itu biarpun tidak tergila-gila wanita seperti sutenya, Ban Hwa Yang akan tetapi melihat dara muda yang cantik sekali ini mau tak mau ia memandang dengan mata terbelalak kagum. Sebelum ia sempat bertanya, gadis itu telah mendahuluinya dan bertanya dengan suaranya yang merdu dan nyaring sekali,

"Orang tua, siapakah kau dan kenalkah kepada Thian-te Sam-kui?"

Ban Yang Tojin tercengang, akan tetapi ia lalu tersenyum girang. Ia pikir bahwa gadis ini tentulah telah mendengar dan mengagumi nama dia dan kedua saudaranya dan kini mencari untuk minta menjadi murid. la lalu tertawa bergolak sambil mendongakkan kepala ke atas, komudiao la berkata.

"Nona, kau mencari tiga orang gagah itu? Ha, ha, ha! Tidak jauh ! Aku adalah Bin Yang Tojin, orang ke dua dari Thiante Sam- kui (Tiga iblis Bumi Langit) ! Kau mencari kami apakah hendak belajar ilmu ulat ? Kebetulan sekali, nona, aku memang sedang mencari murid yang cocok, dan agaknya kau lah yang patut menjadi muridku !”

Mendengar suara tosu ini. Eng Eog memandang tajam dan teringatlah ia kini bahwa tosu ini adalah tosu yang pernah bertempur dengan dia dan bahkan telah ia kalahkan ketika ia membantu Ting Kwan Ek ! Mendengar ucapan totu itu, diam - diam ia menjadi geli, karena ternyata bahwa tosu ini tidak mengenalnya lagi. Dulu ketika ia bertempur dengan Ban Yang Tojin, ia mengenakan pakaian seperti seorang pemuda, dan tentu saja tosu itu tidak mengenalnya yang kini telah berubah menjadi seorang gadis ! Akan tetapi, berbareng deogan kegelian hatinya, iapun merasa marah sekali karena kalau saja ia tidak lupa akan muka tosu ini dan tahu bahwa inilah orangnya yang menjadi biang keladi kebinasaan seluruh keluarga Pek-ong Piauwkiok, tentu ia tak perlu bertanya lagi.

"Bagus sekali " Serunya dengan wajah berubah merah saking marahnya, "Jadi kau sengaja menanti di sini untuk menunggu aku mengambil nyawamu? Mana kedua orang saudaramu agar aku dapat membasmi sekalian?" Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu menggerakkan goloknya dan sambil menyerang dengan hebatnya !

Tentu saja Ban Yang Tojin menjadi sangat terkejut. Akan tetapi la masih memandang rendah kepada gadis cantik ini dan cepat ia mengelak. Alangkah terkejutnya ketika golok di tangan nona itu biarpun sudah dapat meng- hindarkannya namun dilanjutkan pula dengan serangan menyerong yang amat berbahaya. Tosu ini cepat melempar tubuhnya ke belakang menggunakan gerak loncat Kera Tua Melompati Cabang dan hampir saja ujung golok memakan tubuhnya. Keringat dingin keluar dari jidatnya dan cepat tosu itu lalu mencabut senjatanya yang istimewa, yakni tongkat runcing yang berbintang ujungnya.

"Eh eh, siapakah kau dan kenapa kau menyerangku tanpa sebab ?”

"Tidak ada hal yang tak bersebab," jawab Eng Eng tenang, "lupakah kau kepada Pek-eng Piauwkiok yang baru saja kaubinasakan secara keji ? Dan lupakah kau pula ketika golokku masih memberi ampun kepadamu, tidak memenggal lehermu, akan tetapi hanya melukai pundakmu ? sekarang aku tidak menghendaki sedikit kulit pundakmu, melainkan menghendaki kepalamu" Eng Eng lalu menyerbu lagi dan Ban Yang Tojin tidak mendapat kesempatan barang sedikitpun untuk mengeluarkan seruan heran dan terkejut. Ia kini teringat lagi dan terbukalah bahwa gadis ini adalah "pemuda" yang dulu pernah melukainya dan yang membantu Ting Kwan Ek

"Perempuan rendah! Jadi kaukah orangnya yang dulu membantu anjing she Ting? Bagus, kau telah menyerahkan diri tanpa dicari lagi!" Memang tosu ini merasa amat benci dan dendam terhadap "pemuda" yang telah melukainya dan semenjak dia dikalahkan oleh Eng Eng tosu Ini lalu melatih diri dan terutama sekali ia melatih ilmu pukulan Pek-lek-ciang dengan tekunnya. Tenaga lweekang kakek ini sekarang jauh lebih tinggi dan kuat daripada dulu, sedangkan ilmu pukulannya Pek-lek-ciang benar - benar amat berbahaya. Ia dapat merobohkan lawan dari jarak jauh hanya dengan hawa pukulannya ini.

Akan tetapi, setelah mereka bertempur belasan jurus lamanya, tahulah Ban Yang Tojin bahwa dalam hal ilmu mainkan senjata la masih jauh berada di bawah tingkat gadis aneh ini. Sepasang tombak bintangnya sama sekali tidak berdaya dan belum juga dua puluh jurus mereka bertempur, ia tidak kuasa menyerang lagi. Gerakan golok di tangan gadis itu benar-benar aneh dan luar biasa sekali, sukar diikuti oleh pandangan mata dan sukar pula diduga ke mana perobahan gerakannya. la hanya dapat melindungi tubuhnya dengan sepasang tombaknya dengan jalan memutarnya secepat mungkin, merupakan benteng yang kuat. Agaknya gulungan sinar golok di tangan Eng Eng merupakan halilintar yang hendak memecah dan menembus awan dari gerakan sepasang tombak bintang. Golok itu berkelebatkelebat ke atas, ke bawah, dari kanan dan kiri, pendeknya amat sukar dijaga.

Ban Yang Tojin tidak sempat mempergunakan ilmu pukulan Pek-lek-ciang yang diandalkannya, karena gadis itu tidak memberi kesempatan scdikitpun juga kepadanya. Tosu ini memutar otak, mencati jalan keluar dari pada kepungan sinar golok ini. Pada saat sinar golok Eng Eng menyambar ke arah mukanya dengan cepat Ban Yang Tojin menggerakkan kedua tombaknya yang berbintang, dengan gerak tipu OranrgTua Menutup Pintu, la berhasil menjepit golok lawannya, ia mengerahkan tenaga Iweekangnya untuk mematahkan golok di tangan gadis itu, lalu menggerakkan sepasang senjatanya untuk diputar sedemikian rupa supaya gadis itu melepaskan goloknya. Akan tetap., tiba-tiba Eng Eng berseru keras sekali dan tenaga yang luar biasa dahsyatnya keluar dari golok yang terpegang oleh Eng Eng. Kini gadis inilah yang menguasai keadaan dan Eng Eng membalas gertakan lawan, mempergunakan tenaga "menempel" lalu memutar goloknya cepat sekali dari kanan ke kiri! Ban Yang Tojin tak dapatt mempertahankan serangan ini dan sepasang senjatanya ikut berputar, kemudian dengan mengeluarkan suara keras, sepasang tombak berbintang ini patah menjadi empat potong!

Bukan main marahnya tosu itu. Ia menyambitkan sepasang senjatanya yang tinggal gagang itu ke arah lawannya akan tetapi dengan amat mudahnya Eng Eng mengelak dan kemudian goloknya diputar amat cepatnya menyerarg Ban Yang Toiin dengan gerak gerak tipu yarg paling lihai!

Tadi ketika masih memegang sepasang senjata saja tosu itu sudah terdesak hebat dan tidak mampu mengimbangi permainan golok Eng Eng apa lagi sekarang satelah bertangan kosong ! Ia berusaha hendak melarikan diri, akan tetapi sinar golok gadis lihai itu

mengurungnya rapat-rapat dan tidak memberi jalan keluar sama sekali. Karenanya Ban Yang Tojin lalu berlaku mati-matian, dan sambil mengelak dan melompat ke sana ke mari, ia berusaha untuk melancarkan terangan pukulan Pek-lek-ciang yang hebat.

Betapapun tinggi ilmu kepandaian Eng Eng gadis ini belum mempunyai banyak pengalaman bertempur dan ia tidak dapat menduga bahwa lawannya yang sudah tidak berdaya ini masih memiliki kepandaian simpanan yang jahat dan berbahaya sekali, maka ia berlaku lalai. Ia terlalu girang karena sudah hampir berbasil membunuh seorang di antara musuh-musuh Ting Kwan Ek, membalaskan sakit hatinya, dengan seruan keras gadis Ini lalu menyerang dengan sabetan golok dari atas ke arah kepala lawannya, la hendak membelah kepala tosu itu menjadi dua. Gerakan ini cepat sekali dan biarpun Ban Yang Tojin cepat mengelak, golok itu masih menyembur hebat ke arah pundaknya. Di dalam keadaan berbahaya dan tidak berdaya itu, Ban Yang Tojin lalu melakukan serangan balasan mati-matian dan tangan kanannya lalu mengerahkan pukulan Pek-lek-ciang yang dilakukan dengan sepenuh tenaganya !

Akibatnya hebat sekali untuk kedua fihak. Terdengar Ban Yang Tojin memekik ngeri dan lengan kirinya sebatas pundak terbabat putus. Akan tetapi, tangan kanannya yang dipukulkan dengan gerakan mendorong ke arah dada Eng Eng juga mendapat hasil baik. Biarpun tangan itu tidak sampai menyentuh dada gadis itu, namun hawa pukulannya yang hebat itu telah menghantam dengan telak sekali, sehingga Eng Eng terjengkang ke belakang, goloknya terlepas dan pegangan dan setelah terhuyung-huyung, Eng Eng bergelimpangan di atas tanah dalam keadaan pingsan!

Hampir eaja Ban Yang Tojin tak dapat menahan rasa sakitnya. Darah mengucur bagaikan pancuran dari pundak kirinya yang telah tak berlengan lagi itu. Akan tetapi, sambil menggigit bibirnya hingga berdarah dalam menahan rasa sukitnya, tosu ini masih cukup bertenaga untuk mengambil golok Eng Eng yang terlempar ke atas tanah dan bermaksud hendak membacok tubuh bekas lawannya itu.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar teriakan dari jauh aan nampak sesosok bayangan orang yang amat cepat berlari bagaikan terbang menuju ke tempat itu. Ban Yang Tojin merasa khawatir kalau kalau orang itu merupakan musuh, maka tanpa banyak cakap lagi ia melarikan diri pergi dari situ, meninggalkan tubuh Eng Eng yang masih menggeletak pingsan, dan meninggalkan juga lengan kirinya yang sudah putus!

Bayangan ini adalah seorang pemuda yang berwajah tampan sekali. Pakaiannya berwarna biru muda dengan leher dan pinggir lengan baju warna putih, ikat kepala berwarna merah. Karena pakaiannya itu terbuat dari pada sutera halus, maka ia nampaknya makin cakap dan mewah. Di pinggangnya tergantung gagang pedang yang berukir gambar liong yang indah sekali.

Ketika pemuda ini melihat berkelebatnya tubuh seorang tosu yang putus lengan kirinya, ia hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia melihat Eng Eng yang menggeletak di atas rumput seperti majat. Ia menahan kakinya dan matanya teibelulak kagum memandang ke arah wajah yang jelita dan tubuh yang ramping mengulurkan hati itu. Ia menghampiri lalu berlutut di dekat tubuh gadis itu. Ketika melihat muka yang pucat dan pakaian Eng Eng di bagian dada remuk dan robek, ia menjadi terkejut sekali. Tanpa ragu-ragu ia]u diangkatnya tubuh itu dan dibawanya ke dalam hutan itu, di mana terdapat sebuah bangunan bobrok bekas sebuah kuil tua. Ia memondong tubuh gadis itu ke dalam kuil dan

meletakkan di atas lantai yang bersih Tempat ini memang menjadi tempat tinggalnya sementara ia berada ditempat itu.

"Ah, kasihan." bisiknya perlahan, "pukulan Pek-lek ciang! Sungguh jahat sekali"

Kemudian dengan jati - jari tangan gemetar, pemuda itu lalu merobek baju Eng Eng untuk memeriksa luka akibat pukulan Pek-lek- ciang yang lihai. Kulit tubuh gadis itu hanya nampak merah saja, akan tetapi pemuda ini cukup maklum bahwa gadis yang mempunyai wajah seperti bidadari dan potongan tubuh luar biasa indahnya ini telah menderita pukulan dan terluka di sebelah dalam ! Ia memeriksa dada gadis itu dan tak lama kemudian terlihat ia berkelebat keluar dari kuil bobrok itu dan masuk ke dalam hutan. Ia mencari-cari dan setelah matahari sudah condong ke barat, nampak ia kembali ke kuil membawa banyak sekali daun-daun obat

Ternyata Eng Eng masih belum siuman dari pingsannya, dan pemuda itu dengan cekatan sekali lalu memeras daun-daun itu dengan kedua tangannya, memberi minum perasan daun obat itu kepada Eng Eng dengan paksa, Lalu ampas daun itu ditempelkannya ke atas dada Eng Eng yang nampak merah. Kemudian ia lalu mengurut dan menotok jalan darah di pundak dan punggung gadis itu. Semua ini dilakukan dengan tangan gemetar, dada berdebar dan kadang-kadang la meramkan kedua matanya, tidak tahan ia melihat keindahan tubuh yang nampak di depan matanya !

Iblis adalah menggoda atau pembujuk hati manusia dan dia akan selalu akan muncul dan menggoda manusia apabila manusia itu sedang berada di tempat sunyi, berada seorang diri dan terutama sekali apabila manusia itu sedang menghadapi atau melihat sesuatu yaog merangsang atau menarik hatinya. Oleh karena tahu akan sifat sifat iblis penganjur segala kejahatan dunia ini Nabi LOCU pernah bersabda demikian :

"Jangan memperlihatkan sesuatu yang merangsang dan menimbulkan nafsu, agar manusia tidak tergoda hatinyal"

Dan juga Nabi KHONG Cu pernah bersabda;

"Berhati - hatilah apabila kau sedang berada seorang diri"

Memang, tepat sekali wejangan - wejangan ini bagi manusia untuk ingat bahwa pikiranpikiran dan nafsu-nafsu timbul waktu berada seorang diri dan menghadapi sesuatu yang neutmbulkan nafsu. Amatlah berbahaya bujukan iblis pada saat-saat seperti itu.

Apalagi kalau orang ysng terbujuk itu tidak memiliki iman yang kuat, dan kesadarannya akan baik dan buruk sudah menyuram. Nafsu yang dibangkitkan oleh iblis akan sedemikian kuatnya sehingga ia tidak memperdulikan lagi akan segala pelanggaran, tidak perduli akan prikemenusiaan, dan ia akan menjadi buta dan lupa daratan karena di- pengaruhi oleh nafsu.

Pemuda baju biru itupun demikian. Setelah ia berhasil mengobati Eng Eng, melihat wajah yang cantik jelita itu, melihat bagian tubuh yang menggiurkan hatinya, ia tidak dapat menahan bujukan iblis. Ia lupa segala telinganya penuh oleh pendengaran suara iblis yang terdengar merdu sekali, bagaikan telinga seorang pemabok mendengar musik. Matanya seakan-akan tidak sewajarnya lagi, bagaikan mata seorang yang sedang kelaparan melihat roti atau lebih tepat lagi, seperti mata seekor anjing kurus melihat tulang.

Harus dikasihani nasib Eng Eng. Dalam keadaan pingsan dan terluka ia bertemu dengan seorang "penolong" yang ternyata merupakan seorang pemuda yang lemah iman, seorang yang telah lupa akan asal mulanya yang suci murni.

Menjelang tengah malam, Eng Eng siuman dari pingsannya. Ia terkejut sekali ketika melihat bahwa ia berada dalam pelukan seorang laki-laki! Tempat itu diterangi oleh api unggun yang bernyala dari setumpuk kayu kering sehingga ia hanya melihat samar-samar wajah seorang laki laki muda yang amat tampan, seorang pemuda yang berkulit muka putih, bermata tajam, berbibir merah dan berpakaian biru muda! Kemudian gadis ini roboh pingsan lagi, tidak kuat menahan pukulan hatin yang luar biasa, malapetaka yang datang kepadanya, yang lebih mengerikan dan pada maut sendiri!

0o-dw-o0

Perguruan silat Kim-liong-pai terletak di puncak Gunung Liong-san dan nama Kim-liongpai sudah amat terkenal di dunia persilatan sebagai cabang ilmu silat yang luar biasa. Dulu ketika ketua Kim-liong-pai masih berada di tangan seseorang yang luar biasa yang berjuluk Hu beng Siansu, cabang persilatan ini boleh dibilang menjagoi seluruh kangouw, tidak kalah terkenalnya dengan cabang cabang ilmu silat lain seperti Kun-lun-pai atau Go-bi pai yang besar.

Semenjak Bu Beng Siansu lenyap dari permukaan bumi, tak seorangpun mengetahui di mana adanya kakek sakti itu yang telah mencuci tangan dan tidak mau mencampuri urusan dunia, maka Kim - liong pai jatuh ke tangan anak muridnya.

Pada waktu cerita ini terjadi, Kim-liong-pai dipimpin oleh cucu murid Bu Beng Siansu yang hidup sebagai seorang tosu (Pendeta Agama To) dan sudah berjuluk Lui Thian Sianjin pada waktu mudanya Lui Thian Sianjin mempunyai belasan orang anak murid. Akan tetapi ketika beberapa orang di antara murid - muridnya itu melakukan pelanggaran dan penyelewengan, ia menjadi marah dan putus asa. Dibubarkannyaiah murid muridnya itu dan masih baik bahwa mereka itu mempelajari ilmu pedang Kim liong-pai yang disebut Ang-coakiamsut (Ilmu Pedang Ular Merah) sebanyak enam puluh bagian saja! Ang- coa-kiamsut adalah ilmu pedang warisan dari Bu Bng Siansu, dan ilmu pedang ini terkenal sebagai raja ilmu pedang di seluruh dunia kangouw. Tidak mudah untuk mempelajari ilmu pedang ini, oleh karena gerakannya amat sulit dan perkembangannya amat luas pula untuk dapat mainkan Ang-coa-kiamsut orang harus lebih dulu memiliki ginkang dan lweekang tingkat tinggi. Bahkan Lui Thian Sianjin sendiri hanya dapat mewarisi delapan puluh bagian dari Bu Beng Siansu sucouw (guru besar) Kim-hong-pai ia mendapat tinggalan kitab ilmu pedang

itu, namun tetap saja ia tidak dapat mewarisi seluruhnya.

Setelah bertahun tahun tiduk mau menerima murid, ketika berusia lima puluh tahun lebih, diam-diam Lui Thian Sianjin merasa gelisah sendiri. Dari suhunya, ia dulu pernah mendapat pesan bahwa sebelum mati ia harus dapat mewariskan Ang coa kiamsut kepada seorang murid yang benar-benar baik. Akhirnya ia mulai mercari murid lagi dan kini ia memilih dengan amat hati-hati. Akhirnya ia menemukan sepasang anak kembar yang baru berusia lima tahun, dari keluarga Sim yang telah tewas semua karena pemberontakan. Kedua anak itu adalah anak laki-laki, bernama Sim Tiong Han dan Sim Tiong Kiat, ia mengambil kedua orang anak yang dilihatnya berbakat baik ini, lalu melatihnya ilmu silat.

Selain kedua orang anak kembar ini, Lui Thian Sianjin juga mengambil seorang murid perempuan yang bernama Can Kui Hwa. Usianya ini sebaya dengan Sim Tiong Kiat, dan juga memiliki bakat yang luar biasa. Can Kui Hwa adalah anak dari seorang murid Kim- liong pai juga yang bernama Can Kong dan yang kini menjadi guru silat di kota Sam koan. Empat belas tahun kemudian, ketiga orang anak ini telah menjadi dewasa. Kalau orang tidak mempunyai perhubungan dekat dengan sepasang pemula kembar itu, akan amat sukarlah baginya untuk membedakan. Keduanya sama benar, baik wajah maupun bentuk badan. Sama tampan, bermuka putih dengan mata tajam dan bibir merah, alis mata tebal dan pantang. Ada sedikit tanda pada Tiong Kiat yang menjadi tanda pengenal, yakni sebuah tahi lalat kecil hitam di atas dagunya, tepat di bawah bibir. Juga watak kedua orang ini jauh berbeda. Tiong Iian yang lebih tua beberapa jam dari adiknya berwatak pendiam dan lemah lembut. Sebaliknya, Tiong Kiat jenaka, gembira, juga nakal sekali. Semenjak kecilnya, seringkali Tiong Kiat menggoda kakaknya, akan tetapi Tiong Han yang amat mencinta adiknya selalu mengalah.

Namun, di dalam pelajaran ilmu silat Tiong Kiat lebih maju daripada kakaknya. Memang anak ini luar biasa sekali bakatnya dalam hal ilmu silat. Harus diakui bahwa kecerdikannya tidak melebihi Tiong Han, namun agaknya ia berdarah ahli silat, karena gerakannya demikian lemas dan cepat. Ini pula yang membuat Lui Thian Sianjin amat sayang kepadanya, sungguhpun seringkali kakek ini termenung dan mengerutkan keningnya, karena ia masih meragukan watak daripada Tiong Kiat. Tidak seperti Tiong Han, kakek ini sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya.

Juga Kui Hwa memiliki bakat yang amat baik, sungguhpun ia tidak dapat mengimbangi bakat Tiong Han, apalagi kalau dibandingkan dengan Tiong Kiat, ia kalah jauh. Setelah dewasa ia menjidi seorang gadis yang cantik manis. Sikapnya gembira dan jenaka seperti Tiong Kiat, sehingga kedua anak ini menjadi sahabat baik. Perhubungan gadis ini terhadap Tiong Kiat jauh lebih erat apabila dibanding, kan dengan hubungannya terhadap Tiong Han.

Setelah mendapat gemblengan ilmu ailat selama empat belas tahun, kepandaian ilmu silat dan ilmu pedang ketiga orang murid itu mencapai tingkat tinggi. Lebih - lebih Tiong Kiat, ia telah mewarisi ilmu pedang Ang coa kiamsut sampai tujuh puluh bagian lebih, sedangkan Kui Hwa hanya memiliki lima puluh bagian, sedangkan Tiong Han sendiri paling banyak hanya mewarisi enam puluh bagian. Di dalam latihan nampak sekali perbedaan itu, baik Tiong Han maupun Kui Hwa tidak dapat mengimbangi permainan pedang Tiong Kiat yang luar biasa.

Tentu saja suhu mereka menjadi girang sekali, merasa bahwa ia telah cukup mewariskan ilmu pedang itu dan karenanya Kim-liong- pai tak usah dikhawatirkan lagi akan tinggal nama saja ! Akan tetapi, kadang - kadang ia merasa gelisah dan berdebar dadanya kalau ia melihat Tiong Kiat, karena bagaimanakah kelak kalau ternyata ia salah pilih. Siapa yang akan dapat memasang kendali pada hidungnya atau dengan lain kata-kata siapa yang akan dapat menundukkannya ?

Dan apa yang dikuatirkan oleh kakek ini terbukti. Setelah dewasa dan ingin agar supaya ilmu pedang Ang coa.kiamsut tidak sampai terpecah-pecah, Lui Thian Sianjin mengusulkan agar supaya Tiong Han dijodohkan dengan Kui Hwa ! Pemuda itu karena sudah tiada ayah bunda lagi, hanya menyerahkan nasibnya kepada suhunya yang amat dihormatinya, adapun ayah Kui Hwa, yakni Can Kong beserta isterinya, juga tidak keberatan.

Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, terjadilah peristiwa yang amat menggemparkan itu! Peristiwa yang amat menyedihkan hati Lui Thian Sianjin, menghancurkan hati Tiong Han, dan memarahkan hati Can Kong . Dengan cara yang tidak tahu malu sekali, Tiong Kiat telah melarikan diri bersama dengan sumoinya, yakni Kui Hwa! Dan yang lebih hebat lagi, adalah kedua orang muda ini telah "menyikat" pedang mustika yang menjadi barang pusaka di Kim liong-pai, yakni pedang Ang-coa-kiam (Pedang Ular Merah) warisan dari Bu Beng Siansu, guru besar dari Kim-liong-pai.

Lui Thian Sianjin ketika membaca surat yang ditinggalkan oleh Tiong Kiat yang menyatakan bahwa ia dan sumoinya telah bosan tinggal di gunung itu dan ingin merantau bersama serta membawa pedang pusaka dengan menyatakan bahwa ia sebagai murid terpandai berhak untuk memiliki pedang itu, kakek ini duduk bagaikan patung, mukanya pucat dan napasnya memburu! Yang lebih hebat lagi adalah sedikit "embel-embel" dalam surat itu bahwa tak perlu orang mencari mereka, karena mereka sudah saling mencintai

Tiong Han cepat membujuk suhunya agar suka bersabar dan menenangkan pikiran.

"Sudahlah, suhu, harap jangan banyak berduka dan marah. Adikku itu masih amat muda dan masih hijau sehingga ia mudah dikuasai oleh nafsu. Ampunkanlah dia suhu." Pemuda ini berkata dengan mata basah.

Tosu itu memandang kepada Tiong Han dengan mata heran hampir ia tidak percaya akan pendengarannya. "Apa...?" Katanya dengan suara parau. "Kau... kau yang dihina dan diperlakukan seperti itu, kau masih minta ampun untuknya........?”

Tiong Han menundukkan mukanya. "Dia adalah adikku suhu, oraag satu - satunya di dunia harus teecu cinta, sayang, dan bela."

"Dan.. tunanganmu... ? Ah, Tiong Han benar - benar kau lebih berhasil menguasai hati dan perasaan dari pada aku yang sudah tua bangka. Tidak sakitkah hatimu karena tunanganmu dibawa pergi oleh adikmu sendiri?"

Tiong Han menggelengkan kepalanya dan walaupun mukanya berobah pucat la menjawab dengan tenang, "Tidak, suhu. Hal ini tidak mengherankan teecu."

Kakek itu berdiri dari duduknya. "Apa katamu .,? Jadi kau sudah tahu akan hal busuk dan memalukan itu? Dan kau diam saja tidak memberitahukan kepadaku?"

Tiong Han melihat suhunya menjadi marah, lalu menjatuhkan diri dan berlutut.

"Suhu, ampunkan adik Tiong Kiat. Sesungguhnya ........ sudah sebulan yang lalu teecu tanpa disengaja melihat perhubungan erat antara Tiong Kiat dan sumoi. Dan ... dan ... agaknya karena teeecu telah mengetahui akan hubungan rahasia mereka itulah yang membuat meteka pagi hari ini melarikan diri. Hanya satu hal yang teecu sayangkan, mengapa Tiong Kiat begitu sembrono membawa pergi pedang pusaka Ang-coa.kiam."

Lui Thian Sianjin membanting-banting kakinya. "Gila ... Gila..! Mengapa aku seperti buta mataku? Semenjak dahulu aku sudah ragu-ragu dan menaruh hati curiga terhadap watak adikmu! Sekarang.. ah, Tiong Han, hanya kaulah yang dapat menolongku. Hanya kau satusatunya orang yang akan dapat membelaku dan membuat aku dapat meninggalkan dunia ini dengan rela."

"Apakah maksud ucapan suhu ini?"

"Bersumpahlah, muridku, bersumpahlah dengan saksi bumi dan langit! Bersumpahlah bahwa kau akan menjunjung tinggi nama Kim-liong-pai, akan berlaku sebagai seorang pendekar gagah yang menjunjung tinggi kebajikan, prikemanusiaan dan membela keadilan."

"Teecu bersumpah untuk melakukan semua nasihat suhu itu."

"Dengarlah kau harus bersumpah untuk memenuhi dua macam tugas berat yang harui kaulakukan, baik sewaktu aku masih hidup maupun sesudah aku mati."

"Teecu bersedia untuk bersumpah, harap suhu beritahukan apakah adanya dua macam tugas itu."

“Pertama, kau harus berusaha dan mencari atau merampas kenbali sampai dapat pedang Angcoa - kiam dari tangan Tiong Kiat dan membawa pedang itu ke mana juga kau pergi, menjaga dengan seluruh kehormatan."

"Bagaimana teecu dapat melakukan hal ini, suhu? Suhu maklum sendiri bahwa ilmu

kepandaian Tiong Kiat masih lebih tinggi dari pada teecu, apalagi karena sekarang ia telah memiliki pedang Ang coa . kiam. Bagaimana teecu dapat memenuhi tugas ini dan merampas pedang pusaka Ang-coa kiam”

"Bersumpah lah dulu bahwa kau mau melakukan hal itu!" kata Lui Thian Sianjin tidak sabar. "Hal kekalahanmu terhadap dia mudah dibicarakan kemudian."

"Baiklah, suhu, teecu bersumpah bahwa tecu akan mencari dan merampas pedang Ang - coa kiam sampai dapat. Teecu takkan berhenti berusaha sebelum pedang itu dapat terampas oleh teecu"

"Bagus, itu sumpah pertama, kau harus mendapatkan kembali pedang itu agar nama Kimliong-pai jangan sampai ternoda karena orang telah menyalah gunakan pedang pusaka itu. Dan sumpah kedua, kau harus mencari dan membunuh Sim Tiong Kiat !”

Pucatlah muka Tiong Han mendengar permintaan suhunya ini. Ia memandang kepada suhunya dengan mata terbelalak dan tak dapat menjawab, hanya menggeleng - gelengkan kepalanya saja.

"Tiong Han! Ucapkanlah sumpahmu!"

"Ti..dak, ,suhu ..teecu tak dapat melakukan hal ini! Teecu tidak sanggup "

Setelah berkata demikian Tiong Han lalu menjatuhkan mukanya di atas tanah dan meratap serta mintakan ampun untuk adiknya. Sungguh harus dikasihani pemuda yang berhati penuh kasih sayang terhadap adik kembarnya ini. Air matanya membasahi seluruh mukanya dan karena ia membentur-benturkan jidatnya di atas tanah, maka mukanya kini menjadi kotor.

"Tiong Han!" suhunya membentak marah. "Kalau aku tidak sudah tua dan kekurangan tenaga, pasti aku sendiri yang akan kurun gunung dan mereiri murid murtad itu untuk kubunuh sendiril Akan tetapi, di Kim-lioog-pai kini tinggal kaulah ahli waris satu-satunya yang kiranya kuat dan dapat melakukan tugas ini!"

Sampai beberapa lama tidak terdengar pemuda itu berkata kata, hanya ia menangis terisak-isak seperti seorang anak kecil. Ia tak kiasa membuka mulut, bagaimanakah la dapat membunuh Tiong Kiat? Bagaimana ia dapat bertega hati membunuh adiknya yang dikasihi nya sepenuh hati dan jiwanya? Tiong Kiat merupakan sebagian dari pada tubuhnya sebagian daripada nyawanyal

"Ampun, suhu........ ampunkanlah teecu dan ampunkan adikku Teecu tidak sanggup, tidak sampai hati melakukan tugas ini dan apakah dosa Tiong Kiat maka harus dibunuh? Terhadap Kim-liong pai, kesalahannya hanya mencuri pedang pusaka, tidak cukupkah kalau teecu

bersumpah mengambil kembali pedang itu ? Ampunkanlah dia suhu!"

"Tiong Han, kau terlalu lemah ! Kau bilang Tiong Kiat tidak begitu besar salahnya terhadap Kim liong-pai ? Soal pedang bukanlah soal terutama, akan tetapi yang paling hebat adalah perbuatannya yang melanggar adat, melanggar kesopanan, melanggar prikemanusiaan melanggar prikebajikan. Dia sudah berani membawa lari tunangan kakaknya apakah kau mau bilang bahwa manusia macam itu tidak seharusnya dibunuh ?"

"Suhu, beribu ampun apabila pendapat tecu lain dengan pendapat suhu. Bukan sekali-kali teecu membutakan mata dan membela adik sendiri tanpa alasan. Memang sesungguhnya pembuatan Tiong Kiat yang melarikan sumoi itu amat tidak sopan dan kurang ajar. Akan tetapi, siapakah yang tak terluka hatinya oleh perbuatan ini? Siapakah yang terhina dan siapa pula yang dirugikan ? Kalau ada orapg yang seharusnya merasa sakit hati, maka orang itu hanya teeculah. Akan tetapi, suhu, teecu tidak merasa sakit hati kepadanya teecu tidak merasa terhina, bahkan teecu dengan rela hati mengalah, biar sumoi menjadi jodoh Tiong Kiat, sudab cukup cocok dan pantas ! Biarlah, hitung-hitung teecu mencarikan jodoh untuk adik teecu, apa salahnya ? Bukankah dengan demikian tidak ada urutan sakit hati lagi, tidak ada keharusan hukuman mati terhadap Tiong Kiat?" Pemuda itu berbicara dengan bernafsu sekali, nafsu yang terdorong oleh rasa sayangnya terhadap Tiong Kiat dan dalam kesungguhan membela adiknya itu.

Pertapa itu mengelus elus jenggotnya dan menarik napas panjang berkali-kali. la duduk termenung dan pandangan matanya melayang jauh.

"Kalau begitu, terpaksa aku harus memaksa tulang belulangku yang sudah reyot dan lapuk ini untuk turun gunung dan bekerja sendiri. Ah... tidak kusangka akan menjadi demikian nasibku..... . Tiga orang murid tersayang kugembleng dan kulatih selama.... belasan tahun.. bersusah payah....... tanpa....mengharapkan pembalasan sedikit jugapun .... dua orang dari pada mereka menikam hatiku dan melarikan diri, siap merusak nama baikku, nama baik Kim-liong-pai. Sekarang kau pula tidak bersedia membelaku, ah Su-couw tentu akan menerima rohku dengan teguran hebatl" Kakek ini lalu menundukkan mukanya dan untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan mata Tiong Han, akan tetapi pemuda itu sudah melihat bahwa suhunya telah mengalirkan dua titik air mata. Suatu hal yang amat langka terjadi, karena ia maklum betapa suhunya ini pantang mengalirkan air mata.

"Suhu...” kata Tiong Han terharu. "Teecu sama sekali bukan tidak mau membela suhu, karena suhu tentu sudah maklum dan cukup mengerti bahwa teecu bahkan bersedia membela suhu dengan taruhan nyawa sekalipun! Hanya yang membuat tecu ragu ragu, sndah patutkah Tiong Kiat dibunuh, karena kesalahannya terhadap teecu yang sudah lama teocu maafkan itu ?"

"Sudahlah, sudahlah.. mana kau ada... hati untuk mengganggu adikmu yang tercinta walaupun ia amat jahat dan menyeleweng ? Kalau ia sampai mencemarkan nama Kim-liongpai, kaupun tidak akan terbawa bawa tentu saja kau lebih berat kepada adikmu daripada kepadaku ataupun kepala Kim-liong- pai. Sudahlah ...... "

Bukan main perihnya rasa hati Tiong Han mendengar sindiran suhunya ini. Ia lalu memberi hormat lagi, kemudian ia berdiri dan berkata,

"Suhu, teecu bermohon diri. Tecu hendak mencari Tiong Kiat dan hendak minta kembali pedang pusaka Ang-cong-klam, juga tecu hendak mencegah segala kejahatan atau penyelewengannya, kalau perlu dengan nyawa teecu !" Setelah berkata demikian Tiong Han lalu menggerakkan tubuh hendak berlari turun.

"Tiong Han, tunggul" tiba-tiba suhunya membentak dm ketika pemuda itu memutar tubuhnya, Lui Thian Sianjin melemparkan sesuatu kepadanya. Tiong Hin cepat menyambut benda itu dan ternyata bahwa yang diberikan kepadanya adalah sebuah kitab yang terbungkus dengan sutera putih.

"Pedang Ang coa-kiam telah berada di tangan Tiong Kiat. Satu - satunya benda yang dapat melawan pedang itu hanyalah kitab ini. Pelajarilah baik - baik dan dengan adanya kitab itu di tanganmu, maka kedudukanmu dalam Kim liong-pai masih lebih tinggi dari pada pemegang pedang Ang coa kiam. Menurut peraturan di Kim.liong-pai, seperti kau juga sudah mengetahuinya, sebagaimana yang dipesankan dahulu oleh mendiang sucouw kita, semua murid Kim-liong-pai harus tunduk dan taat kepada pemegang dua buah pusaka Kimliong-pai, pertama-tama sekali kepada pemegang dari kitab ilmu pedang Ang-coa-kiamcoan-si sebagai pemimpin tertinggi, dan kedua kepada pemegang pedang Ang.coa kiam sebagai pemimpin kedua. Tiong Kiat juga tahu akan peraturan ini dan kalau dia hendak mempergunakan haknya sebagai pemegang pedang Ang-coa kiam, maka menurut aturan, la masih harus tunduk dan taat kepada pemegang kitab Ang-coa-kiam-coan-si . Nah, kau pergilah."

Adapun Can Kong, ayah dari Can Kui Hwa, ketika mendengar berita tentang puterinya yang melarikan diri sama Sim Tiong Kiat menjadi marah sekali. Tanpa dapat dicegah lagi oleh isterinya yang menangis dan meratap lalu membawa pedangnya keluar dari rumah untuk mencari anaknya dan Tiong Kiat.

"Terkutuk !" makinya dengan muka merah "Aku harus mencarl dan membunuh sepasang anjing itu!" Ayah ini merasa malu sekali malu terhadap suhunya, malu terhadap calon mantunya, dan malu kepada diri sendiri. Bagaimana puteri tunggalnya bisa melakukan perbuatan yang rendah itu? Dan kemarahannya terhadap Tiong Kiat memuncak.

0o-dw-o0

Dua bayangan yang cepat sekali gerakannya berlari bagaikan dua ekor burung garuda melayang turun dari Gunung Liong - san. Kalau dilihat dail jauh, mereka ini nampak bagaikan dua ekor burung saja dan bagaikan dua titik yang makin lama makin membesar. Akan tetapi setelah kedua sosok bayangan ini datang dekat, ternyata mereka adalah sepasang orang muda dan elok sekali, sepasang pemuda dan pemudi yang amat sedap dilihat karena mereka ini benar-benar tampan dan cantik.

Pemuda itu adalah Sim Tiong Kiat, pemuda yang berusia dua puluh tahun yang amat tampan.

Tubuhnya sedang, dadanya bidang, mukanya yang bundar dengan dagu tajam itu berkulit putih bersih kemerah-merahan bagaikan muka seorang wanita. Sepasang matanya berkilatkilat dan bersinar tajam sekali, dengan gerakan yang liar dan tiada hentinya bergerak. Alisnya tebal dan panjang menghitam, nampak makin jelas pada wajahnya yang putih bagaikan dicat. Hidungrya mancung dan bibirnya merah den berbentuk indah. Benar benar seorang pemuda yang amat cakap dan tampan. Hanya tarikan mulut dan dagunya saja yang membayangkan kegagahan dan ketinggian hati, sikap mukanya selalu memandang rendah dan mengejek orarg lain yang dipandangnya. Pakaiannya berwarna biru dengan ikat kepala dan pinggir leher berwarna merah menambah kegagahannya. Sarung pedang yang Indah sekali tergantung di pinggang kirinya. Inilah Sim Tong kiat, murid dari Kim-liong-pai yang melarikan diri itu, dan pedang ynng tergantung di pinggangnya itu sdalnh pedang Angcoa-kiam, pedang pusaka Kim liong-pai yang dicuri dan dibawanya pergi,

Dara yang berjalan di sebelah kirinya cantik sekali. Wajahnya manis dan potongan tubuhnya langsing dan penuh hampir mendekati sebutan montok. Ikat kepalanya biru, pakaiannya merah, agak kehitaman. Di atas telinga kanannya terhias oleh bunga bungaan dari sutera yang indah. Bibirnya selalu tersenyum manis dan sepasang matanya kocak, kalau mengerling nampak nyata kegenitannya, kegenitan yang tidak menjemukan, bahkan yang merupakan senjata istimewa dari pada kecantikannya, karena sukarlah bagi seotang pria untuk bertahan menghadapi serangan kerling semanis itu. Gadis itu bukan lain adalah sumoi (adik seperguruan) dari Sim Tiong Kiat yang bernama Can Kui Hui, pu'eri tunggal dari Can Kong.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, biarpun oleh suhu dan ayahnya ia di tunangkan dengan Tiong Han namun di dalam hatinya, Kui Hwa, tidak menyetujui pertunangan ini, karena semenjak kecil ia telah tertarik kepada Tiong Kiat. Setelah menjadi dewasa rasa suka ini berobah menjadi cinta kasih yarg mendalam. Watak Tiong Kiat yang gembira dan jenaka, cocok sekali dengan wataknya, tidak seperti Tiong Han yang pendiam dan bersikap sungguh - sungguh. Apalagi dari fihak Tiong Kiat ada jawaban maka kakak beradik seperguruan ini saling jatuh cinta dan makin lama hubungan mereka makin erat.

Sungguh amat disayangkan bahwa gadis y«ng cantik itu memiliki sifat genit, dan demikian pula Tiong Kiat mempunyai watak yang mata keranjang. Hubungan mereka yang amat erat pergaulan mereka yang bebas lepas di atas puncak Liong san, kesempatan-kesempatan yang terbuka dan watak mereka yang romantis merupakan kekuatan yang maha besar mendobrak daya tahan iman mereka yang muda. Ditambah lagi oleh kata - kata manis dari Tiong Kiat yang agaknya berbakat pula untuk mencumbu rayu wanita, maka jatuhlah hati Kui Hwa. Mereka lupa daratan, tak acuh kepada bisikan - bisikan dan teguran hati nurani sendiri dan akhirnya merela melakukan hubungan yang melanggar batas - batas kesopanan dan kesusilaan!

Sesungguhnya mereka tidak ada niat sama sekali untuk lari minggat dari puncak gunung itu. Sungguhpun Kui Hwa amat mencintai Tiong Kiat, namun ia tidak berani membantah kehendak suhu dan ayahnya dalam hal ikatan jodohnya dengan Tiong Han. Akan tetapi, ketika pada malam hari itu tanpa disangka sangka Tiong Han melihat mereka berdua sedang berkasih-kasihan, keduanya menjadi malu dan gelisah sekali. Memang Tiong Han segera pergi dan berlaku biasa pura-pura tidak melihat mereka, namun mereka tetap saja takut kalau-kalau Tiong Han akan melaporkan hal itu kepada Lui Thian Sianjin atau kepada Can Kong.

Demikianlah mereka lalu mengambil keputusan untuk minggat saja, Untuk menjaga agar

kelak tidak menghadapi kemurkaan Lui Thian Sianjin dan juga karena memang suka kepada pedang pusuka Ang coa kiam, Tiong Kiat lalu mencuri pedang itu, bahkan secara kurang ajar dan berani sekali meninggalkan surat untuk suhunya, mengakui terus terang bahwa dia mengambil pedang pusaka dan bahwa ia dan sumoinya akan pergi karena telah saling menyinta.

“Suheng, bagaimana kalau twa-suheng (kakak seperguruan tertua) mengejar kita?” Kata Kui Hwa sambil memegang tangan Tiong Kait dengan sikap manja ketika mereka berjalan berdampingan di dalam sebuah hutan di kaki Gunung Liong san.

"Hwa moi, mengapa kau takut ? Han-ko tidak akan mengejar kita, karena tidak tahukah kau bahwa dia sebenarnya juga tidak menaruh rasa cinta kepadamu, kalau bukan demikian mengapa dia tidak menegur kita ketika dia melihat perhubungan kita? Pula kalau sampai dia mengejar juga apa sih yang harus ditakuti ? Menghadapi kau saja belum temu dia akan menang, apalagi terhadap aku. Dan masih ada pokiam (pedang mustika) ini"

“Takut sih tidak, koko (kanda). Akan tetapi......” Kui Hwa menahan langkahnya dan hendak menundukkan mukanya yang bersemu merah.

Tiong Kiat juga berhenti dan juga memegang tangan kekasihnya itu "Akan tetapi apa.. moi... moi ?”

“Kalau twa-suheng datang, aku.... aku merasa malu. Bukankah aku sudah dipertunangkan dengan dia?. Aku .... .... aku malu,"

Tiong Kiat merenggutkan tangannya dari tangan Kui Hwa dan keningnya berkerut, “Kau menyesal? Kalau kau masih menyayangkan pertunanganmu dengan dia kau boleh kembali"

Terbelalak mata Kui Hwa ketika ia memandang wajah pemuda itu. Kemudian melangkah maju dan memeluk kekasihnya sambil menjatuhkan jidat pada dada Tiong Kiat. “Tega benar kau berkata begitu kepadaku, koko. Mengapakah kau tidak percaya kepadaku? Masih belum cukupkah pengorbananku? Aku memutuskan pertunangan yang telah dijadikan oleh suhu dan ayah, telah meninggalkan suhu dan meningalkan ayah untuk ikut padamu, telah dengan rela menyerahkan jiwa raga kepadamu, kini tega benar kau mengeluarkan kata-kata seperti itu"

Tiong Kiat mengelus-elus kepala Kui Hwa dan membelai rambutnya dengan sentuhan mesra, “Hwa moi, kita sudah bersumpah sehidup semati, dengan disaksikan oleh bulan dan bintang kita telah menjadi suami isteri, mengapa kau masih mau memperdulikan orang lain? Biarkan Han-ko datang mengejar kalau ia berani. Kau jangan ikut-ikut, aku sendiri yang akan menghadapinya”

Kui Hwa mempererat pelukanrya dan bisiknya, "Kekasihku.. aku tak dapat mencintai orang lain, dan aku hanya menyerahkan nasib hidupku kepadamu. Aku akan turut kepadamu, ke mana juapun kau pergi! Aku bersedia hidup sengsara asal saja berada di sampingmu. Hanya

satu hal ...jangan sekali – kali kau menyia-nyiakan cintaku, koko jangan sekali-kali kau bermain gila dengan wanita lain. Kalau terjadi hal seperti itu, akan kubunuh wanita itu dan aku akan meninggalkanmu!"

Tiong Kiat tersenyum dan berkata jenaka, "Bagiku di atas dunia ini hanya ada seorang wanita, yakni engkaulah. Bagaimana aku dapat bermain dengan wanita lain? Wanita mana yang dapat menyamaimu? Wanita mana yang mempunyai mata seindah ini, bibir semanis ini, dan rambut sehalus ini?" Sambil berkata demikian ia membelai mata, bibir dan rambut gadis itu. "Tidak, aku akan tetap setia padamu seperti juga setiamu kepadaku, Hwa-moil" Akan tetapi di dalam Hatinya, Tiong Kiat mentertawakan sumoinyia ini, sungguhpun ia berdebar juga mendengar ancaman yang diucapkan Kui Hwa, karena ia maklum bahwa gadis ini tentu akan membuktikan ancamannya itu.

Karena buaian cumbu rayu dan kasih sayang, sepasang orang muda ini melakukan perjalanan dengan amat gembira. Mereka tidak memperdulikan lagi akan bahaya yang mungkin datang dari kejaran Tiong Han maupun suhu mereka. Kui Hwa amat percaya kepada kekasihnya, karena dara inipun maklum akan kelihaian Tiong Kiat. Misalnya suhu mereka mengejar, dengan kekuatan mereka, agaknya guru mereka sendiripun takkan dapat mengganggu kebahagiaan mereka.

Akan tetapi beberapa belas hari kemudian, ketika sepasang orang muda ini akan pesiar di sebuah telaga, mengaso di pinggir telaga melihat orang-orang berpesta di atas perahu alangkah terkejutnya hati mereka ketika tiba- tiba Can Kong berdiri di hadapan mereka dengan pedang terhunus di tangan kanan.

"Ayah... !" Kui Hwa berseru dengan wajah pucat dan gadis itu menghampiri ayahnya hendak berlutut, akan tetapi Can Kong menggerakkan pedangnya dan membacokkan pedang itu ke arah leher Kui Hwa! Biatpun kepandaian Kui Hwa lebih tinggi dari pada ayahnya, namun bacokan yang dilakukan oleh ayahnya dan diserangkan kepadanya yang sedang berlutut itu, agaknya tak dapat dielakkan lagi !

"Traang........!" terdengar suara keras dan pedang di tangan Can Kong tinggal gagangnya saja. Ternyata bahwa pedangnya yang mengancam nyawa puterinya sendiri itu tehh kena ditangkis oleh Tiong Kiat yang mempergunakan pedang Ang-coa kiam. Dapat dibayangkan betapa tajam dan ampuhnya pedang Ang-coa-kiam. Baru saja terbentur sekali, pedang di tangan Can Kong telah dibabat putus !

"Anjing.. anjing rendah tak tahu bermalu l" Can Kong berseru dengan nafas terengahengah. 'Kalian harus mampus.” kemudian dengan nekad Can Kong lalu menubruk Kui Hwa uuruk mencekik lehernya .

"Ayah... ! Ampunkan anakmu, ayah..."

Kui Hwa mengeluh tanpa berani melawan, akan tetapi kembali Tiong Kiat yang menolongnya Sebuah sampokan lengan kanan pemuda ini membuat tubuh Can Kong terpental dan terhuyung - huyung mundur ke belakang hampir jatuh! Memang, kepandaian Can Kong masih kalah jauh

kalah dibandingkan dengan kepandaian Tiong Kiat, baik ilmu pedang, maupun tenaga lweekangnya.

"Suheng," kata Tiong Kiat yang menyebut "kakak seperguruan" karena memang Can Kong juga murid dari Lui Thian Sianjin, "tidak ada harimau makan anaknya, apalagi manusia!"

"Anjing she Sim!" Can Kong marah sekali sehingga sepasang matanya seakan-akan mengeluarkan cahaya api dan mulutnya mengeluarkan buih. "Kau telah melakukan perbuatan rendah melarikan anak gadis orang, masih dapat memberi nasihat kepadaku? Saat ini kalau bukan kau, tentu aku yang akan mampus!" Setelah berkata demikian, Can Kong kembali menyerang, dan kali ini ia menyerang Tiong Kiat dengan sepenuh tenaga!

"Ayah... !" Kui Hwa menjerit dan hanya dapat menangis. Ayahnya sudah nekad benar dan menyerang secara bertubi-tubi dan mata gelap.

Tiong Kiat telah menyimpan kembali pedangnya dan sesungguhnya ia tidak berani untuk membalas serangannya orang tua yang nekad itu. Akan tetapi, karena Can Kong menyerang dengan mati-matian, ia menjadi repot juga.

"Can suheng, mengapa kau berlaku seperti anak kecil. Biarkan kami berdua pergi. Aku masih menghormatimu sebagai seorang subeng dan kalau boleh, sebagai orang tua sendiri, akan tetapi kesabaran ada batasnya “ kata Tiong Kiat sambil menangkis sebuah pukulan dengan tenaga sepenuhnya sehingga Can Kong merasa betapa lengannya sakit sekali dan kembali tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.

"Bangsat rendah ! Binatang tak bermalu !' Can Kong memaki lagi tanpa memperdulikan rasa sakit pada lengannya, ia menyerbu kembali dengan ilmu pukulan Kim-liong pai yang berbahaya bagi lawannya

"Kau mencari penyakit sendiri" kata Tiong Kiat dengan marah karena ia anggap orang tua ini amat keterlaluan.

"Koko, jangan...!" Kui Hwa berseru akan tetapi terlambat. Tiong Kiat telah membalas serangan lawannya dan ketika tubuhnya bergerak cepat, sebuah tendangannya yang lihai telah mengenai lambung Can Kong dengan hebatnya. Tubuh Can Kong terlempar jauh dan roboh ke dalam air telaga !

"Ayah...” Kui Hwa menjerit dan menolong ayahnya, akan tetapi pada saat itu, diantara perahu-perahu yang bergerak ke sana ke mari di atas telaga, meluncur cepat sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang hwesio gemuk, sekali ia mengulurkan tangannya tubuh Can Kong yang hampir tenggelam itu telah berpindah ke dalam perahu.

"Siapa pemuda itu, siapa pula gadis itu dan siapa kau” tanya pendeta Buddha ini kepada Can Kong yang napasnya sudah empas-empis.

Can Kong membuka matanya dan ketika ia melihat hwesio gemuk itu ia tersenyum pahit. Ia mengenal hwesio ini yane bukan lain adalah seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal, la bernama Cin Kun Hosiang, tokoh dari Bu-tong-pai, hwesio perantau yang menjadi pendekar besar penolong rakyat sehingga namanya amat terkenal, baik di kalangan rakyat maupun di dunia kang-ouw.

"Cin suhu, celakalah... hancur nama ....baikku oleh anjing-anjing tak bermalu itu. Perempuan itu adalah puteri tunggalku, sedangkan pemuda itu adalah suteku sendiri. Mereka.. mereka minggay....... dan......."

Orang tua itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia menjadi lemas dan pingsan karena luka pada lambungnya yang hebat akibat tendangan Tiong Kiat.

Bukan main marahnya Cin Kun Hosiang mendengar keterangan ini. Dengan tangan kiri memondong tubuh Can Kong. Ia lalu melompat ke pantai, mengagumkan sekali gerakannya ini karena tubuhnya yang gendut itu seakan- akan amat ringan. Ketika berhadapan dengan Tiong Kiat yang memandang dengan sikap dingin dan Kui Hwa yang masih mengucurkan air mata, hwesio itu lalu menurunkan tubuh Can Kong yang masih pingsan itu di atas tanah. Kui Hwa hendak menubruk ayahnya, akan tetapi hwesio itu mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah gadis itu sambil berkata,

"Jangan mengotori ayahmu dengan tanganmu yang bernoda"

Kui Hwa terkejut sekali karena ujung lengan baju itu mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat. Akan tetapi dengan lincahnya ia dapat mengelak dan memandang kepada hwesio itu dengan marah.

"Kepala gundul. Siapakah kau maka berani sekali kau berkata demikian kepadaku?" bentaknya.

Hwesio itu tertawa bergelak. "Pinceng Cin Kun Hosiang paling benci kepada orang orang jahat, akan tetapi lebih benci lagi kepada seorang anak durbaka. Kau adalah seorang anak perempuan yang mendurhaka terhadap orang tua, seorang anak gadis tak bermalu yang menodai nama keluarga ! Percuma saja kau dilahirkan di atas dunia, lebih baik sekarang juga kau meninggalkan dunia agar nama baik ayahmu tidak sampai menjadi buah tutur orang 1"

"Keparat” bentak Kui Hwa. "Aku pernah mendengar nama Cin Kun Hosiang sebagai tokoh Butong-pai yang tersohor, akan tetapi ternyata kau hanya seorang kepala gundul ysng berpura-pura alim dan orang yang lancang yang suka mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Kau kira aku takut kepadamu?" Kui Hwa menjadi marah sekali oleh karena ucapan itu

didengar oleh orang - orang yang kini mulai berkumpul menonton mereka. Ia merasa dihina dan dibikin malu sekali, maka setelah mencabut pedangnya ia lalu menyerang hwesio gemuk itu.

Cin Kun Hosiang ketika melihat datangnya serangan yang cukup hebat mi, diam- diam menjadi terkejut. Ia maklum akan kehebatan ilmu pedang Kim-liong-pai akan tetapi ia pernah melihat Can Kong bermain silat dengan pedang dan karena tingkat Can Kong masih rendah, maka hwesio ini merasa sanggup untuk menghadapinya,

Kini melihat gerakan Kui Hwa, selain terkejut iapun merasa heran bagaimana gadis ini memiliki ilmu pedang yang jauh lebih hebat dari pada ilmu pedang ayahnya! Akan tetapi ia tidak tempat banyak berpikir dan cepat pula ia mencabut senjatanya, yakni sebatang tongkat pendek yang tadinya terselip di pinggangnya.

Pertempuran hebat terjadi di pantai telaga itu antara Cin Kun Hosiang dan Kui Hwa. Kalau dibandingkan antara kedua orang yang sedang bertempur ini, maka kepandaian mereka boleh dibilang berimbang kuatnya. Hwesio gemuk itu lebih menang dalam hal tenaga lweekang dan pengalaman, akan tetapi Kui Hwa menang jauh dalam kecepatan dan kehebatan gerakan pedangnya. Pedangnya melupakan seekor burung elang yang menyerang dan menyambar-nyambar dan semua penjuru, sedangkan tongkat di tangan Cin Kun Hosiang merupakan seekor induk ayam yang melindungi anak anaknya dari serangan elang itu. Gerakannya tidak cepat dan amat tenang, akan tetapi sekali digerakkan, cukup untuk membikiu pedang Kui Hwa terpental kembali.

Betapapun juga, karena kalah lihai ilmu silatnya, hwesio gendut itu terdesak hebat oleh Kui Hwa, sungguhpun takkan mudah bagi Kui Hwa untuk merobohkan lawannya. Diam-diam Cin Kun Hosiang merasa kaget sekali. Jarang sekali hwesio ini bertemu dengan lawan yang sedemikian tangguhnya. Banyak sudah ia mengalami pertempuran menghadapi penjahatpenjahat oan perampok-perampok, akan tetapi selalu ia memperoleh kemenangan. Jarang ada orang yang sanggup menghadapi tongkatnya yang digerakkan dengan tenaga lweekangnya yang sudah tinggi. Akan tetapi siapa kira bahwa kini menghadapi puteri Can Kong seorang dara jelita yang masih muda sekali, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas serangan gadis ini.

Cin Kun Hosiang menjadi kekhi (gemas) juga. Pada saat pedang Kui Hwa menyambar dari atas, ia cepat menangkis dengan tongkatnya, dan membarengi dengan serangan pukulan tangan kirinya ke arah dada gadis itu! Inilah serangan dari ilmu pukulan Lwee-khiciang- hoat yang luar biasa hebatnya, karena pukulan ini dilakukan dengan pengerahan tenaga khi-kang. pukulan ini tidak perlu mengenai tubuh, hawa pukulannya saja cukup mengalahkan lawan. Yang paling hebat adalah pukulan ini takkan terasa oleh lawan dan tidak melukai tubuh luar, namun menyerang dan melukai tubuh bagian dalam.

Untung bagi Kui Hwa selama itu, Tiong Kiat memandang pertempuran dengan penuh perhatian. Ketika ia melihat betapa Kui Hwa dapat mendesak lawannya dan meyakinkan bahwa kekasihnya itu pasti akan dapat mengalahkan Cin Kun Hosiang, ia merasa lega dan tidak mau turun tangan membantu. Akan tetapi ketika melihat gerakan pukulan hwesio itu, ia menjadi terkejut sekali."Awas pukulan Lwee-khi!" teriaknya memperingatkan Kui Hwa dan berbareng ia mengirim pukulan dengan tenaga khikangnya ke arah hwesio itu. Cin Kun Hosiang terkejut ketika merasa angin pukulan yang luar biasa kuatnya menyambar dari samping. Ia terpaksa menarik kembali pukulannya itu dan mencoba menjejak, akan tetapi

Kui Hwa yang merasa marah sekali kepada lawannya, tidak memberi hati dan ketika pedangnya meluncur ke depan biarpun Cin Kun Hosiang mencoba untuk mengelak, tetap saja ujung pedang itu menancap ke pundaknya sebelah kanan. Ketika Kui Hwa mencabut pedangnya, Cin Kun Hoaiang terhuyung ke belakang, kemudian roboh mandi darah dalam keadaan pingsan.

Tiong Kiat memegang tangan kekasihnya, menariknya sambil berkata, "Hayo kita pergi, moi moi" Kui Hwa beberapa kali menengok ke arah ayahnya, akan tetapi ia hanya terisak sedih dan mengikuti kekasihnya yang berlari cepat.

Setelah jauh dari tempat itu, Kui Hwa berhenti berlari, menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis tersedu-sedu. Tiong Kiat menghampirinya, lalu memeluknya.

"Koko mengapa kau melukai ayah? Bagaimana kalau kalau ia mati ? Ah, kau yang membunuhnya"

Tiong Kiat mnmegang kedua pundak Kui Hwa dan memaksa gadis itu memandangnya. “Kui Hwa, pikirlah baik-baik. Dalam keadaan seperti itu, kau hanya tinggal memilih, ayahmu atau aku ! Dia telah menyerangku mati- matian, dan kaupun tahu bahwa tadinya aku selalu mengalah. Akan tetapi, kalau aku terus mengalah, bukan dia yang roboh pasti aku yang roboh, pasti akulah yang telah dirobohkannya. Kalau aku yang terluka, apakah ayahmu akan mau melepaskan aku begitu saja tanpa membunuhku lebih dulu?”

Mendengar ucapan ini, Kui Hwa menundukkan mukanya sambil terisak-isak menahan kepedihan.

“Aku aku menyesal sekali, koko....... Bagaimanakah nasioku menjadi begini ? Aku bermusuh dengan ayah sendiri......."

Tiong Kiat menghiburnya, menggunakan tangannya untuk menghapus air mata kekasihnya yang mengalir turun di sepanjang pipinya, lalu mendekap kepalanya.

"Jangan takut, moi-moi. Bukankah ada aku yang akan selalu melindungimu? Tidak apalah kalau ayahmu membencimu, bukankah sudah ada aku seorang yang akan mencinta dan membelamu selama hidupku?"

Terhibur juga hati Kui Hwa mendengar ucapan yang penuh cinta kasih ini.

"Koko, betul-betulkah kau akan tetap mencintaiku selama hidupmu? Tidak akan tertarik oleh gadis lain yang lebih cantik dari pada aku ?" bisiknya manja.

"Aku bersumpah, moi-moi. Bukankah sudah berkali - kali aku menyatakan bahwa aku mencintamu dengan segenap nyawaku?" kata Tiong Kiat kepada Kui Hwa yang merem melek terayun oleh bujuk rayu yang dikeluarkan dengan suara halus dan yang cukup kuat untuk merobohkan hati seoiang gadis ini. Demikianlah amat berbahaya kalau seorang gadis hanya membuka telinga untuk mendengarkan bujuk rayu seorang pemuda, tanpa membuka kewaspadaan hatinya dan kewaspadaan matanya untuk dapat melihat apakah yang tersembunyi di balik senyum manis, dan apa yang terdengar di balik cumbu rayu itu. Sekali ia telah terjebak dan masuk perangkap sukarlah baginya untuk keluar kembali.

"Koko, sekali lagi aku mohon kepadamu, janganlah kau melupakan aku, jangan meninggalkan aku, dan jangan pula kau bermain gila dengar wanita lain. Aku takkan kuat menahannya dan aku lebih baik mati dari pada harus berpisah dengan kau, dari pada harus melihat engkau berkasih-kasihan dengan wanita lain. Akan kubunuh wanita itu !"

"Jangan khawatir, kekasihku, tidak ada wanita yang lebih cantik, lebih manis dan lebih setia dari padamu!"

Terhiburlah hati Kui Hwa dan anak ini telah melupakan lagi ayahnya yang ditinggalkan dalam keadaan terluka parah. Tidak teringat lagi ia apakah ayahnya akan mati akibat tendangan kekasihnya itu, ataukah masih hidupi Bahkan Kui Hwa tidak perduli lagi akan nama Cin Kun Hoaiang yang sudah ia lukai. Pada hal kalau pikirannya sadar, ia akan mengeluarkan keringat dingin kalau teringat betapa telah melukai seorang pendekar yang sudah tersohor namanya, seorang gagah yang dicintai oleh orang - orang kang - ouw, yang mempunyai banyak sekali kawan-kawan yang tentu saja takkan tinggal diam.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan, merantau tanpa arah tujuan tetap. Di mana saja mereka mendengar ada tempat yang bagus dan menyenangkan, mereka lalu mendatangi tempat itu. Keadaan mereka tiada ubahnya seperti sepasang pengantin baru yang melakukan perjalanan berbulan madu.

0o-dw-o0

Akan tetapi, tepat sebagaimana yang di ajarkan oleh para cerdik pandai dan para bijaksana di jaman dahulu, bahwa segala sesuatu mengenai tindakan dalam hidup, harus dilakukan dengan hati suci, bersih dari pada Lima Sifat yang dipergunakan sebagai garis dan batas hidup. Lima Sifat itu adalah Jin, Gie, Lee, Ti, Sin. Demikianlah dengan hubungan antara Tiong Kiat dan Kui Hwa. Kedua orang muda ini melakukan hubungan hanya karena dorongan nafsu semata, nafsu yang membikin buta mata batin mereka, yang melumpuhkan keteguhan iman mereka. Dan semua penyelewengan ini terjadi karena tidak adanya Lee, karena tidak adanya peraturan. Mereka telah melanggar Lee, melanggar peraturan yang diajarkan oleh para bijaksana. Hubungan mereka setelah dewasa melampaui kesopanan dan sama sekali melanggar peraturan kesopanan dan kesusilaan. Akibatnya mereka terkena bujukan iblis, dan kemudian mereka bahkan meninggalkan suhu dan orang tua, minggat dan melakukan pelanggaran peraturan yang kedua. Ketiga kalinya mereka hidup seperti suami isteri di luar pernikahan yang sah, dan hal ini lebih - lebih melakukan pelanggaran peraturan yang amat buruk. Semenjak jaman dahulu, orang orang di negeri Tiongkok selalu berpegang teguh kepada peraturan, terutama sekali dalam hal

hubungan antara laki - laki dan wanita, dan bagaimana bukti kebaikannya? Bagi seorang rakyat Tiongkok, pernikahannya hanya terjadi satu kali selama mereka hidup. Jarang sekali, hampir tidak ada, terjadi perceraian - perceraian, dan suami isteri hidup rukun sampai di hari tua.

Setel ih melakukan perjalanan beberapa bulan saja, mulai lunturlah "cinta kasih” yang didengungkan oleh mulut Tiong Kiat terhadap Kui Hwa. Biarpun kini pemuda itu sama sekali tidak menyatakan kelunturan cinta kasihnya dalam kata kata, namun pandangan mata dan sikapnya membuat Kui Hwa amat gelisah. Gadis ini benar-benar mencinta Tiong Kiat, bahkan telah membuktikan cintanya itu dengan memberatkan pemuda itu dari pada ayahnya.

Berkali - kali mulai timbul percecokan dan perbantahan diantara mereka karena soal kecil saja dan hati Kui Hwa makin lama makin gelisah dan sedih. Ia membujuk - bujuk kekasihnya itu untuk menghentikan perantauan mereka dan tinggal di dalam sebuah kota, mencari rumah dan hidup berumah tangga sebagaimana yang diidam-idamkan oleh semua gadis di dunia ini. Akan tetapi Tiong Kiat selalu menyatakan tidak setuju.

"Aku tidak betah tinggal di rumah. Kalau kau merasa lelah ikut aku merantau, marilah kita mencari rumah dan kau beristirahat di situ. biar aku melanjutkan perantauan seorang diri."

Semenjak mendapat jawaban ini, Kui Hwa tidak berani lagi bicara tentang menghentikan perantauan mereka. Ia juga tidak membantah ketika melihat Tiong Kiat mendatangi rumah gedung orang-orang hartawan untuk mencuri emas dan perak guna dipakai membiayai perjalanan mereka. Beberapa bulan kemudian, mereka tiba di sebuah dusun di luar kota Heng-yang. Baru saja mereka berjalan mematuki pagar dusun, tiba-tiba terdengar jeritanjeritan dan mereka melihat dua orang wanita sedang berlari ketakutan, dikejar oleh seorang laki-laki tua yang membawa golok yang diangkatnya tinggi-tinggi. Dua orang wanita itu adalah orang-orang dusun, akan tetapi yang seorang biarpun berpakaian sederhana seperti pakaian orang dusun, ternyata masih muda dan amat cantiknya. Adapun wanita kedua sudah setengah tua, berlari sambil menggandeng dan menarik lengan gadis cantik manis itu.

Melihat bahaya maut mengancam kedua orang wanita itu, Tiong Kiat dan Kui Hwa segera turun tangan. Kui Hwa melompat ke dekat kedua orang wanita itu untuk melindungi mereka, adapun Tiong Kiat cepat menyerbu laki-laki bergolok itu. Akan tetapi, alangkah herannya ketika sekali saja mengulur tangan, golok itu dengan mudah telah dapat dirampasnya. Ternyata laki laki itu seorang dusun yang lemah dan sama sekali tidak pantas menjadi orang jahat yang mengganggu dan mengancam wanita! la menyangka bahwa mungkin orang ini berotak miring, maka bentaknya,"Orang gila darimana berlaku kurang ajar kepada orang perempuan?”

Akan tetapi orang laki-laki yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu, menjadi marah dan menegur Tiong Kiat dengan mata merah,

"Orang muda, kau perduli apakah dengan urusan rumah tangga orang lain? Mereka adalah istri dan anakku, aku hendak membunuh mereka kemudian membunuh diri sendiri, ada hubungan apakah dengan engkau?"

Tiong Kiat tersenyum jenaka. "Kakek lucu, kau ingin mati mengapa mengajak orang lain? Bila kau memaksa anak istri untuk ikut sertamu mati, sungguh pengecut!”

Kakek itu makin marah,”mengapa kau bilang aku pengecut!”

“Itu karena kau takut hidup, takut menghadapi kesukaran, maka kuanggap kau pengecut! Sudah terang bahwa anak istrimu tidak sudi mati, akan tetapi kau hendak memaksa mereka. Dengan perbuatan ini, kembali kau pengecut, jadi dua kali pengecut !" Mendengar ucapan ini, tiba-tiba wajah yang tadinya marah itu menjadi muram dan laki-laki itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan menangis! Kedua orang wanita yang dikejar-kejar tadi lalu berlari menghampiri dan bertangis-tangisanlah ketiga orang itu ! Tentu saja Tiong Kiat dan Kui Hwa hanya bisa saling pandang dengan heran dan geli hatinya.

"Eh, ah, bagaimana pula ini?" Kui Hwa kini maju bertanya. "Seperti anak keciI saja kalian ini. Tadi berkejar-kejaran sekarang bertangis-tangisan! Kesusahan apakah yang mengganggu kalian? Beritahukan kepada kami, pasti kami akan dapat membantu kalian."

Ketiga orang itu mengangkat muka memandang kepada dua orang muda itu dan setelah kini melihat dari dekat, diam diam Tiong Kiat mengerling kagum ke arah gadis dusun yang benar benar cantik sekali itu ! Karena menangis sepasang pipi gadis itu menjadi kemerah-merahan dan bibirnya demikian menarik dan indah sehingga diam-diam Tiong Kiat menelan ludah !

"Kami adalah orang orang yang tertimpa kemalangan hebat," kata kakek itu. "Loan Li puteri kami yang hanya seorang ini telah terlihat oleh Hek pa cu (Macan Tutul Hitam) dan telah dipinang ! Kami tidak melihat jalan keluar, maka kupikir lebih baik kami binasa daripada anak kami menjadi korban Hek pa cu !

"Hm, siapakah Hek pa cu itu? Orang macam apakah dia ?" tanya Tiong Kiat sambil memandang gadis yang bernama Loan Li itu.

Kini kakek itu yang memandang heran. "jiwi tentu datang dari tempat jauh maka belum pernah mendengar nama Hek pa cu Tong Sun ! Dia telah dikenal baik olen seluruh penduduk di sekitar daerah Heng-yang. Dialah pemimpin dari gerombolan Sorban Merah yang terkenal !”

'Kalau begitu mengapa pula kau menolak pinangannya? Bukankah ia seorang ternama seperti katamu tadi? Terima saja pinangannya, habis perkara !" kata Kui Hwa.

"Tidak ...... tidak sudi....... lebih baik mati!” gadis cantik berkata dan wajahnya berobah pucat, sambiI menggoyang - goyangkan kedua tangan ia menyatakan tidak setuju.

"Nah, itulah yang menggelisahkan hatiku. Anakku tidak mau menjadi bini muda Hek pa cu dan penolakan ini berarti kematian yang mengerikan bagi kami bertiga. Dari pada mati disiksa oleh kaki tangan Hek pacu lebih baik aku sendiri yang menjadi algojo atas nyawa kami bertiga."

"Hm, orang macam apakah Hek pa cu ini sehingga ia demikian berkuasa ?" kata Tiong Kiat. "Empek, jangan kau takut, kebetulan sekali aku adalah seorang ahli menangkap se-....

(ketikan tidak bisa terbaca karena terlalu gelap)

“Kami keluarga Gu, namaku Gu Seng, bertempat tinggal di dusun ini. Banyak terima kasih karena taihiap dan lihiap sudi menolong kami. Akan tetapi, Hek.pa cu adalah seorang yang kejam dan tangguh sekali, adapun kaki tangannya amat banyak jumlahnya. Bagaimanakah jiwi dapat menghadapinya?"

"Tak usah kuatir lopek " kata Kui Hwa, "biarpun seandainya terdapat seratus orang Hek pa-cu kami berdua sanggup untuk mencabuti kumis dan ekor mereka!"

Dengan girang tiga orang itu berlutut menghaturkan terima kasih, kemudian mereka lalu kembali ke rumah mereka dan menanti dengan hati berdebar-debar.

"Hwa moi, agaknya Hek-pa-cu ini amat jahat dan berpengaruh. Lebih baik kita mendatangi sarangnya dan membasminya sama sekali agar daerah ini terhindar dari pada kejahatannya. Biarlah gadis itu dibawa ke sarang mereka dan diam-diam kita mengikutinya, Setelah tiba di sarang mereka, barulah kita turun tangan, menolong gadis itu dan sekalian menghancurkan sarang mereka. Bagaimana pendapatmu?"

"Memang sebaiknya demikian, koko. Akan tetapi, hal ini perlu kita beritahukan kepada keluarga Gu, agar mereka tidak menjadi terkejut dan gelisah, dan mengerti akan siasat kita."

Menjelang malam, kedua orang muda ini mendatangi rumah keluarga Gu, dan memberi-tahukan siasat mereka itu. Karena keluarga Gu tidak melihat jalan keluar dari pada ancaman ini, maka tentu saja mereka menurut segala petunjuk dan kehendak penolong mereka!

Dan pada malam hari ini, datanglah serombongan orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar berpakaian seragam dengan sorban merah. Mereka ini adalah anak buah dari Hek pacu yang datang membawa sebuah tandu untuk mengambil Loan Li. Jumlah mereka lima belas orang, semuanya nampak seram dan galak. Penduduk kampung itu yang sudah mendengar tentang kehendak Hek pa cu untuk mengambil Loan Li, siang-siang sudah menutup pintu dan yang berani keluar hanyalah orang-orang lelaki yang berdiri di depan rumah dengan sikap

menghormat. Mereka memandang kepada rombongan orang-orang itu dengan ketakutan, bagaikan melihat serombongan macan tutul yang galak.

Dengan hati tidak karuan rasa, Gu Seng dan istrinya menyambut kedatangan rombongan itu dan dengan memaksa diri menarik muka manis dan ramah tamah, mereka lalu menghidangkan minuman dan makanan. Akan tetapi pemimpin rombongan itu menolak hidangannya sambil berkata, “Orang she Gu tak perlu menyambut kami. Yang penting segera suruh anakmu berias dan masuk ke dalam tandu, ikut dengan kami. Twako sudah tidak sabar lagi, dan besok siang kau boleh datang ke hutan sebelah barat untuk menerima penghormatan dari twako serta hadiah-hadiah!"

Dengan wajah pucat dan kedua kaki gemetar, loan Li lalu berjalan keluar, dibimbing oleh ibunya, lalu setengah memaksa ibunya menyuruh gadis itu memasuki tandu yang sudah tersedia di depan rumah. Rombongan itu sambil tertawa - tawa melihat gadis ini dan kemudian tandu lalu dipanggul dan dibawalah gadis itu keluar dari dusun memasuki hutan sebelah barat !

Diam diam dua bayangan orang mengikuti gerak gerik rombongan Sorban Merah ini. Mereka bukan lain adalah Tiong Kiat dan Kui Hwa. Mereka mengikuti rombongan itu memasuki hutan dan ternyata bahwa rombongan itu membawa loan Li ke sebuah rumah besar yang terdapat di dalam hutan itu. Akan tetapi, ketika Kui Hwa dan Tiong Kiat mengintai dari atas genteng, mereka melihat bahwa gadis itu dimasukkan ke dalam kamar yang terjaga kuat, sedangkan di tempat itu tidak nampak bayangan Hek-pa cu ! Kemudian mereka mendengar dari pembicaraan para penjaga itu bahwa Hek-pa-cu sebetulnya tinggal di kota Heng-yang dan keesokan harinya baru akan datang menjemput calon bini mudanya !

Terpaksa sepasang orang muda ini melewatkan malam itu di dalam hutan, akan tetapi karena mereka berdua dapat saling menghibur maka malam itu dilewatkan dengan penuh kegembiraan. Pada saat seperti itu dalam bujuk dan cumbu rayu Tiong Kiat yang tampan dan manis bahasa, lenyaplah segala keraguan hati Kui Hwa dan cinta kasihnya terhadap Tiong Kiat makin mendalam.

Pada keesokan harinya, baru saja matahari muncul dan burung-burung berkicau riuh rendah menyambut datangnya siang, terdengarlah suara gemuruh dari luar hutan. Suara ini ternyata adalah sorak-sorai yang penuh kegembiraan dari serombongan anggauta-anggauta Sorban Merah terdiri dari empat puluh orang lebih. Mereka mengiringkan seorang laki laki tinggi besar yang berusia hampir empat puluh tahun, berbaju biru, bercelana hitam dan sorbannya merah sekali. Orang ini berjalan dengan langkah yang gagah dan yang mendatangkan rasa seram pada orang yang melihatnya, adalah sepasang matanya yang liar dan senjatanya yang luar biasa. Senjatanya ini adalah sebuah penggada yang aneh dan mengerikan bentuknya, bulat memanjang dengan ujung tiga meruncing. Penggada ini nampak berat sekali, akan tetapi biarpun senjata besar ini tergantung pada pinggangnya, ia berjalan dengan enak saja, seakan-akan senjata itu hanya merupakan benda yang ringan saja. Inilah dia Teng Sun yang berjuluk Hek pa cu Si Macan Tutul Hitam, kepala dari gerombolan Sorban Merah yang amat terkenal dan ditakuti oleh orang !

Ketika Hek.pa cu dengan rombongan telah tiba di dekat rumah besar itu, tiba tiba dari atas pohon melayang turun dua orang muda yang dengan tenang berdiri di depan kepala gerombolan ini. Teng Sun tercengang melihat seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan berdiri di depannya maka ia membentak keras,

“Jiwi siapakah dan ada keperluan apa kiranya menghadang perjalanan kami?"

“Kaukah yang bernama Hek pa cu Teng Sun ?' tanya Tiong Kiat.

"Benar dugaanmu saudara muda yang gagah. Siapakah kalian ini dan keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini ?”

“Hek pa cu! Tak usah kau tahu siapa kami, akan tetapi kedatangan kami ini untuk menamatkan riwayatmu yang buruk ! Kau telah memaksa gadis she Gu untuk menjadi bini mudamu ! Apakah ini laku seorang jantan ? Kau mempergunakan pengaruhmu untuk menakutnakuti penduduk dusun, untuk mengganggu anak bini orang. Sungguh tidak patut !"

Tiba-tiba Hek-pa-cu Tang Sun terbahak-bahak tertawa mendengar makian-makian ini. la anggap sangat lucu seorang pemuda yang tampak lemah bersama dengan seorang gadis cantik ini berani memaki dan menentangnya ! Bahkan orang orang kang-ouw yang ternama saja masih akan berpikir-pikir dulu untuk menantangnya bagaimana dua orang muda yang masih seperti kanak-kanak ini berani berlaku kurang ajar kepadanya ?

"Ha, ha, ha, bocah yang masih hijau! Kau perduli apakah dengan segala urusan dan kesenanganku? Kalau kau mau mengambil gadis she Gu itu, ambillah. Aku rela melepaskannya asal saja kau tinggalkan kawanmu itu sebagai gantinya !"

Bukan main marahnya Tiong Kiat mendengar ini, akan tetapi ia kalah dulu oleh Kui Hwa yang juga menjadi luar biasa marahnya.

"Jahanam besar, kau sudah bosan hidup!” teriak Kui Hwa dan tahu - tahu ia telah menyerang Hek-pa-cu dengan pedangnya! Gerakannya amat cepat bagaikan kilat menyambar sehingga kepala perampok itu terkejut sekali. Ia cepat mengelak, akan tetapi ujung sorbannya masih terbabat ! Tak disangkanya bahwa gadis cantik ini mempunyai kepandaian demikian hebatnya, maka tahulah dia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh. Cepat ia menarik senjatanya yang hebat itu dan bertempurlah mereka dengan seru.

Sementara itu, Tong Kiat juga sudah mencabut pedang Ang coa-kiam dan sekali ia memutar pedangnya, dua orang anggauta Sorban Merah roboh mandi darah! Anak buah gerombolan Sorban Merah itu berteriak teriak marah dan semua mencabut golok mereka, akan tetapi kembali beberapa orang roboh oleh Tiong Kiat ketika pemuda ini menerjang ke depan! Dalam waktu yang amat singkat saja sudah ada delapan orang yang binasa di ujung pedang Ang coa-kiam ! Penjahat-penjahat itu menjadi gentar juga dan merasa ragu-ragu untuk mengeroyok Tiong Kiat.

"Moi moi, kau uruslah anjing-anjing ini, biar aku menolong nona Gu!” Tiong Kiat berseru

dan tanpa menanti jawaban kekasihnya, ia lalu berlari ke arah rumah besar di mana Loan Li ditahan. Di situ ia disambut oleh beberapa orang penjaga, akan tetapi mereka bukanlah lawan Tiong Kiat yang lihai, maka bertumpuk-tumpuklah mayat anak buah Sorban Merah, ketika pemuda ini mengamuk sambil menyerbu ke dalam rumah. Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara Kui Hwa dan Teng Sun berjalan amat serunya, Hek.pa cu Teng Sun ternyata memang pandai dan kosen. Senjatanya yang besar dan berat itu diputar sedemikian rupa, mendatangkan angin besar dan celakalah Kui Hwa kalau satu kali saja senjata itu mengenai tubuhnya! Senjata ini beratnya sedikitnya ada dua ratus kati dan dimainkan dengan tenaga yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi Kui Hwa mempergunakan ginkangnya yang luar biasa sehingga tubuhnya seakan - akan merupakan seekor burung yang menyambar-nyambar dari segala jurusan. Pedangnya berkelebat-kelebat merupakan segulung sinar putih dan tubuhnya kadang kadang mumbul ke atas, melayang dan menyambar dari atas dengan kecepatan luar biasa!

Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, Teng Sun merasa terdesak hebat. Pedang di tangan dara manis itu benar-benar amat lihai. Gerakan pedang yang cepat, ditambah pula oleh ginkang yang luar biasa membuat gadis itu kadang-kadang lenyap dari depan matanya. Kalau saja Teng Sun tidak bersenjata penggada yang besar dan berat yang diputar-putar sedemikian rupa sehingga Kui Hwa harus berlaku hati-hati, tentu kepala gerombolan inii sudah roboh sejak tadi !

"Kawan-kawan, bantulah menangkap gadis liar ini !” Teng Sun berseru keras kepada kawannya karena la benar-benar telah kewalahan sekali. Beberapa orang tauwbak (pemimpin gerombolan pembantu-pembantunya) yang semenjak tadi berdiri bengong menonton pertempuran itu, bergerak maju hendak mengeroyok. Mereka adalah empat orang yang bertubuh tinggi besar yang dipilih oleh Hek-pa cu Teng Sun sebagai pembantupembantunya. Akan tetapi belum juga mereka dapat menggerakkan golok, tiba - tiba Kui Hwa berseru nyaring dan keras. Tubuhnya melompat ke atas sampai hampir dua tombak, dan dengan gerakan Merak Sakti Mematuk Ular, pedangnya meluncur dari atas ke bawah, melakukan serangan yang luar biasa cepat dan kuatnya ! Gerakan ini benar benar mengandalkan ginkang yang sempurna, sehingga tidak terduga sama sekali oleh Hek pa.cu Teng Sun. Percuma saja ia mengangkat penggadanya untuk menghantam tubuh yang melayang ke atas itu, karena baru saja ia mengangkat penggadanya, pedang di tangan Kui Hwa telah menyambar dan menancap di tenggorokannya !

Hek-pacu Teng San mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, tubuhnya terhuyung - huyung, penggadanya terlepas dari pegangan dan ia lalu roboh tak bernapas lagi!

Dengan wajah keren, Kui Hwa menghadapi empat orang tauwbak dan para anak buah gerombolan dengan pedang di tangan.

"Siapa telah bosan hidup? Hayo majulah ! Biarlah hari ini pedangku membasmi gerombolan Sorban Merah sampai ke akar akarnya !" Sikapnya demikian gagah dan garang sehingga empat orang tauwbak itu saling pandang dan kemudian mereka berempat lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kui Hwa! Kawan kawannya yang puluhan banyaknya ketika melihat empat orang pemimpin itu berlutut, segera menjatuhkan diri pula berlutut sambil meletakkan senjata di atas tanah. Inilah tanda menyerah dan takluk terhadap gadis yang gagah perkasa itu. "Lihiap yang gagah perkasa. Sepak terjangmu demikian gagah dan amat mengagumkan hati kami seluruh anggauta Sorban Merah. Lihiap jauh lebih gagah dari pada Hek-pa-cu Teng Sun, maka kami seluruh anggauta Sorban Merah menyerah dan mohon ampun dari lihiap. Sudilah kiranya lihiap memimpin kami orang orang bodoh menggantikan kedudukan Hek-pa cu!"

Untuk sesaat, gadis itu berdiri bengong. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang-orang yang tinggi besar dan galak itu kini semua berlutut memberi hormat kepadanya, bahkan memilihnya sebagai kepala mereka ! Ia tak dapat menjawab, dan akhirnya ia berkata perlahan,

"Aku Can Kui Hwa bukanlah keturunan perampok bagaimana kalian mau mengangkat aku menjadi kepala perampok ?"

"Lihiap, harap jangan salah sangka," berkata seorang diantara empat orang tauwbak itu, "Sesungguhnya rombongan Sorban Merah bukanlah gerombolan perampok. Perkumpulan kami dulunya merupakan perkumpulan orang orang gagah yang bekerja dengan cara jujur, menjaga keamanan kampung - kampung dari serbuan perampok, mengawal pengiriman barang barang atau orang-orang hartawan yang melakukan perjalanan Jauh, dan di samping pekerjaan itu, kami memperdalam kepandaian silat. Semenjak Hek pa-cu datang dan merampas kedudukan ketua, kami diselewengkan dan terpaksa mengikuti jejaknya. Kami kini telah bertobat, dan asal saja lihiap sudi memimpin kami, perkumpulan Sorban Merah akan menjadi perkumpulan yang baik lagi."

Akan tetapi pada saat itu, Kui Hwa teringat kepada Tiong Kiat, maka ia segera bertanya, "Di manakah adanya kawanku tadi? Dan bagaimanakah dengan nasib nona Gu Loan Li?"

"Kawanmu itupun hebat dan ganas sekali lihiap. Banyak kawan kami telah mati di dalam tangannya. Nona Gu yang ditahan di dalam kamar, telah dirampas dan dibawa lari oleh kawanmu itu."

"Kalau begitu biarlah urusan pengangkatan ketua ini nanti saja dibicarakan lagi setelah aku dapat bertemu dengan kawanku. Dia adalah suhengku dan kalau kalian hendak mencari seorang pemimpin, dialah orangnya, bukan aku !" setelah berkata demikian, sekali ia menggerakkan kedua kakinya, Kui Hwa telah lenyap dari situ, membuat para anggota Sorban Merah menjadi makin kagum saja.

Dengan cepat Kui Hwa berlari kembali ke dusun tempat tinggal Loan Li. Akan tetapi, ketika ia tiba di rumah keluarga Gu Seng, ternyata bahwa keluarga itu masih menantinanti dan Tiong Kiat bersama nona Gu belum juga tiba di rumah itu!

Kui Hwa menjadi heran dan juga bercuriga. Tanpa berkata sesuatu kepada keluarga yang memandang penuh kegelisahaan itu, ia melompat pergi dan kembali ke dalam hutan. Ia mencari-cari sampai hari menjadi gelap, akan tetapi ia tak melihat bayangan suhengnya dan nona Gu yang ditolongnya itu. Akhirnya ia kembali lagi ke dusun dan menuju ke rumah keluarga Gu. Lalu apakah yang didengarnya? Keluh kesah dan tangis yang memilukan ! Kui Hwa merasa tak enak hati sekali dan cepat ia masuk ke dalam rumah itu lalu menuju ke ruang belakang. la melihat Gu Seng duduk sambiI menangis dan ketika melihat Kui Hwa datang, kakek itu berkata, "Tidak ada gunanya pertolonganmu nona. akhirnya anakku tertimpa bencana juga!" Kui Hwa terkejut sekali. Ia memegang lengan kakek itu dengan keras sehingga Gu Seng memandangnya dengan kaget dan kesakitan.

"Hayo lekas ceritakan apa yang terjadi dan di mana adanya suhengku !"

Kakek itu memandang heran. "Nona, benar-benarkah kau tidak tahu? Suhengmu telah mengantarkan Loan Li pulang dengan selamat, akan tetapi begitu masuk ke kamarnya Loan Li telah menggantung diri sampai mati! Ternyata ........ kau dan suhengmu ........ datang terlambat..... dan dia .... anakku itu telah menjadi korban keganasan Hek pa cu .......!" Kakek itu mendekap mukanya dan menangis lagi.

Kui Hwa menjadi pucat air mukanya, dan setelah termenung sebentar, mengerahkan otak untuk berpikir, ia lalu memegang lagi tangan kakek itu dan berkata, "Apakah yang terjadi ? Mengapakah Loan Li menggantung diri !"

"Inilah suratnya, lihiap. Kau bacalah sendiri , „, ,” Kakek itu memperlihatkan sehelai kertas yang ditinggalkan oleh Loan Li yang bernasib malang. Surat itu ternyata ditulis dengan tangan gemetar, merupakan empat baris pantun sederhana yang berbunyi demikian:

Mengusir harimau dengan pertolongan srigala Apa bedanya ?

Hanya satu Jalan membebaskan diri dari noda. Tinggalkan raga !

"Aku juga tidak tahu apakah artinya tulisan ini lihiap. Akan tetapi ia menyebut tentang membebaskan diri dari noda, maka mudah sekali diduga bahwa ia tentu telah menjadi korban keganasan Hek-pa-cu !" kata Gu Seng dengan suara sedih.

Akan tetapi wajah Kui Hwa makin pucat. Jari-jari tangan yang memegang surat itu menggigil sehingga surat itu terlepas dan melayang turun.

"Di mana suhengku!” tanyanya dengan suara berat dan bibir gemetar.

Gu Seng yang baru berduka tidak melihat perobahan ini dan ia berkata, "Taihiap tentu sedang beristirahat di ruang depan. Maafkanlah kami yang tidak dapat menghormat dan menjamu kalian yang telah menolong kami."

Akan tetapi Kui Hwa telah pergi, tanpa menanti habisnya ucapan itu. Dan ketika ia berdiri di depan Tiong Kiat yang duduk menghadapi arak di ruang depan, Kui Hwa merupakan seekor singa betina yang marah sekali!

"Moi-moi, kau baru datang? Bagaimana dengan Hek pa cu? Sudah kau kirim ke neraka?” Ia bertanya sambil tersenyum manis.

Akan tetapi Kui Hwa memandang bagaikan hendak menelan suhengnya itu. Matanya memancarkan sinar berapi dan ia berkata tegas dan singkat,

"Ji-suheng, mari kita keluar. Tidak perlu kita ribut-ribut di rumah orang!" Setelah berkata demikian, Kui Hwa melompat keluar dan menanti suhengnya di tempat sunyi dalam dusun itu.

Tak lama kemudian, tampak bayangan Tiong Kiat berkelebat dan pemuda ini berdiri di hadapannya dengan tenang sungguhpun senyumnya yang tadi telah lenyap.

"Ada apakah, sumoi ? Sikapmu aneh sekali."

Sebagai jawaban Kui Hwa menghunus pedangnya.

'ji-suheng, ingatkah kau bahwa aku telah mengorbankan segalanya karena setiaku kepadamu? Aku telah mengorbankan guru, ayah, keluargaku, kehormatan dan namaku jiwa ragaku, semua kukorbankan demi cintaku kepadamu. Kau, tentu tahu, bukan ?"

"Tentu saja, moi-moi, kita memang sudah saling mencinta dan......."

"Jangan sebut - sebut tentang cintamu !" Kui Hwa memotong marah. “Kau tentu masih ingat akan sumpahmu untuk bersetia ? Dan sekarang apakah yang telah kaulakukan kepada gadis she Gu itu?”

Di dalam kegelapan senja Tiong Kiat mencoba untuk bersenyum.

"Apa maksudmu, sumoi? Gadis she Gu itu sudah kutolong dan kukembalikan kepada orang tuanya."

“Bohong! Pengecut yang berani berbuat tak berani mengaku! Telah lama semenjak siang hari kau membawa Loan Li kembali ke rumahnya akan tetapi sampai senja baru kau datang bersama dia! Sebelum kau membawanya pulang, ke mana kau bawa dia dan apa yang telah kau perbuat ! Mengapa Loan Li datang - datang lalu membunuh diri ? Apa kaukira aku begitu bodoh, ji suheng ? Kau telah menyalahi janji, melanggar sumpah. Kau seorang laki-laki mata keranjang, berhati cabul, menjadi hamba nafsu jahat! Kau laki-laki tak beriman. perusak kehidupan orang lain, kaulah yang membunuh Loan Li!"

Tiong Kiat terdesak sekali oleh tuduhan-tuduhan ini, dan tiba - tiba dengan suara gagah ia berkata, "Sumoi kau terlalu sekali ! Apakah dengan adanya hubungan antara kita, aku harus mengikatkan kakiku kepadamu? Apakah aku tidak boleh hidup dengan bebas lagi ? Harus selalu menurut dan menjadi budakmu? Memang kuakui bahwa aku telah mengadakan perhubungan dengan Loan Li! Akan tetapi, dia juga mencintaiku ! Su moi, ketahuilah, seorang laki-laki tak dapat mengikat hatinya kepada seorang perempuan saja ! Ini memang sudah menjadi sifat jantan, lihatlah buktinya. Lihatlah sifat jantan pada seekor ayam, pada binatang - binatang lain yang jantan! Lihat pula kepada raja dan para bangsawan. Cukupkah dengan seorang saja perempuan disampingnya? Ha, ha, moi - moi yang manis jangan kau cemburu, aku akan tetap mencintamu, moi-moi!”

'Bangsat besar!" Kui Hwa menjadi marah sekali. "Aku sudah bersumpah akan membunuh perempuan yang main gila dengan kau dan karena perempuan she Gu itu sudah mati sekarang kaulah gantinya !" Setelah berkata demikian, Kui Hwa menyerang Tiong Kiat dengan hebatnya !

Tiong Kiat terkejut sekali, akan tetapi juga menjadi penasaran dan marah. Ia mencabut pedangnya dan berkata,

"Sumoi, kau ikut aku meninggalkan perguruan bukan karena kupaksa! Sekarang kau hendak memisahkan diri dari aku, bukan pula atas paksaanku. Kau memang berkepala batu! Tidak tahu dicinta orang!" Sambil berkata demikian, ia mainkan pedangnya dengan gerakan yang paling lihai. Memang, kepandaian Kui hwa masih kalah jauh apabila dibandingkan dengan ilmu silat Tiong Kiat. Apalagi pedang di tangan Tiong Kiat adalah pedang pusaka Ang.coa-kiam yang amat tajam dan kuat. Baru beberapa jurus saja terdengar suara keras dan pedang di tangan Kui Hwa terlempar kesamping. Tiong Kiat masih berlaku murah dan sengaja tidak mau mematahkan pedang bekas kekasihnya itu.

Biarpun telah kehilangan pedangnya, dengan nekad Kui Hwa masih maju menubruk, Tekadnya hendak membunuh atau dibunuh! Namun Tiong Kiat telah melompat pergi sambil mentertawakannya. Kui Hwa mengejar, akan tetapi pemuda itu telah menghilang di dalam gelap !

Kui Hwa menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis. Sampai setengah malam ia menangis sedih, terisak-isak mendekam di atas tanah itu.

Ia merasa menyesal sekali,menyesal, kecewa dan juga bersedih. Betapapun juga ia amat mencinta pemuda itu yang kini sudah meninggalkannya. Pada keesokan harinya, Kui Hwa yang saking hampir putus asa dan tidak tahu harus pergi ke mana, ia teringat akan permintaan anggauta Sorban Merah agar ia suka memimpin mereka. Timbul harapan baru padanya dan ia lalu menjumpai para tauwbak dan anak buah Sorban Merah yang menerimanya dengan gembira sekali. Semenjak hari itu, Kui Hwa diangkat menjadi kepala dari gerombolan Sorban Merah !

0o-dw-o0

Adapun Tiong Kiat yang kini telah dapat memisahkan diri dari Kui Hwa, melanjutkan perantauannya seorang diri. Pada hari-hari pertama ia memang kesepian dan merasa amat rindu kepada Kui Hwa. Beberapa kali ia ingin kembali kepada sumoinya itu, ingin minta maaf dan berbaik kembali, akan tetapi keangkuhan hatinya menahannya melakukan hal yang dipandangnya lemah ini.

Akan tetapi, lambat laun dapat juga ia menghilangkan rindunya. Apalagi setelah ia melihat wanita-wanita lain dan dapat menghibur hatinya dengan mereka ini. Tiong Kiat adalah seorang pemuda yang sebetulnya tidak mempunyai hati buruk. Ia cukup berwatak gagah dan budiman. akan tetapi sayang sekali, ia gila perempuan ! Dan kegilaannya dalam hal ini kadang-kadang merangsangnya sedemikian kuatnya sehingga hati nurani dan kebijaksanaannya tertutup! Di dalam perantauannya, tiap kali bertemu dengan kejadian yang tidak adil, dengan kekejaman-kekejaman dan penindasan, selalu ia turun tangan membela fihak yang tertindas. Dengan kejam sekali ia membasmi orang-orang jahat tanpa mengenal ampun lagi karena sesungguhnya ia amat benci akan kejahatan. Pernah ia membasmi sampai habis rombongan perampok yang dua puluh orang jumlahnya. Semua ia bunuh dan tak seorangpun anggauta perampok terlepas dari pada Ang-coa-kiam di tangannya ! Banyak hartawan yang kikir dan yang suka mengandalkan pengaruh uangnya untuk berlaku sewenang-wenang ia bakar rumahnya, dan merampas harta bendanya untuk dibagi-bagikan kepada rakyat miskin! Banyak pula bangsawan dan pembesar yang korup dan tidak bijaksana, ia datangi dan ia ancam sambil mencukur rambutnya atun bahkan memotong sebuah telinganya !

Akan tetapi, di samping semua kebaikan ini, banyak pula ia melakukan pelanggaran kesusilaan. Di mana saja ia berada, la selalu mengadakan perhubungan dengan wanitawanita, baik perempuan golongan pelacur maupun wanita baik - baik, dan tidak perduIi apakah hubungan itu berjalan atas dasar sama suka ataupun dengan paksaan ! Banyak pula wanita yang jatuh hati kepadanya, karena memang Tiong Kiat memiliki wajah yang tampan dan gagah. Pendeknya, ia menuntut penghidupan sebagai seorang hiapkek (pendekar) yang gagah dan cabul !

Sungguh amat sayang betapa seorang pemuda gagah perkasa yang memiliki dasar amat baik seperti Tiong Kiat, dapat terjerumus sampai demikian dalam. Perbuatan-perbuatan baik yang dilakukannya telah dinodainya sendiri. Kebajikan dan kejahatan tak dapat berjalan sama. Kebaikan akan lenyap sifatnya apabila dilakukan di samping kejahatan, seperti sebuah lukisan indah yang terkena noda kotor. Sebaliknya, kejahatan takkan lenyap sifatnya biarpun disampingnya orang melakukan pula kebaikan, seperti sebuah lukisan yang buruk takkan menjadi baik biarpun akan diberi pigura yang betapa indahpun.

Demikianlah, pada suatu hari dengan kebetulan sekali ia bertemu dengan Suma Eng, atau Eng Eng, gadis gagah perkasa yang roboh pingsan terkena pukulan Pek-lek-jiu dari Ban Yang Tojin yang telah dikalahkannya. Melihat keadaan gadis itu, timbullah rasa kasihan dalam hati Tiong Kiat dan segera ia memondong tubuh Eng Eng dan dibawanya ke tempat tinggalnya di dalam hutan itu. Memang telah beberapa pekan ia tinggal di hutan ini.Dengan sungguh-sungguh ia lalu mengohati gadis yang ternyata menderita luka berat didalam dadanya itu. Tiong Kiat memang pernah mempelajari sedikit ilmu pengobatan, yakni pengobatan yang khusus untuk mengohati luka-luka di sebelah dalam, ilmu pengetahuan yang amat penting bagi orang perantau dan ahli silat. la dapat menolong nyawa Eng Eng akan tetapi sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, pemuda yang mata keranjang ini mana dapat tahan menghadapi kecantikan Eng Eng yang memang luar

biasa sekali? Melihat wajah yang cantik Jelita dan manis, melihat tubuh yang menggiurkan, tidak kuatlah ia menahan nafsu jahatnya. Melihat luka di dada gadis itu, Tiong Kiat dapat menduga bahwa gadis ini tentu berkepandaian tinggi sekali karena kalau tidak memiliki Iweekang yang tinggi, pasti orang akan mati terkena pukulan sehebat itu! Sampai setengah malam pemuda ini termenung. Perang hebat terjadi di dalam hatinya, perang antara nafsu jahat dan hati nuraninya. Nafsu jahat mendorongnya agar ia melakukan perbuatan jahat terhadap gadis cantik yang ditolongnya ini, sedangkan hati nuraninya berbisik agar ia tidak mengganggu gadis ini. Akhirnya hati nuraninya kalah dan Eng Eng telah menjadi korban kelemahan hati pemuda itu !

Pada keesokan harinya, Tiong Kiat amal menyesal atas perbuatannya. Ia maklum bahwa gadis ini bukanlah gadis sembarangan, dan baru sekarang ia merasa takut akan perbuatannya sendiri. Ia melarikan diri, meninggalkan Eng Eng yang masih pingsan di dalam kuil itu. Baru kali ini Tiong Kiat melarikan diri karena ketakutan. Ia tidak tahu akan kepandaian Eng Eng, tidak tahu apakah gadis itu memiliki ilmu silat yang luar biasa. akan tetapi entah bagaimana, ia merasa takut dan menyesal sekali. Mungkin karena ia merasa amat kasihan kepada Eng Eng, merasa betapa hatinya amat tertarik kepada gadis yang tidak berdaya dan pingsan itu ! Biasanya, ia mengenangkan wanita-wanita yang menjadi korbannya dengan hati senang dan gembira. Akan tetapi, kali ia mengenangkan wajah Eng Eng dengan menyesal dan amat malu!

Sementara itu marilah kita ikuti perjalanan Eng Eng. Ketika pagi-pagi itu ia sadar dari pingsannya, ia mendapatkan dirinya berada di kuil bobrok seorang diri. Hancurlah rasa hati dan pikirannya, dan ia menangis tersedu-sedu. Ingin ia mencabut pedang dan membunuh diri akan tetapi tiba-tiba ia menghentikan isaknya dan pandangan matanya menjadi liar. kalau ada orang yang melihat pandangan matanya ini, tentu orang itu akan menjadi terkejut sekali. Nafsu membunuh terbayang pada matanya. "Aku akan bunuh dia...... aku akan bunuh dia......." ucapan ini terulang beberapa kali oleh bibirnya yang gemetar. Wajahnya pucat sekali dan ia merasa tubuhnya lemah. Ketika meraba dadanya, ia menyentuh ampas daun-daun obat yang ditempelkan pada lukanya.

Dengan gemas ia merenggut obat itu dan membantingnya di atas tanah. Sesungguhnya, iapun maklum bahwa orang telah menoIongnya dan kini lukanya di dalam dada sudah sembuh, hanya tinggal bekasnya saja. Akan tetapi oleh karena ia marah, jengkel, gemas dan berduka, dadanya terasa amat sesak lagi. Kini rasanya jauh lebih sakit dari pada ketika ia terpukul oleh Ban Yang Tojin. Yang terasa perih bukan kulit dan daging dada, melainkan dalam sekali, jauh di dalam dada dan kepalanya!

Dengan air mata bercucuran, Eng Eng jalan terhuyung huyung keluar dari dalam kuil bobrok. ia mengerahkan tenaga kakinya dan berlari untuk menyusul atau mencari orang yang telah menolongnya akan tetapi juga yang telah menghancurkan hidupnya. Nafsu membunuh menyesakkan nafasnya dan kepalanya menjadi panas dan pening sekali. Setelah ia berlari cepat beberapa lamanya, rasa panas dari kepalanya itu menjalar turun dan membuat seluruh tubuhnya terasa panas membara, seakan api di dalam tubuhnya bernyalanyala!

Akhirnya dara yang sengsara itu tidak kuat menahan lagi. Kepalanya berdenyut-denyut, pandangan matanya berkunang, segala sesuatu dihadapannya serasa terputar-putar, bumi yang diinjaknya bergoyang-goyang bagaikan air laut terayun-ayun. la mencoba untuk mempertahankan dirinya, akan tetapi sia-sia. Tubuhnya terguling dan tanpa mengeluarkan sedikitpun suara Eng Eng jatuh pingsan lagi! Kali ini bukan roboh pingsan karena Iuka pukulan, melainkan oleh pukulan yang datang dari hatinnya sendiri sehingga luka akibat

pukuIan Ban Yang Tojin telah merekah kembali.

Sampai berapa lama ia pingsan, Eng Eng tak dapat ingat lagi. Ketika ia siuman dan membuka matanya perlahan, ia merasa betapa kepala dan mukanya menjadi basah. Ternyata hujan turun di dalam hutan itu dan biarpun hari masih siang, namun hutan nampak gelap oleh mendung. Sukarlah baginya untuk membuka mata karena air hujan menyerang kedua matanya dari atas. Ia melindungi matanya dengan tangan dan memandang ke atas. Alangkah herannya ia ketika melihat seorang Iaki-Iaki tengah berlutut di dekatnya dan ternyata bahwa tubuhnya telah ditutupi selimut. Ketika Eng Eng memperhatikan, penutup tubuhnya itu bukan selimut melainkan sehelai mantel warna biru. Orang itu sendiri kini telah menjadi basah kuyup karena air hujan!

Untuk sesaat Eng Eng tidak mengenal orang ini, karena air hujan manghalangi pandangan matanya. Akan tetapi ketika ia memandang dengan penuh perhatian, tiba-tiba ia melompat bangun.

"Kau....... ! Manusia jahanam, bagus kau datang mengantarkan nyawa! Setelah berkata demikian, Eng Eng lalu mencabut pedangnya dan menyerang dengan hebat!”

Laki-laki itu adalah seorang pemuda yang tampan sekali dan pakaiannya berwarna biru. Tidak salah lagi pikir Eng Eng. inilah laki-laki yang telah mendatangkan malapetaka atas dirinya ! Biarpun ia merasa heran mengapa laki-laki ini berani muncul lagi, namun ia tidak banyak pikir dan cepat menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya. Hujan yang turun telah membuat tubuhnya terasa segar dan karena yang membuat ia menderita adalah hati dan pikirannya, maka ketika pingsan tadi, keadaannya sudah menjadi banyak baik. Apa lagi ketika ia masih siuman, pemuda yang tadi berlutut di dekatnya telah menotok dan mengurut pundaknya berkali-kali kemudian pemuda itu untuk beberapa lama telah memegang tangannya dan menyalurkan hawa di dalam tubuh untuk membantu gadis itu pulih kembali jalan darahnya.

Pemuda itu sesungguhnya mirip sekali dengan Tiong Kiat, karena dia adaIah Tiong Han! Ketika tadi melihat seorang dara jelita rebah pingsan di dalam hutan, ia menjadi terkejut dan merasa kasihan sekali. Sekali memandang saja maklumlah Tiong Han bahwa gadis itu menderita luka, maka ia cepat maju untuk memberi pertolongan. Ketika hujan turun dengan lebatnya, pemuda ini tidak pergi dari situ hanya mengangkat tubuh Eng Eng ke bawah pohon besar dan mempergunakan mantelnya untuk menyelimuti tubuh orang dan berusaha mengohati gadis itu yang ternyata berhasil baik sekali. Tidak disangkanya sama sekali setelah siuman gadis itu menyerangnya dengan demikian ganasnya !

Tiong Han telah berbulan-bulan mencari jejak Tiong Kiat untuk minta kembali pedang Ang.coa kiam sesuai dengan perintah suhunya. Di sepanjang jalan, ia tidak pernah Iupa untuk mempelajari ilmu pedang dari kitab Ang-coa-kiam coansi. Dengan bantuan kitab ini, maka ilmu pedangnya banyak mendapat kemajuan.

Ia mendengar keterangan orang-orang yang di jumpai di jalan, bahwa ada seorang pemuda yang serupa benar dengannya memasuki hutan itu, maka cepat-cepat Tiong Han mengejar ke dalam hutan. Tidak disangkanya bahwa ia tidak bertemu dengan adiknya, sebaliknya melihat seorang gadis cantik yang rebah terluka hebat di dalam hutan.

Melihat serangan Eng Eng, Tiong Han terkejut bukan main. Serangan itu menunjukkan bahwa gadis ini memiliki ilmu pedang yang amat luar biasa. Cepat Tiong Han mengelak, akan tetapi sinar pedang gadis itu mengejarnya bagaikan kilat cepatnya sehingga ia cepat melompat ke sana ke mari untuk menghindarkan diri dari bencana. Namun pedang itu terus mengejarnya dan menyerang dengan serangan berbahaya yang bertubi tubi datangnya !

"Eh, eh, tahan dulu nona ! Mengapa kau menyerangku tanpa sebab? Apakah salahku terhadapmu ?" tanya Tiong Han sambil melompat ke belakang dengan gerak tipu Le-hi-ta teng (Ikan Le Melompat Tinggi) Dengan cara mengelak ini ia dapat menjauhkan diri dan untuk sementara dapat bernafas karena terlepas dari serangan yang bertubi-tubi itu.

"Keparat jahanam!” Dengan nafas terengah-engah saking marahnya, Eng Eng menudingkan pedangnya. "Kau masih bertanya-tanya lagi? Anjing bermuka manusia kalau aku tidak membunuhmu sekarang juga, aku tidak bernama Suma Eng lagi ! Akan kuhancurkan tubuhmu menjadi makanan srigala !" Kembali ia menubruk maju dan menyerang dengan cepat kembali.

Tiong Han terpaksa mencabut pedangnya dan menangkis. Ia maklum bahwa kalau ia menghadapi gadis ini dengan tangan kosong saja, ia pasti akan roboh dan benar-benar akan dicincang sampai hancur oleh gadis berotak miring ini. Akan tetapi ia merasa kasihan sekali. Mungkin gadis ini tiba-tiba menjadi gila karena telah menderita luka hebat, pikirnya. "Nona, aku tidak kenal padamu. Baru sekarang kita bertemu muka, kau telah salah lihat, nona !"

"Bangsat rendah ! Pengecut besar ! Kau lebih pengecut daripada anjing ! Anjing yang menggigit masih melingkarkan ekornya (karena takut) akan tetapi kau berpura-pula baru sekarang bertemu denganku. Bagus, akan kuantar kau ke neraka, hendak kulihat apakah di sana kau masih akan dapat menyangkal pula !" kembali ia menyerang, dan Tiong Han yang merasa makin terkejut melihat gerakan pedang yang luar biasa anehnya itu, dengan cepat menangkis dan melindungi dirinya. Ia makin terheran-heran karena gerakan pedang gadis ini pada dasarnya hampir bersamaan dengan Ang coa.kiamsut yang dipelajarinya akan tetapi yang aneh sekali adalah perkembangannya, karena ilmu pedang gadis itu benar benar ilmu pedang yang aneh. Sama sekali terbalik daripada ilmu pedang yang pernah dipelajarinya !

'Nona, nona..... kau tenang dan sabarlah ! Aku bersumpah, selama hidupku, aku Sim Tiong Han belum pernah bertemu dengan kau. belum pernah aku mendengar nama Suma Eng ! Bagaimanakah kau bisa menuduhku yang bukan-bukan? Kesalahan apakah yang telah kuperbuat terhadapmu?”

"Bagus! Namamu yang hina dina akan teringat selalu olehku sehingga kalau kali ini aku tidak berhasil, lain kali aku masih ada kesempatan untuk mencari dan membunuhmu! Kau tak perlu bersumpah, sumpah laki - laki hina dina macam engkau tiada harganya! Mampuslah!" Eng Eng menyerang lagi, kali ini dengan gerak tipu yang paling berbahaya!

Hujan masih turun dengan lebatnya dan pertempuran berjalan makin seru. Tiong Han yang

hanya menangkis dan mengelak saja, terdesak hebat. Selain ilmu pedang nona ini benar benar aneh dan berbahaya, juga pedang di tangan Eng Eng yang mengeluarkan sinar merah amat Iihai ! Beberapa kali pedang Tiong Han bertemu dengan pedang Eng Eng dan ketika pemuda itu memperhatikan, ia terkejut sekali karena pedangnya telah gompal di beberapa bagian !

"Nona, sabarlah, kau masih terluka! Berbahaya bagimu kalau terus mengerahkan tenaga lweekang!" Ia masih berseru memperingatkan biarpun ia berada dalam bahaya. Betapa pun juga Tiong Han merasa amat kasihan kepada gadis ini yang masih disangkanya gila.

Akan tetapi jawaban dari Eng Eng adalah serangan yang mengganas. Tiong Han menangkis akan tetapi pedangnya terbabat putus menjadi dua dan pedang di tangan Eng Eng menyambar cepat ke arah lehernya dibarengi seruan girang dari gadis itu! Tiong Han menjatuhkan diri, pundaknya terserempet pedang sehingga terluka. Akan tetapi ia lolos dari bahaya maut karena begitu ia menjatuhkan diri ia lalu menggelundung dengan gerakan Trenggiling Turun dari Lereng ! Setelah dapat menjatuhkan diri, ia cepat melompat dan lari secepat mungkin !

"Jahanam hina dina, jangan lari!" Eng Eng berseru mengejar, akan tetapi ia mengeluh kesakitan dan terpaksa duduk di bawah sebatang pohon karena dadanya terasa sakit dan napasnya sesak. Betul seperti yang dikatakan Tiong Han tadi, pengerahan tenaga dalam membuat lukanya kambuh kembali, ia merasa amat sakit pada dadanya dan cepat gadis ini lalu berjungkir balik, kepala di atas tanah dan kaki di atas lalu mengerahkan tenaga dan mengatur nafas.

Beginilah caranya melatih lweekang dan pernafasan sebagaimana yang dipelajarinya dari suhunya, yakni Hek Sin-mo ! Sampai beberapa lama ia berjungkir balik dan baru ia berhenti mengatur pernafasannya setelah merasa dadanya ringan dan tidak sakit lagi. Barulah ia duduk beristirahat dan ia mempergunakan tenaga hatinnya untuk melawan keinginannya hendak menangis saking sedihnya.

"Aku tak boleh terlalu bersedih, aku harus sembuhkan luka ini, aku harus dapat hidup beberapa lama lagi untuk membalas penghinaan ini! Tiong Han... Tiong Han... sebelum aku dapat menghancur-leburkan tubuhmu mencincang kepalamu, aku takkan berhenti berusaha....... Tiong Han...!” Ia mendekap dadanya dan cepat mengatur nafasnya panjangpanjang karena kesedihan membuat dadanya terasa sesak dan sakit lagi.

Menjelang senja, hujan berhenti dan nampaklah tubuh seorang wanita yang layu dan lemah lunglai berjalan keluar dari hutan itu. Wanita ini adalah Eng Eng.

Sementara itu, Tiong Han berlari cepat meninggalkan tempat itu. Ia masih merasa terharu, kagum dan juga heran. Ia merasa terharu, melihat keadaan nona yang benar-benar kenal ilmu pedangnya itu. Tiada hentinya sambiI berlari ia memikirkan gadis itu. Siapakah gadis itu? Alangkah cantik manisnya dan alangkah lihai ilmu silatnya. Kalau saja ia membalas serangan gadis itu dan memiliki pedang yang baik, agaknya kepandaian mereka berimbang. Belum tentu ia akan dapat menangkan gadis itu karena ia dapat membayangkan betapa hebat dan lihainya gadis itu kalau tidak sedang terluka dadanya. Ia benar - benar merasa kagum sekali, dan hatinya tertarik. Bayangan gadis itu tak dapat

ia usir dari depan matanya. Akan tetapi ia merasa heran sekali, karena mengapakah gadis itu marah-marah dan membencinya ? Mengapa gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk membunuhnya ?

Mengapa ia disangka telah berbuat sesuatu yang amat jahat kepada gadis Itu ? Apakah ia disangka orang yang telah melukai dada gadis itu ? Ah, Tiong Han menghadapi teka teki yang amat sulit dalam diri Eng Eng. Namanya Suma Eng, alangkah indah nama itu. Akan tetapi mengapa sikap gadis itu demikian aneh? Gilakah dia ? Tak mungkin, gadis yang bicara demikian jelas dan yang dapat bersilat demikian Iihai, sungguhpun ilmu silatnya amat aneh tak mungkin gila!

Demikianlah Tiong Han benar-benar menjadi bingung. Akan tetapi ia tidak berani mendekati gadis itu, karena ia yakin bahwa gadis itu takkan berhenti sebelum dapat membunuhnya. Hal yang amat menyakitkan hati dan membuatnya berduka. Setelah berlari jauh, barulah Tiong Han merasa betapa pundaknya perih karena pundak itu sudah terluka dan lecet kulitnya. Terasa amat panas luka itu dan ketika ia memandang, ia menjadi terkejut sekali. Ternyata luka itu kini menjadi bengkak.

"Ah, lihai sekali ! Agaknya pedang itu mengandung bisa pula !" Katanya dalam hati. Cepat-cepat ia membuka bungkusannya dan mengeluarkan obat pemunah bisa. Setelah menelan dua butir pel putih dan menghancurkan obat bubuk dengan arak yang dibawanya dalam sebuah guci kecil untuk dipergunakan sebagai obat luar, ia merasa lega. Ternyata bisa yang terkandung oleh pedang gadis itu tidak berapa jahatnya.

Beberapa hari kemudian ketika ia tiba di luar sebuah dusun, Tiong Han mendengar suara ribut-ribut dan ketika ia telah tiba di tempat itu, ia melihat seorang laki-laki tinggi kurus yang hidungnya seperti burung kakaktua dan bersenjata sepasang besi kaitan sedang dikeroyok oleh banyak orang. llmu silat laki laki itu benar-benar lihai dan tujuh orang yang berpakaian seragam piauwsu (pengawal barang kiriman ) itu biarpun mengeroyok dengan senjata golok dan pedang, sama sekali tidak berdaya menghadapinya.

Tiong Han yang sedang merasa sedih dan menyesal karena pikirannya masih penuh dengan bayangan Suma Eng, tadinya tidak begitu tertarik hatinya. Akan tetapi karena ia melihat betapa di atas tanah menggeletak tubuh seorang wanita cantik yang sudah menjadi mayat dan ada pula dua orang piauwsu yang merintih-rintih dengan tubuh terluka berat, ia menjadi tertarik dan segera melompat menghampiri.

Pada saat itu ia tiba di tempat pertempuran, laki-laki bersenjata kaitan itu sedang mendesak para pengeroyoknya dengan senjatanya yang luar biasa dan dengan satu sabetan keras, ia kembali telah merobohkan seorang pengeroyok !

"Ha, ha, ha! Buka matamu lebar-lebar, hendak kucongkel matamu !" kata laki laki itu dan kaitannya cepat menyambar ke arah mata orang yang telah roboh terlentang itu! Akan tetapi tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan tubuhnya terjengkang ke belakang. Ia cepat berpaling untuk melihat siapa orang yang dapat mendorongnya tanpa ia ketahui lebih dulu itu.

Ternyata di depannya telah berdiri seorang pemuda tampan yang robek baju pada pundaknya dan pundak itu terluka karena masih tampak tanda-tanda darah dan kulit pundak tertutup oleh obat.

"Sabar dulu, kawan " kata Tiong Han kepada orang tinggi kurus yang bukan lain adalah Ban Hwa Yong orang ketiga dari Thian-te Sam kui !

"Bangsat rendah! Kau berani sekali mencampuri urusan Ban Hwa Yong, tokoh besar dari Thian-te Sam-kui ?" teriak Ban Hwa Yong marah dan cepat kaitannya menyambar ke arah leher Tiong Han ! Pemuda ini melihat gerakan lawannya yang cepat dan kuat, segera melompat mundur dengan marah sekali. Akan tetapi Ban Hwa Yong tidak memberi kesempatan kepadanya dan cepat melangkah maju mengejar dan menyerangnya secara bertubi - tubi. Sepasang kaitannya menyambar-nyambar dan senjata ini memang berbahaya sekali, karena penyerangannya berbeda dengan senjata-senjata lain, bukan dari depan bahaya yang datang, melainkan dari belakang dan dari samping. Senjata ini dipergunakan untuk menggali dan sekali saja tubuh tergait oleh kaitan yang kuat dan runcing sekali itu, akan robeklah kulit dan daging !

Diam-diam Tiong Han merasa terkejut sekali. Tak disangkanya lawan ini demikian lihainya. Ia pernah mendengar nama Thian-te Sam kui, tiga orang iblis bumi langit yang terkenal jahat, maka kini menghadapi seorang diantara iblis ini, la tahu bahwa ia harus turun tangan ! Akan tetapi, dengan pundak terluka dan bertangan kosong, bagaimana ia bisa menghadapi seorang tokoh dari Thian- te Sam-kui yang berkepandaian tinggi?

Akan tetapi, Tiong Han mengerahkan ginkangnya dan mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya untuk menghindarkan setiap serangan lawan. Sampai tiga puluh jurus Tiong Han dapat menghadapi lawannya dan dapat juga melakukan serangan balasan dengan pukulanpukulan dari ilmu silat Kim-liong pai. Ban Hwa Yong merasa penasaran sekali. Betulkah dia tidak dapat merobohkan seorang pemuda bertangan kosong yang sudah terluka dan tampaknya lemah? Ia berseru marah dan mempercepat gerakan senjatanya, menyerang dengan gerak tipu yang paling dahsyat. Kewalahan jugalah Tiong Han menghadapi Jai-hwa-cat (penjahat penculik bunga) ini!

Tiba tiba seorang piauwsu yang paling tua usianya, melemparkan sebatang pedang ke arah Tiong Han sambil berseru,"Hohan (orang gagah) silakan kau menggunakan pedangku ini!"

Bukan main girangnya hati Tiong Han melihat berkelebatnya pedang ini. Ban Hwa Yong juga melihat pedang yang dilemparkan ini, maka ia cepat mendesak Tiong Han dengan pukulan kaitan kiri, sedangkan kaitan kanan dipergunakan untuk memukul ke arah pedang itu! Tiong Han cepat mempergunakan gerak tipu Dewa Awan Menyambut Pelangi. Ia miringkan tubuh untuk menghindari sabetan senjata kiri lawan, kaki kanannya bergerak cepat menendang pergelangan tangan kanan Ban Hwa Yong dan dengan tangan kiri diulur cepat menangkap pedang itu ! Ban Hwa Yong terpaksa menarik kembali kaitannya yang tadi hendak dipergunakan untuk memukul pedang karena ujung sepatu lawannya mengancam pergelangan tangan dan sementara itu, Tiong Han telah melompat ke belakang dan kini pemuda ini telah memegang sebatang pedang yang berkilauan tajamnya!

Semua piauwsu dan orang orang dusun yang menonton pertempuran itu bersorak memuji melihat ketangkasan dan keindahan gerakan Tiong Han tadi. Akan tetapi Tiong Han sebaliknya memandang kepada pedang yang dipegangnya sambil berkata kagum, "Pokiam (pedang pusaka) yang bagus !"

Baru saja ia menutup mulutnya, angin yang keras menyambar dari kanan-kiri dan kini sepasang kaitan di tangan Ban Hwa Yong telah menyambarnya dengan gerak tipu Menutup Pintu Menggencet Lawan ! Akan tetapi, dengan gerakan indah sekali Tiong Han menggerakkan pedang di tangan kanannya, memutarnya merupakan sinar melengkung dari kanan ke kiri.

"Trang! Trang !" Bunga bunga api memancar keluar ketika sepasang kaitan itu sekaligus terbentur oleh pedang ini dan Ban Hwa Yong merasa betapa telapak tangannya kesemutan. Ia menjadi terkejut sekali, apalagi ketika tlba-tiba matanya silau oleh sinar pedang Tiong Han yang kini membalas dengan serangan-serangan hebat!

Harus diketahui semenjak turun gunung dan mempelajari ilmu pedang Ang coa-kiam sut dari kitab peninggalan sucouwnya, ilmu kepandaian pemuda ini telah maju pesat sekali. Apalagi kini yang dimainkannya adalah sebatang pedang pusaka, maka tentu saja gerakannya amat hebat dan pedangnya bergulung-gulung merupakan sinar putih yang menyilaukan mata.

Ban Hwa Yong mempertahankan diri sampai dua puluh Jurus, akan tetapi sekarang ia bertempur sambil mundur teratur, terus terdesak hebat tanpa dapat berdaya lagi. Akan tetapi, betapapun keuletannya boleh dipuji. Ia telah puluhan tahun merantau dan menjagoi di dunia kang-ouw, sudah mengalami banyak sekali pertempuran, maka ia telah dapat mempertahankan diri dengan amat kuatnya.

Baru setelah bertempur selama dua puluh tujuh jurus terdengar suara keras dan kaitan di tangan kanan Ban Hwa Yong terpental jauh ke atas! Penjahat cabul ini mengeluarkan teriakan keras dan tiba - tiba la merogoh sakunya dengan tangan kanan dan tiga buah senjata rahasia berbentuk paku hitam menyambar kearah jalan darah di tubuh Tiong Han!

Pemuda ini cepat memutar pedangnya untuk menangkis paku-paku itu akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh lawannya untuk melompat dan berlari pergi secepat mungkin seperti orang dikejar setan! Tiong Han yang tidak ingin mencari permusuhan, melihat lawannya berlari ketakutan, tidak mau mengejar, bahkan lalu menghampiri piauwsu tua yang memberi pinjam pedang itu.

"Lo-enghiong. pedangmu ini benar - benar bagus sekali. Terima kasih atas bantuanmu " Tiong Han mengembalikan pedang itu. akan tetapi piauwsu itu memegang lengannya dengan muka girang sekali dan berkata,

"Tak usah berlaku sungkan, hohan. Pedang pusaka ini telah berpuluh tahun berada di tanganku dan sesungguhnya aku tidak berharga untuk memiliki pedang ini. Biarlah untuk pertolonganmu kepada kami, pedang ini kami persembahkan kepadamu !"

Tentu saja Tiong Han menjadi terkejut sekali. Ia merasa malu dan sungkan, karena bagaimanakah ia dapat menerima pemberian pedang mustika begitu saja dari orang yang tak dikenalnya ?

Piauwsu itu melihat keraguannya, maka ia lalu berkata,"Orang muda yang gagah. Marilah kau ikut kami dan mari kaudengarkan penuturan kami agar kau dapat mengerti betapa besar jasamu tadi ! Kau telah menghindarkan penyembelihan besar-besaran terhadap keluarga piauwkiok (perusahaan ekspedisi) kami !"

Karena ia merasa letih dan juga pundaknya terasa perih, terutama sekali karena ia ingin mendengar siapakah adanya wanita cantik yang mati di situ dan mengapa tokoh Thian. te Sam-kui itu sampai bentrok dengan kawanan piauwsu ini, maka Tiong Han tidak menampik undangan ini, dan beramai ramai mereka lalu pergi ke rumah piauwkiok yang tidak jauh dari situ. Seperti telah kita ketahui, ketiga Thian-te Sam kui setelah berhasil membasmi dan membunuh semua keluarga Pak eng piauwkiok di kota Hun-leng, tiga manusia iblis ini lalu melarikan diri sambil menculik Lo Kim Bwe atau nyonya Ouw Tang Sin yang cantik jelita dan genit. Atau lebih tepat lagi, yang membawa lari Kim Bwe adalah Ban Hwa Yong si penjahat cabul.

Oleh karena memang ketiga orang penjahat ini mempunyai kesukaan sendiri-sendiri maka setelah keluar dari kota Hun leng mereka lalu berpisah dan mengambil Jalan masingmasing, Ban Hwa Yong yang membawa Kim Bwe lalu melanjutkan perjalanannya. Girangnya bukan main, ketika ia mendapat kenyataan bahwa wanita yang diculiknya ini tidak seperti yang lain-lainnya. Biasanya wanita yang diculik dan dipermainkannya selalu melawan dan berduka atau bahkan ada yang nekad membunuh diri, akan tetapi Kim Bwe tidak demikian. Perempuan ini tidak nampak bersedih meskipun keluarganya telah terbasmi semua, bahkan ia nampaknya suka melakukan perjalanan dengan Ban Hwa Yong!

"Sayang kau dan suheng - suhengmu tidak mau menunggu dulu kedatangan dara yang cantik jelita seperti bidadari !" katanya kepada penjahat cabul itu, dan ia lalu menceritakan perihal Eng Eng kepada Ban Hwa Yong. Penjahat ini hanya tertawa saja dan berkata.

"Betapapun juga, ia tidak mungkin secantik engkau manisku !"

Demikianlah sampai sebulan lebih Kim Bwe melakukan perjalanan menurut saja ke mana penjahat itu membawanya. Ban Hwa Yong nampaknya amat sayang kepadanya dan sebaliknya Kim Bwe juga memperlihatkan kasih sayangnya. Padahal semua sikap Kim Bwe ini hanya dilahir saja. Ia merasa melawan tiada gunanya, dan berarti sama dengan membunuh diri. Sesungguhnya ia amat benci kepada laki-laki ini, bukan hanya karena Ban Hwa Yong telah membunuh semua keluarganya termasuk ayah dan adiknya yang tercinta, akan tetapi terutama sekali karena Ban Hwa Yong berwajah buruk. Kalau saja laki-aki yang menculiknya ini seorang laki laki muda yang tampan, bukan tak mungkin Kim Bwe akan dapat menerimanya dan melupakan sakit hatinya!

Diam diam Kim Bwe selalu mencari kesempatan baik untuk membunuh jai hwa cat ini.

Pertama-tama karena Ban Hwa Yong amat tinggi ilmu kepandaiannya, kedua kalinya karena penjahat cabul itu selalu berlaku hati-hati sekali.

Pada suatu hari, ketika mereka berdua sedang berjalan hendak memasuki dusun Cia-kengbun, mereka melihat serombongan piauwsu menyusul mereka dan mendahului masuk ke dalam dusun itu. Mereka itu terdiri dari sembilan orang dan karena mereka ini menunggang kuda mengiringi sebuah kereta barang, maka mudah dilihat dari bendera di atas kereta bahwa mereka adalah piauwsu-piauwsu dari perusahaan Gin-houw piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Macan Perak). Piauwsu yang termuda ketika lewat, berpaling dan memandang ke arah Kim Bwe dengan penuh perhatian, lalu tersenyum. Kim Bwe melihat wajah piauwsu muda yang tampan itu, membalas senyum ini. la melakukan hal ini dengan sengaja, bahkan ketika rombongan piauwsu itu telah lewat, Kim Bwe mengeluarkan saputangan dari dalam bajunya dan melambaikan ke arah piauwsu muda tadi !

Tentu saja Ban Hwa Yong menjadi cemburu dan marah sekali. Hampir saja ia memukul muka kekasihnya itu, akan tetapi Kim Bwe segera berkata, "Mengapa kau marah-marah? Gin houw piauwkiok adalah piauwkiok yang amat terkenal, dan orang-orangnya memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai. Mereka pernah datang di tempat tinggalku dan mengenal mendiang suamiku. Sebagai kenalan-kenalan lama, tidak bolehkah aku memberi salam kepada mereka ?" Kemudian ia sengaja membikin panas hati Ban Hwa Yong. "Kurasa lebih baik kita jangan masuk ke dusun itu dan melewatinya saja dengan mengambil jalan lain, karena kalau para piauwsu itu melihat aku berjalan bersamamu, mereka tentu akan merasa curiga dan kalau mereka menyelidiki celakalah kau !”

Benar saja, usahanya memancing-mancing dan membikin panas hati Ban Hwa Yong untuk mengadudombakan penjahat ini dengan para piauwsu itu, telah mendapat hasil baik. Ban Hwa Yong yang merasa cemburu menjadi benci kepada piauwsu - piauwsu itu, apalagi mendengar Kim Bwe memuji – muji. Kini mendengar ucapan nyonya muda ini, mukanya menjadi merah saking marahnya,

"siapa yang celaka? Aku? Mengapa aku yang celaka?" tanyanya penasaran.

"Karena kepandaian mereka benar-benar tinggi ! Mendiang suamikupun tidak dapat mengalahkan ilmu silat pemimpin-pemimpin Gin-houw-piauwkiok,” kata Kim Bwe pula.

Ban Hwa Yong hampir saja membanting-banting kakinya. "Suamimu ? Hm, cacing tanah itu bisa apa sih! Kau lihat saja nanti, akan kubasmi habis pemimpin-pemimpin Gin houw piauwkiok dan kuratakan dengan bumi perusahaan mereka seperti halnya Peng.engpiauwkiok! Akan tetapi kalau di situ terdapat wanitanya yang cantik seperti engkau, engkau harus mengalah dan membiarkan aku membawanya!"

Bukan main girangnya hati Kim Bwe mendengar bahwa usahanya mengadu domba ini berhasil, akan tetapi ia berpura-pura memperlihatkan muka marah mendengar ucapan terakhir dari Ban Hwa Yong.

"Dasar mata keranjang ! Orang yang selalu mencari wanita cantik seperti kau, mana bisa

menangkan piauwsu-piauwsu dari Gin-houw piauwkiok ?'

Ucapan ini merupakan minyak yang menyiram api kemarahan Ban Hwa Yong sehingga tanpa banyak Cakap lagi penjahat cabul ini lalu memegang lengan tangan Kim Bwe dan membawanya lari cepat memasuki dusun itu !

Memang sesungguhnya dalam kata - kata Kim Bwe kepada Ban Hwa Yong tadi, tidak semuanya bohong. Pemimpin Gin houw-piauwkiok memang kenal dengan Pak.eng piauwkiok milik suaminya. Ketua dari Gin-houw-piauwkiok itu adalah seorang piauwsu setengah tua, berusia lima puluh tahun akan tetapi masih nampak gagah dan kuat. Piauwsu ini bernama Lai Siong Te seorang gagah yang amat pandai bermain pedang. Oleh karena kegagahannya, nama Gin - houw - piauwkiok amat terkenal dan tidak sembarang perampok berani mengganggu barang-barang yang dikawal oleh piauwsu-piauwsu dari Gin-houw-piauwkiok. Bendera piauwkiok yang bersulam lukisan harimau dari benang perak itu merupakan tanda yang ditakuti oleh para perampok.

Lai Siong Te memang pernah berkunjung ke Hun leng dan berkenalan dengan Ouw Teng Sin dan Ting Kwan Ek, kedua piauwsu dari Pek-eng-piauwkiok itu. Bahkan pernah ia melihat Kim Bwe yang ketika itu masih menjadi nyonya Ouw Teng sin. Di dalam perjalanan tadi, Lai Siong Te tidak ikut karena piauwsu tua ini sekarang jarang sekali mengantar sendiri barang-barang yang dilindungi oleh piauwkioknya. Cukup dilakukan oleh anak buahnya dan murid-muridnya saja. Tentu saja untuk mengawal barang-barang amat berharga kadangkadang ia sendiri turun tangan.

Ketika rombongan piauwsu itu tiba Lai Siong Te menyambut dengan gembira karena mendengar bahwa rombongan itu tidak menemui kesulitan sesuatu di dalam perjalanan. Sebagai seorang ketua yang pandai, ia lalu memerintahkan para pelayan untuk menyediakan minuman dan hidangan sebagai hiburan kepada para pegawainya.

Pada saat - saat orang-orang itu sedang makan minum tiba tiba datang seorang piauwsu yang menghadap Lai Siong Te dengan muka pucat dan memberi laporan,

"Celaka, Lai piauwsu, di perempatan sebelah selatan itu ada seorang laki-laki dan seorang wanita yang memaki-maki dan menantang semua piauwsu dari Gin-houw piauwkiok !"

Mendengar ucapan ini, marahlah para piauwsu muda yang berada di situ. Tanpa menanti jawaban kepala piauwsu itu, dua orang piauwsu muda telah lari sambil mencabut pedang mereka ! Benar saja di tengah jalan perempatan, tak jauh dari rumah piauwkiok itu, tampak seorang laki-laki tinggi kurus dengan seorang wanita muda yang cantik sekali berdiri sambil memaki-maki.

"Manakah tikus-tikus dari Gin-houw piauwkiok? Biar mereka maju ke sini hendak kuhi-tung berapa helai kumisnya!"

Seorang di antara piauwsu muda ini adalah seorang muda yang tadi telah tertarik oleh kecentilan Kim Bwe dan telah bertukar pandang dan senyum dengan nyonya muda itu, maka ia lalu main ke depan bersama kawannya dan membentak.

"Manusia kurang ajar dari manakah yang berani datang menghina nama piauwkiok kami? Siapakah namamu dan mengapa kau datang-datang ngaco belo seperti orang gila?"

Melihat piauwsu muda yang tadi telah berani bermain mata dengan Kim Bwe, Ban Hwa Yong marah sekali. "Ha. ha, ha, begini sajakah macamnya tikus - tikus dari Gin houwpiauwkiok? Tidak tahunya hanya tikus selokan yang kotor, pemakan kecoa dan kotoran!"

Bukan main marahnya kedua orang piauwsu muda itu mendengar hinaan ini. Biarpun yang ditanya belum memberitahukan namanya namun kekurangajarannya membuat keduanya tak sabar lagi. Serentak mereka maju menyerang dengan pedang di tangan. Akan tetapi, dengan bertangan kosong Ban Hwa Yong maju menyambut serangan mereka dan baru lima jurus saja, ia berhasil merampas pedang seorang di antaranya dan begitu pedang rampasan ini digerakkan, robohlah kedua orang piauwsu muda itu dengan luka pada lengan dan pundak! Ban Hwa Yong tertawa bergelak dan hendak maju membunuh kedua orang ini. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras,

"Penjahat kejam jangan main gila di sini!" Ban Hwa Yong tidak memperdulikan bentakan ini, pedangnya terus hendak membacok leher kedua piauwsu muda yang telah dilukainya itu, akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar putih yang menyilaukan, menangkis pedangnya.

"Traang!" terdengar suara keras tahu-tahu pedang itu telah terbabat putus! Ban Hwa Yong terkejut dan marah sekali. Ia cepat memutar tubuhnya dan ternyata bahwa yang membabat putus pedangnya itu tadi adalah seorang tua yang bersikap tenang.

"Hm jadi inikah orang she Lai yang menjadi pemimpin dari Gin houw piauwkiok? Kau berani membikin putus pedang rampasan di tangan Ban Hwa Yorg bagus sekali!"

Sementara itu, Lai Siong Te biarpun berhasil membuat putus pedang tadi, namun ia merasa tangannya tergetar, maka ia tadi menjadi terkejut juga. Kini mendengar nama orang tinggi kurus yang berhidung bengkok ini, makin terkejutlah dia. Ia telah mendengar nama Thian te Sam- kui dan tahu bahwa tiga orang iblis itu amat lihai, maka sering kali ia memberi nasihat kepada anak buahnya agar supaya menjauhi tiga iblis itu, Tidak tahunya sekarang orang termuda dari pada tiga iblis itu datang sendiri mencari perkara ! la cepat menjura dan berkata,

"Maaf, maaf, tidak tahunya kami berhadapan dengan Ban taihiap yang terkenal gagah perkasa! Setelah sekarang aku mengetahui dengan siapakah aku berhadapan aku harap sudilah kiranya taihiap memberi maaf kepada murid-muridku yang telah berlaku kurang ajar. SiIakan taihiap datang ke rumah kami yang buruk untuk menerima penghormatan kami dan beristirahat !” Ucapan ini amat merendah dan sesungguhnya telah membuat hati Ban Hwa Yong menjadi dingin. Penjahat ini mempunyai hati yang suka sekali mendapat pujian

orang. Melihat sikap merendah dari piauwsu tua itu, dia melihat betapa semua orang memandangnya dengan takut-takut dan penuh hormat, ia sudah menjadi bangga sekali sehingga ia tertawa terbahak-bahak.

"Bagus, bagus, Lai-piauwsu. Baiknya kau masih mengenal orang dan dapat membedakan mana ulat mana naga ! Kalau tidak, aku khawatir Gin houw - piauwkiok akan tinggal namanya saja hari ini!"

Biarpun Lai Siong Te merasa mendongkol sekali mendengar kesombongan ini, namun ia menekan perasaan marahnya dan hanya tersenyum saja. Agaknya semua akan berjalan beres dan damai kalau saja Kim Bwe tidak bertindak. Nyonya muda ini merasa kecewa sekali. Ia sengaja hendak mengadu-dombakan kedua orang ini agar supaya Ban Hwa Yong dikalahkan dan ia dapat terlepas dari pada orang yang dibencinya itu.

Maka ketika ia melihat betapa Lai Siong Te memperlihatkan sikap lemah dan mengalah dan Ban Hwa Yong sudah reda marahnya, ia cepat melangkah maju, memungut pedang seorang piauwsu yan tadi dirobohkan oleh Ban Hwa Yong, kemudian berkata dengan nyaring,

"Lai-lo enghiong, lupakah kau kepadaku? Aku adalah isteri dari Ouw Teng Sin dari Pek eng - piauwkiok ! Seluruh keluarga Pek - eng piauwkiok telah terbunuh mati oleh jahanam terkutuk ini, maka tolonglah kau membantuku membalas dendam kepada jahanam ini " Sambil berkata demikian Kim Bwe menggerakkan pedang itu menusuk dada Ban Hwa Yong !

Jai-hwa cat ( penjahat cabul ) ini terkejut, heran dan marah bukan main. Ia mengelak sambil melompat ke belakang dan tahu - tahu ia telah mencabut sepasang kaitannya, senjatanya yang amat diandalkan dan memang amat berbahaya itu. Lai Siong Te dan muridmuridnya ketika mendengar ucapan nyonya muda itu, terkejut sekali dan serentak mereka lalu maju sambil mengeluarkan senjata masing - masing.

Namun mereka kalah cepat oleh Ban Hwa Yong, karena dengan gerakan yang amat hebat, la mendesak maju dan tiba tiba terdengar pekik mengerikan dari mulut Kim Bwe ketika sepasang kaitan baja di tangan penjahat cabul itu telah mengenai tubuhnya. Kaitan di tangan kanan menancap dan mengait lehernya. sedangkan kaitan kiri menembus Iambungnya! Ketika Ban Hwa Yong menarik kembali senjatanya tubuh Kim Bwe terkulai dan roboh tak bernafas lagi.

"Ha. ha, ha, perempuan hina ! Kau mencoba mengkhianati Ban Hwa Yong ? Dasar kau mencari mampus !" Setelah berkata demikian, ia mengangkat kaitannya untuk menangkis pedang Lai Siong Te yang sudah maju menyerangnya dengan marah sekali.

"Ban Hwa Yong, kau benar-benar berhati kejam sekali! Hari ini aku Lai Siong Te pasti mengadu jiwa denganmu!”

"Tua bangka ! Tak usah kau mengejek, aku memang sudah mengambil keputusan untuk

menjadikan Gin houw-piauwkiok seperti kalian untuk mampus di tangan Ban Hwa masih baik bagi Lai Siong Te bahwa ia tidak, tentu ia takkan dapat bertahan

Pek-eng piauwkiok yang sudah musnah! Bersiaplah Yong yang perkasa !" Kaitannya bergerak cepat dan memegang sebuah pedang pusaka, karena kalau lama menghadapi penjahat yang lihai itu.

Ketika melihat ketua dan guru mereka terdesak hebat oleh Ban Hwa Yong, para piauwsu yang lain serentak lalu maju mengeroyok sehingga sebentar saja Ban Hwa Yong setelah dikeroyok oleh tujuh orang piauwsu termasuk Lai Siong Te ! Akan tetapi penjahat Itu tak merasa gentar, bahkan sambil tertawa-tawa ia menghadapi para pengeroyoknya dengan gagah sekali.

Dan pada saat itulah Sim Tiong Han pemuda tokoh Kim liong-pai itu datang dan akhirnya berhasil mengusir Ban Hwa Yong !

Setelah mendengar penuturan tuan rumah, Tiong Han menarik napas panjang dan berkata agak menyesal, "Sayang sekali aku tidak tahu akan hal ini sebelumnya, kalau aku tahu, pasti aku takkan membiarkan penjahat kejam itu melarikan diri ! Akan tetapi biarlah akan kuingat dia dan kalau sampai aku dapat bertemu lagi dengan dia pasti akan kubereskan jahanam itu!"

Ketika Lai Siong Te mendengar bahwa pemuda yang bernama Sim Tiong Han ini adalah murid dari Kim liong pai, ia cepat-cepat menyatakan hormatnya dan berkata, "Tidak heran bahwa ilmu silatmu sedemikian hebat, Sim-taihiap ! Tidak tahunya kau adalah murid dari Kim liong - pai ! Hanya sayang sekali kau tidak membawa pedang Ang coa-kiam, pedang pusaka dari Kim Iiong pai itu. Kalau kau membawa pedang itu, tak usah kau memperkenalkan diri, pasti mataku yang tua akan mengenalmu, karena aku pernah melihat dan menyaksikan kelihaian pedang Ang coa. kiam ketika aku masih muda dulu.”

Tiong Han menghela napas. "Itulah sebabnya mengapa aku turun gunung. Lai piauwsu. Pedang pusaka kami telah lenyap dicuri orang ! Maka tolonglah kau mendengar dan melihat kalau kalau ada orang yang membawa bawa pedang itu beri kabarlah kepadaku ! Aku akan mencari ke utara."

"Tentu saja, taihiap, kami akan membantumu. Dan untuk sementara sebelum kau dapat menemukan kembali Ang coa.kiam kau pakailah pedangku Hui-liong-kiam ini! Aku persembahkan kepadamu dengan hati rela, karena kau lebih pantas menggunakan pedang ini taihiap."

Tiong Han memandang kepada pedang yang diletakkan di atas meja di depannya itu, "Pedarg baik." katanya. 'Tidak mudah mendapatkan pedang pusaka seperti ini, Lai piauwsu. mengapa kau memberikannya kepadaku? Sungguh aku merasa sukar untuk dapat menerimanya."

Lai Siong Te tertawa bergelak, "Memang demikianlah sifat seorang gagah, dia tidak ingin memiIiki barang orang lain betapapun indah dan berharga barang itu ! Aku hargai sikapmu ini taihiap. Akan tetapi, pedang ini kuberikan dengan rela hati. Dengan setulusnya aku memberikan pedang ini kepadamu, karena untuk apakah orang tua seperti aku memiliki

pedang ini? Seperti seekor domba memakai tanduk kerbau saja ! Dan pula, dengan memberikan pedang ini kepadamu berarti bahwa aku tidak melanggar janjiku kepada pemberi pedang ini !"

Tertarik hati Tiong Han mendengar ucapan ini. "Siapakah pemilik pedang ini dan mengapa diberikan kepadamu, Lai piauwsu ?”

Piauwsu itumenarik napas panjang. "Seorang gagah, seorang wanita yang luar biasa." Kemudian Lai Siong Te menuturkan kepada pemuda itu tentang riwayat pedang yang tajam dan keramat itu. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, Lai Siong Te sudah menjadi seorang piauwsu di daerah Santung. Namanya sudah cukup terkenal sebagai seorang piauwsu yang jujur dan baik, yang menjaga barang kiriman dengan sungguh-sungguh, bahkan yang berani yang bertanggung jawab dan mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi barang yang dipercayakan kepadanya untuk dikirim.

Pada waktu itu di sepanjang lembah sungai kuning. Sebelah selatan kota Cin-an, terkenal sebagai tempat yang amat berbahaya dan jarang sekali ada yang berani melalui jalan ini. Telah beberapa lamanya tempat itu menjadi daerah yang ditakuti karena munculnya seorang perampok tunggal yang berjuluk Sin-kiam-koai-jin (Manusia Aneh Berpedang Sakti). Bahkan Lai piauwsu sendiri tidak berani melalui tempat ini dan selalu mengantarkan barangbarang berharga dengan jalan memutar. Telah banyak sekali orang-orang gagah mencoba untuk mengusir perampok ini, akan tetapi akibatnya mereka itu roboh seorang demi seorang di tangan Sin-kiam-koai-jin yang kosen.

Pada suatu hari seorang bangsawan tinggi memanggil Lai piauwsu dan ketika piauwsu ini datang menghadap bangsawan itu berkata kepadanya,

"Lai piauwsu, aku mempunyai sebuah benda yang harus diantarkan ke kuil Thian hok-si di dusun Tiang sen an di kaki Gunung Fu-niu. Akan tetapi, benda itu harus sudah sampai di kuil itu dalam waktu lima belas hari. Sanggupkah kau mengantarkan benda itu ke tempat tersebut dalam waktu kurang dari lima belas hari? Kalau kau berhasil membawa benda itu sampai di tempatnya dengan selamat dan tidak terlambat, berapa saja biayanya akan kubayar, bahkan akan kuberi hadiah besar kepadamu. Akan tetapi awas, kalau benda itu sampai hilang kau akan ditangkap dan dihadapkan ke depan pengadilan, karena benda itu amat berharga !"

Lai Siong Te terkejut mendengar bahwa ia diharuskan membawa benda ke tempat itu dalam waktu sedemikian cepatnya, akan tetapi sebagai seorang yang telah banyak makan asam garam dunia ia dapat menetapkan perasaannya dan bertanya,

"Benda berharga apakah yang hendak taijin kirim ?"

"Jadi kau sanggup!" Pembesar ini berkata, "Lai piauwsu, hal ini bukan perkara kecil dan ketahuilah bahwa hanya kepada kau seorang aku menaruh harapanku, kalau kau tidak sanggup, terpaksa aku harus melarang kau membuka piauwkiok di kota ini, karena apakah artinya bagi kotaku mempunyai seorang piauwsu yang tidak sanggup membawa benda itu ke

tempat yang sudah ditentukan? Ketahuilah bahwa benda itu adalah sebuah patung Buddha yang amat berharga dan suci dan harus segera diantar ke kuil tersebut, karena lima belas hari lagi kuil itu selesai dibangun dan hendak dibuka. Patung itu perlu sekali berada di sana sebagai pengesahan pembukaan kuil itu, dan aku telah berhutang budi kepada kuil itu sebelum diperbaiki. Ketika anakku sakit, aku berkaul di kuil itu bahwa aku akan memperbaikinya dan menaruhkan sebuah patung Buddha dari kota raja apabila anakku sembuh. Sekarang anakku sembuh, maka aku harus membayar kaul itu. Nah, sekarang kau tahu persoalannya dan Sanggupkah kau?”

Lai siong Te berpikir - pikir. Untuk menuju ke dusun di kaki Gunung Fo-niu, la harus melewati lembah Sungai Kuning di mana terdapat perampok tunggal yang ditakuti orang itu. Akan tetapi ia hanya membawa sebuah patung Buddha, tentu benda itu takkan menarik perhatian seorang perampok. Untuk apakah patung bagi seorang perampok? Dan pula mungkin sekali perampok yang bernama Sin kiam- koai jin itu tentu takkan mau mengganggu benda suci seperti patung itu. Untuk mengambil jalan memutar, tidak mungkin sama sekali karena tentu akan terlewat waktu yang lima belas hari itu.

'Baiklah, taijin. Hamba sanggup melakukan perintah ini, bukan karena hamba takut diusir dari kota ini, akan tetapi mengingat bahwa tugas yang baik dan suci, maka hamba memberanikan diri untuk melakukannya.

Demikianlah, agar jangan menarik perhatian Lai Siong Te membawa patung itu dan berangkat seorang diri menuju ke barat. Patung itu kecil saja, tingginya hanya satu setengah kaki, terbuat dari pada perak bakar yang amat halus ukirannya. Dihitung dari harga bahannya, tidak amat berharga, entah kalau dipandang dari sudut seninya. Lai piauwsu membungkus patung dalam sebuah kain tebal warna kuning dan digendongnya patung itu pada pundaknya.

0oo-dw-oo0

Jilid 3

UNTUK mempercepat waktu, ia melakukan perjalanan naik kuda dan sengaja memilih kuda yang baik dan kuat. Ia membalapkan kudanya dan mengaso untuk makan atau tidur saja dan juga kadang - kadang untuk memberi kesempatan kepada kudanya makan rumput dan beristirahat sejenak.

Jalan yang dilaluinya amat sunyi, karena sebagaimana telah dituturkan di depan, tidak ada orang yang berani melewati jalan yang menjadi daerah operasi perampok tunggal Sin kiam-koai- jin itu! Akan tetapi piauwsu itu merasa girang dan juga heran sekali karena sampai beberapa hari kemudian, ia tidak melihat tanda - tanda adanya gangguan dari Sinkiam koai-jin. Ia mempercepat larinya kuda dan sebelas hari kemudian ia telah tiba di hutan terakhir, sudah dekat dengan dusun Tiang.seng an di kaki gunung Fu niu !

Biarpun hari telah mulai senja Lai piauwsu tidak menghentikan kudanya yang sudah lelah. Hatinya berdebar girang dan ia ingin sekali lekas lekas keluar dari hutan itu. Kalau saja la bisa sampai di dusun yang ditujunya pada sore hari itu. Alangkah mujurnya !

Akan tetapi, tiba-tiba kudanya berjingkrak aneh dan ketika ia memandang, la melihat di depan kudanya berdiri seorang yang kurus dan tinggi, berpakaian sutera hitam dan mukanya ditutup pula dengan sutera hitam sampai di bawah matanya ! Benar-benar merupakan iblis yang mengerikan!

Lai Siong Te menjadi pucat dan cepat ia melompat turun dari kudanya yang berjing-krak ketakutan itu. Ia lalu mengangkat tangan memberi hormat kepada orang berpakaian hitam dan berkedok hitam pula itu.

"Mohon maaf apabila siauwte mengganggu sahabat !* katanya dengan sikap merendah sekali, dan sungguhpun ia dapat menduga bahwa iblis inilah tentunya yang disebut sin-kiam koai jin akan tetapi ia berpura-pura tidak tahu. "Siauwte takut kemalaman dan hendak melanjutkan perjalanan ke dusun Tiang seng-an di luar hutan.'*

Tiba tiba orang berkedok itu tertawa bergelak dan suara ketawanya terdengar aneh, parau dan tinggi. Kemudian orang itu bicara dengan hidung dipencet !

"Ha. ha, ha. ! Lai Siong Te, kaukira aku tidak tahu siapa kau dan apa perlumu lewat di tempat ini ? Lekas kautinggalkan bungkusan patung itu, atau kautinggalkan kepalamu Boleh kau pilih!” Sambil berkata demikian, orang itu mencabut pedangnya dan silaulah mata Lai Siong Te melihat pedang yang bercahaya terang. Tak salah lagi, pikirnya dengan hati berdebar-debar, inilah dia Sin-kiam koai jin !

"Maaf" katanya, "sungguh tajam pandangan matamu. Akan tetapi sesungguhnya siauwte tidak tahu siapakah sebenarnya orang gagah yang berdiri di hadapanku ?"

Orang itu menyabet-nyabetkan pedangnya sehingga terdengar suara suitan nyaring sekali. "Kau lihat pedang ini ? Nah, terkalah siapa aku!"

"Apakah kau yang disebut Sin-kiam koai jin?”

Orang itu tertawa kembali, "Dan kau berani lewat di sini tidak takut kepada Sin kiam koai jin? Sungguh besar nyalimu, orang she Lai!"

"Harap saja koai-hiap jangan mengganggu siauwte,"Lai piauwsu mencoba membela diri. "Yang siauwte bawa hanyalah sebuah patung yang harus di pasang di kuil Thian - hok si. Karena patung suci ini siauwte bawa dengan melakukan tugas yang mulia, maka siauwte tidak mengambil jalan memutar, harap saja koai hiap sudi memaafkan."

"Orang cerewet ! Tak usah banyak membuka mulut, lekas kautinggalkan patung itu dan pergi dari sini " Kembali Sin-kiam-koai-jin menggerakkan pedangnya. Melihat gerakan pedang yang cepat dan berkilat itu tahulah Lai piauwsu bahwa ia bukanlah lawan orang yang tinggi ilmu silatnya itu. Akan tetapi, tentu saja ia tidak mau mengalah dan memberikan patung itu kepada Sin-kiam koai-jin.

Bagi seorang yang menghendaki kemajuan dalam pekerjaannya, syarat terutama baginya ialah menaruh rasa cinta dan hati setia kepada pekerjaan yang dipegang atau dllakukannya.Terutama bagi seorang seperti Lai Siong Te yang bekerja menjadi piauwsu. Pekerjaannya sebagai pelindung barang barang yang diantar atau dikawalnya membuat ia harus sanggup melindungi barang barang itu dengan keras kalau perlu mempertaruhkan nyawanya. Oleh karena inilah maka ia menjadi seorang piauwsu yang ternama dan dipercaya oleh mereka yang mengirimkan barang - barang berharga. Gin-houw Piauwkiok (Perusahaan ekspedisi macan perak) amat disegani dan mendapat kepercayaan penuh oleh karena semua orang tahu bahwa bagi Lai Piauwsu, barang barang yang dilindunginya baru dapat terampas darinya apabila kepalanya telah terlepas dari tubuhnya atau nyawanya telah meninggalkan tubuhnya !

Kini dalam tugasnya mengantarkan sebuah patung Buddha ke kuil Thian - hok si, ia telah diganggu oleh Sin kiam-koai jin yang minta patung itu dengan paksa, tentu saja ia tidak mau menyerah begitu saja dan ketika penjahat berkedok itu menyerangnya ia cepat mengelak dan mencabut goloknya yang telah lama menjaga nama perusahaan ekspedisinya.

Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan oleh Sin-kiam koai jin itu luar biasa cepatnya dan karena pedang di tangan penjahat itupun pedang pusaka yang luar biasa, sebentar saja Lai piauwsu terdesak hebat. Piauwsu ini maklum akan ketajaman pedang lawan, maka seberapa bisa ia menghindarkan goloknya beradu dengan pedang lawan. la telah memiliki pengalaman dalam pertempuran-pertempuran besar dan dengan mengandalkan ketenangan dan kegagahan tangannya, untuk beberapa lama ia masih dapat mempertahankan diri. Akan tetapi, piauwsu ini maklum pula bahwa pertahanan ini takkan berlangsung lama. Pedang di tangan Sin - kiam koai jin sangat cepat gerakannya dan merupakan gulungan sinar pedang yang mengelilingi tubuhnya dan menjepitnya sehingga tiada jalan keluar lagi baginya. “Sin kiam-koai hiap, kalau kau berkeras hendak menggangguku biarlah aku mengorbankan nyawaku sebagai seorang piauwsu sejati!" Lai piauwsu dengan gemas sekali dan memutar goloknya dengan sekuat tenaga dan gerakannya biarpun tidak cepat namun mengandung tenaga yang lemas dan kuat. inilah ilmu golok Lo - han to yang merupakan ilmu golok mempertahankan diri yang kuat sekali.

"Lai Siong Te manusia goblok ! Kau hendak menukarkan nyawamu dengan patung ? Ha ha ha, mampuslah !" Sambil berkata demikian, penjahat berkedok itu cepat menyerang dengan sebuah tusukan kilat ke arah leher Lai piauwsu, Lai Siong Te mengelak ke kiri, akan tetapi dengan gerakan cepat sekali Sin-kiam koai jin telah menyusulkan dua serangan, yakni tangan kanan yang memegang pedang menyabet ke arah leher sedangkan tangan kiri didorongkan ke depan.

Lai Siong Te menjadi terkejut sekali. Dorongan tangan kiri itu mengeluarkan angin yang memukul di bagian dalam dadanya maka cepat ia melempar diri ke kanan dan terpaksa menyabetkan goloknya untuk menangkis bacokan lawan pada lehernya.

"Traang!" Sekali saja beradu, golok di tangan Lai Siong Te telah putus menjadi dua!

"Ha, ha, ha! Lai Siong Te, kau masih tidak mau memberikan patung itu!"

"Kau boleh membunuhku, akan tetapi jangan harap akan dapat merampas patung ini!”jawab piauwsu yang gagah itu.

"Orang gila ! Kalau begitu mampuslah!" Pedang yang berkilat itu menyambar, Lai Siong Te tak dapat mengelak lagi, maka piauwsu ini dengan mata dipentang lebar-lebar menanti datangnya maut. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangan hitam yang panjang bagaikan seekor naga menyambar dan menangkis pedang itu. Terdengar suara keras sekali dan bunga api berpijar. Sin kiam koai jin berseru kaget dan melompat mundur. Tangkisan tadi membuat pedangnya terpental ke belakang! Lai Siong Te menengok. Ia melihat seorang wanita tua sekali berdiri dengan tongkat panjang di tangan. Tongkat dari kayu biasa yang agak kemerahan warnanya, bengkak bengkok dengan kepala berbentuk seperti naga. Nenek tua ini rambutnya sudah putih seluruhnya, pakaiannya seperti pakaian pertapa, berwarna putih dengan garis leher hitam. Biarpun ia sudah nampak tua, dengan rambut putih dan keriput di mukanya, namun mukanya masih kemerah-merahan dan terutama sekali sepasang matanya tajam bukan main mengeluarkan pengaruh yang menakutkan.

'Siluman wanita dari manakah berani berlaku kurang ajar terhadap Sin-kiam-koai-hiap?* bentak penjahat berkedok itu dan matanya di balik kedok sutera hitam itu bersinar-sinar merah.

'Bocah she Ang, kali ini benar benar kau tersesat jauh. Bukankah suhumu sudah memberi peringatan terakhir ? Pergilah dan minta ampun kepada suhumu karena kalau kau melanjutkan kesesatanmu, aku Li Bi Hong tidak akan ragu-ragu untuk mewakili gurumu melenyapkan kau dari permukaan bumi !" kata nenek tua itu dengan suara berpengaruh. Lai Siong Te melihat betapa penjahat itu menjadi terkejut dan suaranya berobah ketika tahu siapa nenek itu terdengar suara,

“Jadi kau orang tua yang disebut Pat jiu Toanio Li Bi Hong? Suhu seringkali nyebut namamu sebagai seorang tua yang sangat bijaksana dan pendekar besar, tetapi,mengapa sekarang kau hanya merupakan seorang nenek tua yang jail dan menyampuri urusan orang lain! Pat jiu Toanio Li Bi Hong, apakah kaukira aku takut kepadamu? Aku mengingini patung yang dibawa oleh Lai Siong Te, apakah hal ini dengan kau orang tua!"

menyebutakan suka Ang Koan hubungannya

Li Bi Hong tersenyum mengejek dan heranlah hati Lai piauwsu ketika melihat betapa nenek itu masih mempunyai gigi penuh dan kuat! "Ang Koan," kata nenek itu, "suhumu sendiri, Lui-kong-jiu Keng Kin Tosu tidak berani bicara demikian kurang ajar terhadap aku yang ia anggap sebagai saudara tua. Kau sebagai murid satu-satunya telah tiga kali diberi peringatan dan banyak menyusahkan hati orang tua itu, akan tetapi kau tidak sadar bahkan makin tersesat! Sudah menjadi kewajibanku untuk memberi hajaran kepadamu, bagaimana kau anggap aku jail? Pula, tentang patung ketahuilah, hai bocah lancang! Patung itu dibawa oleh Lai piauwsu yang setia untuk diserahkan kepada kuil Thian-hok si

di kaki gunung Fu niu, dan tahukah kau siapa yang berada di kuil itu? Akulah orangnya yang membangun kuil itu dan aku yang berhak menerima patung itu. Kau mau bicara apa lagi sekarang ?"

Tidak saja Sin kiam Koai jin yang terkejut mendengar keterangan ini, bahkan Lai Siong Te semenjak tadi sudah tertegun. Ia sudah lama mengenaI dan mendengar nama orang-orang yang terkenal sebagai tokoh tokoh persilatan tingkat tinggi seperti Pat jiu Toanio dan Lai-kong jin, sungguhpun ia belum pernah melihat orangnya. Lebih-lebih heran dan terkejutnya bahwa patung itu ternyata harus diserahkan kepada ketua Thian Hok si yang bukan lain adalah Pat Jiu Toanio sendiri!

Akan tetapi Sin kiam Koai jin memiliki keberanian luar biasa. Ia tidak takut kepada Pat jiu Toanio dan biarpun sudah mendengar keterangan tersebut, namun ia masih merasa sayang kalau harus melepaskan patung itu, setelah tadi hampir saja patung itu dapat dirampasnya. Sambil berseru nyaring, tiba tiba dengan cara yang sangat pengecut sekali tanpa memberi peringatan lebih dulu, ia bergerak cepat dan mengirim serangan kilat ke arah nenek tua itu.

Lai piauwsu menjadi terkejut sekali, akan tetapi tidak demikian halnya dengan nenek yang diserang itu. Dengan tenang nenek itu lalu mengangkat tongkat merahnya dan sekali saja ia menggerakan tongkat dengan perlahan, pedang Sin - kiam Koai-Jin telah dapat dibentur kembali. Sebelum AngKoan dapat mengetahuinya, tongkat yang bagaikan naga hidup itu luar biasa cepatnya telah mendorongnya sehingga tepat mengenai dadanya dan membuatnya terhuyung - huyung ke belakang !

"Ang Koan, itu baru peringatan pertama. kau kembalilah ke Heng san dan minta ampun kepada suhumu!”

Akan tetapi tanpa menjawab, Ang Koan yang menjadi makin marah itu lalu menyerang lebih hebat lagi, dengan gerak tipu yang disebut membabat rumput Membunuh Ular! Serangan ini begitu lihainya, karena pedang yang berkilauan itu menyambar-nyambar dan bertubi-tubi membabat ke atas dan ke bawah, mengancam kedua kaki dan pinggang nenek itu.

"Hm, kau mengeluarkan tipu - tipu yang paling sadis untuk membunuhku? Bocah lancang jangan kau mengimpi!" Tiba - tiba tubuh nenek itu berkelebat cepat dan tubuhnya telah melompat ke atas bersandarkan tongkatnya yang tertancap di tanah sehingga pedang berkali kali membacok tongkat dan mengeluarkan suara keras. Akan tetapi sama sekali tongkat itu tidak bergeming ! Bahkan, dari atas nenek itu lalu mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah kepala Ang Koan ! Hebat sekali pukulan ini karena angin pukulannya saja membuat pakaian Lai piauwsu yang berdiri jauh menjadi berkibar. Apalagi Ang Koan yang terkena pukulan langsung. Kepalanya terasa disambar petir dan untuk kedua kalinya terhuyung-huyung ke belakang.

"Nah, itu peringatan kedua kali dan yang terakhir!" kata Pat-jiu Toanio. "Kembalilah ke Heng-san atau mati di sini, tinggal kau pilih!"

"Siluman perempuan! Siapa takut mati!" tiba-tiba Sin-kiam koai jin menyerbu lagi dengan pedangnya. Akan tetapi Pai-jiu Toanio yang sudah menurunkan kakinya di atas tanah, memegang tongkat itu pada ujungnya dan mendahului lawannya menusuk ke depan. Tongkat itu jauh lebih panjang dari pada pedang dan digerakkan dengan cepatnya maka sebelum pedang di tangan Ang Koan dapat mengenai nenek itu, lebih dulu ujung tongkat telah menotok dadanya.

"Duk!* suara beradunya ujung tongkat dengan dada ini perlahan saja akan tetapi akibat hebat sekali. Sin kiam Koai- jin Ang Koan terlempar ke belakang sampai satu tombak lebih, pedangnya terlepas dari pegangan, kemudian ia roboh tak berkutik lagi. Ternyata sekali totokan saja nyawanya telah melayang meninggalkan raganya!

Pat jiu Toanio Li Bi Hong menghela napas panjang dan mengomel.

"Terlalu sekali kau, Ang Koan, telah memaksaku melakukan pembunuhan ! Biarlah kau terbebas dari siksa dan derita dunia!"

Nenek ini lalu berpaling kepada Lai Siong Te yang telah menjatuhkan diri berlutut di depannya. "Lai piauwsu kau urus baik-baik jenazah Ang Koan ini. Aku telah mendengar dan menyaksikan kegagahan serta kesetiaanmu. Berikan kepadaku patung itu !"

Lai piauwsu tidak ragu-ragu lagi dan segera mengeluarkan patung kecil yang indah dan berat itu. Terbelalak matanya ketika nenek itu memutar kaki patung, karena segera terbukalah sebuah lubang rahasia di bawah patung dan keluarlah emas besar yang gemilang cahayanya. "Ah, benda macam ini yang membuat manusia-manusia beriman lemah menjadi mata gelap !”

Lai Siong Te benar - benar tidak mengira bahwa patung itu sebenarnya menyembunyikan emas yang demikian banyaknya. Pantas saja amat berat, pikirnya dan pantas saja Sin. kiam Koai jin menghendakinya.

"Lai-piauwsu bukalah kedoknya dan ambil pedangnya itu !” nenek itu memerintah.

Ketika Lai Siong Te membuka kedok sutera yang menutup muka Ang Koan, kembali ia terkejut sekali, wajah penjahat yang tampan itu ternyata telah cacad mengerikan, yaitu hidungnya telah copot dan bolong! Ia bergidik, mengambil pedang dan kembali menghampiri Pat jiu Toanio yang dipandangnya dengan mata mengandung penuh pertanyaan.

"Dulu dia adalah anak yang baik" kata nenek itu yang maklum akan tuntutan pandang mata Lai piauwsu. 'la adalah murid tunggal dari Lui - kong jim (Tangan Dewa Geledek) Keng Kin Tosu di Heng-san. Akan tetapi setelah tamat pelajarannya, ia minggat turun gunung, melakukan segala macam kejahatan yang hebat. Keng Kin Tosu telah tiga kali memberi peringatan dan yang terakhir malah ia memotong hidung murid itu akan tetapi ternyata dia lebih suka mati dari pada menjadi orang baik-baik! Sayang sekali!" Ia memandang

pedang yang berkilauan di tangannya.

"Pedang baik! Hui - liong - kiam yang ampuh" katanya pula. "Sayang terjatuh dalam tangan seorang berhati rendah. Lai piauwsu, terimalah pedang ini sebagai tanda terima kasihku kepadamu. Kau seorang gagah dan jujur lagi setia, maka kau berhak menerima pedang ini.”

"Akan tetapi, teecu tidak memiliki kepandaian tinggi, apa artinya pedang pusaka sebaik ini berada dalam tangan teecu?" Lai-piauwsu membantah dan merendahkan diri.

"Lai piauwsu, sampai di manakah tinggi rendahnya kepandaian? Sedikit kepandaian ditambah kejujuran dan kebersihan hati jauh lebih tinggi nilainya dari pada banyak kepandaian yang terbenam dalam lumpur kesombongan dan kejahatan. Terimalah Hui liong-kiam ini dan apabila kelak kau anggap tidak perlu lagi kau memegangnya, boleh kau sampaikan atau berikan kepada seorang gagah yang kau pandang patut memegangnya." Setelah berkata demikian, tubuh nenek tua itu berkelebat dan lenyap dari pandangan mata Lai Siong Te. Piauwsu ini menghela napas dengan kagum, lalu mengubur jenazah Ang Koan, kemudian membawa pedang itu kembali ke rumahnya.

"Demikianlah, Sim taihiap, aku selalu merasa tidak puas bahwa pedang yang demikian baiknya berada di dalam tanganku yang kurang pandai menggunakannya. Apalagi semenjak kecil aku lebih biasa memainkan golok dari pada pedang. Hari ini secara kebetulan aku dapat bertemu dengan kau yang muda, gagah dan bijaksana. Oleh karena itu, pedang ini kuserahkan kepadamu dengan ikhlas dan tentu takkan mendapat teguran dari Pat - jiu Toanio Li Bi Hong karena tindakanku ini sudah cukup tepat.

Akhirnya Tiong Han tak dapat menolak pemberian pedang Hui liong kiam itu, apalagi setelah ia mendengar penuturan tentang asal-usul pedang itu. Dari suhunya ia pernah mendengar nama-nama seperti Pat . jiu Toanio Li Bi Hong juga Lui kong jiu Keng Kin Tosu di Heng - san adalah sahabat baik suhunya, ia menghaturkan terima kasihnya dan sampai dua hari ia tinggal di rumah Lai piauwsu.

Kemudian ia lalu melanjutkan perjalanannya mencari adiknya untuk minta kembali pedang pusaka Ang coa-kiam. Hatinya menjadi lega setelah memiliki pedang Hui liong-kiam oleh karena ia maklum bahwa tanpa pedang pusaka di tangannya, sukarlah baginya untuk mengimbangi kelihaian Ang-coa-kiam pedang ular merah itu!

Sekarang marilah kita menengok keadaan Tiong Kiat, adik kembar dari Tiong Han, pemuda berilmu tinggi yang telah tersesat ke jalan kejahatan itu.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan terjadi perpecahan dalam hubungan antara Tiong Kiat dan Kui Hwa, karena gadis ini merasa cemburu. Di dalam pertempuran, Tiong Kiat telah berhasil melukainya dan kemudian pemuda ini melarikan diri dari Kui Hwa.

la berlari dengan cepat. Untuk beberapa lama hatinya merasa kecewa dan juga berduka harus berpisah dari Kui Hwa. Semenjak turun gunung, ia melakukan perjalanan berdua dengan sumoinya atau kecintaannya itu dan selalu bergembira. Akan tetapi kini ia harus melakukan perantauan seorang diri.

Namun, beberapa hari kemudian, timbul lagi kegembiraannya, bahkan ia kini merasa seperti seekor burung yang terbang bebas terlepas dari ikatan. Kalau dulu dengan adanya Kui Hwa disampingnya, ia selalu masih harus membatasi diri, takut-takut dan mengalah terhadap kekasihnya yang amat cemburu. Akan tetapi sekarang tanpa ada seorangpun yang akan melarangnya, nafsu jahat yang menguasai diri pemuda sesat ini makin meluap dan membuat lupa daratan. Ia boleh melakukan apa saja tanpa ada orang yang akan menghalanginya !

Tak lama kemudian, di dunia kaum hek-to (jalan gelap atau penjahat) muncullah seorang penjahat muda yang amat menggemparkan dengan perbuatan - perbuatannya yang rendah dan ganas. Penjahat muda ini selalu memperkenalkan perbuatannya dengan lukisan sebuah pedang, bukan lain pedang Ang coa kiam, karena penjahat ini memang Sim Tiong Kiat adanya. Kalangan kang ouw menjadi gempar pula setelah beberapa orang gaga yang hendak menangkapnya tidak saja gagal, bahkan menderita luka oleh pedang Ang coa-kiam.

Perbuatan apakah yang dilakukan oleh Tiong Kiat ? Bukan lain adalah pengumbaran nafsu jahatnya, menjadi penjahat jai-hwa-cat (pemetik bunga) pengganggu anak bini orang dan apabila ia sedang membutuhkan uang, ia selalu mengambilnya dari peti uang hartawan hartawan. Tiap kali ia mengganggu rumah orang, selalu ia membuat gambar di atas tembok. Gambar ini dibuatnya dengan mengguratkan pedangnya dalam tembok, melukis sebatang pedang lalu menambahkan tiga buah huruf "Ang Coa Kiam" di bawah pedang itu ! Di dalam kesombongan dan kesesatannya Tiong Kiat telah menggila dan tidak ragu-ragu ataupun takut-takut lagi untuk mempergunakan nama pedang pusaka yang namanya menjadi benda keramat dari Kim.liong-pai itu!

Biarpun Tiong Kiat telah bertemu dengan banyak wanita cantik namun diam-diam di sudut hatinya ia tidak dapat melupakan gadis yang dulu dijumpainya terluka di dalam hutan. Gadis yang telah ditolongnya akan tetapi yang kemudian menjadi korban nafsu jahatnya pula. la tidak dapat melupakan EngEng gadis yang belum diketahui siapa namanya dan dari mana datangnya itu. Entah bagaimana, ia selalu terbayang dan terkenang kepada gadis itu dengan hati berkasihan dan juga rindu. Baginya, tidak ada seorangpun di antara para wanita itu yang memiliki daya penarik lebih tebal dari pada gadis di hutan rimba itu. Di dalam perantauannya, ia mengharap-harapkan untuk bertemu dengan gadis itu. Kalau ia bisa menjadi istriku dan selama hidup berada di sampingku, aku takkan perdulikan lagi lain perempuan, pikir Tiong Kiat dalam rindunya. Tanpa disadarinya pemuda ini telah jatuh hati dan mencintai Eng Eng, gadis yang telah dipatahkan hatinya, yang telah dihancurkan hidupnya, gadis yang kini sedang merantau, mencari-cari untuk membalas dendam. Ia tidak tahu betapa setiap kali duduk melamun, Eng Eng menggigit-gigit bibirnya dan bersumpah di dalam hatinya untuk menghancurkan kepala laki laki yang telah merusak hidupnya itu! Kalau saja Tiong Kiat tahu siapa Eng Eng dan apa yang kini terkandung dalam hati gadis ini, mungkin ia akan merasa takut dan ngeri!

Pada suatu hari, Tiong Kiat tiba di kota I-kiang yang terletak di pantai sungai Yang-ce di propinsi Hopak. Ketika ia memasuki kota tak seorangpun akan mengira bahwa dia adalah Ang Coa Kiam, nama julukan penjahat muda yang amat ditakuti orang itu. Tiada orang akan mengira bahwa pemuda yang tampan dan lemah lembut seperti putera bangsawan ini adalah penjahat yang suka mengganggu anak bini orang dan suka melakukan pencurian besar-

besaran? Pakaiannya berwarna biru dan terbuat dari sutera mahal dan halus. Bajunya dihias dengan pinggiran berwarna kuning emas dengan sulaman yang indah sedangkan rambut di kepalanya yang hitam terbungkus dengan kain kepala yang berwarna kuning dan bersih sekali. Pedang Ang-coa kiam tersembunyi di bawah bajunya, hanya tampak ujungnya sedikit menonjol di bawah baju. la cakap sekali dalam pakaian yang mahal ini.

Dengan muka gembira dan mata berseri-seri, Tiong Kiat berjalan di sepanjang jalan raya dalam kota I-kiang. Ia sedang gembira, kantongnya penuh uang. Ia tidak butuh uang dan tidak perlu mencuri di kota ini. Ia ingin beristirahat dan menghibur diri, maka begitu masuk ke kota, ia lalu menyewa kamar dalam hotel terbesar di kota itu, kemudian bertanya kepada pelayan hotel dimana terdapat tempat pelesiran di kota itu.

Pelayan itu memandangnya sambil tertawa gembira. "Kongcu agaknya baru datang dan belum pernah datang ke kota ini? Kebetulan sekali kalau begitu, karena kedatangan kongcu di Kota ini tidak rugi ! Di sini terdapat tempat pelesiran yang amat indah, kongcu. Dan keindahan tempat itu sudah terkenal sampai ke kota raja !"

*Eh, kau bicara dalam rahasia, lopek,” kata Tiong Kiat kepada pelayan setengah tua itu. "Katakan sajalah, di mana adanya tempat itu dan apakah keindahannya?"

"Di sebelah barat dalam kota ini, kongcu. Di bagian sungai yang membelok. Di situ dijadikan tempat pelesiran yang indah sekali dan banyak orang dari luar kota datang sengaja untuk bermain perahu sambil menikmati arak I-Kiang dan mendengarkan nyanyian bidadari bidadari I-Kiang."

"Apa katamu ? Bidadari - bidadari I-Kiang, siapakah mereka itu?"

Kembali senyum gembira bermain di bibir pelayan itu.

"Aah, benar-benar kongcu telah menyia-nyiakan hidup dan masa mudamu ! Siapa orangnya yang belum pernah mendengar bidadari-bidadari I-Kiang? Kalau belum pernah mendengar suara nyanyian mereka, sedikitnya tentu telah mendengar akan nama mereka."

Pelayan itu lalu menuturkan dengan gerakan kaki tangan, ia merasa girang sekali dapat menuturkan semua itu kepada seorang tamu muda yang nampaknya tampan dan kaya raya karena ia mengharapkan hadiah besar. Menurut penuturan pelayan ini, ternyata bahwa di kota itu memang terdapat tempat pelesiran sebagaimana yang disebutkan tadi.

Air sungai Yang-ce masuk ke dalam kota itu dengan aliran perlahan karena banyak tikungan. Dan karena sungai itu amat lebarnya, di sepanjang pantainya dibangunlah oleh orang-orang kaya tempat-tempat peristirahatan yang indah. Banyak orang berpelesir, di atas air naik perahu - perahu yang banyak disewakan orang di tempat itu. Air yang tenang membuat tempat itu merupakan tempat sunyi untuk bersenang diri memancing ikan.

Disamping keindahan pemandangan alam di sekitar tempat ini, yang merupakan daya penarik terbesar agaknya adalah rumah kapal milik Cia-ma, seorang janda tua yang kaya. Rumah ini didirikan di atas air, yakni di pinggir sungai itu dan bentuknya seperti kapal besar. Kalau orang berada di tingkat atas dan memandang ke arah air sungai Yang-ce yang mengalir perlahan, orang akan merasa seakan-akan sedang berada di atas perahu besar.

Keindahan rumah inipun sesungguhnya tidak akan mendatangkan banyak pelancong dari luar kota, akan tetapi terutama sekali adalah "bidadari-bidadari" yang menjadi anak angkat Cia ma ! Sebetulnya semenjak ditinggal mati oleh suaminya dengan peninggalan beberapa ratus tail perak, janda tua ini tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak mempunyai anak dan akhirnya ia lalu bekerja sebagai penghibur para pelancong. Dibelinya budak-budak belian, yakni wanita wanita muda yang cantik, diajarnya gadis gadis itu menari dan bernyanyi atau mainkan alat musik, kemudian ia dapat menarik hati dan isi saku para pelancong yang datang di tempat itu.

Sebentar saja Cia ma telah dapat mengumpulkan banyak uang, akhirnya ia dapat mem-bangun sebuah rumah kapal di tepi sungai Yang ce. Telah banyak gadis gadis cantik datang dan pergi dari rumahnya. Datang sebagai budak belian dan kalau kebetulan gadis itu bernasib baik, maka akan datang seorang hartawan yang suka kepadanya dan menebusnya dengan bayaran tinggi untuk dijadikan bini muda.

Pada waktu itu, di antara anak-anak angkat Cia ma, yang paling terkenal adalah tiga orang gadis yang dibelinya dari selatan. Gadis ini amat cantik, pandai menulis dan bersisir, pandai menari, bernyanyi dan menabuh musik. Oleh karena itu, tidak mudahlah bagi seorang laki laki untuk dapat menghibur hati mendekati tiga bunga peliharaan Cia ma ini. Cia ma tidak sembarangan mengeluarkan tiga bunga peliharaannya ini kalau tidak dengan bayaran yang amat tinggi. Dipasangnya tarip-tarip tertentu untuk tiga orang gadis ini, terutama sekali gadis pertama yang bernama Li Lan. Untuk dapat melihat waiah cantik Li Lan dan melihatnya menari di depan mata? Keluarkan uang lima belas tail perak ! Mau mengajak Li Lan duduk di satu meja dan menemani minum arak? Keluarkan dua puluh lima tail ! Menyuruh gadis ini membunyikan kim sambil bernyanyi di samping anda ? Keluarkan lima puluh tail ! Dan demikian seterusnya. Oleh karena itu, siapakah yang kuat membayar uang sebanyak itu untuk bersenang-senang dengan Li Lan ? Hanya orangorang yang betul - betul kaya. Dan si kaya inipun belum tentu berani, karena Li Lan telah disanjung-sanjung dan menjadi pujaan banyak pejabat dan bangsawan, Seringkali terjadi perebutan perhatian dari Li Lan oleh dua orang hartawan sehingga timbul permusuhan yang mendalam antara mereka. Dan orang-orang tolol ini tidak tahu bahwa di belakang mereka, Li Lan yang diperebutkan itu mentertawakan mereka.

"Akan tetapi, kongcu, tidak sembarang orang berani mengunjungi rumah kapal itu kecuali mereka yang mempunyai banyak emas dan perak." Pelayan hotel itu melanjutkan penuturannya.

Selama ia bercerita, Tiong Kiat mendengarkan dengan hati tertarik.

"Mengapa begitu, lopek ?" tanyanya. "Bukankah tempat itu menjadi tempat hiburan umum."

'Di sana Cia - ma merupakan orang yang amat berpengaruh. Selain dia mempunyai sahabat sahabat di antara pembesar, juga dia mempergunakan tenaga tiga orang jagoan yang bertugas menjaga keamanan. Banyak sudah laki-Iaki yang berani menggoda bidadaribidadari itu padahal kantongnya kosong, telah dihajar oleh jagoan-jagoan di rumah kapal dan dilemparkan keluar dari pintu !*

Makin tertarik hati pemuda itu mendengar cerita ini. Sebuah rumah pelesiran yang aneh pikirnya. Pada sore harinya ia lalu keluar dari hotel dan menuju ke tempat pelesiran di pinggir pantai sungai Yang ce itu.

Benar saja di situ ramai sekali, penuh dengan orang-orang yang hilir mudik, berpelesir dengan perahu dan ada pula yang hanya duduk di pinggir pantai. Memang hari itu begitu ramainya, karena malam nanti bulan akan keluar sepenuhnya. Betul-betul tempat wisata. Segala macam terdapat di situ dijual orang. Menara-menara yang mungil bangunan-bangunan yang indah, bahkan terdapat pula sebuah kelenteng kecil di ujung kiri! Dan yang paling menonjol serta menarik perhatian, adalah sebuah rumah berbentuk kapal. Itulah rumah kapal dari Cia ma yang diceritakan oleh pelayan tadi !

Tiong Kiat berjalan mendekati rumah kapal itu. Benar saja di depan pintu nampak sebuah meja besar di mana duduk berkeliling tujuh orang laki-laki kelihatan galak dan kuat. la tidak tahu yang manakah tiga orang jagoan yang menjadi kepala penjaga. Ketika ia sedang berjalan di dekat rumah kapal itu, terdengar suara tertawa merdu. la cepat menengok ke atas dan di tingkat atas nampak duduk beberapa orang gadis cantik dengan pakaian mewah sedang tertawa-tawa dan bercakap cakap. Untuk sesaat Tiong Kiat memandang ke arah mereka, akan tetapi hatinya kecewa ! Penuturan pelayan tadi terlampau dilebih-lebihkan. Lima orang gadis yang duduk di atas itu biarpun tak dapat disangkal berwajah cantik, namun tidak cukup menarik bagi Tiong Kiat. Muka mereka ditutupi bedak tebal dan pemerah bibir dan pipi bagaikan anak-anak wayang yang hendak tampiI ke depan panggung! Lenyaplah seketika keinginan hatinya tadi yang hendak mengunjungi rumah kapal itu. Ia menjadi sebal dan dibelokkan kakinya menuju ke tempat perahu - perahu yang disewakan. (Selanjutnya tidak bisa terbaca)

Ia lalu menyewa sebuah perahu dan mendayung perahunya dengan gembira, akan tetapi kegembiraannya tidak berlangsung lama. Biarpun tempat itu makin ramai dikunjungi orang, namun Tiong Kiat menjadi bosan. Diantara sekian banyak wanita yang berada disitu tak seorangpun yang terlihat cantik dalam pandangan matanya dan membuat ia tidak tertarik sama sekali. Sial baginya, ternyata dalam kota ini tidak ada tempat yang indah. Dengan kecewa ia lalu mendayung perahunya ke pinggir dengan kesalnya hendak kembali ke hotel dan tidur agar besok dapat melanjutkan perjalanannya pagi-pagi.

Akan tetapi tiba - tiba gerakan tangannya yang mendayung perahu menjadi tertahan. Ia mendengar bunyi musik mengiringi suara nyanyian yang luar biasa merdunya. Ada tiga suara wanita yang bernyanyi bersama, akan tetapi biarpun tiga suara itu sama merdunya, tetap saja ada satu suara yang menggerakkan hati, lekukan suara dan gayanya berbeda dengan yang lain. Tak terasa lagi Tiong Kiat mendekatkan perahunya ke arah rumah kapal, karena dari situlah keluarnya suara nyanyian itu.

Sambil duduk di atas perahunya yang sudah menempel pada tepi sungai, Tiong Kiat duduk termenung mendengarkan nyanyian itu. Alangkah merdunya, alangkah halusnya napas yang

terdengar menyelingi suara nyanyian. Tentu cantik sekali orang yang mempunyai suara merdu ini, pikirnya. Namun tetap saja ia masih merasa ragu-ragu untuk masuk ke rumah itu, takut kalau-kalau ia akan kecewa. Bagaimana kalau wajah penyanyi itu buruk dan tidak menarik seperti gadis-gadis yang tadi dilihatnya ? Siapa tahu kalau-kalau yang bernyanyi ini seorang diantara mereka itu?

Suara nyanyian berhenti, akan tetapi musiknya masih terus berbunyi. Tiba-tiba Tiong Kiai melihat betapa semua mata memandang ke atas rumah kapal dan terdengar pujian penuh kekaguman, ia pun menengok dan apa yang dilihatnya membuat hatinya berdebar-debar tidak karuan. Ia melihat tiga orang gadis menjenguk dari jendela kamar rumah kapal dan melambai-lambaikan tangan kepada orang orang di bawah yang mengagumi mereka. Mereka ini nampaknya seperti puteri puteri kerajaan yang melambai kepada rakyat yang menghormat mereka, padahal mereka ini bukan lain adalah bunga-bunga hidup dari Cia ma yang mendapat sebutan tiga bidadari dari I-Kiang! Biarpun tiga orang gadis ini benar-benar cantik jelita dan tidak penuh bedak mukanya seperti lima orang gadis lain yang dilihatnya tadi, namun Tiong Kiat tak akan menjadi terpesona kalau saja ia tidak melihat seorang di antara mereka yakni yang berdiri di tengah. Tak salah lagi, pikir Tiong Kiat, itulah gadis yang dulu dijumpainya di dalam rimba raya! Itulah gadis yang pernah ditolongnya, pernah diganggunya dan juga selama ini tak pernah Ienyap dari bayangan ingatannya!

Memang sesungguhnya gadis itu yang bukan lain adalah Li Lan, memiliki wajah yang banyak persamaannya dengan wajah Suma Eng atau Eng Eng! Hanya bedanya adalah sinar mata dan tarikan bibir mereka. Kalau sinar mata Eng Eng mengandung kegagahan dan membayangkan kekerasan hati, adalah sinar mata Li Lan mengerling-ngerling dengan genit dan memikat hati. Kalau bibir Eng Eng selalu nampak membayangkan keangkuhan hatinya, hanya indah kalau sedang tersenyum atau tertawa saja, adalah bibir Li Lan tak pernah ditinggalkan senyum menantang!

Bukan main girangnya hati Tiong Kiat ketika ia melihat gadis ini. Dengan cepat ia lalu meninggalkan perahunya, membayar tukang perahu dengan royal sekali, kemudian setelah membetulkan letak pakaiannya yang mewah dengan tindakan kaki lebar ia menghampiri rumah kapal itu.

Penjaga-penjaga pintu yang tadi duduk di situ kini telah ramai bermain maciok dan permainan ini diselingi oleh suara tertawa mereka yang riuh gembira. Dengan tindakan tenang tiong Kiat naik anak tangga dan memperhatikan mereka, hendak terus memasuki pintu. Akan tetapi tiba-tiba seorang diantara mereka melompat dan berdiri di depan pintu menghadangnya.

"Perlahan dulu, kongcu," kata-katanya cukup sopan karena penjaga ini dapat melihat pakaian orang yang mewah. "Agaknya kongcu orang baru dan sudah menjadi peraturan kami bahwa setiap pendatang baru harus memberitahukan nama, kedudukan dan memperlihatkan isi sakunya!"

Tiong Kiat maklum bahwa untuk menundukkan manusia-manusia kasar ini tidak cukup dengan memperlihatkan uang belaka. Tanpa memperlihatkan kepandaiannya, mereka tentu akan berusaha memerasnya dan akan berani pula menghinanya. la tidak ingin kegembiraannya terganggu oleh pertentangan. Sambil tersenyum ia lalu merogoh sakunya, mengeluarkan tujuh potong uang perak yang kecil akan tetapi cukup berharga dan berkata,

“Jangan khawatir, aku bukan seorang pelit, Lihat !” Sambil berkata demikian tangan yang menggenggam tujuh potong uang itu bergerak ke arah meja. Bagaikan tujuh butir peluru perak potongan-potongan uang itu meluncur cepat dan menancap di atas meja yang keras !

Tentu saja tujuh orang penjaga itu menjadi tertegun dan untuk beberapa lama mereka menatap wajah pemuda yang tampan, kaya dan gagah ini. Akan tetapi kepala penjaga yang berkumis jarang masih belum puas. Dia adalah seorang jagoan yang ditakuti orang, biarpun tamu yang memiliki kedudukan tinggi selalu akan bersikap menghormat kepadanya dan bicara dengan manis budi. Kini melihat si pemuda asing ini datang-datang memperlihatkan kepandaian dan tenaganya, tentu saja hal ini tidak menyenangkan hatinya, sungguhpun ia tidak dapat menjadi marah karena pemuda ini telah memperlihatkan keroyalannya. Orang ini she Ma dan disebut Ma kauwsu (guru silat she Ma) karena memang dia dulunya bekerja sebagai seorang guru silat, di samping dua orang sutenya yang disebut Cin - kauwsu dan Kwee kauwsu. Tiga orang guru silat inilah yang menjadi tiga jagoan, kepala dari penjaga rumah kapal.

Ma kauwsu tersenyum dan menghampiri meja. la menggerakkan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga dan sekali ia menarik uang yang menancap di atas meja itu, tujuh potong perak itu telah berada dalam genggaman tangan kanannya. Ia lalu menghampiri Tiong Kiat dan berkata. “Kongcu, pertunjukanmu bagus sekali, tetapi dihadapanku pertunjukan itu tak berarti apa-apa dan tidak cukup untuk dijadikan modal menakut nakuti kami! Kami dapat menerima hadiahmu yang royal, akan tetapi tidak bisa menerima sikap jagoan dari siapapun juga. Lihat, apakah artinya potongan-potongan perak yang empuk ini?" Sambil berkata demikian, ia mengerahkan tenaga dan meremas tujuh potong perak di tangannya itu dan ketika ia membuka kembali tangannya, ternyata bahwa tujuh potong perak itu telah menjadi satu merupakan segumpal perak yang tidak karuan bentuknya! Tiong Kiat tersenyum mengejek, panas juga hatinya. Akan tetapi tetap saja ia tidak mau membikin ribut karena ia ingin sekali bertemu dan bergembira dengan gadis yang disangka Eng Eng itu.

“Bagus sekali, sobat," katanya "Tenagamu kuat seperti tenaga kerbau. Akan tetapi yang kau remas adalah benda mati, kukira kalau dipergunakan untuk meremas benda hidup tidak ada gunanya sama sekali !"

“Begitu pendapatmu ? Benda hidup apa kiranya?" tanya Ma kauwsu dengan hati geli karena mengira bahwa pemuda yang hanya mengerti sedikit ilmu silat ini benar benar buta tidak dapat melihat betapa ia memiliki tenaga Thlat se- ciang ( Bubuk Pasir Besi ) !

"Benda hidup seperti...... tanganku ini misalnya I" jawab Tiong Kiat sambil mengulurkan tangan kanannya yang berkulit halus dan putih seperti tangan wanita.

Terdengar suara ketawa riuh rendah karena tujuh orang penjaga itu semua tidak tahan untuk tidak tertawa geli.

"Kongcu jangan kau main-main!* kata seorang penjaga. “Tangan Ma twako itu dapat memukul

pecah kepala harimau dengan sekali pukul seperti yang dilakukan oleh Bu Siong (pendekar ternama dahulu kala) dapat meremas besi sampai hancur dan tadipun dengan sekali remas saja tujuh potong uang perak sampai menjadi segumpal apa lagi tanganmu yang halus ? Ah, hati-hati kongcu, kalau tanganmu rusak bukankah para bidadari di atas akan menjadi kecewa dan marah kepada kami !”

"Betul kata kawanku itu, kongcu. Aku tidak ingin menyombong, akan tetapi janganlah menantangku untuk meremas tanganmu yang halus ini !" kata Ma-kauwsu, karena sesungguhnya iapun tidak suka mencelakakan langganan baru yang royal dan nampaknya kaya ini.

Akan tetapi sudah tetap dalam hati Tiong Kiat bahwa orang ini harus ditundukkannya. Maka sambil tersenyum la lalu mengeluarkan lima potong uang perak lagi dari sakunya.

"Ma-twako,” katanya kepada Ma kauwsu sambil memandang wajah guru silat tersebut, “Mari kita bertaruh sedikit. Biarkan kau remas sekuatnya, kalau sampai aku kesakitan, kau boleh ambil uang perak ini. Namun bila tidak, janganlah kalian membantah apa yang kuperintahkan!”

Ma kauwsu memandang kepada kawan-kawannya dan mereka menganggap bahwa pemuda yang tampan ini tentu agak miring otaknya, akan tetapi ia tetap tidak ambil pedului dan berpikir untuk memberi pelajaran kepada kongcu ini. Lumayan, lima potong perak bukan sedikit pikirnya. Dipegang sedikit saja pemuda ini tentu akan berkaok-kaok kesakitan.

“Baiklah, akan tetapi kalau sampai kesakitan jangan menyalahkan kepadaku.”

“Tentu saja tidak " jawab Tiong Kiat sambil mengulurkan tangannya. "Nah, kauremaslah yang keras!'

Ma kauwsu lalu menjabat tangan pemuda ini dan mulai memencet dengan sedikit tenaga.

“Jangan ragu-ragu, Ma-twako, yang keraslah!" kata Tiong Kiat ketika merasa betapa pencetan itu tidak bertenaga sama sekali.

Ma kauwsu menjadi penasaran dan kini ia mulai mengerahkan tenaga Thiat se-ciang, akan tetapi tetap saja pemuda itu tidak kelihatan menderita sakit, bahkan kembali menyuruh ia mempergunakan tenaganya ! la lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan memeras sekuatnya dan tiba-tiba ia terkejut sekali. Tangan yang halus itu tiba-tiba menjadi licin dan lemas sekali seperti kapas ! Terkejutlah hatinya karena ia maklum bahwa pemuda ini ternyata adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki Iweekang yang tinggi. Ini tentulah ilmu jui-kut kang (ilmu melepaskan tulang dan melemaskan tubuh) yang lihai. Cepat ia mengendorkan remasannya karena takut kalau-kalau tenaga Thiat se ciang akan terbentur kembali dan melukai tangannya sendiri. Akan tetapi terlambat ! Tiba-tiba Tiong Kiat mengeluarkan serangan dengan tenaga Iweekeng dan sekarang dialah yang

meremas tangan guru silat yang kasar dan besar itu.

Terdengar Ma kauwsu menjerit kesakitan seperti kerbau disembelih. Tangan kanannya terasa panas, sakit dan kaku. Ketika Tiong Kiat melepaskan tangannya, tangan Ma kauwsu menjadi merah dan bengkak !

“Masih belum mengenal orang?" Tiong Kiat membentak dan kini ia berdiri bertolak pinggang dengan sikap yang gagah sekali.

Ma kauwsu dan keenam orang kawan-kawannya berdiri terbelalak saking heran dan terkejutnya. Terutama sekali Ma kauwsu, Cin-kauwsu dan Kwee kauwsu menjadi terheranheran. Melihat betapa mereka masih terheran-heran dan agaknya menduga-duga siapa dia, timbul kesombongan Tiong Kiat. Dicabutnya pedangnya dan berkatalah dia,

"Masih belum juga mengenal pedang ini? Ataukah harus kalian rasakan dulu ketajamannya?"

Melihat sinar merah dan bentuk pedang itu pucatlah muka ketiga orang kepala penjaga ini "Ang coa kiam......." bisik Ma kauwsu dan serta merta dia dan kedua orang adiknya menjatuhkan diri berlutut di depan Tiong Kiat ! Empat orang anak buah mereka juga menjadi terkejut dan cepat berlutut.

"Maafkan kami yang tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata taihiap, ampunkaan kekurangajaran kami kepada taihiap karena kami tidak mengenal taihiap."

"Sudah, tak perlu banyak peradatan ini." kata Tiong Kiat sambil menyarungkan pedangnya kembali. "Ma - twako, kau boleh ambil uang itu untuk membeli obat tanganmu dan ingat kalau aku berada di sini. jaga jangan memperbolehkan orang lain masuk. Mengerti ?"

"Baik, taihiap, baik!" jawab tujuh orang penjaga yang sudah ditundukkan itu.

Pada saat itu pintu terbuka dari dalam dan seorang wanita tua yang pakaiannya masih mewah sekali keluar. Nenek ini memandang kepada Tiong Kiat dengan penuh perhatian dan keningnya berkerut ketika ia melihat betapa para penjaganya berdiri di hadapan Tiong Kiat dengan kepala tunduk dan sikap menghormat sekali.

"Siapakah kongcu yang tampan ini?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Cia - ma sendiri.

"Kongcu ini adalah Ang........"

Akan tetapi kata-kata Ma kauwsu ini diputuskan oleh jawaban Tiong Kiat yang cepat mengerling tajam kepadanya. Pemuda ini menjura kepada Cia ma dan berkata.

"Aku adalah seorang pelancong bernama Tiong Kiat, she Sim. Tadi ketika aku berperahu, aku mendengar suara nyaring yang amat merdu dan kemudian melihat tiga orang bidadari ada diatas. Hatiku tergoncang dan ingin sekali aku belajar kenal dengan mereka, atau lebih tepat lagi, dengan yang berbaju hijau.”

Wanita itu tersenyum. "Ahh, kongcu maksudkan Li Lan? Masuklah, Sim kongcu. Kebetulan sekali belum ada tamu dan tentu Li Lan anakku akan suka berkenalan dengan kongcu yang tampan !"

Mereda berdua masuk ke dalam dan pintu ditutup lagi.

"Kongcu ingin bertemu dengan Li Lan, bunga cantik di daerah Ini ? Ah, kongcu beruntung sekali mendapat kesempatan ini, karena biarpun kongcu akan menjelajah di seluruh Propinsi Hopak, takkan mungkin kongcu bertemu dengan gadis secantik Li Lan! Akan tetapi, apakah yang kongcu kehendaki ? Melihat dia menari ? Mendengarkan dia bernyanyi? Ataukah kongcu ingin minum arak bersama dia sambil mendengarkan dia mainkan kim ? Yang pertama dapat dilaksanakan dengan pembayaran lima belas tail, yang kedua dua puluh lima tail dan yang ketiga lima puluh tail. Yang mana kongcu kehendaki ?"

Sambi tersenyum Tiong Kiat merogoh saku bajunya sebelah dalam. Ia mengeluarkan uang dan menaruh uang itu di atas meja, di depan Cia ma. Nenek itu membelalakkan matanya dan tiada habisnya ia menatap tumpukan uang di atas meja itu. Bukan lima belas tali perak, atau lima puluh tail perak, akan tetapi lima potong uang emas yang harganya lebih dari tiga ratus tail perak yang bertumpuk di atas meja, berkilauan cahayanya membuat silau pandangan mata nenek yang mata duitan ini.

"Ambillah uang itu, Cia ma. Akan tetapi dengar keinginanku. Aku ingin semua bidadari yang berada di dalam rumah kapal ini menghiburku dengan tari-tarian dan nyanyian ! Dan Li Lan menemaniku minum arak dan berada di sini. Hanya aku seorang yang mendapat hiburan, tidak boleh ada orang lain. Mengerti ?*

Nenek ini mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam yang makan padi. "Baik. baik, kongcu. Malam ini hanya kongcu seorang yang akan mendapat hiburan di sini. Tiada orang lain!" Nenek itu lalu berlari-lari ke dalam setelah menyaur uang itu dari meja. Terdengar ia berteriak - teriak memanggil semua anaknya dan sebentar saja ruangan itu penuh dengan gadis - gadis yang jumlahnya semua ada empat belas orang! Akan tetapi Tiong Kiat tidak memperdulikan mereka semua, karena pandangan matanya hanya tertuju kepada seorang, yakni gadis berbaju hijau, Li Lan yang mirip sekali dengan Eng Eng!

Li Lan telah diberi tahu oleh Cia-ma betapa royal dan kayanya pemuda itu dan ketika ia

menyaksikan dengan mata bintangnya betapa tampan dan gagah pemuda yang hendak berkenalan dengannya, senyumnya melebar dan sinar matanya gembira.

"Selamat datang, kongcu. Sungguh merupakan kehormatan dan kebanggaan besar bagiku telah mendapat perhatian kongcu yang budiman." Suara ini terdengar merdu bagaikan musik yangkim dan pada saat Tiong Kiat baru sadar bahwa gadis ini bukan gadis yang dulu ditolongnya di dalam rimba. Akan tetapi ia menjadi girang juga, karena Li Lan memiliki wajah serupa dengan gadis yang ditolongnya itu, bahkan tidak kalah cantiknya dan malah jauh lebih manis dan menarik.

Tanpa malu-malu lagi karena memang sudah biasa, Tiong Kiat melangkah maju dan memegang tangan Li Lan yang halus. Tercium olehnya bau harum semerbak dari rambut gadis itu yang membuat hatinya menjadi makin mabok.

Cia - ma sibuk memberi perintah agar hidangan yang lezat dikeluarkan, arak yang paling baik berikut daging yang paling empuk. Kemudian para gadis itu lalu mengambil alat musik dan sebentar saja ruangan itu berobah menjadi tempat pesta yang meriah. Ada yang menari, bernyanyi dan Tiong Kiat makan-minum ditemani oleh Li Lan yang makin lama makin menarik hatinya.

Demikianlah, pemuda yang tersesat ini dilayani seperti seorang raja muda di tempat itu. Belum pernah ada tamu yang demikian dihormati seperti Tiong Kiat dan hal ini tidak aneh, Cia-ma puas hatinya karena mendapatkan uang sekian banyaknya, adapun gadis gadis itu gembira sekali dapat melayani seorang pemuda yang tampan dan gagah, berbeda dengan para pembesar, tua - tua bangka yang sesungguhnya menyebalkan hati mereka ! Para penjaga, Ma kauwsu dan kawannya, patuh sekali terhadap perintah Tiong Kiat. Mereka tidak memperkenankan siapa saja memasuki rumah kapal itu, biarpun yang hendak masuk itu hartawan atau pembesar yang sudah menjadi langganan tetap.

"Menyesal sekali," kata Ma kauwsu terhadap mereka. "malam hari ini tidak menerima tamu, karena tempat ini telah diborong oleh seorang pelancong."

Biarpun hati mereka kecewa namun mereka tidak berani membantah dan pulanglah mereka dengan hati mengkal. Siapakah orangnya yang begitu kurang ajar berani memborong tempat itu ?

Akhirnya bukan mereka saja yang mendongkol dan gelisah. Juga Cia ma menjadi sibuk sekali pikirannya ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu lama sekali tidak mau keluar lagi dari rumah kapal ! Sudah tiga malam Tiong Kiat berada di tempat itu, dan pemuda ini masih saja belum mempunyai keinginan meninggalkan Li Lan ! Akan tetapi bagaimana Cia-ma berani mengusirnya ? Pemuda itu royal sekali, tiap hari mengeluarkan uang emas dan lebih-lebih lagi gelisahnya hati Cia - ma ketika mendengar dari para penjaganya bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang - coa - kiam yang telah tersohor namanya !

Sebaliknya, Li Lan dan kawan - kawannya sama sekali tidak merasa kecewa. Mereka bahkan

senang sekali melayani pemuda yang selain tampan dan gagah, juga royal sekali membagibagi hadiah itu. Li Lan nampaknya suka sekali dan tak dapat berpisah dari Tiong Kiat, demikian pula pemuda itu telah tergila-gila kepada Li Lan. Bukan karena kecantikan Li Lan atau pandainya mengambil hati, akan tetapi terutama sekali karena wajah Li Lan hampir sama dengan wajah Eng Eng, gadis yang dulu ditolongnya dan yang diam-diam dicintainya itu.

Betapapun juga akhirnya persediaan uang di dalam saku baju Tiong Kiat menjadi habis.

“Cia Ma,” katanya. "aku akan pergi sebentar mengambil buntalanku yang di hotel dan sebentar lagi aku akan kembali. Jangan perbolehkan lain orang masuk kesini," katanya.

Malam itu ia keluar bukan hanya untuk mengambil pakaiannya di hotel, akan tetapi juga untuk mengambil banyak uang emas dari peti uang seorang hartawan !

Sementara itu, sebelum pemuda itu kembali, Cia-ma lalu mengadakan perundingan dengan Li Lan dan kawan-kawannya.

"Celaka!" kata nenek ini dengan wajah gelisah. "Kalau Sim kongcu terus-menerus memborong tempat ini, kita akan celaka."

"Mengapa begitu, Cia-ma?" bantah Li Lan."Bukankah Sim kongcu amat royal dan memberi hadiah kepada kita? Kita tidak boleh membantah kehendaknya, lagi pula, apa yang dapat kita lakukan terhadap seorang gagah seperti Ang coa-kiam?"

"Anak bodoh !" nenek itu mencelanya. "Betapapun juga. dia akhirnya akan bosan dan pergi. Dan nama kita rusak di pandangan mata semua pembesar! Penolakan para pembesar yang hendak mengunjungi kalian, berarti penghinaan dan tentu saja mereka merasa sakit hati kepada kita. Kalau tidak ada perlindungan dari pada mereka, apakah daya kita? Celaka!"

"Sudahlah Cia-ma, tak perlu kita mencari penyakit dan permusuhan terhadap Ang-coa kiam. Bahkan aku hendak mempergunakan tenaganya untuk membasmi musuh-musuhku."

"Jangan, Li Lan! Jangan kau menimbulkan gara-gara, nanti kita celaka semua."

Akan tetapi gadis cantik itu hanya mainkan bibirnya, tersenyum manis. Menjelang tengah malam datanglah Tiong Kiat dengan membawa uang sekantong besar! Mulailah lagi pesta pora yang amat meriah. Para penjaga juga ikut kebagian rejeki karena Tiong Kiat membagi - bagi hadiah bagaikan orang membuang pasir belaka.

Pada keesokan harinya, gegerlah kota I-kang karena seorang hartawan besar telah kecurian uang banyak sekali dan pada dinding kamar terlukis pedang Ang coa-kiam! Sebentar saja hal ini terdengar oleh para penjaga rumah kapal, akan tetapi apakah yang dapat mereka perbuat? Mereka hanya saling lirik dan tersenyum girang karena dalam diri Tiong Kiat, mereka mendapatkan seorang pemimpin yang selain royal, juga amat boleh diandalkan!

Juga Cia.ma dan anak anaknya mendengar akan pencurian yang dilakukan oleh Ang-coa. kiam Sim Tiong Kiat ini, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani bertanya.

Cia-ma hanya menarik napas berulang-ulang dan berkata seorang diri, "Celaka, celaka! Rumahku kemasukan harimau ganas dan aku tak berdaya sama sekali untuk mengusirnya!"

Sementara itu, di dalam kamarnya, sambil menangis Li Lan menuturkan kepada Tiong Kiat, "Telah dua tahun aku mendendam sakit hati yang amat besar dan sekarang Thian Yang Maha Kuasa telah mempertemukan aku dengan kongcu, sungguh satu kebahagiaan besar. Aku percaya dengan penuh keyakinan bahwa kalau memang betul kongcu mencinta kepadaku yang hina dina dan rendah ini, pasti jahanam-jahanam busuk she Lui itu dapat dibasmi!"

"Apakah kau masih meragukan cintaku manis?" kata Tiong Kiat sambil memeluk Li Lan. "Katakanlah siapa yang pernah menimbulkan sakit hati kepadamu kalau perlu akan kuhajar adat kepada mereka."

"Hanya menghajar adat? Kau harus bunuh mereka, kongcu. Ya, mereka itu jahanam yang menjerumuskan diriku ke dalam jurang kehinaan ini, mereka itu harus dibunuh !" Muka yang manis itu menjadi kemerahan dan matanya yang bening dan indah itu bersinar-sinar.

"Kau makin cantik saja kalau marah, Li Lan. Apakah yang telah diperbuat oleh orangorang she Lui kepadamu maka kau ingin aku membunuh mereka ?” Biarpun pemuda ini membicarakan soal pembunuhan dengan lidah ringan, namun di dalam hatinya ia terkejut juga. karena sesungguhnya, di dalam kesesatannya, belum pernah ia membunuh orang begitu saja secara kejam. Tentu saja ia pernah membunuh rombongan perampok dan orang jahat akan tetapi apabila ia melakukan percurian atau gangguan, tak pernah ia membunuh orang.

Dengan gaya manja dan memikat hati Li Lan lalu menuturkan pengalamannya. "Kongcu, kau adalah seorang mulia dan gagah. Kalau tidak kepadamu, kepada siapa lagi aku dapat mengharapkan pertolongan? Dahulu aku bekerja sebagai pelayan di rumah keluarga Lui yang kaya raya. Hidupku penuh kebahagiaan sungguhpun pekerjaanku hanya sebagai pelayan belaka. Akan tetapi malapetaka menimpa diriku ketika majikanku yang muda dan tua, yakni Lui wangwe dan puteranya, Lui kongcu, secara kurang ajar dan kejam sekali telah mempermainkan aku yang lemah dan tak berdaya ! Aku berada di dalam gedung mereka sebagai budak belian, aku yatim-piatu dan berada di dalam kekuasaan mereka. Apakah dayaku? Kemudian setelah rahasia kedua orang jahanam itu terbuka, mereka menjadi malu dan menyingkirkan diriku dengan menjualku kepada Cia ma." Adapun Tiong Kiat yang mendengar penuturan ini, menjadi marah dan juga tersinggung hatinya. Ia marah karena kejahatan keluarga Lui ayah dan anak itu dan merasa tersinggung karena ia teringat kepada gadis yang ditolongnya di dalam rimba raya itu.

"Kongcu, telah lama dendam ini terkandung dalam hatiku. Pada saat itu juga, ingin sekali aku membunuh diri, akan tetapi aku teringat bahwa aku akan menjadi setan penasaran kalau belum dapat membalas kejahatan mereka. Aku bersumpah hendak membalas dendam dulu sebelum mati dan sekarang setelah aku bertemu dengan kau, kongcu, tidak ada keinginan mati pada hatiku. Aku ingin selama hidupku berada di sampingmu, akan tetapi kebahagiaanku takkan lengkap apabila sakit hati ini tidak terbalas. Kongcu yang tersayang, kalau saja kau suka menolongku membalaskan sakit hati ini, aku Li Lan akan menghambakan diriku kepadamu sampai selama hidupku.”

Menghadapi bujuk dan cumbu rayu gadis cantik ini, lumerlah hati Tiong Kiat. Tanpa pikir panjang lagi ia menyanggupi permintaan kekasihnya ini dan pada malam hari itu, ia keluar dengan pedang Ang Coa Kiam di tangan ! Dan pada keesokan harinya gegerlah kembali kota I-kiang ketika orang mengetahui bahwa hartawan Lui dan puteranya telah terbunuh mati di dalam kamarnya! Hartawan Lui terkenal sebagai seorang hartawan yang dermawan dan jujur, maka peristiwa ini tentu saja menggemparkan sekali. Apa lagi ketika di tembok korban-korban itu terdapat lukisan pedang Ang coa-kiam! Sungguh Tiong Kiat telah menjadi mata gelap dan sombong sekali. Biarpun ia masih berada di kota l-kiang dengan berani mati ia mengakui dengan lukisan itu bahwa pembunuhan itu dialah yang melakukannya. Kegemparan ini sampai juga ke telinga orang - orang gagah di dunia kangouw dan marahlah mereka yang mendengar akan hal ini. Kalau sampai sebegitu lama orangorang kang ouw tidak bertindak memusuhi Tiong Kiat adalah karena mereka itu masih memandang nama besar Ang coa kiam pedang pusaka dari Kim liong pai. Semenjak puluhan tahun yang lalu, Kim-liong-pai, terkenal sebagai cabang persilatan yang terpandang tinggi. Nama Bu Beng Sianjin sebagai pendiri cabang ini amat disegani dan dihormati, juga anak - anak murid Kim-liong pai terutama sekali Lui Thian Sianjin amat terkenal sebagai tokoh kang ouw yang gagah perkasa dan budiman. Oleh karena ini nama Ang coakiam yang menjadi jai-hwa-cat dan pencuri masih diragu-ragukan oleh para tokoh kangouw.

Akan tetapi sepak terjang Ang coa kiam Sim Tiong Kiat akhir-akhir ini benar-benar menggemparkan sekali, terutama sekali setelah pembunuhan Lui wangwe ayah dan anak. Yang paling marah adalah seorang gagah yang tinggal di kota I-Kiang, karena ia berada terdekat dengan peristiwa itu terjadi. Orang gagah ini bernama Lo Ban Tek yang berjuluk Thiat gu (Kerbau besi). Dia adalah seorang gagah perkasa, murid dari Kun.lun pai yang menyembunyikan diri di kota ini dan bekerja sebagai seorang pandai besi, pembuat tombak dan golok. Ia telah mendengar tentang pencurian uang seorang hartawan yang dilakukan oleh penjahat yang melukiskan pedang Ang coa kiam ditembok, akan tetapi masih bersabar dan tidak mau mencampuri urusan itu. la menganggap urusan pencurian itu soal kecil saja, karena untuk meributkan pencurian yang terjadi dalam rumah seorang hartawan ? Mungkin benar-benar anak murid Kim liong-pai itu sedang lewat dan kehabisan bekal lalu mengambil uang hartawan itu, hal ini sudah biasa terjadi dan tidak sangat hebat. Akan tetapi, ia mendengar bahwa seorang pemuda tampan yang mengaku sebagai Ang coa-kiam Sim Tiong Kiat telah beberapa hari lamanya berdiam di rumah kapal dan kemungkinan pula terlibat dalam pembunuhan atas hartawan Lui dan putranya. Kaget dan marahlah Lo Ban Tek mendengar ini. Ia kenal hartawan Li sebagai seorang yang baik hati dan dermawan, maka hal ini merupakan urusan aneh yang mau tak mau menarik perhatiannya dan membuat ia menjadi penasaran sekali. Ang coa kiam atau bukan, murid Kim liong pai atau bukan, kalau sudah melakukan pembunuhan terhadap seorang dermawan seperti Lui wangwe, harus ia selidiki dan harus turun tangan.

Demikianlah, pada pagi berikutnya, setelah berdandan mengenakan pakaian ringkas, sambil membawa senjatanya yang istimewa, yakni sebuah ruyung yang disebut Cho - kut - pian (Ruyung Tulang Ular), ia pergi ke rumah kapal. Tubuhnya yang tegap karena setiap hari

dilatih memalu besi dan langkahnya yang lebar membuat semua orang memandangnya dengan heran dan tertarik. Tidak biasanya Thiat-gu Lo Ban Tek keluar dengan membawa ruyung yang mengerikan itu. Orang itu memang pendiam dan jarang sekali bicara, kini ia berjalan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar, sehingga orang-orang menduga tentu akan terjadi sesuatu yang menggemparkan. Dari jauh mereka mengikuti orang gagah ini dan makin tertariklah hati mereka ketika melihat seorang gagah ini langsung menuju ke rumah kapal !

Apakah si pendiam ini mau berpelesir? Tak mungkin, pikir mereka. Selama tinggal bertahun-tahun di I-kiang, Thiat gu Lo Ban Tek hanya hidup menyendiri, tiada anak istri dan tidak berkawan atau berpelesir. Setiap hari kerjanya hanya membuat golok dan tombak dijualnya dengan harga rendah, tidak memperdulikan apakah ia rugi atau untung dalam pekerjaan itu Dan sekarang, orang ini pergi menuju ke rumah kapal. Tentu saja hal ini merupakan kejadian yang menarik hati.

Pada saat itu, seperti biasa, para penjaga duduk di meja luar sambil main ma ciok. Juga tiga orang kepala penjaga, Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu, duduk di situ sambil mengobrol. Mereka sedang membicarakan tentang pembunuhan atas diri Lui-wangwe dan betapa pun juga, mereka menjadi gelisah dan kuatir sekali.

Tiba-tiba seorang tinggi besar yang berwajah garang berdiri agak jauh di luar pekarangan rumah kapal dan terdengar suaranya yang mengguntur.

"Orang-orang rendah dan kotor! Suruh Ang coa kiam keluar, aku hendak bicara dengan dia !*

Ma-kauwsu dan kedua orang adiknya segera mengenal orang ini sebagai pandai besi Lo Ban Tek. Telah beberapa kali ketiga orang guru silat ini memesan senjata kepadanya, dan dalam perkenalan mereka, belum pernah pandai besi ini menyatakan bahwa ia mengerti ilmu silat. Dan kini ia berdiri di situ menantang Ang coa kiam Sim Tiong Kiat sambil memegang sebuah ruyung yang aneh bentuknya !

“Eh, saudara Lo, kau kenapakah? Kalau ada keperluan, datanglah ke sini. Kita boleh mengobrol, mengapa berteriak-teriak di tengah jalan!” Ma kauwsu menegur sambil bangkit dari tempat duduknya.

“Tidak usah banyak bicara!” Lo Ban Tek membentak dengan marah. “Siapa sudi .... (tidak terbaca jelas nih..) Hayo kalian anjing-anjing penjaga beritahu kepada Ang Coa kiam dan minta dia keluar. Kalau tidak, aku akan menyeretnya sendiri keluar!”

Bukan main marahnya Ma kauwsu dan ketidak orang adiknya. Mereka bertiga merupakan jagoan-jagoan yang disegani dan ditakuti di kota I-Kiang. Para hartawan dan bangsawan pun tidak berani bicara kasar terhadap mereka. Sekarang ada seorang pandai besi biasa berani memaki dan menyebut mereka anjing-anjing penjaga, tentu saja mereka merasa panas dalam perut!

“Pandai besi hinadina she Lo ! Apakah otakmu sudah menjadi miring? Ataukah kau sudah bosan hidup” bentak Ma kauwsu yang segera melompat keluar menghampiri pandai besi itu, diikuti oleh dua orang adiknya.

“Kalian ini kecoa-kecoa busuk yang makan uang kotor, janganlah ikut campur !" teriak Lo Ban Tek makin marah. 'Panggil saja jai-hwa cat she Sim itu keluar dan kalian pergilah jauh-jauh jangan sampai terkena senjata yang tak bermata !" Akan tetapi mana tiga orang jagoan ini takut menghadapi seorang pandai besi yang kasar? Terutama sekali Kwee kauwsu yang amat memandang rendah pandai besi itu. Tanpa menggunakan senjata, Kwee kauwsu lalu melompat maju dan mengirim pukulan ke arah dada Lo Ban Tek sambil berseru,"Pergilah orang gila!"

Pukulan ini adalah gerak tipu Go-houw pok it (Macan Lapar Tubruk Makanan) dan dilakukan dengan tenaga gwakang yang sedikitnya mengandung kekuatan dua ratus kati! Kwee kauwsu berpikir bahwa jangankan menangkis dengan tangan, biarpun dengan ruyung aneh itu, tetap saja pandai besi ini akan jatuh terpelanting oleh pukulannya yang berat itu.

Akan tetapi, terdengar pandai besi itu mengeluarkan suara ejekan dalam tenggorokan dan begitu kepalan tangan lawan menyambar secepat kilat ia miringkan tubuh ke kiri, agak merendah, dan jari jari tangan kirinya menyodok ke arah lambung lawan.

"Ngek!* Kwee kauwsu merasa seakan-akan ususnya dipotong, ia sampai berjingkrak ke atas saking sakitnya dan begitu tubuhnya meninggi karena menahan sakit, kaki kiri Lo Ban Tek diayun tepat mengenai pantatnya.

"Blek!" tubuh Kwee kauwsu tertendang ke atas bagaikan sebuah bal karet terapung oleh tendangan anak kecil. Setelah berputar beberapa kali, tubuh itu jatuh kembali ke atas tanah dengan pantat di bawah. Suara jatuhnya menimbulkan suara keras dan guru silat itu duduk seakan-akan tubuh belakangnya telah berakar. Hanya mukanya saja meringis-ringis bagaikan monyet mencium kotoran, tertawa tidak menangispun bukan ! Bukan main sakitnya pantat yang beradu keras dengan tanah kering itu. Tentu saja kejadian ini amat mengagetkan Ma kauwsu dan Cin kauwsu, karena sama sekali berada di luar dugaan mereka. Cin kauwsu lalu menghampiri adiknya membetot tangannya sehingga Kwee kauwsu dapat berdiri lagi. Kemudian mereka bertiga lalu mencabut golok masing-masing dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi ketiganya menyerbu! Gerakan Ma kauwsu dan Cin-kauwsu amat ganas dan cepat, hanya Kwee kauwsu saja yang masih agak terpincang-pincang dan merasa seakan-akan di tubuh belakangnya digantungi beban yang berat sekali.

"Bangsat rendah, apakah kalian bertiga benar benar bosan hidup?" bentak Lo Ban Tek. "Apakah kalian bertiga benar benar hendak melindungi dan membantu seorang penjahat besar yang mengacau di kota sendiri? Mundurlah, aku Thiat-gu Lo Ban Tek tidak mencari permusuhan dengan kalian! Kalian bukan lawanku. Lihat!" Sambil berkata demikian, Si Kerbau Besi ini lalu menghampiri sebuah batu besar yang banyak terdapat di pinggir sungai dan sekali ia mengayun coa kut-pian di tangannya, batu itu telah kena dihantam sehingga menerbitkan suara keras dan menimbulkan bunga api berpijar. Ketika tiga orang guru silat itu memandang, ternyata bahwa batu besar itu telah kena dipukul pecah !

Bukan main terkejut hati mereka. Bagaimana batu sebesar itu dapat dipukul pecah hanya dengan sekali pukulan, menggunakan sebatang ruyung pula ? Mereka bertiga, biarpun diberi palu atau kampak yang beratnya seratus kati, belum tentu dapat memecahkan batu itu dengan seratus kali pukul ! Oleh karena kaget dan kagum, mereka hanya berdiri tertegun, sama sekali tidak berani maju. Apalagi mereka juga terpengaruh oleh kata kata pandai besi itu. Kalau mereka tetap membela Ang coa kiam, tentu mereka akan dimusuhi oleh orang.orang seluruh kota, apalagi akan menghadapi pembesar - pembesar, ah berat juga !

Pada saat itu terdengar seruan nyaring dari dalam rumah kapal.

"Anjing kelaparan dari manakah berani mengacau dan menantangku ?" Baru habis ucapan itu dikeluarkan, orangnya telah berkelebat keluar dan Tiong Kiat sudah berdiri dihadapan Thiat gu Lo Ban Tek dengan pedang Ang-coa-kiam di tangan ! Berdebar juga hati Lo Ban Tek menyaksikan ginkang yang luar biasa dari pemuda tampan ini. la memandang dengan penuh perhatian. Ternyata bahwa pemuda ini amat cakap, gagah dan tampan, berpakaian serba biru yang indah sekali. Juga pedang di tangan pemuda ini benar-benar Angcoa.kiam, pedang pusaka Kim liong pai, karena Lo Ban Tek pernah mendengar penuturan tokoh Kun lun - pai tentang pusaka ini.

"Anak muda, kau Liong pai untuk dijatuhkan oleh murid Kim Iiong

sungguh berani mati sekali mempergunakan nama Ang coa-kiam dan Kim melakukan kejahatan. Apakah kau tidak takut akan hukuman yang bisa Lui Thian Sianjin kepadamu? Aku tidak percaya bahwa kau adalah anak pai dan dari manakah kau dapat mencuri Ang coa kiam itu?"

Sim Tiong Kiat tersenyum mengejek. "Bukan salahku kalau matamu kurang awas! Aku Sim Tiong Kiat, adalah murid dari Lui Thian Sianjin yang paling pandai dan akulah yang mewakili Kim liong-pai. Bukankah Ang coa-kiam di tanganku ini menjadi bukti terkuat?"

"Aku tetap tidak bisa percaya. Seorang murid Kim liong-pai, apalagi yagg sudah dipercayai untuk memegang Ang coa-kiam, harus mempergunakan pokiam (pedang pusaka) dan kepandaian untuk menjadi seorang pendekar, menolong orang - orang lemah dan menindas kejahatan, sesuai dengan pesanan mendiang Bu Beng Sianjin, sucouw dari Kim-liong.pai. Akan tetapi kau ini, perbuatan terkutuk apa saja yang telah kaulakukan ?'

Tertegun juga hati Tiong Kiat mendengar betapa orang kasar ini agaknya mengenal baik gurunya dan keadaan Kim Iiong-pai, maka sebelum ia menggerakkan pedangnya, ia bertanya, "Siapakah kau, hai, manusia kasar yang bosan hidup? Siapa kau yang berpura-pura mengerti tentang keadaan Kim-liong.pai ?"

"Mengapa aku tidak mengerti keadaan Kim Liong pai? Aku adalah murid Kim kong Tianglo di Kun lun san dan namaku adalah Lo Ban Tek! Kuulangi lagi, orang she Sim, Jangan kau sembarangan memalsukan nama Kim-liong-pai."

Di dalam hatinya, Tiong Kiat terkejut juga mendengar bahwa orang kasar ini adalah murid

dari Kim Kong Tianglo, karena sesungguhnya orang tua ini memang benar benar seorang tokoh Kun Iun-pai dan menjadi sahabat baik dari Lui Thian sianjin. Bahkan sudah beberapa kali ini bertemu dengan tokoh Kun lun.pai itu ketika Kim Kong Tianglo mengunjungi suhunya di Liong-san. Maka ia menahan kesabarannya dan tidak hendak mencelakakan murid Kim Kong Tianglo ini.

'Saudara Lo, kalau begitu kita bukanlah orang luar! Aku kenal baik dengan suhumu. Dengarlah, jangan kau menduga yang bukan-bukan. Perbuatanku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu?'

Lo Ban Tek tersenyum mengejek. "Tempat yang kau pilih untuk tinggal ini saja sudah dapat mencemarkan nama baikmu."

"Apa?" Tiong Kiat mencela marah, "Lo Ban Tek, biarpun guru kita menjadi sahabat baik, akan tetapi kau belum berhak untuk menegurku dalam hal ini. Kita adalah orang-orang lelaki, untuk mencari hiburan dan pelesiran apakah salahnya? Apakah perbuatan ini merugikanmu? Atau merugikan orang Iain? Saudara Lo, kalau kau merasa irihati, marilah ikut aku, kuperkenalkan dengan bidadari bidadari rumah kapal. Tak perlu urusan macam ini menimbulkan bentrokan diantara kita.*

"Cih ! Aku bukanlah orang macam itu ! Aku tidak meributkan urusan cabul ! Aku datang hendak bertanya kepadamu mengapa kau membunuh Lui-wangwe dan puteranya ? Apakah hal ini kau anggap satu perbuatan baik dan patut pula !"

"lebih dari patut dan baik pula?" jawab Tiong Kiat dengan sikap menantang. "Anjing tua dan muda she Lui itu memang sudah sepatutnya dibunuh ! Mereka telah berlaku kurang ajar dan merusak kehidupan seorang gadis yakni nona Li Lan yang kini terpaksa menjadi seorang yang melakukan pekerjaan ini! Apakah orang-orang semacam ini tidak boleh di bunuh ? "

"Dari siapakah kau mendengar akan obrolan itu? Tentu dari mulut perempuan busuk itu bukan ? Ha, ha, ha? Orang she Sim, ternyata kau benar-benar tidak tahu mana yang baik mana yang busuk ! Ketahuilah bahwa kalau ada dendam diantara perempuan kotor itu dengan keluarga Lui, maka dendam ini timbul karena kejahatan si perempuan yang kau bela matimatian itu ! Memang, dulu dia adalah seorang pelayan dari keluarga Lui. Kemudian dia bermain gila dengan Lui kongcu, bahkan berani bermain gila dengan pelayan-pelayan lakilaki yang ada di rumah itu! Lui wangwe menjadi marah dan mengusirnya, bahkan ketika diusir, ia diberi uang secukupnya, dibebaskan dan diperbolehkan pergi ke mana juga atau menikah dengan siapapun juga. Hal ini bagi orang yang tinggal di kota I-kiang, siapakah yang tidak tahu? Dan kau percaya bahwa dia dipermainkan oleh Lui wangwe ? Ha, ha, benar-benar kau telah mabok oleh kecantikan palsu, mabok oleh bedak tebal dan gincu merah!"

"Bangsat, tutup mulutmu!* Tiong Kiat yang terkejut dan malu itu menjadi marah sekali.

"Orang she Sim, kau memang patut dilenyapkan dari permukaan bumi ini. Biarlah aku Lo

Ban Tek mewakili suhumu memberi hukuman kepadamu!"

Sambil berkata demikian Lo Ban Tek menangkis serangan Tiong Kiat dengan ruyung-nya. Melihat betapa orang kasar itu berani menangkis pedangnya, Tiong Kiat menjadi girang karena mengira bahwa ruyung itu tentu akan putus. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dua senjata itu beradu keras, ruyung itu sama sekali tidak terbabat putus, bahkan dari benturan tadi ia dapat mengetahui bahwa tenaga Iawannya ini benar-benar besar dan tidak boleh dipandang ringan! Maka ia lalu berseru keras dan begitu ia mainkan ilmu pedang Ang coa.kiamsut yang hebat, pedangnya bergerak cepat, merupakan gelombang sinar pedang yang luar biasa sekali.

Lo Ban Tek terkejut dan kini ia tidak ragu ragu lagi bahwa pemuda ini memang benar murid Kim liong pai yang pandai.

"Hm, kau benar-benar murid Kim liong-pai ! Kalau kau bukan murid Kim liong-pai, masih tidak apa, kau hanya seorang bangsat kecil saja. Akan tetapi seorang murid Kim-liong pai dapat tersesat begini rupa, ah aku harus mengadu jiwa dengan kau.” iapun mainkan ruyungnya dengan ilmu silat Kun. lun-pai yang lihai. Gerakan ruyungnya cepat dan kuat, dapat mengimbangi gerakan pedang lawannya.

Hebat sekali jalannya pertandingan ini, sehingga tiga orang guru silat Ma, Cin dan Kwee berdiri bagaikan patung dan menonton dengan bengong ! Kepandaian Ang Coa kiam Sim Tiong Kiat sudah dapat mereka duga tingginya, akan tetapi yang membikin mereka terheran-heran adalah kepandaian tukang besi itu ! Siapa kira bahwa di I-kiang terdapat seorang pendekar yang demikian tinggi ilmu silatnya yang selama ini mereka kenal sebagai Lo Ban Tek pandai besi yang sederhana dan kasar belaka ! Maka malulah ketiga orang itu, karena kalau ilmu kepandaian mereka yang mereka sombongkan itu dibandingkan dengan kepandaian dua orang ini mereka boleh dibilang masih anak-anak! Thiat gu Lo Ban Tek bertempur dengan penuh semangat dan gerakannya nekad sekali. Akan tetapi Tiong Kiat masih merasa ragu-ragu dan bertempur hanya untuk membela diri saja. Pemuda ini masih merasa sungkan untuk merobohkan murid Kun-lun-pai ini, ia gentar juga menghadapi akibat-akibatnya. Kalau sampai ia menanam bibit permusuhan dengan Kun lun pai, hidupnya takkan tenteram lagi!

Akan tetapi mau tidak mau ia terpaksa harus mengerahkan kepandaiannya, karena Lo Ban Tek menyerangnya bagaikan seekor harimau mengamuk. Ruyung Coa kut-pian itu tidak boleh dipandang ringan. Selain digerakkan dengan ilmu silat istimewa, juga tenaga orang she Lo ini besar sekali sehingga sekali saja kena terpukul ruyung ini berarti bahaya maut bagi Tiong Kiat!

Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Lo Ban Tek melakukan serangan yang luar biasa sengitnya. Ruyungnya menyambar dan menyerampang lambung Tiong Kiat. Ketika pemuda ini menangkis ruyung itu tiba-tiba menyambar ke arah kedua kakinya sehingga Tiong Kiat terkejut sekali. Cepat pemuda ini mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk melompat ke atas sehingga tubuhnya mumbul dengan indahnya. Akan tetapi kembali Lo Ban Tek melangkah maju dan kini ia memukulkan ruyungnya dengan gerak tipu Dewa Awan Menangkap Bintang. Serangan ini dilakukan ketika tubuh Tiong Kiat masih terapung di udara, maka hebat dan berbahayanya dapat dibayangkan sendiri !

Namun kini Tiong Kiat juga sudah menjadi panas kepalanya. Ia tidak bisa mengalah terus dan harus memperlihatkan kepandaiannya. Biarpun ia masih berada di udara, namun kedudukan tubuhnya masih dalam kuda-kuda yang sempurna. Melihat ruyung menyambar, ia segera menggerakkan pedangnya menangkis dan cepat kaki kirinya membarengi mengirim tendangan ke arah pergelangan tangan Lo Ban Tek.

Lo Ban Tek merasa tangannya menjadi kaku dan sakit sekali karena tendangan yang secepat kilat dan tidak disangkanya itu, tidak dapat dielakkan. la buru-buru menarik kembali senjatanya, akan tetapi pada saat itu, Tiong Kiat sudah turun ke atas tanah dan ujung pedangnya menyambar merupakan cahaya merah menuju tenggorokan Lo Ban Tek!

Orang she Lo ini berseru ngeri karena merasa bahwa nyawanya tentu takkan tertolong lagi. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa sakit pada pundak kirinya yang tertusuk pedang dan ternyata bahwa Tiong Kiat pada saat yang tepat telah mengubah gerakan pedangnya sehingga tidak menusuk tenggorokan lawan, akan tetapi mencong dan melukai pundaknya!

"Lo Ban Tek, mengingat bahwa kau masih ada hubungan persahabatan dengan aku, maka memandang muka suhumu, aku ampunkan nyawamu! Lebih baik kita sudahi pertempuran ini!"

Akan tetapi kalau pemuda itu mengira bahwa Lo Ban Tek tentu akan menjadi gentar dan kapok, ia keliru besar. Orang she Lo ini bahkan menjadi makin marah. Dengan mata mendelik ia membentak,

"Jahanam durhaka ! Kaukira aku orang she Lo takut mati? Lebih baik aku mati dalam usahaku melenyapkan iblis macam engkau dari muka bumi, daripada hidup melihat engkau melakukan kejahatan tanpa terhukum!" Setelah berkata demikian, kembali ruyungnya menyambar dan kali ini dengan serangan nekad tanpa memperhitungkan penjagaan diri lagi !

Tiong Kiat terkejut sekali. Sama sekali tak diduganya bahwa orang ini akan menjadi demikian nekad, terpaksa ia menangkis dengan pedangnya dan membalas dengan keras. Pedangnya meluncur ke depan dan tak dapat dicegah lagi menancap di dada Lo Ban Tek. Si Kerbau Besi ini tidak mengelak sedikitpun juga, ruyungnya masih dipegang kencang ketika tubuhnya terguling dan darah mengucur dari dadanya. Ia menghembuskan napas terakhir dengan ruyung masih di tangan kanan dan muka masih mendelik memandang kepada Tiong Kiat!

Pemuda ini bergidik dan ia merasa menyesal sekali. Diambilnya saputangan dan ditutupkannya saputangan itu di atas muka Lo Ban Tek, menghela napas berulang-ulang. Ia telah membunuh dengan terpaksa dan bagaimana baiknya sekarang? Orang orang Kun-lun-pai tentu akan memusuhinya, biarpun ia tidak takut, akan tetapi hal itu hanya akan membuat hidupnya menjadi tidak tenteram. Rasa menyesal dan kecewa ini membuat mukanya menjadi merah, dadanya terasa sakit. la marah sekali, marah kepada Lo Ban Tek yang memaksa dia melakukan pembunuhan, marah kepada dirinya sendiri dam kepada semua orang.

"Kionghi taihiap, kionghi ! ilmu silatmu hebat sekali!" tiba - tiba ia mendengar pujian dan pemberian selamat yang membuat sadar dari lamunannya. Ketika ia menengok, ia melihat tiga orang guru silat itu telah menghampirinya dan memberi selamat sambil menyeringai mencari muka. Ia merasa sebal sekali. Kedua kakinya cepat bergerak bergantian dan tubuh tiga orang guru silat terlempar jauh. Mereka mengaduh-aduh dengan perasaan sakit, takut dan kaget.

Kemarahan Tiong Kiat memuncak. Ia menganggap rumah kapal dan sekalian isinya adalah tempat sial, yang membuat ia melakukan pembunuhan pada anak murid Kun – lun-pai. Apalagi kalau ia teringat akan ucapan Lo Ban Tek yang masih berdengung di telinganya, bahwa sesungguhnya keluarga Lui-wangwe yang dibunuhnya itu tidak berdosa. Bahwa sebaliknya Li Lan yang bersalah dan yang menghasut kepadanya. Kemarahannya makin memuncak lagi. Ia berlari memasuki rumah kapal itu. Pintu ditendangnya sampai jebol. Sebuah tihang yang berada di depannya dibabat dengan pedang Ang coa kiam sehingga putus dan genteng bagian atasnya roboh ke dalam air.

Cia-ma berlari lari keluar, akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu Tiong Kiat menjambak rambutnya dan sekali ia menggerakkan tangan, tubuh nenek itu terlempar keluar jendela dan.... byur ! tubuh itu jatuh ke dalam air sungai Yang ce, diiringi pekik mengerikan dari nenek itu.

Bagaikan seorang gila, Tiong Kiat merusak dan menghancurkan perabot rumah yang baikbaik, dan tiap kali ia bertemu dengan seorang gadis dalam rumah itu, tangannya bergerak menjambak rambut dan melemparkan gadis itu ke dalam air melalui jendela ! Sebentar saja habislah semua orang dilempar-lemparkan ke dalam air, sehingga sibuklah orang-orang di bawah untuk menolong "bidadari-bidadari" itu keluar dari air. Mereka kini tidak kelihatan sebagai bidadari-bidadari kahyangan lagi, akan tetapi sebaliknya sebagai seorang setan air yang mengerikan. Rambut basah awut-awutan, riap-riapan menutupi muka yang tidak berbedak lagi, muka yang kini tampak pucat, kebiru-biruan bibir dan sekitar matanya, muka yang cowong dengan kulit muka yang kasar karena setiap hari dimakan bedak !

Orang terakhir yang dijumpai oleh Tiong Kiat di rumah itu adalab Li Lan. Gadis ini berdiri dengan wajah pucat, akan tetapi tidak takut sama sekali. la sengaja melepaskan rambutnya yang kini bergantungan di sekitar leher dan pundaknya. Bajunya Iepas-lepas sehingga nampak leher dan pundak yang putih halus. Gadis ini tahu betul bahwa Tiong Kiat amat mengagumi rambutnya yang panjang, halus dan harum, maka siasat terakhir untuk menggunakan kecantikannya ini ia lakukan.

"Perempuan hina ! Jadi kau telah menipuku, ya ! Aku telah tertipu sehingga membunuh orang-orang yang tidak berdosa!"

"Bagimu tidak berdosa kongcu, akan tetapi bagiku mereka berdosa besar. Kalau Lui wangwe tidak mengusirku, keadaanku takkan menjadi begini!" jawab gadis itu dengan suara memilukan.

"Kau telah membohong! Kaukatakan mereka mengganggumu, tidak tahunya kaulah yang mengganggu ketenteraman rumah tangga mereka! Kau perempuan cabul, perempuan rendah.

Kubunuh kau!”

"Bunuhlah, kongcu, bunuhlah. Kalau orang satu-satunya seperti engkau yang kucinta sepenuh jiwaku telah membenciku, untuk apakah aku lebih lama hidup di dunia ini?” Ia menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. ”Bunuhlah…”

Tiong Kiat mengangkat pedangnya, akan tetapi melihat keadaan Li Lan, lemaslah tangannya dan pedang itu bahkan disarungkannya kembali. Ia lalu maju dan menjambak rambut Li Lan, dipaksanya berdiri akan tetapi tidak dilemparkan keluar seperti orang-orang lain, bahkan lalu dipondongnya dan di bawanya lari! Ia berlari cepat sekali keluar dari rumah kapal itu, ditonton oleh semua orang yang sama sekali tidak berani bergerak!

Gegerlah kota I-kiang karena peristiwa ini. Pembesar pembesar datang membawa tentara akan tetapi penjahat muda itu telah lari jauh dan orang tidak tahu kemana perginya. Masih baik nasib Ma kauwsu, Cin kauwsu dan Kwee kauwsu. Karena mereka bertiga tadi ditendang oleh Ang coa kiam Sim Tiong Kiat sampai terguling-guling, maka mereka tidak dianggap kawan penjahat muda itu dan dibebaskan oleh para pembesar ! Kalau saja mereka tidak ditendang oleh Tiong Kiat tentu mereka akan ditangkap dengan dakwaan kawan-kawan dari Ang-coa kiam !

Tiong Kiat melarikan diri sambil menggendong Li Lan. la pergi secepatnya dari I-kiang dan ia menuju ke utara, Li Lan menangis terisak-isak dalam pondongannya. Gadis itu tiada hentinya menyesali nasib dirinya.

Peribahasa kuno menyatakan bahwa kalau hendak menguji kesetiaan sejati, lihatlah sikap seorang dalam keadaan sengsara. Banyak sahabat-sahabat yang tadinya menyanjung-nyanjung kita akan memalingkan muka dan berpura-pura tidak kenal lagi apabila keadaan kita menjadi sengsara. Demikian pula dengan cinta kasih. Dapat diukur apabila sepasang merpati berada dalam keadaan sengsara dan jauh dari kesenangan. Cinta kasih tidak mengenal keadaan, tidak mengenal kesengsaraan, tetap murni bagaikan emas, biarpun terjatuh di dalam lumpur kotor, tetap cemerlang dan mengkilap!

Akan tetapi cinta kasih gadis macam Li Lan beda lagi. Dahulu ia memang mencinta Tiong Kiat sepenuh jiwa raganya, karena Tiong Kiat adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Terutama sekali karena pemuda ini dapat memberi hadiah barang berharga apa saja yang dikehendakinya. Akan tetapi sekarang semua benda itu ditinggalkan, dan bahkan kini mereka melakukan perantauan tanpa tujuan, berjalan jauh dengan keadaan miskin dan sengsara sekali. Dalam keadaan macam ini lunturlah semua rasa cinta dari hati Li Lan. la mulai cemberut dan mengomel panjang pendek. Berkeluh-kesah menyesali nasibnya. Setiap hari ia menangis sambil memijati kakinya yang terasa pegal dan lelah sekali.

Tadinya Tiong Kiat merasa kasihan juga, akan tetapi beberapa hari kemudian, ia menjadi mendongkol. Pemuda mata keranjang macam dia mempunyai sifat pembosan. Kini Li Lan tidak pernah berhias, tidak pernah memakai minyak kembang dan pakaiannyapun tidak karuan. Kalau tadinya sedikit-sedikit cacat dapat ditutup oleh hiasan bedak dan gincu, kini terbuka sama sekali. Manusia manakah yang tidak bercacad? Memang dalam keadaan biasa, cacad pada kulit muka dapat ditutup dan diperindah dengan alat-alat kecantikan, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, cacad itu menjadi terbuka dan nampak nyata! Setelah

kini melihat Li Lan tidak berhias, alangkah kecewanya hati Tiong Kiat. Kecewa bahwa ia telah membawa gadis ini! Ternyata jauh sekali apabila dibandingkan dengan gadis yang dulu ditolongnya di rimba raya. Bahkan kalau diperhatikan betul, masih cantik Kui Hwa sumoinya itu dari pada gadis pesolek ini. Kecantikan Kui Hwa adalah sewajarnya, karena semenjak kecil gadis ini tidak pernah bersolek, adapun kecantikan Li Lan selalu dibantu oleh bedak dan gincu dan minyak wangi !

Mulailah Tiong Kiat marah-marah dan memaki Li Lan yang dianggapnya merupakan beban baginya! Dan mulailah Li Lan menangis terisak-isak menyesali perbuatannya yang dimulai semenjak berada di rumah keluarga Lui menjadi pelayan! Kalau saja ia dahuIu tidak melakukan perbuatan sesat, mungkin keluarga yang budiman itu telah mengawinkan dengan seorang pemuda yang baik dan ia telah menjadi seorang istri dan ibu yang bahagia!

Pada suatu hari di dalam hutan, ketika Li Lan menyatakan telah lelah sekali dan hendak beristirahat, kembali Tiong Kiat membentak-bentaknya. Li Lan menjatuhkan diri di bawah pohon dan menangis tersedu-sedu. Dahulu Tiong Kiat akan memondongnya, akan tetapi sekarang, menyatakan lelah saja dibentak-bentak. Di dalam hutan yang sunyi itu hanya terdengar suara tangisan Li Lan dan bentakan bentakan Tiong Kiat.

"Perempuan tak tahu diri, perempuan pembawa celaka ! Kalau tidak karena kau, aku tak usah lari-lari seperti ini. Kalau kau tidak ikut aku akan dapat melakukan perjalanan lebih cepat lagi."

"Sim kongcu… " kata Li Lan sambil megap-megap karena menahan tangisnya, "kalau aku menjadi beban... . kenapa tidak kau bunuh saja...? Bunuhlah aku kongcu .. .agar aku terhindar dari siksaan lahir dan batin ini ...."

"Kalau kau laki laki, sudah dari kemarin kubunuh! Aku seorang laki-laki sejati, tidak sudi membunuh perempuan macam kau !"

"Ah, dunia sudah kacau balau !" tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu seorang wanita tua yang bertongkat panjang berbentuk kepala naga telah berdiri tak jauh dari mereka. "Dahulu laki laki selalu bersikap lemah lembut terhadap wanita, akan tetapi anak-anak muda sekarang demikian kasar dan kejamnya !"

Tiong Kiat terkejut. Ia memandang deegan perhatian, akan tetapi tidak mengenal siapa adanya nenek yang berambut putih ini. "Nenek tua, mengapa kau mencampuri urusan orang lain ? Kalau kau kasihan kepada wanita celaka ini, bawalah dia pergi. Aku tidak butuh lagi padanya!"

Ketika Li Lan melihat nenek itu, ia segera berlari terhuyung menghampirinya dan berlutut di hadapan nenek itu sambil menangis!

"Suthai…Tolonglah aku, bawalah aku... aku tak tahan lagi hidup menderita begini…!”

"Kasihan kau anak yang tersesat jauh......" nenek itu berkata sambil mengelus-elus kepala Li Lan. "Baiklah kau membersihkan diri dan batin di dalam kuilku."

Mendengar ucapan ini, Tiong Kiat tertawa girang. "Bagus, bagus! Nenek tua kau telah berjasa padaku. Memang perempuan ini perlu dibersihkan! Ha, ha, ha!"

"Orang muda, kau tidak lebih bersih dari pada wanita ini! Kalau kau tidak kembali ke jalan benar, kaupun akan menderita bencana besar!" Sepasang mata nenek itu memandangnya dengan tajam sekali sehingga ketika pandang mata mereka bertemu, terkejutlah Tiong Kiat. Seperti bukan mata manusia, pikirnya dengan seram. Untuk menenteramkan hatinya, pemuda ini mencabut pedangnya dan berkata tertawa-tawa sambil menggerak-gerakkan pedang itu.

"Ha, ha, ha! Dengan pedang dan tenaga di tangan, siapa akan dapat menggangguku?"

Tiba-tiba berobahlah wajah nenek itu ketika melihat pedang di tangan Tiong Kiat.

"Ang coa-kiam...!" serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat. Tiong Kiat terkejut sekali melihat gerakan tubuh nenek ini, karena tahu-tahu nenek ini telah berada di hadapannya.

"Bagus, jadi kaukah orangnya yang mengotorkan Ang-coa-kiam, pedang pusaka dari kim liong pai?”

"Siapakah kau yang mengenal pedangku?” tanya Tiong Kiat dengan wajah pucat.

"Orang durhaka! Pat-Jiu Toanio sudah berada di hadapanmu, kau masih tidak mengenalnya?”

Begitu mendengar nama ini, Tiong Kiat tidak membuang-buang waktu lagi dan cepat sekali pedangnya menusuk dada nenek itu! Ia sudah mendengar nama nenek ini. Karenanya tahu bahwa Pat-jiu toanio adalah sahabat baik dari para tokoh Kun lun pai dan juga sahabat baik suhunya di Liong san, ia mengira bahwa nenek ini tentu akan membunuhnya. Oleh karena itu ia lalu mendahuluinya dan mengirim tusukan maut!

Tiong Kiat sama sekali tidak pernah mengira bahwa ilmu kepandaian nenek ini luar biasa tingginya bahkan setingkat lebih tinggi dari pada kepandaian Lui Thian Sianjin sendiri! Melihat berkelebatnya sinar pedang yang kemerahan, nenek ini lalu menggerakkan tongkatnya dan sekali tangkis saja pedang Ang coa-kiam hampir saja terlepas dari pegangan Tiong Kiat! Pemuda ini cepat melompat mundur, kemudian dengan marah sekali ia

lalu menyerang lagi. Kembali pedangnya ditangkis hampir terlepas dari pegangan. Aneh sekali nenek itu nampaknya tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan tongkatnya hanya digerakkan perlahan dan lambat, namun setiap serangannya dapat ditangkis sekaligus!

Gentarlah hati Tiong Kiat menghadapi nenek yang sakti ini. Dengan muka merah karena malu dan marah, pemuda ini tanpa mengeluarkan sepatah katapun lalu melompat jauh dan pergi dari hutan itu.

Pat jiu Toanio tidak mengejarnya, hanya menarik napas panjang dan berkata.

"Sayang, sayang .. ! Dia seorang murid yang baik sekali, sayang imannya lemah, sungguh merupakan periok yang indah akan tetapi terbuat daripada bahan yang lemah dan lapuk."

la lalu menghampiri Li Lan yang masih berlutut di atas tanah.

"Coba kauceritakan segala pengalamanmu dengan pemuda itu. Mukamu yang cantik penuh bayangan gelap, dosamu yang besar hanya dapat kau bersihkan dengan pencucian diri menjadi seorang pendeta."

Sambil terisak-isak Li Lan lalu menceritakan tentang pengalamannya, tidak ada yang disembunyikan, bahkan ia menceritakan pula tentang dosa-dosanya, betapa ia telah membujuk dan menghasut Tiong Kiat untuk membunuh keluarga Lui. Pat-jiu Toanio mendengarkan penuturan ini dengan kening berkerut. Setelah gadis itu selesai menuturkan semua pengalamannya, ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata.

"Menurut patut, kau harus dihukum seberat-beratnya. Hukuman lahir masih terlampau ringan bagimu, akan tetapi melihat bahwa kau telah menerima hukuman batin, aku akan menerimamu. Marilah kau ikut aku ke kuilku di kaki Gunung Fu-nin di mana kau boleh menjadi nikouw (pendeta perempuan) bersama murid muridku."

Demikianlah, Li Lan ikut dengan nenek sakti itu dan beberapa bulan kemudian ia telah berada di dalam kuil Thian-hok si di dusun Tiang seng-an, di kaki gunung Fu niu. Ia mencukur rambutnya yang indah itu menjadi seorang nikouw gundul yang tekun mempelajari ilmu kebatinan dan tekun pula bersembahyang untuk mencuci dosa-dosanya!

Tadinya hal ini dilakukan oleh Li Lan hanya karena ia tidak melihat jalan lain untuk memperbaiki keadaannya. Akan tetapi sungguh sama sekali tak pernah disangkanya, setelah ia melakukan ibadah dan mempelajari ilmu kebatinan, ia menemukan kebahagiaan jauh lebih besar daripada segala kesenangan duniawi yang dinikmatinya di rumab kapal Cia ma! Makin tekunlah ia belajar sehingga menyenangkan hati Pat jiu Toanio, bahkan sedikit demi sedikit, nenek sakti itu memberi pelajaran ilmu silat kepadanya.

Di lereng gunung Ta-pie san, seorang pemuda tampak duduk di atas sebuah batu besar. Dia adalah Sim Tiong Han yang mengikuti jejak dan mencari adiknya, telah tiba di Wuhan dan dari sana terus ke timur dan mendaki bukit Ta pie san. Wajahnya yang tampan itu tampak berduka, keningnya berkerut. Berkali-kali ia menarik napas panjang, tampak kekesalan hati yang mendidih dihatinya.

Pemandangan alam yang demikian indahnya terbentang luas di hadapannya hampir tak terlihat oleh pemuda itu. Pikirannya melayang jauh tak dapat dikendalikannya, se-akanakan melayang - layang naik mega putih yang bergerak pelahan di angkasa raya.

Sungguh tidak kebetulan bagi Tiong Han, karena dengan cepatnya perjalanan yang ditempuhnya dan karena ia tidak tahu bahwa Tiong Kiat agak lama bertempat tinggal di kota I-Kiang, maka Tiong Han telah mendahului adiknya. Oleh karena ini, ia tidak mendengar tentang perbuatan-perbuatan Tiong Kiat di I-Kiang yang menggemparkan itu.

Sudah berapa hari Tiong Han berada di lereng Bukit Ta pie-san ini. la merasa gelisah, kecewa dan juga berduka. Kemanakah ia harus mencari Tiong Kiat? Hatinya sedih bukan kepalang kalau ia teringat kepada adiknya itu. Sesungguhnya ia amat mencinta Tiong Kiat, tidak saja sebagai cinta seorang kakak kepada adiknya bahkan lebih dari itu! Semenjak kecilnya Tiong Kiat selalu bersandar kepadanya dan ia telah merasa seakan-akan menjadi pelindung dan pembela adiknya, sebagai pengganti ayah mereka.

Pada hari itu Tiong Han duduk di atas batu semenjak siang tadi. Ia tidak merasa bahwa keadaan disekelilingnya telah mulai gelap. la seakan-akan sedang berada di dunia lain, atau pada jaman lain, yakni ketika ia masih kecil. Teringatlah ia akan semua pengalamannya di puncak Liong-san yang pemandangannya hampir sama dengan Ta.pie-san ini. Ia teringat akan segala permainan dan kesenangan yang diIakukan bersama dengan Tiong Kiat. lngatan inilah yang membuatnya Iupa akan waktu. Memang dahulu pada waktu senja hari sampai malam, di waktu terang bulan mereka berdua seringkali mengadakan permainan di lereng Gunung Liong-san. Mereka berdua suka sekali bermain-main perangperangan saling intai dan berlaku sebagai pahlawan-pahlawan atau panglima panglima pemimpin barisan. Adakalanya Tiong Han mengambil kedudukan sebagai panglima tuan rumah yang terserang sedangkan Tiong Kiat sebagai panglima musuh yang datang menyerbu. Atau sebaliknya. Bukan main gembiranya kalau mereka bermain-main seperti itu. Mereka seakanakan menjadi pahIawan besar. Sampai malam mereka bermain perang-perangan, intai mengintai di balik batu-batu karang dan semak-semak.

Lui Thian Sianjin, suhu mereka, pernah menceritakan bahwa ayah mereka adalah seorang pahlawan dan patriot bangsa yang gugur dalam pemberontakan menggulingkan pemerintahan yang korup. Oleh cerita yang singkat dan tidak jelas inilah maka Tiong Han dan Tiong Kiat suka sekali bermain perang-perangan, menjadi pahlawan seperti ayah mereka!

Pada saat itu, Tiong Han tenggelam dalam kenangannya. Bertitik air matanya kalau ia mengingat betapa hubungan mesra itu kini telah rusak. Adiknya yang dicinta sepenuh hatinya itu kini entah berada dimana dan ia mendapat tugas mencarinya, merampas pedang Ang coa-kiam, bahkan kalau perlu membunuhnya! Ia merasa bahwa kini ia akan dapat mengimbangi kepandaian Tiong Kiat, karena setiap hari tiada hentinya ia memperdalam kepandaian ilmu pedang Ang coa-kiamsut dari kitab yang dibawanya. Ia telah hampir dapat menguasai seluruh isi kitab itu dan ilmu pedangnya maju dengan pesatnya.

Ketika ia teringat betapa ia dan adiknya pada saat bermain perang-perangan itu menyanyikan sajak yang mereka dengar dari suhu mereka bernyanyi dan yang kemudian mereka robah sendiri. Tiong Han lalu bangun berdiri dari batu yang didudukinya. Bagaikan dalam mimpi, ia lalu melangkah maju di pinggir jurang, lalu ia bernyanyi, seperti ketika masih kecil bersama Tiong Kiat di lereng Bukit Liong san. Bulan sepotong sudah mulai timbul dari timur, angin gunung hanya meniup perlahan saja, mendatangkan suara berkereseknya daun-daun yang bahkan menambah rasa sunyi yang mencekam hatinya. Bagaikan terpimpin oleh perasaan halus yang tak disadarinya, Tiong Han bernyanyi dengan suara keras, sepenuh dadanya, sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya meniru gaya seorang panglima seperti yang ia lakukan bersama adiknya ketika mereka masih kecil dulu.

Pedang telanjang di tangan

berlumur darah musuh jahanam !

Anak panah beterbangan

bagai maut mengintai nyawa

Pasukan musuh di sana?

Serbu…! Maju gembira!

Inilah tugas tiap ksatrya !

Mati? Hanya gugur bagai bunga

Aku hanya ingin menang…menang !

Biar takkan mendapat Jasa

Biar takkan menerima pahala.

Tidak peduli, aku ingin menang !

Aku ingin menjadi pahlawan.

Seperti ayah....... seperti ayah…!

Tiong Han bernyanyi penuh semangat, seperti dulu ketika masih keciI. Bunyi sajak ini sesungguhnya sudah berbeda dari pada aslinya karena banyak yang berobah dan baris terakhir “seperti ayah" adalah tambahan sendiri dari Tiong Han dan Tiong Kiat. Keduanya merasa bangga sekali akan ayah mereka, sungguhpun mereka tidak tahu dan tidak ingat lagi bagaimana rupa ayah mereka!

Tiong Han tidak tahu sama sekali bahwa pada saat bernyanyi, seorang pemuda sedang berjalan mendaki jalan kecil dari timur. Ketika mendengar ia bernyanyi, pemuda itu berhenti bertindak dan diam bagaikan patung! Akhirnya setelah Tiong Han menyanyikan baris terakhir dari sajaknya, pemuda yang berpakaian biru kehitaman itu berlarl menghampirinya dan berseru dengan suara terharu.

"Engko Han…!"

Tiong Han yang sudah mengakhiri nyanyiannya cepat menengok dan terkejutlah kedua matanya ketika ia melihat Tiong Kiat berlari-lari naik seperti dulu ketika masih kecil!

“Tiong Kiat…..!”

Keduanya berdiri berhadapan, saling pandang, kalau dilihat oleh orang lain seperti seorang pemuda berdiri di depan cermin, demikian serupa, sebentuk dan segaya! Kemudian terdorong oleh keharuan hati, kedua orang muda itu lalu saling tubruk dan saling peluk dengan penuh kemesraan dan keharuan hati. Tiong Han tak dapat menahan Iagi bertitiknya air mata dari sepasang matanya ketika ia merangkul adiknya. Akan tetapi ketika matanya memandang kebawah dan terlihat olehnya gagang pedang Ang coa-kiam, hatinya seperti tertusuk oleh pedang itu dan ia melepaskan pelukannya.

“Tiong Kiat, anak nakal, ke mana saja kau selama ini?" tanyanya dengan pandangan menegur seperti biasa ia lakukan dahulu bila adiknya berlaku nakal.

Mendengar teguran dan pertanyaan ini Tiong Kiat melangkah mundur dua tindak. Walau iapun terpengaruh oleh keharuan hatinya, akan tetapi ia sekarang teringat Iagi akan kesalahan-kesalahannya terhadap kakaknya ini, ia memandang tajam dan bertanya dengan suara dingin,

"Han.ko, mengapa kau berada di sini ?" la melirik ke arah pedang yang tergantung di

pinggang kiri Tiong Han. "Apakah kau disuruh oleh suhu untuk menyusul dan menangkapku ?" Ia memandang makin tajam dan kepalanya agak dimiringkan, pandangan matanya penuh selidik.

"Tiong Kiat, tak perlu aku berbohong kepadamu. Kepergianmu dari Liong-san membuat suhu menjadi marah sekali, terutama sekali karena kau membawa pergi pedang Ang-coa kiam yang menjadi pedang pusaka Kim-liong pai, Mengapa kau berani melakukan hal itu, adikku ? Mengapa ?"

Tiong Kiat tertawa mengejek dan tangan kirinya menepuk-nepuk pedang Ang-coa-kiam "Tiong Han," ia tidak menyebut kakak. "aku adalah murid yang terpandai, maka berhak mewarisi pedang ini. Habis, apakah sekarang kehendakmu ?"

Dua orang pemuda yang sama rupa sama bentuk itu berdiri berhadapan dalam keadaan tegang. Tiong Kiat dengan pandangan mata menantang sedangkan Tiong Han dengan mata berduka.

"Tiong Kiat, kau harus kembalikan pedang itu. Aku disuruh oleh suhu untuk mengambil kembali pedang itu. Sadarlah bahwa kau tidak berhak mengambil pedang pusaka itu begitu saja tanpa ijin dari suhu."

Akan tetapi Tiong Kiat melangkah mundur tiga tindak dan tiba-tiba ia mencabut pedang Ang-coa.kiam dan berkata,

"Tiong Han! Selama beberapa bulan ini, pedang inilah kawan satu-satunya dariku yang telah melindungi keselamatanku. Bagaimana aku bisa mengembalikannya begitu saja? KaIau pedang ini kau ambil aku akan merasa sunyi, seakan-akan ditinggalkan seorang sahabat yang paling baik."

Berobah wajah Tiong Han mendengar ini. "Tiong Kiat, di mana........ sumoi? Aku tidak melihatnya!"

Tiong Klat tersenyum pahit. "Kau mencari tunanganmu?”

"Jangan kurang ajar!" Tiong Han membentak. "Aku tidak menganggapnya sebagai tunangan lagi. Aku rela melepaskannya untuk menjadi jodohmu. Aku hanya ingin mengetahui mengapa dia tidak berada di sini, bersamamu. Apakah kau telah meninggalkannya pula?” Pandangan pemuda ini menjadi tajam dan keras.

"Siapa meninggalkannya? Kami hanya memilih jalan masing-masing. Kalau kau mau mencarinya ke kota Hang yang, kau akan dapat bertemu dengan dia dan kau boleh mengambilnya sebagai istrimu!"

Mendongkol juga hati Tiong Han mendengar ucapan ini. "Tiong Kiat, tak perlu kita melanjutkan percakapan tentang sumoi. Yang paling penting sekarang ialah pengembalian pedang itu. Suhu menghendaki agar supaya aku mengambil kembali pedang Ang coa kiam dan membunuhmu. Akan tetapi asal saja kau mengembalikan pedang itu dan berjanji takkan melakukan kesesatan, aku takkan mengganggumu."

Tiong Kiat tertawa bergelak mendengar omongan ini. "Tiong Han, biarpun suhu sendiri yang datang mengambil pedang ini, agaknya ia takkan dapat mengambilnya begitu saja tanpa membuktikan bahwa kepandaiannya masih lebih tinggi dari padaku. Siapa yang memiliki kepandaian ilmu pedang Ang coa kiamsut lebih tinggi, dialah yang berhak memiliki pedang ini ! Aku memegang pedang ini, nah, apakah kau memiliki keberanian untuk menentangku. Apakah kau tidak tahu bahwa pemegang pedang ini harus dihormati dan ditaati oleh semua anak murid Kim-liong-pai?"

"Tiong Kiat, jangan kau berkeras! Lebih baik kembalikan pedang itu dan kalau kau menginginkan sebatang pedang yang baik, kau boleh ambil pedangku Hui - liong - kiam ini. Aku tidak bisa menyerangmu, kau adalah adikku dan kau tahu betapa besar cinta kasihku kepadamu. "

"Jangan omong kosong ! Aku memegang Ang.coa-kiam, kalau kau mau menjadi murid Kim-liong pai yang mendurhaka, kau boleh melawan aku !"

Sedih benar hati Tiong Han menyaksikan sikap adiknya ini. Terpaksa ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan kitab Ang coa.kiam coansi.

"Kau Iihat ini, Tiong Kiat ! Akulah yang lebih berhak dari padamu, karena kitab pusaka ini dipercayakan kepadaku oleh suhu !"

Terbelalak mata Tiong Kiat memandang kepada kitab Iapuk di tangan kakaknya itu. Ketika ia hendak pergi, ia telah mencari-cari kitab ini, akan tetapi ia tak terdapat olehnya. Kalau saja ia dapat memiliki kitab itu, tentu ilmu pedangnya akan menjadi maju pesat sekali. Otaknya yang cerdik bekerja cepat dan ia lalu tersenyum ramah kepada kakaknya.

"Han-ko, terpaksa aku mengakui keunggulanmu karena kau memegang kitab itu. Baiklah aku akan kembalikan Ang coa kiam kepadamu, akan tetapi kau harus memberi pinjam kitab itu selama beberapa bulan kepadaku agar adikmu ini dapat melanjutkan pelajaran ilmu pedang."

Tiong Han menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, Tiong Kiat. Kitab ini tidak boleh kuberikan kepada siapapun juga. Lekas kau berikan pedang itu padaku."

"Berikan? Mari, terimalah!" Akan tetapi ucapan ini disambung dengan gerakan menusuk dengan pedangnya ke arah dada kakaknya! Sungguh kejam dan jahat sekali hati pemuda yang sudah tertutup oleh hawa nafsu busuk itu.

Baiknya Tiong Han sudah berlaku waspada. la kenaI baik adiknya yang cerdik dan semenjak kecil memang mempunyai banyak akal licin ini. Ia cepat mengelak, menyimpan kitabnya dan mencabut pedang Hui-liong-kiam.

"Tiong Kiat, dengan hati perih terpaksa aku harus memberi hajaran kepadamu dan mengambil kembali pedang itu dengan paksa!” katanya sambil membalas dengan serangan yang kuat.

"Ha, ha, ha ! Baik mari kita mencoba siapa yang lebih kuat diantara kita." jawab Tiong Kiat memandang rendah, oleh karena ia tahu bahwa kepandaiannya masih lebih menang dari pada kakaknya.

Akan tetapi begitu mereka bergebrak selama beberapa jurus saja terkejutlah Tiong Kiat. Ilmu pedang kakaknya ini sudah maju jauh sekali, bahkan tenaga lweekangnya lebih mantap dan berisi dari pada dulu! Ia menjadi gemas, mengertak gigi dan melakukan serangan mati-matian, menggerakkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Beberapa kali ia sengaja mengadu pedang Ang-coa-kiam untuk membabat putus pedang di tangan Tiong Han, akan tetapi biarpun bunga api berpijar menyilaukan mata, pedang Hui-Iiong kiam itu ternyata tidak rusak sedikitpun juga. Pertempuran dilanjutkan dengan amat sengitnya. Serangmenyerang terjadi, desak mendesak antara kedua saudara kembar itu. Mereka sama lincah, kuat dan sama mahir ilmu pedangnya. Hanya ada sedikit perbedaan, yakni kalau Tiong Kiat menyerang dengan mati-matian dengan nafsu merobohkan dan membunuh kalau perlu dalam usahanya untuk merampas kitab Ang coa kiam coansi, adalah Tiong Han bertempur dengan terpaksa. Hatinya tidak tega untuk melukai adiknya yang amat dicintanya ini, dan ia hanya mempertahankan diri dan serangan balasannya hanya ditujukan untuk merampas pedang!

Sesungguhnya, setelah mematangkan ilmu pedangnya dari kitab yang dibawanya, kemajuan Tiong Han luar biasa sekali dan ia telah dapat melampaui kepandaian adiknya. Banyak jurus-jurus rahasia yang menjadi bagian-bagian tersulit dari ilmu pedang Ang.coakiamsut telah dipelajarinya sedangkan Tiong Kiat belum pernah mempelajari jurus-jurus ini. Kalau Tiong Han mau menyerang mati-matian seperti adiknya, tak dapat disangsikan Iagi bahwa ia pasti akan menang. Akan tetapi keraguannya membuat ia selalu bahkan terdesak oleh Tiong Kiat!

"Engko Han yang baik," Tiong Kial berkata mengejek, "biarpun kepandaianmu sudah maju, tetap saja kau takkan dapat menangkap aku. Lebih baik kau serahkan kitab itu agar aku tidak akan berdosa melukaimu!"

"Kau buta oleh nafsu jahatmu, Tiong Kiat." Tiong Han menjawab sambil menangkis sebuah sambaran pedang adiknya. Pertempuran dilanjutkan Iebih hebat lagi, karena Tiong Kiat kini menyerang Iebih bernafsu. la merasa penasaran juga karena telah bertempur lebih dari lima puluh jurus, belum juga Tiong Han dapat dikalahkan. Padahal dulu, di dalam latihan, ia dapat mengalahkan kakaknya ini dalam waktu tiga puluh jurus saja.

Bukan main hebatnya pertempuran kakak beradik ini, dua saudara kembar ini. Gulungan sinar pedang Ang coa kiam yang berwarna merah bergulat dengan sinar pedang dari Hui liong kiam, merupakan dua ekor naga yang saling membelit. Pertempuran ini hanya disaksikan oleh bulan, angin dan pohon pohon di sekitar mereka. Seratus jurus terlewat dan Tiong Han makin terdesak saja. Tiba-tiba serangan kilat yang amat hebat dari Tiong Kiat dan yang ditangkisnya kurang cepat membuat pedang Ang - Coa kiam meleset dan melukai pundak Tiong Han ! Bajunya di bagian pundak terbabat robek, berikut sedikit daging dan kulitnya sehingga mengucurkan darah dari pundak Tiong Han !

"Serahkan kitab itu !" Tiong Kiat membentak sambil menahan serangannya. Betapapun juga, ia tidak ingin membunuh kakaknya dan timbul rasa kasihan di hatinya melihat betapa wajah kakaknya menjadi meringis menahan sakit.

"Tiong Kiat, kau terlalu!" Tiong Han menegur dan kini pemuda inilah yang mendahului maju menyerang adiknya.

Tiong Kiat menangkis dan sebentar kemudian terkejutlah dia karena gerakan pedang Tiong Han bukan main kuat dan hebatnya, penuh dengan gerakan dan gaya yang aneh dan tak dapat terduga sama sekali olehnya ! la merasa seakan-akan pedang Hui-liong-kiam berobah menjadi banyak sekali, mengelilingi dan menyerang ke arah dirinya dari segenap penjuru ! Barulah Tiong Kiat tahu bahwa kepandaian kakaknya sudah mencapai tingkat tinggi sekali ! Akan tetapi terlambat ia sadar akan kesombongannya karena sebelum ia tahu apa yang terjadi, ia merasa perih sekali pada lengan kanannya dan tahu-tahu pedangnya telah pindah ke tangan kiri Tiong Han dan Iengan bajunya telah robek berikut kulit lengannya yang mengalirkan darah lebih banyak daripada darah yang mengucur dari pundak Tiong Han.

"Aduh..." Tiong Kiat mengeluh. kemudian saking jengkel, marah dan malunya ia lalu menjatuhkan diri di atas tanah, menutupi mukanya dan menangis!

Tiong Han tidak merasa heran melihay kelakuan adiknya ini. Semenjak dulu ketika mereka masih kecil, tiap kali dia marah kepada adiknya atau memukulnya, Tiong Kiat selalu menangis seperti itu. Dan juga ia tidak merasa heran ketika mendengar adiknya meratap.

"Ayah ibu, mengapa kalian tidak membawa aku mati saja! apa artinya hidup bersama seorang kakak yang kejam terhadap adiknya sendiri?”

Memang, sikap Tiong Kiat ini benar benar lucu dan bersifat kekanak-kanakan, akan tetapi memang pemuda ini memiliki kelemahan hati yang akhirnya menjadi kebiasaan, bahkan seringkali dipergunakan sebagai siasatnya untuk mengalahkan hati kakaknya ! Kali inipun, melihat haI adiknya sedemikian rupa, biarpun Tiong Han maklum bahwa hal itu mungkin hanya siasat, hatinya tersinggung dan sambil mengalirkan air mata, ia menubruk dan memeluk Tiong Kiat!

"Adikku, jangan kau berduka. lni ambillah pedangku Hui.liong-kiam ! Kau sudah menyaksikan sendiri bahwa ketajaman dan keampuhannya tidak kalah oleh Ang.coa-kiam. Mana lenganmi, biar aku balut agar jangan banyak darah yang keluar !" sambil berkata demikian, Tiong Han lalu merobek pinggir Jubahnya dan membalut lengan tangan Tiong Kiat yang memandang dengan muka terharu. Alangkah baik hatinya kakaknya ini. Lukanya sendiri di pundak tidak dlperhatikan, sebaliknya malah membalut luka di tangannya.

"Han ko, bisakah kau memaafkan aku yang sudah menyakiti hatimu?" tanyanya dengan terharu, rasa haru yang timbul dari hati murninya, bukan pura-pura.

"Mengapa tidak, adikku? Semenjak dahulu aku telah memaafkanmu bahkan tadipun aku terpaksa melukaimu. Ilmu pedangmu terlampau kuat!"

"llmu pedangmu yang hebat Han-ko! Apakah serangan tadipun merupakan jurus jurus dari Ang coa kiam sut."

Tiong Han mengangguk dan melanjutkan pekerjaan membalut lengan tangan adiknya. Ia sedang menundukkan mukanya, tidak melihat betapa kini sinar mata Tiong Kiat telah berobah menjadi liar lagi, ditujukan dengan mata penuh nafsu ke arah baju kakaknya, seakan-akan hendak menaksir di mana kakaknya menyembunyikan kitab ilmu pedang yang amat diinginkannya itu.

"Han-ko, terima kasih atas pemberianmu pedang Hui liong-kiam ini. Biarlah kau bawa kembali pedang Ang-coa-kiam yang sial itu !"

Tiong Han tersenyum. "Adikku, jangan kau kira bahwa kau boleh mempergunakan pedang hui liong kiam sesuka hatimu. Ketahuilah bahwa pedang itu datang dari Heng.san, tadinya punya Lui-kong-jiu Keng Kim Tosu dan penggunaan pedang itu berada di bawab pengurusannya dan juga pengawasan Pat-jiu Toanio Li bi Hong ! hati-hatilah dan jangan kau bertindak nyeleweng, karena kalau sampai mereka tahu bahwa pedang ini dipergunakan untuk kejahatan, mereka tentu akan turun tangan kepadamu !"

"Aduh......!" Tiong Kiat mengeluh dan Tiong Han cepat memegang tangan kanan yang terluka itu. "Sakitkah? terlalu eratkah aku membalutnya?" la memeriksa lengan yang telah dibalutnya itu, sambil mendekatkan mukanya.

Tiba-tiba sekali diluar persangkaannya, tangan kiri Tiong Kiat bergerak dan menotok dengan cepat sekali jalan darah pada punggungnya! Tiong Han tak dapat mengeluarkan suara lagi dan roboh terguling dalam keadaan lemas tak berdaya menggerakkan seluruh tubuhnya! Hanya matanya saja memandang ke arah adiknya dengan mata menyesal sekali.

"Engko Tiong Han, terpaksa aku merobohkanmu, karena ketahuilah, aku ingin sekali mendapatkan kitab ilmu pedang Ang.coa kiamsut itu ! Bukan untuk memilikinya dan

mempergunakan pengaruhnya, akan tetapi untuk mempelajari ilmu pedang itu lebih sempurna lagi ! Pedang Ang coa.kiam kutinggalkan kepadamu, biarlah aku merasa puas dengan Hui Iiong kiam ini saja. Akan tetapi kitab Ang coa kiamsut kubawa !" ia lalu mengulurkan tangan menggeledah, akhirnya ia mendapatkan kitab itu di saku baju Tiong Han. Dengan girang ia membalik - balik lembaran kitab itu, lalu menyimpannya di dalam saku bajunya.

"Han-ko. aku masih mengingat budi dan ikatan persaudaraan maka aku takkan membunuhmu. Jangan kau persalahkan adikmu yang hanya ingin memperdalam ilmu kepandaiannya. Pedang Hui-liong-kiam kubawa berikut kitab ini. Besok siang kau akan sehat kembali dan pulanglah ke Liong-san mengembalikan pedang Ang coa-kiam kepada suhu! Nah, selamat tinggal saudaraku yang budiman !"

Tiong Kiat memondong tubuh Tiong Han yang lemas itu dan meletakkannya di bawah sebatang pohon besar. Pedang Ang-coa-kiam ia masukkan ke dalam sarung pedang Tiong Han yang masih tergantung di pinggang. Kemudian ia berdiri dan memandang kepada kakaknya.

Kasihan juga hatinya melihat betapa kakaknya rebah terlentang tak berdaya. Darah merah mengalir pada pundaknya. Akan tetapi ia teringat bahwa kini kepandaian kakaknya sudag lebih tinggi dari padanya. Kalau kakaknya pulih kembali dari pengaruh totokannya dan ia masih berada di situ, tentu ia akan kalah lagi dan terpaksa mengembalikan kitab itu. Maka ia lalu berlari pergi dari tempat itu.

Dewa penjaga gunung Ta.pie san agaknya marah menyaksikan kejahatan adik terhadap kakaknya ini. Bulan yang tadinya bersinar terang tiba-tiba berubah mendung tebal. Tiong Kiat menjadi bingung karena sukar sekali untuk menuruni bukit-bukit yang banyak jurangjurangnya di dalam gelap. Dan tak lama kemudian saat ia maju perlahan mencari jalan, hujan turunlah dengan lebatnya bagaikan dituangkan dari atas!

'Jahanam benar!" Tiong Kiat menyumpah-nyumpah dan terpaksa mencari tempat perlindungan di bawah sebatang pohon yang besar. la memperhitungkan bahwa totokannya yang tepat mengenai jalan darah sui-mo-hiat di punggung Tiong Han, akan membuat tubuh kakaknya menjadi lemas sampai sedikitnya besok siang baru bisa lenyap. Sementara ini, ia merasa aman. Besok pagi-pagi terang tanah, ia dapat turun gunung dan sebelum kakaknya sadar ia telah berada di tempat jauh !

Akan tetapi semalam itu ia tidak dapat beristirahat. Pertama-tama karena hujan yang turun telah membuat tubuhnya menjadi basah kuyup, terutama sekali lengannya yang terluka itu biarpun telah dibalut, kini air telah merayap masuk dan membuat lukanya terasa perih dan sakit sekali. Kembali ia mengumpat caci kepada hujan, kepada bulan, kepada malam gelap. Tiba tiba ia teringat dan wajahnya menjadi pucat! Kakaknya rebah terlentang di bawah pohon itu dan tentu terserang oleh hujan lebat pula. Dan kakaknya berada dalam keadaan terluka dan tidak dapat bergerak sama sekali! Ah, bagaimana kalau kakaknya itu sampai tewas? Hujan dan hawa dingin menyerangnya. Luka itu masih terus mengalirkan darah ! Berdebar jantung Tiong Kiat. Kalau kakaknya tewas, maka berarti dialah yang membunuhnya! Tidak, tidak ! la tidak mau menjadi pembunuh kakaknya !

Sambil mengerang Tiong Kiat lalu bangkit berdiri hendak kembali ke tempat di mana Tiong Han rebah tadi. Hendak dijaga dan dirawatnya Tiong Han sampai besok pagi, agar kakaknya

itu tidak ditinggalkan dalam keadaan terancam bahaya maut. Akan tetapi terpaksa ia harus membatalkan kehendak hatinya itu. Tak mungkin kembali ke tempat tadi dalam malam gelap dan hujan Iebat ini. la tidak tahu Iagi ke mana harus mencari jalan. Akhirnya dengan hati khawatir sekali ia menjatuhkan diri, duduk kembali di bawah pohon.

Hujan turun terus sampai keesokan harinya, pagi pagi baru reda. Tiong Kiat tidak jadi turun gunung dan kembali ke tempat kemarin malam untuk menengok kakaknya. Hatinya gelisah sekali. Berdebar jantungnya penuh kengerian kalau ia membayangkan betapa Tiong Han akan didapatinya di bawah pohon dalam keadaan kaku tak bernyawa lagi ! Ia mempercepat tindakan kakinya.

Akan tetapi ia menjadi melongo keheranan ketika tiba di tempat itu, ternyata ia tidak melihat Tiong Han Iagi ! Mungkinkah ini? Mungkinkah Tiong Han dapat melepaskan diri dari pada totokannya ? Tidak bisa jadi! Dengan hati gelisah Tiong Kiat memandang ke kanan kiri, lalu berjalan masuk ke dalam hutan di dekat tempat itu dengan hati-hati. Kalau kakaknya muncul, ia akan melarikan diri.

Tiba tiba ia mendengar suara wanita menangis, diiringi oleh kata-kata pedas seperti orang memaki maki. Ia mempercepat tindakan kakinya menuju goa batu karang darimana suara itu terdengar. la cepat bersembunyi di balik pohon ketika melihat seorang wanita muda keluar dari goa itu sambil menyeret tubuh seorang laki laki.

Alangkah kagetnya ketika melihat bahwa tubuh yang diseret itu bukan lain adalah tubuh Tiong Han yang masih lemas! Dan yang menyeret itu ia kenal sebagai gadis cantik jelita yang dulu telah ditolong dan kemudian diganggunya di dalam hutan !

Memang gadis ini bukan lain adalah Suma Eng atau Eng Eng ! Sebagai mana telah dituturkan di bagian depan, Eng Eng telah bertemu dengan Tiong Han dan mengira bahwa pemuda ini adalah yang telah mengganggunya sehingga gadis ini menyerang Tiong Han dengan hebat. Kemudian Tiong Han melarikan diri dan Eng Eng selalu berusaha mencari pemuda ini. la mencari keterangan dan mengikuti ke mana juga jejak pemuda ini nampak. Sampai berbulan-bulan ia tidak berhasil bertemu dengan Tiong Han. Akhirnya ia mendengar bahwa pemuda yang dicarinya itu berada di puncak gunung Ta-pie-san, maka tanpa membuang waktu lagi ia lalu mengejar ke atas dan pada senja hari itu ia tiba di lereng bukit Ta pie san.

Akan tetapi, malam hari itu ia tidak dapat mencari Tiong Han karena hujan turun dengan derasnya. Betapapun juga, gadis yang keras hati ini terus merayap naik dan akhirnya di dalam hujan lebat, ia melihat tubuh seorang laki-laki menggeletak telentang di bawah pohon. Ia tidak mengira bahwa itu adalah tubuh pemuda yang dicarinya, karena malam gelap dan hanya diterangi oleh berkelebatnya sinar kilat. Timbul perasaan kasihan di dalam hatinya dan dipondongnya tubuh pemuda yang tak berdaya itu ke sebuah gua di dalam hutan. Ia melihat betapa pundak pemuda itu terluka, maka ia segera membalutnya dengan baik-baik. Ketika ia melihat pedang tergantung di pinggang Tiong Han, diam diam ia memuji pedang bagus itu.

Pada keesokan harinya, ketika malam gelap telah pergi dan ada penerangan masuk ke dalam goa, ia memandang pemuda itu dan alangkah terkejutnya ia bahwa pemuda yang ditolong itu

bukan lain adalah Tiong Han, pemuda yang selama ini dicari-carinya! "Jahanam terkutuk! Kiranya kau ini!"

Tiong Han mengalami penderitaan yang luar biasa. Ketika tadi ia ditinggalkan oleh Tiong Kiat, tubuhnya lemas tak berdaya dan luka di pundaknya mengeluarkan banyak darah. Ketika hujan turun menimpanya ia berusaha untuk mempertahankan diri, akan tetapi hawa dingin dan rasa sakit, pada pundaknya membuatnya jatuh pingsan. Ia tidak tahu bahwa dia telah ditolong oleh Eng Eng. Kini ia telah siuman dan pengaruh totokan itu sudah makin lemah sehingga ia dapat bicara dan menggerakkan sedikit tangan kakinya. akan tetapi masih belum mampu bangun. Iapun terkejut sekali ketika melihat Suma Eng yabg dikenalnya.

'Nona Suma Eng kaukah yang menolongku? Terima kasih..."

'Bangsat besar ! Sim Tiong Han ... baru sekarang aku dapat bertemu dengan kau ! Dosamu telah terlampau besar dan agaknya Thian sudah memberi kesempatan kepadaku untuk mencincang hancur kepalamu!" Gadis itu tertawa bergelak. akan tetapi suara ketawanya disusul oleh tangis yang mengharukan. "Aku akan membunuhmu... aku akan menghancurkan kepalamu! Tidak, tidak, aku akan menyiksamu, akan membiarkan tubuhmu diterkam dan dipakai berebutan binatang-binatang hutan. Biar burung-burung hantu menarik keluar matamu, biar srigala-srigala hutan mencabik-cabik dagingmu !”

Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu menjambak rambut Tiong Han dan diseretnya pemuda itu keluar dari goa, Tiong Han merasa ngeri sekali. la merasa yakin bahwa gadis ini tentulah seorang gadis liar dan gila! Akan tetapi apakah dayanya? la masih setengah berada dalam pengaruh totokan Tiong Kiat dan tak mungkin baginya untuk menggerakkan tubuh melakukan perlawanan!

Dan pada saat Eng Eng menyeret tubuh Tiong Han sambil menjambak rambutnya ini, menariknya keluar goa, datanglah Tiong Kiat yang segera bersembunyi di balik pohon. Pemuda ini mcmandang dengan mata terbelalak dan menahan nafas. Wajahnya berobah pucat sekali.

Setelah Eng Eng berada di luar goa, di dalam keadaan yang sangat terang itu ia memandang ke arah wajah Tiong Han. Diam-diam ia mendongkol sekali ketika melihat wajah yang tampan itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Ia begitu benci kepada pemuda yang merusak hidupnya ini dan sebelum membunuhnya ingin sekali menyiksanya dengan rasa takut. Akan tetapi pemuda ini hanya memandangnya dengan heran dan mulutnya bahkan tersenyum. Ia melihat betapa Tiong Han menarik napas maka ia melepaskan jambakannya dan berkata.

"Ha, kau menarik napas ! Baru sekarang kau merasa menyesal atas perbuatan dahulu bukan ? Sungguh matamu buta. kau berani mati sekali telah berbuat tidak patut terhadapku. Tak tahukah kau siapa aku ? Manusia terkutuk, aku Suma Eng tak boleh dihina begitu saja. Aku telah bersumpah sebelum dapat mencarimu dan membalas dendam, aku takkan berhenti berusaha ! Aku tidak mau mati dulu sebelum dapat menghancurkan mukamu! Dan sekarang kau telah berada di dalam tanganku!” Kembali gadis itu tertawa kemudian disusul oleh tangisnya yang memilukan.

"Nona Suma, aku tidak menyesali perbuatanku yang sudah-sudah, karena sepanjang ingatanku, aku tak pernah berbuat dosa terhadapmu ataupun terhadap siapapun juga. Aku Sim Tiong Han adalah seorang laki laki sejati, mana mungkin aku mengganggu seorang wanita. Aku kasihan melihatmu, nona."

Eng Eng menengok dan memandang dengan mata terbelalak. "Kasihan?*

"Aku kasihan melihat kau, seorang gadis muda yang agaknya menjadi murid orang pandai, ternyata menderita sakit. Entah kejadian atau malapetaka apa yang telah menimpa dirimu dan yang telah membuat pikiranmu tidak waras lagi."

"Kaukira aku gila? Bangsat terkutuk, jahanam keparat, kubunuh kau!" Eng Eng menghunus pedangnya yang bersinar merah dan diangkatnya pedang itu ke atas.

Tiong Han memandangnya dengan senyum, "Nona Suma Eng semenjak kita bertemu didalam hutan di dalam keadaan yang aneh dulu itu dan kemudian kau menyerangku tanpa alasan, aku tak pernah melupakan kau. Sikapmu yang aneh itu benar-benar membingungkan aku. Kita belum pernah bertemu, akan tetapi kau tiba-tiba saja memusuhi dan hendak membunuhku. Ah, sungguh di dunia ini banyak terjadi hal yang aneh”

"Ha, kau takut mati?*

"Tidak ada orang yang takut mati atau takut hidup, karena hidup dan mati tidak berada di tangan manusia. Mati di dalam tangan seorang seperti kau bukan hal yang terlalu buruk," la tersenyum. 'Hanya sayangnya aku selalu akan merasa penasaran karena belum tahu apa sebabnya nona Suma Eng yang pandai dan cantik begitu membenci Sim Tiong Han yang rendah."

Tiba-tiba sinar mata Eng Eng mengeras ketika ia menatap wajah pemuda itu penuh selidik. "Kau masih berpura-pura ataukah aku yang mimpi? Orang she Sim, kau dulu bertemu dengan aku di dalam hutan, bukan ?"

"Betul, kau berada dalam keadaan pingsan dan kehujanan."

"Kau lalu membawaku ke kuil tua bukan?"

Tiong Han menggeleng kepalanya. "Tidak, aku hanya menyelimuti tubuhmu dengan mantelku, agar jangan terserang air hujan. Aku tidak tahu adanya kuil di tempat itu, kalau tahu tentu kau akan kubawa ke sana agar terhindar dari serangan hujan lebat. Aku hanya

menyelimutimu dan ketika kau siuman, tiba-tiba kau menyerang dan melukai pundakku,"

"Bohong !" tiba-tiba Eng Eng menampar dan "plak!" pipi Tiong Han terkena tamparan keras sehingga pemuda yang masih lemas ini tak dapat menahan. Darah segar mengalir keluar dari bibirnya.

"Manusia pengecut! Kau telah berani melanggar dosa, berani berbuat akan tetapi tidak berani mengaku. Laki laki macam apakah kau ini? Kau telah membawaku ke kuil ketika aku sedang pingsan dan kau..... kau telah berbuat hina kepadaku! Karena itu aku harus menghancurkan kepalamu sebelum aku menghabiskan nyawaku sendiri!"

"Nona, tidak salahkah kau? Apakah orang terkutuk itu orang lain?"

“Bangsat! Kaukira aku dapat melupakan muka orang?" ia menatap dengan tajam dan merasa yakin bahwa pemuda yang dulu menghinanya adalah orang inilah!

Tiba-tiba Tiong Han teringat kepada Tiong Kiat dan ia menghela napas dengan hati perih! "Ah. Mungkinkah…..? Ya Tuhan mengapa kau tersesat sedemikian jauhnya...?"

"Apa maksudmu? Siapa tersesat?” Eng Eng bertanya.

"Sudahlah, nona. Kalau kau mengira bahwa orang yang berbuat tidak patut terhadapmu itu adalah aku, maka bunuhlah aku ! Aku takkan menyangkal lagi dan memang barangkali akulah orang itu!"

"Kau mengaku?"

“Ya, boleh, kau sebutkan aku mengaku. Boleh bunuh saja dan habis perkara!"

Tiba-tiba Eng Eng menangis sedih. Entah mengapa, setelah melihat wajah dan sikap Tiong Han, rasa bencinya lenyap secara aneh. Kalau tadi ketika Tiong Han tidak mau mengaku, ia menjadi penasaran dan marah, adalah sekarang setelah pemuda itu mengaku, ia sendiri merasa ragu-ragu! Sungguh aneh, tadi ketika Tiong Han menyangkal dan membuatnya merasa yakin bahwa pemuda inilah orangnya yang berdosa, ia tidak melihat perbedaan sedikitpun dan wajah pemuda yang mengganggunya dengan wajah pemuda dihadapannya ini. Akan tetapi sekarang timbullah keraguan besar. Tak mungkin pemuda yang bersikap halus, sabar dan gagah ini melakukan perbuatan sedemikian rendahnya! Dan kini ada sesuatu yang membisikinya bahwa bukan inilah orangnya yang berdosa! Ada satu titik perbedaan antara orang di kuil itu dengan pemuda ini, akan tetapi Eng Eng tidak tahu dan tidak ingat lagi apakah perbedaan itu. Akan tetapi pemuda ini telah mengaku dan harus dibunuh untuk membalas dendam hatinya. Kemudian dia akan membunuh diri sendiri, karena untuk apa hidup lebih lama lagi menanggung derita batin yang hebat? la akan selalu merasa dirinya

kotor dan tidak berharga lagi!

Tiba-tiba Eng Eng menangis terisak-isak, menutupi mukanya dengan kedua tangannya, sehingga Tiong Han merasa heran sekali.

"Nona Suma Eng mengapa menangis? Kau telah menganggapku orang yang berdosa telah mencelakakan hidupnya. Nah bunuhlah, aku takkan merasa penasaran mati di tanganmu setelah aku ketahui apa sebabnya kau hendak membunuhku."

"Kau .... kau bohong! Bersumpahlah bahwa kau bukan yang melakukan hal itu dan aku akan melepaskanmu!"

Tertegun Tiong Han mendengar ini. Tentu saja ia ingin bersumpah untuk menyatakan kebersihan dirinya akan tetapi ia teringat kepada Tiong Kiat! Ia tahu bahwa gadis ini tentu telah diganggu oleh Tiong Kiat dan hatinya hancur memikirkan kejahatan dan kesesatan adiknya itu. Kalau ia bersumpah, tentu gadis ini akan mencari Tiong Kiat dan dia sendiri pun tidak akan dapat memaafkan Tiong Kiat untuk perbuatannya yang biadab itu.

la menggeleng kepala. "Tidak, nona. Aku tidak dapat bersumpah,"

Tiba-tiba Eng Eng menjadi marah lagi. "Begitu ? Hm, kau seorang pengecut! Tadi kau menyangkal bahwa kau yang melakukan perbuatan itu, sekarang kau bahkan tidak berani berkata terus terang ! Kau…kau menyebalkan hatiku !” Kembali Eng Eng menampar dan untuk kedua kalinya bibir Tiong Han berdarah ! Pipi pemuda yang telah ditampar dua kali oleh tangan Eng Eng yang mengandung tenaga hebat itu telah menjadi bengkak.

"Bunuhlah saja, nona….”

"Tentu saja kubunuh kau laki laki pengecut!" Diangkatnya pedang di tangannya dengan maksud untuk memenggal leher Tiong Han.

Akan itu. batu maka

tetapi pada saat itu sebutir batu melayang cepat dan tepat menangkis pedangnya "Trang !* Eng Eng terkejut sekali dan cepat melompat ke arah pohon besar dari mana tadi melayang. Ia melihat berkelebatnya bayangan orang melompat pergi dari situ, cepat ia berlari menyusul.

Ternyata bahwa Tiong Kiat yang menyambit dan menangkis bacokan pedang Eng Eng tadi. Betapapun juga Tiong Kiat merasa terharu sekali melihat dan mendengar betapa Tiong Han membela dan melindungi namanya ! Alangkah mulianya hati kakaknya itu. Kakaknya telah dikhianati, telah ditotok dan dilukai, bahkan telah dicurinya pula kitab yang dibawa oleh kakaknya. Dan sekarang, kakaknya masih berusaha melindunginya dari nama busuk.

Bagaimana ia dapat membiarkan kakaknya terbunuh oleh gadis liar ini ? Melihat Eng Eng mengangkat pedangnya, cepat Tiong Kiat lalu menggunakan kepandaiannya, menyambit dengan batu untuk menangkis pedang itu. Ia telah mempergunakan sepenuh tenaganya, dan percaya bahwa pedang di tangan nona itu tentu akan terpukul jatuh dan terlepas. Siapa kira pedang itu tidak terlepas bahkan batu yang dipergunakan untuk menyambit itu ketika beradu dengan pedang telah terpentaI jauh !

Ketika Eng Eng melompat mengejar, lebih kaget lagi hati Tiong Kiat karena sebentar saja gadis itu sudah hampir dapat mengejarnya ! Tak jauh dari tempat tadi, terpaksa ia berhenti dan dengan pedang Hui-Iiong kiam di tangan, ia menanti kedatangan Eng Eng. Setelah gadis itu tiba di hadapannya, ia terpesona oleh kecantikan yang murni dari gadis ini. Hatinya berdebar. Alangkah jelitanya gadis ini, dan alangkah gagahnya. Untuk kedua kalinya, Tiong Kiat merasa betapa hatinya berdenyut aneh. Pandangan matanya melembut dan senyumnya menjadi mesra sekali.

Di lain fihak, ketika Eng Eng menghadapi pemuda ini wajahnya berubah pucat sekali. la merasa seakan-akan berada di dalam mimpi, atau seakan-akan melihat seorang iblis di siang hari. Tak terasa pula ia menengok ke belakang ke arah tempat tadi. Dari jauh ia masih melihat Tiong Han rebah miring di atas rumput.

Apakah pandangan matanya sudah menjadi rusak? Mengapa ada dua orang yang demikian sama dan serupa segala-galanya?

"Siapa kau? Mengakulah, siapa kau?" tanyanya dengan bibir gemetar.

'Nona sudah Iupa lagikah kau kepadaku ? Kita pernah saling bertemu."

"Di kuil..„...?"

Tiong Kiat mengangguk. “Ya, di kuil……”

Eng Eng merasa kepalanya pening. Bumi yang dipijaknya serasa berputaran dan ia terhuyung-huyung ......

Tiong Kiat melompat mendekat dan hendak memeluknya, akan tetapi Eng Eng mengelak dan berkata,"Jangan sentuh aku !”

'Nona, aku........ aku cinta kepadamu. Maafkanlah aku, aku ... aku menyesal sekali telah melukai hatimu. Ikutlah aku, jadilah istriku dan kuperlihatkan padamu bahwa aku akan menjadi suami yang baik untuk menebus dosaku ..."

"Terkutuk! Jadi kaulah orangnya?" sambil menjerit nyaring Eng Eng lalu menyerang dengan pedang merahnya. Tiong Kiat cepat mengelak dan melompat mundur.

"Nona, pikirlah baik-baik. Hal itu telah terjadi. Kau adalah istriku, dan aku takkan menyia-nyiakanmu, aku akan mengawinimu, kita menjadi suami istri yang bahagia. Pikirlah."

Dengan muka merah dan mata bercahaya bagaikan berapi-api, Eng Eng memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian. Sungguhpun bentuk tubuh wajahnya serupa benar dengan Tiong Han, namun kini ia melihat perbedaannya. Tahi lalat kecil di atas dagu pemuda ini ! Ya, benar, inilah orangnya. la masih teringat akan wajah pemuda ini, dan tahi lalat itu! Inilah titik yang tadi meragukan hatinya ketika Tiong Han mengaku sebagai seorang yang berdosa. Inilah orangnya! Dan sinar mata penuh gairah serta bibir yang tersenyum memikat ini, ah, alangkah besar perbedaannya dengan Tiong Han.

"Keparat jahanam ! Aku sudah bersumpah akan menghancurkan kepalamu!" la menyerang lagi dengan hebatnya.

Terkejut juga hati Tiong Kiat ketika melihat datangnya serangan ini. Ia cepat memutar Hui liong kiamnya dengan sekuat tenaga, berusaha memukul pedang gadis itu agar terlepas dari pegangan. Akan tetapi alangkah herannya ketika pedang itu tidak rusak atau terlepas. Bahkan ketika Eng Eng menyerang lagi dengan penuh kebencian, pedang di tangan gadis itu berobah menjadi segulung sinar merah yang dahsyat sekali ! Hampir sama dengan pedang Ang coa kiam. Bukan! Apalagi setelah ia menghadapi gadis ini beberapa jurus, makin gelisah hatinya. Ilmu pedang gadis ini benar-benar kukoai (ganjil), gerakannya demikian kacau balau dan setiap Jurus yang agaknya ia merasa seperti mengenalnya, ternyata perkembangannya jauh berbeda dengan gerak atau jurus yang lajim. Gerakan gadis ini seakan-akan menjadi kebalikan dari pada ilmu pedang biasa. Namun kelihaiannya bahkan lebih dari ilmu pedang biasa. Nampak kacau balau, namun di dalam kekacauan itu tersembunyi daya serang dan kekuatan yang membingungkannya.

Terpaksa Tiong Kiat lalu mengeluarkan kepandaiannya dan ia melawan dengan penuh perhatian dan hati-hati sekali. la makin kagum dan rasa sayangnya makin tebal. Gadis ini jauh lebih cantik dari pada Kui Hwa, dan jauh lebih tinggi kepandaiannya. Bahkan, ilmu pedang gadis ini belum tentu berada di bawah tingkat kepandaiannya sendiri. Aduh, alangkah bahagianya kalau ia bisa menjadi suami gadis yang cantik dan gagah perkasa ini.

"Nona...... tahan dulu, nona! Biarkan aku bicara sebentar.."

"Anjing hina dina, kau masih mau bicara apa lagi?” berkata Eng Eng dengan marah, akan tetapi ia menahan pedangnya juga karena ia ingin sekali mendengar bicara pemuda yang menghancurkan kehidupannya ini.

'Nona, tidak bisakah kau memaafkan aku? Aku cinta kepadamu dan biarpun aku telah

dikuasai oleh nafsu sehingga berlaku salah kepadamu, akan tetapi aku bersumpah bahwa aku menyesal sekali, dan berilah kesempatan kepadaku untuk menebus dosaku. Aku akan memberi kebahagiaan kepadamu, biarlah aku berlaku seperti pelayanmu, biarlah aku melindungimu sampai di hari tua. Nona …"

"Tutup mulut dan mampuslah!” Eng Eng menjerit makin marah dan kini dua titik air mata berloncat keluar dari pelupuk matanya. Ia menyerang dengan sepenuh semangatnya, mengerahkan kepandaian dan tenaganya sehingga Tiong Kiat menjadi sibuk sekali. Pemuda ini maklum bahwa tanpa membalas, ia akan celaka. Maka kini, ia merubah gerakan pedangnya dan membalas serangan gadis itu. Terjadilah pertandingan yang luar biasa sekali serunya.

Akan tetapi, ilmu pedang gadis itu terlalu ganas dan kuat bagi Tiong Kiat. Kalau saja ia tidak sedang bingung dan tidak telah terluka lengannya oleh pedang Tiong Han kemarin, mungkin ia akan dapat bertahan sampai puluhan atau sampai seratus jurus. Akan tetapi kini ia hanya dapat bersilat sambil mundur, terus terdesak hebat oleh gadis yang ganas sekali gerakan pedangnya itu.

'Akan kubeset kulitmu, kukeluarkan isi dadamu!" berkali-kali Eng Eng berseru sambil memperhebat serangannya.

Akhirnya Tiong Kiat tidak tahan lagi menghadapi Eng Eng. Dengan seluruh tenaga yang masih ada, ketika pedang merah di tangan Eng Eng meluncur dan menusuk ke arah ulu hatinya, ia lalu menyampok pedang ini dengan pedangnya. Tenaga sampokannya keras sekali dan biarpun pedang di tangan Eng Eng tidak terlepas namun terpental sehingga gadis ini mengeluarkan seruan kaget dan melompat mundur untuk menghindarkan diri dari serangan balasan yang mendadak.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Tiong Kiat. Ia cepat melompat jauh dan berlari pergi dari situ!

"Jahanam busuk, kau hendak lari kemana ?" Eng Eng cepat mengejar,

Tiong Kiat tidak berani melawan lagi. Biarpun ia sanggup menjaga diri dan menahan serangan gadis ini, akan tetapi ia merasa gelisah kalau teringat kepada Tiong Han. Tak lama lagi Tiong Han akan bebas dari totokan dan kalau kakaknya itu turun tangan, celakalah dia!

Dengan secepatnya ia melarikan diri, Rasa takut membuat larinya Iebih cepat dari pada biasanya. Namun Eng Eng juga memiliki ginkang serta ilmu lari cepat yang tinggi tingkatnya sehingga gadis ini merupakan bayangan yang tak pernah tertinggal jauh oleh Tiong Kiat !

Ketika tiba di sebuah hutan kecil, Eng Eng kehilangan bayangan pemuda itu dan ia terus

mengejar turun. Padahal pemuda itu bersembunyi di dalam serumpun alang-alang lebat. Melihat gadis itu sudah melewatinya, Tiong Kiat cepat keluar dan berlari mengambil jalan ke arah lain.

Bukan main panas dan penasaran rasa hati Eng Eng ketika ia tidak dapat mencari Tiong Kiat. Pemuda itu telah lenyap bagaikan ditelan bumi. Kecewa sekali hatinya. Ia hendak melanjutkan pengejarannya, akan tetapi ia lalu teringat kepada Tiong Han, maka ia lalu kembali naik ke atas bukit itu.

Ketika ia tiba di tempat itu, ia mendapatkan Tiong Han sudah bangun dan duduk di bawah pohon. Pemuda ini sedang membersihkan pipi dan bibirnya yang berdarah karena tamparantamparan Eng Eng tadi. Biarpun nampaknya masih lemas dan agak pucat namun kesehatannya sudah pulih kembali. Totokan itu telah dapat dilepaskannya sebelum waktunya dengan pengerahan tenaga dalamnya.

Bukan main malu dan terharu hati Eng Eng ketika ia melihat pemuda ini. Melihat betapa pipi pemuda itu menjadi bengkak dan kemerahan bekas tamparannya, hampir saja ia tidak dapat menahan air matanya. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan menghampiri Tiong Han yang telah berdiri dan memandangnya dengan tenang.

"Aku ........ aku telah berlaku salah… harap kau suka maafkan padaku," kata Eng Eng dengan suara gagap juga.

“Tidak apa nona Suma. Sudah sewajarnya kau sebenci itu kepadaku. Bahkan sekarang juga aku masih bersedia untuk menerima, biar akan kau bunuh juga."

"Akan tetapi mengapa ?? Mengapa kau melindungi orang itu? Siapakah dia?"

Tiong Han menarik napas panjang. Setelah gadis ini bertemu sendiri dengan Tiong Kiat, ia tidak dapat menyembunyikannya lebih lama lagi.

"Dia adalah adik kembarku, Sim Tiong Kiat.”

"Akan tetapi, dia yang berbuat dosa, mengapa kau yang mengakuinya dan membiarkan aku melakukan kesalahan kepadamu?" Eng Eng berkata penuh penasaran.

Tiong Han mencoba tersenyum. "Lupakah kau nona, bahwa tadinya aku telah menyangkal akan tetapi kau tidak percaya kepadaku? Setelah aku menduga bahwa perbuatan keji itu tentu dilakukan oleh Tiong Kiat, sudah sepatutnya kalau aku yang menerima hukumannya. Aku rela mati untuknya, aku adalah kakaknya dan juga pengganti orang tuanya. Kami berdua telah menjadi yatim piatu semenjak kecil, hidupnya hanya bersandar kepadaku dan kalau ia menjadi tersesat, tanggung jawabku pulalah itu." Entah mengapa, pemuda ini

menceritakan segala hal kepada Eng Eng dan akhirnya ia menjadi demikian berduka memikirkan Tiong Kiat sehingga ia hanya menundukkan mukanya.

"Kau lemah, kau terlalu baik hati." Eng Eng mencela. "Manusia macam adikmu itu harus dibasmi dari muka bumi! Aku akan mencarinya sampai dapat, biar berlari ke neraka akan kukejar!" Sambil berkata demikian, Eng Eng lalu membalikkan tubuh dan hendak lari dari situ.

"Nanti dulu nona…" Tiong Han menahan dan terkejutlah Eng Eng ketika melihat betapa dengan sekali lompatan saja pemuda ini telah berada di hadapannya! Ah, kepandaiannya hebat juga pikirnya.

"Kuharap kau jangan pergi mencari Tiong Kiat,* katanya.

Marahlah Eng Eng dan dicabutnya pedangnya, mengeluarkan sinar kemerahan. "Apa? Kau masih juga hendak membela adikmu yang durhaka dan jahat itu? Sim Tiong Han, kalau kau masih mabok dalam kelemahan hati dan kasih sayang terhadap adik secara membuta boleh kau merasai pedangku ! Tak perduli siapa yang hendak membela si pendurhaka Tiong Kiat dia adalah musuhku!'

"Nona kaukira aku seorang yang demikian jahat? Adik kandungku telah berbuat dosa besar terhadapmu, apakah aku bahkan hendak menambag dosa itu dengan memusuhimu? Tidak, nona Suma Eng, tidak. Biarpun kau hendak membunuhku, aku takkan melawan. Dosa adikku adalah dosaku juga karena akulah yang mendidiknya semenjak kecil. Aku mencegahmu mengejar Tiong Klat, hanya karena…. aku kuatir kalau kalau kau malah akan menjadi korban di ujung pedangnya. Ketahuilah bahwa dia telah merampas kitab ilmu pedang Ang coa-kiamsut dan apabila ia telah dapat menamatkan pelajarannya dalam ilmu pedang itu, sukar bagimu untuk dapat mengalahkannya !"

"Sombong! Siapa takut menghadapi Ang-Coa kiamsut palsu? Mau tahu Ang coa-kiam? Inilah pedang ular merah yang asli!” Ia memperlihatkan pedangnya. "Mau tahu ilmu pedang Ang coa kiamsut yang sesungguhnya ? Lawanlah ilmu pedangku, karena hanya ilmu pedangku saja yang disebut Ang-coa-kiamsut!”

Tiong Han tertegun mendengar ini dan ia memandang ke arah pedang ini dengan penuh perhatian. "Pokiam (pedang pusaka) yang baik sekali, akan tetapi bukan Ang-coa kiam, nona. Inilah Ang coa-kiam yang menjadi pedang pusaka dari Kim liong pai, peninggalan dari sucouw Bu Beng Sianjin!” Ia mencabut pedangnya dan memperlihatkannya kepada Eng Eng juga. Kini gadis itu yang memandang dengan penasaran. Lalu ia tersenyum menghina. "Hm, pedang buruk seperti ular itu kau sebut Ang.coa kiam? Dan kau mau bilang bahwa kau juga ahliwaris dari ilmu pedang Ang coa kiamsut?”

"Memang betul, nona. Aku adalah murid dari Kim liong pai dan tentu saja ilmu pedangku adalah ilmu pedang Ang-Coa-kiam-sut!"

"Hm, marilah kita sama membuktikan mana pedang Ang coa-kiam tulen dan mana Ang coa kiamsut asli!” bentak nona itu yang sudah menjadi marah dan ia menyerang dengan hebatnya.

Juga Tiong Han merasa penasaran sekali. Dalam hal urusan pribadi yang menyangkut persoalan Tiong Kiat, ia memang mau mengalah dan juga ia merasa amat kasihan kepada gadis yang menjadi korban adiknya ini, akan tetapi kalau orang menganggap pedang dan ilmu pedangnya palsu, itu sudah keterlaluan sekali. Ia hendak membuktikan bahwa pedang dan ilmu pedangnya bukan palsu, maka iapun lalu menangkis dan terjadilah pibu (mengadu kepandaian ) yang hebat dan seru sekali di tempat sunyi itu.

-0oo-dw-oo0-

Jilid 4

SEPERTI juga halnya Tiong Kiat, kini Tiong Han merasa bingung dan terkejut menghadapi ilmu pedang gadis ini yang amat aneh dan ganas luar biasa. Baiknya ia sudah mendapat kemajuan pesat dalam ilmu pedangnya dan sudah mempelajari bagian pertahanan yang kuat sekali, kalau tidak tentu ia akan termakan senjata gadis yang hebat ini.

Juga Eng Eng menjadi makin kagum. Ia dapat merasakan bahwa ilmu kepandaian pemuda ini masih lebih tinggi dari pada kepandaian Tiong Kiat dan tiba-tiba ia merasa sesuatu yang aneh terasa dalam hatinya. Pemuda ini luar biasa sekali dan amat menarik hatinya. Sopan santun, lemah lembut dan manis budi. Jujur dan berbudi mulia, setia kepada saudara dan kini ternyata ilmu kepandaiannya tinggi pula! Alangkah jauh bedanya pemuda ini dengan Tiong Kiat. Bagaikan bumi dan langit, ia melihat wajah pemuda itu demikian pucat dan darah masih nampak di bibirnya. Juga pemuda itu mendapat Iuka parah di pundaknya, maka hatinya menjadi tidak tega untuk mendesak lebih hebat.

"Sudahlah, ilmu pedangmu baik juga. Aku tidak keberatan kau namakan ilmu pedangmu itu Ang coa-kiamsut!" kata Eng Eng sambil menarik kembali pedangnya.

"Akan tetapi ilmu pedangmu juga hebat, ganas dan lihai sekali, nona!" seru Tiong Han dengan kagum dan gembira. "Aku harus menanyakan ini kepada suhu! Bolehkah aku mengetahui dari perguruan manakah nona dan siapakah suhumu yang mulia?"

"Suhuku sudah mati, namanya Hek sin-mo. Sudahlah Sim Tiong Han, kita berpisah di sini. Aku hendak mengejar adikmu yang jahat!" Setelah berkata demikian, gadis itu lalu lompat pergi dari tempat itu. Tiong Han terlampau heran dan terkejut mendengar nama Hek sin mo sehingga ia hanya berdiri bengong dan tidak mencegah gadis itu pergi. sungguhpun hatinya terasa berat sekali. Ia pernah mendengar dari suhunya tentang seorang tokoh tinggi di dunia kang-ouw yang bernama Hek sin mo dan kakek ini terkenal sebagai seorang pendekar aneh yang sakti dan juga gila ! Bahkan suhunya pernah bercerita kepadanya

bahwa sucouwnya, yakni Bu Beng Siansu, kenal baik bahkan bersahabat dengan si gila Hek sin mo itu !

Tiba - tiba ia mendengar senjata beradu dibarengi bentakan-bentakan nyaring yang dikenalnya sebagai suara Eng Eng ! Cepat Tiong Han melompat menuruni lereng dan dilihatnya Eng Eng tengah dikeroyok oleh tiga orang yang menyerangnya dengan seru sekali.

Siapakah mereka ini ? Bukan lain adalah Thian-te Sam-kui. Tiga Iblis Bumi Langit yang terkenal lihai. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ban Yang Tojin orang kedua dari tiga iblis itu, telah terbabat putus lengan kirinya oleh Eng Eng. Dan juga orang ketiga dari mereka, Ban Hwa Yong si penjahat pemetik bunga, telah bertemu dengan Tiong Han dan telah diusir dan dikalahkan ketika Ban Hwa Yong sedang mengamuk dan dikeroyok oleh rombongan piauwsu dari Gin houw piauwkiok. Ketika Ban Hwa Yong dan Ban Im Hosiang melihat saudara mereka yang putus lengannya, keduanya menjadi marah sekali. Mereka bersumpah untuk membalas dendam kepada Suma Eng gadis yang telah melukai Ban Yang Tojin dan mulailah mereka mencari gadis itu.

Akhirnya mereka mendapatkan jejak Eng Eng dan menyusulnya ke puncak gunung Ta-pie san. Kebetulan sekali ketika mereka telah tiba di lereng itu, mereka melihat Eng Eng sedang berlari turun.

"Bangsat perempuan, bagus sekali iblis sendiri telah menyerahkan kau ke dalam tangan kami !" seru Ban Yang Tojin dengan marah sekali ketika ia melihat musuh besar yang telah membuat lengannya menjadi buntung.

"Jangan bunuh dulu, jiwi suheng !" berkata Ban Hwa Yong sambil tersenyum menyengir dan memandang kagum kepada tubuh yang indah bentuknya serta wajah yang cantik manis itu. "Tangkap saja dan berikan padaku bunga ini.”

Eng Eng marah sekali melihat tiga orang ini. Ketika melihat Ban Yang Tojin ia menduga bahwa yang dua orang lagi tentulah Ban lm Hosiang dan Ban Hwa Yong. Ia memang mencaricari tiga orang Thian-te Sam-kui ini untuk membalas sakit hati keluarga Ting Kwan Ek dan orang-orang yang telah terbunuh oleh tiga iblis ini di kota Hun leng, yakni para piauwsu dari Pek-eng piauwkiok.

"Bagus Thian-te Sam kui. Tanpa dicari kalian telah datang sendiri mengantarkan kepala, Ting- twako dan istrinya telah lama menanti kalian di alam baka!” Sambil berkata demikian Eng Eng lalu menggerakkan pedangnya yang berobah menjadi scgulung sinar merah yang dahsyat sekali.

Di antara tiga orang iblis ini, hanya Ban Yang Tojin yang sudah merasakan kelihaian pedang gadis itu, maka ketika Ban Im Hosiang dan Ban Hwa Yong menyaksikan ilmu pedang ini, mereka diam-diam merasa terkejut sekali, bahkan Ban Hwa Yong tidak berani mainmain lagi. juga tidak berani memandang rendah. Segera ia mengeluarkan sepasang senjatanya yang lihai, yakni kaitan besi yang berbahaya itu. Ban Yang Tojin

mengeluarkan tombaknya yang berujung bintang, sedangkan Ban Im Hosiang juga menghunus pedangnya. Karena maklum bahwa gadis ini mempunyai ilmu kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan, maka tanpa malu-malu Iagi Thian-te Sam - kui lalu mengeroyoknya ! Untung saja bahwa pertempuran ini terjadi di atas lereng gunung yang sunyi sekali, jauh dari masyarakat ramai. Kalau pertempuran itu berlangsung di tempat ramai, Thian - te Sam - kui tentu akan merasa malu sekali. Mereka adalah tokoh - tokoh kang-ouw yang amat terkenal dan seorang di antara mereka saja jarang ada orang berani melawan, apalagi bertiga. Dan kini, menghadapi seorang gadis muda yang cantik jelita ini Thian te Samkui sampai maju bertiga mengeroyoknya!

Suma Eng atau Eng Eng sudah mewarisi ilmu kepandaian Hek sin-mo yang luar biasa maka ilmu pedangnya tinggi dan lihai sekali. Jangankan baru seorang dua orang ahli silat biasa saja, biarpun menghadapi sepuluh orang pengeroyok lebih yang memiliki kepandaian biasa,agaknya tak mungkin para pengeroyoknya dapat menangkan dia.

Akan tetapi, kali ini Eng Eng menghadapi Thian te Sam kui, Tiga Iblis Bumi Langit yang termasuk tokoh tokoh tinggi dalam pengalaman. Orang pertama dari Thian te Sam-kui yakni Ban Im Hosiang, adalah seorang hwesio tua yang memiliki ilmu pedang cukup tinggi dan kuat, lagi pula semenjak puluhan tahun kegemaran hwesio ini adalah berpibu. Tiap kali terdengar olehnya ada seorang jagoan, biarpun tempat tinggalnya jauh, selalu ia akan mendatangi jagoan itu untuk diajak mengadu kepandaian ! Dan boleh dibilang selalu ia mendapat kemenangan di dalam pibu ini. Bahkan ia pernah berani menaiki gunung Kun lun san dan Gobi-san untuk mencoba kepandaian para tokoh Kun-lun pai dan Gobi.pai ! Sungguhpun ia dikalahkan dalam pibu namun kepandaiannya cukup dikagumi oleh tokoh persilatan yang lain.

Orang kedua adalah Ban Yang Tojin yang pandai sekali mainkan senjata tombak berujung bintang. Tosu ini sudah dua kali kalah oleh Eng Eng, bahkan dua kalinya nona gagah itu telah membabat putus sebelah lengannya, maka tentu saja hatinya menjadi amat sakit dan ia menerjang nona itu dengan kebencian luar biasa dan sangat bernyala-nyala.

Orang ketiga Ban Hwa Yong, juga lihai sekali ilmu silatnya. Senjatanya yang merupakan sepasang kaitan itu amat sukar dilawan dan sukar pula dijaga.

Dengan dikeroyok oleh tiga orang lihai ini, tentu saja Eng Eng merasa terkurung rapat dan terdesak hebat, Hanya keberanian dan semangatnya yang Iuar biasa saja yang membuat gadis ini dapat mempertahankan diri dengan baik, bahkan dapat pula membalas dengan serangan serangan yang tak kalah hebatnya. llmu pedangnya dan gerakan tubuhnya sungguh membuat Ban lm Hosiang dan Ban Hwa Yong terkejut dan gentar sekali. Belum pernah selama hidupnya Ban im Hosiang menyaksikan ilmu pedang seperti ini. Padahal ia seringkali menyombongkan pengalamannya dan mengaku telah mengenal segala macam ilmu silat yang ada di dunia ini !

Ban Yang Tojin mulai merasa girang karena ia percaya penuh bahwa kepandaian mereka bertiga pasti akan berhasil membalaskan sakit hatinya terhadap gadis yang telah membuatnya menjadi cacad selamanya itu. Ia mendesak hebat sekali dengan tombaknya dan boleh dibilang, di antara mereka bertiga, serangan tosu ini yang paling sengit.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan keras.

"Ban Hwa Yong penjahat cabul, kau berada di sini ? Hm, tentu kalian bertiga ini yang disebut orang Thian-te Sam-kui !' Berbareng dengan seruan itu, kembali berkelebat gulungan sinar merah dari pedang seorang pemuda.

Kini dua gulungan sinar pedang merah itu menahan serangan Thian te Sam kui !

Begitu melihat berkelebatnya sinar merah dari pedang Tiong Han dan setelah melihat tipu gerakan ilmu pedang Tiong Han, Ban Im Hosiang lalu berseru keras.

"Tahan dulu ! Yang baru datang bukankah murid dari Kim Iiong pai dan yang kau pegang itu bukankah Ang.coa-kiam?"

Eng Eng dan Tiong Han menahan pedang mereka, Tiong Han menghadapi Ban im Hosiang dan berkata sambil tersenyum sinis.

“Betul, aku yang muda adalah murid dari Kim-liong-pai dan pedang ini adalah Ang-coa kiam. Saudaramu Ban Hwa Yong telah bertemu dengan aku dan melihat watak dari adikmu yang buruk, tak perlu kita bicara lagi."

"Anak muda yang sombong ! Terhadap lain orang kau boleh menyombongkan ilmu pedangmu dari Kim-Iiong pai, akan tetapi aku tidak takut, biarpun kau memegang pedang Ang coakiam!" Seru Ban Im Hosiang marah dan mendongkol sekali. "Kami memusuhi iblis wanita ini yang liar dan ganas, yang telah membacok putus lengan suteku. Ada sangkut paut apakah dengan kau murid Kim Iiong pai ?"

"Thian te Sam-kui, dengarlah baik-baik, biarpun aku tidak mempunyai urusan dengan kalian dan urusanmu dengan nona ini tidak ada hubungannya denganku, namun sebagai murid Kim liong pai, aku selalu berada di pihak yang benar. Kalian adalah orang-orang berkepandaian tinggi yang menyalahgunakan kepandaian, berlaku jahat dan kejam sebagaimana yang dilakukan oleh Ban Hwa Yong, maka terpaksa aku akan membela nona ini!"

Tiba-tiba Ban Hwa Yong tertawa bergelak,” Ha,ha,ha, Ang-coa-kiam! Dulu ketika kita bertemu, aku masih belum kenal sebenarnya Ang-Coa kiam. Kau bilang aku jahat, penjahat cabul? Ha, ha, ha! Siapa tidak tahu bahwa Ang coa kiam adalah seorang pengganggu perempuan yang lebih ganas dari padaku? Kau lebih cabul dari padaku, sungguh lucu sekali kau masih dapat memaki-makiku! Seperti seorang perampok besar memaki seorang maling kecil! Ang-coa-kiam, kita adalah orang-orang segolongan yang memiliki kesukaan yang sama, Kalau kau tergila-gila kepada bunga indah ini, biarlah aku mengalah atau tidak bisakah kita bagi rasa?"

Bukan main marahnya Tiong Han mendengar ucapan manusia cabul itu. Akan tetapi berbareng hatinya menjadi perih juga karena ia dapat menduga bahwa yang dimaksudkan oleh penjahat cabul ini tentulah adiknya, Tiong Kiat ! Maka ia tidak dapat menjawab, hanya berkata kepada Eng Eng.

"Nona, mari kita basmi penjahat-penjahat ini!"

Eng Eng semenjak tadi memang telah habis sabar melihat Tiong Han bercakap-cakap dengan penjahat itu. Mendengar omongan Ban Hwa Yong, ia juga dapat menduga bahwa yang dimaksudkan oleh penjahat itu tentulah Tiong Kiat, sehingga kembali Tiong Han menjadi korban perbuatan adiknya dan dia yang mendapat nama busuk! Ia merasa kasihan kepada pemuda ini, maka ketika mendengar ucapan Tiong Han, Eng Eng tidak menjawab lagi, hanya melompat maju dan menyerang dengan hebatnya, ia disambut oleh Ban Yang Tojin yang dibantu oleh Ban Hwa Yong. Adapun Sim Tiong Han, yang bergerak maju mendapat lawan Ban Im Hosiang, orang terpandai dari Thian.te Sam-kui.

Pertempuran berjalan lebih ramai dari pada tadi. Akan tetapi tidak berlangsung lama. Ban Im Hosiang yang menghadapi Tiong Han, sebentar saja terdesak hebat. Ilmu pedang Ang-coa kiamsut telah dipelajari oleh pemuda ini sampai tingkat tinggi. Telah delapan puluh bagian lebih ilmu pedang itu ia kuasai dan kini karena ia mainkan ilmu petang itu dengan pedang Ang.coa.kiam, tentu saja kelihaiannya bertambah-tambah. Biarpun Ban Im Hosiang mempunyai kelebihan dalam tenaga Iweekang, namun kelebihan ini ditutup oleh kekalahannya dalam hal pedang. Pedangnya-pun bukan pedang buruk, namun kalau dibandingkan dengan Ang-coa-kiam, pedangnya itn tidak berarti sama sekali. Hwesio ini tahu akan kelemahan pedangnya, maka iapun bersilat dengan amat hati hati, tidak berani mengadu mata pedangnya dengan mata pedang Ang coa-kiam.

Pertempuran yang terjadi di antara Eng Eng yang dikeroyok dua oleh Ban Yang Tojin dan Ban Hwa Yong, lebih seru lagi. Gadis ini sekarang dapat mengamuk lebih hebat daripada tadi karena sesungguhnya yang paling berat dilawan adalah Ban Im Hosiang. Dua orang pengeroyoknya, yang seorang sudah kehilangan lengan kiri dan yang kedua, yakni Ban Hwa Yong yang mata keranjang dan sayang akan kecantikan gadis ini, tidak menyerang dengan sekuat tenaga. Ban Yang Tojin telah mengganti senjatanya, karena ia telah maklum akan keampuhan pedang gadis itu, namun tetap saja tombak bintangnya yang sekarang tiba-tiba putus ujungnya ketika beradu dengan keras sekali dengan pedang merah di tangan Eng Eng. Dan sebelum Ban yang Tojin dapat mengelak, ujung pedang di tangan Eng Eng telah menusuk paha kanannya sehingga tosu ini roboh sambil mengeluarkan teriakan keras. Kalau saja luka di pahanya itu disebabkan oleh tusukan pedang biasa, mungkin ia masih akan dapat melarikan diri. akan tetapi bekas tusukan pedang merah di tangan Eng Eng mendatangkan rasa panas dan sakit luar biasa sehingga ia hanya rebah sambil merintih-rintih !

Bukan main kagetnya Ban Hwa Yong melihat betapa suhengnya telah roboh. la memutar sepasang besi kaitannya dengan cepat untuk melindungi diri, akan tetapi sebuah sabetan dari Eng Eng telah membuat sebuah dari kaitannya putus pula ! Ban Hwa Yong melompat ke belakang dan pada saat itu terdengar lain teriakan dan tubuh Ban Im Hosiang terlempar karena tendangan Tiong Han! MeIihat haI ini, Ban Hwa Yong lalu melemparkan kaitannya yang telah putus itu ke arah Eng Eng kemudian cepat melarikan diri dari situ. Eng Eng mengangkat pedangnya menangkis, kemudian sebelum Tiong Han dapat mencegahnya, gadis ini dengan gerakan kilat melompat ke dekat Ban Im Hosiang. Sekali pedang merahnya berkelebat, putuslah leher hwesio itu! Setelah itu, kembali pedangnya berkelebat dibarengi bentakannya yang keras ke arah leher Ban Yang Tojin maka tewaslah orang pertama dan kedua dari Thian te Sam kui yang pernah menggoncangkan dunia kang ouw. Eng

Eng hendak mengejar Ban Hwa Yong, ternyata bahwa penjahat itu telah lenyap tidak dapat ia ketahui ke mana perginya.

“Mengapa kau tidak mengejarnya?" gadis berkata menyesal dan kecewa kepada Tiong Han.

Adapun pemuda ini yang memang masih agak lemah, kini menjadi makin pucat melihat keganasn Eng Eng ini, ia tidak menjawab pertanyaan yang mengandung teguran itu, bahkan dialah yang kini menegur sambil mengerutkan keningnya.

"Nona, mengapa kau begitu kejam? Mengapa kau membunuh lawan-lawan yang sudah terluka tak berdaya? Apakah kesalahan mereka terhadapmu sehingga kau demikian ganas terhadap Thian-te Sam-kui?"

"Lagi-lagi kau memperlihatkan kejernihan hatimu," gadis ini mencela. "Kau mudah terharu dan tergerak hatimu menyaksikan sebuah peristiwa yang hanya merupakan akibat dari pada sebab yang lebih mengerikan lagi. Tentu sedikitpun tidak terduga atau terpikir olehmu mengapa aku berlaku sedemikian ini yang kau anggap ganas dan kejam."

Merahlah wajah Tiong Han. Memang ia tidak tahu permusuhan apakah yang ada antara gadis aneh ini dengan Thian-te Sam-kui. Menurut pendengarannya tadi, gadis ini pula yang telah membuntungkan lengan Ban Yang Tojin dan disangkanya itulah sebenarnya maka Thiante Sam kui datang memusuhi Eng Eng.

"Maaf nona, memang aku belum mengerti. Tolong kau ceritakanlah kepadaku agar hatiku tidak penasaran lagi."

"Mungkin kau sudah tahu akan sifat-sifat buruk ketiga orang penjahat ini. Sebab pertama timbulnya permusuhan antara mereka dan aku disebabkan oleh Ban Yang Tojin." Gadis ini dengan jelas lalu menceritakan betapa Ban Yang Tojin mengganggu dan merampok Pek-eng piauwkiok dan betapa ia telah menolong Ting kwan Ek dan mengusir Ban Yang Tojin. Kemudian Ban Yang Tojin dengan bantuan kedua orang saudaranya itu datang membalas dendam karena kekalahannya dan di luar tahu Eng Eng lalu ketiga orang Iblis itu membasmi Pek-eng-piauwkiok dan membunuh seluruh keluarga Ting Kwan Ek dan Ouw Tang Sin, bahkan lalu membawa lari Nyonya Ouw yang muda lagi cantik.

Setelah mendengar penuturan Eng Eng marahlah Tiong Han. "Hm, kalau begitu, sayang sekali kita melepaskan Ban Hwa Yong lari. Dia juga patut dilenyapkan dari muka bumi ini!" Ia lalu menceritakan kepada Eng Eng betapa iapun pernah bertempur dengan Ban Hwa Yong telah membunuh Lo Kim Bwe atau Nyonya Ouw yang diculiknya itu, yakni ketika Ban Hwa Yong bertempur menghadapi keroyokan piauwsu dan Gin houw-piauwkiok.

"Lo Kim Bwe memang sudah sepantasnya mengalami kematian di tangan penjahat itu," kata Eng Eng yang memang merasa gemas dan benci sekali kepada nyonya muda yang genit itu. Maka diceritakanlah kepada Tiong Han akan segala pengalamannya ketika ia berada di

rumah Ting Kwan Ek yang dianggapnya sebagai kakak sendiri itu.

Tak terasa lagi keduanya berjalan perlahan menuruni bukit Ta-pie san sambil bercakapcakap dengan asyik sekali, sama sekali tidak merasa kikuk atau asing seakan-akan mereka telah bertahun-tahun menjadi kenalan karib, Tiong Han makin tertarik hatinya terhadap gadis ini dan diam-diam ia memaki adiknya yang sudah begitu keji terhadap gadis seperti ini.

“Nona Suma Eng ketahuilah bahwa antara suhumu dan sucouwku masih terdapat ikatan persahabatan yang amat erat. Sucouwku adalah Bu Beng Sianjin, apakah suhumu tidak pernah menceritakan padamu tentang sucouw?”

Gadis itu menggeleng kepala. Bercakap-cakap dengan Tiong Han mengenai masa Iampau membuat ia seakan-akan berjalan dengan seorang yang telah lama di nanti-nanti, dikenang dan diharapkan kedatangannya. la merasa bahagia tenteram dan semua pemandangan di atas bukit itu nampak indah dan berseri. Ia merasa seakan-akan berada di dalam perlindungan yang kuat yang dapat dipercaya penuh, yang membuat ia merasa seperti seorang anak kecil dipangkuan ibunya. Alangkah bahagianya kalau ia selalu dapat berada di dekat pemuda yang sopan, halus dan juga lihai ini ! Akan tetapi tiba tiba wajahnya yang cantik jelita itu menjadi merah sampai ke telinganya. Ia teringat lagi kepada Tiong Kiat dan teringat lagi akan keadaan dirinya yang sudah terhina oleh Tiong Kiat.

Tiong Han kebetulan mengerling dan menatap wajahnya, maka pemuda ini dapat melihat perobahan pada muka Eng Eng.

"Ada apakah nona ? Apakah kau Ielah dan ingin istirahat ?"

"Tidak, aku....... aku harus berpisah darimu. Kan baik sekali, Sim twako dan aku akan selalu menyebutmu twako karena kau baik, baik seperti twako Ting Kwan Ek yang sudah mati. Akan tetapi, aku harus pergi, aku harus mencari adikmu yang jahanam itu untuk kuhancurkan kepalanya !"

Muramlah wajah Tiong Han yang tadinya sudah nampak gembira, ia menarik napas berulang ulang dan dengan menyesal sekali berkata, "Apa yang dapat kukatakan ? Tiong Kiat memang telah berlaku jahat sekali. Kau berhak penuh untuk membalas dendam...... dan aku....... ah, apa yang dapat kukatakan?"

Pemuda ini lalu menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon besar untuk mengaso karena ucapan Eng Eng tadi seketika itu juga menimbulkan semua kelelahan yang tadi tidak terasa olehnya, ia memandang dengan sedih ketika gadis itu meninggalkannya setelah menengok tiga kali seakan gadis itupun merasa menyesal harus berpisah darinya.

Perasaan kecewa, menyesal, duka, ditambah oleh kelelahan karena pertempuran-pertempuran tadi sedangkan luka pada pundaknya oleh tusukan pedang adiknya masih belum sembuh

membuat Tiong Han tertidur di bawah pohon itu. Angin berhembus perlahan mengipasi tubuhnya sehingga tidurnya makin nyenyak.

Tiba tiba ia merasa betapa pedang di pinggangnya bergerak. Cepat ia membuka mata dan melompat bangun. Ternyata ia telah dikurung oleh lima orang berpakaian sebagai tosu dan sudah tua-tua dan ketika ia meraba pinggangnya ternyata bahwa pedangnya itu berikut sarungnya telah dibawa oleh seorang tosu yang nampak tertua dan yang mempunyai sinar mata berpengaruh. Kelima orang tosu itu bagaikan patung berdiri mengurung dan memandangnya dengan sinar mata tajam!

"Apa… apa artinya ini? Siapakah ngowi Suhu ?” tanya Tiong Han dengan gagap.

"Ang coa.kiam, bukalah matamu lebar-lebar! Kami adalah tosu-tosu dari Kun lun pai!"

Akan tetapi, lima orang tosu tokoh Kun-lun.pai itu menjadi heran ketika melihat betapa pemuda ini memandang mereka dengan tak mengerti.

"Harap maafkan apabila teecu tidak mengetahui akan kedatangan ngowi suhu. Akan tetapi, mengapakah pedang teecu dirampas dan apakah maksud kedatangan ngowi ini?"

"Ang coa-kiam!" tosu yang merampas pedangnya membentak. "Pinto adalah Gan Tian Cu dan sudah lama pinto mengenal suhumu Lui Thian Sianjin di Kim liong-pai ! Kalau tidak memandang muka suhumu, sekarang juga kau tentu telah kami bunuh tanpa banyak bertanya lagi. Akan tetapi, karena kau adalah anak murid Kim-liong-pai dan pedang Ang. coa-kiam berada di tanganmu, pinto masih hendak memberi kesempatan kepadamu. Mengapa kau membunuh seorang anak murid kami berdasarkan kejahatan dan kesesatanmu? Murid kami itu adalah seorang yang menjunjung tinggi keutamaan dan mendengar tentang kesesatan Ang coa-kiam, dia sengaja datang menegurmu, akan tetapi kau bahkan telah menjatuhkan tangan maut kepadanya."

"Totiang, apakah artinya semua ini?" Tiong Han memandang dengan heran dan penasaran, "teecu tak pernah bertemu dan tak pernah bertempur dengan seorang anak murid Kun-lunpai, bagaimana teecu dapat membunuh seorang murid Kun- lun-pai ?”

"Ang-coa-kiam! Kau telah berani memakai nama julukan Ang-coa kiam, meninggalkan tanda gambar pedang ini pada tiap tempat kau melakukan kejahatan. Suatu perbuatan yang amat berani dan sombong ! Akan tetapi sekarang ternyata dihadapan pinto kau berlaku amat pengecut. Kau telah membunuh Lo Ban Tek murid kami di kota l-kiang, apakah kau masih mau menyangkal lagi ?"

Lenyaplah keheranan Tiong Han dan hatinya tertusuk sekali, karena ia telah merasa yakin bahwa yang melakukan hal itu tentulah adiknya, Tiong Kiat ! Maka lemaslah tubuhnya lenyaplah semangat perlawanannya. Apakah yang hendak dikata? Menyangkal? Sama dengan mendakwa adiknya sendiri. Mengaku? Dia tidak melakukan perbuatan itu.

"Totiang, apakah yang hendak totiang lakukan terhadap diriku ?' tanyanya perlahan.

"Kau harus ikut dengan kami ke Kun-lun-pai dan di sana para ketua akan menjatuhkan hukumannya! Tinggal kau pilih saja, ikut dengan patuh atau melawan dengan kekerasan kami dapat membunuhmu di tempat ini juga!" Kata Gan Tian Cu dengan suara tegas.

"Untuk apa aku melawan ? Marilah kalau ngowi totiang hendak membawaku ke Kun lun pai, aku akan ikut dengan patuh." Demikianlah, Tiong Han lalu diikat kedua tangannya dengan tali sutera yang amat kuat. Pemuda ini menurut saja, kemudian kelima orang tosu itu lalu mengajaknya berjalan cepat turun dari Ta pie.san, menuju ke Kun -lun-san.

Akan tetapi baru saja rombongan itu tiba di kaki gunung Ta pie san yang mereka tinggalkan, tiba tiba berkelebat bayangan putih yang didahului oleh sinar merah menyambar ke arah lima orang tosu itu! Gan Tian Cu dan sute-sutenya (adik-adik seperguruannya) adalah tosu-tosu tua yang memiliki kepandaian tinggi, maka melihat sinar pedang itu, mereka cepat melompat mundur untuk mengelak.

"Jangan, nona Suma Eng, jangan serang mereka!" Tiong Han cepat menggerakkan tubuhnya dan sekali bergerak saja tali-tali yang kuat itu terlepas dari kedua tangannya. Ia terpaksa melakukan ini untuk mencegah Suma Eng yang hendak menyerang Gan Tian Cu.

Dengan mata menyala dan dada berombak, wajahnya merah penuh kemarahan, Eng Eng menunda serangannya dan memandang kepada lima orang tosu itu dengan marah sekali. Tiong Han tak terasa lagi mengulur tangannya dan memegang lengan Eng Eng yang memegang pedang.

"Jangan nona, jangan . .., mereka adalah tosu-tosu dari Kun lun pai !" Tiong Han mencegah sambil memegang erat lengan tangan Eng Eng.

“Tidak perduli! Biarpun mereka tosu-tosu dari neraka sekalipun aku tidak takuti! Mereka mengandalkan keroyokan untuk menangkapmu sungguh pengecut !"

Sementara itu, Gan Tian Cu dan kawan-kawannya tadi merasa terkejut sekali melihat kehebatan seorang gadis cantik jelita yang memegang pedang merah menyilaukan mata. Lebih-lebih kaget mereka ketika melihat betapa dengan sekali gerakan saja ikatan pada kedua tangan Tiong Han telah putus dan tangannya sudah terlepas! Alangkah hebatnya kepandaian dan tenaga pemuda itu yang tadi menyerah demikian patuhnya.

“Nona, siapakah kau dan mengapa kau mencampuri urusan kami, pendeta-pendeta dari Kunlun.pai ?'

Sebelum Eng Eng menjawab Tiong Han mendahuluinya,

"Ngowi totiang, ini adalah nona Suma Eng murid dari Hek sin mo yang terkenal!"

Terbelalak mata kelima orang tosu itu, karena sesungguhnya nama Hek sin-mo merupakan nama yang amat terkenal dan dikagumi oleh semua tokoh persilatan. Gan Tian Cu mengangkat kedua tangan ke dada untuk memberi hormat kepada murid orang sakti itu dan berkata,

"Nona, harap kau tidak salah sangka. Pinto berlima datang sengaja hendak membawa pemuda ini yang telah berdosa besar telah membunuh Lo Ban Tek, anak murid dari Kun-lun pai. Kami datang untuk membawanya ke Kun.lun-san agar mendapat pengadilan dari para ketua Kun-lun-pai. "

"Apa buktinya bahwa Sim twako telah membunuh anak murid Kun lun-pai ?' tanya Eng Eng yang belum hilang kemarahannya.

"Nona, nama Ang coa kiam telah amat terkenal. Pemuda ini tidak hanya membunuh Lo Ban Tek murid kami, bahkan ia telah terkenal sebagai seorang jai hwa cat dan pencuri yang amat jahay dan keji! ia telah membunuh keluarga Lui wangwe yang dermawan, hanya untuk memenuhi permintaan seorang pelacur rendah. Murid Kami Lo Ban Tek datang untuk menegurnya akan tetapi bahkan dibunuhnya ! Nona, kau adalah murid seorang pendekar, seorang locianpwe yang ternama, maka sudah menjadi kewajibanmu pula untuk membasmi orang-orang macam Sim Tiong Kiat yang berjuluk Ang.coa-kiam murid Kim-liong-pai yang durhaka ini. Bagaimana seorang murid dari Hek sin-mo locianpwe dapat bersahabat dengan seorang jahat seperti dia ini?"

"Pendeta-pendeta tersesat, bukalah matamu baik-baik!* Eng Eng berseru marah sekali dan menggerakkan pedangnya. "Dia ini bukanlah Sim Tiong Kiat dan........"

"Nona Suma ....... !" Tiong Han mencegahnya membuka rahasia adiknya.

Akan tetapi Eng Eng tidak memperdulikannya dan melanjutkan kata-katanya, "dan orang yang melakukan semua kejahatan yang kau sebutkan tadi, orang jahat yang menggunakan nama julukan Ang-coa kiam bukanlah dia ini, akan tetapi adiknya!"

"Apa..„.„apa maksudmu, nona?" Gan Tian Cu bertanya dengan heran, demikian pula adiknya membelalak matanya dengan kaget.

"Eng-moi........ jangan…”Tiong Han mencoba lagi untuk mencegah Eng Eng membuka rahasia adiknya dan dalam kegugupannya sampai lupa dan menyebut nona itu Eng-moi (adik Eng).

Eng Eng menengok dan menatap wajah pemuda itu. Sepasang matanya yang indah itu tampak terbaru, akan tetapi bibirnya dirapatkan dengan gemas. "Orang lemah...." katanya perlahan, kemudian ia berpaling kepada Gan Tian Cu lalu berkata.

"Totiang, bukan kau saja yang salah pandang, bahkan aku sendiri pun tadinya telah salah sangka. Orang muda ini bernama Sim Tiong Han, dan Sim Tiong Kiat si jahanam adalah adik kembarnya. Adiknya itulah orang yang harus kau cari dan kau tangkap bukan Sim twako ini."

"Akan tetapi....pedang Ang-coa-kiam berada di tangannya dan....... dan mengapa kau tidak mau memberitahukan keadaan yang sebenarnya?" tanyanya kemudian kepada Tiong Han.

Pemuda ini menghela napas. Tak perlu lagi ia menyembunyikan hal yang sebenarnya. "Totiang keterangan nona ini memang benar. Tiong Kiat adalah adikku dan kalau ia telah melakukan dosa terhadap Kun-lun.pai biarlah aku sebagai kakak kandungnya yang bertanggung jawab dan menerima hukumannya Pedang ini belum lama kuterima dari padanya."

Bukan main herannya hati Gan Tian Cu mendengar ini. "Aah, mengapa begitu? Orang muda, hampir saja kau membuat kami melakukan kedosaan besar, menghukum orang yang tidak bersalah. Baiknya datang Suma Iihiap ini yang berani berkata terus terang ! Sim enghiong pinto dapat memaklumi pembelaan dan pengorbananmu terhadap seorang adik. Akan tetapi, perbuatanmu ini benar benar keliru sekali. Benar seperti dikatakan oleh Suma lihiap tadi, kau terlalu lemah ! Kelemahan dan kasih sayang hatimu terhadap adikmu telah menggelapkan pertimbangan dan keadilanmu! Apa kaukira dengan mengorbankan nyawa untuk membela adikmu itu, kau telah melakukan suatu tindakan yang bijaksana ? Sebaliknya, anak muda, sebaliknya kau bahkan menambah kejahatan kepada dunia ! Dengan tindakanmu ini, seakan-akan kau membela penjahat yang mengacaukan dunia ! pikiranmu cupat sekali, Sim enghiong. Karena kasih sayangmu terhadap adik, kau membiarkan adikmu merajalela dan mencelakakan orang-orang yang seharusnya patut kau bela. Di manakah keadilanmu ? Di manakah kegagahanmu ?"

Terpukul hati Tiong Han mendengar ucapan pendeta ini dan ia menundukkan mukanya yang pucat.

"Sim enghiong," kata lagi Gan Tian Cu yang merasa penasaran melihat kelemahan hati pemuda yang demikian gagah, "kau benar-benar telah memalukan nama Kim liong-pai yang besar. Ketahuilah bahwa pendirian seorang pendekar, di dalam membela kebenaran dan keadilan tidak ada hubungan saudara maupun keluarga. Yang benar harus dibela, sungguhpun orang lain yang belum dikenalnya, yang salah harus dilawan biarpun saudara atau keluarga sendiri ! Bahkan kaIau di dalam Kim-liong-pai terdapat seorang yang nyeleweng adalah kewajibanmu untuk mencegah dan melenyapkan pendurhaka itu. Kewajibanmu untuk menangkap adikmu itu demi membersihkan nama Kim-liong-pai, demi menjaga baik nama ayahmu dan demi sifatmu sebagai pendekar pembela rakyat! Nah, cukup pinto bicara, kau turut atau tidak terserah, akan tetapi pinto takkan berhenti berusaha untuk menangkap adikmu." Maka pergilah Gan Tian Cu dengan empat orang adik seperguruannya.

Ucapan itu mendorong dua titik air mata mengalir keluar dari mata Tiong Han yang masih menundukkan mukanya. Terbangun semangatnya dan ia berkata kepada Eng Eng yang masih memandangnya dengan terharu. "Nona benar juga ucapan Gan Tian Cu totiang. Aku akan mencari Tiong Kiat, hendak kutangkap dan kubawa kembali ke Kim liong pai, menyerahkannya kepada suhu."

"Bagus, akan tetapi aku tidak mau kalah dulu baik olehmu maupun oleh pendeta Kun lun pai tadi. Gan Tian Cu hendak menangkap Tiong Kiat untuk dibawa ke Kun-Iun-pai, kau hendak menangkapnya untuk kau bawa ke Liong san. Akan tetapi, akulah yang berhak menghancurkan kepalanya untuk membalaskan dendam hatiku !' Setelah berkata demikian, gadis itu lalu melompat pergi, meninggalkan Tiong Han yang memandang sayu.

"Tiong Kiat.... Tiong Kiat, ...... tidak kusangka bahwa nasibmu akan demikian buruknya… adikku, mengapa kau tersesat sejauh ini…?"

Dengan kaki lemas, Tiong Han lalu menuruni bukit Ta pie-san dalam perjalanannya mencari adiknya untuk membawanya dengan paksa ke Liong san, di mana suhunya telah menanti. la merasa penasaran mengapa Tiong Kiat telah berpisah dari Kui Hwa, padahal tadinya ia mengharap supaya adiknya itu hidup berbahagia dengan sumoinya atau bekas tunangannya itu. Apakah Kui Hwa yang menyebabkan Tiong Kiat menjadi tersesat ? Panas dadanya ketika ia mendapatkan pikiran ini. Siapa tahu ? Mungkin Kui Hwa yang menjadi biang keladinya ! la teringat akan kata-kata Tiong Kiat bahwa kini Kui Hwa dapat dicari di kota Heng yang. Maka iapun lalu tujukan perjalanannya ke kota Heng-yang untuk mencari Kui Hwa dan untuk bertanya kepada sumoinya itu mengapa Tiong Kiat dan Kui Hwa dapat berpisah.

Sebelum Tiong Han yang hendak mencari sumoinya, yakni Can Kui Hwa, tiba di tempat itu, marilah kita mendahuluinya menengok keadaan nona yang malang nasibnya ini.

Dalam buku jilid kedua telah diketahui bahwa setelah melihat Tiong Kiat melakukan perbuatan hina terhadap Gu Loan Li, gadis yang mereka tolong dari tangan kepala gerombolan Sorban Merah sehingga Loan Li membunuh diri, Kui Hwa menjadi marah sekali dan menyerang Tiong Kiat. Akan tetapi tentu saja ia bukan lawan pemuda yang berkepandaian Iebih tinggi tingkatnya itu dan telah dikalahkan. Setelah Tiong Kiat meninggalkannya Kui Hwa yang putus asa lalu teringat akan permintaan para anggauta gerombolan Sorban Merah yang hendak mengangkatnya menjadi kepala.

Ia lalu kembali ke kota Heng yang dan diterima baik dan dengan gembira oleh para pengurus Perkumpulan Sorban Merah itu. Setelah melihat gadis ini mengalahkan dan menewaskan kepala mereka, yakni Hek pa cu Teng Sun, para thauwbak dan anak buah gerombolan Sorban Merah amat mengaguminya. Perkumpulan Sorban Merah mempunyai anggota yang banyak jumlahnya dan semenjak dipimpin oleh Hek pa cu Teng Sun, perkumpulan ini telah menghasilkan banyak uang, yang didapat dengan jalan terang maupun gelap, Kui Hwa sendiri menjadi terkesiap ketika ia melihat peti penuh dengan barang perhiasan yang amat besar nilainya disodorkan kepadanya oleh para thauwbak.

"Mulai sekarang, tidak boleh lagi ada pelanggaran-pelanggaran," katanya dengan suara keras. "Tidak boleh melakukan sesuatu yang jahat dan siapapun juga diantara anggauta ada yang melanggar akan berkenalan dengan pedangku !"

Gadis ini karena tidak mempunyai harapan untuk kembali ke rumah ayahnya dan tidak mempunyai perlindungan lalu membeli sebuah rumah besar dan memasang merk papan nama Perkumpulan Sorban Merah. Ia lalu mengatur anak buahnya untuk melakukan pekerjaanpekerjaan yang baik, misalnya menjaga keamanan kota, mengawal kiriman-kiriman barang dan Iain-lain. Pengaruh Perkumpulan Sorban Merah sudah besar sekali, akan tetapi kalau tadinya perkumpulan ini ditakuti dan disegani orang, sekarang orang orang menghormatinya sebagai perkumpulan orang-orang yang gagah yang boleh mereka andalkan bantuannya.

Diantara para thauwbak (pembantu pemimpin) dan anggauta Sorban Merah, banyak juga yang merasa tidak puas dengan peraturan-peraturan keras ini, karena mereka ini memang mempunyai watak yang busuk seperti Hek-pacu Teng Sun. Maka diam-diam orang-orang ini lalu melarikan diri dan mencari seorang yang mereka harapkan menjadi pemimpin mereka. Orang ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Teng Sun yang bernama Kim-pacu Gak Kun si Macan Tutul Emas dan yang menjadi kepala rampok di pegunungan Pek-ma san, tak jauh dari kota Heng yang.

Untuk menyesuaikan dirinya sebagai kepala dari Perkumpulan Sorban Merah yang terdiri dari anggauta-anggauta ahli bermain golok, Kui Hwa kini mengganti senjata pedangnya dengan golok pula. la bahkan memberi pelajaran ilmu silat golok yang baru kepada anak buahnya, yang dimainkan berdasarkan ilmu pedang Ang coa kiamsut yang lihai. Maka tentu saja para anggauta Sorban Merah mendapat kemajuan yang hebat sekali dan kedudukan perkumpulan ini makin kuat saja.

Kui Hwa merasa senang dengan kedudukannya yang baru ini. Selain dapat penghormatan dari semua anak buahnya, iapun terkenal sekali di kota Heng yang sebagai seorang wanita perkasa yang selain cantik jelita juga gagah berani dan berbudi. Banyak hati pemudapemuda Heng yang, baik yang pandai ilmu silat maupun yang tidak, jatuh hati kepadanya dan banyak pula gadis yang kini disebut Can pangcu (ketua Can) ini menerima pinangan. Akan tetapi semua pinangan ini ditolaknya dengan manis. Di dalam hatinya sebenarnya Kui Hwa menderita hebat. Hatinya telah terluka perih oleh perbuatan Tiong Kiat, pemuda yang amat dikasihinya itu. Dan ia merasa amat menyesal mengapa ia jatuh hati oleh bujukan Tiong Kiat yang ternyata tidak berbudi itu. Sering kali ia terkenang kepada Tiong Han dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau ia menikah dengan suhengnya ini. Ia menyesal bukan main, akan tetapi nasi telah menjadi bubur, apa hendak dikata?

Bukan Kui Hwa tidak ada niatan membangun rumah tangga, menikah dengan seorang pemuda yang baik, akan tetapi ia merasa ragu-ragu setelah kegagalannya dengan Tiong Kiat. Pula, sebagai seorang gadis berkepandaian tinggi, tentu saja takkan merasa puas kalau menikah dengan seorang pemuda yang lemah, yang tidak mengimbangi ilmu kepandaiannya. Dan pula, ia merasa malu karena ia telah berIaku sesat bersama Tiong Kiat.

Pada suatu hari, ketua Kui Hwa tengah duduk di dalam rumah perkumpulannya dan bercakapcakap dengan beberapa orang pembantunya, membicarakan tentang pekerjaan-pekerjaan yang diserahkan kepada perkumpulannya, tiba tiba seorang anggauta Sorban Merah berlari masuk. Terkejutlah Kui Hwa dan kawan-kawannya ketika melihat anggauta ini pakaiannya

berlumuran darah dan ternyata bahwa darah itu menetes turun dengan derasnya dari telinga kirinya yang telah dipotong orang!

"Apakah yang telah terjadi dengan dirimu?" tanya Kui Hwa dengan suara tenang. Ia menduga bahwa tentu ada orang jahat yang mengganggu anak buahnya ini.

"Celaka, pangcu (ketua) kawan-kawan kita pengikut-pengikut mendiang Hek-pa cu yang melarikan diri kini telah datang dan merupakan rombongan perampok bersorban biru, dipimpin oleh Kim-pa cu Gak Kun sendiri! Hamba dan beberapa orang yang bertugas menjaga keamanan kota, mereka serbu dan banyak kawan kita yang binasa! Kim-pa cu Gak Kun menantang kepada pangcu untuk menyambutnya di sebelah barat kota Heng-yang !" Setelah menuturkan hal ini, anak buah Sorban Merah ini lalu jatuh tersungkur dalam keadaan pingsan.

Naiklah kedua alis Kui Hwa mendengar dari para thauwbak tentang Kim pa cu Gak Kun ini sebagai suheng dari Hek pa cu Teng Sun yang telah dibunuhnya. Memang ia telah siap sedia menghadapi pembalasan dari perampok ini. Akan tetapi sama sekali tidak pernah diduganya bahwa anak buah Sorban Merah yang diam diam melarikan diri, kini ternyata telah bergabung dengan penjahat ini dan membentuk gerombolan Sorban Biru, kemudian datang menyerbu dan membikin kacau kota Heng yang ! Marah sekali gadis ini dan cepat ia lalu masuk ke dalam kamarnya, berganti pakaian yang ringkas berwarna biru gelap, lalu membawa goloknya.

Pada saat itu, datanglah tergopoh-gopoh kepala kota dan tikoan. Kedua orang pembesar ini telah mendengar tentang kerusuhan yang ditimbulkan oleh Gerombolan Sorban biru yang mulai merampoki rumah rumah penduduk di pinggir kota dan mengganggu wanita-wanita.

"Can pangcu, harap kau suka lekas tolong usir mereka!" kata kepala kota dengan wajah pucat.

"Kalau perlu bantuan, aku dapat mengerahkan penjaga kota !" menyambung tikoan sambil memandang kepada Kui Hwa dengan kagum. Belum pernah ia melihat Kui Hwa segagah dan secantik ini, dalam pakaian yang ringkas dan mencetak tubuhnya itu.

'Harap jiwi taijin suka tenang" jawab Kui Hwa. "Tak usah diserahkan penjaga kota, biarlah aku dan pembantu-pembantuku menyelesaikan urusan ini. Percayalah, tak lama lagi akan kubawa kepala perampok she Gak itu kehadapan jiwi taijin!"

Setelah berkata demikian Kui Hwa lalu menghampiri anak buahnya yang buntung telinganya itu. Setelah mendapat perawatan kawan-kawannya, orang ini siuman kembali. "Berapa banyak kiranya jumlah gerombolan itu?" tanyanya.

"Maaf, pangcu hamba kurang jelas akan tetapi sedikitnya tentu ada tiga puluh orang." jawab anggauta Sorban Merah itu.

”Pangcu, apakah aku harus mengumpulkan kawan-kawan yang bertugas di berbagai tempat?” tanya seorang thauwbak.

"Tidak usah, berapa orang yang berada disini?”

"Hanya ada sembilan orang dengan pangcu sendiri."

"Sudah cukup, mari kita berangkat!" Jawab Kui Hwa dengan gagah. Gadis itu bukan menyombong akan tetapi karena ia melihat bahwa di antara delapan orang anak buahnya. Yang empat adalah thauwbak-thauwbak yang telah menerima latihan-latihan ilmu golok darinya. Baginya lebih baik membawa empat orang thauwbak ini dari pada membawa empat puluh orang anggauta biasa yang ilmu goloknya masih rendah.

Beramai-ramai sembilan orang ini berlari cepat menuju ke sebelah barat kota. Ketika mereka tiba di gerbang kota, sudah terdengar oleh mereka jerit tangis penduduk yang diganggu oleh para penjahat Sorban Biru itu. Bukan main marahnya Kui Hwa mendengar ini. Ia mengerahkan kepandaiannya berlari cepat sehingga kawan-kawannya tertinggal jauh.

Begitu ia tiba di tempat kerusuhan itu, gegerlah keadaan di situ di antara penjahat. Setiap kali melihat seorang penjahat bersorban biru, golok di tangan Kui Hwa menyambar dan menjeritlah penjahat itu dan terguling roboh dengan tubuh hampir terbelah dua !

Empat orang penjahat telah menjadi korban golok Kui Hwa dan tiba tiba dari sebuah rumah melompat keluar seorang laki-laki pendek besar yang berseru keras.

"Bangsat wanita! Kaukah yang bernama Can Kui Hwa dan yang telah membunuh suteku Teng Sun?"

Kui Hwa memandang orang itu dengan penuh perhatian. Ia adalah seorang laki-laki yang bertubuh agak pendek, akan tetapi tegap dan nampaknya bertenaga besar. Sorban serta ikat kepalanya berwarna biru, demikianpun celananya, sedangkan bajunya berwarna putih dengan garis-garis merah. Senjata yang dipegangnya adalah sebatang tongkat bercabang. Inilah dia Kim-pa-cu Gak Kun yang namanya amat terkenal dan yang oleh anak-anak buah Sorban Merah disohorkan memiliki ilmu silat yang amat tinggi.

Kui Hwa sebenarnya tentu saja lebih pandai memainkan pedang dari pada permainan golok. Memang ia adalah anak murid Kim Liong pai yang khusus mendapat pelajaran ilmu pedang Ang coa kiamsut yang lihai. Akan tetapi gadis ini setelah ditinggalkan oleb Tiong Kiat, menjadi sadar dan insaf akan kesesatannya. la maklum bahwa sebagai seorang murid Kim liong-pai, ia telah melakukan pelanggaran besar sekali. Sering kali setiap malam ia menguras air mata dari kedua matanya karena menyesal dan merasa berdosa serta malu,

terutama sekali terhadap ayahnya dan suhunya, Lui Thian Sianjin. Oleh karena itu, ia merasa malu untuk mengaku sebagai murid Kim liong pai lagi. Ia anggap dirinya terlampau hina dan rendah menjadi murid Kim-liong.pai dan kalau ia masih memegang pedang serta mainkan ilmu silat Ang-coa-kiamsut, maka itu berarti bahwa ia hanya akan mengotori dan mencemarkan nama Kim-Liong pai dan ilmu pedang Ang-coa kiamsut belaka! Oleh karena inilah yang terutama sekali maka ia lalu berganti senjata dan melatih ilmu golok ciptaan sendiri berdasarkan ilmu pedang Ang-coa-kiamsut !

Kini menghadapi laki laki bersorban biru yang menjadi suheng dari Teng Sun, ia lalu membentak. 'Kaukah yang bernama Kim-pa cu Gak Kun? Kalau kau berdiam di hutan melakukan pekerjaan merampok, itu masih tidak apa, akan tetapi sekarang kau memimpin orangorangmu untuk mengganggu Heng yang, apakah kau sudah bosan hidup? Mari kuantar kau menjumpai adikmu Hek pa cu !"

Marahlah Gak Kun mendengar ucapan ini. "Perempuan sombong ! Kalau kau minta maaf kepadaku dan suka turut ucapanku, aku Kim pa cu masih sayang akan kecantikanmu. Serahkan kedudukan pangcu dari Perkumpulan Sorban Merah kepadaku dan kau akan kuangkat menjadi permaisuriku !"

"Anjing tak tahu malu !" bentak Kui Hwa yang menjadi merah mukanya. Ia lalu mengayun goloknya dan menyerang dengan sengit. Gak Kun menangkis dengan tongkatnya yang istimewa itu dan bertempurlah mereka dengan serunya. Pertempuran itu demikian hebatnya dan senjata mereka berkelebatan mengerikan sehingga para anak buah Gak Kun dan para anggauta Sorban Merah hanya berani menonton dari jauh. Dengan berdebar kedua fihak ini menonton pertempuran yang dilakukan oleh ketua masing-masing dengan senjata siap di tangan !

Segera Kui Hwa mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian orang she Gak ini jauh lebih tinggi daripada kepandaian Teng Sun. Tongkat bercabang pada gagangnya itu betul-betul lihai sekali karena gagangnya dapat dipergunakan untuk menangkis golok dan ujung tongkat itu bergerak cepat dengan serangan-serangan totokan keatas jalan darah. Ternyata bahwa orang she Gak ini telah mempelajari thiam hoat (ilmu menotok jalan darah) yang lihai. Kui Hwa berlaku hati-hati sekali dan memutar goloknya untuk melindungi tubuh dan melakukan serangan balasan yang cukup menggetarkan hati Gak Kun. Kepala Sorban biru ini benar-benar tak pernah mengira bahwa gadis ini benar-benar luar biasa pandainya. Ia harus mengakui bahwa dalam hal ilmu meringankan tubuh, ia masih kalah. la kalah gesit dan gerakan senjatanya kalah cepat, tetapi Gak Kun masih dapat melawan mengandalkan dua macam kepandaiannya yang istimewa, yakni menotok dan menendang. Tendangannya ini adalah ilmu tendang yang mirip dengan Soan - hong - twi (tendangan kitiran angin) yang dilakukan bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian sedangkan tongkatnya tetap digerakkan mengancam dari atas !

Dengan seruan keras sekali Gak Kun yang menjadi penasaran karena semua serangannya dapat digagalkan oleh lawannya, tiba-tiba mengayun kaki kirinya menendang dengan hebat. Tendangan yang dilakukan ahli ini berbahaya sekali karena dikerahkan dengan penuh tenaga. Tendangan ke arah dada ini dielakkan oleh Kui Hwa dengan miringkan tubuh ke kiri sambil menggeser kaki kiri ke depan, goloknya diputar di atas kepala dengan sikap mengancam tubuh atas lawannya, akan tetapi sebetuInya gadis ini sedang melakukan gerakan yang disebut Naga Sakti Menyabetkan Ekornya dengan berlaku lambat sambil menanti tendangan susulan lawan. Benar saja, ketika tendangan kirinya tidak berhasil mengenai lawan Gak Kun berseru lagi dan tiba-tiba ketika kaki kirinya turun ke atas tanah, tendangan kanannya menyusuI cepat dibarengi dengan totokan tongkatnya pada

pundak gadis itu. Inilah yang dinanti-nanti oleh Kui Hwa dalam gerakannya Naga Sakti Menyabetkan ekornya tadi. Begitu melihat kaki kanan bergerak, goloknya yang diputarputar di atas kepala itu lalu menyambar cepat ke bawah, membabat dan menyambut tendangan kaki kanan lawan. Tubuhnya ditarik ke bawah dan kaki kanannya secepat kilat menendang pergelangan tangan kanan lawan yang sedang menusukkan tongkat itu !

Bukan main hebatnya serangan balasan dari Kui Hwa ini. Gerakan gadis ini demikian tibatiba dan tak tersangka-sangka sehingga Gak Kun tak dapat menolong dirinya lagi. Biarpun ia berusaha menarik kembali kakinya dengan cepat, namun tetap saja golok itu mengejar kakinya. Hampir berbareng dengan ujung kakinya yang berhasil menendang pergelangan tangan lawannya, ujung goloknya juga berhasil mencium betis Gak Kun ! Kim pa cu Gak Kun menjerit keras dan sambil melepaskan tongkatnya, tubuhnya jatuh terguling dalam keadaan pingsan ! Kaki kanannya hampir-hampir putus karena sabetan golok itu sedangkan pergelangan tangannya juga pecah tulangnya karena tendangan Kui Hwa !

Kemudian Kui Hwa mengamuk hebat. Para penjahat Sorban Biru tadinya masih hendak melawan dan mengeroyok, mengandalkan jumlah yang lebih banyak. Akan tetapi begitu Kui Hwa dan delapan orang pembantunya menyerbu, pihak sorban biru dibabat dengan mudah bagaikan orang membabat rumput saja ! Larilah penjahat-penjahat itu pontang-panting, sebagian besar cepat membuang senjata dan berlutut minta ampun. Dengan kemenangan besar ini, Kui Hwa menyuruh anak buahnya membawa para tawanan ke kota. Namanya makin terkenal dan dipuji-puji orang, dan semenjak hari itu, tidak pernah ada penjahat yang berani mencoba-coba mengganggu kota Heng Yang lagi. Juga barang barang yang dikawal oleh anggauta sorban merah, selalu tidak terganggu perampok di jalan.

Nama Can Kui Hwa sebagai seorang pangcu (ketua) yang cantik dan gagah, terdengar sampai jauh, karena tiap pelancong atau pedagang yang telah datang mengunjungi kota Heng yang setelah pergi meninggalkan kota itu, tentu menceritakan hal nona itu kepada para kenalannya. Diantara para pelamar di kota Heng-yang terdapat seorang sasterawan muda she Siok yang tampan dan sopan santun. Siok kongcu ini telah menempuh ujian di kota raja dan lulus dengan baik sehingga ia mendapat gelar siucai, akan tetapi oleh karena di dalam hatinya pemuda terpelajar ini amat benci melihat pembesar-pembesar yang melakukan korupsi dan tidak melakukan tugasnya dengan baik, ia tidak mau menerima pengangkatan dan tidak mengejar kedudukan, sebaliknya bahkan kembali ke Heng-yang di mana ia hidup dengan ibunya yang telah janda. Siok siucai, lengkapnya siok Un Leng, mencari nafkah hidupnya dengan mengajar anak-anak di kota itu. Ia bekerja membuka sebuah sekolah di rumahnya mengajar membaca dan menulis pada anak-anak dengan mendapat upah yang sederhana. Sesungguhnya diantara sekian banyak pemuda yang mengaguminya, hanya Siok-siucai saja yang menarik hati Kui Hwa. Pemuda tampan, berpemandangan luas, sikapnya halus dan sopan santun, pendeknya seorang calon suami yang baik sekali. Akan tetapi yang mengecewakan hati Kui Hwa dan yang membuat ragu-ragu adalah bahwa pemuda ini tidak mengerti ilmu silat ! Memang harus ia akui bahwa begitu melihat pemuda she Siok yang baru beberapa bulan datang dari kota raja ini, hatinya sudah amat tertarik. Memang Siok Un Leng baru sebulan lebih datang dari kota raja dan secara kebetulan saja ia melihat Kui Hwa menunggang kuda lewat di depan rumahnya. Dan keesokan harinya, pemuda ini lalu minta kepada ibunya untuk melamar gadis itu !

Tentu saja ibunya terkejut bukan main.

"Leng-ji (anak Leng), apakah kau sudah gila? Kau tidak tahu siapa gadis itu? Dia adalah Can-pangcu, ketua dari Sorban Merah!"

Un Leng tersenyum. "Habis mengapa ibu ? Apakah dia bukan manusia?*

"Tentu saja dia manusia, bahkan manusia yang Iebih mulia dari pada orang kebanyakan! Dia seorang gagah perkasa, berpengaruh dan menjadi pangcu dari sebuah perkumpulan orang gagah. Bagaimana aku berani meminang untukmu? Leng-ji, lebih baik kucarikan nona yang lebih sesuai untukmu, yang pandai menyulam dan membaca, bukan seperti Can-pangcu yang pandai mainkan golok !"

"Tidak, ibu. Melihat nona itu, aku tahu bahwa dialah orang yang akan dapat membahagiakan anakmu."

Ibunya menghela napas panjang, "Aneh sekali kau ini, Leng-ji. apakah kau tidak takut melihat goloknya yang tajam?"

Mendengar ini Un Leng tertawa bergelak sehingga ibunya menjadi terheran. Puteranya ini agaknya telah berobah semenjak lima tahun pergi ke kota raja !

“Ibu ini aneh-aneh saja. Kalau Can-siocia memang algojo yang biasa menyembelih orang barangkali akupun tidak takut. Apa lagi dia seorang berhati mulia dan gagah perkasa seperti ibu katakan tadi. Sudahlah ibu, tolonglah anakmu dan pinanglah dia."

“Aku tidak berani, anakku. Kita orang miskin, bagaimana aku harus melamar seorang yang kaya raya dan berpengaruh seperti Can Siocia?”

Akan tetapi Un Leng membujuk terus sehingga akhirnya berangkatlah ibu yang mencinta anaknya ini, mengajukan pinangan kepada Kui Hwa. Di luar dugaannya semula, nona ini menerimanya dengan penuh penghormatan dan dengan muka merah kemalu-maluan. Nona ini tidak menolaknya mentah-mentah hanya menyatakan bahwa ia belum ingin mengikat diri dengan perjodohan dan mohon kepada nyonya itu agar supaya tidak kecewa dan menyesal.

Setelah tiba di rumah, ibu ini mengomeli puteranya. "Kau membikin malu ibumu saja ! Nona Can begitu baik dan ramah tamah. Biarpun ia tidak menolak dengan kasar, akan tetapi alasannya belum ingin menikah itu telah merupakan penolakan yang halus."

Akan tetapi Un Leng tidak putus harapan. Pemuda yang lama tinggal di kota raja ini memang seorang pemberani dan tanpa malu-malu dia lalu mengunjungi rumah perkumpulan sorban Merah untuk berkenalan dengan Can pangcu ! Tentu saja Kui Hwa merasa terkejut dan heran sekali melihat keberanian pemuda ini. Timbul kemarahan di dalam hatinya karena ia mengira bahwa pemuda ini tentu sebangsa pemuda mata keranjang yang kurang ajar. Tidak tahunya, setelah mereka berjumpa, Un Leng bersikap sopan santun dan pemuda ini pandai sekali bercakap-cakap dan pengetahuannya luas sekali sehingga Kiu Hwa merasa suka bergaul dengan dia !

Mulailah mereka berkenalan dan tidak saja Un Leng seringkali datang berkunjung bahkan kini Kui Hwa seringkali datang ke rumah Un Leng untuk mengobrol dengan pemuda itu dan ibunya ! Tentu saja nyonya Siok menjadi terheran-heran akan tetapi diam-diam nyonya ini girang sekali karena kalau Can pangcu menjadi sahabat puteranya, sedikitnya mereka akan lebih disegani oleh para tetangga.

Pada suatu hari, ketika Un Leng bercakap-cakap di rumah Kui Hwa, pemuda ini berkata, "Nona Can, kuharap kau tidak berkecil hati dan tidak mengira yang bukan-bukan ketika ibuku datang mengajukan pinangan kepadamu. Sesungguhnya terus terang saja aku mengagumimu sebagai seorang gadis gagah perkasa yang berani memimpin perkumpulan besar ini. Kau patut dipuji dan penolakan dulu tidak mengecilkan hatiku. Dapat menjadi sahabatmu saja sudah merupakan hal yang amat membahagiakan hatiku.'

Kui Hwa merasa terharu mendengar ini. Pemuda ini benar-benar seorang yang baik dan sopan.

“Saudara Un Leng harap kau suka maafkan padaku. Sesungguhnya, seperti yang pernah kukatakan kepada ibumu, aku belum mempunyai niat untuk mengikat diriku dengan perjodohan. Kau seorang yang baik dan aku suka bersahabat dengan kau. Adapun tentang pernikahan........ agaknya selama hidupku aku takkan menikah !"

Un Leng memandang tajam lalu berkata perlahan, "Nona, tentu saja kalau sampai tiba waktunya kau menikah, kau tentu akan memilih seorang suami yang memiliki kepandaian bu (ilmu silat), bukan seorang siucai yang Iemah seperti aku!"

Kui Hwa terkejut karena pemuda ini ternyata dapat meraba isi hatinya. Akan tetapi ia harus bersikap jujur terhadap pemuda yang baik hati ini.

"Ada betulnya juga kata-katamu itu, saudara Un Leng. Kau tentu mengerti sendiri bahwa suami isteri baru bisa hidup rukun apabila mempunyai kesukaan yang sama. Kurasa sukar juga kalau kesukaan si isteri memegang golok sedangkan kesukaan si suami memegang tangkai pena!" Gadis ini tersenyum dan ucapannya itu dimaksudkan sebagai sebuah kelakar.

Akan tetapi Un Leng memandang dengan tajam dan berkata dengan sikap bersungguh-sungguh. "Kau keliru, nona. Mempelajari permainan golok bukanlah termasuk kesenangan, akan tetapi lebih tepat sebagai penjagaan diri terhadap gangguan orang-orang jahat. Sebaliknya mempelajari menggerakkan tangkai pena merupakan sebuah kesenian dan mempertinggi peradaban sebagai manusia. Tangkai pena tidak berbahaya, berbeda dengan golok yang biasanya hanya mendatangkan malapetaka, bunuh membunuh dan balas membalas karena dendam !" Pemuda ini nampak bersemangat sekali.

"Kau berat sebelah, saudara Un Leng." kata Kui Hwa dan matanya berkata, "Kau tahu apa

tentang ilmu silat ?" akan tetapi mulutnya berkata lain, "Tangkai pena bukanlah benda yang tidak berbahaya, bahkan kurasa lebih berbahaya dari pada mata golok. Kalau orang menggunakan golok untuk menyerang maka lawan yang diserang dapat melihatnya dan mempunyai kesempatan untuk melawan. Akan tetapi, berapa banyaknya orang yang mendapat celaka serumah tangga hanya oleh coretan pena seorang pembesar yang melakukan serangan dan fitnah secara sembunyi ?"

Un Leng cemberut. Ia merasa sebal sekali terhadap pembesar-pembesar yang jahat dan yang tepat seperti dikatakan oleh gadis ini. "Oleh karena itulah aku tidak sudi menjabat pangkat !" serunya gemas. "Akan tetapi, tidak semua orang sejahat yang aku katakan tadi, nona."

Kui Hwa tersenyum geli melihat kemarahan Un Leng. "Ingat Siok siucai yang terhormat demikian pula dengan pemegang golok. Tidak semua sejahat seperti yang kau katakan tadi !”

Mereka saling pandang dengan marah, kemudian berbareng tertawa geli. "Ha, kita ini seakan akan mewakili dua fihak yang bertentangan, fihak bu dan bun (ahli sastera) !" kata Un Leng. Juga Kui Hwa tertawa dan gadis itu makin suka kepada pemuda yang baik budinya ini. Sayang sekali dia tidak pandai ilmu silat, pikirnya. Kalau Un Leng pandai ilmu silat agaknya tidak akan kecewa menjadi istri pemuda ini. Akan tetapi, tiba - tiba ia teringat lagi akan kesesatannya bersama Tiong Kiat dahulu dan wajah gadis ini berubah murung sekali.

“Aku takkan menikah selama hidupku," hatinya berkata dan tanpa disadarinya, bibirnya juga membisikkan kata-kata ini sehingga terdengar oleh Un Leng.

“Nona mengapakah kau berduka? Agaknya ada sesuatu yang mengganjal hatimu dan yang membuat kau putus asa. Dapatkah kau menceritakan hal itu kepada sahabatmu ini ?" Kui Hwa menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

"Tak mungkin, saudara Un Leng. Tak mungkin kuceritakan kepada siapapun juga." Dalam keadaan hati tertekan berdiamlah kedua orang sahabat ini.

Sebagaimana telah dituturkan di depan, Can Kui Hwa sebagai pangcu dari Sorban Merah yang cantik jelita dan gagah, terkenal sampai jauh dari daerah Heng-yang. Hal ini menarik hati orang-orang gagah, terutama mereka yang masih muda dan belum menikah, karena bukankah pangcu wanita yang cantik dan masih gadis itu merupakan kembang yang amat menarik hati ? Muda, cantik, kaya raya menjadi ketua dari perkumpulan yang berpengaruh!

Dan di antara mereka yang mendengar nama Can Kui Hwa yang mengagumi dari jauh terdapat juga Ban Hwa Yong, si penjahat pemetik bunga yang lihai itu ! Seperti telah diketahui orang ketiga dari Thian-te Sam kui ini telah kehilangan dua orang suhengnya yang tewas dalam tangan Eng Eng dan Tiong Han. Biarpun ia sendiri ditinggal mati oleh kedua orang suhengnya, Ban Hwa Yong menjadi gelisah dan gentar sekali menghadapi kejaran Suma Eng,

nona yang hebat dan lihai sekali itu. Timbul pikiran dalam kepalanya untuk mencuci tangan, untuk berhenti melakukan kejahatan dan kesukaannya mengganggu anak isteri orang. Ia ingin mencari seorang gadis yang baik, mendirikan rumah tangga yang aman dan meninggalkan dunia kang ouw karena ia merasa bahwa keselamatannya amat terancam.

Ketika Ban Hwa Yong mendengar nama Can Kui Hwa tergeraklah hatinya. Ia sudah mendengar bahwa Perkumpulan Sorban Merah merupakan perkumpulan yang kuat, berpengaruh dan kaya. Dan sekarang ketuanya adalah seorang gadis yang cantik jelita, yang masih belum menikah. Ah, inilah yang dibutuhkannya. lsteri cantik dan gagah, kedudukan yang kuat, dan harta cukup! Dengan hati girang dan penuh harapan ia lalu berangkat ke Heng-yang dengan maksud memperisteri gadis yang menjadi pangcu itu.

Ketika Ban Hwa Yong tiba di rumah perkumpulan itu, ternyata ia mendapat keterangan bahwa Can-pangcu yang dicarinya sedang pergi keluar kota.

"Kemanakah dia pergi?* tanya Ban Hwa Yong.

Anggaota Sorban Merah yang menjaga pintu memandang kepada orang yang berwajah tua itu dengan curiga. Orang ini tinggi kurus dengan muka seperti seekor burung, hidungnya seperti hidung kakatua dan mukanya jelek pandangan matanya liar sedangkan di pinggangnya tergantung sepasang senjata yang aneh, yakni sepasang kaitan yang menyeramkan.

“Siapakah saudara ini dan ada keperluan apa mencari pangcu?" tanyanya dengan curiga.

Ban Hwa Yong tertawa bergelak. "Aku sahabat dari pangcumu dan kelak kamu tentu akan lebih mengenalku dengan baik. Sebutkan saja di mana adanya pangcumu itu."

“Pangcu sedang berjalan jalan naik kuda ke hutan sebelah barat kota," akhirnya penjaga itu menjawab juga. Ban Hwa Yong lalu berlari pergi dengan cepatnya sehingga penjaga itu menjadi kagum. Jai hwa-cat (penjahat pemetik bunga) ini Ialu berlari menyusul ke hutan di luar kota Heng-yang di mana merupakan hutan kecil yang amat indah dan banyak terdapat bunga bunga yang berkembang.

Pada saat itu, Kui Hwa sedang duduk di bawah pohon bersama Siok Un Leng, pemuda sasterawan yang menjadi sahabat baiknya itu. Mereka datang berkuda dan kini kedua ekor kuda itu mereka lepaskan di tempat yang banyak rumputnya agar binatang itu dapat makan rumput dengan seenaknya. Adapun mereka berdua lalu duduk di bawah pohon. Un Leng membaca sajak-sajak yang digubahnya sendiri dan Kui Hwa mendengarkan dengan penuh kegembiraan dan kekaguman. Memang gadis ini suka sekali akan kesusasteraan sungguhpun ia sendiri hanya mempelajari sedikit saja dari ibunya. Keduanya nampak rukun dan cocok, sungguh merupakan pasangan yang baik sekali. Akan tetapi selama itu, Kui Hwa selalu menghindarkan diri dari percakapan tentang pernikahan dan pernyataan kasih sayang pemuda itu selalu ditolaknya dengan halus. Ia maklum bahwa hatinya runtuh juga menghadapi pemuda yang selain tampan, juga sopan dan baik sekali ini, akan tetapi dia mengeraskan hati dan rasanya karena ia merasa yakin bahwa tak mungkin ia yang sudah

melakukan kesesatan itu dapat menjadi isteri Un Leng! Tiba-tiba terdengar bentakan keras di sebelah belakang mereka.

"Pemuda kurang ajar dari manakah yang telah berani bermain gila dengan Can pangcu?" bentakan ini keras dan parau dan ketika Un Leng dan Kui Hwa menengok sambil melompat berdiri, ternyata di hadapan mereka berdiri seorang laki-laki jangkung yang bermuka tajam seperti muka kakatua. Laki laki ini bukan lain adalah Ban Hwa Yong yang memandang dengan mulut menyeringai menjemukan sekali.

Dengan pandang mata merah penuh cemburu, Ban Hwa Yong lalu menggerakkan kaitan di tangan kanannya untuk menyerang Un Leng, akan tetapi golok Kui Hwa menangkis kaitan ini.

"Bangsat hina dina! Siapakah kau dan apa maksud kedatanganmu mengganggu kami?" bentak Kui Hwa yang kagum juga melihat betapa Un Leng nampak tenang saja dan tidak takut biarpun tadi hampir menjadi kurban senjata kaitan itu.

“Can pangcu harap jangan marah." jawab Ban Hwa Yong yang memandang ringan, “Aku Ban Hwa Yong dari tempat yang ratusan lie jauhnya sengaja datang hendak bercengrama dan mengajakmu bercakap-cakap. Akan tetapi oleh karena di sini ada orang lain maka kuharap bocah ini pergi segera dari sini agar kita dapat bicara lebih leluasa lagi.”

Bukan main gemasnya hati Kui Hwa mendengar ucapan yang sifatnya kurang ajar dan memandang rendah ini.

“Pemuda ini adalah sahabat baikku dan dia boleh pula mendengar apa yang akan keluar dari mulutmu yang busuk. Lekas bilang apa maksud kedatanganmu sebelum golokku menghajar dan memutuskan lehermu !"

"Aduh galak benar !" Ban Hwa Yong tertawa. "Akan tetapi makin galak makin bertambah manis ! Nona Can, terus terang saja kedatanganku ini hendak meminangmu menjadi istriku ! Aku masih bujangan dan tentu tidak enak hidup sendiri seperti engkau ini, apa lagi kalau memegang kedudukan sebagai pangcu. Serahkan saja pekerjaanmu itu kepadaku, calon suamimu dan kau akan hidup berbahagia!”

"Anjing bermulut lancang!" Kui Hwa tak dapat menahan marahnya lagi dan cepat goloknya bergerak membacok kepala Ban Hwa Yong. Akan tetapi, sambil tersenyum-senyum Ban Hwa Yong mengelak dan bertempurlah kedua orang ini dengan ramainya. Ban Hwa Yong terkejut juga melihat permainan golok nona itu karena benar-benar kuat dan berbahaya. Akan tetapi, sepasang kaitannya digerakkan secara luar biasa sekali sehingga Kui Hwa segera terdesak hebat, kalau saja gadis itu memegang pedang dan tidak berada dalam keadaan semarah itu, takkan mudah bagi Ban Hwa Yong untuk mengalahkannya. Akan tetapi dalam keadaan semarah itu Kui Hwa kehilangan kewaspadaannya dan sama sekali tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya lawannya ini lihai sekali dan tidak boleh dipandang ringan.

Golok di tangannya diputar sedemikian rupa dan hanya satu saja kehendaknya yakni membunuh manusia kurang ajar ini.

Akan tetapi dengan kaitannya yang lihai Ban Hwa Yong dapat menahan golok Kui Hwa dan pada satu saat yang baik ketika kaitannya dapat membuat golok gadis itu belum sampai menyerang lagi, tiba-tiba kaitan di tangan kanannya bergerak cepat ke arah dada Kui Hwa dan, "bret!" terkaitlah baju gadis itu pada bagian dada dan terbawa kain robek itu dikaitan sehingga nampak sebagian dada gadis ini!

Bukan main terkejutnya hati Kui Hwa. Ia menjerit perlahan dan mukanya menjadi malu sekali, sesaat kemudian mukanya berubah merah sampai ke telinganya ketika ia mendengar betapa Ban Hwa Yong tertawa terkekeh-kekeh !

Pada saat itu terjadilah hal aneh yang sedetikpun tak pernah disangka oleh Kui Hwa. Terdengar bentakan nyaring dan bayangan yang cukup gesit melompat dari belakangnya dan menyerang Ban Hwa Yong dengan sebatang golok ! Orang ini bukan lain adalah Un Leng ! Ternyata bahwa pemuda ini marah sekali melihat Kui Hwa dipermainkan dan dihina oleh Ban Hwa Yong. Ia cepat berlari menghampiri kudanya dan dari balik pelana kuda dikeluarkannya sebatang golok besar yang tajam sekali dan ketika ia melihat betapa baju Kui Hwa terkait robek, kemarahannya memuncak. Ia lalu menyerang hebat yang segera ditangkis pula oleh Ban Hwa Yong. Penjahat inipun tertegun sebentar karena tak disangkanya bahwa pemuda yang nampak Iemah ini ternyata pandai juga mainkan golok.

Biarpun terheran-heran, Kui Hwa cepat melompat ke belakang dan membalikkan tubuhnya. Dilepasnya kain pengikat rambutnya disambung dengan saputangan lebar dan dilibatkannya kain itu pada dadanya untuk menutupi bagian tubuh yang telanjang itu. Kemudian ia cepat menengok dan melihat betapa Un Leng mempertahankan diri mati-matian dari desakan sepasang kaitan di tangan Ban Hwa Yong yang lihai.

Berdebar aneh dada Kui Hwa ketika ia menyaksikan bahwa betapapun juga, pemuda sasterawan yang disangkanya hanya seorang kutu buku yang lemah itu ternyata memiliki ilmu silat yang tidak rendah! Akan tetapi senjata di tangan penjahat itu benar-benar berbahaya sekali dan keadaan Un Leng juga sudah mulai terdesak, maka Kui Hwa lalu melompat maju dan kini goloknya menyambar-nyambar bagaikan setan maut mengancam nyawa Ban Hwa Yong. Penjahat ini sekarang tak dapat tertawa lagi. Menghadapi dua orang ini, benar-benar ia merasa kewalahan dan setelah melawan sampai empat puluh jurus dalam waktu mana keselamatannya terancam hebat ia lalu melompat dan melarikan diri. Kui Hwa yang marah sekali hendak mengejar akan tetapi Un Leng berkata.

“Tak usah dikejar lawan yang sudah kalah dan ketakutan !"

Kui Hwa tidak jadi mengejar Ban Hwa Yong dan memandang kepada Un Leng dengan pandang mata kagum. Un Leng menyimpan kembali goloknya di bawah sela di atas kudanya kemudian ketika ia kembali kepada Kui Hwa ia berkata,

"Maaf bahwa aku terpaksa memperlihatkan kebodohanku nona."

“Saudara Siok Un Leng, mengapa kau selama ini berpura-pura tidak mengerti ilmu silat? Kepandaianmu cukup baik dan.......mengapa kau menyembunyikan kepandaian itu padaku?"

Un Leng tersenyum. "Tak ingatkah betapa aku tidak suka akan kekerasan? Aku mempelajari ilmu silat hanya untuk penjagaan diri seperti yang tadi telah kulakukan menghadapi penjahat itu, bukan sekali-kali untuk kusombongkan dan kujadikan alat mencari permusuhan. Tidak nona, aku lebih suka menggerakkan tangkai pena daripada menggerakkan golok yang mengerikan itu !"

Kui Hwa memandang kagum dan hatinya merasa girang sekali. Inilah pemuda yang patut dipercayainya dan yang akan dapat melindunginya selama hidupnya. "Saudara Un Leng....... kalau aku tahu......"

"Nona, setelah sekarang kau mengetahui keadaanku, biarlah di sini kuulangi pinanganku dahulu. Bagaimana? Sudikah kau menerimaku sebagai suamimu? Kita menjauhkan diri dari segala urusan dunia, kita pindah ke tempat aman, mendirikan rumah tangga yang aman dan damai, tidak mengenal tajamnya senjata. Sudikah kau...?" Sambil berkata demikian dengan mesra dan halus, pemuda itu melangkah maju dan memegang tangan Kui Hwa. Untuk sesaat gadis itu memandang mesra. Akan tetapi tiba-tiba ia teringat kepada Tiong Kiat. Direnggutnya tangannya dan ia berkata,

"Tidak........ tidak ! Jangan dekati aku Un Leng ...... aku....... aku tidak berharga...... !" ia lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis!

'Nona apakah kau akan maksudkan kepergianmu dari Kim liong.pai, minggat bersama dengan ji-suhengmu (kakak seperguruan kedua)? Itukah yang kauanggap bahwa kau tidak berharga lagi?'

Kui Hwa terkejut dan memandang dengan mata basah !

'Apa ....? Kau sudah tahu akan hal itu ?'

Un Leng mengangguk, 'Sebelum kembali ke Heng-yang di kota raja aku telah mendengar akan hal itu. Peristiwa yang terjadi di Gunung Liong-san, mengenai diri anak-anak murid Kim liong-pai yang terkenal tentu saja mudah tersiar di kalangan kang-ouw. Aku teIah mendengarnya semua, nona, tak perlu kau menuturkannya lagi."

"Kau........ kau sudah tahu selama ini . .dan kau ....... tidak memandang rendah dan hina kepadaku........?'

Un Leng tersenyum. 'Kalau aku memandang rendah, apakah aku mau mendekatimu, menyuruh ibuku meminangmu sebagai istriku?"

Makin deras air mata mengalir dari mata Kui Hwa,”Saudara Siok...... aku bukan seorang baik-baik, aku telah menjalankan kesesatan bersama manusia jahanam yang menjadi suhengku itu, aku telah meninggalkan suhu meninggalkan ayah, membatalkan pertunanganku dengan twa suheng secara paksa ....aku gadis tak tahu malu, yang sudah melanggar kesusilaan, aku tak berharga lagi. ...tahukan kau akan semua ini ?'

Un Leng berkata sungguh-sungguh. "Aku sudah tahu, nona, akan tetapi aku tidak menganggap kau tidak berharga. Seorang yang sudah sadar dari pada kesesatannya adalah seorang bijaksana. Aku mengagumimu dan aku… aku tertarik dan cinta padamu."

Saking terharunya Kui Hwa lalu menubruk kaki Un Leng, berlutut sambil menangis. Ia berterima kasih sekali, juga terharu dan girang karena selama berkenalan, ia maklum bahwa hatinya telah jatuh pula terhadap pemuda ini. Un Leng menarik napas panjang dan mengelus-elus rambut Kui Hwa, membiarkan kekasihnya melepaskan tekanan batin dengan air matanya.

Ketika mereka kembali ke kota Heng yang dengan wajah gembira dan penuh bahagia, keduanya lalu menuju ke rumah perkumpulan Sorban Merah. Kui Hwa telah bermufakat untuk menerima pinangan Nyonya Siok untuk yang kedua kalinya dan telah setuju pula bahwa dia akan ikut suaminya dan mertuanya untuk pindah ke kota raja di mana suaminya akan mencari pekerjaan. Ia telah mengambil keputusan pula untuk meletakkan jabatannya sebagai ketua perkumpulan Sorban Merah.

Akan tetapi, ketika ia dan Un Leng berjalan memasuki pekarangan rumah perkumpulan itu, ia melihat seorang pemuda bangkit berdiri dari bangku di ruang depan dan kini pemuda itu berdiri menanti kedatangan mereka dengan wajah tenang. Pucatlah wajah Kui Hwa ketika ia memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan tak terasa pula ia menahan tindakan kakinya. Ia melihat betapa pemuda itu memandang kepadanya dengan senyum tenang dan sama sekali tidak kelihatan marah atau membenci. Terharulah hati Kui Hwa dan tak terasa lagi ia lalu berlari ke depan dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu ! Un Leng hanya memandang heran dan mengerutkan kening, karena ia tidak mengenal pemuda itu, cepat memegang kedua pundak Kui Hwa, membangunkannya sambil berkata.

"Eh, sumoi mengapa kau begini? Berdirilah dan mari kita bicara dengan baik."

Kui Hwa tak dapat menahan berlinangnya air matanya, ia tidak berani menentang pandang mata pemuda yang bukan lain adalah Tiong Han ini. Ia merasa malu sekali kepada bekas tunangan dan suhengnya ini, yang selalu bersikap baik terhadapnya.

"Twa suheng...... kau...... kau dapat memaafkan aku ? Kau tidak marah dan tidak benci kepadaku ?"

Tiong Han menggeleng kepalanya dan tersenyum tenang, sungguhpun senyumnya bukanlah senyum gembira.

"Mengapa aku harus benci dan marah kepadamu, sumoi ? Kau adalah adikku, adikku yang kusayang semenjak kita masih anak-anak. Aku hanya kasihan melihatmu, sumoi." Kemudian barulah Tiong Han merasa bahwa mereka tidak patut bicara urusan pribadi mereka di depan seorang pemuda tampan yang tidak dikenalnya. Ia lalu mengangkat muka memandang kepada Un Leng yang sudah menghampirinya dengan senyum dan pandang mata kagum. Un Leng menjura dan cepat dibalas oleh Tiong Han.

“Ah tidak tahunya kau adalah Sim Tiong Han, orang gagah dari Kim-liong pai. Aku ini Un Leng, adalah seorang yang bodoh." Seru pemuda sasterawan ini dengan sikap hormat.

Melihat sikap dan kesederhanaan pemuda ini, Tiong Han merasa suka dan cocok, hanya ia belum mengerti apakah hubungan antara pemuda ini dan sumoinya. Akan tetapi Kui Hwa segera menjelaskan,

'Suheng, dia ini adalah....sahabatku, seorang yang jujur dan banyak berjasa terhadap diriku yang hancur dan perasaanku yang luka oleh kejahatan ji suheng."

Tiong Han menghela napas dan keningnya berkerut. "Sumoi terus terang saja, aku sudah bertemu dengan Tiong Kiat dan aku datang ini hanya hendak bertanya kepadamu mengapa kau meninggalkan Tiong Kiat dan membiarkan dia tersesat sedemikian jauhnya!"

Mendengar nada suara Tiong Han, diam-diam Kui Hwa terkejut sekali. Dari suara pemuda ini, ia dapat menduga bahwa suhengnya ini biarpun tidak menaruh hati dendam kepadanya, namun merasa tidak senang mengapa dia berpisah dari Tiong Kiat dan tentu menyangka yang bukan-bukan. Maka ia cepat menuturkan pengalamannya dengan Tiong Kiat, betapa Tiong Kiat telah melakukan perbuatan rendah terhadap seorang gadis yang ditolongnya sehingga mereka menjadi berselisih dan bertempur. Kemudian diceritakannya bahwa Tiong Kiatlah yang pergi meninggalkannya dan betapa ia lalu menjadi ketua dari Perkumpulan sorban Merah.

Mendengar semua penuturan ini, kembali Tiong Han menarik napas panjang berkali-kali. "Ah, sumoi, kalau begitu adikku itulah yang jahat dan tersesat. Kasihan sekali nasibmu yang buruk." Dan diam-diam pemuda ini makin terheran melihat betapa Kui Hwa dapat menuturkan semua pengalamannya ini di depan Un Leng, seakan-akan di antara mereka tidak terdapat rahasia lagi. Ia menduga-duga dan ketika Kui Hwa memaksanya untuk bermalam di situ menikmati hidangan yang dikeluarkan dibantu pula oleh Un Leng, terpaksa ia menerimanya. Ia kagum juga melihat betapa kuat dan teratur perkumpulan yang dipimpin oleh sumoinya dan betapa semua anggauta Sorban Merah amat tunduk dan taat kepadanya.

Di dalam kesempatan itu, Un Leng mendapat pikiran yang amat baik. Diam-diam ia memberitahukan pikirannya ini kepada Kui Hwa dan gadis ini dengan muka kemerah-merahan hanya menganggukkan kepala dan kemudian ia sengaja meninggalkan ruangan dimana Tiong Han berada untuk memberi kesempatan kepada Un Leng untuk bicara berdua saja dengan suhengnya.

"Sim taihiap" kata Un Leng ketika mereka selesai makan dan duduk menghadapi meja dengan cawan terisi arak. "Sebelumnya kuharap kau sudi memaafkan aku apabila kau anggap aku berlaku lancang. Telah kuceritakan kepadamu bahwa aku adalah murid dari Kim-l-sin-kai (Pengemis Sakti Baju Kembang) di kota raja yang juga kau tahu telah kenal baik dengan suhumu. Biarpun aku hanya mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi seperti juga suhu, aku benci akan perkelahian dan permusuhan. Aku lebih suka hidup damai dan tenteram dengan penaku. Nah, kau telah mengetahui keadaan sumoimu. Seperti juga kau, aku kasihan sekali kepadanya. Akan tetapi kalau kau berkasihan sebagai seorang suheng terhadap sumoinya, adalah aku berkasihan kepadanya sebagai seorang pemuda terhadap seorang gadis yang telah merebut hatiku! Ya terus terang saja, taihiap, diantara sumoimu dan aku telah ada persesuaian paham dan kami telah bermupakat untuk menjadi suami-istri ! Oleh karena itu, mengingat bahwa Hwa moi jauh dari orang tua, maka kiranya kau menjadi wakilnya ! Kepadamulah sebagai wali Hwa - moi kuajukan pinanganku harap saja kau sudi menolong kami.”

Tiong Han tersenyum dan memandang tajam. "Saudara Siok bukan main girangnya hatiku mendengar ucapan yang terus terang ini! Sebelum kau menceritakan kepadaku, aku sudah dapat menduga lebih dulu, dan pengakuanmu ini menandakan bahwa kau memang jujur dan bersifat jantan. Kau telah mendengar tentang riwayat sumoi dengan adikku, namun kau dapat memaafkan dan masih dapat menghargainya, ini menandakan bahwa cintamu terhadapnya suci dan tulus. Akan tetapi, aku hanya menjadi suhengnya bagaimana aku berani berlaku lancang bertindak sebagai walinya ?"

Un Leng berbangkit dari bangkunya dan menjura kepada Tiong Han yang dibalas cepat-cepat oleh pemuda ini.

"Terima kasih banyak, taihiap. Sungguh pun benar pula ucapanmu tadi agaknya kau lupa bahwa Hwa moi sesungguhnya telah diberikan kepadamu oleh orang tuanya sebagai calon jodohmu. Kau berhak penuh atas dirinya dan berhak pula menjadi walinya. Kalau kau sudi menerima permohonanku, berarti kau telah melepas budi besar terhadap kami."

Terpaksa Tiong Han menerimanya dengan hati girang. Kui Hwa lalu dipanggil dan dengan muka kemerah-merahan gadis ini lalu menjura kepada suhengnya yang kini menjadi walinya itu. Para anggauta Sorban Merah lalu dikumpulkan dan setelah Tiong Han diperkenalkan sebagai suheng dan wali dari Kui Hwa, Tiong Han lalu mengumumkan dengan suara lantang tentang perjodohan antara kedua orang muda itu. Semua anggauta Sorban Merah menerima berita ini dengan girang sekali. Akan tetapi kegirangan ini segera terganti kekecewaan ketika Kui Hwa menyatakan bahwa setelah menikah, terpaksa meninggalkan perkumpulannya dan menyerahkan perkumpulannya ini kepada beberapa orang thauwbak yang paling tua dan cukup bijaksana.

Dengan disaksikan oleh Tiong Han, beberapa hari kemudian dilangsungkanlah pernikahan sepasang orang muda itu dengan sangat sederhana, akan tetapi cukup meriah karena

diramaikan dan dihadiri oleh anggauta Sorban Merah dan para sahabat-sahabat di kota Heng-yang.

Setelah itu, pada keesokan harinya, Tiong Han minta diri dari sepasang suami-istri ini untuk melanjutkan perjalanannya mencari adiknya. Kui Hwa mengantarkan kepergiaan suhengnya ini dengan air mata berIinang. Ia kini mendapat kenyataan betapa bijaksana dan mulia hati twa suhengnya ini dan diam-diam ia menyumpahi dirinya yang telah terpikat oleh bujukan-bujukan iblis dari mulut ji-suhengnya.

0-oodwoo-0

Pada waktu itu, pemerintah kerajaan Tang mempunyai hubungan baik sekali dengan suku bangsa Ouigour, yakni nenek moyang suku bangsa mongol. Raja bangsa Ouigour ini bernama Huayen khan, seorang yang sudah mempelajari kebudayaan Tiongkok dan selain pandai menulis huruf Tiongkok juga terkenal sekali dengan ilmu silat dan ilmu memanahnya yang tinggi.

Huayen-khan mengadakan hubungan dagang dengan kerajaan Tang, menukar kulit binatang dan bulu binatang dengan gula dan kain sutera. Pernah dua kali Huayen-khan datang mengunjungi kaisar Tang yang bernama Tai Cong, dan di kota raja kepala suku bangsa Ouigour ini disambut dengan segala kehormatan, bahkan Kaisar Tai Cong lalu mengadakan perayaan pesta untuk menghormati kunjungan Huayen khan ini. Di dalam pesta ini, setelah Huayen-khan minum banyak arak wangi yang dihidangkan dan kepalanya telah menjadi agak ringan dan kegembiraannya membesar, ia berkata kepada Kaisar Tai Cung,

"Saya lihat pengawal-pengawal paduka membawa busur dan anak panah. Agaknya ilmu panah dari kerajaan paduka amat maju dan hebat !" Kepala suku bangsa Ouigour ini lalu tertawa bergelak.

Kaisar Tai Cung terkenal sebagai seorang yang amat bijaksana, pandai memerintah, dicinta oleh rakyat karena adilnya dan selain itu iapun amat cerdik. Mendengar ucapan Huayen-khan ini, Kaisar Tai Cung sudah tahu akan maksudnya, karena iapun maklum akan kepandaian Huayen-khan dalam ilmu panah. Sambil tersenyum ia berkata.

"Betapapun pandainya para pengawalku, agaknya masih harus mendapat banyak petunjuk dari padamu, khan yang baik."

Huayen-khan tertawa bergelak sambil menenggak cawan araknya yang segera diisi pula sampai penuh oleh seorang dayang pelayan.

"Paduka pandai sekali merendahkan diri. Kita sedang bergembira, apa salahnya bermainmain sedikit dengan ilmu panah ? Harap paduka tidak berlaku sungkan dan sudi memanggil

seorang ahli panah terpandai dari dalam tembok besar."

Sambil tertawa juga, Kaisar Tai Cong lalu menyuruh seorang pengawal memanggil kepala pengawal yang bernama Ciok Kwan. Tak lama kemudian, Ciok Kwan datang menghadap. Huayenkhan memandang kepada perwira ini dengan kagum. Ciok Kwan adalah seorang perwira yang masih muda, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian rapi dan nampak gagah sekali karena potongan tubuhnya memang tegap dan besar. Sebagai seorang kepala pengawal bagian panah, di punggungnya tergantung busur besar dan anak-anak panah dengan bulu warna merah."Seorang perwira yang gagah !" Huayen Khan berkata memuji sehingga Tai Cong tersenyum girang.

"Ciok ciangkun." kata kaisar, "tamu agung kita Huayen-khan ini ingin sekali menyaksikan kepandaian memanah darimu, maka cobalah kau memperlihatkan kepandaianmu. Huayen-Khan sendiri adalah seorang ahli panah yang terkenal, maka permainan ini tentu takkan merugikanmu, bahkan kau tentu akan mendapat petunjuk-petunjuk yang baik dari padanya." Tentu saja Ciok Kwan tidak berani membantah dan ia mengerling ke arah kepala suku bangsa Ouigour itu. Ia telah mendengar nama besar Huayen-khan akan tetapi melihat orangnya, timbul keraguannya. Raja bangsa Ouigour ini nampak kasar, bercambang bauk dan agaknya telah mabok arak mana dapat memberi petunjuk tentang ilmu panah? Kaisar dan tamunya lalu keluar dari ruangan dalam, menuju ke taman bunga di sebelah kanan istana, diikuti oleh para pengawal dan pelayan. Dengan sikapnya yang sopan, Ciok Kwan lalu menuju ke tempat terbuka dan berpikir-pikir cara bagaimana ia akan memperlihatkan kemahirannya mainkan panah. la memandang ke kanan ke kiri dan berdongak pula memandang ke atas. Tiba-tiba Huayen khan tertawa berkata,

"Ciok-ciangkun, apakah kau mencari-cari matahari untuk menjadi sasaran anak panahmu? Ha, ha, ha!"

Huayen khan adalah seorang kasar dan kata-katanya ini hanya kelakar belaka. Kaisar Tai Cung mengerti akan hal ini, maka sambil tertawa kaisar ini berkata juga.

"Huayen khan yang gagah, apa kaukira sekarang ini masih ada orang-orang sakti seperti Panglima Po Gwan?" Panglima Po Gwan adalah seorang tokoh dalam dongeng Tiong kok yang demikian tinggi ilmu panahnya sehingga dikabarkan orang bahwa panglima ini pandai memanah bintang di langit !"

Huayen-khan juga tertawa mendengar ucapan kaisar ini, tanda bahwa kepala suku bangsa Ouigour ini tidak asing akan dongeng-dongeng dan sejarah purba dari Tiongkok. Akan tetapi, sebaliknya, Ciok Kwan yang semenjak kecil mempelajari bu (lima silat) dan sama sekali tidak pernah mempelajari bun (ilmu surat) merah kedua telinganya mendengar percakapan orang-orang besar ini. la mengira bahwa Huayen khan mengejeknya dan diamdiam iapun merasa gemas sekali mengapa kaisar bahkan membumbui ejekan tamu, orang yang dianggapnya kasar dan biadab ini!

"Hamba adalah seorang yang bodoh dan anak panah hamba hanya dapat dipergunakan untuk menangkap burung di atas itu!" kata Ciok Kwan sambil menudingkan telunjuknya ke atas. Semua orang melihat ke atas dan ternyata sekawanan burung terbang tinggi sekali di udara.

"Hamba akan menurunkan burung ketiga dari depan!* seru Ciok Kwan dan seruannya itu dibarengi oleh menjepretnya tali busurnya. Sebatang anak panah dengan cepat sekali mendesing ke udara dan tak lama kemudian betul saja, burung yang terbang di barisan ketiga dari depan nampak terkulai kepalanya dan jatuh ke bawah bagaikan sepotong batu. Ketika dilihat, burung itu telah tertembus dadanya oleh anak panah tadi, Semua pengawal berseru gembira menyaksikan ketangkasan kepala mereka ini. Kaisar Tai Cung mengangguk girang, akan tetapi Huayen-khan berkata.

"Memanah burung yang besar itu benar-benar mengagumkan orang!" Sambil berkata demikian, ia mengulur tangan ke belakang dan seorang di antara para pengawalnya lalu memberikan busur dan sebatang anak panah. "Aku hanya dapat memanah binatang yang kecil-kecil saja." Ucapan ini seperti diucapkan untuk dirinya sendiri dan pujian itu sama sekali tidak cocok dengan tarikan wajahnya yang memandang rendah.

"Kalau paduka membolehkan saja ingin mencabut ekor burung kecil warna hitam yang sedang terbang itu!"

"Kaisar Tai Cung menengok ke arah yang ditunjuk oleh Huayen khan dan ia terkejut sekali. Yang dituding oleh tamunya adalah seekor burung walet yang beterbangan di udara gesit sekali. Bagaimana orang dapat memanah burung yang terkenal amat gesit dan tangkas ini ? Apa lagi hanya membobolkan ekornya,jauh lebih sukar dari pada kalau memanah jatuh burung itu.

Tentu saja kami tidak melarangnya, hanya, dapatkah burung segesit itu dipanah jatuh ekornya saja?"

Huayen-khan tertawa bergelak, membidikkan anak panahnya, menanti sampai burung walet itu terbang mendekat, kemudian terdengar anak panahnya meluncur cepat sekali merupakan sinar hitam karena anak panahnya ini belakangnya memakai ronce-ronce warna hitam. Semua orang menahan napas dan Ciok Kwan sendiri berdebar hati, karena iapun tidak percaya bahwa Huayen-khan akan berhasil. Akan tetapi, terdengar sorak-sorai dari para pengawal dan pengiring kepala suku bangsa Ouigour ini ketika terdengar burung walet menjerit lalu terbang cepat sekali tanpa ekor ! Beberapa helai bulu ekornya itu telah copot dan bodol terbabat oleh anak panah yang dilepas oleh Huayen-khan!

"Bagus, hebat sekali ilmu panahan khan yang baik !" Kaisar itu memuji dan diam-diam ia bersukur bahwa kerajaannya tidak bermusuhan dengan Huayen-khan yang pandai sekaIi mainkan anak panah ini.

Huayen-khan tertawa bergelak. "Walet hitam sekecil itu perlu apa dibunuh? Dicabut ekornya saja ia akan menjerit ketakutan dan lari secepatnya. Ha, ha, ha !"

Kaisar Tai Cung juga tersenyum karena ia maklum akan maksud kata-kata Huayen khan yang

lihai ini. Memang, pada waktu itu, terdapat suku bangsa Cou yang dipimpin oleh Piloko, seorang yang terkenal juga dalam ilmu silat sehingga ia mendapat julukan Yan-ong (Raja Burung Walet). Juga Piloko dan suku bangsanya bersahabat dengan pemerintah Tang tetapi di dalam perdagangannya dengan pemerintah Tang, Piloko mendapat saingan keras sekali dari Huayen-khan sehingga dua orang pemimpin suku bangsa ini menjadi saling benci dan timbul permusuhan di antara mereka ! Oleh karena itu, ucapan Huayen-khan ini tentu saja menyinggung diri Piloko yang dianggapnya burung walet tadi. Inipun agak tepat, karena di dalam peperangan pernah pasukan Piloko terpukul mundur oleh Huayen-khan dan terpaksa melarikan diri. Hanya berkat kebijaksanaan campur tangan Kaisar Tai Cung saja maka peperangan tidak dilanjutkan dan tidak menghebat, akan tetapi di dalam hati masingmasing masih terdapat dendam dan kebencian.

Setelah menerima hadiah-hadiah dari kaisar, Huayen khan lalu mengundurkan diri, diiringkan oleh sekalian pengawalnya, keluar dari istana hendak kembali ke tempat tinggalnya sendiri, yakni di lembah Sungai Salenga di utara.

Kaisar Tai Cung memberi perintah kepada Ciok Kwan untuk membawa sepasukan pengawal, mengiringkan perjalanan Huayen-khan sampai keluar ibu kota.

Pada saat rombongan ini tiba di luar tembok ibu kota, tiba-tiba sepasukan orang-orang tinggi besar yang bertopi putih sambil berseru keras datang menyerbu ! Jumlah mereka banyak sekali dan ternyata bahwa mereka ini adalah pasukan suku bangsa Cou yang dipimpin oleh Piloko ! Mereka telah menanti saat yang baik untuk melakukan pembalasan dan karena dendam mereka sudah memuncak, maka mereka tidak segan-segan lagi untuk menyerang Huayen-khan di Iuar tembok ibu kota kerajaan Tang!

'Atas nama kaisar, harap jangan mengganggu tamu agung kami !" Ciok Kwan berulang-ulang memberi peringatan dan berseru keras, akan tetapi Piloko tidak memperdulikan seruan itu bahkan segera berteriak.

"Ciok ciangkun ! Harap kau menarik kembali pasukanmu dan masuk ke dalam kota. Kami tidak ada persoalan dengan kau dan pasukanmu dan biarkan kami membereskan urusan lama dengan Huayen khan !" Setelah berkata demikian Piloko memberi aba-aba dan menyerbulah anak buahnya, menyerang Huayen khan yang hanya dikawal oleh dua puluh orang anak buahnya. Pertempuran hebat terjadi ramai sekali Ciok Kwan menjadi ragu-ragu karena selain ia merasa mendongkol kepada Huayen khan, juga ia gentar menghadapi Piloko dengan anak buahnya yang sedikitnya ada lima puluh orang itu ! Maka ia berdiri diam saja di pinggir dan hal ini tentu saja diturut oleh pasukannya yang tidak berani lancang turun tangan tanpa aba-aba dari pemimpinnya.

Betapapun juga, Ciok Kwan lalu menyuruh dua orang anak buahnya untuk melaporkan peristiwa ini kepada kaisar dan minta putusan kaisar.

Celakalah keadaan Huayen-khan. Biarpun ia sendiri gagah perkasa, namun pada saat itu ia masih setengah mabok dan anak buahnya yang hanya dua puluh orang itu tentu saja tidak dapat menandingi sepak terjang lima puluh orang anak buah Piloko yang pilihan! Seorang demi seorang anak boah Huayen-khan roboh mandi darah dan Huayen khan sendiri sudah terkurung rapat. Namun kepala suku bangsa Ouigour ini memang mengagumkan. Dalam keadaan

terjepit seperti itu, ia sama sekali tidak mau berseru minta tolong kepada Ciok Kwan. Juga ia melakukan perlawanan dengan gigih sekali, memainkan goloknya yang diputar dengan hebatnya.

Pembantu Piloko tentu saja takkan berdaya menghadapi Huayen khan yang kosen kalau di situ tidak ada Piloko yang mengeroyoknya pula. Kepandaian silat Piloko tinggi juga dan permainan sepasang tombak pendek di tangannya cukup cepat dan kuat. Namun ia harus mengakui bahwa ia masih kalah jauh oleh Huayen-khan dan setelah mengeroyok dengan lima orang kawan-kawannya saja baru ia dapat mengimbangi permainan golok dari orang kasar bangsa Ouigour ini! Golok Huayen-khan telah berlumur darah, karena banyaklah sudah musuh yang roboh di tangannya. Akan tetapi sekarang ia telah merasa lelah perlahanlahan ia terdesak hebat dan kurungan yang kini terdiri dari sepuluh orang itu makin merapat !

Adapun Ciok Kwan masih sedia berdiri di situ menjadi penonton. Ia mengagumi kegagahan Huayen-khan akan tetapi ketika ia melihat gerakan sepasang tombak Piloko, ia menjadi gentar juga. Baiknya utusan-utusannya belum juga kembali, sehingga ia mendapat alasan cukup kuat untuk tinggal menjadi penonton dan belum membantu Huayen khan.

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Huayen-khan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah sinar putih yang menyilaukan mata. Segebrakan saja terguling dua orang pengeroyok Huayen khan oleh sinar putih yang ternyata adalah sinar pedang yang amat cepat gerakannya itu !

Huayen khan mengerling dan giranglah ia ketika melihat bahwa penolongnya bukanlah Ciok Kwan melainkan seorang pemuda bukan perajurit yang berpakaian biru dan berwajah tampan dan gagah sekali.

"Ha, ha. ha ! Orang muda yang gagah, mari kita basmi tikus-tikus busuk ini !" Dalam keadaan seperti itu, Huayen-khan masih dapat tertawa, sungguh mengagumkan hati pemuda ini yang bukan lain adalah Sim Tiong Kiat adanya!

Di dalam perantauannya, tibalah Tiong Kiat di luar tembok kota raja sehingga ia melihat pertempuran itu. Ia melihat betapa seorang tua tinggi besar bercambang bauk yang hebat juga ilmu goloknya, dikeroyok oleh orang-orang suku bangsa Cou yang banyak jumlahnya. Di sana sini nampak banyak mayat bertumpuk-tumpuk bahkan masih terjadi pertempuran hebat sekali oleh kedua fihak yang tidak berimbang jumlahnya itu. Ketika Tiong Kiat melihat Ciok Kwan dan pasukannya yang berpakaian mewah akan tetapi tidak berbuat sesuatu menghadapi pertempuran hebat itu, ia menjadi sebal sekali. Memang telah lama Tiong Kiat membenci para perajurit pemerintah yang lagaknya sombong itu. Melihat ilmu golok Huayen-khan dan kegagahan kepala suku bangsa Ouigour ini, timbul simpatinya dan segera ia mengambil keputusan untuk membelanya.

Di dalam dada pemuda ini memang masih ada keadilan dan tentu saja menghadapi dua pihak yang bertempur, tanpa mengetahui sebabnya, ia akan berpihak pada yang Iemah. Pihak Huayen-khan jauh lebih sedikit jumlahnya, maka lalu ia membela pihak ini.

Ketika mendengar ucapan Huayen khan, Tiong kiat menjadi gembira dan cepat ia mainkan pedangnya. Melihat betapa diantara para pengeroyok, sepasang tombak pendek Piloko paling lihai, Tiong Kiat lalu menyerang orang ini. Piloko menjadi marah sekali dan cepat ia menangkis sekuat tenaga dengan tombak kirinya. "Trang !" dan putuslah tombak kiri di tangan Piloko itu, yang membuatnya menjadi terkejut sekali sehingga wajahnya berubah pucat.

"Ha, ha, ha!" Huayen-khan tertawa bergelak. Setelah kini menghadapi pengeroyok kawankawan musuhnya, ia mengganda dengan tertawa saja. Ia menjadi geli melihat betapa tombak Piloko terbabat buntung oleh pedang pemuda gagah itu. "Walet hitam yang tadi ekornya telah buntung, sekarang sayapnya brondol lagi. Ha, ha, ha, kau tidak lekas terbang minggat?"

Piloko menjadi jerih sekali melihat kegagahan Tiong kiat, maka ia segera berseru keras dalam bahasa Cou, mengajak pergi kawan-kawannya, ia sendiri lalu mendahului melompat pergi dan berlari cepat, diikuti oleh kawan-kawannya yang hanya tinggal tiga puluh orang lebih lagi.

Baru saja rombongan Piloko melarikan diri, datanglah pasukan dari dalam kota yang mendapat perintah dari kaisar untuk memisahkan pertempuran itu dan membujuk kedua pihak supaya berdamai, biarpun harus dengan kekuatan senjata, Huayen-khan tidak memperdulikan Ciok Kwan dan pasukannya, bahkan tidak memperdulikan lagi anak buahnya yang menjadi korban, melainkan memeluk bahu Tiong Kiat sambil tertawa bergelak.

"Ha, ha, ha, dibandingkan dengan kau, semua orang ini hanya kecoa-kecoa pemakan bangkai belaka. Orang seperti kau inilah yang sepantasnya duduk di sebelah kananku. Orang muda yang gagah, maukah kau pergi bersama Huayen-khan ke utara dan duduk makan minum dengan aku ?"

Melihat sikap yang kasar ini, Tiong Kiat makin tertarik. Orang ini gagah dan jujur dan juga mendengar nama Huayen-khan, tahulah ia bahwa ini adalah kepala suku bangsa Ouigour yang gagah berani. Maka timbul hati sukanya dan iapun lalu menurut saja ketika tangannya digandeng oleh Huayen-khan dan diajak naik kuda yang sudah disediakan oleh anak buahnya. Ketika rombongan orang Ouigour ini hendak berangkat Huayen khan menoleh dari kudanya, memandang kepada Ciok Kwan sambil tersenyum mengejek.

"Ciok-ciangkun, benar saja seperti pengakuanmu tadi. Anak panahmu hanya dapat dipergunakan untuk menjatuhkan seekor burung besar yang lambat terbangnya. Akan tetapi menghadapi seekor burung walet yang kecil dan gesit, anak panahmu menjadi tumpul. Ha, ha, ha !" la lalu menarik kendali kudanya dan mengajak Tiong Kiat mengaburkan kuda mereka pergi dari situ.

Ciok Kwan mendongkol sekali akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan ? Untuk menyerang dan menyergap orang-orang ini tentu saja ia tidak berani karena tidak ada perintah dari kaisar. Untuk bertindak seorang diri terhadap kepala suku bangsa Ouigour ini lebih jerih karena maklum bahwa kepandaiannya takkan dapat menangkan orang kasar itu. Dengan marah dan mendongkol ia Ialu memimpin pasukannya untuk kembali ke kota raja untuk

membuat laporan kepada kaisar.

Huayen-khan ternyata merasa suka sekali kepada Tiong Kiat. Ia mengajak pemuda ini ke utara dengan segala kehormatan dan di sepanjang jalan pemuda ini diperlakukan sebagai orang setingkat dengannya !

Ketika mereka tiba di tempat perkemahan suku bangsa Ouigour, Tiong Kiat menjadi kagum sekali melihat betapa suku bangsa ini menempati perkemahan yang baik dan mempunyai anggauta yang banyak sekali jumlahnya. Lagi pula, setiap orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan tegap, selalu membawa senjata tajam dan nampaknya mengerti ilmu silat. Sungguh merupakan pasukan yang kuat dan baik. Akan tetapi yang lebih menyenangkan hatinya adalah ketika ia melihat wanita-wanita yang berada di situ. Berbeda dengan yang laki-laki para wanita Ouigour rata-rata berkulit bersih, bermata bening dan berhidung mancung, pendek kata cantik-cantik!

Rombongan Huayen khan berjalan perlahan dan pemimpin besar itu menjalankan kudanya perlahan-lahan sambil mengangkat tangan ke kanan ke kiri membalas penghormatan semua anak buahnya yang menyambutnya sepanjang jalan. Tiong Kiat yang menjalankan kudanya di sebelah Huayen-khan, menjadi berdebar bangga karena seakan-akan juga menerima penghormatan besar itu.

Tiba-tiba dari jurusan depan nampak seorang penunggang kuda yang membalapkan kudanya sehingga debu mengebul tinggi, kuda itu berlari cepat sekali dan Tiong Kiat memandang bagaikan terpesona. Memang hebat sekali pemandangan yang nampak di depan matanya itu. Kuda itu berbulu kemerah-merahan, sedangkan penunggangnya adalah seorang gadis yang berpakaian merah lagi sehingga kuda dan penunggangnya itu nampaknya seperti api yang bernyala-nyala. Yang membuat Tiong Kiat merasa kaget adalah kecepatan larinya kuda itu sehingga ia merasa kuatir kalau kuda ini menubruk kudanya dan kuda yang ditunggangi oleh Huayen khan. Akan tetapi, Huayen-khan memandang dengan tertawa lebar saja dan ketika kuda merah itu sudab tiba di depan Huayen khan tanpa mengurangi kecepatan larinya tiba-tiba saja gadis baju merah itu menahan kendali kuda dan menjepit perut kudanya dengan kedua kakinya dan... mendadak kuda itu berhenti berlari ! Kuda itu meringkik seakan-akan kegirangan dan Tiong Kiat sukar untuk dapat mempercayai apa yang dipandangnya dihadapan itu. Ia merasa terheran-heran dan kagum. Tidak saja kagum melihat kecantikan gadis baju merah ini, akan tetapi juga heran melihat cara gadis itu menghentikan kudanya.

Tidak sembarang orang dapat menghentikan larinya kuda yang secepat itu dalam cara demikian mendadak. Kalau gadis itu tidak memiliki tenaga besar dan kepandaian naik kuda yang luar biasa, tak mungkin ia akan dapat menghentikan kudanya secara itu!

Gadis itu sama sekali tidak menghormat Huayen-khan, bahkan datang-datang ia lalu menegur Huayen khan.

"Kau membawa benda apakah untukku?"

Huayen khan tertawa bergelak. "Ang Hwa (bunga Merah) kaukira aku akan lupa kepadamu?" Huayen khan mengeluarkan sebuah kotak berukir dari dalam bungkusan di atas sela kudanya dan melemparkannya kepada wanita itu. Lemparan ini keras dan cepat akan tetapi gadis itu menangkap peti kecil ini dengan gerakan yang Iihai sekali sehingga kembaIi Tiong Kiat memujinya.

'Bagus !" katanya tak terasa lagi.

Ang Hwa sedang membuka peti itu dan ketika ia mendengar pujian ini, ia menutup petinya dan memandang ke arah Tiong Kiat. Ia nampak tercengang seakan-akan baru sekarang ia melihat pemuda ini.

"Ha, ha, ha !" Huayen-khan tertawa pula. "Ang Hwa, kau lihat Sim enghiong ini. Bukankah ia gagah dan tampan sekali."

Akan tetapi sambil merengut, Ang Hwa menegurnya, ”mengapa kau membawa seorang Han ke sini?"

"Ang Hwa, jangan terburu-buru memandang rendah! Pemuda Han ini bukanlah sembarang pemuda dan kalau tidak ada dia, belum tentu hari ini aku dapat pulang !"

Kemudian Huayen-khan lalu menceritakan tentang penyerbuan Piloko di luar tembok kota.

"Ha, ha, ha! Ang Hwa, kalau kau melihat betapa seorang panglima kerajaan Tang she Ciok itu berdiri seperti patung, sungguh menyebalkan. Sayang kau tidak ikut dalam rombonganku. Kalau kau ikut, tentu akan kau lihat betapa Piloko si walet itu diusir tunggang langgang oleh Sim-enghiong yang gagah perkasa ini ! Ha, ha, ha !"

Ang Hwa mengerutkan kening. "Kau diserbu oleh Piloko di luar tembok kota raja dan kau tidak mendapat bantuan dari kaisar Tang? Hm, siapa tahu kalau hal itu adalah siasat kaisar sendiri membiarkan serigala dan harimau berkelahi sambil bersembunyi dan kalau keduanya sudah lelah dan terluka lalu muncul untuk menangkap mereka ?'

Tiong Kiat merasa tak senang mendengar betapa kaisarnya dituduh berlaku curang, akan tetapi ia makin kagum saja karena ternyata bahwa selain cantik jelita dan berkepandaian cukup tinggi, gadis inipun ahli dalam siasat peperangan dan berotak cerdik pula. Siapakah gadis ini, pikirnya. Tentu setidaknya puteri dari Huayen-khan !

"Aku mendengar bahwa Piloko memang bermusuhan dengan suku bangsamu, maka tanpa dibujuk oleh orang lain, ia akan menyerang rombongan Huayen-khan di manapun juga." kata Tiong Kiat tanpa membela langsung kepada kaisar bangsanya.

Ang Hwa memandang tajam kepadanya, kemudian melirik ke arah pedang yang tergantung di pinggang Tiong Kiat.

"Hm, kau membawa-bawa pedang dan kau telah membantu rombongan kami. Akan tetapi aku belum menyaksikan ilmu pedangmu. Malam nanti terang bulan, aku ingin sekali menyaksikan sampai di mana kehebatan ilmu pedangmu!” Sambil berkata demikian, ia lalu memutar kudanya dan membalapkan kudanya dan mendahului rombongan Huayen khan !

Huayen khan tertawa bergelak dengan gembira sekali "Ha, ha sim-enghiong, dia memang keras kepala. Kau harus melayaninya malam nanti !"

"Akan tetapi. Huayen khan, aku tidak suka mainkan pedang untuk ditonton,” jawab Tiong Kiat.

"siapa yang mau menonton ilmu pedang ? Dia mengajakmu mengadu ilmu kepandaian karena dia sendiripun seorang ahli pedang."

Tiong Kiat tertegun, akan tetapi Huayen-khan tidak memberi kesempatan padanya untuk bicara lagi, karena dia telah majukan kudanya sehingga rombongan itu maju terus menuju perkemahan besar di depan.

Setelah memasuki perkemahan, kembali Tiong Kiat tertegun ketika melihat banyaknya gadis-gadis pelayan yang cantik menyambut Huayen-khan, bahkan di antara mereka ini banyak sekali yang datang dari pedalaman, yakni gadis gadis bangsa Han !

"Bersenanglah dan anggap saja ini sebagai rumahmu sendiri !" kata Huayen-khan.Tiong Kiat mendapat tempat di sebuah kemah yang cukup besar, dilayani oleh belasan orang gadis pelayan yang cantik-cantik. Tentu saja pemuda mata keranjang ini merasa gembira sekali dan merasa seakan-akan telah memasuki kahyangan yang penuh dengan bidadaribidadari.

Malam harinya setelah bulan muncul, Huayen khan datang memasuki kemahnya dan mengajaknya keluar menikmati pemandangan di kebun kembang yang terdapat di tepi sungai. Ketika mereka tiba di tempat itu, benar saja pemandangan amat indahnya. Bunga bunga telah mekar dan di bawah sinar bulan purnama, keadaan di situ nampak indah menyenangkan sekali. Ketika Tiong Kiat melihat bayangan merah berdiri di tempat itu, dikelilingi oleh para pelayan, teringatlah ia akan janji Ang Hwa yang hendak mencoba ilmu pedangnya, diam-diam Tiong Kiat menggigit bibirnya. Ia akan memperlihatkan kepandaiannya agar dapat dikagumi oleh Ang Hwa yang cantik jeIita dan oleh para pelayan itu.

Memang benar seperti yang dikatakan oleh Huayen-khan tadi, karena begitu ia mengajak

Tiong Kiat duduk di atas bangku-bangku batu yang telah disediakan di tempat itu, Ang Hwa lalu menghampiri mereka dan berkata kepada Tiong Kiat,

"Sim enghiong, harap kau suka memperlihatkan kepandaianmu agar hati kami tidak raguragu lagi bahwa tamu kami bukanlah seorang pemuda Han yang lemah dan tiada guna belaka!” Gemaslah hati Tiong Kiat, bukan saja gemas melihat sikap gadis cantik yang memandang rendah ini, akan tetapi gemas pula melihat gadis yang benar-benar jelita dan menarik hati ini. Kalau saja ia tidak mengira bahwa gadis ini putri dari Huayen khan, tentu telah dipeluknya dan dibawa Iari ke dalam kemahnya!

"la bangkit berdiri dan berkata dengan senyum. "Nona sudah menjadi kebiasaanku sekali aku mencabut pedang, aku tentu harus memperoleh hasil. Menghadapi seorang musuh, darah musuh pada pedangku adalah hasil pencabutan pedangku. Oleh karena terhadapmu aku tak dapat berIaku demikian maka apakah hadiahnya apabila aku mendapat kemenangan?"

Ang Hwa memandangnya dengan matanya yang indah, sungguhpun matanya nampak berseri, namun bibirnya tetap memperlihatkan kekerasan hati dan kesombongannya.

"Katakan dulu, bagaimana kalau kau kalah? Pembayaran apakah yang akan kau pertaruhkan?'

Tiong Kiat tertegun. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini sedemikian sombongnya, seakan-akan sudah yakin akan kemenangannya sehingga berani mengajaknya bertaruh!

"Darahku yang kupertaruhkan." kata Tiong Kiat. "Biarlah aku terluka oleh pedangmu kalau ilmu pedangku terlalu rendah untuk menghadapi ilmu pedangmu."

Tiba-tiba Huayen khan tertawa bergelak. "Ang Hwa, kau terlalu sombong! Mana bisa kau menangkan Sim enghiong? Sim-enghiong, biarlah aku mewakilinya menjawab. Kalau kau menang, aku akan menyerahkannya kepadamu semalam penuh dan ia harus menurut!"

Kali ini benar-benar Tiong Kiat terkejut dan mukanya menjadi marah sekali. Bagaimana Huayen khan dapat menawarkan anaknya seperti itu? Benar ia tidak mengerti akan sikap dan watak orang orang Ouigour ini! Akan tetapi ia masih penasaran dan bertanyalah ia kepada Ang Hwa,

"Nona ucapan tadi dikeluarkan oleh Huayen-khan, bukan olehku."

"Sekali kata-kata sudah diucapkan, takkan ditarik kembali. Aku bersedia menurut perintah kalau aku kalah olehmu!" jawab Ang Hwa dengan singkat, dan gadis ini lalu mencabut sebatang pedang yang mengkilap dan melompat ke tengah pelataran.

Bukan main girangnya hati Tiong Kiat mendengar ini. Gilakah orang-orang ini? Dengan terang-terangan Huayen khan mempertaruhkan kehormatan puterinya sedangkan Ang Hwa sendiri dengan terang-terangan bersedia mentaati perintah itu ! Ia lalu mencabut pedangnya dan dengan lompatan ringan sekali ia telah berada di depan Ang Hwa,

'Nona, silakan kau mulai lebih dulu menyerangku !" tantangnya. la mengira bahwa biarpun kepandaian menunggang kuda nona ini hebat, namun ilmu pedangnya tentu tidak berapa berbahaya. Akan tetapi ia kecele kalau berpikir demikian, karena begitu gadis itu menggerakkan pedangnya, Tiong Kiat merasa terkejut sekali. Gerakan pedang gadis itu sama sekali tak boleh disebut lemah! Bukan main bahkan pedangnyapun bukan pedang biasa, melainkan pokiam (pedang pusaka) yang kuat sehingga ketika beradu dengan Hui Iiong kiam, hanya bunga-bunga api yang berpijar sedangkan pedang gadis itu sama sekali tidak menjadi rusak! Timbul kegembiraan di hati Tiong Kiat dan berbareng ia merasa tertarik dan suka kepada gadis ini. Sukarlah menjumpai gadis yang keras hati, cantik, tinggi kepandaiannya seperti Ang Hwa. Apalagi di tempat ini, dalam lingkungan orang-orang Ouigour yang kasar.

Pada waktu itu, Tiong Kiat telah menamatkan pelajaran Ang-coa kiam dari kitab Ang coa kiam coansi yang dirampasnya dari tangan Tiong Han. maka tingkat ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Bahkan Tiong Han sendiri belum tentu sekarang dapat melawan pemuda ini yang telah berhasil mewarisi seluruh ilmu pedang Ang coa-kiamsut, kepandaian ilmu pedang pusaka dari Kim-liong pai !

Tadinya Tiong Kiat hanya mempermainkan Ang Hwa dan mainkan ilmu pedangnya untuk bertahan saja. Ia bertambah heran ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu adalah ilmu pedang yang mirip sekali dengan Kun lun kiamhwat! Bagaimana seorang gadis Ouigour dapat mempelajari ilmu pedang dari Kun lun-pai? la ingin cepat-cepat menyelesaikan pibu ini agar dapat bicara berdua dengan gadis yang menarik hatinya ini. Cepat ia merubah gerakan pedangnya dan sebentar saja terdengar Ang Hwa berseru terkejut. Pedang di tangan pemuda ini tiba-tiba lenyap menjadi segulung sinar putih yang gerakannya aneh dan gesit sekali seperti seekor naga bermain di angkasa. Betapapun Ang Hwa memutar pedangnya dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, tetap saja gulungan sinar pedang itu mengurung dirinya, membuat pandangan matanya kabur dan kepalanya pening!

Baru sekarang ia percaya akan kehebatan ilmu pedang Tiong Kiat. Tiba-tiba ia merasa sampokan hebat sekali yang membuat pedangnya terlepas dari tangan dan ketika sinar pedang lawannya itu lenyap, ternyata Tiong Kiat telah berdiri di hadapannya dengan pedangnya yang terlepas dan berada di tangan kiri pemuda itu! Tiong Kiat tersenyum dan mengembalikan pedang itu kepada Ang Hwa yang menerimanya dengan muka merah.

Huayen khan menghampiri mereka sambil tersenyum-senyum.

'Bagus, bagus Sim-enghiong. Malam ini kau telah dapat menundukkan bunga merah sungai Selonga ! Aku rela memberikannya semalam kepadamu, kau gagah dan cukup berharga untuk itu. Ha, ha, ha ! bawalah, bawalah dia ke kemahmu, Sim-enghiong !" Setelah berkata demikian, kepala suku bangsa Ouigour ini lalu meninggalkan mereka, Tiong Kiat berdiri bengong dengan muka merah dan juga merasa terheran-heran. Akan tetapi ketika ia melihat betapa gadis itu memandangnya dengan mesra dan bibirnya tersenyum. Ketika melihat

betapa Tiong Kiat menatap wajahnya gadis ini menjadi merah mukanya dan menundukkan muka dengan kemalu-maluan, akan tetapi matanya mengerling dan menyambar dari pinggir, membuat pemuda itu menjadi runtuh betul imannya. Dengan girang Tiong Kiat lalu memegang tangan Ang Hwa dan diajaknya masuk ke dalam kemahnya.

Setelah tiba di dalam kemahnya, mereka duduk berhadapan dan Tiong Kiat yang merasa Iebih terheran-heran dari pada gembira itu Ialu bertanya.

*Nona, sungguh aku heran sekali melihat kau. Ilmu silatmu tadi sudah terang berasal dari Kun-lun-pai dan melihat wajah dan juga bicaramu kau Iebih pantas menjadi gadis bangsa Han dari pada menjadi seorang gadis Ouigour. Sesungguhnya, bagaimana kau sampai bisa berada di tempat ini ?*

Ang Hwa tersenyum dan memandang kepada Tiong Kiat dengan kagum.

"Sim enghiong, kau gagah sekali dan ilmu pedangmu saja sudah cukup menundukkan hatiku. Oleh karena itu, tiada salahnya aku menceritakan riwayatku dan percayalah hanya kepadamu saja aku mau bercerita."

Ang Hwa adalah puteri tunggal seorang guru silat bangsa Han, anak murid Kun-lun-pai. Ayahnya telah membunuh seorang Pembesar tinggi karena istrinya bermain gila dengan pembesar itu. Tentu saja ia menjadi orang buruan pemerintah dan guru silat she Ang ini melarikan diri bersama anaknya ke utara. Akhirnya ayahnya bertemu dengan Huayen khan dan menjadi pembantunya. Akan tetapi, ketika Ang Hwa berusia lima belas tahun, ayahnya telah meninggal dan ia terserang penyakit berat, sehingga akhirnya gadis ini menjadi yatim piatu dan ikut dengan Huayen khan yang amat mengasihinya.

"Demikianlah, Sim-enghiong, maka sampai sekarang aku berada di sini. Cita-citaku hanya untuk membalas dendam, tidak kepada pembesar tinggi yang sudah terbunuh oleh ayahku akan tetapi kepada pemerintahan Tang terutama kaisarnya yang telah membuat ayah menderita sengsara di tempat asing ini."

"Akan tetapi, bukankah suku bangsa Ouigour bersahabat dengan pemerintah Tang ?" tanya Tiong Kiat.

"Benar, akan tetapi itu hanya siasat belaka, keadaan kami belum kuat benar untuk melakukan penyerangan dan jalan terbaik adalah bersahabat dengan kaisar kerajaan Tang."

Tiong Kiat berpikir bahwa tentu Ang Hwa kini diaku anak oleh Huayen-khan. Kalau ia dapat menikah dengan gadis ini dan menjadi menantu Huayen khan, tentu pengaruhnya akan besar dan kelak ia akan mendapat kesempatan menggantikan kedudukan Huayen khan ! Alangkah senangnya menjadi raja dari suku bangsa ini. Akan tetapi, ia tidak senang mendengar betapa Huayen-khan diam-diam hendak menyerang dan menggulingkan kerajaan Tang. Betapapun juga, Tiong Kiat masih mempunyai darah pahlawan. Ia maklum akan

kebijaksanaan Kaisar Tai Cung, dan biarpun ia tidak mundur untuk melakukan pekerjaan rendah seperti jai-hwa cat dan pencuri, namun untuk menghianati Kaisar Tai Cung, ia tidak sudi ! Kalau aku dapat menikah dengan gadis ini dan menjadi mantu dari Huayenkhan, aku akan dapat membujuknya dan mempengaruhinya sehingga selamanya suku bangsa ini akan menjadi sahabat baik dari pemerintahan Tang, pikirnya.

la memandang gadis itu yang makin lama nampak makin cantik menarik. Tak terasa lagi ia mengulurkan tangan memegang lengan gadis itu dan Ang Hwa mendiamkan saja, bahkan tersenyum menantang!

"Alangkah bahagiaku dapat menerima kehormatan ini," kata Tiong Kiat sambil mengagumi mata yang bening itu. "Akan tetapi aku benar-benar masih merasa heran mengapa Huayen khan suka menyerahkan puterinya kepada seorang asing seperti aku. Bukankah ini agak terlalu….terlalu mudah? Aku ingin menikah dengan kau secara resmi, Ang Hwa, kau cukup pantas menjadi istriku yang tercinta."

Kini Ang Hwa memandang dengan mata terbelalak. "Puterinya ? Puterinya yang mana maksudmu, Sim-enghiong ?"

"Eh, bukankah kau menjadi puteri Huayen-khan?"

Ang Hwa menggeleng kepalanya. "Aku bukan puterinya, juga tidak diaku anak olehnya. Aku… aku telah menjadi isterinya."

Bagaikan disengat ular berbisa, Tiong Kiat menarik kembali tangannya yang memegang lengan Ang Hwa. Pemuda ini kalau sudah tertarik hatinya oleh seorang wanita, ia tidak akan memperdulikan apakah wanita itu anak orang ataupun puteri orang. Akan tetapi menghadapi Huayen khan yang menyerahkan istri sendiri kepadanya ini baginya merupakan haI yang aneh dan hebat sekali, yang membuatnya menjadi ngeri juga.

"Apa..... ?? Kau istrinya? Mengapa... mengapa ia memberikan kau kepadaku untuk melayaniku malam ini? Bagaimana mungkin ada perbuatan yang gila ini ?"

Ang Hwa tersenyum menarik dan kini dialah yang menghampiri Tiong Kiat dengan sikap menarik sekali. "Pemuda bodoh. Apa salahnya hal itu kami lakukan? Biarpun aku menjadi isterinya, akan tetapi dia telah berjanji takkan mengikatku. Aku boleh bebas sesuka hatiku. Aku ....... aku dengan suka sendiri melayanimu dan dia....ah, bukankah dia mengharapkan bantuanmu untuk mengguIingkan kaisar Tang? Kau suka kepadaku, aku sendiripun kagum melihatmu dan suamiku itu ingin menarik tenagamu. bukankah kita bertiga sudah merupakan tiga serangkai yang cocok sekali ?"

Pucatlah muka Tiong Kiat mendengar ini. Ia menjadi marah sekali Jadi orang telah sengaja menggunakan istri sendiri sebagai umpan agar ia mau berlaku khianat terhadap kaisarnya ?

"Tidak, tidak ! Kalian sudah gila ! Jangan harap akan dapat menarikku melakukan penghianatan! Kalau Huayen-khan hendak menyerang negaraku, lebih dulu dia akan berhadapan dengan aku sebagai musuhnya!"

Ang Hwa menjadi pucat. Senyumnya masih mengembang di bibir, akan tetapi sepasang matanya yang bening kini bernyala-nyala.

"Bagus sekali ! Kau tidak dapat menerima kebaikan orang !" Setelah berkata demikian, Ang Hwa melompat keluar dari tenda.

Tiong Kiat merasa curiga, cepat ia mengambil bungkusan pakaiannya dan hendak keluar dari tenda akan tetapi di luar tenda itu ternyata telah terkurung oleh pasukan Ouigour yang dipimpin oleh Huayen khan sendiri bersama istrinya. Ang Hwa!

"Orang she Sim!” kata Huayen-khan dengan suara besar. "Kau telah menghina isteriku dan menolak kebaikanku. Kau tidak mau membantu kami? Baik, jangan harap akan dapat keluar dari sini dalam keadaan bernyawa!" Sambil berkata demikian, Huayen khan telah menodongnya dengan anak panahnya yang lihai.

Akan tetapi Tiong Kiat tidak menjadi gentar. Ia tersenyum pahit dan berkata,"Kukira aku telah membantu seekor domba yang patut dibela, tidak tahunya di balik kedok domba itu tersembunyi muka serigala yang jahat! Huayen-khan, betapapun juga, aku Sim Tiong Kiat masih tetap seorang Han yang tidak nanti mau melakukan pengkhianatan terhadap negara dan bangsa sendiri!" SambiI berkata demikian Tiong Kiat cepat mencabut pedangnya. Baiknya ia berlaku cepat, karena belum habis ucapannya keluar dari mulut, tiga batang anak panah yang dilepas sekaligus oleh Huayen-khan telah menyambar ke arahnya! la cepat memutar pedangnya dan dengan menerbitkan suara nyaring, tiga batang anak panah itu dapat dipukul jatuh semua.

Huayen khan terkejut sekali. Belum pernah ia melihat ada orang yang dapat menangkis tiga anak panahnya secara demikian mudahnya, maka ia lalu cepat memberi aba-aba kepada para anak buahnya. Tiong Kiat mendahuluinya dan cepat menerjang dari samping kiri. Ia maklum bahwa untuk melakukan perlawanan dan menghadapi Huayen khan, Ang Hwa dan sekian banyaknya pasukan Ouigour, adalah hal yang tidak mungkin dan betapapun tingginya ilmu silatnya, kalau ia melawan ribuan orang ini, akan sama halnya dengan membunuh diri. Maka ia lalu menerjang ke kiri untuk menjauhi Huayen khan dan Ang Hwa. Begitu ia menerjang, pedangnya telah menjatuhkan tiga orang perwira Ouigour sehingga para pengepung di bagian ini menjadi jerih dan mundur. Tiong Kiat melompat ke dalam gelap dan mengamuk serta merobohkan para penghadangnya! Keadaan menjadi geger dan di mana saja pemuda itu lari dan dihadang, pasti robohlah beberapa orang!

Akhirnya setelah merobohkan dua puluh orang penghadang lebih, pemuda ini dapat membobolkan pengepungan dan melarikan diri di dalam gelap! Terdengar teriakan-teriakan di belakangnya dari mereka yang mengejarnya, akan tetapi siapakah yang dapat menyusul pemuda yang memiliki ilmu berlari cepat ini? Sebentar saja, suara yang mengejarnya

makin lemah dan tak terdengar lagi.

Tiong Kiat melarikan diri terus ke selatan. Tujuan perjalanannya adalah kota raja, karena sebelum bertemu dengan Huayen-khan, ia pun ingin sekali melihat kota raja. Hatinya merasa kecewa dan timbullah kedukaan di dalam dadanya. Teringat ia kepada Suma Eng, nona yang sampai pada saat itu juga masih selalu ia kenangkan dengan penuh kerinduan hati. Betapapun banyaknya wanita yang dijumpainya, tak seorangpun di antara mereka yang dapat dibandingkan dengan Suma Eng. Ia merasa menyesal sekali mengapa ia dahulu telah mengganggu Suma Eng, karena kalau tidak, tentu nona itu tidak akan memusuhinya dan mungkin sekali ia akan dapat menjadi sahabat baik nona itu. Gemas ia kalau teringat kepada Ang Hwa, gadis yang ternyata menjadi isteri Huayen khan yang amat tidak tahu malu itu.

Ia ingin masuk ke kota raja dan kalau mungkin, akan memberitahukan kepada pemerintah akan maksud Huayen khan yang hendak memberontak itu. Teringat kepada Eng Eng dan Ang Hwa, hatinya menjadi kesal dan ia tidak tertarik oleh gadis-gadis yang dijumpainya di dalam perjalanannya.

Pada suatu hari ia tiba di kota Hong-bun, sebuah kota kecil di sebelah kota raja. Ketika ia sedang berjalan memasuki kota itu ia melihat Iima orang tosu jubah kuning berjalan cepat bersama seorang panglima bertubuh tinggi besar dan nampak gagah sekali. Melihat lima orang tosu ini, terkejutlah hati Tiong Kiat. Sungguhpun ia belum pernah melihat lima tosu ini namun melihat pakaian mereka yang berwarna kuning dan melihat pula tongkat bambu yang berada di tangan mereka, dengan mudah ia menduga bahwa mereka ini tentulah Go bi Ngo koat-tung (Lima Tongkat Aneh dari Go-bi) yang telah amat terkenal namanya karena ilmu silat mereka yang amat tinggi. Juga hatinya tertarik sekali ketika melihat panglima yang gagah itu.

Timbullah dalam hati Tiong Kiat ingin mengetahui apakah yang hendak dilakukan oleh lima orang tosu itu. Maka diam-diam ia lalu mengikuti mereka dari jauh. Ternyata bahwa enam orang itu menuju keluar dari kota dan akhirnya mereka menuju ke barat melewati sebuah hutan kecil dan masuk ke dalam dusun di kaki gunung keciI. Di luar dusun ini terdapat sebuah benteng besar, dan temboknya sudah nampak menjulang tinggi dari jauh.

Panglima itu dan lima tosu baju kuning tadi lalu memasuki pintu benteng yang dijaga oleh belasan orang perajurit. Terpaksa Tiong Kiat bersembunyi di balik pohon karena tentu saja ia tidak dapat masuk. Hatinya makin terheran-heran. Terang sudah panglima tadi adalah Panglima kerajaan, mengapa lima orang tosu ini ikut masuk ke dalam benteng? Ada keperluan apakah para pendeta itu memasuki benteng yang penuh dengan perajurit?

Tiong Kiat adalah seorang perantau yang tidak tentu tujuannya, maka setiap kali melihat kejadian yang ganjil, ia takkan puas sebelum dapat mengetahui sebab-sebabnya. Ia lalu mencari jalan masuk dan berjalan sambil bersembunyi di balik pepohonan mengitari tembok benteng itu. Seperti biasa pada waktu negara tidak sedang mengalami perang, penjagaan tembok benteng tidak dilakukan dengan keras dan akhirnya, di sebelah belakang benteng itu Tiong Kiat melihat tembok yang tidak terjaga dan nampaknya sunyi saja. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya, melompat dengan gesit ke atas tembok yang tinggi itu.

Setelah mendekam di atas tembok beberapa lama sambil mengintai ke dalam ia melihat bahwa di bagian belakang itu hanya lapangan rumput yang agaknya dipergunakan sebagai tempat latihan perang-perangan, maka ia lalu melompat ke dalam dengan gerakan amat ringan. Tiba-tiba ia mendengar suara orang dan cepat ia bersembunyi di belakang kandang kuda yang penuh dengan kuda-kuda tinggi besar. Dua orang nampak mendatangi sambil membawa rumput makanan kuda.

"Sungguh aneh sekali Oei ciangkun itu," terdengar seorang diantara kedua orang penjaga itu berkata. "biasanya kalau ada orang tertangkap lalu dihukum mati atau dikirim ke kota raja untuk diadili. Akan tetapi siluman wanita itu bahkan diharuskan mendapat perlakuan yang baik."

"Lo Siang, kau tahu apa?" kata orang kedua. "Siluman wanita itu demikian cantik jelita, masih muda pula. Takkan lebih dari dua puluh tahun, bagaikan kembang sedang mekarnya. Siapa yang tega untuk membunuhnya? Lagi pula ilmu silatnya demikian lihai sehingga kalau tidak ada lima orang tosu Gobi Ngo-koai tung itu, siapa yang mampu menangkapnya ? Dan Oei ciangkun sendlri masih muda, belum beristeri.... hem ! Siapa tahu?"

"Apa maksudmu, Lo Siang ?"

“Oei ciangkun gagah perkasa, tawanan ini seorang gadis cantik jelita, apalagi? sudahlah, Lo Kui, kita menanti saja dibagikannya arak wangi ! Ha, ha. ha !"

Tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu-tahu seorang pemuda entah dari mana datangnya, telah berdiri di depan mereka ! Sebelum mereka sempat membuka suara kedua tangan Tiong Kiat menyambar jalan darah mereka di bagian ya-hu hiat dan lemaslah tubuh mereka, sedangkan ketika mereka menggerakkan mulut untuk berteriak minta pertolongan kepada kawan-kawan ternyata tak ada sedikitpun suara dapat keluar dari tenggorokan mereka.

Tiong Kiat tidak mau mengganggu atau melukai kedua penjaga ini, karena sesungguhnya ia masuk ke benteng ini hanya untuk memuaskan ingin tahunya saja, dan tidak ada permusuhan sesuatu antara dia dan tentara kerajaan. Akan tetapi, ketika ia mendengar percakapan antara kedua orang penjaga ini, hatinya tertarik sekali. Jadi lima orang tosu itu betuI adalah Gobi Ngo-koai tung ? Tiong Kiat makin tertarik ketika mendengar tentang ditangkapnya seorang gadis cantik yang berkepandaian tinggi. Ia ingin sekali melihat gadis ini! Dengan hati-hati sekali ia lalu menyeret kedua orang penjaga itu dan menyembunyikan mereka di dalam kandang kuda, kemudian ia lalu melanjutkan pemeriksaannya dan berindap-indap menghampiri bangunan besar yang berada di tengah benteng. Ketika terdengar suara riuh dan tindakan kaki banyak orang, ia cepat bersembunyi lagi. Sebentar kemudian muncullah tiga barisan yang dengan gagahnya menuju ke lapangan rumput di belakang itu. Mereka ini hendak mulai dengan latihan mereka, dipimpin beberapa perwira.

Setelah barisan-barisan itu lewat, Tiong Kiat menyelinap ke belakang bangunan besar, sekali ia enjotkan tubuhnya ia telah berada di atas genteng, bersembunyi di wuwungan yang tinggi. Kemudian setelah maju lagi beberapa jauhnya, ia mendengar suara seorang wanita berseru nyaring.

"Aku sudah kalah tertangkap, mau apa lagi ? Kalau kau mau membunuhku, bunuhlah siapa takut mati ? Hanya sayang sekali bahwa kalian ini orang-orang gagah ternyata hanyalah pengecut-pengecut besar yang melakukan pengeroyokan atas diri seorang wanita untuk memperoleh kemenangan !"

"Nona yang baik," terdengar suara yang tenang dan besar," mengapa kau berkeras hendak memusuhi kami? Kami tidak mempunyai maksud buruk terhadap kau dan apakah kesalahan beberapa anggauta kami itu tak dapat kau maafkan ? Kalau saja kau suka membantu pekerjaan kami, bukankah hal ini bagus sekali dan kau berarti akan dapat berbakti kepada negara?"

Tiong Kiat makin tertarik dan hatinya berdebar-debar. Ia seperti pernah mendengar suara wanita yang nyaring dan keras ini. Cepat ia lalu menghampiri ke arah suara itu dan membuka genteng mengintai ke dalam. Hampir saja ia mengeluarkan seruan kaget ketika ia menjenguk ke bawah. Ternyata bahwa wanita itu benar-benar adalah Suma Eng! Nona yang siang malam menjadi buah kenangannya ini duduk di atas bangku dengan sikap marah, sedangkan di sekelilingnya, seakan-akan mengurungnya, duduk panglima yang dilihatnya tadi bersama kelima Gobi Ngo-koai tung!

Bagaimanakah Eng Eng sampai terjatuh ke dalam tangan mereka ini? Baiklah kita mengikuti pengalamannya secara singkat melanjutkan penuturan ini. Setelah Eng Eng berpisah dengan Tiong Han untuk mencari jalan masing-masing dalam usaha mereka berdulu-duluan mencari Tiong Kiat, gadis ini langsung menuju ke kota raja. Ia pikir bahwa seorang pemuda jahat seperti Tiong Kiat tentu akan memilih tempat yang ramai dan indah, maka ia lalu menuju ke kota raja untuk mencari jejak pemuda yang dibencinya itu.

Karena ia belum pernah pergi ke kota raja dan Eng Eng merasa tertarik sekali oleh pemandangan di sebelah barat Propinsi Hopak yang bertapal batas dengan Propinsi Shansi di sebelah barat dan dengan Mongolia di sebelah utara, maka ia telah salah jalan bukannya langsung ke kota raja, akan tetapi lewat di sebelah barat kota raja dan terus ke utara! tanpa disadarinya ia telah melewati kota raja dan kini berada di sebelah utaranya !

Demikianlah, maka pada suatu hari tibalah ia di kota Hong-bun, kota yang jauh letaknya dari benteng itu. Ketika ia sedang berjalan sambil melihat-lihat, tiba-tiba dari depan mendatangi lima orang tentara kerajaan yang berjalan saling bergandengan dan melihbat jalan mereka yang terhuyung-huyung itu, mudah diduga mereka berada dalam keadaan mabok, Eng Eng tidak memperdulikan mereka, akan tetapi sebaliknya lima orang tentara itu ketika melihat Eng Eng dan ketika gadis itu hendak mengelak ke kiri, mereka sengaja bergerak ke kiri pula dan dengan sengaja menghadang perjalanan gadis ini. Marahlah Eng Eng dan dengan muka merah ia membentak.

"Kawanan anjing, apakah kau mau mengganggu orang di tengah jalan ? Minggir !*

Akan tetapi sambil tertawa-tawa, lima orang tentara itu lalu berebut maju untuk memeluk atau meraba tubuh gadis yang cantik jelita ini. Akan tetapi, bukan main hebatnya

akibatnya kekurang-ajaran mereka ini. Terdengar suara bak bik buk, disusul oleh pekik mereka dan tubuh mereka terlempar ke kanan kiri terkena tendangan kedua kaki Eng Eng ! Bagaikan babi-babi disembelih, kelima orang kurang ajar ini mengaduh-aduh dan tak dapat bangun lagi.

Pada hari itu, memang banyak anak buah tentara dalam benteng diberi kesempatan keluar dari benteng dan jumlah mereka ini ada puluhan orang. Ketika mendengar suara ributribut dan melihat lima orang tentara dipukul oleh seorang gadis cantik, kawan-kawan mereka yang berada di kota itu, menjadi marah sekali dan sebentar saja Eng Eng dikurung oleh puluhan orang anggauta tentara. Mereka ini mula-mula mempergunakan tangan kosong hendak menangkap gadis ini dan menawannya, akan tetapi apakah artinya keroyokan orangorang yang hanya kuat tenaga akan tetapi tidak memiliki ilmu kepandaian berarti itu terhadap Eng Eng? Gadis ini menggerakkan kaki tangannya seperti kitiran cepatnya dan bagaikan rumput dibabat, robohlah para pengeroyoknya.

Hal ini membuat para tentara menjadi marah sekali. Mulailah mereka mencabut golok mereka.

"Gadis liar ! Menyerahlah sebelum kami melukaimu !" teriak seorang perwira.

"Bangsat pengecut ! Kalian yang mencari perkara, mengapa aku harus menyerah? Siapa takut kepada golokmu yang tumpul itu ?" Eng Eng membentak. Maka menyerbulah para pengeroyoknya, kini dengan senjata tajam di tangan. Namun, tetap saja mereka bukanlah lawan Eng Eng. Gadis ini mencabut pedangnya dan ketika sinar merah dari pedangnya berkelebat, terdengar suara keras dan golok-golok di tangan para pengeroyoknya terbabat putus, runtuh bagaikan daun bambu jatuh berhamburan !

Tentu saja para tentara ini menjadi terkejut sekali. beberapa orang di antaranya cepat melarikan diri ke benteng untuk memberi laporan kepada Oei-ciangkun, panglima yang menjadi komandan di dalam benteng itu. Pada waktu itu, Oei-ciangkun sedang menerima kedatangan kawan-kawan baiknya, yakni Gobi Ngo koai-tung yang bernama Iucu, karena mereka sesungguhnya telah membuang nama asal dan memakai nama yang sederhana saja yakni Thian It Tosu, Thian ji Tosu, Thian Sam Tosu, Thian Si Tosu dan Thian Go Tosu. Kelima orang tosu dari Go bi-san ini memang pendeta-pendeta yang berilmu tinggi dan penggantian nama mereka ini sesungguhnya ada alasan yang amat kuat bagi mereka. Dahulu, sebelum perkumpulan agama yang disebut Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) belum lenyap dan belum dihancurkan oleh Kaisar Tai Cung yang melihat gejala gejala tidak baik dalam perkumpulan agama ini. Kelima orang pendeta ini sebetulnya menjadi pengurus-pengurus terkemuka dari Pek-lian-kauw. Oleh karena Pek-lian kauw sudah hancur dan musnah, maka untuk melindungi dirinya, mereka melarikan diri ke Go bi san dan menukar nama, sehingga kini terkenal sebagai Gobi Ngo-koai - tung yang amat lihai.

Adapun Oei-ciangkun ini sebenarnya, bernama Ui Sun dan ia dulu secara bersembunyi adalah seorang pemeluk agama Pek lian-kauw. Ketua pendeta wanita yang masih muda dan cantik sekali bagaikan bunga teratai, sesungguhnya diam-diam mengadakan perhubungan dengannya dan menjadi kekasihnya. Akan tetapi Oei Sun pandai sekali menyembunyikan dirinya dan berlindung di balik kedudukannya sebagai panglima yang memimpin puluhan ribu tentara, Setelah kekasihnya itu tewas dalam pembasmian Pek lian-kauw dan perkumpulan ini bubar, diam-diam Oei Sun masih mengadakan perhubungan dengan Gobi Ngo koai-tung yang bersembunyi di pegunungan Go-bi-san.

Demikianlah antara Oei ciangkun dan Gobi Ngo-koai-tung terdapat hubungan yang erat sekali, maka tidak mengherankan apabila pada hari itu mereka berlima datang mengunjungi Oei ciangkun di dalam bentengnya. Gobi Ngo-koai tung telah membuat nama besar maka selain Oei ciangkun boleh dibilang tidak ada orang lain yang mengetahui bahwa mereka adalah bekas-bekas pemimpin Pek lian kauw.

Oei ciangkun dan kelima orang tamunya sedang bercakap-cakap ketika datang laporan tentang seorang gadis yang mengamuk hebat di kota Hong-bun. Panglima ini menjadi marah dan bersama Go bi Ngo koai-tung ia cepat naik kuda menuju ke Hong bun. Di situ benar saja ia melihat seorang gadis muda yang cantik sekali tengah mainkan pedangnya yang mengeluarkan cahaya merah membabat putus setiap golok yang menghadangnya sehingga tempat pertempuran itu telah penuh dengan potongan golok dan tubuh para tentara yang terluka! Biarpun tak seorang di antara para pengeroyok ini ditewaskan oleh Eng Eng, namun pemandangan ini cukup hebat dan mengerikan.

"Gadis liar dari manakah berani melawan tentara pemerintah?" bentak Oei ciangkun yang telah mencabut golok besarnya dan menyerbu ke arah tempat pertempuran itu. Melihat majunya Oei ciangkun, semua tentara lalu mengundurkan diri, hanya mengurung tempat itu dari jauh, memberi tempat yang cukup luas bagi pemimpin. Semua tentara kini telah menjadi gembira untuk menonton pertempuran yang pasti akan menarik hati ini !

Eng Eng menengok dan memandang kepada panglima yang baru datang. la melihat seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, berpakaian indah dan gagah sekali, keningnya lebar, matanya tajam dan goloknya yang dipegangnya besar dan nampak berat sekali, ia dapat menduga bahwa orang ini tentulah komandan dari pasukan kerajaan, maka sebagai seorang gadis yang telah tahu akan artinya perbuatan yang melawan alat pemerintah, ia tidak mau menyerang panglima itu. Ia tahu bahwa ia dapat dianggap sebagai seorang pemberontak yang berdosa besar, maka sebelum ia menyerang, ia hendak melihat dulu bagaimana sikapnya panglima ini.

"Aku bukan melawan tentara pemerintah, akan tetapi membela diri. Kalau anak buahmu maju hendak menggangguku, apakah aku harus berdiam diri saja tidak melawan ? Lima orang anak buahmu dalam keadaan mabok telah menggangguku di jalan, dan aku hanya memberi hadiah tendangan perlahan saja kepada mereka. Akan tetapi semua orang-orangmu secara tak tahu malu sekali lalu maju mengeroyokku. Siapa mau dipegang oleh tangan-tangan mereka yang kotor dan bau ? Aku melawan dan akhirnya terjadi pertempuran ini. Nah, kau boleh pikir sendiri, siapa yang salah?"

Oei ciangkun tertegun. Belum pernah ia melihat seorang gadis sehebat ini ! Bahkan kekasihnya yang dulu, yakni pemimpin Pek lian-kauw yang cantik bagaikan dewi kahyangan itu, kalau dibandingkan dengan nona ini, masih belum dapat dikata melebihi! 'Nona, betapapun juga, kau telah merobohkan banyak anggautaku dan kau telah melakukan perlawanan. Tahukah kau bahwa untuk dosa ini saja kau dapat dijatuhi hukuman mati ? Lebih baik kau menyerah dan mari ikut dengan kami ke benteng untuk diperiksa perkaranya lebih lanjut."

"Kau ini siapakah maka berani memerintah kepadaku? Kalau kau menginsafi kesalahan anak

buahmu, seharusnya kau yang minta maaf kepadaku, baru aku mau menghabiskan perkara sampai di sini saja."

"Nona, kau sombong sekali. Kau berhadapan dengan seorang panglima kerajaan, dan untuk kebaikanmu sendiri, kau harus tunduk kepadaku."

Eng Eng yang berwatak keras itu makin marah. "Panglima kerajaan ? Jangankan baru itu, biar kau menjadi panglima langit sekalipun, aku takkan mau tunduk begitu saja kalau aku tidak bersalah. Mengerti?”

"Bagus, hendak kulihat sampai di mana sih kepandaianmu maka kau berani bersombong di depanku?" Oei Sun yang segera menggerakkan golok besarnya, melakukan serangan ancaman kepada Eng Eng. Gadis ini dengan sengaja lalu menyambut datangnya golok ini dengan pedangnya. Terdengar suara keras sekali dan bunga api berpijar ke atas. Akan tetapi keduanya menjadi terkejut. Oei Sun terkejut karena biarpun ia telah menggunakan seluruh tenaganya yang besar namun tidak nampak gadis itu terpengaruh bahkan ia merasa tangannya tergetar. Sebaliknya Eng Eng terkejut karena melihat betapa golok itu tidak menjadi rusak oleh bacokan pedang merahnya.

Karena maklum atas ketangguhan lawan masing-masing, keduanya lalu maju dan terjadilah pertempuran yang hebat sekali, Oei Sun bertenaga besar sedangkan goloknya yang besar itu berat sekali, maka gerakannya menimbulkan angin yang bersuitan.

Goloknya diputar dan menyambar antep membuat pakaian Eng Eng berkibar karena angin sambarannya. Akan tetapi gadis itu bagaikan seekor burung walet lincahnya, bergerak demikian cepat sehingga ia nampak seperti beterbangan diantara sambaran golok. Bahkan pembalasan yang dilakukan oleh serangan pedang Eng Eng, sebentar saja membuat Oei San menjadi sibuk sekali.

Belum juga tiga puluh jurus mereka bertempur, Oei Sun sudah menjadi kewalahan terdesak hebat dan hanya dapat menangkis dan melindungi tubuhnya dengan putaran goloknya.

Sesungguhnya, kalau Eng Eng mau gadis ini pasti akan dapat merobohkan Oei Sun. Akan tetapi selama perantauannya di dunia kang.ouw, gadis ini telah mendapat banyak pengalaman dan telah mendengar banyak urusan, sehingga ia maklum bahwa sekali-kali ia tidak boleh melukai atau menewaskan seorang panglima kerajaan.

Kalau para anggauta tentara yang menonton pertempuran itu tidak mengerti bahwa gadis yang lihai itu telah mengalah dan tidak mau mendesak lawannya, adalah Go bi Ngo-koaitung yang merasa terkejut sekali. Mereka ini cukup maklum akan kelihaian Oei Sun, akan tetapi sekarang menghadapi gadis pedang merah ini ternyata sahabat mereka ini kalah jauh.

Thian it Tosu, yang tertua di antara mereka dan yang selalu menjadi pemimpin, tiba-tiba

mendapat pikiran yang amat baik. la mendekati adik-adiknya dan membisikkan sesuatu.

"Dia Iihai sekali, alangkah baiknya kalau dapat membantu kita." Setelah berkata demikian, ia dan keempat orang adiknya lalu melompat ke medan pertempuran sambil berkata,

"Lihiap (nona gagah) harap suka melihat muka kami dan hentikanlah pertempuran ini. Kami adalah Go-bi Ngo-koai tung, dan Oei-ciangkun ini adalah sahabat baik kami." sambil berkata demikian Thian it Tosu lalu mengebutkan lengan bajunya sebelah kiri untuk menangkis pedang merah Eng Eng.

Ketika ujung lengan baju itu mengenai ujung pedang, Eng Eng merasa tangannya tergetar, maka tahulah ia bahwa ia menghadapi seorang lawan yang tangguh. Akan tetapi, di dalam kepala gadis ini tidak ada kata-kata takut, maka ia lalu menjawab,

"Aku yang muda dan bodoh tidak kenal dengan Go-bi Ngo koai tung sungguhpun aku mendengar nama mereka yang besar. Soalnya bukan kenal atau tidak, akan tetapi dalam pertempuran ini soalnya adalah salah dan benar. Aku tidak merasa bersalah, dan kalau ciangkun ini mau menghabiskan urusan sampai di sini, minggirlah dan biarkan kupergi."

"Tidak bisa begtu mudah, lihiap.” kata pula Thian It Tosu, "Siapapun juga yang salah, kau telah melakukan perlawanan terhadap tentara negeri, ini sudah menjadi satu dosa yang besar sekali. Kalau kau suka ikut ke benteng, biarlah kami berlima yang akan membujuk kepada sahabat kami Oei ciangkun untuk memaafkanmu."

"Aku tidak mengemis maaf !" teriak Eng Eng marah karena kini jelaslah baginya bahwa lima orang tosu ini terang-terangan berpihak pada Oei ciangkun,"Di dalam kebenaran, aku tidak takut kepada siapapun juga !"

"Ngowi totiang, tolong dan bantulah aku menangkap gadis liar ini !" seru Oei Sun dengan marah dan ia lalu menggerakkan goloknya lagi.

Eng Eng menangkis dan kini gadis inipun menjadi marah sekali. Kalau tadi Eng Eng hanya ingin mempermainkan saja kepada lawannya ini, sekarang ia membalas dengan serangan maut yang amat berbahaya.

Oei Sun terkejut sekali dan agaknya ia takkan dapat menangkis atau mengelak lagi, akan tetapi tiba-tiba meluncur dua buah tongkat bambu yang menangkis pedang Eng Eng.

Gadis ini melompat mundur dan segera memutar pedangnya menghadapi keroyokan Oei Sun dan Go bi Ngo-koai tung itu. Ternyata bahwa nama besar Go-bi Ngo koai-tung bukanlah nama kosong belaka.

Ilmu tongkat mereka luar biasa sekali gerakannya dan tongkat bambu di tangan mereka merupakan senjata penotok yang amat hebat. Kalau hanya menghadapi mereka seorang, agaknya Eng Eng masih akan dapat menandingi mereka, akan tetapi kini ia menghadapi lima orang sekaligus, masih ditambah pula oleh Oei Sun yang kepandaiannyapun tidak rendah. Maka Eng Eng menjadi terdesak hebat.

Sungguhpun ia menggigit bibir dan melakukan perlawanan sekuat tenaga, namun dalam jurus ke tiga puluh, tiba-tiba pedangnya terjepit oleh empat batang tongkat dan tongkat kelima menyambar tangan kanannya! Terpaksa untuk menolong tangannya, Eng Eng melepaskan pedang itu yang segera dirampas oleh Thian It Tosu!

Gadis ini terkurung di tengah-tengah dan tidak bersenjata lagi.

'Bagaimana, lihiap, apakah kau tidak mau ikut kami ke benteng untuk bicara secara baik?" tanya Thian it Tosu.

Eng Eng bukanlah orang bodoh yang menurutkan nafsu hati atau kemarahan. la tahu sepenuhnya bahwa kalau ia melawan terus dengan tangan kosong, ia akan mati konyol.

Tentu saja ia tidak mau hal ini terjadi. Ia ingin melihat perkembangan selanjutnya dan baru berlaku nekad kalau sudah tidak ada jalan keluar lagi. Pula, mereka ini agaknya tidak berniat buruk terhadap dirinya. Maka ia lalu menganggukkan kepala dan demikianlah, mereka semua lalu menuju ke dalam benteng. Oei Sun minta kepada Eng Eng untuk berangkat lebih dulu. diiringi oleh semua perwira dan pasukannya, dengan alasan bahwa ia dan Go-bi Ngo koai tung mempunyai urusan di kota Hong-bun. Padahal sebenarnya ia dan kelima kawannya hendak mencari keterangan di kota itu tentang diri Eng Eng, kuatir kalau-kalau nona gagah itu mempunyai kawan-kawan yang lain. Akan tetapi ketika mereka mendapat kepastian bahwa nona itu tidak mempunyai kawan lain, mereka lalu cepat kembali ke benteng. Dan tanpa mereka ketahui, dalam perjalanan ke benteng inilah Tiong Kiat melihat lalu mengikuti mereka dengan sembunyi.

Akan tetapi, Oei Sun dan lima orang tosu itu kecewa hatinya, mereka ternyata tak berhasil membujuk Eng Eng. Gadis ini tetap tidak mau menurut, dan tidak mau membantu mereka.

"Aku adalah seorang perantau, untuk apa aku ikut-ikut dengan urusan ketentaraan ? Aku tidak sudi membantu pekerjaan orang lain, apalagi pekerjaan dalam ketentaraan yang tidak kumengerti sama sekali."

“Nona Suma " kata Oei Sun, "kuharap kau suka berlaku bijaksana dalam hal ini. Kau tahu bahwa kami telah berlaku murah kepadamu dan kami takkan melanjutkan urusan kesalahanmu yang telah melawan dan melukai anggauta ketentaraan kami dan sebagai gantinya, kami hanya ingin kau tinggal di sini dan membantu apabila kami mengadakan pertempuran

melawan musuh-musuh kami. Kau tak perlu ikut memikirkan persoalannya, hanya kami kekurangan tenaga yang cukup untuk menghadapi musuh. Percayalah bahwa kami hendak berjuang untuk maksud yang suci buktinya kelima orang pendeta inipun telah membantu kami ! Tinggal kau pilih saja membantu kami dan terbebas dari tuntutan kami atas kesalahanmu tadi !"

0ooo-dw-ooo0

Jilid 5

“Sesukamulah, akupun hanya mengajukan dua buah usul. Melepaskan aku pergi atau membunuhku, terserah!" jawab Eng Eng dengan berani.

Untuk beberapa lama keenam orang itu saling pandang dengan putus asa. Kemudian Thian It Tosu berbangkit dari tempat duduknya dan tersenyum.

"Suma lihiap, pinto (aku) kagum sekali melihat keberanianmu. Biarlah, kalau kau tidak mau membantu, kami akan melepaskanmu. Terimalah pedangmu kembali. Hanya saja, pinto percaya penuh bahwa kelak apabila kau melihat kami membutuhkan bantuan, pasti kau akan membantu tanpa diminta lagi seperti watak seorang gagah."

Eng Eng terheran-heran dan juga terharu. Ia menerima pedang itu, dililitkan pada pinggangnya karena pedang merah ini amat tipis dan dapat digulung.

“Totiang, ucapanmu ini lebih jujur dan gagah. Tentang bantuan itu tentu saja tak usah dikatakan lagi. Aku bukanlah seorang yang tidak ingat akan kebaikan orang. Hanya aku tidak mau terikat di tempat ini, karena aku suka bebas seperti burung di udara,"

Setelah berkata demikian, Eng Eng lalu menjura dan bertindak keluar dengan tindakan gagah, tanpa memperdulikan wajah Oei ciangkun yang nampak kecewa dan muram. Panglima ini memang kalah pengaruh dengan Thian it Tosu dan ia maklum bahwa tindakan Thian it Tosu itu mengandung sesuatu maksud tersembunyi.

Tiba-tiba masuk seorang penjaga yang melaporkan bahwa dua orang penjaga ditemukan dalam keadaan tertotok di kandang kuda. Oei ciangkun dan kelima orang tosu itu terkejut sekali. Akan tetapi sebelum mereka keluar dari ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara orang dan atas,

'Maafkan siauwte yang berlaku lancang, datang tanpa diundang !” Dan melayanglah tubuh Tiong Kiat bagaikan seekor burung ke dalam ruangan itu. la menjura kepada Oei-ciangkun

dan Go-bi Ngo-koai-tung, lalu berkata.

"Siauwte Sim Tiong Kiat dari Kim liong pai telah mendengar tentang penawaran yang ditolak oleh nona Suma tadi. Kalau ciangkun percaya kepadaku berilah kesempatan kepadaku untuk berbakti kepada negara !”

Oei Sun masih memandang penuh curiga akan tetapi kelima Gobi Ngo koai tung itu dengan girang lalu menjura kepada Tiong Kiat. "Ah, tidak tahunya Sim-taihiap yang datang. Duduklah…!"

Memang Tiong Kiat ingin sekali menebus semua dosa-dosanya dengan menjadi seorang perajurit yang berbakti kepada negara. Selain ini ia tadi telah melihat Eng Eng dan biarpun ia merasa rindu sekali kepada gadis ini, namun ia maklum bahwa Eng Eng amat benci kepadanya dan apabila bertemu, pasti akan berusaha untuk membunuhnya.

Tadi ia melihat betapa Eng Eng tidak sanggup melawan Gobi Ngo koai tung, buktinya gadis itu tertawan dan pedangnya terampas, maka kalau ia dapat bersahabat dengan orang-orang gagah ini, tidak saja ia akan terlindung dari pada pembalasan Eng Eng, bahkan ia juga akan terlindung dari pada kejaran orang-orang Kun Iun-pai, dari kejaran Tiong Han dan juga suhunya.

Kalau ia sudah dapat menjadi seorang panglima perang kerajaan, siapakah yang berani mengganggunya? Pula, tadi Eng Eng sudah berjanji hendak membantu Oei ciangkun dan kelima Gobi Ngo-koai-tung, maka kalau ia berada disitu, bukanlah banyak harapan kelak Eng Eng akan bertemu dengannya dalam keadaan bersahabat?

Sementara itu, Go-bi Ngo koai tung sudah mendengar tentang pemuda ini karena sebagai orang-orang kang-ouw, mereka mendengar juga peristiwa yang terjadi pada Kim-liong-pai. Orang-orang yang "nyeleweng" akan tetapi berkepandaian tinggi macam Tiong Kiat inilah yang mereka butuhkan! Mereka membutuhkan orang macam ini karena memang sebetulnya Oei ciangkun dan Gobi Ngo koai-tung ini merencanakan sebuah pemberontakan !

Sebagaimana telah disebutkan di depan Oei ciangkun yang bernama Oei Sun adalah seorang penganut agama Pek lian-kauw yang dahulu ketika perkumpulan agama ini belum dibasmi oleh pemerintah, Oei Sun telah menjadi kekasih pemimpin Pek-lian-kauw yang cantik dan genit. Adapun Go bi Ngo koai-tung yang kini membantunya juga dahulunya merupakan pendeta-pendeta Pek-lian-kauw yang berpengaruh.

Kelima orang pendeta ini sekarang telah mendapat nama besar sebagai pendeta-pendeta berkepandaian tinggi yang bertapa di Pegunungan Go bi-san, maka tak seorangpun dapat menduga bahwa mereka ini adaIah bekas-bekas pengurus Pek-lian-kauw yang berbahaya. Siapa pula yang dapat menyangka bahwa Oei Sun, panglima tentara kerajaan yang amat gagah dan sudah banyak jasanya itu sebetulnya adalah penganut agama Pek-lian kauw yang jahat?

Oei Sun bersama kelima orang kawannya, yakni Go bi Ngo koai-tung, diam-diam merencanakan pemberontakan terhadap kaisar sebagai pembalasan atas pembasmian Pek lian kauw, juga dengan tujuan terutama membangun kembali agama Pek lian kauw. Tentu saja mereka tidak berani berterang membangun kembali Pek lian kauw. Rencana mereka amat besar. Karena kebetulan sekali Oei-ciangkun mendapat tugas menjaga di tapal batas utara dan mengepalai sepuluh ribu orang tentara, maka diam-diam Oei Sun mengadakan hubungan dengan Huayen-khan, kepala bangsa Ouigour yang hendak memberontak itu. Di samping hubungan rahasia ini Oei Sun juga melakukan siasat yang amat cerdik. Ia bersekongkol dengan Huayen-khan yang menyuruh orang-orangnya mengadakan kekacauan di sana sini, yang kemudian ditindas oleh Oei Sun dengan amat mudah. Hal ini lalu dibesar-besarkan, dijadikan berita hebat dan ia membuat laporan-laporan ke kota raja bahwa orang-orang jahat dan Mongol tengah mengadakan kekacauan akan tetapi telah dapat dibasminya. Dan untuk memperkuat pertahanan, Oei Sun mengajukan permohonan untuk minta tambah barisan dan ransum dan juga uang untuk biaya-biaya barisan.

Tentu saja karena ia telah berjasa membasmi pengacau-pengacau yang sesungguhnya pengacau palsu dan buatan Oei Sun bersama Huayen khan, kaisar di kota raja merasa amat suka kepadanya dan percaya penuh. Dalam waktu beberapa bulan saja, barisan di bawah pengawasan Oei Sun sudah meningkat sampai seratus ribu orang ! Diam-diam Oei Sun dan Go-bi Ngo koai-tung lalu mengumpulkan dan memanggil bekas anggaota Pek Iian-kauw yang sudah tersebar dan kocar-kacir. Mereka ini rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan juga. Oei Sun lalu mengangkat orang-orang Pek-lian kauw yang jumlahnya empat puluh orang lebih ini menjadi perwira-perwira pembantunya dan bekerja di dalam barisannya sebagai pemimpin-pemimpin ! Di samping itu, juga Oei Sun dan lima orang pendeta-pendeta itu mencari-cari kawan, orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi di kalangan Iioklim. tentu saja mereka memilih orang-orang yang mengambil jalan hek to (jalan hitam, yakni penjahat-penjahat). Orang-orang inipun diangkat menjadi kepala-kepala barisan, diberi pangkat sesuai dengan kepandaian mereka. Sim Tiong Kiat telah kena tertipu oleh keadaan di dalam benteng itu, oleh sikap Oei Sun yang ramah-tamah dan oleh kelima orang pendeta yang semuanya memperlihatkan sikap seolah-olah mereka ini adalah orang-orang gagah pembela negara !

Hati pemuda ini merasa girang sekali, karena ia ingin menunjukkan kepada orang-orang terutama kepada Eng Eng kedua kalinya kepada kakaknya, kepada semua orang, kepada dunia, bahwa dirinya adalah seorang patriot sejati. Bahwa Sim Tiong Kiat pada hakekatnya adalah seorang gagah yang patut dihormati.

Apalagi setelah Oei Sun mencoba kepandaiannya, dicobanya sendiri, kemudian bahkan dicoba pula oleh Thian It Tosu, orang pertama dari Go bi Ngo.koai tung, dan berakhir dengan kemenangan Tiong Kiat dengan ilmu pedangnya Ang coa kiamsut yang luar biasa, Tiong Kiat lalu dipeluk dengan penuh rasa bangga oleh Oei Sun.

"Saudara Sim yang gagah, sungguh aku merasa seakan-akan kejatuhan bulan purnama dapat bertemu dengan kau ! Kaulah yang akan merupakan bantuan terutama ke arah tercapainya cita-cita kita bersama."

"Cita-cita ? Cita cita apakah, Oei ciang-kun ?" Tanya Sim Tiong Kiat tak mengerti.

Oei Sun menjadi merah mukanya. Ia merasa telah terlanjur bicaranya, akan tetapi Thian

lt Tosu yang amat cerdik segera menolongnya.

"Tentu saja cita-cita kita untuk membersihkan negara dari para pengacau dari utara dan memenangkan semua pertempuran !”

'Setuju, setuju !” empat orang pendeta yang lain berseru girang dan pelayan lalu dipanggil untuk menambah arak dan daging. Oei Sun mengerti akan maksud suhengnya itu. Memang mereka sudah mendengar tentang Ang-coa-kiam Sim Tiong Kiat, murid dari Kimliong-pai yang tersesat dan melakukan perbuatan jahat sebagai jai hwa-cat dan pencuri. Akan tetapi mereka belum yakin benar apakah pemuda ini mau diajak untuk memberontak terhadap pemerintah kaisar.

"Saudara Sim, apakah kau tidak ada keinginan untuk menjadi seorang perwira? Kepandaianmu cukup hebat dan kau cukup patut untuk menjadi seorang panglima yang lebih tinggi pangkatnya dari padaku sendiri."

Mendengar kata-kata Oei Sun ini merahlah wajah Tiong Kiat, bukan hanya karena jengah, akan tetapi terutama sekali karena bangga dan senang.

"Ah, Oei ciangkun, mana orang seperti aku dapat menjadi panglima? Aku hanya mengerti sedikit ilmu silat kasar mana aku dapat memimpin pasukan? Aku dapat diterima membantu di sini saja sudah cukup menyenangkan hatiku."

"Ah, kau terlampau merendahkan dirimu sendiri, saudara Sim. Apakah susahnya ilmu peperangan? Kalan kau mau memberi petunjuk kepadaku tentang ilmu pedang, apa susahnya mempelajari ilmu peperangan diriku? Bukankah baik sekali kita saling menukar ilmu kepandaian kita, saudara Sim?"

"Bagus sekali, kalau Oei ciangkun sudi memimpin aku yang bodoh, aku Sim Tiong Kiat akan mengerahkan seluruh tenagaku untuk membantu."

"Baik, Sim ciangkun! Sekarang juga kau menjadi perwira pembantuku !” Berdebar hati Tiong Kiat mendengar ini, apa lagi ketika panglima itu menyuruh seorang perajurit mengambilkan seperangkat pakaian perwira yang indah untuknya. Ah, dia telah menjadi perwira, telah disebut Sim ciangkun oleh panglima itu sendiri ! Bukan main senangnya hati pemuda yang masih hijau ini.

Setelah mengenakan pakaian perwira, Sim Tiong Kiat benar-benar nampak gagah dan tampan sekali. Oei Sun lalu memperkenalkan perwira baru ini kepada semua perajurit yang disuruhnya berbaris. Kemudian ia menjamu perwira baru ini dengan segala kemewahan, di mana Tiong kiat sempat berkenalan dengan banyak perwira yang gagah perkasa. Tadinya ia merasa amat heran bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang telah menjadi perwira akan tetapi setelah mendengar bahwa orang orang gagah ini sengaja datang membantu Oei Sun untuk mengusir pengacau, hatinya menjadi makin girang.

Demikianlah, semenjak hari itu, Tiong Kiat berdiam di dalam benteng, menjadi seorang perwira yang paling disayang oleh Oei ciangkun, menjadi seorang di antara pemberontakpemberontak itu, atau lebih tepat lagi, calon-calon pemberontak. Melihat betapa sikap Tiong Kiat amat patriotis dan kata-katanya menunjukkan betapa bersemangat adanya pemuda ini Oei Sun dan kawan-kawannya belum berani berterus terang kepada Tiong Kiat.

"Oei-ciangkun," kata tiong Kiat dengan suara bersungguh-sungguh kepada Oei Sun, "aku mempunyai suatu rahasia yang amat penting. Tadinya aku berniat untuk membuka rahasia ini dihadapan kaisar, akan tetapi oleh karena sekarang aku menjadi perwira di benteng ini dan kau adalah komandanku, hal ini lebih baik kuberitahukan kepadamu saja.”

"Rahasia apakah itu, Sim ciangkun ?" tanya Oei Sun memandang tajam.

"Ketahuilah Oei ciangkun, bahwa sebetulnya Huayen-khan, kepala bangsa Ouigour yang berpura-pura baik dengan Hong-siang ( kaisar ) sebenarnya mempunyai rencana jahat dan bersiap-siap hendak menyerbu ke selatan!”

Oei ciangkun nampak terkejut. Tentu saja Tiong Kiat tidak kekagetan panglima ini bukan karena mendengar berita itu, dikiranya Tiong Kiat sudah mengetahui akan hal ini ! Akan bukan seorang yang bodoh. Ia dapat menetapkan hatinya dan ini bukan hal yang amat berat.

pernah menyangka bahwa melainkan karena tak tetapi Oei ciangkun juga bersikap seakan-akan berita

"Bagaimana kau bisa tahu, Sim ciangkun? Hal seperti ini memerlukan ketelitian, tidak boleh menuduh secara sembrono saja. Apakah kau mempunyai bukti-buktinya ?"

"Tentu saja, Oei ciangkun." Dan Sim Tiong Kiat lalu menceritakan pengalamannya ketika ia menolong Huayen khan dari keroyokan Piloko, kepala suku bangsa Cou dan anak buahnya hingga ia dibawa ke perkemahan Huayen khan dan dapat mengetahui rahasia itu karena pengakuan Ang Hwa dan Huayen khan sendiri. Oei ciangkun mengangguk-angguk. Tentu saja ia telah mengerti akan hal ini semua, bahkan ia sendiripun terhitung seorang diantara mereka yang pernah menerima "kebaikan hati" Huayen khan untuk dilayani oleh Ang Hwa, istri kepala suku bangsa Ouigour itu ! Akan tetapi Oei ciangkun memang cerdik, apa lagi setelah ia berkumpul dengan lima orang suhengnya, ia mendapat tambahan pengalaman dan akal.

"Sim ciangkun, sesungguhnya kami semua di sini telah mengetahui akan hal ini. Tadi aku berpura-pura tidak tahu untuk mencobamu saja. Ternyata kau seorang laki laki sejati. Akan tetapi, sayang sekali kau belum tahu tentang siasat-siasat peperangan, maka kau berlaku keras. Sungguhpun aku telah mengetahui rahasia Huayen khan itu, akan tetapi aku bahkan mendekatinya dan memperlakukannya dengan baik dan manis, sesuai dengan sikap kaisar kita pula."

Tiong Kiat mengerutkan keningnya. "Mengapa begitu Oei-ciangkun?"

Panglima she Oei itu tertawa bergolak. "Sim ciangkun, karena kau baru kuberi pelajaran ilmu perang bagian mengatur barisan, dan tata tertib barisan, belum sampai kepada siasat-siasat peperangan, maka tentu saja kau belum dapat mengerti tentang siasat perang yang kami jalankan.

Ketahuilah bahwa dalam ilmu perang, siasat yang dilakukan oleh Huayen-khan adalah siasat Bertopeng Kulit Domba, yakni pada luarnya ia kelihatan lunak, akan tetapi disebelah dalamnya sebetulnya ia amat berbahaya.

Akan tetapi untuk menghadapi siasat ini, kitapun mempergunakan siasat yang hampir sama sifatnya, yakni siasat yang kunamakan membawa pedang di dalam selimut, yang artinya, pada luarnya kita pura-pura tidak melihat rencananya dan tidak berjaga-jaga padahal sebetulnya diam-diam kita sudah siap sedia untuk menumpasnya pada saat srigala itu muncul dari balik topeng kulit domba, mengertikah kau, Sim ciangkun ?"

Tentu saja Tiong Kiat mengerti baik akal sederhana yang disebut siasat oleh Oei ciangkun ini, akan tetapi ia belum merasa puas. "Oei ciangkun, mungkin kalau menghadapi lawan yang besar dan berat, kita perlu menggunakan siasat seperti itu. Akan tetapi apakah bahayanya Huayen-khan dan anak buahnya? Kalau kau mau, sekali pukul saja dengan bala tentara kita, mereka akan kocar-kacir dan dapat dihancurkan bukan?"

"Kau tidak tahu Sim-ciangkun. Kita tidak menghadapi bangsa Ouigour saja, masih banyak sukubangsa yang memberontak. Misalnya bangsa Cou yang dipimpin oleh Pikolo, mereka itupun diam-diam bahkan lebih jahat dari pada bangsa Ouigour. Kalau ada kesempatan, bangsa Cou inilah yang hendak memberontak lebih dulu. Akan tetapi, semua ini tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan bangsa Monggol yang merupakan bahaya paling besar dari utara, karena bangsa Monggol mempunyai bala tentara yang amat kuat dan besar jumlahnya. Betapapun juga adalah suatu kesalahan dan kepicikan besar apabila kita selalu memperhatikan batu batu besar di waktu kita berjalan dan mengabaikan batu-batu kecil. Karena kalau kita berbuat begini, akhirnya kita akan jatuh tersandung oleh batu kecil yang tidak kita sangka akan menjatuhkan kita ! Kalau tidak ada ancaman dari fihak Mongol yang kuat, kita tak perlu berpayah payah memperlihatkan muka manis kepada orangorang seperti Huayen-khan atau Pikolo. Akan tetapi, pada saat kita menghadapi lawan berat seperti barisan Mongol, biarpun hanya rombongan-rombongan kecil seperti orangorang Ouigour dan Cou, cukup merupakan kawan yang membesarkan hati."

Kini baru Tiong Kiat merasa amat kagum mendengar uraian yang amat luas den mendalam ini. Ia yang masih hijau dalam soal siasat peperangan tentu saja menganggap panglima she Oei ini benar benar amat pandai dan luas pengetahuannya. Semenjak hari itu ia lebih tekun mempelajari siasat-siasat peperangan dari Oei ciangkun, sebaliknya tidak raguragu untuk memberi petunjuk dan pelajaran ilmu silat dan pedang kepada panglima yang sudah memiliki kepandaian tinggi itu.

Kita tinggalkan dulu Tiong Kiat yang telah masuk perangkap dan tidak sadar bahwa sesungguhnya ia bahkan membantu gerakan calon-calon pemberontak Pek-lian-kauw yang amat berbahaya itu. Marilah kita mengikuti perjalanan Suma Eng atau Eng Eng yang

meninggalkan benteng di mana tadinya ia tertawan oleh Oei Sun dan Go-bi Ngo-koai tung.

Juga gadis ini tidak mengira bahwa baru saja ia terlepas dari tangan orang orang Peklian-kauw, dan mengira bahwa Oei Sun benar benar seorang panglima yang jujur dan gagah, dan Gobi Ngo koai-tung adalah tokoh-tokoh dari Go-bi-san yang selain berkepandaian tinggl juga telah berlaku baik kepadanya hingga mau melepaskannya.

Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, barulah Eng Eng mendengar dari seorang penduduk dusun bahwa ia telah salah jalan, maka ia lalu mengambil jalan memutar dan kini menuju ke selatan, untuk pergi ke kota raja dalam usahanya mencari Tiong Kiat.

Akan tetapi ketika ia melewati sebuah daerah yang kering dan tandus, di mana tanahnya tidak subur karena banyak tertutup salju, tiba-tiba ia bertemu dengan serombongan orang yang bertubuh tinggi besar dan bersikap galak. Orang orang ini bersenjata golok besar dan jumlah rombongan yang merupakan barisan ini tidak kurang dari delapan puluh orang.

Di belakang pasukan ini masih terdapat rombongan Iain yang lebih besar, yang membawa kereta dan keledai, agaknya keluarga dari rombongan yang di depan.

"Berhenti !” seru dua orang yang mengepalai pasukan itu, dua orang yang bertubuh tinggi besar, bersenjata golok dan mukanya hampir sama. "Nona yang kelihatan gagah berani melakukan perjalanan seorang diri di tempat ini, kau tentu mempunyai hubungan dengan benteng Oei-ciangkun !”

Eng Eng mengerutkan keningnya, "Kalau ada hubungan bagaimana dan kalau tidak ada hubungan kalian perduli apa ?" tanyanya sambil tersenyum mengejek. Ia merasa lucu sekali mengapa dua orang laki laki tinggi besar ini yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya, begitu bertemu telah memperlihatkan sikap membenci.

"Kawan Oei ciangkun atau bukan, terang dia adalah seorang nona Han, tangkap saja jadikan bujang, habis perkara, twako !” seru seorang lain yang berdiri di belakang. "Orang-orang Han telah memperlihatkan sikap palsu terhadap kita, untuk apa kita berlaku sungkan lagi?”

Ucapan ini dikeluarkan dengan sengaja dalam bahasa Han agar Eng Eng dapat mengerti maksudnya, akan tetapi suaranya kaku dan janggal, hingga Eng Eng yang mendengarnya menjadi makin geli.

"Kalian ini orang apa begini galak-galak?" tanyanya.

"Kami adalah orang-orang suku bangsa Cou yang telah dikhianati dan dicurigai oleh orang-orang Han yang tadinya kami anggap sahabat-sahabat baik."

"Eh, eh, nanti dulu kawan. Orang orang Han itu bermacam macam, jangan disamaratakan. Tidak semua orang Han berwatak khianat dan curang. Akan tetapi sudahlah, aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Minggirlah dan jangan mencari perkara dengan aku."

"Enak saja kaubicara. Apa kaukira kau dapat melepaskan diri dari kami begitu saja? Jangan kau main-main, nona. Kami orang-orang suku bangsa Cou tidak boleh dipermainkan oleh kamu orang-orang Han seperti suku bangsa Ouigour !"

Akan tetapi Eng Eng tetap melayani kedua orang kepala pasukan yang galak ini sambil tersenyum-senyum. "Eh, eh. kalian benar-benar galak. Dengan cara bagaimanakah kalian hendak menghalangi aku? Coba, aku ingin sekali menyaksikannya."

Kedua orang ini saling pandang, karena betapapun juga, kalau gadis Han yang cantik dan tabah ini melawan, mereka merasa tidak enak untuk melayani seorang gadis muda. Akan tetapi, seorang perajurit yang bertubuh tinggi kurus dan bermata seperti burung segera melompat maju dan berkata.

"Biarlah aku yang menangkap gadis liar ini!" katanya dan dengan cepat ia menubruk maju sambil mengeluarkan kedua tangannya hendak mencengkeram pundak Eng Eng.

Eng Eng melihat bahwa cengkeraman ini adalah semacam ilmu silat utara yang mengutamakan sergapan dan cengkeraman atau cekikan, maka sambil mengeluarkan suara ejekan, tubuhnya tiba-tiba melejit dan bagaikan angin lalu ia telah dapat membuat si mata burung itu menangkap angin !

Dan sebelum si mata burung dapat mengetahui bagaimana cara gadis itu bergerak, tibatiba terdengar suara keras dan dagunya telah kena digaplok oleh Eng Eng ! Orang itu merasa seakan akan dunia hendak kiamat ! Bumi yang dipijaknya serasa terputar-putar, pohon-pohon di sekelilingnya seakan-akan hendak roboh menimpanya dan matahari di angkasa menjadi dua berkejar-kejaran.

Akan tetapi dia adalah seorang perwira bangsa Cou yang telah melatih diri bertahun tahun maka ia dapat mengerahkan tenaga dan mengatur rasa pening pada kepalanya dan rasa berdenyut perih pada dagunya yang membengkak terkena tamparan Eng Eng tadi.

"Perempuan liar, rasakan pembalasanku !" katanya dan tangannya meraba pinggang mencari goloknya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika goloknya telah lenyap dari pinggangnya dan ketika ia memandang ke depan, bukan main herannya. Ternyata bahwa goloknya telah berada di tangan gadis yang lihai itu yang telah merampas goloknya dan kini sambil menodongkan ujung golok pada dada si mata burung, Eng Eng tersenyum menantang.

"Hayo balaslah ! Hendak kulihat bagaimana hebatnya pembalasanmu !”

Tentu saja si mata burung tak dapat berkata sesuatu dan tak dapat berbuat sesuatu, hanya memandang dengan mulut celangap !

Dua orang pemimpin pasukan yang tadi menegur Eng Eng adalah tangan kanan dari Piloko sendiri. Mereka ini adalah kakak beradik yang ahli sekali dalam permainan golok selain tenaga mereka yang besar juga ilmu golok mereka amat disegani kawan-kawannya maupun lawannya. Kini melihat betapa dengan segebrakan saja seorang gadis cantik dan muda ini dapai mengalahkan si mata burung, bahkan dapat merampas goloknya dengan mudah dan cepat, mereka menjadi heran dan marah.

"Hem, tentu kau adalah seorang wanita di kalangan kang ouw yang membantu Oei ciangkun. Nona, menyerahlah sebelum golokku bicara !" mengancam orang pertama.

'Jangan ngimpi !” Eng Eng mengejek. "Kita melakukan perjalanan masing-masing tak saling kenal tidak saling perduli. Mengapa tahu-tahu kalian memusuhi dan hendak menggangguku ? Ketahuilah, jangankan baru kalian berdua biar puluhan orang pasukanmu ini maju, jangan harap akan dapat mengalahkan aku !"

"Sombong !" teriak orang termuda diantara dua pemimpin ini. Tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu ia telah mencabut golok dan menyerang Eng Eng. Gadis ini tadi memegang golok rampasannya di tangan kiri dengan sikap acuh tak acuh dan sembarangan sekali. Akan tetapi ketika golok lawannya menyambar, tangan kirinya bergerak dan goIok rampasannya berubah menjadi sinar putih yang membentur golok lawannya itu sehingga hampir saja golok lawannya terpental dan terlepas dari pegangan! Tentu saja orang ini terkejut sekali dan mukanya menjadi merah ketika Eng Eng tersenyum mengejek.

"Apa kataku? Kau terlalu lemah, kawan ! Sebaliknya kalian berdua maju berbareng atau kerahkan pasukanmu untuk mengeroyokku !"

Bukan main marahnya dua orang pemimpin pasukan Cou ini. Sambil berseru garang, keduanya lalu mengayun golok dan menyerang Eng Eng dari kanan kiri. Akan tetapi, mana bisa dua orang kasar ini menghadapi Eng Eng yang memiliki kepandaian tinggi? Biarpun gerakan mereka cukup cepat dan kuat namun sambil tersenyum-senyum dan mengeluarkan suara ketawa mengejek, Eng Eng dengan amat mudahnya dapat menghindarkan diri dari serbuan mereka. Kadang-kadang ia menggunakan golok di tangan kirinya untuk menangkis akan tetapi lebih sering ia mempergunakan ginkangnya yang luar biasa itu untuk mengelak dari seranganserangan kedua lawannya. Tubuhnya lenyap merupakan bayangan yang membingungkan kedua orang lawannya. Pada waktu itu Eng Eng menggunakan baju putih dengan pinggiran merah, juga saputangan yang mengikat rambutnya berwarna merah, demikian pula celananya, berwarna merah hingga ia nampak manis dan cantik sekali.

Orang-orang bangsa Cou memiliki watak yang jujur dan tidak curang. Para perajurit yang tadinya masih merupakan barisan, kini setelah melihat betapa dua orang pemimpin mereka bertempur melawan seorang gadis Han yang cantik jelita dan lihai sekali, mereka lalu

mengurung dan duduk berjongkok sambil tertawa-tawa dengan senangnya seakan-akan mereka sedang menonton pertunjukan yang amat menarik tanpa bayar ! Ketika mereka melihat betapa Eng Eng berkelebatan bagaikan seekor kupu-kupu yang cepat dan ringan sekali beterbangan diantara sambaran dua batang golok dari kedua orang pemimpin mereka, terdengarlah pujian pujian dan sorakan-sorakan riuh rendah.

"Lihai sekali!”

"Bukan main hebatnya !"

Dan masih banyak lagi kata-kata pujian dalam bahasa Cou yang tidak dimengerti oleh Eng Eng, Akan tetapi sikap mereka ini benar-benar menggembirakan hati Eng Eng, sehingga timbullah kesan baik di dalam hati gadis ini terhadap orang-orang Cou yang jujur itu. Ia menjadi tidak tega untuk melukai dua orang pengeroyoknya ini, dan hanya mempermainkan mereka saja sambil tersenyum-senyum manis. Entah mengapa semenjak pertemuannya dengan Tiong Han dan mendapat kenyataan bahwa Tiong Han bukanlah pemuda yang dibencinya, ia menjadi amat tertarik kepada pemuda itu dan kalau tadinya ia memandang penghidupan ini nampak gelap dan menyedihkan, kini seakan-akan di dalam kegelapan itu timbul cahaya terang dan di dalam kesedihan itu nampak sesuatu yang membesarkan harapan dan menimbulkan kegembiraannya.

Dulu cita-cita hidupnya hanya satu, yakni membunuh Tiong Kiat dan mencari Thian te Sam kui untuk membalas dendam. Kalau cita-cita ini sudah tercapai, agaknya ia takkan suka hidup lagi !

Akan tetapi sekarang, entah mengapa, bayangan Tiong Han, pemuda yang lemah-lembut sopan santun, berbudi mulia, dan berkepandaian tinggi itu selalu nampak di depan matanya dan menimbulkan harapan serta pegangan hidup. Kini sering kali Eng Eng merasa demikian gembira sehingga bunga-bunga seakan-akan tersenyum kepadanya, daun-daun hijau seakan akan melambai-lambai dengan ramahnya.

Kini menghadapi kedua orang lawannya iapun sedang bergembira, maka tidak henti-hentinya ia tersenyum hingga menambahkan kekaguman bagi semua orang Cou yang menonton pertempuran itu. Gadis lihai itu tidak saja dapat mempermainkan dan melayani dua orang pemimpin mereka dengan golok di tangan kiri bahkan masih mempunyai kesempatan untuk tersenyum-senyum!

Lima puluh jurus telah lewat dan selama itu, jangankan melukai gadis aneh itu, menyentuh ujung bajunya saja kedua orang pemimpin rombongan bangsa Cou itu tidak sanggup.

Sebaliknya Eng Eng juga tidak pernah membalas serangan mereka. Kini Eng Eng telah merasa cukup dan mulai menjadi bosan. Pada saat itu, dari kanan kirinya, kedua orang lawannya mengangkat golok dengan cepat dan kuatnya lalu diayun ke arah kepala gadis itu !

Akan tetapi Eng Eng masih dapat tertawa dan berkata, "Perlahan dulu, sahabat!" Gadis ini dengan gerakan yang amat lemas dan gaya yang amat manis lalu mainkan gerak tipu yang disebut Burung Hong Membuka Sayap. Kaki kirinya diangkat ke atas kaki kanan berdiri di atas ujung sepatunya. Tangan kiri yang memegang golok diayun ke kiri dengan gerakan cepat untuk menangkis serangan golok dari kiri, adapun tangan kanannya berbareng dengan tangan kiri, bergerak pula ke kanan dengan jari-jari terbuka, dan sebelum lawannya yang berada di kanannya tahu apa yang terjadi, ia telah mengeluh dan goloknya terlepas dari pegangan !

Juga goloknya, tidak dapat menahan tenaga tangkisan Eng Eng dan goloknya terlempar jauh !

Orang di sebelah kanan tadi kini meringis-ringis sambil memegangi siku kanannya yang telah terkena bacokan tangan Eng Eng sehingga ia merasa lengannya sakit sekali dan lumpuh!

Adapun orang di sebelah kirinya kini berdiri dengan mata terbelalak, penuh keheranan dan juga kekagetan melihat betapa goloknya tadi terdorong sedemikian hebatnya oleh golok lawannya !

"Hayo maju ........ tangkap dan keroyok !"

Orang yang sikunya lumpuh itu mengeluarkan aba-aba, akan tetapi para perajurit Cou ragu-ragu untuk maju melawan gadis yang sedemikian lihainya itu.

"Mundur semua, jangan berlaku kurang ajar !” tiba-tiba terdengar suara orang yang amat berpengaruh dan dari belakang para perajurit itu melompatlah seorang yang tinggi, melompati kepala para perajurit itu dan dengan ringan sekali ia turun di depan Eng Eng. Gadit ini memandang dan diam-diam ia mengakui bahwa ginkang dari orang yang baru datang ini cukup lumayan. Ia bersiap sedia, karena maklum bahwa kepandaian orang yang baru datang ini, apabila dibandingkan dengan kepandaian dua orang pengeroyoknya tadi, amat jauh lebih pandai!

Akan tetapi, ia menjadi terheran ketika melihat betapa orang tinggi yang sudah setengah tua ini menjura dengan penuh hormat kepadanya, lalu berkata dalam bahasa Han yang ramah tamah dan lancar sekali,

"Lihiap, mohon kau sudi memaafkan kelancangan dan kekasaran orang orangku yang tidak tahu aturan. Maklumlah bahwa orang-orang yang telah disakiti hatinya oleh orang orang lain yang tadinya dipandang sebagai sahabat-sahabat baik, tentu saja mudah marah. Terus terang saja kami, suku bangsa Cou amat kecewa dan penasaran melihat sikap bangsamu, orang-orang Han. Kami telah dikhianati, orang-orang Han tanpa melihat keadaan dan tanpa alasan yang kuat, telah memilih dan memihak kepada orang-orang Ouigour yang selalu mengganggu kami. Banyak saudara-saudara kami yang tewas oleh pasukan Oei-ciangkun yang

kuat, semua ini hanya karena hasutan dari Huayen-khan, pemimpin suku Ouigour yang membenci kami itu !"

Mendengar uraian panjang lebar yang tidak dimengerti betul itu, Eng Eng menjadi bingung. Akan tetapi melihat wajah orang tua ini yang amat berduka dan tampak bersungguh-sungguh, ia tidak berani main-main. Ia melempar golok rampasannya tadi dan membalas penghormatan Piloko.

"Aku adalah seorang perantau yang sama sekali tidak mengerti semua itu. Sebenarnya siapakah saudara dan mengapa pula rombongan saudara tiba di tempat yang miskin ini?"

"Aku bernama Piloko, dan semua ini adalah orang-orangku, yakni suku bangsa Cou yang amat menderita. Sebelum aku melanjutkan penuturanku, sudilah kiranya lihiap memperkenalkan diri. Siapakah lihiap, datang dari mana dan benarkah lihiap tidak mempunyai hubungan dengan benteng tentara kerajaan yang dipimpin oleh Oei-ciangkun?"

"Sudah kukatakan tadi, aku adalah seorang perantau bernama Suma Eng. Pekerjaanku hanya membasmi orang jahat dan menolong orang yang tertindas, bagaimana aku dapat terikat oleh hubungan dengan sepihak? Ceritakanlah kesusahanmu, saudara Piloko, mungkin aku dapat membantumu."

Bukan main girangnya hati Piloko mendengar ucapan ini. Lagi pula diam-diam ia telah menyaksikan kepandaian Eng Eng yang dengan demikian mudahnya mempermainkan dua orang pembantunya. Ia maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih jauh untuk dapat melawan kepandaian nona ini, maka kalau saja ia dapat menarik tenaga nona ini untuk membantunya hal itu tentu amat baiknya.

Pada saat itu terdengar seruan perlahan dari seorang wanita. Para perajurit yang duduk memberi jalan dan nampaklah seorang wanita setengah tua datang membawa sebatang pedang telanjang di tangannya. Wajahnya nampak berduka dan juga gelisah, akan tetapi ketika ia melihat Piloko berdiri berhadapan dengan Eng Eng dan bercakap-cakap dalam suasana damai, ia menjadi lega kembali dan pedangnya cepat ia sarungkan di pinggang.

"Nona Suma Eng, ini adalah Yamani isteriku yang setia. Lihat biarpun ia tidak memiliki kepandaian, namun mendengar aku datang ke sini menghadapi orang yang disangka lawan berbahaya, ia lupa kebodohannya dan datang membawa-bawa pedang!" kata Piloko memperkenalkan istrinya kepada Eng Eng, lalu disambungnya ketika ia memperkenalkan Eng Eng kepada istrinya.

"Yamani, jangan kau gelisah. Lihiap ini adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, yang mungkin belum pernah kau jumpai di alam mimpi sekalipun! Lihiap ini bernama Suma Eng dan kepandaiannya mungkin sepuluh kali lebih lihai dari pada kepandaianku."

Dengan singkat, Piloko lalu menceritakan kepada istrinya tentang kegagahan Eng Eng yang dikeroyok dua oleh pembantunya yang disebutnya kasar dan lancang tidak bisa mengenal orang.

Mendengar cerita suaminya ini, Yamani lalu menghampiri Eng Eng dan memegang lengannya.

"Ah, lihiap, sungguh berbahagia sekali rasanya dapat bertemu dengan seorang pendekar wanita yang sudah lama menjadi buah mimpi padaku. Aku seringkali mendengar cerita tentang pendekar-pendekar wanita, akan tetapi belum pernah bertemu dengan seorangpun, harap kau mau memaafkan semua kesalahan kawan-kawan kami dan marilah kita bercakapcakap di dalam kendaraanku yang biarpun kecil akan tetapi lebih enak dari pada di sini." Sambil berkata demikian, dengan amat ramah tamah, Yamani lalu menarik lengan Eng Eng. Gadis ini tak dapat menolak karena semenjak bertemu, ia telah merasa suka kepada nyonya bangsa Cou ini yang selain ramah tamah, juga amat manis mukanya.

Setelah duduk berhadapan di dalam kendaraan sambil makan hidangan yang disuguhkan oleh Yamanl yang ramah tamah, Eng Eng lalu mendengar penuturan sepasang suami istri kepala suku bangsa Cou ini. Ia mendengar betapa suku bangsa Cou selalu mendapat perlakuan kejam dan hinaan daripada suku bangsa Ouigour dan Mongol, dan betapa akhir-akhir ini tentara kerajaan nampaknya bahkan memusuhi mereka dan membantu orang orang Ouigour yang menahan suku bangsa Cou yang kecil jumlahnya.

"Perkampungan kami yang terakhir kemarin telah diserang pula oleh Huayen khan dibantu oleh pasukan dari Oei ciangkun. Terpaksa kami sekarang mengungsi dan mau tidak mau harus menetap di daerah yang tandus dan tidak subur ini." kata Piloko sambil menghela napas.

'Bagi kami sih tidak begitu berat karena kami berdua tidak mempunyai anak." sambung Yamani dengan suara mengharukan.

"Akan tetapi kalau kuingat keadaan bangsaku…lihatlah mereka yang mempunyai anak-anak kecil, ah... bagaimana akan jadinya dengan kami...?" Menangislah Yamani dengan sedihnya.

"Diam kau !" Piloko tiba-tiba membentak dengan muka merah. "Apa artinya tangis saja dalam keadaan seperti ini!"

Istrinya terdiam dan dengan wajah pucat dan sepasang mata terbelalak ia memandang kepada suaminya. Semenjak mereka kawin puluhan tahun yang lalu, baru kali ini Piloko membentaknya sedemikian kasarnya.

Melihat pandang mata isterinya, luluhlah kemarahan Piloko dan ia ingat bahwa ia tadi telah bersikap terlalu kasar, apa lagi di depan seorang tamu ia cepat memegang kedua tangan isterinya dan berkata,

'Yamani maafkan suamimu....... aku terlampau tertindih oleh kedukaan sehingga lupa diri. Maafkanlah......" Yamani hanya mengangguk-angguk karena tidak kuasa mengeluarkan kata-kata dari kerongkongan yang telah penuh oleh sedu sedan yang ditahan-tahannya.

Melihat keadaan mereka ini, bukan main terharunya hati Eng Eng. Ia merasa penasaran dan marah sekali kepada orang-orang Ouigour yang sewenang-wenang. Terutama sekali ia merasa penasaran dan kecewa mendengar betapa pasukan kerajaan dari Oei-ciangkun membantu pekerjaan terkutuk dari pasukan Ouigour itu.

Mendengar betapa orang-orang lelaki dan anak-anak bangsa Cou dibunuh dan orang-orang wanita yang muda-muda diculik secara kurang ajar, darah dalam tubuh Eng Eng sudah bergolak saking marahnya. Ia berdiri dari bangkunya, dan berkata.

"Saudara Piloko, jangan khawatir. Aku akan membantumu dan biarlah aku memberi latihan ilmu golok kepada pasukanmu, kemudian mari kita menyerbu dan membalas kejahatan orangorang Ouigour itu !”

Mendengar ucapan ini, Piloko dan Yamani segera menjatuhkan diri berlutut di depan gadis gagah itu saking girang dan bersyukurnya. Eng Eng cepat membangunkan mereka dan berkata.

"Aku adalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku. Biarlah untuk sementara aku ikut dengan kalian sampai kalian dapat merampas kembali kampung yang diserobot oleh bangsa Ouigour !"

Demikianlah, untuk beberapa pekan lamanya, di daerah tandus itu, Eng Eng melatih ilmu golok kepada anak buah Piloko. Bahkan Piloko sendiri, juga Yamani dan banyak lagi wanita-wanita bangsa Cou yang kebanyakan manis-manis dan cekatan, ikut pula belajar golok yang diajarkan oleh pendekar wanita itu.

Sementara itu, Piloko menyuruh penyelidik-penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan bekas kampung mereka yang telah dirampas oleh orang-orang Ouigour.

Pada suatu hari ia mendengar kabar bahwa kampung itu telah ditinggalkan oleh tentara kerajaan dan juga oleh pasukan-pasukan yang dipimpin sendiri oleh Huayen-khan, dan hanya terjaga oleh sepasukan orang Ouigour yang tak berapa kuat. "Lihiap, kampung kita tidak terjaga kuat. Sekarang besar sekali kesempatan kita untuk menyerbu dan merampasnya kembali.”

Eng Eng setuju, maka berangkatlah pasukan Cou dipimpin oleh Eng Eng dan Piloko. Adapun rombongan keluarganya tidak berangkat bersama pasukan ini, melainkan menanti di tempat

itu sampai kampung mereka dapat terampas kembali. Kini keluarga ini tidak begitu takut lagi ditinggal seorang diri oleh suaminya dan ayah mereka itu sedikit-sedikit telah mempelajari ilmu silat.

Karena perjalanan dilakukan cepat dan tidak membawa keluarga seperti ketika mereka pergi mengungsi, dalam waktu sehari semalam saja sampailah pasukan ini di kampung tempat tinggal mereka.

Terjadilah perang tanding yang hebat dan ramai. Akan tetapi, jangankan baru pasukan Ouigour yang hanya terdiri dari seratus orang lebih, biarpun di situ ada pasukan induk yang dipimpin oleh Huayen-khan sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan mudah pasukan yang dipimpin oleh Eng Eng ini !

Terutama sekali sepak terjang Eng Eng mengerikan hati orang-orang Ouigour, maka dalam pertempuran yang tak berapa lama, kocar-kacirlah orang-orang Ouigour ini, meninggalkan kawan-kawan yang tewas maupun yang terluka. Dengan mendapat kemenangan besar, orangorang Cou lalu masuk ke dalam kampung mereka dan menduduki kampung sendiri. Mereka segera turun tangan memperbaiki rumah-rumah yang dulu dirusak, kemudian mereka beristirahat.

Pada keesokan harinya, Eng Eng dan Piloko naik kuda untuk menjemput keluarga Cou. Pasukan kuda mereka ditinggalkan dan diharuskan menjaga kampung itu dengan kuat sedangkan sebagian pula melanjutkan usaha memperbaiki rumah-rumah yang rusak.

Eng Eng merasa gembira sekali. Baru sekarang ia merasa bahwa hidupnya tidak percuma. Ia mempunyai tugas dan usaha untuk menuntun dan menolong kehidupan ratusan orang Cou yang ternyata benar-benar jujur dan baik itu.

Melakukan perjalanan bersama Piloko sambil bercakap-cakap, mendengar ucapan yang ramah dan hormat, melihat pandangan mata yang penuh rasa terima kasih itu, ah, Eng Eng merasa seakan-akan berjalan dengan seorang paman atau ayah sendiri!

Bodoh sekali dia, pikirnya, mengapa tidak dari dulu menghubungi masyarakat ramai dan melakukan sesuatu demi kebaikan orang-orang itu? Sesungguhnya banyak sekali yang harus dilakukan, karena di dunia ini penuh dengan hal-hal yang amat ganjil, penuh dengan penindasan dan kekejaman, penuh dengan orang-orang yang patut dikasihani dan ditolong serta juga orang-orang yang patut dibasmi karena jahatnya!

"Suma lihiap, jasamu amat besar dan budimu terhadap bangsaku takkan dapat kami lupakan selamanya.” kata Piloko. "Ah, saudara Piloko apa perlunya segala ucapan sungkan ini. Aku suka membantumu dan membantu bangsamu yang tertindas."

“Ah, alangkah akan bahagia hatiku kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak perempuan seperti kau !"

"Kau tidak punya anak, saudara Piloko ?” Kepala suku bangsa Cou itu menghela napas. "Dulu punya seorang anak perempuan akan tetapi ia meninggal dunia karena penyakit demam. Semenjak itu, aku dan isteriku menganggap semua anak buahku sebagai anak kami dan yang harus kami jaga dengan segenap nyawa dan raga."

Eng Eng tidak menjawab, akan tetapi diam-diam ia juga berpikir. Alangkah senangnya kalau dia masih mempunyai ayah ibu pula, biarpun ayah ibu bangsa Cou seperti Piloko dan Yamani ! Semenjak kecil ia merindukan cinta kasih ayah bunda yang tak pernah dirasakannya. Ingin sekali ia berkata kepada Piloko bahwa ia suka menjadi anak orang ini akan tetapi ia tidak dapat mengucapkannya dan hanya diam saja sambil menarik napas panjang. Ketika mereka tiba di perkampungan baru di daerah tandus itu, senja telah mulai mendatang. Mereka memasuki kampung, dan dengan amat heran mereka melihat tempat itu sunyi saja tidak kelihatan seorangpun! Piloko menjadi pucat menyangka bahwa kampung ini tentulah mengalami malapetaka sewaktu ditinggal pergi.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara-suara orang seperti dikeluarkan oleh orang-orang yang sedang bertempur. Eng Eng melompat turun dari kudanya dan berlari cepat ke arah suara itu yang datang dari luar dusun sebelah barat.

Ketika ia tiba di situ, ia menjadi marah bukan main melihat Yamani dan beberapa orang wanita lain dengan mati-matian sedang mengeroyok seorang laki-laki yang melayani mereka sambil tertawa-tawa mengejek. Sambil mengelak dari serangan golok para wanita itu, laki laki ini menowel sana mencolek sini, memilih wanita-wanita muda dengan cara yang amat kurang ajar.

"Bangsat Ban Hwa Yong!” Eng Eng memaki marah. "Kau benar-benar harus dibikin mampus!" Sambil berkata demikian, Eng Eng minta golok dari seorang wanita yang tadi ikut mengeroyok penjahat itu dan sambil melompat cepat ia menerjang penjahat cabul itu.

Gadis ini makin lama makin merasa sayang kepada pedangnya, maka ia tidak mau mengotori pedangnya dengan darah bangsat yang dibencinya ini. Pula ia merasa yakin bahwa dengan sebatang golokpun ia akan dapat mengalahkan Ban Hwa Yong.

Sementara itu, Ban Hwa Yong menjadi kaget setengah mati ketika melihat Eng Eng, gadis yang pernah dirasai kelihaiannya dan yang telah menewaskan kedua suhengnya. Ban Im Hosiang dan Ban Yang Tojin. Ia menjadi jerih dan juga marah sekali terhadap gadis ini, maka sambil berseru keras ia mencabut sepasang senjata kaitannya dan memutar sepasang senjata ini bagaikan kitiran cepatnya.

Yamani dan teman-temannya dan melihat datangnya Eng di tempat yang cukup jauh sambaran senjata penjahat

ketika melihat penjahat yang lihai itu menggunakan senjata Eng cepat-cepat mengundurkan diri dan menonton sambil berdiri agar jangan mengganggu Eng Eng dan jangan sampai terkena yang lihai itu.

Bahkan Piloko sendiri tidak berani turun tangan karena ia tidak berani mengganggu Eng Eng yang nampaknya sudah kenal penjahat ini dan belum pernah Piloko melihat nona pendekar itu demikian marah. Ia lalu didekati oleh istrinya yang menceritakan dengan singkat bahwa sebelum Piloko dan Eng Eng pulang, penjahat ini datang memasuki kampung dan melihat betapa penduduk kampung itu hanya wanita-wanita saja. Ban Hwa Yong lalu hendak berlaku kurang ajar. Ia hendak mengangkat diri menjadi pemimpin orang-orang itu dan memilih gadis-gadis yang tercantik untuk melayaninya.

Tentu saja orang-orang wanita Cou itu menjadi marah sekali lalu beramai-ramai mengeroyoknya. Akan tetapi tentu saja mereka ini bukan lawan Ban Hwa Yong yang kosen. Biarpun penjahat itu dikeroyok oleh beberapa orang wanita yang dipimpin oleh Yamani namun dengan tangan kosong ia menghadapi keroyokan golok itu dengan amat mudahnya bahkan ia masih dapat mengganggu para pengeroyoknya !

Memang agaknya dosa Ban Hwa Yong sudah terlampau bertumpuk-tumpuk sehingga dusun yang nampaknya tenang dan penuh wanita sehingga ia merasa aman dan gembira itu, tidak tahunya adalah tempat tinggal dari Suma Eng, gadis yang dibencinya dan juga amat ditakutinya. Kini Eng Eng telah maju dengan amat marah.

Gadis ini menggerakkan goloknya dengan sekuat tenaga, dibacokkan ke arah kepala Ban Hwa Yong sambil mengerahkan lweekangnya. Ban Hwa Yong menangkis dan mencoba untuk membalas dengan serangan balasan yang hebat. Akan tetapi, baru tangkisannya saja sudah membuat ia merasa makin jerih.

Ketika ia menangkis tadi, ia merasa betapa tangannya yang memegang kaitan yang ditangkiskan menjadi kesemutan dan pedas sekali. la masih mempertahankan diri sampai dua puluh jurus dengan harapan bahwa karena gadis itu memegang golok, tentu tidak berapa lihai. Tidak tahunya, rangsekan gadis itu makin hebat saja dan golok yang dimainkan seolah-olah telah berobah menjadi lima batang !

Akhirnya Ban Hwa Yong tak kuat menahan dan sambil berseru keras ia lalu melepaskan beberapa batang jarum rahasia yang dijemputnya dengan tangan kiri dari saku bajunya akan tetapi Eng Eng dengan amat mudahnya mengelakkan diri.

Ketika gadis ini hendak menyerang lagi, Ban Hwa Yong melompat jauh dan melarikan diri. Akan tetapi mana Eng Eng mau melepaskan penjahat ini ?

"Bangsat cabul, kau hendak lari ke mana?" serunya dan secepat burung melayang, tubuhnya berkelebat mengejar. Sebentar saja dua orang ini sudah lenyap dari pandangan mata semua orang yang menonton pertempuran itu.

"Lekas, kejar mereka dan bantu Suma lihiap!” kata Yamani kepada suaminya dengan gelisah.

Akan tetapi Piloko yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari isterinya, tersenyum. "Kau jangan kuatir, lihiap takkan apa-apa. Bangsat itu pasti akan mampus di tangan Suma lihiap.”'

Memang ramalan Piloko ini tidak kosong belaka. Biarpun Ban Hwa Yong memiliki ginkang yang tinggi dan pandai menggunakan ilmu lari cepat Co sang-hui (Terbang di Atas Rumput). Namun sebentar saja Eng Eng telah dapat mengejarnya !

Terpaksa Ban Hwa Yong memutar tubuhnya dan bersiap sedia dengan kaitannya,

"Bangsat rendah, mampuslah kau!” seru Eng Eng dan cepat gadis ini menyerang dengan goloknya, menggunakan golok di tangan kanan untuk membacok ke arah leher sedangkan tangan kirinya siap untuk mengirim pukulan susulan.

Ban Hwa Yong makin gugup. Tak terasa keringat dingin mengalir turun dari balik bajunya. Ia menangkis bacokan itu dengan kaitan di tangan kanan sambil menggeser kaki kanan, kaitan kirinya menyambar ke arah perut Eng Eng ! Akan tetapi, gadis yang sudah sangat marahnya ini lalu menggerakkan kaki kiri menendang tepat mengenai pergelangan tangan kiri Ban Hwa Yong.

"Krek !”

Ban Hwa Yong menjerit ketika tulang pergelangan tangannya patah terkena tendangan Eng Eng yang mengerahkan tenaga luar biasa itu ! Kaitan kiri terlepas dan terlempar jauh. Sebelum kaitan kanannya dapat sempat bergerak, golok Eng Eng sudah menyambar dan tanpa dapat berteriak lagi. Ban Hwa Yong manusia durhaka dan keji itu telah roboh dengan kepala terpisah dari tubuh!

"Ting twako, harap kau sekeluarga dapat puas dan tenang. Musuh-musuhmu telah tewas semua!" kata Eng Eng sambil memandang ke angkasa, seolah-olah ia bicara dengan arwah dari Ting Kwan Ek, piauwsu yang terbunuh sekeluarganya oleh Thian-te Sam kui yang kini telah ditewaskannya semua itu !

Kemudian Eng Eng lalu melempar goloknya dan melompat kembali ke arah dusun, piloko dan orang-orang perempuan di situ menyambutnya dengan amat lega dan gembira apalagi ketika mendengar bahwa penjahat itu telah dapat ditewaskan. Eng Eng menceritakan siapa adanya penjahat itu, maka semua orang menjadi kagum mendengar ini, lebih-lebih ketika mendengar bahwa penjahat itu adalah seorang di antara Thian te Sam kui yang pernah didengar namanya oleh Piloko.

Kemudian pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan keluarga yang semua berwajah girang dan berseri ini lalu berangkat kembali ke kampung mereka yang telah dapat dirampas kembali dari tangan orang-orang Ouigour. Kedatangan keluarga dalam keadaan

selamat ini menambah kegembiraan orang-orang Cou yang sedang membangun kembali dusun mereka, dan menambah pula rasa terima kasih mereka kepada Suma Eng yang mereka beri nama julukan "Bunga Dewa "!

Dikalangan orang Cou ini dahulu memang terdapat kepercayaan tentang adanya bunga dewa yang sakti sekali yang sering kali diturunkan oleh dewata untuk menolong manusia. Bunga dewa yang diturunkan ke dunia oleh dewa ini sering kali menjelma menjadi manusia gagah atau menjelma menjadi pertapa-pertapa. Dengan diberi nama julukan bunga dewa berarti bahwa orang-orang Cou merasa amat berterima kasih dan amat menjunjung tinggi gadis ini!

Setelah suku bangsa Cou bisa merampas kembali kampung mereka dan memperbaiki rumahrumah di kampung itu. Eng Eng merasa bahwa tugasnya menolong orang ini sudah selesai. Akan tetapi, sebelum ia berpamit untuk meninggalkan Piloko dan anak buahnya, kepala suku bangsa Cou itu bersama istrinya berkata kepadanya dengan suara mengandung permohonan.

"Lihiap, kami mengharap dengan sangat sukalah lihiap tinggal bersama kami, tidak saja untuk melanjutkan latihan ilmu golok kepada kami, akan tetapi terutama sekali untuk menakuti orang-orang Ouigour. Kalau tiada lihiap di sini kami pasti akan diserangnya lagi dan sekali ini mereka tentu akan membuat pembalasan hebat. Bagaimana kami dapat melawan mereka kalau sampai tentara Han membantu mereka?"

Eng Eng berpikir bahwa kekuatiran ini beralasan juga.

“Biarkan mereka datang, saudara Piloko, akan kubasmi mereka semua, kalau mereka berani datang mengganggu lagi. Baiklah aku akan tinggal untuk sementara di sini, akan tetapi sesungguhnya aku mempunyai tugas amat penting yakni mencari seorang musuh besarku. Kalau aku tinggal di sini, berarti hbal itu kutunda-tunda. Maka tolonglah menyuruh beberapa orangmu untuk membantuku dan mewakili aku menyelidiki di mana adanya orang yang kucari-cari itu." ia lalu memberi keterangan tentang Sim Tiong Kiat yang berjuluk Ang coa kiam, dan memberi gambaran pula tentang bentuk muka dan tubuh pemuda musuh besarnya itu. Piloko dengan girang lalu menyanggupi, bahkan segera memilih kawankawannya yang pandai sebanyak lima orang untuk disuruh menyelidiki di mana adanya Sim Tiong Kiat itu.

Eng Eng tinggal serumah dengan Piloko dan Yamani dan hubungannya dengan nyonya rumah ini makin erat saja seperti enci adik atau bahkan seperti ibu dan anak.

Dari Yamani Eng Eng mempelajari banyak sekali kepandaian bahasa Cou, kerajinan tangan dan juga menerima nasihat-nasihat tentang kehidupan dari nyonya yang sudah banyak pengalaman hidup ini.

Tepat seperti yang dikuatirkan oleh Piloko, dua pekan kemudian datanglah serbuan yang sangat besar-besaran dari pasukan Ouigour yang dipimpin sendiri oleh Huayen khan dan Ang Hwa !

Ketika itu Eng Eng dan Piloko yang ditemani oleh Yamani sedang duduk di belakang rumah menyaksikan latihan ilmu golok yang dilakukan oleh belasan orang pemimpin pasukan. Tiba-tiba seorang penjaga dengan napas terengah-engah datang melaporkan.

"Dari balik bukit di timur datang pasukan Ouigour yang jumlahnya kurang lebih dua ratus orang, dikepalai sendiri oleh Huayen khan dan seorang wanita muda yang cantik berpakaian merah."

"Ang Hwa si perempuan lacur !" kata Piloko dan Yamani hampir berbareng dengan muka kaget.

"Siapkan barisan, perkuat penjagaan di empat pintu gerbang dan sisa barisan semua bersiap di pintu timur !" Piloko memberi perintah kepada para pembantunya yang sedang berlatih golok itu. Pemimpin-pemimpin pasukan itu cepat pergi untuk mengatur pasukan masing-masing dan Piloko lalu berkata kepada Eng Eng !

"Nah, Suma-lihiap sekaranglah saatnya kami mohon bantuanmu karena tanpa bantuanmu kami semua pasti akan celaka ditangan Huayen khan dan Ang Hwa. Selain jumlahnya pasukan mereka lebih besar, juga Huayen khan dan Ang Hwa amat lihai."

Akan tetapi dengan tenang Eng Eng lalu mengajak kepala suku bangsa Cou itu dan istrinya untuk segera keluar dan ikut menjaga di pintu gerbang sebelah timur. "Siapakah orang yang kau sebut Ang Hwa itu?” tanyanya ketika mereka telah tiba di tempat yang dituju di mana para perajurit Cou telah siap sedia dengan golok di tangan.

"Ang Hwa adalah puteri seorang ahli silat Kun Iun pai yang telah menjadi isteri dari Huayen-khan. Mungkin kepandaiannya tidak kalah oleh Huayen khan, terutama sekali pedangnya yang amat ganas." Jawab Piloko.

Mendengar ini, Eng Eng menjadi tertarik sekali. Ingin ia menyaksikan sampai di mana kelihaian Huayen khan, terutama orang yang bernama Ang Hwa itu. Sambil menanti kedatangan tentara musuh, Eng Eng mendengar keterangan Piloko tentang kejahatan dan kecabulan Ang Hwa yang biarpun sudah menjadi istri Huayen khan, namun masih suka bermain gila dengan laki laki lain setahu suaminya! Tentu saja Eng Eng menjadi sebal mendengar ini dan timbullah rasa benci dalam hatinya terhadap Ang Hwa yang dianggapnya tidak tahu malu.

Sebelum kelihatan barisan Ouigour itu, sudah nampak debu mengebul dan suara sorakan mereka, Eng Eng berpesan kepada Piloko, "Jangan bergerak dulu. lihat apa yang hendak mereka lakukan. Kalau memang betul Huayen khan dan Ang Hwa berniat buruk, biar aku merobohkan mereka dulu agar semangat barisannya menjadi patah."

Piloko menurut dan memberi perintah kepada para pembantunya, akan tetapi di dalam hatinya diam-diam ia merasa ragu-ragu apakah mungkin Eng Eng dapat merobohkan Huayenkhan dan Ang Hwa seorang diri saja.

Ia telah maklum bahwa ilmu kepandaian Huayen khan sendiri jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaiannya, apa lagi Ang Hwa yang disohorkan orang amat ganas dan kejam itu. Biarpun ia telah menyaksikan kelihaian Eng Eng, namun sukarlah dapat dipercaya adanya seorang gadis yang dapat menghadapi Huayen-khan dan Ang Hwa!

Tak lama kemudian dari sebuah tikungan di luar dusun, nampaklah barisan Ouigour itu muncul dengan segala kegagahan. Huayen-khan sendiri naik kuda abu-abu disamping kuda putih yang dinaiki Ang Hwa dan kedua orang ini nampak gagah dan keren.

Melihat dua orang musuh besar ini, Piloko merasa marah dan juga gentar. Telah berkalikali ia merasai kelihaian Huayen khan, biarpun ia mengeroyok orang ini, selalu ia menderita kekalahan.

Sementara itu, Huayen-khan memandang kepada Piloko dengan muka merah dan menudingkan golok besarnya sambil berkata,

"Piloko, manusia tak tahu malu! Apakah kau telah bosan hidup maka kau telah berani sekali berlaku curang dan menyerang pasukanku selagi aku tidak ada? Ketika kami merampas kampungmu, kami masih berlaku murah tidak membunuhmu. Akan tetapi kau melepaskan kesempatan dan kekuatan tentara yang lebih besar jumlahnya untuk menyerang kembali kampungmu. Sungguh hal ini aku tak dapat membiarkan saja dan hari ini aku harus dapat memenggal lehermu dengan golokku."

Ucapan ini dikeluarkan dalam bahasa Cou yang kaku. Eng Eng yang sudah mempelajari bahasa ini, dapat mengerti maksudnya, maka ia mendengarkan dengan penuh perhatian, akan tetapi tetap waspada.

“Huayen khan, bisa saja kau memutar balikkan duduknya perkara. Sudah kau katakan juga bahwa kau telah merampas kampungku mau bicara apa lagi ? Kau telah mengaku dan memperdengarkan kejahatanmu sendiri. Kau selalu menindas dan memusuhi bangsaku yang lebih kecil jumlahnya, sedangkan seekor semutpun kalau diinjak-injak sarangnya akan mengamuk dan melawan seekor gajah, apalagi pula seorang manusia? Kami merampas kembali kampung kami sendiri, dipandang dari sudut keadilan siapapun juga, ini sudah menjadi hak kami dan kau boleh mengatakan apa juga, namun tetap kampung ini adalah tempat tinggal kami."

Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengejek. Ternyata yang tertawa adalah wanita cantik yang berkuda putih di samping Huayen-khan, yakni Ang Hwa.

"He, he, sekarang Piloko berani membuka mulut besar, agaknya burung walet yang sudah

habis bulunya itu kini telah tumbuh sayap.”

"Ha, ha, ha !!" Huayen-khan tertawa bergelak mendengar ejekan isterinya ini.

"Kau betul sekali, manis. Biar aku putuskan lagi sayapnya yang baru tumbuh itu. Ha ha, ha !" Sambil berkata demikian, tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu sebatang anak panah telah terlepas dari busurnya, menyambar Piloko!

Memang Huayen khan adalah seorang ahli main panah. Akan tetapi piloko yang mendapat julukan Yan ong (Raja WaIet) memiliki ginkang yang sudah cukup tinggi.

Begitu melihat berkelebatnya anak panah yang menyambar, lebih dulu ia telah dapat melompat ke kiri. Anak panah itu lewat di samping tubuhnya dan menancap ke atas tanah sampai ke gagangnya.

Akan tetapi, dengan amat cepatnya, tiga batang anak panah menyambar lagi, kini ketiga bagian tubuh Piloko !

"Manusia curang!” tiba - tiba berkelebat bayangan tubuh yang amat langsing dan tahutahu tiga batang anak panah itu telah kena ditendang runtuh oleh Eng Eng yang tahu-tahu telah berdiri di depan Piloko dan menghadapi Huayen khan dengan mata bersinar marah.

“Ha, ha, ha, pantas saja Piloko berani berlagak, tidak tahunya ia telah mempunyai seorang selir yang cantik dan gagah perkasa. Eh, kau nona yang cantik dan gagah, mengapa kau begitu merendahkan diri ikut pada Piloko yang miskin?"

Bukan main marahnya hati Eng Eng mendengar hinaan ini. Akan tetapi ia teringat akan penuturan PiIoko tentang Huayen-khan dan istrinya yang ternyata masih muda, cantik yang jelas berasal dari selatan itu, maka katanya dalam bahasa Han sambil tersenyum mengejek.

"Huayen khan, aku adalah seorang gadis kang ouw pembasmi orang-orang jahat seperti kau mana bisa dibandingkan dengan isterimu? Agaknya kau selalu memandang rendah kepada setiap orang wanita, karena mengingat akan istrimu sendiri yang kau biarkan bermain dengan laki laki lain !" Biarpun omongan yang dikeluarkan oleh Eng Eng ini disertai senyum simpul, akan tetapi tajamnya melebihi ujung pedang yang menikam dada Huayen khan dan Ang Hwa. Dua orang ini belum pernah dihina orang seperti ini, tentu saja mereka menjadi marah sekali. Huayen khan saking marahnya tidak dapat berkata sesuatu, hanya kedua tangannya saja yang bergerak secepat kilat dan lima batang anak panah melayang ke arah tubuh Eng Eng! Gadis ini memperlihatkan kepandaiannya yang benar-benar mengagumkan sekali.

Bagi orang lain, anak-anak panah itu datangnya amat cepat dan sukar sekali diikuti oleh pandangan mata sehingga amat sukar dilihat.

Akan tetapi bagi Eng Eng, ia dapat melihat jelas datangnya anak panah ini. Dua batang melayang agak rendah, mengarah perut dari kanan kiri. Dua lagi mengarah dada dari kanan kiri dan sebatang lagi menuju ke arah kepalanya !

Karena anak-anak panah ini datangnya berbareng maka Eng Eng lalu mengeluarkan suara keras dan tubuhnya bergerak amat mengagumkan dan mengherankan.

Sekali bergerak saja, kedua kakinya dengan tendangan berantai telah memukul runtuh dua batang anak panah, dan lagi yang menuju ke arah dadanya dapat ditangkap oleh kedua tangannya dan yang menuju ke kepalanya dapat dielakkan sambil menundukkan mukanya!

Selagi semua orang terheran-heran, Eng Eng berseru lagi dengan nyaring,

"Keledai tua, kau makanlah sendiri anak panahmu !” sambil berkata demikian, dua tangannya terayun ke depan dan dua batang anak panah yang tadi ditangkap dengan tangannya kini melayang bagaikan kilat menyambar ke arah pemiliknya.

Huayen-khan masih bengong menyaksikan kelihaian Eng Eng menghindarkan diri dari serangan lima batang anak panahnya. Kini melihat sinar terang menyambar ke arah perutnya, ia kaget sekali dan cepat ia lalu melompat turun dari kudanya karena tidak ada jalan untuk menangkis atau mengelak lagi. Ia selamat dari tusukan anak panahnya, akan tetapi kudanya yang berbulu abu-abu meringkik keras lalu roboh, keempat kakinya berkelojotan lalu diam!

Ternyata bahwa Eng Eng melepaskan dua batang anak panah yang disambitkannya itu kedua jurusan, sebatang ke arah Huayen khan dan yang kedua ke arah kuda itu yang tepat mengenai dada dan menembus jantung! Bukan main marahnya Huayen khan melihat kejadian ini. Saking marahnya, ia sampai menjadi lupa mempergunakan pikiran sehat lagi. Bila ia tidak begitu marah, tentu ia dapat mengetahui bahwa gadis di depannya ini sama sekali tidak boleh dibuat permainan dan tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.

Akan tetapi ia sedang marah sekali dan nama Huayen-khan bukanlah nama yang baru saja muncul. Dia adalah seorang tokoh yang amat terkenal, bahkan bangsa Mongol dan Tartar sendiri merasa keder mendengar nama ini.

Orang-orang Mongol memberi julukan "Panah setan" kepadanya, sedangkan orang-orang Tartar memberi nama poyokan "Golok Peminum darah".

Tentu saja kini baru bertemu pertama kali sudah diperhina dan dipermainkan oleh seorang

gadis muda, kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok besarnya dan menerjang maju sambil berseru keras. Dalam kemarahan dan juga kesombongannya ia memandang ringan kepada lawan ini, sehingga ia lupa memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerbu.

Oleh karena semua anggauta pasukannya amat takut dan taat kepada Huayen-khan yang galak dan keras, maka mereka tidak ada yang berani turun tangan dan hanya menanti sampai kepala mereka merobohkan gadis fihak musuh yang lancang dan berani itu. Akan tetapi ternyata kali ini Huayen khan kecele besar sekali. Baru saja goloknya menyambar, tibatiba berkelebat sinar merah dan ia merasa seakan-akan pangkal lengannya akan copot dari pundaknya!

Lengannya tergetar hebat dan matanya menjadi silau oleh cahaya api yang berpijar keluar dari goloknya yang beradu dengan pedang merah di tangan nona itu.

Ketika ia cepat menarik kembali golok besarnya, ternyata golok besarnya itu rompal sedikit karena beradu dengan pedang itu. Bukan main kagetnya hati Huayen-khan. Golok besarnya adalah sebuah golok pusaka yang ampuh dan keras, bagaimana sekarang sampai dapat gempal sedikit ketika beradu dengan pedang nona yang nampaknya amat tipis dan tidak kuat itu? Akan tetapi Eng Eng tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak melamun, karena segera pedang merah di tangannya itu berobah menjadi segulung sinar merah yang bergulung-gulung bagaikan seekor naga merah mengamuk!

Huayen khan bukan anak kemarin sore yang baru kali ini menghadapi lawan tangguh, maka ia cepat memutar goloknya, mengimbangi kecepatan gerakan lawan dan sambil menangkis dan mengelak, iapun membalas dengan serangan-serangan kilat yang tak kalah berbahayanya.

Akan tetapi, baru bertempur lima belas jurus saja, seperti orang-orang lain yang pernah menghadapi Eng Eng dalam pertempuran, kepala Huayen-khan telah menjadi pening dan pandangan matanya kabur.

Ia menjadi bingung sekali karena sesungguhnya gerakan pedang dari gadis ini luar biasa anehnya. Tampaknya demikian kacaunya seperti orang mabok memutar pedang, tetapi di dalam kekacaubalauan ini tersembunyi daya tempur yang luar biasa kuatnya, gerakannya kacau, akan tetapi setiap serangan amat cepat dan berbahaya sedangkan ilmu silat pedang yang nampak kacau balau itu ternyata amat sukar untuk dipecahkan dan amat sukar untuk diserang.

Setelah ia dapat mempertahankan diri sampai dua puluh jurus, Ang Hwa yang melihat keadaan suaminya mulai terdesak hebat dan bingung oleh sinar pedang yang merah itu, menjadi tidak sabar. Sambil mengeluarkan suara keras ia lalu melompat turun dari kudanya, menghunus pedangnya dan menyerbu. Melihat betapa Eng Eng dikeroyok, piloko hendak turun tangan. Akan tetapi, Eng Eng berseru.

“Saudara Piloko, biarlah dua ekor anjing ini kau serahkan kepadaku. Lebih baik kau pimpin kawan-kawan untuk mengusir musuh-musuhmu itu !"

Piloko tidak berani membantah, maka ia lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Mulailah orang orang Cou itu bersorak sambil menyerbu orang-orang Ouigour yang tidak menyangka-nyangka sama sekali. Terjadilah perang tanding yang amat ramai dan hebat, perang tanding yang kacau balau di luar pintu gerbang dusun itu. Piloko dan isterinya mengamuk hebat, memimpin kawan-kawan mereka menyerbu musuh yang menjadi kacau karena tidak mendapat pimpinan dari kepala mereka. Adapun Huayen-khan dan Ang Hwa yang mengeroyok Eng Eng, tiba-tiba menjadi terkejut sekali ketika Eng Eng mengeluarkan pekik yang nyaring dan gerakan pedang merahnya makin hebat saja.

Sekali sabet sambil mengerahkan tenaga, golok di tangan Huayen khan patah sampai di gagangnya dan ketika kakinya terayun ke arah Ang Hwa, nyonya muda ini menjerit ngeri dan tubuhnya terpental sampai tiga tombak jauhnya. Baiknya Ang Hwa pernah mendapat latihan ilmu Iweekang yang cukup tinggi dari cabang persilatan Kun-lun pai, maka biarpun ia menderita luka di dalam lambung dan mulutnya mengeluarkan darah, namun ketika tertendang tadi ia masih sempat mengerahkan tenaga penolakan hingga lukanya tidak membahayakan nyawanya. Akan tetapi, sepak terjang Eng Eng ini sudah cukup membuat hati mereka menjadi gentar sekali.

"Serang dia !” seru Huayen khan kepada para pembantunya yang segera menyerbu dan mengeroyok Eng Eng. Sebentar saja Eng Eng dikeroyok oleh sepuluh orang Ouigour yang terkenal memiliki kepandaian lumayan.

Akan tetapi, begitu pedang Eng Eng menyambar-nyambar di sana-sini terdengar seruan kesakitan, disusul robohnya orang-orang yang mengeroyoknya. Dalam beberapa gebrakan saja Eng Eng telah membabat roboh lima orang pengeroyok dengan cara sama mudahnya dengan orang membabat rumput saja !

Huayen khan yang pergi menolong istrinya menjadi makin gelisah melihat betapa orangorangnya banyak yang menjadi korban dan tewas dalam pertempuran itu. la segera memondong tubuh Ang Hwa yang masih pingsan dan melompat ke atas kuda putih, kuda tunggangan Ang Hwa yang terkenal baik dan cepat sekali larinya, lalu berseru.

"Mundur semua !"

Setelah memberi aba-aba mundur ini, Huayen-khan lalu membalapkan kudanya lari dari tempat itu. Piloko dan Yamani tidak berani mengejar, adapun Eng Eng yang tadinya ingin mengejar dan menewaskan dua orang itu, tidak mempunyai kesempatan karena ia masih dikeroyok dan dikurung oleh orang orang Ouigour. Ketika ia berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok dengan sekali serangan sehingga yang lain menjadi jerih dan mundur, ternyata kuda putih yang ditunggangi oleh Huayen-Khan telah lenyap dari situ, hanya suara derap kakinya saja terdengar sudah amat jauh.

Orang-orang Ouigour ketika mendengar aba-aba yang dikeluarkan oleh Huayen-khan tidak mau membuang banyak waktu lagi, lalu melarikan diri meninggalkan mereka yang tewas dan terluka.

Pertempuran kali ini adalah pertempuran pertama yang mendatangkan kemenangan besar sekali bagi fihak bangsa Cou, maka tentu saja mereka menjadi amat gembira. Makin kagumlah semua orang terhadap Eng Eng, bahkan malam itu lalu diadakan perayaan untuk merayakan kemenangan itu serta untuk menghormati Eng Eng.

Dalam perayaan ini, Piloko dan Yamani mengajukan usul, yakni mengangkat Eng Eng sebagai kepala suku bangsa Cou!

Akan tetapi Eng Eng cepat menolak dengan manis sambil berkata,

"Kalian ini sungguh keterlaluan. Bagaimana seorang gadis muda yang bodoh seperti aku hendak dijadikan kepala suku bangsa? Memang tak perlu kusangkal lagi bahwa mungkin dalam ilmu silat, aku mempunyai kepandaian paling tinggi diantara kalian semua. Akan tetapi, kepandaian silat saja masih belum bisa membikin orang menjadi seorang kepala suku bangsa ! Bagaimana aku berani menerimanya? Untuk mengatur diriku sendiri yang sebatang kara ini saja bagiku masih amat membingungkan, bagaimana aku harus mengatur penghidupan ratusan orang? Ah, tidak, saudara piloko, maafkan saja, pengangkatan ini aku sama sekali tidak berani terima.”

Tiba-tiba Piloko menangis sambil berkata dengan perlahan, akan tetapi terdengar oleh semua orang yang berkumpul di situ.

"Ah, memang nasib bangsaku amat buruk. Agaknya sudah menjadi takdir bahwa suku bangsa Cou harus lenyap dari muka bumi ini. Tadinya kita mengira bahwa Bunga Dewa akan membebaskan kita dari penderitaan dan kehancuran, akan tetapi setelah dia menolak, sama artinya dengan keputusan dari langit bahwa bangsa Cou harus lenyap. Kalau Suma Iihiap tidak mau memimpin kita, akhirnya tentu kita akan ditinggalkan dan..... kalau sampai terjadi hal demikian, lalu bangsa Ouigour atau bangsa lain menyerang kita, apa yang dapat kita lakukan? Sudahlah…memang sudah nasib kita yang amat buruk, keselamatan kita hanya tergantung kepada Suma lihiap saja dan sekarang dia tidak mau menerima permintaan kita…"

Ucapan ini dikeluarkan dengan suara terisak-isak tertahan sehingga semua orang menjadi terharu dan di sana-sini terdengar suara tangis orang-orang perempuan, termasuk Yamani.

Eng Eng menarik napas panjang. "Saudara Piloko, kau tidak adil! Dengan omonganmu ini, bukankah berarti bahwa kalian hendak mengikat diriku disini? Aku sendiri sudah cukup menderita, hidup sebatang kara, tidak tentu tujuan, tidak tahu apakah yang akan terjadi dengan diriku, ditambah kalian hendak mengikat aku di sini, lalu apakah aku tidak berhak pula untuk mencari kebahagiaan hidup ? Semenjak kecil aku sudah hidup penuh kepahitan, kegetiran, kesengsaraan dan sekarang…setelah aku berjasa.... ah, masihkah aku harus menambah beban hidupku dengan memikirkan kehidupan ratusan orang bangsamu…?”

Bicara sampai di sini, Eng Eng teringat akan keadaannya sendiri dan karena terharunya,

menangislah gadis pendekar ini! Ia menubruk dan merangkul Yamani, lalu menangis tersedu-sedu, belum pernah ia menangis sesedih itu.

Gadis perkasa ini memang selamanya belum pernah menjadi demikian sedihnya, dan baru kali ini, di tengah orang-orang yang bersimpati kepadanya, yang memilihnya sebagai kepala, ia demikian terharu sehingga ia menangis dengan hati terasa bagai diremasremas!

"Diamlah, nak. Maafkan kami yang terlalu mengingat keadaan sendiri. Diamlah, anakku yang baik, kau memang pantas dikasihani." kata Yamani sambil mendekap kepala gadis itu.

Eng Eng makin merasa terharu dan mendengar hiburan ini, tangisnya makin menjadi. Ia merasa betapa suara Yamani itu penuh dengan kasih sayang, dan ia yang selama ini merasa rindu akan kasih sayang seorang ibu, kini tiba-tiba merasa bahwa alangkah baiknya dan senangnya kalau Yamani menjadi ibunya!

"Tidak, tidak. Kalian tidak salah apa-apa, memang sudah seharusnya aku melindungi dan membantu kalian orang-orang baik dan tertindas ini. Biarlah aku menjadi anakmu, biarpun aku tidak menjadi kepala, akan tetapi sebagai anakmu aku akan membelamu. Siapa saja yang berani mengganggu ayah bundaku juga bangsaku, akan kuhajar habis-habisan!”

Ucapan ini dikeluarkan dalam bahasa Cou maka semua orang dapat mendengar dan mengerti artinya. Bukan main girangnya semua orang, terutama sekali Piloko dan Yamani sendiri. Mereka saling pandang dan hampir tak dapat mempercayai pendengaran mereka. Yamani lalu memeluk Eng Eng sambil berkata.

"Anakku... Eng Eng anakku sayang…"

"Aku... dan juga kau, ayah. Jangan khawatir, aku akan memberi latihan ilmu silat kepada kawan-kawan kita. Sebelum keadaan kawan-kawan kuat dan boleh diandalkan, aku takkan meninggalkan kalian semua."

Bukan main girangnya Piloko mendengar betapa gadis pendekar ini menyebutnya ayah. Wajahnya berseri-seri. la merasa seakan-akan anaknya yang dulu telah meninggal dunia karena sakit kini telah hidup kembali. Matanya yang biasanya bermuram ini kini menitikkan dua butir air mata.

"Anakku, kau baik sekali. Terima kasih kepada Dewa yang agung yang telah mengirim bunga dewa kepadaku. Alangkah besar kehormatan yang kunikmati dapat menjadi ayah dari bunga dewa !” Setelah berkata demikian, Piloko lalu berlutut dengan kedua tangan terangkat ke atas sebagai penghormatan dan pernyataan terima kasih kepada penghuni langit !

Melihat hal ini, Yamani dan semua orang yang berada di situ, lalu ikut pula berlutut seperti yang dilakukan oleh Piloko.

Melihat kesungguhan wajah dan sikap mereka, Eng Eng merasa betapa tulang rusuknya menjadi dingin, maka iapun lalu ikut berlutut seperti yang dilakukan oleh ayah dan Ibu angkatnya serta sekalian orang Cou yang berada di situ.

Mulai hari itu, Eng Eng mulai melatih ilmu silat lebih lanjut kepada orang-orang Cou yang belajar makin giat dan rajin lagi sehingga mereka mendapat kemajuan pesat. Selama itu tidak nampak gangguan lagi dari fihak Ouigour sehingga orang orang Cou hidup dengan aman dan tenteram, menyangka bahwa Huayen-khan telah mendapat hajaran dan tidak berani muncul lagi. Akan tetapi dugaan mereka ini sebetulnya salah sekali, karena orang seperti Huayen-khan tak mungkin dapat mengalah begitu saja.

Baiknya hal ini dapat diduga oleh Eng Eng yang sengaja untuk sementara waktu tidak mau meninggalkan Piloko dan anak buahnya.

Sementara itu, para penyelidik yang disuruh oleh Piloko untuk mencari jejak Sim Tiong Kiat seperti yang dikehendaki oleh Eng Eng ternyata kembali nihil.

Mereka telah merantau ke selatan sampai ke kota raja, akan tetapi tidak dapat mencari pemuda itu di kota raja atau kota-kota lain,

Hal ini tentu saja amat mengecewakan hati Eng Eng dan membuat dia makin malas untuk mencari Tiong Kiat, karena setelah lima orang penyelidik itu merantau ke selatan dan mencari-cari tidak juga berhasil dia sendiri yang tak begitu mengenal daerah ini, harus mencari ke manakah?

Akan tetapi ia tidak putus asa karena nama Ang.coa kiam Sim Tiong Kiat adalah nama yang mulai terkenal di kalangan kang ouw sedangkan anak buah Piloko telah minta pertolongan orang orang gagah di kalangan kang-ouw untuk memberi berita ke utara apa bila sewaktuwaktu mendengar tentang penjahat muda itu.

Eng Eng merasa yakin bahwa sekali waktu ia pasti akan berhadapan muka dengan pemuda musuh besarnya itu !

Sama sekali ia tidak pernah mengimpi bahwa pada waktu itu, Tiong Kiat tidak berada di tempat jauh, bahkan sama sekali tak pernah menduga bahwa tak lama lagi ia akan berhadapan muka sama muka dengan pemuda itu dalam keadaan yang amat tak tersangka!

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dalam rencana dan usaha mereka untuk berkhianat, Oei Sun atau Oei ciangkun bersama Go bi Ngo-koai tung, diam-diam mengadakan

pesekutuan rahasia dengan Huayen-khan pemimpin suku bangsa Ouigour dan juga diam-diam telah mengadakan perjanjian dengan bangsa Mongol di utara.

Huayen-khan dan Ang Hwa yang menderita kekalahan hebat dari Piloko yang dibantu Eng Eng, menjadi amat sakit hati dan mereka teringat kepada Oei-ciangkun. Setelah mengadakan perundingan mereka itu lalu membawa sisa pasukan menuju ke benteng di lereng bukit dekat kota Hong-bun.

Kedatangan mereka diterima dengan baik oleh Oei-ciangkun dan Gobi Ngo koai-tung akan tetapi Sim Tiong Kiat merasa tidak enak juga ketika ia melihat kedatangan Huayen-khan dan Ang Hwa yang pernah bertempur dengan dia. Sebaliknya kepala suku bangsa Ouigour itu menjadi kaget sekali melihat Sim Tiong Kiat berada di dalam benteng ikut pula menyambutnya, bahkan telah mengenakan pakaian sebagai seorang perwira ! Akan tetapi Ang Hwa memandang dengan wajah berseri lalu berkata girang.

"Ah, tidak tahunya Sim taihiap sudah berada di sini pula! Sungguh menggirangkan sekali. Kalau aku tahu sudah dulu-dulu aku datang ke sini. Mengapa kau tidak memberi kabar tentang adanya Sim-taihiap di sini, Oei ciangkun ?" katanya kemudian sambil mengerIing tajam ke arah Oei-ciangkun.

Oei Sun tertegun. Panglima ini dapat menduga bahwa tentu dahulu pernah terjadi sesuatu antara Sim Tiong Kiat dan nyonya yang cabul ini.

"Siapa tahu bahwa kalian sudah saling mengenal ?" tanyanya menggoda.

"Kami sudah saling mengenal dengan baik sekali !" jawab Ang Hwa sambil menyambar Tiong Kiat dengan sinar matanya yang tajam.

Ketika Oei Sun menengok ke arah Huayen khan, orang tua ini mengangguk dan berkata, "Kenalan lama, kenalan baik !" Kemudian ia lalu menarik tangan Oei ciangkun diajak masuk ke dalam, meninggalkan isterinya bersama Tiong Kiat. Setelah berada di dalam, ia berbisik kepada Oei Sun.

"Oei ciangkun, bagaimana pemuda itu bisa menjadi seorang perwiramu? Kenal betulkah kau kepadanya? Setahuku, ia amat setia kepada kaisar!" Dengan singkat dan cepat Huayen khan lalu menuturkan peristiwa keributan di dalam tendanya dahulu, di mana Tiong Kiat menyatakan tetap setia kepada kaisar sehingga menolak tawaran Huayen-khan yang memberikan istrinya untuk melayaninya!

Oei Sun mengangguk-angguk. "Aku sudah menduga demikian, akan tetapi belum tentu ia betul-betul bersetia. Orang yang sudah menjadi jai-hwa-cat dan sudah suka menjalani jalan hek.to (jalan hitam, penjahat) tak mungkin dapat mempunyai hati setia. Aku amat sayang akan kepandaiannya yang tinggi dan perlahan-lahan aku sedang menarik dan membujuknya. Kalau sampai dia bisa berobah sikap dan membantu kita, bukankah dia

merupakan tenaga yang amat baiknya?"

Huayen-khan mengangguk-angguk. "Memang demikianlah kehendakku dahulu, akan tetapi Ang Hwa tidak berhasil sehingga diantara dia dan kami bahkan timbul pertempuran hebat. Terus terang saja, akupun merasa kagum sekali melihat ilmu silatnya." Oei Sun memandang keluar di mana Ang Hwa dengan sikap yang genit dan menarik sedang bercakap-cakap dengan Tiong Kiat. Tak dapat disangkal lagi dan amat mudah dilihat betapa pemuda itu memandang kepada Ang Hwa dengan mata amat tertarik. Oei ciangkun tersenyum dan berkata,

"Kurasa Ang Hwa bukannya tidak berhasil sama sekali. Kau lihat saja bukankah ikan emas itu sudah masuk dalam perangkapnya ?"

Huayen khan juga memandang keluar dan iapun dapat melihat betapa sesungguhnya Tiong Kiat amat tertarik oleh Ang Hwa dan sedang memandang kepada nyonya muda itu dengan mesra.

"Huayen-khan sebetulnya apakah keperluanmu datang ke benteng ? Melihat wajahmu dan semua orang orangmu agaknya kau telah mengalami kekecewaan besar."

"Kekecewaan ? Bukan hanya kecewa, bahkan aku telah mengalami kekalahan besar, banyak orangku tewas bahkan Ang Hwa sendiri hampir saja tewas dalam peperangan itu."

Oei ciangkun terkejut. "Apa katamu ? Apakah rombonganmu telah bertemu dengan pasukan dari kota raja?"

"Kami telah dipukul habis-habisan oleh orang-orang Cou."

"Apa ? Piloko ? Tak mungkin, bagaimana dia bisa memukul pasukanmu ?"

"Inilah yang amat menyebalkan ! Kalau pasukan kota raja yang mengalahkan pasukanku itu sih tidak berapa menjengkelkan. Akan tetapi pasukan Cou ! Ah, sungguh bisa bikin orang mati karena gemas. Pasukan Cou sekarang rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi dan diantara mereka terdapat seorang gadis Han yang luar biasa lihainya sehingga aku dan Ang Hwa hampir saja celaka di dalam tangannya." Huayen khan lalu menceritakan tentang pertempuran itu.

Oei-ciangkun makin terheran. "Apakah gadis itu masih muda, cantik dan langsing, berpedang merah ?"

Kini Huayen-khan yang terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu ? Betul, memang gadis itu

cantik jelita, tidak kalah oleh Ang Hwa dan pedang merahnya lihai sekali."

Oei-ciangkun tak perlu menceritakan kepada Huayen-khan tentang Eng Eng yang pernah tertawan olehnya, hanya berkata setelah berpikir sebentar.

"Bagus sekali, aku mempunyai pikiran yang amat baik. Mengapa kita tidak mengadukan Sim ciangkun dengan gadis pembela Piloko itu ? Dengan jalan demikian, bukankah sekali tepuk mendapat dua ekor burung ? Di satu fihak kita dapat menguji kesetiaan Sim-ciangkun kepadaku, dan kedua kita dapat pula membalaskan sakit hatimu terhadap orang-orang Cou. Juga mereka itu perlu dibasmi karena kalau tidak akan mendatangkan bahaya di hari kemudian bagi rencana kita !"

Akan tetapi, ketika Oei - ciangkun dan Huayen-khan mengadakan perundingan dengan Go-bi Ngo koai-tung, pada saat itu juga Ang Hwa sendiri telah berhasil menawan hati Tiong Kiat untuk kedua kalinya dan nyonya muda ini dengan sikap yang amat menarik menuturkan bahwa ia dihina oleh Piloko sehingga hampir saja nyawanya melayang. Tiong Kiat yang mulai mabok oleh kecantikan dan gaya Ang Hwa, tanpa disadarinya telah memberi kesanggupan bahwa ia tak akan membiarkan sakit hati itu dan akan membunuh Piloko. Tiong Kiat mengeluarkan janji ini karena ia telah mendengar dari Oei ciangkun betapa Piloko adalah kepala suku bangsa Cou yang hendak memberontak dan membikin kekacauan hingga sudah patut dibasmi.

Go-bi Ngo-koai-tung menganggap usul Oei ciangkun untuk menyuruh Tiong Kiat membantu orang-orang Ouigour membasmi Piloko dan anak buahnya amat baik.

Demikianlah, beramai-ramai mereka lalu mendatangi Tiong Kiat yang sedang bercakap-cakap dengan amat asyiknya dengan Ang Hwa.

"Sim ciangkun." Oei Sun mulai berkata dengan muka sungguh-sungguh,"seperti pernah kukatakan kepadamu, orang orang Cou yang dikepalai oleh Piloko amat jahat dan berbahaya. Sekarang Piloko telah melatih orang-orangnya dan baru saja ia telah menyerang Huayen khan dan menimbulkan banyak kematian dan kerusakan. Kalau tidak lekaslekas dibasmi, tentu kelak orang-orang Cou itu akan berani menyerang benteng kita, bahkan mungkin sekali akan berani memasuki tembok besar dan mengganggu rakyat. Oleh karena itu, aku harap kau suka memimpin sepasukan perajurit, bersama-sama dengan pasukan Ouigour yang menjadi penunjuk jalan, menggempur orang-orang Cou itu. Kalau mungkin bunuh atau tawan Piloko atau setidaknya biarlah merasai kelihaian kita."

Sambil mengerling ke arah Ang Hwa, Tiong Kiat menjawab.

"Baiklah, Oei ciangkun. Urusan orang-orang Cou ini mudah saja, biarlah aku yang akan membikin beres. Bilakah aku berangkat?"

Hampir berbareng Huayen-khan dan Oei ciangkun berkata. "Sekarang juga, lebih cepat

lebih baik."

Akan tetapi tiba-tiba Ang Hwa berkata,"Lebih baik besok pagi saja, karena pasukan kita perlu beristirahat. Lagi pula, akupun akan ikut sendiri untuk membalas dendam!"

Kerling mata yang penuh arti dari nyonya muda ini ke arah suaminya membuat Huayen-khan diam-diam menghela napas. Ia maklum bahwa isterinya telah jatuh hati kepada pemuda she Sim ini dan iapun tahu sepenuhnya bahwa istrinya menghendaki agar diperbolehkan berdekatan dengan Sim Tiong Kiat!

"Memang betul juga," akhirnya Huayen-khan, suami tua bangka ini berkata, "pasukan kami yang telah terpukul itu amat lelah dan perlu beristirahat."

Demikianlah, selanjutnya dapat diduga bahwa Tiong Kiat telah terjerumus dalam perangkap yang di pasang oleh Huayen khan dan Ang Hwa.

Pemuda itu tergila-gila kepada Ang Hwa yang sengaja bersikap amat manis kepadanya. Kini Tiong Kiat tidak menolak seperti dulu, karena kalau dulu ia anggap sikap manis Ang Hwa itu untuk menyeretnya ke jurang penghianatan terhadap kaisarnya, kini nyonya muda yang cantik ini bersikap manis karena memang suka kepadanya, dan karena mengharapkan bantuannya untuk membalas dendam kepada bangsa Cou. Dan menurut anggapan Tiong Kiat, Piloko dan pasukannya memang pantas digempur da dibinasakan agar jangan mengganggu dan mengacau rakyat!

Pada keesokan harinya, berangkatlah Tiong Kiat memimpin sepasukan perajurit yang berjumlah dua ratus orang, didahului oleh sepasukan kecil perajurit Ouigour sebagai penunjuk jalan. Ang Hwa tetap berada di dekatnya.

Hal ini disetujui oleh Huayen khan dan Oei ciangkun, karena diam-diam Ang Hwa merupakan seorang penilik untuk menyaksikan bagaimana sikap pemuda itu dalam menghadapi Piloko dan gadis pendekar yang membelanya.

Mereka tiba di hutan dekat dengan dusun yang menjadi tempat tinggal orang-orang Cou dan di situ mereka berhenti. Tiong Kiat mengadakan perundingan dengan Ang Hwa dan orangorang Ouigour yang menjadi pembantu Huayen khan.

"Lebih baik kita serbu mereka malam hari ini juga." usul Ang Hwa yang sudah tak sabar lagi menanti lebih lama.

"Hal itu berbahaya sekali." kata Tiong Kiat yang biarpun belum mempunyai pengalaman dalam perang, namun sudah mempelajari siasat-siasat peperangan dari Oei ciangkun. "Mereka lebih faham tentang keadaan daerah ini. Pertempuran di malam hari yang gelap di

tempat yang belum kita ketahui baik keadaannya, amat berbahaya bagi pasukan kita. Lebih baik kita menanti di hutan ini sampai besok pagi baru menyerang."

"Apa sukarnya?" Ang Hwa berkata dengan bibir cemberut dan pandangan mata mengejek. "Apa kau takut? Jumlah tentara kita lebih banyak, kita serbu kampung mereka dengan tiba-tiba dan kalau mereka lari kita lalu bakar rumah-rumah mereka. Bukankah hal itu akan menjadi beres? Serahkan saja Piloko kepadaku dan kau menghadapi gadis liar yang membantunya itu. “

Dikatakan takut dan diejek oleh kekasihnya yang baru ini, panaslah hati Tiong Kiat. Ia maklum bahwa memang sesungguhnya pasukannya tidak usah takut kalah, akan tetapi bertempur dalam gelap itu akan menjatuhkan lebih banyak korban di fihaknya, dan hal ini tadinya hendak dicegahnya.

"Baiklah, kita serbu sekarang !" Setelah berkata demikian, Tiong Kiat lalu memberi abaaba dan menyerbulah pasukan kerajaan yang dua ratus orang jumlahnya, dibantu oleh tiga puluh orang lebih pasukan Ouigour yang hendak menuntut balas.

Jauh sebelum pasukan ini tiba di dusun tempat tinggal orang Cou, penduduk kampung itu telah mendengat berita tentang penyerbuan ini dari para peronda. Piloko dan Eng Eng cepat mengatur persiapan.

"Ayah," Kata Eng Eng di tengah-tengah kesibukan itu. "kau bawalah teman keluarga wanita dan anak-anak menyingkir ke arah gunung di sebelah selatan itu. Biar aku memimpin kawan kawan untuk mempertahankan diri !”

Piloko maklum bahwa siasat Eng Eng ini memang tepat. Dari penjaga dan peronda, mereka mendengar bahwa penyerbu-penyerbu itu berjumlah dua ratus orang lebih, maka kalau keluarga tidak diungsikan lebih dulu, maka akan berbahaya sekali keadaannya. Di samping menghadapi musuh, juga mereka terpaksa harus melindungi keluarga mereka. Kalau keluarga mereka sudah diungsikan lebih dulu ke atas gunung, tentu pertahanan akan dapat dilakukan lebih kuat lagi.

Tanpa banyak cakap lagi Piloko Ialu mengumpulkan semua keluarga yang sudah siap pula mengangkut barang-barang yang terpenting seperti pakaian dan lain lain kemudian dengan hanya membawa sepuluh orang kawan laki-laki, Piloko lalu mengajak mereka keluar dari pintu gerbarg sebelah selatan dan melarikan diri di malam gelap menuju ke gunung di sebelah selatan.

Mereka tidak berani mempergunakan obor, oleh karena hal ini tentu akan terlihat oleh musuh. Karena mereka sudah paham akan daerah itu, biarpun di malam gelap, dapat juga mereka mencari jalan dan bergerak maju dengan cepat.

Adapun Eng Eng cepat mengatur persiapan. Ia memasang barisan pertahanan di kanan kiri

depan pintu gerbang utara dari mana penyerbu itu datang, dan diam-diam ia memasang barisan panah di dalam kampung, bersembunyi di belakang rumah-rumah sebanyak tiga puluh orang ahli anak panah.

la telah mengatur siasatnya dengan suara gagah dan nyaring.

“Kawan-kawan, musuh yang datang menurut laporan adalah orang-orang Ouigour yang dibantu oleh tentara kerajaan. Aku sendiri bingung mendengar bagaimana tentara kerajaan sampai membantu perbuatan orang Ouigour yang memusuhi kita, akan tetapi tak perlu hal itu dibicarakan lagi. Sekarang dengarlah baik-baik. Pihak musuh berjumlah dua ratus orang lebih berarti dua kali lebih banyak dari pada kita. Orang-orang yang bersembunyi di luar kampung, apa bila nanti melihat mereka menyerbu, jangan bergerak dulu dan biarkan sebagian dari tentara musuh memasuki kampung. Setelah itu barulah aku akan memberi tanda menyerang. Adapun kawan-kawan yang bersembunyi di dalam kampung, begitu melihat musuh masuk, harus segera mengerjakan busur dan anak panah menyerang dari balik-balik rumah. Akan tetapi harap hati-hati, tiap kali sepuluh batang anak panah harus segera mencari tempat persembunyian lain. kalian sudah dilatih dan sudah tahu bagaimana harus berbuat!”

Demikianlah, orang-orang Cou yang gagah berani ini menanti datangnya musuh dengan hati berdebar. Mereka sama sekali tidak merasa gelisah dan takut karena mereka berbesar hati dengan adanya "Bunga Dewa" di tengah-tengah mereka, apa lagi setelah Eng Eng berkata sebagai penutup pesannya.

"Jumlah mereka lebih banyak, akan tetapi kita tak perlu takut ! Akan kita perlihatkan bahwa kita bangsa Cou tidak takut mati dan tidak boleh dibuat permainan !"

Barisan penyerbu menjadi girang ketika melihat keadaan di luar kampung ini sunyi saja. Mereka mengira bahwa orang-orang Cou tentu sudah tidur nyenyak, maka sambil menghunus senjata mereka menyerbu ke dalam dusun melalui pintu gerbang utara yang mereka robohkan. Di dalam serbuan itu, Eng Eng dari tempat sembunyinya hanya melihat seorang perwira Han bersama Ang Hwa memimpin barisan menyerbu ke dalam, akan tetapi karena gelap ia tidak tahu bahwa perwira itu sebetulnya Sim Tiong Kiat.

Setelah tentara musuh yang memasuki kampung kira-kira ada lima puluh orang tiba-tiba Eng Eng mengeluarkan pekik yang amat nyaring dan ia sendiri lalu melompat turun dari sebuah pohon di mana ia bersembunyi ! Kawan-kawannyapun mengeluarkan pekik dahsyat dan keluarlah seratus orang Cou menyerang musuh yang baru datang. Perang hebat terjadi dan ternyata keadaan sungguh terbalik. Bukan orang-orang Cou yang kaget menghadapi serbuan tiba-tiba, melainkan para penyeranglah yang benar-benar menjadi kaget karena diserang secara tiba-tiba oleh orang-orang Cou dari kanan kiri ! Dan berbareng dengan keributan hebat di luar kampung itu, ketika Tiong Kiat hendak membawa keluar kembali pasukannya tiba-tiba beberapa orang perajuritnya terjungkal dengan dada tertembus anak panah.

Kacau balau keadaan dalam kampung dan Tiong Kiat menjadi pucat. Mereka telah terjebak dan terkurung ! la lalu melompat turun dari kudanya dan memberi perintah.

"Lepas api bakar semua rumah!"

Hebat sekali pertempuran di luar kampung. Kurang lebih seratus lima puluh tentara Han dibantu oleh tiga puluh tentara Ouigour diserang secara tiba-tiba oleh orang-orang Cou yang jumlahnya hanya tujuh puluh orang lebih.

Eng Eng mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Kemana saja tubuhnya bergerak, dan pedangnya berkelebat, terdengar pekik mengerikan disusul oleh robohnya seorang tentara kerajaan atau tentara Ouigour !

Juga kawan-kawannya mempergunakan ilmu golok yang mereka pelajari untuk mengadakan perlawanan sengit. Kalau saja yang menyerang itu semua adalah bangsa Ouigour biarpun jumlahnya lebih banyak, tak dapat ragukan lagi bahwa orang-orang Cou ini pasti akan memperoleh kemenangan besar.

Akan tetapi yang mereka hadapi adalah tentara kerajaan dan kali ini Tiong Kiat membawa pasukan pilihan yang rata-rata anggautanya telah mempelajari ilmu silat dengan amat baiknya, maka pertempuran itu berjalan seru dan ramai sekali.

Hanya Eng Eng saja seorang yang merupakan pencabut nyawa yang tak dapat dihalangi lagi. Baik perajurit biasa maupun perwira muda dari tentara kerajaan atau tentara Ouigour, apabila kebetulan berhadapan dengan gadis ini, tak dapat menahan lebih dari tiga gebrakan! Pasti akan terjungkal dalam keadaan tewas!

Kegagahan luar biasa inilah yang membuat pertempuran itu menjadi seimbang, karena selain sepak terjang gadis pedang merah ini membikin gentar hati pasukan musuh, juga membesarkan semangat orang-orang Cou yang bertempur penuh semangat dan tak kenal takut!

Bertumpuk-tumpuk mayat dan orang terluka ditimbulkan oleh pertempuran ini, korban yang jatuh fihak penyerbu banyak sekali, dan juga fihak Cou banyak jatuh korban sehingga Eng Eng mulai merasa kuatir.

Tak disangkanya bahwa fihak penyerbu benar-benar lihai dan rata-rata memiliki ilmu silat yang terlatih. Ia menjadi marah sekali melihat betapa fihaknya sudah banyak berkurang dan bagaikan seorang gila Eng Eng memutar pedangnya lebih cepat lagi sambil berseru berkali-kali.

"Akan kubasmi kalian anjing-anjing rendah!" Makin banyak korban yang roboh di bawah sambaran pedangnya dan makin jerihlah para pengeroyoknya.

Akan tetapi tiba-tiba Eng Eng melihat cahaya terang dari dalam kampung yang makin lama

makin besar. Ketika ia menengok, alangkah kagetnya melihat bahwa kampung itu telah menjadi lautan api. Api bernyala tinggi dan asap telah memenuhi udara, bergulung-gulung di atas kampung yang menjadi terang.

"Terkutuk, mereka membakar rumah-rumah!" seru Eng Eng dengan pucat dan bagaikan seekor burung walet terbang, ia meninggalkan pengeroyok-pengeroyoknya, melompat cepat dan berlari masuk ke dalam kampung.

Tepat di pintu gerbang, ia bertemu dengan dua orang yang juga berlari keluar dari dalam kampung. Mereka ini bukan lain adalah Tiong Kiat dan Ang Hwa !

Juga Tiong Kiat dengan amat kaget mendengar dari seorang perajurit bahwa di luar anak buahnya telah diamuk oleh seorang gadis yang amat gagah perkasa dan bahwa banyak sekali perajuritnya yang tewas oleh gadis ini. Tiong Kiat telah berhasiI membakar semua rumah dan membunuh semua tentara Cou yang tadi bersembunyi di belakang rumah rumah dengan anak panah mereka, sungguhpun untuk tiga puluh orang musuh itu ia kehilangan hampir semua perajuritnya yang telah memasuki dusun !

Ketika mendengar bahwa tentaranya di luar kampung menghadapi bencana maut yang disebar oleh seorang gadis Cou yang amat sakti, ia lalu cepat berlari keluar bersama Ang Hwa dan kebetulan sekali bertemu dengan seorang gadis yang bukan lain adalah Suma Eng!

Untung Eng Eng tidak mengenal perwira ini, akan tetapi ia tidak perduli siapa adanya perwira ini. Dengan kebencian luar biasa karena perwira ini yang memimpin orangnya membakar semua rumah di dalam kampung, Eng Eng lalu maju menerjang dengan pedang merahnya. Ketika perwira itu menangkis dengan sebatang pedang yang bercahaya putih barulah Eng Eng melihat mukanya dan mengenalnya.

"Kau...??" tanyanya dengan tertegun akan tetapi segera disusul dengan kata-kata yang menunjukkan kebencian besar, "Bangsat jahanam ! Sekarang tiba saatnya aku mencabut nyawamu !"

Juga Tiong Kiat kaget sekali ketika melihat bagwa gadis yang mengamuk itu bukan lain adalah Suma Eng. Pantas saja para perajuritnya kocar kacir karena yang dihadapi adalah Eng Eng, gadis yang telah dikenal baik kelihaiannya ini !

"Sim-taihiap, dia inilah perempuan hina yang telah melukaiku ! Lekas kau robohkan dia untukku !" kata Ang Hwa sambil maju membantu Tiong Kiat dengan pedangnya.

"Anjing betina, kau belum mampus?" Eng Eng membentak gemas. "baiklah biar sekarang kau mampus bersama anjing jantan ini !" la lalu memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga Ang Hwa terpaksa melompat mundur karena silau matanya. Ia tidak sekuat Tiong Kiat yang dapat menangkis dan menghadapi pedang merah itu.

Adapun Tiong Kiat sendiri menjadi serba salah dan bingung. Pertemuan dengan Eng Eng Ini benar-benar tak pernah disangkanya, ia tidak takut terhadap ilmu pedang gadis ini, karena biarpun harus diakui bahwa Eng Eng lihai sekali ilmu pedangnya, namun ia yang kini sudah menyempurnakan Ang-coa kiamsut dari Kim-liong.pai, tak usah takut akan kalah. Yang menggelisahkannya adalah kenyataannya bahwa hatinya tidak mengijinkannya untuk melukai apa lagi membunuh gadis yang dicintainya. Baru melihat gadis ini membantu suku bangsa Cou yang memberontak saja, hatinya telah menjadi sakit dan tenaganya Iemas. Ah, bagaimana gadis ini sampai menjadi tersesat dan membantu pemberontak ?

Sebaliknya, Eng Eng yang membenci setengah mati kepada pemuda ini, menyerang dengan nekad tidak memperdulikan keselamatannya sendiri. Ang Hwa kini hanya memaki-maki sambil menyerang kadang kadang saja dari belakang karena ia tidak berani menghadapi gadis ini dengan langsung. la mengharapkan agar Tiong Kiat dapat mengalahkan gadis ini.

Melihat sepak terjang Eng Eng, makin sedihlah hati Tiong Kiat. Ia maklum bahwa gadis ini bersedia mengadu nyawa dengan dia dan kenyataan betapa hebatnya kebencian gadis itu terhadapnya. Benar-benar membuat ia sering kali tak dapat tidur di waktu malam.

Sekarang kembali Eng Eng telah memperlihatkan kebenciannya dengan serangan-serangan maut yang benar-benar berbahaya, tidak saja berbahaya baginya, bahkan juga berbahaya bagi Eng Eng sendiri. Gadis itu melakukan serangan dengan sepenuh tenaga dan kepandaiannya, sama sekali tidak perduli lagi bahwa serangan-serangan hebat itu membuat sebagian pertahanannya banyak terbuka.

Tiong Kiat maklum bahwa kalau diteruskan mau tidak mau iapun harus mengadu nyawa. Kalau bukan dia, tentu gadis ini yang menggeletak tidak bernyawa menjadi korban pedang pusaka. Dan hal ini ia tidak menghendakinya. Ia cinta kepada Eng Eng, akan tetapi ia lebih cinta kepada diri sendiri. Melihat beberapa orang pembantunya berada di situ, ia lalu berseru keras,

"Keluarkan perintah menarik mundur pasukan ! Kejar keluarga musuh yang melarikan diri, tangkap mereka semua !”

Tiong Kiat ketika memberi perintah membakari rumah tadi mendapat kenyataan bahwa di situ tidak terdapat seorangpun keluarga bangsa Cou, maka sekarang ia mendapat akal baru. la dapat menduga bahwa Piloko tentu mengantar keluarga itu mengungsi buktinya semenjak tadi ia tidak melihat kepala suku bangsa Cou itu.

Dalam keadaan terjepit dalam pertempuran mati-matian melawan Eng Eng, ia sengaja mengeluarkan perintah ini untuk menakut-nakuti hati Eng Eng. Memang siasatnya ini tepat. Mendengar perintah ini Eng Eng menjadi pucat. Betapapun bencinya kepada Tiong Kiat dan betapapun besar nafsunya untuk membunuh pemuda ini, akan tetapi mengingat akan keselamatan keluarga suku bangsa Cou yang terancam, ia melupakan kepentingannya sendiri.

"Jahanam, kejam!" bentaknya marah dan secepat kilat Eng Eng melompat keluar dari dusun itu. Dilihatnya bahwa kawan-kawannya masih bertempur seru melawan musuh yang kini mendapat bantuan dari perajurit perajurit kerajaan yang tadi membakar-bakari itu berada dalam keadaan terdesak hebat.

"Mundur!" teriak gadis itu dan karena ia mengerahkan khikangnya, maka suaranya amat tinggi melengking mengatasi segala kegaduhan pertempuran itu. "Ke selatan, lindungi keluarga !”

Mendengar aba-aba ini, orang-orang suku bangsa Cou lalu cepat melarikan diri ke selatan, Eng Eng sengaja lari paling belakang. Gelombang perajurit musuh yang mencoba untuk mengejar, disambutnya dengan sinar pedangnya yang dengan mudah membabat roboh beberapa orang perajurit, sehingga para pengejar itu menjadi gentar dan mundur. Kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Eng Eng dan kawan-kawannya untuk melarikan diri secepatnya mendaki bukit di selatan itu.

Tiong Kiat dan pasukannya tidak berani mengejar, karena mereka merasa bingung di daerah tak dikenalnya ini, apalagi dalam keadaan segelap itu. Mereka takut akan jebakanjebakan musuh. Untuk apa mengcjar? Bukankah ia telah mendapat kemenangan, telah merampas dusun itu, membakar habis rumah-rumah orang Cou dan mengusir mereka? Demikian pikir Tiong Kiat. Apalagi fihak orang-orang Cou terdapat Eng Eng yang memimpin, maka semua nafsunya untuk membasmi orang-orang Cou menjadi lenyap. Kalau tidak ada Eng Eng tak dapat disangsikan lagi, Tiong Kiat tentu akan mengejar terus sampai orang terakhir dari suku bangsa Cou terbunuh.

Demikianlah, pada keesokan harinya Tiong Kiat membawa sisa pasukannya yang telah tewas setengahnya lebih itu kembali ke benteng. Ang Hwa berlaku lebih manis kepadanya karena dianggapnya Tiong Kiat telah berhasil membalas dendam, sungguhpun wanita ini masih merasa penasaran karena Eng Eng tak dapat tertawan atau terbunuh,

Adapun Eng Eng yang memimpin sisa anak buahnya mendaki gunung, setelah mendapat kenyataan bahwa musuh tidak mengejar lagi lalu ia berhenti dan mengumpulkan perajuritnya. Ternyata bahwa jumlah mereka tinggal lima puluh orang lagi, Eng Eng merasa berduka sekali karena dalam pertempuran ini, ternyata hampir lima puluh orang telah tewas! Tiga puluh orang di dalam dusun dan dua puluh di luar dusun. Dan di antara lima puluh orang yang dapat melarikan diri, terdapat pula yang luka-luka. Hampir saja gadis yang gagah ini mengucurkan air matanya.

Sambil menggigit bibir Eng Eng bersumpah di dalam hatinya bahwa sewaktu-waktu ia pasti akan dapat membekuk batang leher Tiong Kiat dan sekarang lebih banyak lagi alasan baginya untuk membalas sakit hatinya terhadap pemuda itu.

Mereka beristirahat di lereng gunung dan menjelang fajar, dari atas bukit turunlah Piloko dan sepuluh orang kawannya. Malam tadi ia melihat dari atas bukit betapa dusun mereka terbakar. Hati mereka gelisah sekali akan tetapi apakah daya mereka ? Piloko tidak berani meninggalkan keluarga yang berada di puncak bukit, maka dengan hati gelisah sekaIi ia menanti sambil menghibur orang-orang perempuan yang mulai menangis

dan mengeluh panjang pendek melihat dusun mereka terbakar itu.

Ketika bertemu ayah angkatnya, Eng Eng memeluk Piloko dan menjatuhkan mukanya pada dada ayah angkat ini. Keduanya merasa terharu sekali.

"Ayah... aku tak dapat mempertahankan...kampung kita...dan lima puluh orang kawan kawan kita..."

Piloko tak dapat berkata sesuatu, hanya menepuk-nepuk pundak anak angkatnya sebagai usaha menghibur.

"Bunga dewa tak perlu berkecil hati !" tiba-tiba seorang diantara para perajurit berkata. "Biarpun dusun kita terbakar dan beberapa kawan kita gugur, akan tetapi jumlah korban di fihak musuh Iebih banyak lagi ! Kita harus merasa bangga karena baru kali ini tentara kerajaan yang terkenal gagah perkasa, ternyata menghadapi kita mereka menderita kerugian lebih besar, biarpun tadinya jumlah mereka dua kali lebih besar daripada jumlah kita !”

Mendengar ucapan ini, semua orang menyatakan setuju, bahkan Piloko sendiri lalu menghibur Eng Eng dengan gagah. "Ucapan tadi benar, anakku. Mengapa kita harus berkecil hati? Mati dalam perang guna membela bangsa dan mempertahankan kehormatan bangsa adalah mati yang amat berharga. Laki-laki gagah yang manakah tidak ingin gugur di dalam peperangan membela tanah air dan bangsa? Percayalah, arwah dari kawan-kawan kita yang tewas, pada saat ini tentu tersenyum-senyum melihat betapa mereka tidak tewas dengan sia-sia, bahwa pertempuran yang menewaskan mereka itu ternyata membawa kemenangan.”

Terbangun semangat Eng Eng mendengar ini. "Ayah kau benar sekali. Maafkan kelemahan hatiku. Dusun yang sudah musnah biarlah, kita sekarang mencari tempat dan membangun lagi."

"Marilah kita naik ke puncak dan membuat pertahanan di sana. Siapa tahu kaIau-kalau musuh akan mengejar kita." kata Piloko. Maka naiklah mereka ke atas bukit itu, disambut oleh tangisan keluarga-keluarga yang tidak melihat suami atau ayah mereka ikut datang! Eng Eng dan Piloko dengan bantuan Yamani menghibur keluarga yang kehilangan ayah atau suami dengan berbagai kata - kata bersemangat.

Di dalam perjalanan mendaki bukit ini, dengan girang sekali Eng Eng mendapat kenyataan bahwa gunung ini amat suburnya dan amat baik untuk dijadikan tempat tinggal bagi keluarga besar itu. Puncaknya yang bertanah subur dan luasnya beberapa li itu dikelilingi oleh jurang yang amat terjal dan jalan satu-satunya untuk naik hanya melalui jalan batu karang yang kanan kirinya penuh dengan hutan-hutan di dalam jurang! Hanya puncak-puncak pohon saja yang sampai di jalan batu karang itu. Selain jalan batu karang ini, tidak ada jalan yang dapat membawa orang sampai ke puncak!

"Ayah, tempat ini bagus sekali ! Dengan menduduki puncak, biarpun diserang oleh ribuan musuh, kita dapat menghancurkan mereka dengan amat mudahnya!" kata Eng Eng.

Piloko adalah seorang yang semenjak kecilnya seringkali menghadapi pertempuranpertempuran. Sekali pandang saja ia maklum akan maksud kata-kata anak angkatnya ini. Ia mengangguk-angguk membenarkan. Memang dengan penjagaan beberapa belas orang saja di puncak, di atas jalan tunggal itu bersenjata batu-batu dan panah, mereka akan dapat menghalau musuh dengan amat mudah.

Jalan itu tidak berapa lebar, hanya dapat dinaiki oleh sejajar yang terdiri dari lima orang. Biarpun musuh berjumlah banyak, namun hanya lima orang yang dapat maju paling depan dan sebelum tiba di puncak, dari atas dengan mudah saja orang dapat melempar batu untuk membuat orang orang atau musuh yang mencoba naik itu terusir pergi!

Sekali lagi sibuklah suku bangsa Cou ini membangun gubuk gubuk di atas puncak. Dengan amat girang mereka mendapat kenyataan bahwa di puncak yang subur itu banyak terdapat pohon-pohon buah dan juga binatang-binatang hutan, Eng Eng lalu mengatur penjagaan di atas mulut jalan tunggal itu dan tempat iti dijaga oleh dua puluh orang secara bergilir dan terus menerus siang malam!

Semenjak mereka tinggal di atas puncak bukit itu, telah dua kali pasukan Ouigour dan pasukan dari Oei-ciangkun mencoba untuk mendaki ke atas, akan tetapi dengan amat mudahnya mereka ini dihalau dan terpaksa membatalkan niatnya ketika dari atas jalan tunggal itu menggelinding batu-batu bagaikan hujan lebatnya! Jalan naik lain telah dicari, akan tetapi sia-sia belaka sehingga akhirnya tidak ada lagi pasukan musuh yang berani naik.

"Aku harus mengajukan protes kepada Kaisar Tai Cung atas serangan-serangan tentara kerajaan yang membantu Ouigour!" kata Piloko dengan marah dan penasaran sekali.

"Bagaimana kalau kau nanti ditangkap di kota raja?" tanya Eng Eng kuatir,

"Tidak mungkin! Tak mungkin kalau dari kerajaan yang besar sudi melakukan kerendahan yang hina itu. Sudah beberapa kali aku bertemu dengan Kaisar Tai Cung dan melihat sikapnya sungguh aku tidak mengerti mengapa sekarang tentaranya mau mengganggu rakyatku. Aku harus pergi ke kota raja dan minta agar segala gangguan ini dihabiskan !"

Karena kehendak Piloko tak dapat dibantah lagi, akhirnya Eng Eng berkata, "Baiklah ayah. Aku akan ikut dengan kau ke kota raja! Biar aku yang menjadi pembela dan pengawalmu. Kita berdua dapat pergi dengan hati aman karena keluarga kita berada di tempat yang sentosa. Bilakah kita berangkat, ayah ?"

'Besok!” jawab ayah angkatnya dengan tegas. Demikianlah pada keesokan harinya, dari atas puncak, melalui jalan tunggal itu, turunlah Piloko yang mengenakan pakaian

kebesaran bersama Eng Eng. Mereka mempergunakan ilmu lari cepat dan turun dari atas gunung itu, langsung menuju ke selatan, kota raja untuk menghadap Kaisar Tai Cung!

Ketika Tiong Kiat dan Ang Hwa kembali ke benteng membawa berita kemenangan yang telah berhasiI membasmi dusun orang-orang Cou dan mengusir mereka ke puncak gunung, Huayenkhan merasa gembira sekali. Juga Oei Sun menjadi gembira karena ternyata bahwa Tiong Kiat merupakan tenaga bantuan yang boleh diandalkan, tetapi Go-bi Ngo-koai. Tung dan Oei Sun menjadi penasaran sekali ketika mendengar bahwa gadis gagah perkasa yang membantu Piloko bukan lain adalah Suma Eng, nona yang pernah tertawan oleh mereka itu.

"Nah apa kataku dulu?” kata Oei ciangkun kepada Go bi Ngo-koai-tung dengan suara menyesal setelah mereka berada sendiri, "nona itu hanya mendatangkan kesulitan belaka. Kalau dulu kita tidak melepaskannya, tidak nanti kita sampai kehilangan seratus orang dalam pertempuran itu."

Thian It Tosu menarik napas panjang. "Mungkin dia tidak tahu bahwa tentara yang membantu Huayen-khan adalah tentara kita. Kalau kemarin kita yang maju, belum tentu ia suka melawan kita. Akan tetapi sudahlah sekarang Piloko sudah kehilangan banyak orang dan ia telah mengungsi di atas puncak bukit. Apakah artinya beberapa orang Cou itu bagi gerakan kita ?"

Akan tetapi ternyata Huayen khan tidak berpikir demikian. Kepala suku bangsa Ouigour ini masih belum merasa puas kalau belum dapat melenyapkan Piloko dari muka bumi ini. Oleh karena itu, diam-diam ia lalu memimpin orang-orangnya untuk menyerbu ke atas gunung. Akan tetapi, ternyata ia menerima hukuman berat dari usaha ini, karena dari atas turunlah batu bagaikan hujan yang melukai banyak orang-orangnya bahkan ada beberapa orang perajurit tewas karena terjungkal ke dalam jurang !

Kembali Huayen-khan minta pertolongan Oei Sun yang menyuruh sepasukan tentara menyerang ke atas gunung. Sama saja, pasukan inipun menderita karena hujan batu dan semenjak itu, Oei-ciangkun maupun Huayen-khan tidak berani lagi mengganggu benteng di puncak gunung dari orang-orang Cou ini.

Sementara itu, Ang Hwa tetap saja mendekati Sim Tiong Kiat tanpa mengenal malu lagi sehingga tak seorangpun di antara orang-orang yang berada di benteng itu tidak tahu akan adanya hubungan antara perwira she Sim yang baru ini dengan Si bunga Merah, isteri dari Huayen-khan, kepala suku bangsa Ouigour yang sudah tua itu.

Pada suatu hari, selagi Tiong Kiat duduk di ruang dalam bersama Ang Hwa, Huayen khan dan Go bi ngo koai tung, seorang penjaga datang memberi laporan bahwa di luar benteng terdapat lima orang tosu yang minta bertemu dengan Sim Tiong Kiat.

Pemuda itu mengerutkan kening. Pada waktu itu, Oei-ciangkun sedang pergi keluar benteng, katanya untuk urusan dinas yang tak diketahui olehnya, dan Oei-ciangkun telah menyerahkan komando tertinggi kepadanya sebagai wakil Oei ciangkun. Siapakah tosu-tosu yang datang mencarinya ? Tiong Kiat menjadi bimbang, lalu ia bertanya!

"Siapakah mereka itu? Datang dari mana dan perlu apa mencari aku ?”

"Kami sudah bertanya Sim ciangkun. Akan tetapi tosu-tosu yang kelihatan galak itu hanya menjawab bahwa mereka ingin bertemu dengan orang yang bernama Sim Tiong Kiat. Mereka tidak mau memberi tahu sama sekali siapa adanya mereka."

Tiong Kiat menjadi makin curiga.

"Sim ciangkun," tiba-tiba Thian It Tosu, orang pertama dari Go-bi Ngo-koai-tung berkata, "mengapa ciangkun ragu-ragu ? Keluarlah dan jumpai orang-orang itu. Biar pinto berlima mengantar ciangkun dengan diam-diam dan pinto berlima mengintai dari balik pintu gerbang. Kalau terjadi sesuatu yang mencurigakan, tentu pinto berlima takkan tinggal diam."

"Aku tidak takut sama sekali terhadap siapapun juga, ngowi totiang, hanya aku tadi merasa ragu-ragu apakah baik aku meninggalkan benteng selagi Oei cangkun tidak ada?'

"Kalau mereka dipersilakan masuk, akan lebih kurang baik lagi." kata Huayen-khan yang menaruh curiga.

Akhirnya keluarlah Tiong Kiat, dikawani oleh Ang Hwa yang tidak mau ditinggal, sedangkan Huayen-khan tentu saja bersembunyi di dalam tidak mau memperlihatkan diri, oleh karena ia takut kalau-kalau ada yang melihat ia bersekongkol dengan Oei-ciangkun. Adapun Go bi Ngo-koai.tung lalu mengintai dari belakang daun pintu gerbang yang lebar dan diam-diam mereka menjadi terkejut ketika melihat siapa adanya lima orang tosu itu!

Akan tetapi, baik Tiong Kiat maupun Ang Hwa, tidak mengenal tosu-tosu ini. Tiong Kiat yang melihat lima orang tosu setengah tua yang berdiri dengan tenang dan berjajar rapi sambil memandang tajam, cepat keluar dari pintu dan merangkapkan kedua tangannya.

Setelah memberi hormat, ia berkata, "Tidak tahu siapakah ngo-wi totiang yang terhormat dan kehormatan manakah yang diberikan kepada orang seperti aku sehingga ngowi jauh-jauh datang mencariku?"

Gan Tian Cu dan empat orang sutenya, lima tokoh Kun-lun pai itu saling pandang dan saking herannya, Gan Tian Cu berkata perlahan kepada adik-adik seperguruannya. "Memang serupa benar, pantas saja banyak orang salah duga!"

Tentu saja Tiong Kiat tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh tosu itu, akan tetapi

Gan Tian Cu segera memandangnya dengan mata tajam dan membentak.

"Ang coa kiam ketahuilah bahwa pinto berlima datang dari Kun-lun pai ! Tentu kau masih ingat kepada murid kami yang bernama Lo Ban Tek yang kau bunuh secara sewenang-wenang di kota Ikiang! Pinto berlima datang untuk minta pertanggungan jawabmu atas perbuatanperbuatanmu yang terkutuk !”

Berbeda dengan Tiong Han ketika menghadapi tuduhan kelima orang tosu ini, Tiong Kiat tersenyum mengejek dan bertanya,"Aha, jadi tegasnya kalian berlima ini jauh-jauh datang dari Kun-lun san hanya untuk membalas dendam atas kematian Lo Ban Tek manusia kasar itu? Apakah yang hendak kalian lakukan terhadapku? Hendak membunuhku?"

Mendengar pertanyaan yang merupakan tantangan ini, merahlah wajah Gan Tian Cu. "Orang she Sim, kami datang untuk membawamu ke Kun lun san agar kau menerima putusan dan hukuman dari para ketua Kun lun-pai. Kalau kau melawan, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan !”

"Tosu sombong ! Aku Sim Tiong Kiat tidak pernah takut kepada siapapun juga ! Benar aku telah membunuh Lo Ban Tek karena ia yang datang mencari dan menantangku. Ia mampus karena memang kepandaiannya masih rendah, kalau dia lebih pandai dari padaku, bukankah aku yang akan mati di tangannya? Kalau seandainya aku yang akan mati, apakah kalian ini juga mau ribut-ribut mengurus perkara ini? Ah, benar-benar kalian ini pendeta-pendeta yang telah kehilangan keadilan, dan hanya bertindak menuruti nafsu hati dan membela golongan sendiri."

"Bisa saja kau memutar lidah, pemuda penuh dosa! Kalau Lo Ban Tek tewas dalam sebuah pibu, biarpun yang dihadapi dalam pibu itu seorang muda jahat seperti engkau, kami takkan sudi mengotorkan tangan kepadamu. Akan tetapi, murid kami itu tewas karena hendak membela kebenaran dan hendak memberantas manusia jahat seperti engkau. Bagaimana kami takkan turun tangan ? Sudahlah, manusia cabul dan jahat, lebih baik kau menyerah dan ikut dengan kami ke Kun-lun san, dari pada kami terpaksa harus menggunakan kekerasan."

Sebagai jawaban atas ucapan ini, Tiong Kiat tertawa bergelak dan sekali tangan kanannya bergerak. Hui liong-kiam (Pedang Naga Terbang) telah berada di tangannya, berkilau terkena cahaya matahari.

"Hendak kulihat sampai di mana sih kepandaian dari orang Kun-lun-pai maka kalian menjadi sesombong ini ? Apakah kalian hendak maju bersama? Silakan, aku tidak takut!" Tiong Kiat sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk memanaskan hati para pendeta itu.

Gan Tian Cu melompat maju dan mencabut pedang dengan tangan kanan dan sebuah hudtim (kebutan) dengan tangan kiri. "Ang coa-kiam kami masih memandang muka Lui Thian Sianjin yang kami hormati maka kami masih bersikap ramah dan murah terhadapmu. Akan tetapi sikapmu yang kurang ajar ini menghapus semua penghormatan yang masih ada dalam hati kami! Lui Thian Sianjin pasti akan memaafkan kami apabila ia melihat sikap muridnya

yang murtad !"

"Sudahlah, tosu tua, untuk apa banyak mengobrol lagi? Pergunakan pisau pemotong rumput dan pengusir lalat itu kalau kau memang berani !” Sambil berkata demikian, dengan sikap amat menghina Tiong Kiat lalu menggerak-gerakkan pedangnya di depan muka pendeta itu.

Gan Tian Cu marah sekali dan cepat ia lalu menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah tenggorokan Tiong Kiat sedangkan kebutan di tangan kiri menyusul dengan sebuah serangan menotok ke arah lambung. Inilah gerak tipu yang disebut Ji.liong jut tong (Dua Naga Keluar dari Gua) yang amat lihai.

Pedang di tangan Gan Tian Cu adalah sebatang pedang pusaka juga dan kini digerakkan dengan cepat sehingga hanya merupakan sinar kehijauan menyambar ke arah tenggorokan lawan, sedangkan kebutan itu biarpun nampaknya lemas dan lembut, namun digerakkan oleh tangan Gan Tian Cu yang memiliki tenaga lweekang cukup tinggi, kini menjadi semacam senjata penotok yang lebih keras dari pada baja dan amat berbahaya !

Tiong Kiat maklum bahwa hudtim ini bahkan lebih berbahaya dari pada pedang itu. Serangan pedang itu sekali kelit saja dapat dihindarkan, akan tetapi belum tentu dengan kebutannya. Karena biarpun dapat dikelit, ujung kebutan itu tiba-tiba dapat digerakkan menjadi lemas untuk menyambar ke arah leher atau pundak !

Akan tetapi, tidak percuma Tiong Kiat sudah menyempurnakan ilmu pedang Ang-coa-kiam-sut dari kitab ilmu pedang yang benar-benar amat lihai.

Kalau tokoh besar ilmu persilatan menghadapi Tiong Kiat dengan senjata lain, mungkin akan dapat ia mengimbangi ilmu pedang pemuda jago Kim liong.pai ini.

Akan tetapi, Gan Tian Cu mempergunakan pedang pula, dan biarpun telah dibantu pula oleh permainan hudtimnya yang juga amat lihai, namun menghadapi ilmu pedang dari pemuda ini, sebentar saja Gan Tian Cu maklum bahwa ilmu pedang Kun lun kiam hoat masih kalah lihai !

Ketika menghadapi serangan dengan gerak tipu Ji liong-jut tong tadi, Tiong Kiat cepat menundukkan tubuhnya dan pedangnya dari kiri diputar ke kanan, sekaligus membabat ke arah pedang dan kebutan lawan dengan gerak tipu yang disebut angcoa-sin-jauw (Ular Merah Mengulur Pinggang).

Yang nampak hanya sinar putih panjang dan kuat saja menyambar dari kiri ke kanan dan terdengar suara keras dua kali ketika Hui-liong-kiam itu membentur pedang dan kebutan di tangan Gan Tian Cu.

Kedua pihak merasa betapa benturan itu mengakibatkan tenaga mereka menjadi tergetar dan kesemutan, tanda bahwa Iweekang dari pemuda ini sudah mencapai tingkat yang tidak berada di sebelah bawah tingkat Gan Tian Cu.

Gan Tian Cu merasa betapa pedangnya ketika terbentur oleh pedang lawannya, pedangnya itu mengeluarkan bunyi aneh dan terpentalnya seperti tertendang. Ia maklum bahwa ilmu pedang lawannya ini benar-benar lihai sekali dan pedang yang dipegang oleh pemuda itu ketika digerakkan, agak menggetar dan mempunyai gaya atau tenaga menendang.

Hebat sekali ! Akan tetapi Gan Tian Cu adalah tokoh kelas dua di Kun lun-pai, maka tentu saja ia tidak mau tunduk dan tidak merasa takut menghadapi lawan yang masih muda ini. Sambil berseru keras, ia lalu mengeluarkan ilmu pedang Kun-lun.pai yang paling istimewa. Juga hudtimnya digerakkan dengan gencar sekali sehingga kini hudtim dan pedang seakan-akan telah berobah menjadi enam buah senjata yang menyerang dari segala jurusan.

Tiong Kiat merasa terkejut juga. Ia maklum bahwa seandainya ia belum memperdalam ilmu pedangnya dari kitab yang dirampasnya dari Tiong Han, agaknya ia takkan dapat menangkan pendeta yang kosen ini. Baiknya ia telah mempelajari ilmu pedang sampai seluruhnya dan telah menemukan jurus rahasia yang belum pernah dipelajarinya dari Lui Thian Sianjin. Kini ia mengeluarkan jurus-jurus ini yang ternyata bukan main hebatnya.

Tubuhnya lenyap dalam bungkusan sinar pedang yang menjadi amat panjang, lebar dan kuat sekali bagaikan seekor naga sakti yang bermain-main diantara awan yang ditimbulkan oleh kebutan dan pedang lawannya !

Benar saja menghadapi ilmu pedang Ang coa-kiamsut yang dimainkan dengan sempurna ini, Gan Tian Cu mengeluh dan menjadi amat kaget. Betapapun ia mengerahkan tenaga dan kepandaian, tetap saja terdesak hebat, dan tidak sanggup membalas, hanya mempertahankan diri saja, itupun dengan susah payah!

Empat orang sutenya yang menyaksikan, betapa suheng mereka terdesak hebat dan terancam bahaya, mengingat bahwa pertempuran itu bukan semacam pibu yang tak boleh dibantu, melainkan semacam penangkapan atas diri seorang penjahat yang lihai, segera mencabut pedang dan menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran !

Betapapun lihainya Tiong Kiat menghadapi lima orang tokoh Kun lun pai ini ia menjadi kewalahan juga. Harus diketahui bahwa lima orang ini kepandaiannya tidak kalah olehnya baik ginkang maupun Iweekangnya. Pemuda ini hanya menang dalam hal ilmu pedang, dan keunggulan dalam memainkan pedang inilah yang membuat ia dapat mendesak Gan Tian Cu. Akan tetapi, kini dikeroyok lima tentu saja ia menjadi sibuk juga.

"Sim ciangkun, jangan kuatir, kami membantu !" Berbareng dengan terdengarnya seruan ini, dari balik pintu gerbang benteng melayang keluar lima bayangan orang yang cepat sekali gerakannya dan lima batang tongkat bambu dengan gerakan luar biasa telah menahan lima pedang dari Gan Tian Cu dan empat orang sutenya.

"Sungguh menggelikan ! Tosu ternama dari Kun lun pai mengeroyok seorang muda ! Mana ada aturan ini ?” kata Thian It Tosu setelah lima orang tosu dari Kun lun pai itu menjadi terkejut dan melompat mundur. Lima orang tosu Kun lun-pai kini berhadapan dengan lima orang tosu yang bukan lain adalah Go-bi Ngo. koai.tung !

Gan Tian Cu dan empat orang sutenya memandang dan biarpun mereka belum pernah melihat Go bi Ngo-koai tung namun melihat jumlah mereka lima orang dan senjata mereka tongkat bambu, Gan Tian Cu dapat menduga-duga lalu mengangkat tangan memberi hormat.

"Kalau pinto tidak salah lihat, bukankah pinto berhadapan dengan Go-bi Ngo koai tung yang terhormat?"

Thian It Tosu tertawa bergelak. "Bagus Gan Tian Cu, kau memang bermata tajam. Kami berlima memang datang dari Go-bi dan tongkat buruk ini memang telah berhasil mengangkat nama kami. Pinto mendengar bahwa Gan Tian Cu adalah tokoh tingkat dua dari Kun lun-pai, seorang yang amat lihai dan menjunjung tinggi aturan di dunia kang-ouw. Akan tetapi hari ini pinto benar-benar melihat keganjilan yang amat lucu. Bagaimana Gan Tian Cu yang menganggap diri sebagai seorang diantara pemimpin partai Kun lun yang besar mengeroyok seorang pemuda yang telah menjadi perwira kerajaan? Gan Tian Cu tidak tahukah kau bahwa orang tidak boleh memusuhi seorang perwira kerajaan ? Apakah kau dan kawan-kawanmu ini mempunyai maksud untuk memberontak ?”

Bukan main marahnya Gan Tian Cu dan sute-sutenya mendengar ucapan ini.

”Go bi Ngo.koai! Sesungguhnya terbalik sama sekali pertanyaan yang kauucapkan itu. Semestinya kami yang berhak bertanya kepada kalian berlima. Siapakah orangnya di dunia kang.ouw yang belum pernah mendengar nama Ang coa kiam Sim Tiong Kiat? Apakah benarbenar kalian berlima tidak mempunyai telinga dan mata? Perlukah kiranya kami beberkan semua kejahatan yang telah dilakukan oleh Ang coa kiam? Kita semua telah mengaku menjadi pendekar-pendekar yang memiliki kepandaian, yang semenjak keciI mempelajari ilmu silat untuk dipergunakan sebagai penegak keadilan dan kebesaran. Ang.coa.kiam adalah seorang pemuda yang jahat dan telah banyak mendatangkan keonaran dan banyak melakukan dosa, mengapa sekarang dapat bertemu dengan kalian di benteng ini ? Bagaimana ia dapat menjadi seorang perwira kerajaan ? Apakah benar-benar kalian tidak pernah mendengar tentang semua kejahatannya ?”

Thian It Tosu tersenyum dan berkata dengan tenang. ”Gan Tian Cu, manusia manakah di dunia ini yang tidak jahat dan berdosa ? Pinto tidak suka membongkar-bongkar rahasia dan kesalahan orang, apalagi Sim-ciangkun ! Biar apapun juga yang hendak kaukatakan tentang dia, buktinya sekarang Sim ciangkun telah menjadi seorang perwira, yang berarti bahwa dia telah berada di jalan benar, menjadi seorang gagah yang setia dan membela negara ! Bagiku, seratus kali lebih baik seorang berdosa yang kembali ke jalan benar daripada seorang yang mengaku-aku suci akan tetapi belum tahu bagaimana isi perutnya!”

Tentu saja Gan Tian Cu dan sute-sutenya tahu betul bahwa mereka telah disindir dan

dimaki habis-habisan oleh Thian It Tosu, maka marahlah Gan Tian Cu.

”Go-bi Ngo koai! Kami berlima datang untluk berurusan dengan Ang coa kiam Sim Tiong Kiat dan sama sekali kami tidak mempunyai sangkut paut dengan kalian berlima! Maafkan, kami tidak ada banyak waktu lagi untuk mengobrol dengan kalian!” Setelah berkata demikian, Gan Tian Cu dan empat orang sutenya lalu menyerbu lagi dan menyerang Tiong Kiat yang telah siap sedia. Pemuda ini biarpun maklum bahwa lima orang lawannya amat sukar dan berat dilawan, namun ia tidak mau minta tolong kepada Go bi Ngo koai-tung. Kecuali kalau mereka turun tangan sendiri tanpa diminta, tentu saja dia takkan menolaknya. Kini melihat serangan kelima orang tosu itu, iapun menggerakkan pedangnya sambil membentak, ”Tosu tosu siluman, apa kaukira aku takut menghadapi kalian berlima ?”

Kembali pertempuran hebat terjadi. Akan tetapi tentu saja melihat Tiong Kiat berada dalam bahaya, Thian It Tosu dan para sutenya tidak mau tinggal diam begitu saja. Mereka lalu menggerakkan tongkat dan menyerbu membantu Tiong Kiat sehingga pertempuran menjadi makin seru.

Akan tetapi kali ini pertempuran tak seimbang lagi. Kepandaian Go-bi Ngo koai Tung cukup tinggi, tidak berselisih banyak dengan tingkat kepandaian lima orang tokoh Kun lun-pai itu. Maka serbuan mereka yang membantui Tiong Kiat tentu saja membuat Gan Tian Cu dan empat orang adik seperguruannya menjadi kewalahan dan terdesak hebat.

”Go-bi Ngo koai, tidak kelirukah pandanganku ?” tiba tiba Gan Tian Cu sambil menangkis tongkat Thian It Tosu berseru keras. ”Ilmu tongkatmu mengingatkan aku akan ilmu tongkat dari Pek lian kauw!”

Seruan yang keras ini tidak saja membuat Go bi Ngo-koai-tung menjadi terkejut, bahkan Tiong Kiat sendiri pun menjadi kaget sekali sehingga ia melompat mundur dan menunda penyerangannya sambil memandang dengan mata mengandung penuh pertanyaan ke arah Go bi Ngo koai tung.

Nama Pek lian-kauw memang amat terkenal di kalangan kang-ouw dan tak seorangpun yang tidak mengingat nama ini dengan hati penuh kebencian. Pek lian kauw di masa jayanya telah banyak mengorbankan orang-orang gagah, diadu domba dan juga diseretnya ke dalam jurang kehinaan, bahkan perkumpulan ini telah mengadakan pemberontakan besar.

Go bi Ngo koai tung menghadapi lima orang tosu Kun lun pai itu dengan mata menyalanyala saking marahnya. ”Gan Tian Cu, mulutmu benar-benar busuk ! Apa hubungannya Pek lian kauw dengan pertempuran ini ? Kita orang-orang gagah harus dapat melihat kenyataan di depan mata, tidak menyinggung urusan yang telah lalu ! Sekarang kami berlima adalah sahabat, pembantu, dan pelindung dari panglima Oei yang mengepalai pasukan besar dari tentara kerajaan. Kami adalah orang-orang yang membela negara dan kalian bertempur dengan kami karena kalian hendak berhianat hendak mengganggu seorang perwira !”

Gan Tian Cu tertawa bergelak. ”Ha, ha ha ! Apa jadinya kalau pemimpin tentara terdiri

dari pelarian-pelarian Pek lian kauw dan penjahat-penjahat wanita seperti Ang coa-kiam? Ha, ha, Go-bi Ngo-koai tung, pantas saja Ang coa-kiam lari ke tempat ini, tidak tahunya ada orang-orang macam kalian di sini !”

”Tosu bangsat, tutup mulutmu !” teriak Thian It Tosu, sambil maju menyerang dengan tongkat bambunya. Gan Tian Cu menangkis dan kini lima orang tosu dari Kun lun pai itu bertempur melawan lima orang tosu dari Go bi san yang sesungguhnya adalah pelarianpelarian dari Pek lian-kauw ini ! Bukan main ramainya pertempuran ini, dan Tiong Kiat hanya berdiri dengan pedang di tangan, ragu-ragu untuk maju bergerak. La masih merasa heran dan terkejut mendengar bahwa Go-bi Ngo-koai-tung adalah pelarian-pelarian Pek Iian kauw, maka ia tidak tahu harus berbuat apa. Sudah terang bahwa Gan Tian Cu dan kawan-kawannya adalah musuh-musuhnya yang hendak mencelakakannya, akan tetapi kalau betul Go bi Ngo-koai.tung itu adalah orang-orang Pek lian kauw, ia sendiri merasa sangsi dan juga ngeri untuk membantu mereka!

Gobi Ngo koai tung merasa mendongkol sekali melihat betapa Tiong Kiat berdiri saja seperti patung batu dan tidak membantu mereka. Akan tetapi ternyata bahwa ilmu tongkat dari Go-bi Ngo koai ini benar-benar Iihai sekali. Kalau saja bekas-bekas pengurus Pek lian-kauw itu hanya bersilat biasa saja, mempergunakan ilmu silat yang wajar, belum tentu Gan Tian Cu dan adik-adiknya akan kalah. Akan tetapi Go-bi Ngo-koai-tung tidak percuma pernah menjadi pengurus-pengurus dari Pek-Iian kauw, agama gelap yang menipu rakyat berdasarkan ilmu hitam.

Kini menghadapi lawan tangguh, diam-diam Thian It Tosu memberi tanda rahasia kepada adik-adiknya dan berobahlah ilmu silat mereka. Terdengar mereka mengeluarkan bisikanbisikan perlahan seperti berdoa dan tiba-tiba Gan Tian Cu dan adik-adik seperguruannya melihat dengan hati gelisah dan kaget betapa lima orang lawan mereka itu nampak makin lama makin tinggi besar dan tongkat bambu mereka juga menjadi amat besar dan panjang!

Gan Tian Cu yang lebih matang ilmu batinnya dari pada keempat orang sutenya, masih dapat mempertahankan semangat dan ia mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk melenyapkan bayangan yang aneh ini dan hendak memperingatkan kepada keempat orang sutenya bahwa yang dilihat ini hanyalah bayangan dari ilmu sihir belaka.

Akan tetapi terlambat. Saking takut dan kagetnya, adik-adik seperguruannya itu menjadi kacau balau permainan pedangnya dan berturut-turut mereka mengeluh dan terjungkal karena terkena totokan tongkat bambu yang lihai dari lawan mereka !

Gan Tian Cu hendak mengamuk dan mengadu nyawa, akan tetapi dikeroyok lima tentu saja ia tak berdaya. Apa lagi, karena melihat keempat orang sutenya telah dirobohkan, semangatnya menjadi turun dan hatinya terguncang, maka kini iapun melihat lima orang lawannya itu menjadi makin besar dan mengerikan !

Beberapa jurus ia masih dapat bertahan, akan tetapi akhirnya iapun roboh tak dapat berkutik lagi, terkena totokan pada jalan darahnya bagian thian-yu-hiat seperti apa yang telah dialami oleh empat orang adik seperguruannya!

Pada saat itu, dari jauh nampak debu mengebul dan Oei Sun atau Oei ciangkun datang berkuda, diiringi oleh sepasukan pengawalnya. Melihat ribut-ribut di depan pintu gerbang ia segera membalapkan kudanya dan ketika melihat betapa Go-bi Ngo-koai-tung telah merobohkan lima orang tosu, ia lalu melompat turun dan dengan heran sekali bertanya. ”Apakah yang telah terjadi ?”

Akan tetapi pada saat itu, Thian It Tosu dengan marah sedang mencela Tiong Kiat. La menghadapi pemuda ini dan dengan suara keras ia berkata,

”Sim ciangkun, di mana rasa setiakawanmu? Kau tahu sendiri bahwa pinto berlima dengan susah payah melawan lima orang Kun lun pai ini, semata-mata hanya untuk membantu dan melindungimu. Akan tetapi, akhirnya kau bahkan mengundurkan diri dan berdiri sebagai penonton saja, sama sekali tidak mau membantu kami. Apakah artinya ini ?’

Merahlah muka Tiong Kiat mendengar teguran ini. Memang ia harus akui bahwa sikapnya tadi benar-benar amat buruk dan patut dicela, akan tetapi ia masih ragu-ragu karena teringat akan tuduhan Gan Tian Cu terhadap Go-bi Ngo-koai-tung.

”Totiang apakah betul ucapan Gan Tian Cu tadi bahwa totiang berlima adalah bekas orangorang Pek lian kauw?” tanyanya dengan kening berkerut.

”Kalau betul, mengapa? Apakah kami tidak berhak untuk hidup ? Sim ciangkun, ingat bahwa kau sendiri dahulunyapun terkenal dengan julukan Ang coa kiam yang ditakuti orang. Akan tetapi sekarang kaupun menjadi seorang perwira yang memilih jalan benar apakah kami tidak berhak pula melakukan kebaikan itu?”

Oei ciangkun yang mendengar pertengkaran ini, menjadi pucat dan cepat menghampiri mereka.

”Sim-ciangkun, siapa bilang bahwa ngo-wi totiang ini bekas antek-antek Pek-lian kauw?” tanyanya dengan suara keren.

Sim Tiong Kiat tentu saja tak pernah menyangka bahwa Oei Sun sendiri adalah bekas seorang tokoh Pek-lian-kauw, maka kini mendengar pertanyaan ini, ia segera mencari kawan untuk menghadapi lima orang pendeta Pek lian-kauw itu.

”Yang bilang adalah Iima orang tosu Kun-lun pai itu dan anehnya, Go bi Ngo-totiang ini tidak membantah bahkan mengaku betul!” jawabnya lalu mendekati Oei ciangkun untuk menghadapi lima orang tosu itu bersama.

Akan tetapi Oei ciangkun tidak memperhatikan Go-bi Ngo-koai-tung, sebaliknya lalu

menghampiri lima orang tosu Kun-lun-pai yang masih menggeletak dalam keadaan tidak berdaya itu, lalu bertanyalah dia kepada Tiong Kiat,

”Ada keperluan apakah lima orang tosu Kun-lun-pai ini datang ke sini ?”

”Mereka datang mencariku untuk menawanku, karena ada sesuatu permusuhan antara mereka dan aku. Pernah aku membunuh seorang murid mereka dan agaknya mereka merasa dendam dan hendak menghukumku,” jawab Tiong Kiat sejujurnya.

“Dan Go-bi Ngo totiang membantumu ?” tanya pula Oei ciangkun.

Tiong Kiat mengangguk.

“Lima tosu Kun-lun pai ini sudah tahu bahwa kau seorang perwira kerajaan dan mereka tetap menyerangmu?” tanya lagi Oei Sun. Kembali Tiong Kiat mengangguk membenarkan.

Oei Sun berpaling kepada beberapa orang pengawalnya dan memberi perintah singkat. ”Bunuh mereka semua !” Tiong Kiat terkejut sekali dan hendak mencegah. Tak disangkanya Oei Sun akan menghukum mati kepada lima orang tosu Kun-lun-pai itu, karena kalau sampai lima orang tosu Kun lun pai itu tewas, hal ini bukanlah perkara kecil. Mereka adalah tokoh-tokoh Kun lun dan kalau sampai dibunuh, tentu akan membangkitkan kemarahan orang gagah seluruh dunia !

Akan tetapi Oei Sun memegang tangannya dan menariknya masuk ke dalam benteng. ”Marilah, Sim-ciangkun dan jangan perdulikan lagi urusan kecil itu. Mereka adalah pemberontakpemberontak, karena orang-orang yang berani memusuhi seorang perwira di dalam benteng, mereka itu berarti memberontak terhadap Hongsiang sendiri. Jangankan seorang perwira, baru terhadap seorang perajurit biasa saja rakyat tidak boleh melawan !”

Pada saat itu, para pengawal Oei ciangkun telah menggerakkan tombak mereka ditusukkan ke arah ulu hati kelima orang tosu Kun-lun-pai itu, maka tanpa dapat mengeluarkan suara sedikitpun, lima orang tokoh Kun lun-pai yang bernasib malang itu tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan !

Tiong Kiat merasa menyesal sekali akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? La memandang kepada Oei Sun dan terpaksa ikut masuk ke dalam benteng. Di ruang dalam, duduklah mereka bertujuh. Gobi Ngo koai tung, Oei Sun, dan Tiong Kiat. Lain orang tidak boleh masuk, bahkan Huayen khan dan Ang Hwa sendiripun diminta berada di luar dulu karena ada hal yang amat penting hendak mereka bicarakan.

Setelah mereka mengambil tempat duduk berkatalah Oei Sun kepada Tiong Kiat dengan air muka sungguh-sungguh.

”Sim ciangkun, kau telah cukup maklum betapa besar kepercayaanku kepadamu dan bahwa kau telah kuanggap sebagai seorang kawan kerja, seorang murid, juga seorang guru. Oleh karena itu, harap kau suka berpikir tenang dan menggunakan pertimbangan yang sehat. Aku sendiri tidak tahu apakah benar kelima totiang ini dahulunya pernah menjadi orang-orang Pek lian kauw atau bukan. Hal itu sekarang bukan merupakan persoalan lagi. Pernah menjadi orang Pek lian kauw ataupun tidak pernah, yang sudah pasti kelima totiang ini membantu perjuangan kita, membantu pemerintah dan negara. Dalam menghadapi perkara besar dan perjuangan mulia tak perlu kita menggali-gali urusan lama. Bukankah aku sendiri tidak pernah mencari tahu tentang keadaan dirimu sebelum datang di sini?”

Oei Sun memang pandai sekali bicara dan kalau sampai Tiong Kiat dapat terjerumus ke dalam perangkap, semua itu terutama sekali adalah oleh karena Tiong Kiat tertarik dan tertipu oleh omongan-omongan manis yang diucapkan oleh Oei ciangkun secara pandai sekali. Kinipun, pemuda itu mengerutkan kening dan tak dapat membantah kebenaran omongan Oei Sun. Tiong Kiat teringat akan keadaannya sendiri. Bukankah iapun seringkali melakukan hal-hal yang amat tidak baik apabila dipandang dari sudut kebenaran ?

Bahkan sampai sekarangpun, ia berani bermain gila dengan Ang Hwa di depan Huayen khan, berarti mengganggu seorang isteri di depan suaminya! Dia sendiri seorang yang banyak melakukan kesesatan, bagaimana ia dapat memburukkan orang-orang lain hanya karena mereka pernah menjadi orang Pek Iian kauw?

”Oei ciangkun ternyata mengeluarkan ucapan gagah sebagai seorang laki laki sejati, Simciangkun. Memang pinto harus mengaku bahwa pinto berlima dahulu memang pernah menjadi pendeta Pek lian-kauw, akan tetapi apakah salahnya itu? Apakah salahnya memeluk sesuatu agama tertentu? Ah, sudahlah, tak perlu pinto membela agama Pek Iian kauw yang sudah diburukkan orang lain, karena pinto percaya bahwa agama Pek Iian-kauw sungguhpun sudah dicemarkan orang, kelak pasti akan bangun kembali, akan terlihat kemurniannya bagaikan emas jatuh di dalam lumpur. Sekarang yang penting kita melihat ke depan, melihat kenyataan sekarang. Benar dan tepat sekali apa yang dikatakan oleh Oei ciangkun tadi bahwa kita adalah orang-orang sepaham dan seperjuangan, mengapa kita harus saling menuduh ?”

Didesak oleh omongan-omongan yang terdengar penuh cengli (aturan) ini, mau tidak mau Tiong Kiat terpaksa harus menyatakan betul. La berdiri dan menjura kepada Thian It Tosu dan kawan-kawannya.

”Maafkan aku, totiang. Sekarang aku merasa bahwa aku telah melakukan kebodohan besar sekali. Maafkan bahwa tadi aku tidak membantu ngowi totiang menghadapi pendeta-pendeta Kun Iun pai, dan terima kasih bahwa ngowi totiang telah membantuku menghadapi mereka.” Ia berhenti sebentar lalu berpaling kepada Oei Sun dan berkata.

”Hanya sayang sekali lima orang tokoh penting dari Kun lun-pai telah dibunuh, aku kuatir sekali hal ini akan berekor panjang. Mereka itu adalah tosu tosu tingkat dua dari Kun- lun pai bukanlah hal ini berbahaya sekali?”

Oei Sun tersenyum. ”Mereka telah melakukan pemberontakan dan satu-satunya hukuman bagi pemberontak adalah hukuman mati ! Dan lagi, siapakah yang tahu bahwa mereka itu lewat di sini ? Seandainya ada yang tahu, mengapa kita takut? Kita adalah alal-alat negara, dan orang orang gagah akan membantu kita kalau orang orang Kun lun pai datang membikin onar !’

Demikianlah, dengan secara pandai sekali Oei Sun tidak saja dapat menghilangkan keraguan hati Tiong Kiat dan menjauhkan diri sendiri dari dugaan bahwa dia juga adalah seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw, akan tetapi juga ia dapat membersihkan nama kelima orang pendeta itu.

”Aku ada berita yang jauh lebih penting dari pada urusan lima orang tosu dari Kun-lun pai itu.” akhirnya Oei ciangkun membuka oleh-olehnya yang didapatkan dari pada perjalanannya tadi.

Tiong Kiat dan kelima Go-bi Ngo koai-tung dengan penuh perhatian mendengarkan.

”Lebih dulu tolong kau panggil masuk Huayen khan dan isterinya, Sim ciangkun. Mereka juga berhak mendengarkan,” kata pula Oei ciangkun.

Ketika Tiong Kiat keluar dari kamar itu untuk memanggil Huayen-khan dan Ang Hwa, Oei Sun cepat berkata kepada Go bi Ngo koai-tung. ” Lain kali harap berlaku lebih sabar terhadap dia. Kita amat memerlukan bantuannya. Aku mendengar kabar bahwa seorang murid dari Kim-liong pai, mungkin kakak dari Sim Tiong Kiat ini, kini muncul dan menjadi pembantu utama dari Gak ciangkun. Siapa tahu kalau Sim ciangkun ini akan dapat kita pergunakan untuk menghadapi kakaknya yang kabarnya amat lihai itu !”

Thian It Tosu dan adik-adik seperguruannya hanya mengangguk-angguk saja karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk bicara lagi.

Tiong Kiat telah masuk diikuti oleh Huayen khan dan Ang Hwa. Nyonya muda ini cemberut ketika ia berkata kepada Oei-ciangkun.

”Ah, sekarang kau agaknya sudah tidak percaya lagi kepadaku !” Kalau orang lain yang mendengar sikap dan ucapan ini, tentu orang itu akan merasa heran bagaimana seorang nyonya muda yang boleh dibilang menjadi tamu di benteng itu, bicara macam itu terhadap komandan benteng! Akan tetapi bagi mereka yang berada di situ, tidak merasa heran lagi, karena seperti juga dengan Tiong Kiat, Ang Hwa mengadakan hubungan pula dengan Oei Sun.

”Ha ha, perundingan rahasia selamanya tidak boleh terdengar oleh lain orang !” Huayen khan berkata sambil tertawa. Sungguhpun diam-diam di dalam hatinya amat mendongkol, akan tetapi kepala suku bangsa Ouigour yang licin ini tidak memperlihatkan perasaannya.

”Dengarlah kawan-kawan semua.” Kata Oei Sun sambil menghadapi Tiong Kiat, ”di dalam perjalananku melakukan penyelidikan, aku mendengar berita yang amat mengejutkan hati. Aku mendengar keterangan para penyelidik rahasia yang kusebar dimana-mana bahwa Gak ciangkun kini telah diangkat oleh Hong siang menjadi Jenderal. Gak-goanswe (Jenderal Gak) kini memimpin barisan besar melakukan penjagaan di tapal batas sebelah barat.”

”Berita seperti itu apa salahnya? Bukankah itu baik sekali.” Tanya Tiong Kiat dengan heran.

”Belum habis Sim ciangkun. Memang kalau hanya sampai di situ saja amat bagus, akan tetapi ternyata hal ini berkembang dengan hebatnya. Kini Gak goanswe secara diam-diam telah mengadakan persekutuan dengan tentara Tartar yang amat besar jumlahnya. Mereka berdua itu kini telah menyusun kekuatan di sebelah barat untuk dipergunakan menyerbu ke kota raja!”

”Sungguh tak berbudi!’ seru Tiong Kiat. ”Sudah diberi pangkat tinggi masih hendak memberontak !”

”Sama sekali bukan menunjukkan betapa yang akan mendapat menggempur pasukan tentu bahaya besar

tidak berbudi, Sim ciangkun.” Kata Oei Sun. ”Hal itu hanya tinggi cita-cita Gak goanswe. Orang yang bercita-cita tinggi saja kemajuan di dunia ini. Akan tetapi, betapapun juga, kita harus Gak goanswe itu sebelum merupakan bahaya besar bagi kita.” ”Maksudmu bagi kerajaan, Oei ciangkun.” Tiong Kiat berkata.

”Ah ya, berita, menjadi ancaman

tentu saja bagi kerajaan. Kita harus mendahuluinya memukul karena menurut kini barisannya menjadi amat kuat dan besar sekali jumlahnya, dipecah-pecah beberapa bagian dan menjaga di tempat-tempat mengelilingi kota raja, merupakan yang berbahaya sekali.”

”Tentu, kita harus memukulnya ” kata Tiong Kiat mengangguk-angguk. ”Akan tetapi, kau lebih tahu tentang keadaan mereka, maka terserahlah bagaimana hendak diaturnya.”

”Menurut penyelidikan, Gak goanswe telah memasang sepasukan tentara di tapal batas kota raja sebelah utara, jadi tepat di sebelah selatan kita. Mungkin sekali selain untuk mengurung kota raja dalam persiapannya memberontak, pasukan ini diadakan untuk menghalangi barisan kita dari utara apabila hendak membantu kota raja. Oleh karena itu, aku memberi tugas kepadamu, Sim ciangkun untuk membawa lima ratus orang tentara dan memukul pasukan ini. Huayen khan dan pasukannya boleh membantumu dari belakang.”

”Baik, Oei-ciangkun.” Jawab Tiong Kiat dengan gembira sekali.

-o0o d w o0o-

Jilid 6

MEMANG semenjak ia menjadi perwira di benteng Oei Sun, pemuda ini banyak sekali terhanyut hatinya. Ia merasa amat berdosa bukan karena mengingat akan semua perbuatannya yang dulu, bukan karena ia telah membunuh beberapa orang dan mengganggu banyak wanita, akan tetapi ia merasa amat berdosa dan berduka apabila ia teringat Suma Eng, gadis yang boleh dibilang tak pernah ia lupakan ini. Sekarang setelah ia menjadi seorang perwira, ia merasa telah berjasa kepada negara, merasa telah melakukan perbuatan yang amat baik dan bijaksana, perbuatan yang akan menghapus dosanya terhadap Suma Eng itu! Apa lagi sekarang ia akan memimpin pasukan memukul barisan pemberontak dari Jenderal Gak ! Alangkah mulianya pekerjaan ini, alangkah besarnya, jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan kecilnya dosa yang ia lakukan terhadap Eng Eng !

Maka bersiap-siaplah Tiong Kiat, memilih sepasukan tentara sebanyak lima ratus orang, menentukan komandan-komandan regu dan setelah mendapat nasehat dan siasat dari Oei Sun, berangkatlah Tiong Kiat dengan barisannya menuju ke selatan untuk menyerbu pertahanan barisan Gak goanswe!

Pemuda ini dalam pakaian perwira, menunggangi kuda putih pemberian Ang Hwa. Ia menunggang kuda di depan, tampak gagah sekali dan wajahnya yang tampan itu berseri gembira.

Barisannya berbaris rapi, didahului oleh regu berkuda yang bertugas sebagai penyelidik dan pelopor. Bendera besar dengan huruf OEI untuk menghormat dan menjadi tanda bahwa barisan ini adalah barisan dari benteng di bawah pimpinan Oei Sun, berkibar tinggi di atas punggung kuda, dipegangi oleh seorang perajurit. Bendera-bendera lain yang agak kecil dengan sulaman huruf SIM tanda bahwa barisan ini dalam pergerakannya dipimpin oleh seorang perwira she Sim.

Kurang lebih seratus li di sebelah selatan tempat itu, di lembah Sungai Kim-seng kiang ( Sungai Bintang Mas ) yang menjadi anak sungai dari Sungai Sungari yang besar, memang menjadi tempat pertahanan sepasukan tentara kerajaan yang berjumlah tiga ratus orang lebih.

Pasukan ini, melakukan penjagaan di tapal batas antara Tiongkok pedalaman dan Mongolia. Memang pasukan ini adalah sebagian dari pada pasukan Jenderal Gak yang mendapat tugas penuh untuk menjaga keamanan kota raja di bagian luar.

Jenderal Gak ini mulai timbul kecurigaan hatinya terhadap Oei Ciangkun yang memimpin barisan di utara, maka ia bersiap-siap untuk menyelidiki dan kalau perlu menggempur dan melucuti senjata pasukan di bawah pimpinan perwira she Oei itu.

Maka sebagai penjagaan, ia lalu mengirim pasukan ini ke lembah Sungai Kim seng, untuk menjaga kalau-kalau kecurigaannya itu terbukti sehingga kota raja dapat dilindungi. Ia tak dapat mengerahkan semua pasukan di tempat ini, karena selain Oei-ciangkun yang diduganya hendak memberontak, terdapat musuh-musuh yang lebih berbahaya lagi, bangsa Tartar yang mulai nampak gejala hendak menyerang ke pedalaman. Tentara Tartar jauh lebih besar dan lebih kuat daripada tentara pimpinan Oei ciangkun maka perlu sekali dijaga seluruh tapal batas di sebelah barat dan utara.

Tiga ratus lebih tentara yang menjaga di tapal batas dan di lembah Sungai Kim-seng ini dipimpin oleh seorang perwira tua bernama Ma Goan. Ma Goan atau perwira Ma ini biarpun sudah berusia hampir lima puluh tahun namun ia masih nampak kuat dan angker. Tubuhnya pendek akan tetapi tegap dan besar, dengan perut yang besar dan bulat, tertutup oleh pakaian perang yang tebal dan indah.

Ma Goan telah menjadi tentara semenjak berusia dua puluh tahun, dan pengalamannya dalam pertempuran selama tiga puluh tahunan inilah yang membuat ia dapat memanjat naik sampai menduduki pangkat perwira dan memimpin tentara sebanyak tiga ratus orang lebih.

Padahal ia berasal dari dusun dan hanya mengerti sedikit mata surat, hampir buta huruf. Akan tetapi memiliki ilmu silat yang tinggi, bahkan oleh pengalamannya yang berpuluh tahun itu ia mengerti juga sedikit hoat sut (ilmu sihir) yang dipelajari dari orang India ketika ia bertugas di tapal batas sebelah barat. Adapun siasat-siasat perang tak usah disangsikan lagi, karena pengalaman memang Iebih nampak manfaatnya dari pada pelajaran mati, pengalaman adalah pelajaran yang hidup, pelajaran yang otomatis mendarah daging.

Ma Goan terkenal ahli dalam permainan senjata golok gagang panjang yang besar dan berat sekali. Di dalam pertempuran berkuda, senjata macam ini amat praktis dan juga berbahaya sekali, karena selain panjang juga berat dan tajam. Tak terhitung banyaknya perwira dan panglima musuh yang roboh di bawah sambaran golok di tangan Ma Goan yang perkasa.

Selain bintang-bintang yang diterimanya sebagai tanda kegagahan dari kaisar dan panglima-panglimanya, juga Ma Goan sudah menerima tanda kegagahan dari musuh yakni berupa cacad-cacad dan bekas-bekas luka di leher, pundak, dan pipi kanannya. Di bagianbagian tubuh ini kulitnya telah sobek oleh pedang lawan dan kini menjadi cacad yang bahkan menambahkan keangkerannya.

Ma Goan tidak sempat membuat benteng pertahanan di lembah sungai Kim seng itu hanya menyuruh anak buahnya memasang tenda-tenda di bawah pohon-pohon siong yang besar. Kemudian ia memasang penjaga-penjaga di empat penjuru dan setiap hari melatih barisannya, sebagian pula menebang pohon untuk dibuat perahu-perahu dan tiang bangunan tempat tinggal. Perahu-perahu amat penting bagi mereka, karena hubungan yang paling cepat dan mudah dengan barisan lain adalah melalui sungai ini.

Pada pagi hari itu, Ma Goan yang berada di dalam tendanya, mendapat laporan dari penjaga terdepan bahwa kurang Iebih lima li dari situ sedang mendatangi barisan kerajaan yang berjumlah besar dan pada benderanya terdapat tanda bahwa barisan itu

adalah barisan yang datang dari benteng Panglima Oei dan dipimpin oleh perwira Sim.

"Berapa banyak jumlahnya tentara mereka?" tanya Ma Goan dengan sikap masih tenang, sungguhpun di dalam dadanya ia berdebar mendengar laporan ini. Inilah pasukan-pasukan dari Oei Sun yang dikabarkan hendak memberontak itu!

"Menurut perkiraan saya, sedikitnya ada lima ratus orang ciangkun." jawab pelapor itu.

"Hm, minta semua komandan regu untuk datang ke sini. Cepat !”

Pelapor itu cepat berlari keluar dan tak lama kemudian, tujuh orang perwira pembantu telah datang menghadap.

"Pasukan pemberontak telah mulai datang. Kita belum tahu kehendak mereka, maka jangan sembarangan turun tangan. Bagi pasukan kita menjadi tiga bagian. Sebagian akau kupimpin menyambut kedatangan mereka, yang dua bagian bersembunyi di kanan kiri hutan. Kalau pasukan yang kupimpin terjadi perang dengan mereka, baru kedua pasukan di kanan kiri membantu dan memukul dari kedua samping. Kekuatan musuh lebih besar hampir dua kali kekuatan kita. Dengan serangan menggapit dari kanan kiri, tetap belum tentu kita kalah. Kalau sampai terjadi apa-apa dan kalah atau tewas dalam pertempuran sebagian pasukan boleh mundur menggunakan perahu-perahu kita, minta bantuan kepada benteng di lembah Sungai Sungari. Mengerti ?"

Semua pembantunya menyatakan mengerti. Maka Ma Goan segera membubarkan mereka untuk melakukan tugas masing-masing. Dia sendiri setelah barisan dibagi tiga, lalu memimpin barisan dari seratus orang ini untuk menuju ke utara memapaki barisan yang berbendera OEI dan SIM itu.

Di luar hutan siong, kedua barisan itu bertemu. Ketika Tiong Kiat melihat pasukan berbendera GAK dan MA dan melihat pakaian tentara itu menunjukkan bahwa mereka adalah tentara kerajaan, diam-diam ia segera memberi perintah agar supaya Huayen-khan dan Ang Hwa menyuruh barisan mereka bersembunyi di belakang. Dia sendiri lalu memberi perintah kepada anak buahnya agar supaya jangan bergerak lebih dulu.

"Tunggu sampai aku bertempur dengan panglima yang memimpin pasukan pemberontak di depan itu. Kalau ia dapat bertahan sampai sepuluh jurus melawanku, barulah barisan boleh maju menyerbu ! Kalau sebelum sepuluh jurus panglima itu telah roboh aku akan mencoba agar pasukan di depan itu suka takluk dan memihak kita !"

Ini adalah siasat perang yang ia pelajari dari Oei Sun yang disebut siasat "membunuh ular tanpa merusak kulitnya".

Memang Oei Sun amat membutuhkan tenaga tentara untuk maksud dan cita-citanya, maka kalau saja pemimpin pasukan musuh dapat dibinasakan sehingga pasukannya menjadi jerih dan kacau sampai dapat menaluk dan menjadi tentara taklukan, hal itu tentu saja amat baiknya !

Tentu saja pendirian Tiong Kiat jauh berlainan dengan kehendak Oei Sun. Bagi Tiong Kiat, kalau sampai tentara Gak goanswe yang dianggapnya memberontak itu sampai takluk tanpa perang, dan dapat "insaf" alangkah baiknya hal itu. Tidak perlu terjadi bunuhmembunuh antara bangsa sendiri !

Tak lama kemudian, kedua barisan itu berhenti kurang lebih seperempat li jauhnya satu kepada yang lain. Tiong Kiat membedal kudanya maju. Sebaliknya Ma Goan sambil menyeret golok gagang panjangnya juga mengaburkan kudanya memapaki perwira pemberontak itu.

"Apakah yang di depan ini seorang perwira dari barisan Gak goanswe, pemberontak hina dina itu?”

Mendengar suara yang berkumandang dan keras itu, tahulah Ma Goan bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli silat yang telah memiliki khikang yang tinggi. Akan tetapi ia menjadi amat marah mendengar ucapan itu.

"Perwira bermulut lancang !” ia membalas. "Kau tentulah seorang perwira gadungan (yang tidak diangkat oleh kaisar) dari barisan Oei manusia tak tahu diri itu, bukan? Lekas turun dari kudamu dan menyerah sebelum aku Ma Goan memenggal lehermu dan membasmi tentaramu!”

Tiong Kiat merasa heran dan juga marah sekali. Bagaimanakah perwira yang memimpin barisan pemberontak ini begitu berani memakinya sebagai perwira gadungan dan bahkan memaki-maki nama Oei Sun pula? la tertawa mengejek dan berkata.

"Perwira pendek! Kau mengandalkan apamukah maka bicara begitu sombong? Apakah kau mengandalkan golok pemotong babi di tanganmu itu?"

Ma Goan pikir tak perlu bicara banyak-banyak dengan pemberontak ini, maka dengan cepat ia lalu berseru.

"Makanlah golok pemotong babiku ini, babi !" Dengan amat cepatnya golok di tangannya itu menyambar ke arah dada Tiong Kiat sehingga pemuda itu terkejut juga. Tak diduganya bahwa lawan yang pendek tangannya itu ternyata dapat menggerakkan golok gagang panjang demikian cepatnya. Ia belum sempat mencabut pedangnya dan untuk mengelakkan diri di atas kuda, tak mungkin sama sekali melihat datangnya serangan yang benar-benar amat lihai itu. Maka sambil berseru keras, ia lalu berjumpalitan dari atas kudanya sehingga terhindar dari sabetan golok.

Melihat betapa perwira muda itu dapat melompat dan berjumpalitan dengan ilmu lompat Naga Hitam Menembus Awan dengan gerakan yang amat indah dan cepat, kembali Ma Goan tertegun. Lebih-lebih kagetnya ketika tiba-tiba tubuh pemuda yang sudah turun ke atas tanah itu kini berkelebat ke arahnya dan sinar pedang yang putih berkilau menyambarnyambar dengan hebatnya.

Ia cepat memutar golok panjangnya akan tetapi tiba-tiba kudanya meringkik keras dan cepat ia melompat turun. Baiknya ia melakukan hal ini, karena kalau tidak, dalam segebrakan itu tadi ia tentu akan terjungkal dari kuda dan binasa di bawah ujung pedang lawannya.

Ternyata bahwa Tiong Kiat telah berhasil membabat dua buah kaki belakang kuda yang ditunggangi oleh Ma Goan itu! Pemuda ini tadi berpikir bahwa melihat gerakan ilmu golok panjang dari perwira pendek itu, agaknya sukar baginya untuk mendapat kemenangan.

Selain lawannya amat lihai, juga lawannya lebih pandai bertempur di atas kuda dan senjata lawannya jauh lebih panjang maka ia cepat menyerang kuda itu sehingga kini lawannya terpaksa harus melayaninya di atas tanah!

Adapun Ma Goan dengan amat marah segera memutar golok panjangnya dan menyerang pemuda itu. Tiong Kiat menyambutnya dengan senyuman mengejek, akan tetapi tak lama kemudian senyuman mengejek ini lenyap dari bibir Tiong Kiat ketika ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian Ma Goan ini ternyata benar-benar tak boleh dipandang ringan!

Ilmu silat perwira pendek ini hebat sekali dan golok panjang di tangannya merupakan dua macam senjata yang berbahaya. Apabila golok itu dibalikkan, maka gagang golok itu dapat dipergunakan sebagai senjata toya yang ditotokkan dan kemplangannya dapat mendatangkan maut ! Juga tenaga dan kegesitan Ma Goan yang sudah tua itu mengagumkan sekali, Tiong Kiat menggigit bibirnya dan memutar pedangnya makin cepat, kini setelah lima belas jurus tak dapat mengalahkan Ma Goan ia mulai mengeluarkan tipu-tipu yang terlihai dari Ang-coa kiamsut !

Sementara itu, barisannya yang melihat betapa perwira pendek itu ternyata tangguh dan dapat menahan serangan Sim ciangkun sampai lima belas jurus lebih, segera perwira pembantu memberi aba-aba dengan teriakan keras dan panjang- panjang.

"Serbuuuuuuuu !”

Maka majulah lima ratus orang perajurit itu bagaikan gelombang menderu dan dengan pekik sorak riuh rendah dan tangan mengangkat senjata yang berkilauan terkena sinar matahari, kedua barisan bertemu di luar hutan dalam pertempuran yang hebat sekali !

Pertemuan dua barisan yang menimbulkan perang hebat itu ditambah lagi dengan sorak sorai dari kedua pasukan yang bersembunyi di kanan kiri, yakni pasukan pendam yang telah diatur semula oleh Ma Goan.

Agak terkejut dan kacau balau pasukan Tiong Kiat ketika tiba-tiba muncul barisan musuh dari kanan kiri ini dan pertempuran dilakukan dalam keadaan kacau. Akan tetapi oleh karena memang pasukan yang dipimpin oleh Tiong Kiat lebih besar jumlahnya, hampir dua kali lebih banyak, mereka dapat melakukan perlawanan kuat sekaIi.

Ma Goan, perwira pendek yang gagah itu, ketika melihat betapa pasukannya tetap saja tidak dapat mendesak musuh yang besar jumlahnya dan kini fihak musuh sudah mulai mendekati pintu benteng dan mulai mengancam pertahanan, menjadi gelisah sekali. Apa lagi karena Tiong Kiat mendesaknya dengan hebat.

Serangan pedang pemuda yang dilawannya itu benar-benar di luar dugaannya. Ia telah mengetahui akan kelihaian Oei Sun dan agaknya ia masih dapat menghadapi Oei Sun. Siapa tahu kepandaian pemuda yang menjadi pembantu Oei ciangkun ini ternyata lebih lihai dari pada perwira pemberontak itu sendiri.

Setelah merasa bahwa dengan ilmu silatnya tidak mungkin dapat mengalahkan lawannya yang lihai itu, Ma Goan lalu memberi aba-aba yang memerintahkan pasukannya mundur dan melarikan diri mempergunakan perahu-perahu yang telah siap di pinggir sungai. Ia sendiri lalu memutar golok panjangnya untuk mencari jalan keluar dari kepungan Tiong Kiat.

Akan tetapi ilmu pedang Ang-coa-kiamsut yang dimainkan oleh Tiong Kiat sudah sempurna. Boleh dibilang semua ilmu kepandaian yang dituliskan di dalam kitab ilmu pedang Kim Liong pai itu telah dipelajari semua sehingga dalam hal ilmu pedang, kepandaian Tiong Kiat tidak kalah oleh Lui Thian Sianjin sendiri!

Dalam usaha Ma Goan untuk menerjang keluar dari kurungan sinar pedang yang hebat itu sia-sia belaka bahkan kini pedang di tangan Tiong Kiat makin cepat gerakannya dan hebat sekali serangan-serangannya. Ma Goan tak dapat berdaya lagi dan ketika sebuah tangkisannya meleset, pundak kirinya terbabat ujung pedang Hui-liong kiam di tangan Tiong Kiat sehingga sepotong daging pundaknya berikut baju perangnya terbawa oleh pedang !

Ma Goan berseru keras saking sakitnya akan tetapi ia telah dapat mengumpulkan tenaga batinnya dan dengan sedikit ilmu hoatsut (sihir) yang pernah dipelajarinya, ia berkata dengan suara berpengaruh.

"Orang muda, Iihat pedangmu itu. Bukankah itu telah berubah menjadi seekor ular putih? Lihat baik baik!"

Tiong Kiat yang tidak mengira sama sekali bahwa lawannya mempergunakan ilmu sihir tak dapat mencegah keinginan hatinya untuk memandang ke arah pedangnya dan alangkah kagetnya ketika ia melihat Hui-liong kiam itu benar-benar telah berubah menjadi seekor ular putih ! Pedang itu kini merupakan seekor ular yang ia pegang pada ekornya dan dengan gerakan-gerakan yang amat menggelikan, ular itu lalu membalikkan tubuh dan dengan mulut terbuka hendak menyerangnya sendiri !

Tentu saja Tiong Kiat menjadi kaget sekali dan cepat cepat ia melempar ular itu ke atas tanah. Akan tetapi, apa yang dilihatnya ? Ketika ular putih itu dibanting jatuh di atas tanah, terdengar suara nyaring dan ternyata ular putih itu telah berobah lagi menjadi pedang Hui liong kiam yang berkilauan !

Baru tahulah Tiong Kiat bahwa la telah kena tertipu oleh lawannya. Ia cepat menyambar pedangnya Iagi, akan tetapi ketika ia mengangkat muka memandang, ternyata bahwa Ma Goan telah pergi dari situ dan tidak kelihatan bayangannya lagi ! la mendongkol sekali dan cepat ia lalu menyerbu dalam gelanggang pertempuran, membabat para perajurit musuh yang mulai melarikan diri, dikejar oleh pasukannya ! Tiong Kiat dan pasukannya mendapat kemenangan besar. Hampir separuh dari pada barisan pemberontak, anak buah Gak goanswe telah dapat ditewaskan dan sebagian lagi melarikan diri, ada yang melalui darat, ada yang menggunakan perahu. Benteng dapat dirampas dan sejumlah besar perbekalan musuh dapat dirampas pula. Dengan membawa kemenangan besar yang pertama kali ini, Tiong Kiat memimpin pasukannya kembali ke Oei-ciangkun.

Oei Ciangkun sendiri bersama Go bi Ngo Koai Tung menyambut pasukan yang menang perang ini. Huayen khan dan Ang Hwa yang juga telah bertempur hebat dan banyak merobohkan perajurit musuh menjadi amat bangga akan tetapi Tiong Kiat hanya tersenyum-senyum saja. Pikirannya penuh dengan pengalamannya ketika bertempur melawan Ma Goan tadi.

Baiknya ia sudah melukai Ma Goan. Kalau lawannya itu belum terluka dan ketika ia melemparkan pedangnya yang berobah menjadi ular tadi, bukankah amat berbahaya baginya kalau lawannya itu menyerangnya? Oei Sun yang mempunyai pandangan tajam dapat melihat kemuraman wajah kawannya, maka ia lalu berkata.

“Saudaraku Sim, mengapa kau yang menang perang dan berhasil baik dalam gerakanmu kali ini, agaknya nampak muram?"

“Oei-ciangkun, biarpun pasukan kita menang akan tetapi aku mendapat kenyataan bahwa segala jerih payahku bertahun-tahun yang lalu, ilmu silat yang kupelajari dengan rajin dan tak mengenal lelah ternyata tidak berdaya sama sekali menghadapi ilmu siluman dari seorang perwira musuh !"

Setelah berkata demikian, Tiong Kiat lalu menceritakan kepada Oei Sun dan Ngo koai tung tentang pertempurannya melawan Ma Goan. Mendengar penuturan ini, Thian lt Tosu tertawa bergelak.

"Ha, ha, ha, Sim ciangkun. Kukira apa menimbulkan kemuraman pada wajahmu, tidak tahunya

kau memikirkan sedikit ilmu kepandaian anak kecil itu! Ha. ha, ha. apa sih sukarnya kepandaian macam itu saja? Anak kecilpun bisa."

Ketika Tiong Kiat memandang kepada Thian It Tosu, tiba tiba tosu itu memandangnya dengan mata terpentang lebar seperti yang dilakukan oleh Ma Goan tadi, kemudian sebelum Tiong Kiat mengerti apa yang dimaksudkan atau dikehendaki oleh tosu ini, orang tertua dari Go-bi Ngo-koai tung itu berkata,

"Sim-ciangkun, sungguh kau gagah sekali pulang dan masuk ruang ini naik seekor harimau!"

Tiong Kiat menjadi makin bingung. Gilakah tosu ini? Akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa bangku yang didudukinya bergerak-gerak dan ketika ia memandang ke bawah, hampir saja ia berteriak karena kagetnya. Yang diduduki sejak tadi itu bukan sebuah bangku biasa, melainkan seekor harimau yang besar !

"Nah, Sim ciangkun, bukankah pedangmu itu telah menjadi seekor ular putih lagi sekarang?”

Tiong Kiat menengok ke arah pedang yang tergantung di pinggangnya, dan alangkah kagetnya melihat bahwa yang tergantung di pinggangnya bukan Hui liong-kiam di dalam sarung pedang, melainkan seekor ular putih! Berubah wajah Tiong Kiat dan ia telah melakukan gerakan cepat sekali melompat turun dari harimau besar itu dan hendak melemparkan pedangnya. Akan tetapi Thian It Tosu menggerakkan tangannya dan berkata,"Sim ciangkun, sabarlah. Semua itu hanyalah bayangan belaka! Harimau dan ular lenyap, yang kau duduki sebuah bangku biasa dan pedangmu masih Hui-liong-kiam yang ampuh !” Betul saja, harimau dan ular itu tak nampak lagi dan kini mata Tiong Kiat melihat benda-benda biasa. Ia menjadi heran dan merahlah mukanya.

“Hebat," katanya menarik napas panjang,”Totiang, kau benar-benar lihai sekali. Bagaimanakah manusia bisa mempelajari ilmu seperti itu?"

“Sim ciangkun, apakah kau ingin mempelajari ilmu sihir seperti itu ?"

"Tentu saja, totiang. Akan girang sekali hatiku kalau aku dapat memiliki kepandaian yang aneh itu hingga lain kali bertemu dengan lawan seperti Ma Goan, aku takkan mendapat malu lagi."

“Akan tetapi," tiba-tiba Oei Sun berkata,”kau mempelajari ilmu ini, berarti kau mempelajari ilmu dari Pek lian-kauw." Sambil berkata demikian, Oei Sun memandang tajam sekali, kemudian setelah ia melihat keraguan di wajah Tiong Kiat, ia menyambung. "Akan tetapi aku sendiri pernah mempelajari ilmu itu saudara Tiong Kiat. Kau lihatlah baikbaik bukankah yang kududuki inipun seekor harimau yang gagah dan besar sekali?" Tiong Kiat memandang dan.... betul saja ! Oei Sun bukan duduk di atas bangku yang tadi lagi,

melainkan di atas seekor harimau yang besar !

Oei Sun segera menyimpan kembali ilmunya dan berkata sambil tertawa. "Saudara Tiong Kiat, terus terang saja aku sendiri pernah mempelajari ilmu sihir dari Pek-lian kauw. Kau lihat, Pek lian-kauw adalah sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang memiliki kepandaian tinggi dan dulu dibasmi hanya karena hasutan orang-orang yang merasa iri hati dan yang berkali-kali dikalahkan oleh Pek-lian kauw."

"Akan tetapi… aku mendengar bahwa perkumpulan itu telah melakukan kejahatan-kejahatan hebat..." kata Tiong Kiat.

Thian It Tosu tertawa bergelak. "Ha, ha, ha. Sim-ciangkun, kau benar-benar masih hijau dan belum berpengalaman. Mana ada orang-orang yang membenci sesuatu membicarakan soalsoal baik tentang yang dibencinya ? Kami akui bahwa tentu saja ada dahulu anggautaanggauta Pek lian kauw yang jahat dan menyeleweng akan tetapi dunia manakah yang tidak ada kambing hitamnya ? Menurut pandanganmu, Sim-ciangkun, apakah pinto berlima dan juga Oei ciangkun ini patut disebut orang-orang jahat?"

Tiong Kiat harus mengakui kebenaran kata-kata ini dan kini ia tidak begitu benci lagi mendengar nama Pek-lian-kauw. Kemudian dengan amat pandainya Thian It tosu dan Oei Sun memuji-muji Pek Iian kauw dan menyatakan penyesalannya terhadap pemerintah yang dapat dihasut oleh orang jahat sehingga Pek lian-kauw dibasmi. Tiong Kiat diam-diam terkena juga oleh bujukan dan hasutan ini dan diikutinya pula bahwa pemerintah kurang bijaksana dalam urusannya menghadapi Pek Iian kauw ! Apalagi setelah Thian It Tosu menyatakan hendak memberi pelajaran ilmu gaib kepadanya, makin sukalah hati Tiong Kiat terhadap orang orang Pek-lian-kauw yang dianggapnya benar-benar orang gagah yang setia terhadap negara dan bangsa !

Telah lama kita meninggalkan Tiong Han, pemuda bernasib malang yang banyak mengalami penderitaan batin karena perbuatan adiknya yang amat disayanginya itu. Semenjak pertemuannya dengan sumoinya, Can Kui Hwa yang sudah mendapat jodoh dengan pemuda Un Leng dan mendengar penuturan sumoinya itu tentang perlakuan Tiong Kiat terhadapnya, Tiong Han merasa makin sedih dan juga gemas.

Bagaimana Tiong Kiat sampai menjadi demikian jahat ? Aku harus dapat mencarinya, aku harus menangkapnya dan membawanya kepada suhu ! Pikiran Tiong Han sudah tetap, karena kalau makin banyak adiknya melakukan perbuatan jahat, ia merasa bertanggung jawab juga dan merasa ikut berdosa.

Sampai berbulan-bulan ia merantau mencari jejak adiknya, dan akhirnya ia mendengar bahwa Tiong Kiat telah menjadi seorang perwira ! Tentu saja ia merasa heran sekali akan tetapi oleh karena berita ini ia terima dari orang-orang suku bangsa lain yang tinggal di utara dan keterangan mereka itu hanya samar-samar ia belum percaya benar. Betapapun juga, ia lalu mengejar ke utara.

Dari seorang di antara para pedagang yang seringkali melakukan perjalanan jauh ke

utara, ia mendengar tentang seorang perwira yang bekerja dalam benteng panglima Oei di dekat Sungai Sungari. Tiong Han masih belum percaya kalau adiknya bisa menjadi perwira akan tetapi oleh karena tidak tahu harus mencari ke mana ia pergi juga ke daerah itu.

Di sepanjang jalan ia mendengar tentang pertempuran antara suku bangsa Cou melawan suku bangsa Ouigour, akan tetapi berita ini tidak begitu menarik perhatiannya, ia hanya bertanya-tanya di mana adanya benteng dari panglima she Oei yang menjaga tapal batas sebelah utara ini.

Pada suatu pagi, tibalah ia di kota yang hanya terpisah sepuluh li dari benteng di mana orang yang dicarinya berada! Kota ini kecil saja akan tetapi di situ banyak terdapat orang-orang berdagang atau lebih tepat bertukar barang dengan penduduk di utara ini. Juga terdapat rumah-rumah makan dan rumah-rumah penginapan.

Ketika Tiong Han memasuki kota ini, ia menjumpai keganjilan-keganjilan ketika beberapa orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan belum pernah dilihatnya selama hidup, ketika bertemu dengan dia lalu memberi hormat! Akan tetapi oleh karena sudah terlalu sering mengalami hal aneh, Tiong Han bahkan menjadi girang sekali karena yakinlah bahwa Tiong Kiat pasti berada di tempat yang tidak jauh! Ia maklum bahwa orang-orang yang memberi hormat kepadanya itu tentu mengira bahwa dia adalah Tiong Kiat. Akan tetapi, untuk kesekian kalinya, ia mengalami hal yang tidak enak saja yang ditimbulkan oleh persamaan mukanya dengan adiknya yang manis itu. Ketika ia berjalan dengan tindakan tenang di depan sebuah toko obat, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua melompat keluar dari toko itu, mencabut golok dan menyerangnya dengan kalap sambil berseru,”Bangsat rendah! Kembalikan anakku....!" Orang yang kalap itu menyerangnya dari samping dengan golok dibacokkan ke arah dadanya. Tentu saja serangan ini sama sekali tak membikin gugup pada Tiong Han, akan tetapi benar-benar membuatnya merasa kaget dan heran. Ia cepat mengelak dan berkata,

"Sahabat, perlahan dulu. Ada urusan baik dibicarakan dulu, jangan terburu nafsu menyerang orang di jalan!”

"Manusia tidak tahu malu! Iblis bermuka manusia mau bicara apalagi? Hanya ada dua pilihan bagimu, hidupkan kembali anakku atau kau harus mampus menyusul anakku....!" Dan kembali golok yang agaknya telah berhari-hari diasah sehingga menjadi berkilat tajamnya itu menyambar ke arah leher Tiong Han.

Kembali dengan amat mudahnya serangan itu dapat dielakkan oleh Tiong Han dan karena pemuda ini merasa mendongkoI juga dengan sekali menggerakkan tangan ia melakukan tipu gerakan Kim liong jiauw (Naga Emas Mengulur Kuku) dan dengan amat mudahnya terampaslah golok itu dari tangan penyerang.

”Sabar…sabar, sahabat. Jangan main-main dengan golok tajam,' sambil berkata demikian Tiong Han menjepit golok itu di antara tangannya dan sekali ia mengerahkan tenaga, terdengar bunyi pletak dan patahlah golok itu pada tengah-tengahnya. Ia melempar potongan golok itu ke atas tanah. Akan tetapi baru saja ia hendak menghadapi penyerangnya untuk ditanyai keterangan tentang kelakuannya yang aneh ini datanglah berlari-lari lima orang tentara yang cepat memberi hormat kepadanya dan tanpa banyak

cakap, lima orang tentara itu lalu menyeret kedua tangan penyerang itu. 'Bangsat she Sim ....! Biarpun aku akan mati lihat saja, rohku akan menjadi setan penasaran dan akan mengejarmu selalu.....! Kau perusak rumah tangga, pengganggu wanita, kau manusia…" Baru saja memaki sampai di situ, seorang di antara lima orang penangkapnya itu mengayun tangan menampar mulutnya. Orang itu mengeluh dan menundukkan mukanya. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya!

Melihat orang itu diseret-seret dan mendengar kata-katanya, Tiong Han dapat menduga bahwa kembali Tiong Kiat telah membuat gara-gara. Ia merasa kasihan sekali kepada orang tua itu. Dengan beberapa lompatan saja ia telah dapat mengejar.

"Lepaskan dia !" serunya dengan keras. Ia telah siap sedia untuk memukul tentara yang lima orang banyaknya itu kalau mereka melawan, akan tetapi kembali mereka memberi hormat, dan hanya memandang dengan terheran.

"Akan tetapi... Sim-ciangkun......." kata seorang diantara mereka.

Tiong Han merasa sebal sekali. Ia maklum bahwa Tiong Kiat agaknya benar-benar telah menjadi seorang perwira dan lima orang tentara ini tentulah anak buahnya.

"Lepaskan dia, dan pergilah kalian !" Ia berseru lagi dengan marah.

Lima orang itu lalu mengangkat pundak lalu meninggalkan tempat ini tanpa berani banyak cakap lagi. Adapun orang tua itu kini memandang kepada Tiong Han dengan mata terbelalak.

"Kau melepaskan aku.......apakah kau hendak menghukum aku dengan tanganmu sendiri ? Orang muda tidak berbudi, jangan kaukira bahwa aku takut mati setelah apa yang kaulakukan terhadap puteriku !"

Tanpa bertanya lagi Tiong Han sudah dapat menduga apa yang telah dilakukan oleh Tiong Kiat terhadap puteri dari orang ini. Mukanya berobah merah saking marah dan gemasnya terhadap Tiong Kiat.

"Sudahlah, lebih baik kau pulang saja. Orang yang berbuat dosa pasti akan mendapatkan hukumannya !" Setelah berkata demikian, Tiong Han lalu meninggalkan orang itu yang menjadi begitu terheran-heran mendengar ucapan Tiong Han tadi sehingga ia hanya berdiri dengan mulut melongo di tengah jalan! Sementara itu, Tiong Han melanjutkan perjalanannya. Ia ingin sekali bertanya kepada orang tadi di mana ia dapat menjumpai Tiong kiat tetapi ia tidak ingin mendengar kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Tiong Kiat. Lebih baik bertanya kepada orang lain saja pikirnya.

Ketika melihat sebuah rumah makan yang cukup besar, masuklah Tiong Han ke dalam rumah makan itu. Ia memesan makanan dengan sikap biasa sungguhpun pelayan yang membungkukbungkuk di depannya dengan luar biasa hormatnya itu menimbulkan sebal dalam hatinya. Hem, agaknya semua orang di tempat ini menghormat sekali kepada Tiong Kiat, kecuali orang yang menyerangnya tadi tentunya. Di dalam restoran itu telah banyak tamu dan ada beberapa orang berpakaian perwira duduk di sudut sambil bersendau gurau. Ketika Tiong Han masuk, mereka memandang dan ada yang tersenyum, akan tetapi tak lama kemudian mereka saling pandang dengan muka menyatakan keheranan besar. Mereka hanya memandang saja dan amat memperhatikan Tiong Han, akan tetapi pemuda ini pura-pura tidak melihat mereka dan makan masakan pesanannya dengan tenang. Setelah ia selesai makan dan hendak keluar dari rumah makan itu, tiba-tiba tiga orang perwira yang semenjak tadi melihatnya, berdiri dan menghampirinya. "Ah, Sim ciangkun, apakah benar-benar kau tidak kenal lagi kepada kami? Kami kira kau tadi main-main, akan tetapi ternyata sampai sekarang benar-benar tidak menyapa kami. Benar-benar lucu sekali kau ini, keluar dari benteng dengan pakaian preman, dan berlaku pura-pura tidak mengenal kawan. Apakah artinya ini?"

Tiong Han mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Sam wi ciangkun, kalian telah salah lihat. Sim ciangkun kiranya masih berada di dalam benteng, dan aku sendiripun ingin sekali menjumpainya. Maukah sam - wi menolongku untuk menemui Sim-ciangkun, adikku itu!”

Untuk sesaat, ketiga orang perwira itu tertegun dan mengira bahwa pemuda ini memang benar Sim Tiong Kiat yang masih berpura-pura atau hendak menggoda mereka. Akan tetapi setelah melihat kesungguhan tarikan wajah Tiong Han, mereka saling pandang lalu berkata,”Marilah ikut kami ke benteng."

Tiga orang perwira itu lalu mengajak Tiong Han keluar dari rumah makan dan langsung menuju ke benteng di luar kota. Tiong Han berdebar jantungnya. Akhirnya dapat juga ia mendapatkan tempat persembunyian adiknya itu dan bermacam-macam pikiran teraduk di dalam kepalanya, memikirkan dan membayangkan bagaimana penyambutan Tiong Kiat kepadanya. Bagaimana kalau Tiong Kiat melawan?

Aku harus melakukan pertempuran mati-matian kali ini, pikir Tiong Han sambiI menggigit bibirnya. Tentu kepandaiannya telah amat maju dengan bantuan kitab ilmu pedang itu akan tetapi belum tentu aku kalah olehnya. Kali ini, ia turut ke Liong san menghadap suhu dengan baik-baik, atau . aku akan bertempur mati-matian!

Ia tidak tahu sama sekali bahwa Tiong Kiat sudah dapat menduga kedatangannya ini! Tadi ketika ia masih makan di rumah makan lima orang tentara yang tadi menangkap orang yang menyerangnya ketika kembali ke dalam benteng dan melihat Tiong Kiat, mereka menjadi heran sekali dan cepat menceritakan pengalaman mereka kepada Sim ciangkun.

Tiong Kiat terkejut sekali dan menjadi pucat, akan tetapi ia segera menetapkan hatinya dan berkata,

"Aku memang mempunyai seorang saudara yang sama benar mukanya dengan aku. Di mana dia sekarang ?"

'Kami tidak tahu, Sim ciangkun. Mungkin masih di dalam kota. la amat lihai…dan....dan dia sengaja melepaskan orang she Phoa itu !"

'Sudahlah jangan banyak cakap, dan jangan mencampuri urusanku." Tiong Kiat membentak sehingga lima orang tentara itu cepat-cepat meninggalkan perwira yang mereka segani ini.

Tiong Kiat menggigit-gigit bibirnya, kebiasaan yang dilakukan apabila ia sedang gelisah. la merasa malu terhadap kakaknya, karena lagi-lagi kakaknya mendengar tentang perbuatan yang tidak patut, bahkan kakaknya pula yang hampir saja menjadi korban.

Tadinya ia hendak membanggakan kedudukannya kepada Tiong Han, hendak memperlihatkan kepada kakaknya itu bahwa betapapun juga, dia kini telah memiIih jalan baik dan terhormat, telah menjadi seorang perwira pembela nusa bangsa.

Akan tetapi, apa yang didapati oleh Tiong Han ? Baru saja muncul di dekat benteng telah diserang oleh orang she Phoa itu karena orang she Phoa itu marah dan menaruh hati dendam kepadanya !

Tiong Kiat teringat betapa ia telah mempermainkan anak gadis she Phoa itu sehingga gadis itu mengandung. Karena malu dan mendapat kenyataan bahwa Tiong Kiat tidak mau mengawininya, gadis itu lalu membunuh diri dengan menggantung diri di dalam kamarnya. Tiong Kiat sudah mendengar betapa ayah dari gadis itu amat marah dan mengancam hendak menyerangnya apabila bertemu.

Oleh karena itu, jarang sekali Tiong Kiat pergi ke kota itu, takut kalau kalau orang she Phoa itu menimbulkan ribut yang akan memalukannya saja. Dan tidak disangkasangkanya sekarang orang she Phoa itu bertemu dengan Tiong Han dan menyerangnya! Ah, alangkah akan marahnya Tiong Han, kakaknya yang baik budi itu. Dan Tiong Kiat menjadi amat kecewa terhadap diri sendiri. Mengapa aku tak dapat menahan nafsu jahatku? Mengapa aku tidak bisa menjadi sebaik dia ?

Sudah terlambat, pikirnya. Langkah pertama telah membawanya ke jalan sesat, yakni ketika ia mengadakan hubungan dengan sumoinya, Kui Hwa. Setelah itu, terpaksa ia melakukan perjalanan di atas jalan yang sesat. Ah, kalau saja bisa menjadi istriku .... ! ia mengeluh. Dengan nona itu disampingku, aku akan mendapat kekuatan baru, mendapat semangat baru dan aku berani menghadapi dunia dan mencari jalan baru yang baik.

Akan tetapi, kembali ia mengeluh sedih. Ia telah merusak kebahagiaan sendiri, ia telah melenyapkan kemungkinan dan pengharapannya untuk dapat menjadi suami dari seorang gadis seperti Suma Eng.

la telah menyakiti hati gadis itu, bahkan kini gadis itu telah menjadi pembantu dari Piloko, telah menjadi musuhnya ! Ah, ia mau menukarkan apa saja, bahkan kedudukannya sebagai perwira, bahkan mengurangi usianya, asal saja ia dapat bersatu dan berbaik dengan Suma Eng yang berada di puncak gunung, tempat suku bangsa Cou bertahan itu !

Demikianlah, pikiran Tiong Kiat melamun dan melayang-layang tidak keruan. Selagi ia duduk bertopang dagu, ia dikejutkan oleh Oei Sun dan Go-bi Ngo koai tung yang datang dengan tiba-tiba. Oei Sun berkata.

"Saudaraku yang baik, mengapa kau melamun saja ? Di luar telah menanti kakakmu. Ah, hampir saja aku dan Ngo-wi suhu ini tidak percaya akan pandangan mata sendiri. Kakakmu itu begitu sama dengan kau !”

"Benar, Sim ciangkun, memang aneh sekali. Belum pernah pinto melihat persamaan muka dan bentuk badan seperti kau dan pemuda yang menantimu di luar itu." Kata Thian lt Tosu. Juga tosu yang lain, Thian Ji Tosu dan adik-adiknya, ikut menyatakan keheranan mereka.

"Akan tetapi, agaknya dia tidak mempunyai maksud yang baik, Sim ciangkun.” kata Thian Ngo Tosu, orang termuda dari Go-bi Ngo koai-tung.

Tiong Kiat memandang kepada enam orang itu dengan tajam, lalu berkata sungguhsungguh."Betapapun juga, dia adalah kakakku, orang yang gagah perkasa dan baik, jauh lebih baik daripadaku. Oleh karena itu, apa pun yang terjadi antara dia dan aku, kuharap Iak-wi jangan ikut campur. "

Oei Sun dan kawan-kawannya saling pandang, kemudian panglima pemberontak ini berkata sambil tersenyum. ”Siapa yang hendak mencampuri urusan dua orang kakak beradik? Apalagi dua orang saudara kembar seperti kau dan saudaramu itu, Sim ciangkun. Asal saja dia tidak akan mengganggumu."

Tiong Kiat lalu bertindak keluar dan betul saja, Tiong Han sudah berdiri di luar pintu gerbang benteng, berdiri dengan sikapnya yang keren, tenang, dan juga gagah.

Di luar tahu semua orang, baik Tiong Han maupun Tiong Kiat merasai keharuan besar di dalam dada masing-masing ketika keduanya saling pandang. Hubungan darah mereka masih terlampau dekat sehingga tak mungkin dapat dilenyapkan oleh watak dan keadaan yang berlainan jauh sekali itu.

"Han-ko. ! Sampai begini jauh kau masih mencariku juga?" pertanyaan dari Tiong Kiat ini mengandung penyesalan besar dan juga mengandung teguran mengapa kakaknya itu tidak menaruh kasihan kepadanya.

"Tiong Kiat, sampai ke ujung nerakapun aku akan mencarimu, karena aku sudah bersumpah akan membawamu kembali ke Liong San." Jawab Tiong Han dengan suara tenang akan tetapi perlahan karena ia kuatir kalau-kalau suaranya yang mengandung keharuan itu akan terdengar oleh adiknya.

"Han-ko, kau terlalu sekali! Apakah kau tidak mau memberi kesempatan kepada adikmu sendiri untuk merobah kehidupannya? Aku memang pernah melakukan kesesatan, akan tetapi kaulihatlah, Han-ko." Tiong Kiat menunduk dan memandang ke arah pakaiannya dan mencoba tersenyum ramah kepada kakaknya. "Lihatlah, bukankah adikmu gagah sekali memakai pakaian perwira ini? Han-ko, berilah kesempatan kepadaku. Aku hendak merobah hidupku, bahkan sudah kurobahnya. Bukankah aku sekarang sudah menjadi seorang baik-baik ? Menjadi seorang perwira yang mengabdi kepada negara ?"

Akan tetapi Tiong Han menggelengkan kepalanya dengan muka sedih. "Kau takkan berobah, adikku. Hanya pakaianmu saja yang berobah. Lupakah kau kepada gadis anak pemilik toko obat? Kau takkan berobah, Tiong Kiat, sayang sekali !"

Merahlah wajah Tiong Kiat, mendengar disebutnya gadis ini. "Kau maksudkan orang gila she Phoa itu ? Ah, Han ko, dia adalah seorang yang miring otaknya, dan…"

"Tiong Kiat ! Miring otaknya atau tidak, sudah terang bahwa kau masih mengumbar nafsu jahatmu. Dan akupun tidak datang untuk mengurus perkara orang itu. Lebih baik kau ikut dengan aku, bertemu dengan suhu. Mungkin sekali suhu akan memaafkan kau, atau akan memberi jalan yang baik."

"Han-ko, sekali lagi, aku memohon kau menaruh kasihan kepada adikmu. Aku mengaku bahwa aku telah melakukan banyak dosa dan bahwa seringkali aku tak dapat mengendalikan nafsu yang menguasai diriku. Akan tetapi, Han-ko. Kalau kau membawaku kepada suhu, tentu aku akan dibunuh. Aku tidak takut mati. Han-ko... akan tetapi biarkanlah aku menebus dosadosaku dengan mati di medan pertempuran sebagai seorang pahlawan bangsa. Han-ko, kita adalah keturunan seorang pahlawan, seperti yang pernah dikatakan suhu, ayah kitapun seorang pahlawan dan aku…"

“Tutup mulut ! Jangan kau menyebut-nyebut nama ayah! Kau tidak berhak menjadi puteranya setelah kau mencemarkan nama keluarga dengan semua perbuatanmu yang terkutuk !” Tiong Han benar-benar marah, kemarahan yang timbul dari kesedihan hebat karena diingatkan kepada ayahnya. Semenjak kecil ia menjadi kakak, ayah dan ibu terhadap adiknya ini dan sekarang adiknya ternyata menjadi seorang jahat sekali dan ia sendiri mendapat tugas untuk membawanya untuk dihukum! Siapa yang takkan bersedih dan hancur hatinya ?

Tiong Kiat memang memiliki watak yang palsu. Sikap yang minta dikasihani tadi sebetulnya hanya setengah pura-pura saja. Ia hanya ingin menjaga agar kakaknya itu tidak melanjutkan niatnya menangkapnya dan suka pergi lagi dengan aman. Sebetulnya ia sama sekali tidak takut, bahkan ia merasa yakin bahwa ia akan dapat melawan kakaknya kini. Tidak percuma kitab ilmu pedang Ang-coa-kiamsut berada di tangannya sedemikian lamanya. Kini mendengar ucapan Tiong Han timbul juga marahnya. Nampaklah kini senyumnya senyum mengejek yang semenjak dahulu dimilikinya senyum jahat yang sudah dikenal baik

oleh Tiong Han.

"Han ko, kau memang sungguh terlalu! Kau mendesak padaku tanpa mengenal kasihan dan ampun. Sungguh percuma mempunyai seorang kakak seperti kau! Kau tidak tahu bahwa sebetulnya aku masih sayang kepadamu dan aku minta dengan baik-baik agar kau jangan mengganggu aku lagi. Han-ko, terus terang saja, sekarang kepandaian adikmu bukan seperti dulu lagi. Kau takkan menang bertanding ilmu pedang melawan aku dan selain dari pada itu aku adalah seorang perwira. Di dalam benteng ini terdapat ribuan orang perajurit yang akan mengeroyokmu atas perintahku belum lagi adanya perwira-perwira yang kepandaiannya bahkan tidak di bawah kepandaianku! Kau pergilah, Han-ko."

Akan tetapi kembali Tiong Han menggelengkan kepalanya. "Aku hanya mau pergi kalau kau suka ikut, Tiong Kiat. Dosamu telah terlalu banyak dan sudah menjadi kewajibanku untuk membawamu kembali kepada suhu, biarpun untuk tugas itu aku harus menggeletak tak bernyawa di sini aku takkan mundur setapakpun."

"Kau benar-benar keras kepala, Han-ko. Betapapun juga tentu saja aku masih berat nyawaku dari pada nyawamu. Nah, majulah, hendak kulihat bagaimana kau akan mengalahkan aku?" kata Tiong Kiat akhirnya sambil mencabut pedangnya yang berkilauan putih, yakni pedang Hui-liong-kiam yang dulu ia terima dari Tiong Han.

"Kali ini kau atau aku, Tiong Kiat!" kata Tiong Han yang cepat mencabut pedang Ang coa kiam.

Untuk sesaat keduanya saling pandang dengan harapan terakhir kalau-kalau saudaranya akan mengalah, akan tetapi setelah mereka yakin bahwa pandang mata masing-masing yang bernyala dan bersemangat itu, hampir berbareng keduanya lalu maju menerjang, menggerakkan pedang dengan hebat!

Sebentar saja, keduanya lenyap ditelan gelombang sinar pedang merah dan putih yang saling membelit. Bukan main hebatnya pertandingan antara dua orang murid terpandai dari Kim liong-san ini.

Sebetulnya kalau dinilai dari kepandaiannya mungkin Tiong Kiat masih menang tingkat. Memang pemuda ini lebih baik bakatnya dari pada kakaknya maka dengan kitab Ang coakiamsut berada di tangannya, ia telah mewarisi seluruh ilmu pedang itu dan gerakannya juga lebih lemas dan cepat dari pada Tiong Han. Akan tetapi, Tiong Han memiliki ketenangan dan tenaga serta semangatnya agak lebih menang. Hal ini bukan karena Tiong Kiat kurang melatih tenaga Iweekang dan semangat, melainkan karena pemuda ini banyak main gila maka tanpa disadarinya, tenaga Iweekangnya banyak melorot. Kemenangan dalam hal inilah yang membuat Tiong Han dapat mengimbangi permainan pedang adiknya yang benar-benar lihai itu.

Pertempuran sudah berjalan seratus jurus dan biarpun dengan pedang Hui-liong kiam Tiong Kiat sudah mulai dapat mendesak pedang Ang coa kiam di tangan kakaknya, namun napasnya mulai senin kemis dan peluhnya telah membasahi jidatnya.

Telah sejak tadi Oei Sun dan Go-bi Ngo-koai-tung berada di tempat itu menyaksikan pertempuran yang bukan main hebatnya ini. Mereka menonton bagaikan kena pesona karena sesungguhnya belum pernah mereka menyaksikan pertandingan pedang sehebat itu. Apalagi pedang yang dimainkan oleh sepasang saudara kembar ini mengeluarkan sinar putih dan merah sehingga nampak sekali kehebatan ilmu pedang itu.

Tadinya Oei Sun dan kelima orang pendeta itu tidak mau mencampuri urusan Tiong Kiat sebagaimana yang telah dipesan oleh perwira muda itu, dan ketika melihat betapa pedang Tiong Kiat mampu mendesak hebat lawannya, merekapun berdiri menonton saja dengan kagum. Akan tetapi ketika Go-bi Ngo koai melihat Tiong Kiat yang hampir kehabisan napas dan berpeluh, sedangkan lawannya masih tenang dan kuat, mereka mengerutkan kening.

"Lawan dari Sim ciangkun ini tidak boleh dibuat main-main. Kalau kita tidak membantu dan Sim-ciangkun roboh binasa, bukankah merupakan satu kerugian besar ?' kata Thian It Tosu kepada adik-adiknya. Mereka menyatakan setuju dan diam-diam Iima orang tosu ini mengeluarkan tongkat masing-masing, siap sedia untuk menyerbu.

Oei Sun mendapat sebuah pikiran baik. "Jangan bunuh dia…" katanya perlahan. "tangkap saja, siapa tahu kita akan dapat mempergunakan tenaganya pula!” Thian It Tosu mengangguk dan setelah memberi isarat kepada adik-adiknya mereka bersama lalu menyerbu dan tiba-tiba menyerang Tiong Han dengan hebat sekali.

"Ngowi totiang jangan membantuku !” Tiong Kiat masih mencoba untuk berseru keras lalu disambungnya "Jangan bunuh dia !"

Akan tetapi, kelima orang pendeta itu sudah bergerak dan serangan mereka yang dilakukan berbareng, ditambah serangan dari Tiong Kiat sendiri, membuat Tiong Han kewalahan sekali. Ia masih mencoba untuk memutar pedang merahnya guna membabat putus tongkattongkat itu, akan tetapi ternyata lima tongkat butut itu tidak dapat terbabat putus!

Tentu saja ia menjadi kaget sekali dan biarpun ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, menghadapi keroyokan ini ia amat terdesak dan keadaannya amat berbahaya.

'Ngowi totiang jangan celakai saudaraku !” Tiong Kiat masih mencoba untuk mencegah lima orang pendeta Pek Iian-kauw itu, akan tetapi terlambat karena Tiong Han melepaskan Ang Coa kiam dan roboh dengan tubuh lemas. Ia telah terkena totokan tongkat Thian It Tosu yang amat lihai.

"Pinto terpaksa merobohkannya, Sim ciangkun karena keadaanmu tadi amat berbahaya. Mana bisa kami mendiamkannya saja?" kata Thian It Tosu.

"Dan pula, apapun juga yang menjadi sebab pertempuran dan perselisihanmu dengan saudaramu, sebagai seorang gagah ia harus mengerti bahwa melawan seorang perwira berarti memberontak terhadap kaisar! Untuk perbuatannya ini ia harus dijatuhi hukuman militer !” kata Oei Sun kepada Tiong Kiat. Tiong Kiat menjadi pucat wajahnya. Ia menengok ke arah Tiong Han yang masih rebah tak dapat bergerak itu dan rasa iba memenuhi dadanya.

"Jangan, Oei ciangkun. Kuminta kepadamu, demi persahabatan kita, jangan kau menjatuhkan hukuman kepada kakakku ini. Ia memang keras hati akan tetapi…ia jauh lebih baik dari padaku. Harap kau suka ampunkan dan lepaskan dia…"

Oei Sun memungut pedang Ang coa kiam yang tadi terlepas dari tangan Tiong Han,

”Pedang bagus…!” katanya.

"ltu adalah Ang coa-kiam pedang pusaka perguruan kami." kata Tiong Kiat.

Oei Sun tercengang, lalu memberikan pedang itu kepada Tiong Kiat. "Jadi pedang inikah yang telah mengangkat namamu sehingga kau dijuluki Ang coa-kiam, Sim ciangkun? Kalau begitu, harus kau yang memiliki pedang ini."

Tiong Kiat menerima pedang itu dan tidak berkata sesuatu, hanya memandang kepada Oei Sun sambil mengharapkan keputusan tentang kakaknya.

"Saudara Sim, biarpun kakakmu sudah melakukan pelanggaran dan dengan mengacau di depan benteng berarti ia telah menghina aku dan pasukanku, akan tetapi kalau saja dia suka membantu kita dan berbakti kepada negara, tentu dengan sukahati aku akan membebaskannya dari segala hukuman."

Tiong Kiat berpikir sejenak dan berserilah mukanya. Mengapa tidak ? Kalau Tiong Han dapat mengikuti jejaknya, menjadi seorang perwira, tentu hubungan mereka menjadi baik kembali dan ia tak usah takut menghadapi pembalasan dari fihak Kun lun pai atau musuhmusuh yang lain. Ia lalu menghampiri kakaknya dan cepat membebaskan totokan yang dilakukan oleh Thian It Tosu tadi. Tiong Han menggeliat dan setelah jalan darahnya pulih kembali, ia lalu melompat bangun, Tiong Kiat segera memeluknya.

"Han-ko, dengarkah kau tadi? suka mengampuni kesalahanmu, seperti aku. Han ko, marilah hidup baru di sini mengikuti

Oei ciangkun yang bijaksana dan budiman ini tidak saja bahkan ia bersedia mengangkatmu menjadi seorang perwira kita lupakan yang sudah-sudah dan kita bersama membuka jejak mendiang ayah kita!”

Tiong Han memandang kepada Oei Sun dan kepada lima orang pendeta yang merobohkan dia

tadi. la mencoba tersenyum, akan tetapi senyumnya pahit.

"Tak kusangka bahwa di dalam benteng terdapat pendeta yarg lihai dan tak pernah kukira pula bahwa orang-orang pemerintah suka mencampuri urusan pribadi orang lain. Sebuah tugas dari suhu yang diserahkan kepadaku saja sampai hari ini aku tak dapat memenuhinya, bagaimana aku dapat menerima tugas lain dari pemerintah? Tidak, Tiong Kiat jangan kau mencoba membujukku. Kalau kau suka ikut dengan aku ke Liong-san, mungkin kelak aku akan kembali ke sini untuk menghaturkan terima kasih kepada kawan-kawanmu ini, dan mungkin pula aku akan menggantikan kau mengabdi kepada negara !"

"Benar-benar keras kepala, Ngo wi totiang, tangkap saja dia, akan kuberi hukuman yang layak !" kata Oei Sun. Go-bi Ngo-koai tung bergerak, akan tetapi Tiong Kiat melompat dan mencegah mereka.

"Jangan…! Oei ciangkun, jangan tahan dan hukum dia ! Harap kau memandang mukaku !"

Oei Sun mengangkat pundaknya, "Kau terlalu lemah, Sim ciangkun. Biarlah memandang mukamu, aku maafkan dia. Akan tetapi pedangnya harus dirampas, jangan kau kembalikan kepadanya. Orang keras kepala seperti ini berbahaya sekali membawa pedang pusaka. Nah suruhlah dia pergi dari sini!"

Tiong Kiat memandang kepada kakaknya dan tak sampai hatinya untuk mengusirnya. Ia merasa kasihan sekali, akan tetapi yang dikasihani memandang tajam dan keras.

"Baik Tiong Kiat, kali ini aku mengaku kalah dan gagal. Akan tetapi, sekali aku telah bersumpah, aku tetap akan melanjutkan usahaku dan tugasku ini. Pasti akan datang saatnya aku membawamu kembali ke Liong san menghadap suhu !" setelah berkata demikian, Tiong Han memutar tubuhnya dan berlari pergi.

Malu, sedih, dan kecewa rasa hati Tiong Han setelah ia meninggalkan benteng panglima Oei. la telah gagal menangkap Tiong Kiat, bahkan pedang Ang coa kiam telah dirampas. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaikan seorang yang kehilangan semangat ia berjalan masuk keluar hutan, lupa lelah lupa lapar dan lupa tidur. Berhari-hari ia berjalan tak tentu tujuan. Ia maklum bahwa dalam hal ilmu pedang, sekarang Tiong Kiat sudah lebih pandai dari padanya. Untuk menghadapi Tiong Kiat seorang diri saja, sudah merupakan hal yang amat berat dan belum tentu ia akan dapat menangkan adiknya.

Apalagi sekarang keadaan Tiong Kiat amat kuat. Selain telah menjadi seorang perwira yang dilindungi oleh undang-undang dan tidak boleh diserang oleh orang biasa, juga disamping itu masih ada lagi orang-orang pandai seperti lima orang pendeta itu di dalam benteng yang selalu akan membantu Tiong Kiat. Bagaimana ia akan dapat menunaikan tugasnya ? Bagaimana ia akan bisa menangkan Tiong Kiat?

Tiong Han benar-benar merasa bingung dan serba salah. Kalau ia nekad menyerbu lagi

untuk menghadapi Tiong Kiat akan merupakan usaha yang sia-sia belaka, bahkan ia akan mendapat malu lagi. Untuk kembali kepada suhunya, ia tidak berani.

Ketika ia sedang berjalan dengan tubuh terasa lemas dan pikiran melayang jauh, tibatiba terdengar bentakan nyaring. "Bangsat muda, bagus sekali kau datang mengantarkan nyawa !”

Tiong Han terkejut sekali dan cepat mengangkat muka. Ternyata dihadapannya telah berdiri seorang nenek tua yang memandangnya dengan mata merah sekali. Nenek ini rambutnya telah putih, digelung ke belakang dan mukanya kelihatan galak sekali, apa lagi sepasang matanya yang mengeluarkan sinar berapi itu. Pakaiannya seperti pakaian pertapa dari kain putih yang kasar. Nenek ini berdiri dan memegang sebatang tongkat yang bengkak-bengkok dan kepalanya berbentuk aneh seperti kepala naga.

Tiong Han tidak mengenal nenek ini, akan tetapi melihat sikap dan pandang mata nenek yang luar biasa itu, ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan seorang yang pandai. Cepat pemuda ini lalu mengangkat kedua tangannya memberi hormat sambil berkata,

"Maafkan teecu kalau teecu tidak tahu dengan siapakah teecu berhadapan? Dan kesaIahan apa pulakah yang teecu lakukan sehingga membikin marah kepada suthay ?”

Mendengar ucapan yang sopan dan sikap yang ramah ini, nenek itu menjadi makin marah. "Bangsat bermulut manis! Dengan wajahmu yang tampan dan mulutmu yang manis itu agaknya kau telah menipu dan membujuk banyak wanita! Kedosaanmu telah bertumpuk-tumpuk, dan manusia macam kau ini amat berbahaya ! Tidak saja kau telah melempari nama perguruanmu dengan kotoran, bahkan kau juga membawa-bawa nama pemilik pedang Hui liong kiam yang telah kaucemarkan ! Hayo kaukeluarkan Hui liong kiam dan kaukembalikan kepadaku !"

"Suthai…maaf........teecu tidak membawa Hui-liong kiam…sudah teecu berikan…..." Tiong Han berkata gagap dan ia menjadi bingung sekali. Tak dapat ia menceritakan bahwa Huiliong kiam telah ia berikan kepada Tiong Kiat, dan iapun dapat menduga bahwa kembali nenek ini salah lihat disangkanya ia adalah Tiong Kiat. Akan tetapi anehnya, mengapa nenek ini tahu bahwa dia telah menerima pedang Hui liong kiam yang sudah lama diberikannya kepada Tiong Kiat? Siapakah nenek ini? Tiba-tiba teringatlah ia dan mukanya menjadi berseri.

"Ah, pernah Lui piauwsu bercerita tentang dia…" pikirnya, kemudian ia menjura lagi sambil berkata. "Apakah teecu bukannya berhadapan dengan Pat jiu Toanio Li Bie Hong yang ternama?"

Tiba-tiba nenek itu tertawa dan suara ketawanya merdu dan nyaring seperti suara ketawa seorang gadis muda. Akan tetapi tiba-tiba ia berkata dengan suara bentakan marah sekali.

"Orang jahat, jangan coba berpura-pura. Dulu aku masih memberi ampun kepadamu akan tetapi sekarang jangan harap lagi !" Dan sebelum Tiong Han dapat berjaga diri tahu-tahu tongkat yang panjang itu melayang dan menyambar ke arah kepalanya !

Tiong Han terkejut sekali. Sambaran tongkat itu biarpun masih jauh telah mendatangkan angin pukulan yang hebat sekali. Maklumlah dia bahwa sekali saja kepalanya terkena pukulan tongkat ini, nyawanya takkan dapat tertolong lagi. Ia cepat membuang diri ke belakang dan kemudian melompat menjauhkan diri. Akan tetapi ternyata bahwa Pat jiu Toanio telah berada dihadapannya tanpa ia ketahui kapan bergeraknya. Sekali lagi tongkat nyonya tua itu bergerak, kini menotok ke arah dadanya.

Tiong Han benar-benar merasa bingung, ia tidak mempunyai pedang lagi. Sedangkan seandainya Ang-coa kiam berada di tangannya juga tak mungkin ia dapat menangkan nenek yang gerakan tongkatnya luar biasa sekali ini, apalagi kini ia bertangan kosong.

Menghadapi serangan tongkat kedua ini kembali ia mengelak ke kiri akan tetapi sungguh tak disangka sama sekali karena tongkat itu tiba-tiba diputar dan kini yang berbentuk kepala naga itu menyerangnya dengan kecepatan yang tak dapat diduga. Sebelum Tiong Han dapat mengelak, tongkat itu telah mengenai bajunya. Akan tetapi Tiong Han bukanlah seorang pemuda yang hanya memiliki ilmu silat biasa saja. la telah digembleng hebat oleh Lui Thian Sianjin. Cepat ia mengumpulkan tenaga Iweekangnya ke arah paha kanannya yang disambar tongkat sambil membarengi menggunakan kedua tangan menyampok tongkat itu.

Ketika tongkat itu mengenai paha, tongkat itu membal kembali karena paha Tiong Han telah menjadi keras dan kuat seperti karet dan dibantu oleh sampokannya, tongkat itu terpental.

"Bagus, kepandaianmu tidak jelek, sayang watakmu kotor sekali!" Setelah berkata demikian Pat jiu toanio lalu memutar tongkatnya dengan cepat sekali. Berkali-kali Tiong Han minta agar supaya nenek itu suka mendengarkan bicaranya akan tetapi semua katakatanya tidak diperdulikan, bahkan didengarpun tidak oleh nenek yang sudah marah ini. Pat jiu toanio memang mempunyai watak keras dan aneh dan penjahat penjahat ia tidak mengenal ampun. Apalagi terhadap penjahat muda yang disangkanya Sim Tiong Kiat ini. Ia sengaja mencari-cari Tiong Kiat untuk diberi hukuman. Kemarahannya terhadap Tiong Kiat memuncak ketika ia bertemu dengan Lui Thian Sianjin dan mendengar keluh kesah orang tua ini, lalu mendengar sepak terjang Tiong Kiat yang jahat. Apalagi akhir-akhir ini ia mendengar betapa pemuda ini telab melakukan kejahatan dengan menggunakan pedang Hui liong-kiam! Ia merasa bertanggung jawab kalau pedang Hui-liong kiam sampai jatuh ke tangan penjahat.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah merampas pedang Hui liong-kiam dari tangan penjahat Sin-kiam Koai-jin Ang Kun, murid murtad dari Lui-kong-jiu Kong Kin Tosu, Pat jiu Toanio lalu memberikan pedang itu kepada seorang piauwsu yang gagah, yakni Lui Siong Te. Kemudian Lui-piauwsu ini yang tertolong oleh Tiong Han, lalu memberikan pedang itu kepada Tiong Han yang kemudian memberikannya pula kepada Tiong Kiat sebagai penukar pedang Ang coa kiam.

Pat jiu Toanio ketika mendengar bahwa pedang Hui liong-kiam dipergunakan oleh penjahat,

cepat mendatangi Lui piauwsu dan marah sekali. Kemudian ia mendengar bahwa pedang itu oleh Lui piauwsu diberikan kepada seorang muda she Sim yang gagah perkasa. Maka nenek ini lalu mengejar ke utara untuk mencari penjahat yang telah memakai pedang itu dan untuk berbuat jahat dan tak disangka-sangka ia bertemu dengan Tiong Han.

Betapapun tinggi kepandaian Tiong Han, menghadapi Pat-jiu Toanio yang kepandaiannya masih mengatasi Lui Thian Sianjin apa lagi bertangan kosong, tentu saja pemuda itu menjadi sibuk sekali. la hanya dapat menghindarkan diri dari serangan nenek itu selama dua puluh jurus saja dan pada jurut ke dua puluh satu, Pat jiu Toanio berhasil menotok pundaknya dan robohlah Tiong Han tanpa dapat bergerak lagi. Ia telah kena ditotok jalan darahnya dengan ilmu totok satu jari yang luar biasa dan lemaslah semua tubugnya seperti telah diloloskan semua urat-uratnya.

Pat jiu Toanio tertawa lagi. la pukul-pukulkan tongkatnya di atas tanah dekat kepala Tiong Han sehingga debu mengebul ke atas. "Hm, ingin sekali aku menghancurkan kepalamu dengan tongkat ini. Akan tetapi kau harus membuat pengakuan lebih dahulu di depan meja sembahyang, agar dosa-dosamu tidak terlalu berat dan rohmu tidak terlalu tersiksa."

Tanpa menanti jawaban, nenek ini lalu mengempit tubuh pemuda itu dengan tangan kirinya dan berlarilah ia secepat angin menuju ke dalam hutan. Setelah tiba di sebuah bio (kuil) kecil dan rusak, ia segera masuk dan melemparkan tubuh Tiong Han ke depan meja sembahyang yang telah dibersihkan orang dan telah dipasangi hio dan lilin.

Dengan menepuk pundak dan punggung Tiong Han, Pat jiu Toanio membebaskan pemuda ini. Tiong Han bangun dengan tubuh lemas.

"Hayo berlutut di depan meja sembahyang !" bentak Pat-jiu Toanio dengan suara keras dan bengis. Tiong Han hanya tersenyum lalu bangkit berdiri sambil berkata, "Pai jiu Toanio, biarpun aku telah kau kalahkan dan berada di dalam kekuasaanmu jangan harap untuk membuat aku menjadi ketakutan dan menurut saja sekehendakmu. Aku Sim Tiong Han tidak takut mati !"

"Bangsat sombong, berlutut kau !" kaki dari nenek ini dengan cara cepat dan luar biasa sekali bergerak melakukan tendangan berantai yang tepat mengenai belakang lutut Tiong Han. Pemuda ini merasa betapa tenaga kakinya lenyap dan terpaksa ia jatuh berlutut di depan meja sembahyang !

"Bangsat muda, jangan kau berani main-main di depan Pat jiu Toanio! Kau tidak tahu bahwa perbuatan ini kulakukan untuk menolong rohmu yang tersesat! Kalau aku tidak mengingat bahwa kau adalah murid Kim liong pai, apakah kau kira aku akan sudi melelahkan diri seperti ini? Kupecahkan saja kepalamu di dalam hutan dan habis perkara ! Hayo sekarang kau mengakui semua perbuatanmu yang jahat, semenjak kau melarikan diri bersama sumoimu dari Liong san sampai sekarang. Setelah itu kau harus minta ampun di depan meja sembahyang ini kepada Thian sehingga rohmu takkan terlalu disiksa di neraka ! Aku tidak menghendaki kau mati penasaran, lebih baik kau mati dengan penuh kesadaran bahwa kematianmu ini untuk menebus dosa !"

Akan tetapi biarpun tahu bahwa ia takkan terhindar dari kematian di tangan nenek yeng lihai dan galak ini, Tiong Han tetap tersenyum ketika berkata,

"Pat jiu Toanio, apakah kau menghendaki aku mengakui kebohongan di depan meja sembahyang ? lngat, kaulah yang berdosa kalau membohong, karena kau yang memaksaku!”

“Apa maksudmu ?" tanya nenek itu dengan sikap mengancam.

"Aku memang benar murid dari Kim liong pai, akan tetapi aku tidak pernah melakukan dosa-dosa yang kau sebutkan tadi."

"Bangsat, berani benar kau membohong ! Pengecut kau, berani berbuat tak berani bertanggung jawab? Manusia seperti engkau ini sudah seharusnya dibikin mampus!" Setelah berkata demikian, Pat jiu Toanio lalu mengangkat tongkatnya hendak dipukulkan ke arah kepala pemuda itu, adapun Tiong Han yang merasa bahwa melawan tiada gunanya lagi, hanya meramkan kedua matanya.

"Li suthai....„ tunggu…!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan dari dalam kuil bobrok itu muncullah seorang pendeta wanita yang masih muda dan berwajah cantik.

Pat jiu Toanio menahan tongkatnya dan Tiong Han cepat menengok. Pemuda ini membelalakkan kedua matanya memandang kepada pendeta wanita yang baru muncul itu. Hatinya berdebar keras karena pada penglihatan pertama ia mengira bahwa pendeta wanita yang muda dan jelita ini adalah Suma Eng! Akan tetapi setelah bertemu pandang, tahulah ia bahwa biarpun pendeta wanita ini cantik dan memiliki air muka hampir sama dengan Eng Eng, sesungguhnya bukan gadis gagah itu.

"Li Lan, mengapa kau menahanku membikin mampus penjahat ini?" tanya Pat-jiu Toanio dengan pandang mata tajam penuh tanya. "Apakah bimbinganku selama ini sia-sia belaka dan hatimu masih terisi oleh manusia jahanam ini?"

"Ah, tidak, tidak ! Harap jangan salah sangka, Li suthai! Teecu hanya ingin mencegah pembunuhan yang salah alamat. Ketahuilah, pemuda ini sama sekali bukan Sim Tiong Kiat !”

Pendeta wanita ini memang Li Lan, bekas kekasih Tiong Kiat yang disia-siakan dan kemudian dipungut murid oleh Pat jiu Toanio, Kalau lain orang dapat salah lihat dan mengira Tiong Han orang lain, tidak demikian dengan Li Lan. Wanita ini pernah mencinta Tiong Kiat dengan seluruh jiwa raganya, maka sekali lihat saja ia akan mengenal apakah pemuda itu Tiong Kiat atau bukan. Tadi ia sedang berlatih diri dan bersamadhi di dalam kamar di kuil itu, akan tetapi ketika mendengar bentakan bentakan Pat-jiu Toanio dan jawaban lemah dari Tiong Han, hatinya tertarik lalu ia melompat keluar.

Sekali pandang saja biarpun tadinya ia tertegun dan terkejut melihat persamaan rupa pemuda ini dengan bekas kekasihnya, ia tahu bahwa pemuda ini bukan Tiong Kiat dan bahwa gurunya telah salah lihat.

Pat-jiu Toanio menjadi terkejut, lalu marah ketika mendengar seruan Li Lan tadi. "Li Lan, jangan kau mencoba untuk menolong pengecut ini dari kematian. Mataku belum buta dan sekali mau melihat orang, aku takkan melupakannya lagi."

"Sungguh Li suthai, pemuda ini bukan Tiong Kiat !" kata Li Lan yang segera menghampiri Tiong Han sambil berkata,"Tiong Kiat pernah bercerita kepadaku bahwa ia mempunyai seorang saudara kembar, bukankah kau ini orangnya?"

Tiong Han masih saja tersenyum sedih dan biarpun ia tidak tahu siapa adanya gadis yang mukanya seperti Eng Eng ini ia dapat menduga bahwa gadis inipun tentu seorang bekas korban kebiadaban adiknya yang jahat.

"Kauwnio mengapa kau datang menghalangi Pat jiu Toanio yang hendak membunuhku? Biarlah ia membunuhku kalau memang dia percaya bahwa aku adalah orang yang dicari-carinya."

Pat jiu Toanio melompat dengan muka pucat. "Apa ?? Betulkah kau bukan Sim Tiong Kiat yang jahat itu ?”

"Pat jiu Toanio, tadi aku pernah menyebut namaku, akan tetapi agaknya kau terlalu marah sehingga tidak memperhatikan. Aku adalah Sim Tiong Han, kakak dari Sim Tiong Kiat yang kau cari-cari itu. Ketahuilah bukan hanya kau yang marah kepada adikku itu, bahkan aku sendiri telah lama mencari-carinya akan tetapi akhirnya bahkan menerima kekalahan dan hinaan daripadanya." Pemuda ini menarik napas panjang dengan muka muram.

Dengan tergopoh-gopoh, Pat-jiu Toanio lalu mengetuk kedua lutut Tiong Han untuk menyembuhkan pemuda itu.

"Aduh, maafkan aku yang sudah tua, anak muda! Jadi kau ini murid Lui Thian Sianjin yang mendapat tugas mencari murid murtad itu? Ada juga Lui Thian bercerita kepadaku, akan tetapi dia tidak mengatakan bahwa kau adalah kakak dari sikhianat itu dan bahwa mukamu sama benar dengan penjahat muda itu."

"Toanio, kami adalah saudara kembar, salahkah aku kalau muka kami bersamaan ?"

Pat jiu Toanio menghela napas berkali-kali, "Jadi kau telah bertemu dengan dia dan dikalahkan ? Karena itukah maka kau seperti orang nekad dan rela mati di bawah

tongkatku? Apakah kau sudah putus asa ?"

"Benar, Toanio. Tidak saja aku kalah, bahkan pedang pusaka Ang-coa kiam yang kubawa terampas pula dan agaknya selama hidupku aku takkan dapat menunaikan tugas yang dipercayakan oleh suhu kepadaku. Karena penjahat yang dikejar-kejar adalah adik kembarku sendiri bukankah hal ini akan menimbulkan anggapan bahwa aku sengaja tidak mau menyerang adikku ? Bahwa aku sengaja melindunginya?"

"Hm, jangan gelisah dan kuatir, orang muda. Aku sudah sampai di sini, tunjukkan saja di mana adanya adikmu yang jahanam itu. Aku yang akan menamatkan riwayatnya!"

"Tidak ada gunanya, Toanio. Tetap saja orang akan mengira bahwa aku melindungi adikku sendiri. Pula, penangkapan atas diri Tiong Kiat harus kulakukan sendiri, tidak boleh orang Iain. Betapapun juga, dia adalah adik kandungku, dan aku tidak rela melihat dia binasa di tangan orang lain."

Pat-jiu Toanio menggeleng-geleng kepalanya. "Kau orang muda yang aneh tapi jujur dan berbudi mulia. Sim Tiong Han, kalau kau ingin mengalahkan adikmu mengapa kau tidak minta belajar silat dari aku ?"

Tiong Han tertegun. Tak disangkanya bahwa nenek yang galak ini akan mau memberi pelajaran ilmu kepandaian kepadanya. Tentu saja ia menjadi girang dan cepat menjatuhkan diri berlutut.

"Kalau suthai sudi menolong teecu, tentu saja teecu akan merasa girang dan bersukur sekali."

Terdengar suara ketawa yang merdu dari nenek ini. "Anak lucu! Kalau gurumu melihat, tentu kau akan ditegur mengapa tidak dari tadi tadi minta belajar ilmu silat dari padaku. Dulu ketika aku masih seringkali mengadakan pertemuan dan mengobrol dengan gurumu tentang ilmu silat pernah kami mencoba kelihaian Ang coa kiamsut yang menjadi kepandaian pusaka dari Kim-liong pai. Pada waktu itu kira-kira dua puluh tahun yang lalu memang aku tidak dapat memecahkan bagian-bagian terakhir dari Ang coa-kiamsut yang lihai. Pada waktu itu, selain Hek-sin-mo orang aneh itu dan Lui-kong jin Keng Kin tosu tokoh dari Hongsan, tak seorangpun dapat mengalahkan atau memecahkan Ang-coa-kiamsut. Akan tetapi, selama ini aku mencari-cari dan akhirnya aku dapat menciptakan ilmu silat tangan kosong yang terdiri hanya dari dua belas jurus yang kunamai Kong jiu cap ji kun [Silat Tangan Kosong Dua Belas Macam). Biarpun hanya dua belas jurus, akan tetapi kalau kau dapat mempelajarinya dengan baik kurasa dengan tangan kosong kau akan sanggup menghadapi pedang di tangan adikmu itu!"

Tiong Han merasa girang sekali dan mulai saat itu juga ia mempelajari ilmu silat itu di kuil bobrok. Ternyata bahwa dua belas jurus pukulan itu ternyata mempunyai perkembangan yang Iuas sekali dan Tiong Han harus akui kehebatan ilmu silat ini. Selain ilmu silat ini, iapun menerima petunjuk-petunjuk tentang ginkang dari nenek itu sehingga ilmu meringankan tubuh dari Tiong Han makin maju saja.

Selama lima hari, terus menerus ia berlatih diri dan karena ia memang berbakat, dan telah memiliki dasar ilmu silat tinggi, dalam waktu Iima hari saja ia telah dapat mainkan Kong jiu cap ji-kun dengan amat baiknya.

Pada senja hari kelima, Pat jiu Toanio Li Bie Hong sengaja minta pemuda itu memperlihatkan ilmu silat yang baru dipelajarinya itu, ditonton pula oleh Li Lan yang sementara itu telah kenal baik dengan Tiong Han. Pendeta wanita ini amat suka kepada Tiong Han yang halus dan sopan santun dan diam-diam ia mengakui betapa jauh perbedaan antara Tiong Han dan Tiong Kiat. Tiong Han memenuhi permintaan gurunya yang baru dan ia berniat dengan bersungguh-sungguh, mengeluarkan segala gerak tipu dari dua belas jurus ilmu silat itu.

"Bagus, bagus, suci Bie Hong! Kong-jiu cap ji-kun yang kauciptakan ini benar-benar hebat dan kau mempunyai ahli waris yang benar benar cocok dan pantas mewarisi ilmu silat ini !" Ucapan ini dikeluarkan dan terdengar jelas, akan tetapi orangnya tidak kelihatan dan baru setelah gema suaranya lenyap, berkelebatlah bayangan hitam dan tahutahu di depan mereka berdiri seorang kate yang bermuka aneh dan berpakaian hitam seluruhnya !

IniIah Lui kong jiu Keng Kin Tosu, tokoh di Heng san yang berkepandaian tinggi sehingga mendapat julukan Lui kong jiu atau Si Tangan Geledek !

Usia orang ini sudah tua, akan tetapi wajahnya nampak berseri, tanda bahwa ia adalah seorang yang berwatak gembira. Semenjak dahulu ia memang menganggap Pat jiu Toanio sebagal saudara tua, bahkan ia selalu memanggil "enci" kepada nenek itu.

"Aha, Keng Kin Tosu, baru sekarang kau muncul ! Kukira kau akan bersembunyi di dalam gua menanti kematianmu setelah kau kecewa karena salah menerima murid." kata Pat-jiu Toanio yang kemudian berkata kepada Tiong Han dan Li Lan.

"Berilah hormat kepada susiok kalian. Dia ini jelek-jelek adalah Lui-kong Jiu Keng Kin Tosu, orang nomor satu dari Heng san yang mempunyai kepandaian jauh lebih tinggi dari pada aku sendiri !"

Li Lan tentu saja belum pernah mendengar nama ini, dan ia memberi hormat karena gurunya yang memperkenalkan. Akan tetapi Tiong Han sudah seringkali mendengar suhunya di Liongsan menyebut-nyebut dan memuji setinggi langit nama Keng Kin Tosu ini, maka dengan girang ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tosu kate itu.

Keng Kin Tosu mengangguk-angguk. Dengan tangan kiri ia menjambret baju pada pundak Li Lan dan sekali ia menarik, pendeta wanita muda ini tak terasa lagi terangkat bangun karena ada tenaga raksasa terasa olehnya menarik tubuhnya ke atas. Dengan tangan kanannya, tosu itu melakukan haI yang sama kepada Tiong Han, akan tetapi pemuda ini

yang maklum bahwa susiok yang aneh ini sedang mengujinya, lalu mengerahkan tenaganya, maka segera terdengar suara kain robek. Ternyata bahwa bajunya bagian pundak itu yang tidak dapat bertahan dan menjadi robek terbawa oleh jepitan dua jari kakek itu.

Keng Kin Tosu tersenyum dan kini ia tidak menggunakan jari tangan menjepit baju melainkan menggunakan semua jari jari tangan kanannya untuk memegang pundak Tiong Han dan ditariknya pemuda itu bangun. Kembali Tlong Han terkejut. Kalau tadi ia merasa tenaga raksasa menarik bajunya, sekarang ia merasa betapa tangan susioknya itu dingin seperti salju yang menempel dan menyedot pundaknya sehingga ia merasa pundaknya membeku! Cepat-cepat ia mengerahkan sinkangnya yang disalurkan ke arah pundak kanannya dan ketika ia merasa betapa tangan susioknya itu merupakan jepitan yang mencengkeram pundaknya dan menariknya ke atas dengan tenaga yang tak terkira besarnya, ia cepat mempergunakan tenaga Thi su-cui (Tenaga Gunung Baja) untuk memberatkan tubuh sehingga kedua kakinya seakan-akan berakar pada tanah!

Ketika tosu itu nampaknya tertegun dan menahan kembali tenaganya mengangkat, Tiong Han cepat mengalirkan Iweekangnya sehingga pundaknya yang masih tersentuh oleh jari tangan Keng Kin Tosu itu tiba - tiba menjadi lemas seperti kapas!

"Ha, ha, ha, bagus, bagus !" kata Keng Kin Tosu dan tiba-tiba sekali dua buah jari tangannya menekan, disusul pula oleh jari tangan kiri yang kini memegang pundak pemuda itu. "Bangunlah, anak muda yang gagah !” bentaknya. Tiong Han terkejut sekali karena betapapun ia mengerahkan lweekang, tetap saja jari-jari tangan kakek itu dapat menembus pertahanannya, dan sedlkit pencetan saja pada jalan darah di pundaknya, seketika itu juga buyarlah semua tenaganya dan dengan mudah tubuhnya terangkat ke atas ! Namun karena Tiong Han memang sudah berjaga-jaga dan terlatih baik, tubuhnya yang terangkat itu masih tetap berada dalam keadaan berlutut ! Lagi-lagi Keng Kin Tosu memuji. "Bagus sekali, sekarang awaslah tubuhmu akan terbanting !"

Sambil berkata demikian, orang tua ini menggerakkan kedua tangannya dan tubuh Tiong Han mencelat ke atas sampai dua tombak lebih ! Tiong Han terkejut sekali dan cepat ia mengerahkan ginkangnya, menggerakkan pinggang, dibantu oleh kaki tangannya, sehingga tubuhnya yang tadinya terlempar ke atas dengan kepala di bawah dan kaki di atas, kini dapat berjungkir balik dan ketika ia turun ke bawah, kedua kakinya seakan-akan tidak mengeluarkan suara sedikitpun juga !

"Ha, ha, ha, enci Bie Hong ! Ternyata kau pun telah memberikan ilmu Teng-peng touw itu kepada pemuda ini. Muridmu benar-benar hebat, enci !"

”Keng Kin, sayangnya dia bukan muridku yang betul." kata Pat-jiu Toanio sambil menghela napas, 'aku hanya menyerobotnya saja dan memberi tambahan ilmu silat karena merasa kasihan kepadanya. Dia ini sebetulnya adalah murid pertama dari Lui Thian Sianjin, si tua bangka dari Liong-san itu."

Sepasang alis yang masih hitam dari Keng Kin Tosu Si Tangan Geledek itu terangkat naik. "Aku mendengar tentang murid Lui Thian yang tersesat dan murtad, seperti halnya muridku si Ang Kun ! Bukan yang inikah?"

"Bukan, bukan, Keng Kin. Bukan yang ini melainkan adiknya. Kalau dia ini murid murtad yang kau maksudkan itu tentu dia sudah binasa di tanganku seperti yang terjadi dengan muridmu itu, Keng Kin !'

Tosu itu tersenyum pahit. "Memang tanganmu keras sekali terhadap orang-orang muda yang sesat, enci Bie Hong. Akan tetapi memang baik sekali. Siapakah pemuda ini dan bagaimana bisa kejatuhan bintang, menerima warisan ilmu darimu?”

Dengan singkat Pat jiu Toanio Li Bie Hong lalu menceritakan riwayat Tiong Han dan tentang kegagalannya menangkap Tiong Kiat adiknya yang murtad itu. Mendengar penuturan ini Keng Kin Tosu tergerak hatinya.

"Kasihan Lui Thian Sianjin, mengalami nasib yang lebih buruk dari padaku. Muridnya tidak saja jahat, bahkan mencemarkan nama baik Kim liong-pai yang telah diangkat tinggi oleb locianpwe Bu Beng Siansu. Lebih kasihan lagi pemuda ini yang harus menjadi algojo dari adik kembarnya sendiri. Memang begitulah kehidupan di atas dunia, anak muda isinya hanya penderitaan belaka. Akan tetapi kalau kau kuat imanmu, segala macam cobaan dan penderitaan itu sesungguhnya ada manfaatnya. Aku kasihan kepadamu dan merasa sudah menjadi kewajibanku untuk membantumu mengalahkan adikmu yang jahat itu. Agaknya akupun mempunyai beberapa macam kepandaian yang masih dapat menambah pengertianmu."

Tiong Han menjadi girang sekali dan cepat cepat ia menjatuhkan dirinya berlutut lagi di depan tosu kate yang aneh ini. "Banyak terima kasih teecu ucapkan atas kemuliaan buat suhu. Tentu saja teecu akan menerima petunjuk-petunjuk suhu dengan segala perhatian dan rasa sukur."

Demikianlah, kembali dengan tekunnya Tiong Han menerima latihan-latihan beberapa macam ilmu silat dari Keng Kin Tosu, dan seperti juga Pat jiu Toanio, Keng Kin Tosu memberi pelajaran dari ilmu silatnya yang paling tinggi. Pemuda itu menerima dua macam ilmu, yakni ilmu pukulan tangan kosong yang di sebut Pek Iui kong cianghwat (Ilmu Silat Sinar Geledek Putih) dan ilmu pedang yang disebut Kim kong.kiamsut (Ilmu Pedang Sinar Emas). Juga dua macam ilmu silat ini dapat dimainkan dengan baik sekali oleh Tiong Han setelah melatih diri selama tiga pekan saja!

Keng Kin Tosu menjadi amat girang dan setelah melihat pemuda itu menamatkan pelajarannya, ia segera memanggil Tiong Han dan di depan Pat jiu Toanio, ia berkata.

"Enci Bie Hong, ternyata murid kita ini tidak mengecewakan. Sebetulnya kedatanganku ini membawa berita yang amat penting, yang merupakan panggilan bagi kita untuk turun tangan. Akan tetapi setelah melihat murid kita ini, aku mendapat pikiran baik sekali. Sudah sepatutnya kalau dia yang mewakili kita untuk tugas penting ini."

"Keng Kin. jangan bicara seperti orang rahasia. Omonganmu seperti teka teki saja. Hayo jelaskan, apakah itu yang kau maksudkan dengan tugas penting?” Pat jiu Toanio mendesak

dengan tak sabar lagi.

"Aku mendengar berita dari seorang perwira bahwa kini terdapat panglima dengan barisannya yang amat besar jumlahnya sedang merencanakan pemberontakan! Hal ini berbahaya sekali karena pemberontak-pemberontak itu kabarnya bersekutu dengan orangorang Mongol di utara. Jendral Gak yang gagah perkasa itu kini memimpin pasukannya untuk menggempur dan mencegah pemberontak-pemberontak itu melakukan rencana mereka yang busuk. Oleh karena itu, kita harus membantunya dan sekarang tidak ada jalan yang lebih tepat selain menyuruh Tiong Han mewakili kita."

Pat jiu Toanio mengerutkan keningnya, "Sungguh menjemukan sekali penghianat itu. Siapakah gerangan panglima pemberontak itu? Bagaimana dia bisa bersekutu dengan bangsa asing untuk mencelakai negara sendiri? Sungguh tak tahu malu!"

"Aku tidak mendengar siapa namanya, hanya menurut berita, ada orang-orang Pek Iian kauw yang ikut menyokong gerakan itu."

"Apa! Jahanam Pek-lian kauw berani mengacau lagi! Ah, kalau begitu Tiong Han harus pergi. Mereka harus dibasmi !" kata-kata Pat jiu Toanio ini amat bersemangat sehingga diam diam Tiong Han menjadi kagum melihat betapa dua orang tua ini masih demikian gagah dan bersemangat membela negara.

”Tentu saja teecu bersedia untuk pergi melakukan tugas yang diperintahkan oleh jiwi suhu." kata Tiong Han.

"Memang seharusnya begitu, Tiong Han, jadi tidak percuma aku dan enci Bie Hong mewariskan kepandaian kami kepadamu. Soal adikmu itu biarlah ditunda dulu saja. Pertama karena adikmu adalah seorang perwira dan pada masa ini kita amat membutuhkan tenaga perwira-perwira pembela negara. Kedua, tugasmu pergi membantu Jenderal Gak ini jauh lebih penting daripada urusan pribadi. Setelah tugas ini selesai, barulah kau selesaikan urusan dengan adikmu yang jahat itu."

Tiong Han tidak berani membantah dan ia lalu mendengarkan perintah suhu kate yang lihai ini. la diharuskan menyusul barisan Jenderal Gak dan menawarkan bantuannya untuk menghancurkan barisan pemberontak dan menyampaikan pesan bahwa Lui kong jiu Keng Kin Tosu dan Pat jiu Toanio Li Bie Hong selalu memperhatikan perjuangan menghancurkan pemberontak ini dan siap untuk turun tangan sendiri apabila perlu!

Setelah menerima banyak nasihat, berangkatlah Tiong Han mencari Jenderal Gak dan barisannya. Mudah saja untuk mencari barisan jenderal Gak yang amat terkenal ini, dan beberapa hari kemudian ia disambut oleh jenderal Gak sendiri yang berkedudukan di lembkah Sungai Sungari. "Kebetulan sekali, saudara Sim, memang kami membutuhkan tenaga bantuan orang-orang gagah seperti kau ini. Aku girang sekali bahwa yang menyuruh kau datang membantu adalah Lui-kong jiu Keng Kin Tosu dan Pat-jiu Toanio yang sudah kukenal baik. Bahkan akupun mengenal baik suhumu Lui Thian Sianjin. pihak musuh mempunyai banyak sekali pembantu yang pandai dan kedudukan mereka amat kuat. Susahnya, dalam

waktu kacau ini, ada saja yang menjadi gangguan. Orang orang jahat pada muncul dan memancing ikan di air keruh. seperti halnya gerombolan Sorban Merah yang bersembunyi di dalam hutan sebelah barat itu. Benar-benar menjemukan! Mereka itu memang benar melakukan penyerbuan secara diam-diam terhadap fihak pemberontak, akan tetapi aku paling tidak suka dengan bantuan pasukan liar itu. Tanpa dipimpin, mereka itu bukan merupakan bantuan, bahkan mengacaukan rencanaku."

Tiong Han mendengarkan dengan sabar jenderal tua yang pandai bicara ini. Atau tetapi mendengar disebutnya Sorban Merah ia menjadi tertarik sekali.

"Siapakah yang menjadi kepala Sorban Merah ini, goanswe?"

"Siapa tahu? Gerombolan liar ini macam itu siapa yang perduli? Akan tetapi mereka itu benar-benar mengacaukan rencanaku. Sebetulnya aku memang sengaja memancing pasukan pemberontak agar terus bergerak ke selatan tanpa diganggu. Kalau mereka sudah menyeberangi Sungai Sungari barulah aku akan memotong jalan pulang mereka sehingga dengan leluasa kita boleh membasminya. Siapa tahu Sorban Merah gerombolan liar itu merusak rencana, melakukan serbuan-serbuan sendiri yang tidak berarti sehingga menimbulkau kecurigaan barisan pemberontak yang hendak bergerak ke selatan!"

'Mengapa tidak membubarkan mereka saja?'" tanya Tiong Han.

"Itulah sukarnya. Biarpun jumlah mereka tidak banyak namun ternyata rata-rata mereka memiliki ilmu golok yang lihai dan kalau digunakan kekerasan, amat tidak baik. Mereka bukan musuh dan kalau sampai terjadi pertempuran berarti kita mencari musuh baru. Ini tidak bijaksana sekali."

"Goanswe, maafkan kalau aku lancang. Akan tetapi, aku bersedia untuk menemui kepala mereka dan membujuknya agar supaya tidak bertindak menurut kehendak sendiri."

Gak goanswe memandang tajam. "Kau sanggup ?”

Tiong Han tersenyum. "Tentu saja, goanswe. Malahan, kalau tidak salah aku tahu siapa orang yang menjadi pemimpin mereka. Biarlah aku berangkat besok pagi-pagi dan dalam sehari saja aku akan sanggup membuat laporan yang memuaskan. Kedua orang guruku tidak percuma mengirim aku ke sini, Goanswe."

Jenderal itu tidak tersenyum, akan tetapi wajahnya yang nampak keren dan galak itu berseri, "Baiklah, besok pagi kau pergi dan sekarang mengasolah !"

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tiong Han sudah masuk ke dalam hutan sebelah barat perbentengan bala tentara jenderal Gak. Benar saja seperti keterangan yang ia

dengar sebelumnya, hutan itu amat luas dan liar di sana sini nampak gunung-gunung kecil yang menjadi benteng di pinggir Sungai Sungari yang lebar.

Beberapa kali Tiong Han melihat bayangan orang berkelebat di balik pohon yang besarbesar, akan tetapi ditunggu-tunggu tak seorangpun nampak muncul. Tiong Han tersenyum dan melanjutkan perjalanan, masuk makin dalam di hutan itu, bayangan-bayangan orang makin banyak, akan tetapi tetap saja tidak ada orang muncul. Matanya yang tajam dapat melihat betapa bayangan-bayangan itu benar-benar mengenakan Sorban Merah yakni ikat kepala terbuat daripada kain merah, dan pada pinggang mereka tergantung golok. Biarpun bayangan-bayangan itu berkelebat cepat dan ia hanya melihat sekejap mata saja namun ia telah dapat melihat dengan jelas. Hatinya makin berdebar. Tak salah lagi, melihat pakaian dan ikat kepala mereka orang-orang ini adalah anak buah dari sumoinya !

Bagaimanakah mereka yang dulu tinggal di Heng-yang ini bisa sampai di tempat ini? Dan bukankah sumoinya yakni Can Kui Hwa, dan suaminya, Siok Un Leng telah pindah ke kota raja?

Karena orang-orang itu main bersembunyi saja, dan ditunggu-tunggu tak juga ada yang muncul akhirnya Tiong Han menjadi hilang sabar.

“Perkumpulan Sorban Merah yang pernah kukenal biasanya terdiri dari orang-orang gagah. Akan tetapi yang sekarang berada di hutan ini mengapa begini pengecut tidak berani bertemu dengan orang ? Apakah yang sekarang ini Sorban Merah palsu ?”

Baru saja ia menutup mulutnya, dari depan, belakang, kanan dan kiri bersiutan bunyi anak panah yang menyambarnya dari balik pohon-pohon. Tiong Han menggeser kakinya sehingga keadaan tubuhnya berubah. Dengan gerakan ini ia dapat mengelakkan diri dari sambaran panah dari belakang dan depan. Adapun dua batang anak panah dari kanan kiri, dengan cara yang amat mengagumkan dapat ditangkapnya dengan kedua tangan !

Tiong Han mempergunakan tenaga jari-jari tangannya mematahkan dua batang anak panah itu yang lalu dilemparkannya ke atas tanah kemudian ia berseru Iagi.

"Aku datang untuk bertemu dengan pemimpin Sorban Merah, bukan untuk mencari permusuhan ! Beginikah caranya Sorban Merah menyambut datangnya tamu? Hayo keluarlah pemimpin Sorban Merah ataukah kalian menghendaki aku turun tangan ?" Ucapan ini sekaligus merupakan sesalan, bujukan, dan juga ancaman.

Tiba-tiba terdengar seruan keras dan sesosok bayangan hitam melompat keluar dari balik sebatang pohon besar. Setelah bayangan ini berada di depan Tiong Han, pemuda itu meIihat bahwa di depannya telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang berwajah galak dan gagah sekali. Orang ini berpakaian ringkas berwarna hitam dengan sorban warna merah darah dan golok besarnya tergantung di pinggang.

"Pemuda liar dari manakah berani sekali memasuki wilayah kami dan mengeluarkan omongan besar?” bentak orang bersorban merah ini.

Tiong Han tersenyum dan cepat memberi hormat sambil menjura. "Sahabat, aku adalah seorang utusan dari benteng Gak goanswe. Aku datang untuk bertemu dengan pemimpin dari Sorban Merah."

Orang itu memandang dengan mata curiga dan mulutnya menyeringai dengan mengejek. Ternyata ia tidak mau percaya akan keterangan Tiong Han.

“Kau? Utusan dari Jenderal Gak ? Siapa mau percaya obrolanmu ini ? Pakaianmu bukan seperti seorang perwira atau perajurit. Jangan kau mencoba membohongi aku!” Kemudian dengan sikap mengancam ia memandang tajam dan berkata, "Lebih baik kau mengaku bahwa kau adalah seorang mata-mata dari barisan pemberontak!”

"Kau benar-benar galak, sahabat. Sebaliknya, kau ini siapakah ? Apakah kau juga seorang anggaota Sorban Merah?" tanya Tiong Han sambil memandang ke arah sorban yang berwarna merah darah itu.

Sepasang mata yang lebar dari orang itu terputar bermata buta, aku adalah pemimpin pasukan Sorban mengurungmu! Aku adalah Louw Tek si Kerbau Besi, sekali anggaota pemberontak. Hayo lekas berlutut ketua kami !"

merah. "Anggauta biasa? Dengar, pemuda Merah yang pada saat ini telah orang yang telah menewaskan banyak kurantai dan kubawa menghadap kepada

Tiba-tiba Tiong Han tertawa geli. "Kukira pemimpin seluruh kesatuan Sorban Merah tidak tahunya hanya pemimpin pasukan kecil saja. Eh, Low twako, aku bukan seorang taklukan. Aku adalah utusan dari Jenderal Gak. Hayo jangan kau main-main dan lekas antarkan aku kepada ketuamu."

"Orang yang tidak mempunyai kepandaian tidak boleh dipercaya menjadi utusan Jenderal Gak dan sama sekali tidak patut menghadap ketua kami sebagai tamu. Kalau kau dapat menahan kedua kepalan tanganku, baru kau boleh menghadap sebagai tamu ketua kami." Sambil berkata demikian, Louw Tek memperlihatkan sepasang tinjunya yang besar dan kuat.

Tiong Han tersenyum, "Begitukah? Baiklah kau boleh mempergunakan kepalanmu yang seperti tahu lunaknya itu untuk memukulku sampai dua kali pukulan, akan tetapi kaupun harus dapat mempertahankan diri dari pukulan balasanku."

"Boleh !” Si Kerbau Besi menantang. "Siapa yang roboh, dia kalah !” Memang Louw Tek ini selain kasar dan jujur, juga mempunyai kesukaan berkelahi dengan siapa saja yang ditemuinya, dan sebelum dikalahkan, ia tidak akan dapat merobah sikapnya yang memandang ringan.

Tiong Han berdiri tegak dan mengangkat dada. "Pukullah sesuka hatimu !"

Sebelum memukul, Louw Tek memandang ke sekeliling lalu berkata dengan suara keras,"Kawan-kawan perhatikan baik-baik, kalian menjadi saksi. Kalau orang ini bermain curang, tentu dia mata-mata pemberontak dan lekas hujani anak panah!”

Kemudian ia menghadapi Tiong Han, memasang kuda-kuda dan berseru keras,"Awas pukulan !"

Kedua lengannya bergerak cepat dan "buk! Buk!!" dua kali kepalan tangannya bergantian jatuh di dada Tiong Han. Akan tetapi pemuda ini hanya tersenyum saja, sama sekali tidak mengejapkan mata menerima pukulan-pukulan itu. Tentu saja Si Kerbau Besi menjadi heran sekali.

"Sudah kaupukulkah? Ah, aku tidak merasa sama sekali."

"Pemuda sombong, coba kurasakan pukulan tanganmu yang seperti bubur itu !" kata Louw Tek dengan muka merah dan ia memperteguh kuda-kudanya, melambungkan perut dan dadanya sambil menahan napas !

Tiong Han menjadi geli sekali. "Kau benar-benar seperti kerbau, bukan kerbau besi, melainkan kerbau tanah lempung! Awas, rebahlah !" Sambil berkata demikian, Tiong Han mendorong dada orang itu dengan kedua tangannya sambil mengerahkan sedikit tenaga dalamnya. Louw Tek mempertahankan diri, akan tetapi sia-sia saja. Ia merasa seakan-akan diseruduk seekor gajah dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terpelanting ke belakang seperti sehelai daun kering tertiup angin !

Terdengar seruan marah dan dari balik pepohonan berlompatan keluar orang-orang bersorban merah yang jumlahnya tiga puluh orang lebih. Mereka ini mengurung Tiong Han dengan sikap mengancam, bahkan ada beberapa orang telah menghunus golok. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Mundur semua!”

Hebat sekali pengaruh bentakan ini, karena bagaikan disengat ular berbisa, orang-orang itu melompat ke belakang dengan terkejut, lalu berdiri dengan tegak dan sikap menghormat. Bahkan Louw Tek yang masih meringis-ringis kesakitan sambil mengurut pantatnya yang menimpa batu ketika terjatuh tadi, kini sudah berdiri tegak dengan sikap hormat.

Tiong Han menengok dan alangkah girangnya ketika ia melihat Kui Hwa dan Un Leng berlari mendatangi sambil tertawa-tawa. Di belakang mereka berlari pula sepasukan Sorban Merah yang diantaranya banyak sudah mengenal Tiong Han.

"Suheng…!” Kui Hwa girang sekali dan berlari-lari menghampiri kakak seperguruannya. Juga Un Leng menghampiri Tiong Han sambi1 tersenyum girang.

"Sumoi! Saudara Un Leng! Sudah kuduga akan melihat kalian di sini." kata Tiong Han dengan girang sambil memegang tangan Kui Hwa dan Un Leng.

Louw Tek dan yang melirik itu. "Sumoi, mereka bahwa berdisiplin,

kawan-kawannya berdiri bengong dan menjadi pucat, akan tetapi Tiong Han ke arah mereka berkata kepada suami istri pemimpin pasukan Sorban Merah anak buahmu benar-benar teliti sekali. Tidak mudah bagiku untuk meyakinkan aku tidak bermaksud buruk. Benar-benar kau mempunyai pasukan yang sumoi."

Bukan main girang dan bersukurnya hati Louw Tek dan anak buahnya mendengar ucapan Tiong Han ini.

"Pangcu (ketua), enghiong (orang gagah) ini adalah utusan dari Jenderal Gak!" kata Louw Tek kepada Kui Hwa. "Akan tetapi sebelum mempercayainya dengan membuta, saya telah mencobanya dulu, tidak tahu bahwa dia adalah suheng dari pangcu. Mohon maaf."

"Tidak apa, tidak apa. Lekas atur penjagaan dan biarkan kami bertiga bercakap-cakap di sini."

Setelah semua orang pergi, Kui Hwa lalu menuturkan kepada Tiong Han bahwa dia dan suaminya, Un Leng, telah pindah ke kota raja. Akan tetapi, ketika mereka mendengar bahwa ada barisan penjaga tapal batas utara memberontak, ia lalu bersama suaminya mengumpulkan semua bekas anggauta Sorban Merah dan membentuk pasukan untuk melakukan perang gerilya dan mengganggu barisan pemberontak itu.

"Dengan jalan ini aku hendak menebus semua kesalahan-kesalahanku yang dahulu twasuheng." kata Kui Hwa.

'Bukan itu saja, memang sudah menjadi kewajiban kita sebagai putera ibu pertiwi untuk mengabdi dan membela tanah air, mengusir pengacau-pengacau yang hendak merusak keamanan negara dan bangsa." kata Un Leng.

Tiong Han menjadi terharu sekali. "Kalian memang orang-orang yang baik dan pantas sekali menjadi suami istri. Akan tetapi, sumoi, mengapa kau dan suamimu tidak mau menggabungkan pasukanmu dengan pasukan pemerintah di bawah pimpinan Jenderal Gak ? Bukankah dengan persatuan, maka kekuatan akan menjadi lebih besar?”

"Siapa yang dapat mempercayai barisan pemerintah, suheng ? Barisan pemberontak yang

bergerak dari utarapun tadinya barisan pemerintah. Sesungguhnya, pada waktu sekarang ini sukar sekali untuk membedakan mana pemberontak dan mana pengawal negara yang setia !'

Tiong Han menghela napas, kemudian berkata,"Kata-katamu memang merupakan kenyataan yang amat pahit, sumoi. Akan tetapi, percayalah kepadaku bahwa Jendral Gak benar-benar adalah seorang panglima yang berjiwa besar dan setia kepada negara. Kalau tidak, masa kedua orang guruku menyuruh aku datang kepadanya ?" Setelah Tiong Han menuturkan riwayatnya secara singkat, Kui Hwa dan suaminya tidak membantah lagi dan berbondongbondonglah anggauta Sorban Merah yang jumlahnya lima puluh orang lebih itu berbaris mengikuti Tiong Han, Kui Hwa, dan Un Leng menuju ke benteng tentara pemerintah.

Tentu saja Jenderal Gak menjadi tertegun melihat betapa pemuda itu benar telah kembali pada senja harinya sambil membawa serta semua anggauta Sorban Merah. Akan tetapi ketika ia mendengar bahwa pemimpin pasukan gerilya ini bukan lain adalah sumoi sendiri dari Tiong Han, ia tertawa bergelak.

"Memang murid-murid dari Lui Thian Sianjin di Kim liong-pai ternyata gagah perkasa dan berjiwa patriot sejati. Hanya sayangnya aku mendengar bahwa ada juga murid dari orang tua itu yang murtad dan sesat."

"Murid itu adalah adik kembarku, Goanswe !" kata Tiong Han.

Jenderal Gak memandang tajam sekali dengan pandang mata penuh selidik, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, "Sesungguhnya aku sudah tahu akan hal itu, saudara Sim yang baik. Jawabmu yang singkat tadi, yang menyatakan pengakuanmu, sekarang melenyapkan keraguan hatiku. Tadinya aku curiga dan sangsi sebagaimana yang harus kulakukan sebagai seorang petugas yang berhati-hati. Aku curiga kepadamu, karena siapa tahu kalau-kalau kau tidak memihak kepada adik kandungmu sendiri? Nah sekarang kujelaskan bahwa adikmu yang jahat itu sekarang bahkan menjadi tangan kanan dari pemimpin pemberontak."

Hal ini sama sekali tidak pernah diduga-duga oleh Tiong Han, maka mendengar keterangan ini hampir saja ia melompat.

"Apa? Dan belum lama ini aku bertemu dengan dia dibenteng panglima Oei !"

"Justru Oei ciangkun atau Oei Sun itulah pemberontaknya ! Dia adalah bekas pemimpin Pek-lian kauw, sekarang mengadakan pemberontakan dengan bantuan Go bi Ngo-koai tung yang sesungguhnya dahulu adalah tokoh-tokoh Pek lian-kauw yang dikejar-kejar oleh pemerintah. Dan celakanya, sekarang adikmu sendiri, Ang coa kiam yang namanya terkenal itu menjadi pembantunya pula.

Ketika Tiong Han mengerling ke arah Kui Hwa, ia melihat adik seperguruannya ini hanya

duduk mendengarkan sambil menundukkan mukanya.

Jenderal Gak yang banyak pengalaman dalam hal peperangan dan memiliki siasat yang lihai, sengaja melakukan gerakan memancing yang disebut "memancing serigala memasuki perangkap". Ia hanya melakukan perlawanan kecil-kecilan saja terhadap barisan Oei Sun, dan pasukan-pasukan kecil inipun dipimpin oleh perwira-perwira rendahan, pertempuran dilakukan sambil mundur sehingga Oei Sun makin besar hati dan mengejar terus ke selatan.

Bahkan dengan sengaja Jenderal Gak lalu membuat pertahanan yang amat lemah di sebelah utara Sungai Sungari hanya terdiri dari seribu orang tentara. Di tempat itu, Jenderal Gak menyuruh orang-orangnya membuat perahu sebanyak-banyaknya untuk memancing Oei Sun. Ternyata pancingannya ini berhasil dan Oei Sun yang mendengar tentang pembuatan perahu ini, diam-diam merasa girang sekali.

"Jenderal Gak ternyata seorang yang bodoh." katanya sambil tertawa, "kita ingin menyeberang dan sekarang dia yang membuatkan perahu. Ha, ha, ha !" Juga Go bi Ngo koai tung tidak mempunyai dugaan buruk.

"Biarkan mereka membuat perahu sampai banyak dan cukup, baru kita datang merampasnya." kata Thian It Tosu.

Tentu saja percakapan mereka ini terjadi di luar tahunya Tiong Kiat yang masih belum sadar bahwa ia telah salah memilih tempat. Pemuda ini kurang memperhatikan keadaan kawan-kawannya, bahkan ia tidak memperdulikannya lagi. Yang penting baginya ialah bermain dengan Ang Hwa, memburu binatang bersenda gurau atau bermain pedang !

Kurang lebih tiga pekan kemudian, ketika perahu-perahu yang dibuat oleh orang-orang jenderal Gak sudah banyak, menyerbulah barisan yang dipimpin oleh Oei Sun sendiri. Karena barisan ini jauh lebih besar jumlahnya, juga karena barisan jenderal Gak sudah dipesan lebih dulu agar jangan banyak melakukan perlawanan dan mengundurkan diri melalui darat di sepanjang lembah Sungai Sungari sambil meninggalkan semua perahu, maka pertempuran tidak berjalan lama dan semua perahu telah dapat terampas oleh Oei Sun! Korban yang jatuh tidak banyak, karena memang pasukan-pasukan pembuat perahu itu tidak melakukan perlawanan gigih.

Demikianlah, dengan girang sekali pasukan-pasukan Oei Sun lalu mempergunakan perahuperahu itu untuk menyeberangi sungai dan mendaratlah mereka semua di pantai selatan dengan selamat. Dengan semangat penuh dan harapan besar Oei Sun lalu menggerakkan barisannya maju ke selatan ! Sama sekali Oei Sun tidak menduga tidak lama setelah barisannya menyeberangi Sungai Sungari, nampak pasukan-pasukan lain yang besar jumlahnya berkumpul dan membuat pertahanan di tepi sungai sebelah selatan. Inilah barisan-barisan yang sengaja disediakan oleh Jenderal Gak untuk menghadang jalan pulang dari barisan pemberontak itu apabila kelak dipukul mundur! Tiga hari kemudian, barulah barisan pemberontak yang jumlahnya telah meliputi sepuluh ribu orang itu menghadapi perlawanan hebat dari Jenderal Gak ! Nampak puluhan ribu tentara kerajaan berbaris menghadang perjalanan di sebelah selatan. Bendera kerajaan berkibar-kibar dan bendera besar yang bertuliskan huruf "Gak", amat megahnya berkibar di mana-mana, tanda bahwa

barisan-barisan itu berada di bawah pimpinan Jenderal Gak.

Melihat besarnya barisan musuh Oei Sun lalu membuat aba-aba berhenti dan pasukannya lalu diatur membuat pertahanan yang kuat. Akan tetapi tiba-tiba datang beberapa orang perajurit penyelidik yang dengan wajah pucat membuat laporan bahwa terdapat banyak sekali tentara musuh di belakang, di kanan dan di kiri. Pendeknya, secara tidak terduga sekali barisan mereka telah terkepung oleh barisan-barisan yang besar jumlahnya dari tentara kerajaan yang mengibarkan bendera Gak !

"Jahanam besar ! Jenderal Gak telah memancing dan memperdayai ! Kita harus melawan mati-matian dan memerintahkan membuat tenda-tenda dan sekitar tempat itu dikurung oleh penjaga-penjaga yang merupakan benteng penjagaan amat kuat.

Sementara itu, Tiong Han yang menyaksikan kelihaian siasat dari Jenderal Gak ini, merasa amat kagum. Ia mengerti bahwa memang dalam sebuah perang besar, tidak boleh terlalu menurutkan perasaan sendiri atau dipengaruhi oleh urusan pribadi. Kalau tadinya ia berlaku nekad dan menerjang benteng musuh untuk mencari adiknya, tentu siasat dari Jenderal Gak ini akan terancam bahaya dan musuh mungkin akan merasa curiga. Setelah keadaan musuh terkurung, ia lalu menghadap Jenderal Gak dan bertanya.

"Gak goanswe, mengapa tidak terus memukul hancur mereka saja ? Mau menanti apa lagi ? Aku sudah tidak sabar untuk segera membekuk adikku yang jahat !"

Gak goanswe tersenyum, "Saudara Sim, Pasukan-pasukan yang kita kurung itu tadinya adalah anak buah dari barisan kerajaan sendiri, jadi kawan-kawanku juga. Sekarang mereka diselewengkan oleh Oei Sun, mungkin dalam keadaan tidak sadar, atau dalam keadaan terpaksa. Mengapa mesti membasmi mereka semua ? Barisan-barisan itu merupakan tubuh dan ekor dari seekor ular. Ke mana saja kepalanya bergerak, tubuh dan ekor akan mengikutinya. Kalau yang menjadi biangkeladinya dapat dibasmi kurasa semua prajurit itu akan dapat diinsafkan dari kesesatan mereka. Buat apa harus bunuh-membunuh antara saudara dan kawan-kawan sendiri ?”

"Habis apakah yang akan dilakukan sekarang ? Apakah menanti sampai mereka mencari jalan keluar dengan kekerasan ?"

Jenderal itu menggeleng-geleng kepalanya. "Kita kurung mereka dengan rapat sampai mereka kehabisan ransum. Kalau mereka mencari jalan keluar, kita pukul mereka kembali lagi di dalam kurungan. Kita akan mengurung terus sampai mereka menyerah, yakni Oei Sun dan kaki tangannya."

"Jadi kita memberi syarat, yakni penyerahan diri dari Oei Sun dan kaki tangannya ?"

Jenderal tua itu mengangguk. "Dan kaulah yang akan menjadi utusanku !"

"Aku?"

"Ya, kaulah orangnya saudara Sim. Tidak ada utusan yang lebih baik daripada engkau sendiri. Kau pandai menjaga diri dan kalau seandainya mereka mengganggumu dan menahanmu, barulah aku akan turun tangan. Akan tetapi kurasa Oei Sun takkan begitu bodoh mengorbankan keselamatannya untuk mengganggumu seorang."

"Baik, Gak-goanswe. Akan tetapi…."

"Tentang adikmu ?”

"Ya, bagaimanakah kalau aku bertemu dengan dia ? Bolehkah aku turun tangan ?”

Gak-goanswe menggelengkan kepalanya. "Jangan saudara Sim. Hal itu hanya akan mengakibatkan pertempuran dan kedudukanmu sebagai utusan terancam. Utusan tidak boleh diserang dan juga tidak boleh menyerang fihak tuan rumah. Ingat, kita dalam keadaan perang, tidak boleh menurutkan nafsu hati mengurus urusan pribadi."

Tiong Han menarik napas panjang, "Baiklah, akan kuperhatikan baik-baik."

Demikianlah, setelah menerima pesanan-pesanan dari Gak-goanswe bagaimana harus bicara terhadap Oei Sun, pada pagi hari keesokan harinya Tiong Han berangkat. Ia mengenakan pakaian ringkas warna putih dengan leher baju biru, ikat kepala hijau muda. Ia tidak membawa senjata karena memang semenjak menerima gemblengan ilmu silat dari Pat jiu Toanio dan Lui kong-jiu tak perlu lagi ia mengandalkan bantuan senjata ! Yang dibekalnya hanyalah sehelai bendera putih yang bertuliskan huruf GAK dan dibawahnya bertuliskan huruf UTUSAN.

Dengan gerakan kaki ringan dan cepat sekali Tiong Han memasuki daerah terkepung. Markas dari Oei Sun terletak sedikitnya lima lie dari tempat kepungan dan untuk menuju ke markas kepala pemberontak itu, Tiong Han harus melalui daerah berhutan yang cukup liar. la berjalan sambil membayangkan bagaimana nanti penerimaan Tiong Kiat kalau bertemu dengannya. la masih sukar untuk dapat percaya bahwa adiknya itu kini telah menjadi pembantu kepala pemberontak.

Ia dapat mengenal watak Tiong Kiat. Memang benar semenjak kecil adiknya ini nakal, mudah marah, akan tetapi gembira dan tidak licik. Harus diakui bahwa setelah dewasa Tiong Kiat mempunyai watak buruk dan mata keranjang akan tetapi adiknya itu diam-diam masih menjunjung tinggi ayah mereka. Sejak kecil Tiong Kiat begitu bangga nampaknya apabila membicarakan ayah mereka yang kabarnya dahulu menjadi panglima gagah !

"Tiong Kiat, Tiong Kiat…sekali ini aku tidak dapat mengampunimu…" keluhnya.

Ia maklum bahwa kalau sekali lagi bertanding, ia pasti akan dapat memukul mati adiknya itu, karena ilmu-ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari kedua orang gurunya yang baru memang khusus untuk memecahkan Ang-coa kiam.

la tahu dengan baik bagaimana harus mengalahkan Tiong Kiat, dan pukulan-pukulan yang dipelajarinya bukanlah pukulan biasa-biasa, melainkan pukulan-pukuIan maut yang takkan dapat ditahan pula oleh Tiong Kiat!

Ketika ia telah tiba di pinggir hutan dan puncak-puncak tenda barisan pemberontak telah nampak samar-samar, tiba-tiba ia mendengar suara orang berkelahi. Cepat Tiong Han lari ke tempat itu dan alangkah terkejut dan herannya ketika ia melihat tiga orang sedang berhadapan, yakni Eng Eng, Tiong Kiat, dan seorang nyonya cantik yang tidak dikenalnya! Bagaimana Eng Eng bisa sampai di tempat itu?

Marilah kita mengikuti sebentar perjalanan Eng Eng sebelum tiba di tempat itu yang membuat Tiong Han berdiri di belakang pohon sambil berdiri bengong saking herannya.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan Eng Eng bersama ayah angkatnya, yakni Piloko kepala suku bangsa Cou, turun dari gunung di mana seluruh keluarga Cou bertahan dari serangan orang-orang Ouigour dan lain-lain. Piloko mengajak anak angkatnya menuju ke kota raja untuk menghadap kaisar dan menyampaikan protes tentang bantuan tentara kerajaan yang menyerang orang-orang Cou membantu orang Ouigour bertindak sewenangwenang.

Tanpa banyak halangan kedua orang ini tiba di kota raja dan dengan mudah Piloko yang sudah dikenal itu diterima oleh Kaisar Tai Cung sendiri. Sebagai anak angkat Piloko, Eng Eng juga diperkenankan masuk menghadap kaisar sehingga gadis ini menjadi bingung dan sungkan-sungkan memasuki ruangan yang indah dan menghadapi keagungan kaisar itu.

Akan tetapi, apa yang mereka dengar dari kaisar benar-benar merupakan guntur di siang hari. Dari kaisar, Piloko dan Eng Eng mendengar tentang pemberontakan Oei Sun dan bahwa tentara kerajaan yang membela Huayen-khan itu sebetulnya adalah pemberontak-pemberontak yang bersama Huayen-khan merencanakan penyerbuan ke kota raja!

Akan tetapi kaisar menghibur mereka sambil menyatakan bahwa kini barisan besar yang dipimpin oleh Gak goanswe telah mulai bergerak untuk menghancurkan pemberontak itu berikut tentera yang dipimpin oleh Huayen-khan. Bahkan dianjurkan kepada Piloko untuk menggabungkan anak buahnya dengan Gak goanswe untuk bersama-sama memerangi para pemberontak dan orang orang Ouigour.

Piloko keluar dari istana kaisar dengan hati lega ternyata bahwa kaisar tidak memusuhi

bangsanya. Akan tetapi Eng Eng keluar dengan hati panas sekali. Kebenciannya terhadap Tiong Kiat memuncak setelah ia mengetahui bahwa pemuda yang dibencinya itu ternyata adalah seorang pemberontak.

Ia minta kepada ayah angkatnya agar supaya pulang lebih dulu, karena ia hendak menyusul Jenderal Gak dan hendak membantunya menghancurkan pemberontak. Pertemuan Eng Eng dengan kaisar membangunkan semangatnya, demikian katanya kepada Piloko. Padahal yang benar merupakan dorongan kepadanya ialah keinginannya hendak membalas dendam kepada Tiong Kiat dan ia merasa kuatir kalau-kalau ia didahului oleh orang lain !

Kalau sampai barisan pemberontak itu dapat dihancurkan oleh Gak goanswe dan Tiong Kiat binasa dalam perang, bukankah ia selamanya akan merasa kecewa tidak dapat membalas orang itu dengan kedua tangannya sendiri? Piloko tidak merasa keberatan sungguhpun ia merasa menyesal tidak dapat mengawani anak angkatnya itu karena keluarga-keluarga Cou di atas bukit itu harus dilindunginya, maka berangkatlah Eng Eng menuju ke utara terus mencari barisan-barisan dari Jenderal Gak. Ketika ia melihat dan mendengar betapa barisan pemberontak itu telah terkurung di sebelah selatan Sungai Sungari, ia menjadi girang sekali.

Tentu Tiong Kiat berada di dalam daerah terkurung itu, pikirnya. Lebih baik aku mendahului Jenderal Gak, sebelum pemberontak diserang dan dihancurkan, aku lebih dulu memasuki daerah terkurung untuk mencari jahanam itu!

Dengan pikiran ini, Eng Eng lalu mempergunakan kepandaiannya di waktu malam gelap ia menerobos masuk ke dalam daerah kepungan tanpa dapat terlihat oleh para penjaga yang mengepung daerah itu.

Gadis yang berani ini lalu melewati malam di dalam hutan dan begitu malam gelap telah terusir pergi oleh sinar pagi, ia lalu keluar dan hutan untuk mulai usahanya mencari Tiong Kiat.

Memang sudah menjadi kehendak Thian bahwa hari itu harus terjadi peristiwa besarbesaran. Dengan cara kebetulan sekali, pada pagi hari itu Huayen-khan dan Ang Hwa naik kuda memasuki hutan itu berdua saja. Eng Eng segera bersembunyi dan diam-diam menghampiri mereka ketika kedua orang ini menahan kuda dan turun lalu bercakap-cakap di bawah pohon-pohon yang rindang.

"Ang Hwa, ternyata Oei Sun yang tolol itu telah membawa kita kepada kehancuran ! Seluruh barisan telah terkurung. Kita harus berdaya untuk melepaskan diri, isteriku.”

"Enak saja kau bicara. Bagaimana kita bisa melepaskan diri dalam keadaan terkurung seperti ini? Paling baik kita berusaha sekuat tenaga untuk membantu Oei ciangkun mencari jalan keluar!"

"Bodoh! Mana bisa kita melawan Gak goanswe? Tidak tahukah kau bahwa Gak goanswe memiliki kepandaian tinggi dan para perwiranyapun gagah perkasa? Lebih baik begini, Ang Hwa, aku dan kau diam-diam melarikan diri dan menyerah kepada Gak goanswe?"

"Tentu saja kita akan dihukum sebagai pemberontak."

"Belum tentu. Kita bisa menggunakan alasan bahwa kita telah dibodohi oleh Oei Sun dan tokoh-tokoh Pek lian kauw itu."

Sebelum Ang Hwa menjawab, berkelebat bayangan biru dan tahu tahu Tiong Kiat telah berdiri di hadapan mereka! Wajah pemuda ini membuat Huayen khan memandang pucat.

"Pengkhianat, apa katamu tadi?" pemuda ini membentak. Ternyata bahwa kepandaiannya yang tinggi membuat kedatangannya tidak diketahui oleh Huayen khan dan Ang Hwa. Tentu saja Eng Eng yang masih bersembunyi dapat mengetahui kedatangan pemuda ini dan hatinya berdebar keras. Ingin sekali ia melompat keluar dan menyerang pemuda yang dibencinya ini, akan tetapi ia hendak melihat dulu apakah yang akan terjadi antara tiga orang itu. Ternyata bahwa sampai saat itupun Tiong Kiat masih belum sadar bahwa yang mengurung mereka adalah tentara kerajaan yang asli ! Menurut keterangan Oei Sun, yang mengurung adalah tentara Gak yang memberontak dan mereka menanti datangnya bala bantuan yang datangnya dari kota raja ! Dan tadi ia hanya mendengar sebagian saja ucapan Huayen khan yakni bagian di mana Huayen Khan menyatakan hendak menyerah kepada Jenderal Gak. Tentu saja ia menjadi marah sekali.

Ketika Ang Hwa melihat munculnya kekasihnya ini, ia cepat mendekati Tiong Kiat, merangkul lengannya dan dengan manja dan genit ia berkata,

"Tua bangka ini hendak mengkhianati kita dan hendak menyerah kepada musuh !"

Huayen khan tertawa bergelak dan kumisnya berdiri saking marahnya. "Perempuan busluk dan rendah !" makinya. Ia ingin mengeluarkan banyak kata-kata, akan tetapi hanya terengah-engah saking marahnya. Cepat ia mengeluarkan busurnya dan segera tersusul oleh suara menjepretnya lima batang anak panah ke arah Ang Hwa ! Tiong Kiat sudah maklum akan kelihaian anak-anak panah kepala suku Ouigour ini maka sejak tadi ia telah mencabut pedangnya. Sekali cabut ia telah mengeluarkan dua buah pedang, yakni pedang Ang coa kiam di tangan kanan dan pedang Hui-liong kiam di tangan kiri.

Di tempat persembunyiannya, Eng Eng menjadi pucat, ia mengenal pedang yang dulu dibawa oleb Tiong Han. Sekarang pedang ini berada di tangan Tiong Kiat. Apakah yang telah terjadi dengan Tiong Han??

Dengan sekali menggerakkan kedua pedangnya, semua anak panah dari Huayen khan dapat dipukul jatuh oleh Tiong Kiat yang tertawa menyindir. "Huayen-khan, kau benar-benar pengecut besar! Ternyata kau hanya pandai menggunakan anak-anak panah terhadap kawan

sendiri. Pengkhianat dan pengecut !"

"Orang she Sim! Kaulah yang pengecut dan manusia tidak tahu malu! Telah lama kau mempermainkan istri orang, apakah hal ini patut dilakukan oleh seorang gagah? Ha, ha, ha, manusia macam kau mau menganggap diri sebagai seorang gagah seorang patriot, seorang perwira…ha, ha, ha, seorang perwira? Sungguh lucu!" Ia menggerakkan kedua tangannya lagi dan menjepretlah gendewanya, melayangkan Iima buah anak panah lagi, ke arah Tiong Kiat dengan hebatnya.

Tiong Kiat yang menjadi amat merah mukanya mendengar makian dan ejekan tadi memutar kedua pedangnya dengan cepat dan setelah lima batang anak panah itu dapat diruntuhkan, ia lalu menyerbu ke depan sambil berseru,

"Huayen khan, manusia hina dina! Kubunuh kau, bangsat tua bangka!"

"Benar, Sim-taihiap, bunuh saja monyet tua ini. Aku sudah bosan melihat macamnya!” kata Ang Hwa yang juga menjadi merah mukanya.

Huayen khan kembali tertawa bergelak, mencabut golok besarnya dan melawan mati-matian. Akan tetapi memang ia bukan tandingan Tiong Kiat yang kini sudah memiliki Ang coa kiamsut seluruhnya. Baru belasan jurus saja Huayen khan tak kuat melawan lagi dan ketika Tiong Kiat menyerangnya dengan gerak tipu Ang coa kan goat (Ular Merah Mengejar Bulan) terdengar teriakan ngeri dan Huayen khan roboh mandi darah dengan ulu hati tertembus pedang Ang coa kiam!

Kepala suku bangsa Ouigour ini tewas pada saat itu juga, menjadi korban daripada keserakahannya sendiri hendak menguasai Tiong kok dengan mengorbankan istrinya sendiri menjadi permainan orang!

Ang Hwa menjadi girang sekali dan nyonya muda yang cantik ini lalu memeluk dan merangkul leher Tiong Kiat, dan diciumnya muka pemuda itu dengan penuh kasih sayang.

"Koko yang baik, sekarang aku bisa menjadi isterimu !” katanya dengan manja dan genit.

Pada saat itu, Eng Eng yang sudah tak dapat menahan sebalnya menyaksikan peristiwa yang amat rendah itu, melompat keluar dengan pedang di tangannya.

"Iblis bermuka manusia, orang she Sim, di sinilah aku harus melenyapkan kau dari muka bumi. Manusia tak tahu malu, yang membunuh orang dengan kejam setelah bermain gila dengan istrinya ! Cih, di dunia tidak ada keduanya laki-laki macam kau yang bermoral bejat ini!”

Tiong Kiat tidak saja amat terkejut ketika melihat Eng Eng muncul, juga dampratan gadis ini membuat ia menjadi pucat dan tertegun.

Ia menggerakkan pundaknya sehingga pelukan dan rangkulan kedua tangan Ang Hwa terlepas. Dengan muka merah Tiong Kiat berkata kepada Eng Eng.

"Ah kiranya Suma siocia! Aku ...... Jangan menyangka yang bukan-bukan, nona. Orang ini.... dia adalah Huayen khan yang hendak memberontak dan mengkhianati kawan-kawan sendiri. Dia hendak menyerahkan diri kepada pemberontak dan ......dan…" Tiong Kiat menjadi bingung dan gagap karena tiba-tiba teringat bagaimanakah nona Suma Eng ini bisa masuk ke daerah yang terkurung itu !

'Pandai saja memutar lidah ! Kaukira aku tidak mendengar semua yang diucapkan tadi ? Kaukira aku tidak tahu bahwa perempuan kotor ini adalah isteri dari orang yang kaubunuh itu ? Dan bahwa kau membunuhnya karena hendak merebut isterinya ? Dan bahwa kau adalah seorang pemberontak yang hina dina, seorang yang sepuluh kali lebih patut dihukum gantung ?”

Untuk sesaat Tiong Kiat tak dapat menjawab dan pada saat itulah muncul Tiong Han yang cepat menyembunyikan diri di belakang pohon dengan muka terheran-heran !

Ketika Tiong Han tiba di tempat itu, Tiong Kiat masih belum dapat menjawab dan pemuda itu masih memandang kepada Eng Eng dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Eng Eng sendiri dengan pedang di tangan, mukanya merah sekali dan matanya bersinar-sinar menyeramkan.

Adapun Ang Hwa masih berdiri dekat Tiong Kiat, karena nyonya ini terkejut sekali ketika tadi Tiong Kiat merenggut dan melepaskan tangannya yang memeluk leher pemuda itu.

Tiba-tiba Tiong Kiat berkata sambil menangkap tangan Ang Hwa. "Nona Suma.......sungguh mati, perempuan ini tidak ada artinya bagiku! Di dunia ini....... hanya kau seorang yang boleh memenuhi ruang hatiku. Perempuan ini......? Hm, dia bukan lain adalah seorang perempuan lacur yang hina dina. Aku membunuh Huayen khan karena dia seorang pengkhianat, sama sekali bukan karena perempuan ini!"

Ketika Tiong Kiat melihat betapa Eng Eng tersenyum menghina dan mengejek, ia menyambung kata-katanya.

"Kau tidak percaya? Lihat, perempuan ini sesungguhnya bukan apa-apa bagiku!” Dan secepat kilat Tiong Kiat menggerakkan Ang coa kiam dan sebelum Ang Hwa yang semenjak tadi mendengarkan ucapan Tiong Kiat dengan wajah pucat dan mata terbelalak itu dapat mengetahui gerakan pemuda ini, pedang Ang coa kiam di tangan Tiong Kiat telah membabat

lehernya!

Ang Hwa tak sempat mengeluarkan sedikitpun suara dan tubuhnya roboh tergelimpang di dekat mayat suaminya dalam keadaan tak bernyawa lagi dan lehernya hampir putus !

"Bangsat she Sim! Jangankan baru kau membunuh anjing betina ini yang sama kotornya dengan engkau, biar kau membunuh ayah bundamu sendiri dihadapanku tetap saja kebencianku terhadapmu takkan berkurangl Kau harus mampus !"

"Suma Eng... sungguh kau kejam dan keterlaluan! Kau tahu bahwa aku cinta kepadamu. Aku telah merobah hidupku, lihat, bukankah aku telah menjadi seorang perwira kerajaan ? Bukankah aku telah memilih jalan yang benar ? Mengapa kau masih saja membenciku ? Eng Eng, lupakanlah urusan dahulu dan berilah kesempatan kepadaku untuk menebus dosa. Katakan bahwa kau suka menjadi istriku, dan aku akan menurut apa saja yang kau kehendaki."

"Bangsat rendah bermulut kotor ! Jangan kau berani sebut-sebut hal itu lagi. Kau telah mencemarkan nama orang tuamu, nama perguruanmu, bahkan kau telah mencelakakan kehidupan kakakmu yang amat berbudi dan mencintaimu, kau........ kau manusia rendah....!"

"Ha, agaknya kau lebih suka kepada kakakku dari pada kepadaku ?" pertanyaan Tiong Kiat ini terdengar penuh cemburu sehingga Tiong Han yang mendengarkan percakapan itu merasa mukanya panas dan warna merah menjalar dari leher ke mukanya. "Tutup mulutmu ! Dia seribu kali lebih berharga dari pada engkau ! Untuk menggosok sepatunya saja kau masih terlalu kotor, jangankan menjadi adiknya, tahu?"

"Eng Eng kau terlalu…"

"Siapa yang terlalu ? Kau seorang rendah, seorang hina dan sekarang menjadi pemberontak pula!"

"Pemberontak ? Apa maksudmu ? Eng Eng kalau orang sudah membenci, selalu buruk saja pandangannya. Aku bukan pemberontak, aku bahkan melawan pemberontak she Gak itu dan…"

"Bangsat lihat pedang !" Eng Eng tidak sabar lagi dan cepat menyerang dengan pedangnya. Ucapan Tiong Kiat tadi dianggapnya sebagai bujukan belaka. Mana bisa jenderal Gak disebut pemberontak ??

Tiong Kiat menangkis dengan pedang Hui liong-kiam di tangan kirinya. Dengan dua batang pedang di tangan, ia selalu menghindarkan diri dari serangan gadis itu yang mendesak dengan hebat.

Diam-diam Tiong Han memuji kepandaian adiknya itu. Tiong Kiat dengan kedua tangan memegang pedang, sanggup memainkan Ang coa-kiamsut dengan dua pedang itu !

"Sungguh benar kata-kata suhu dulu bahwa dia memang berbakat sekali." kata Tiong Han dalam hatinya. Ia harus akui bahwa dia sendiri tak mungkin dapat mainkan Ang-coa kiamsut sekaligus dengan dua batang pedang. Akan tetapi, sekarang ia sanggup untuk menghadapi Tiong Kiat, biarpun dengan tangan kosong setelah ia digembleng oleh Pat jiu Toanio dan Lui-kong jiu. Melihat betapa Eng Eng tak mungkin dapat merobohkan Tiong Kiat yang menangkis sambil mundur, agaknya hendak memancing gadis itu ke arah markas besar Tiong Han lalu melompat keluar.

"Tahan dulu !” katanya lalu tahu-tahu tubuhnya telah berada di depan Tiong Kiat. Ia hendak mempraktekkan gerakan Lutung Sakti Memetik Buah yang ia pelajari dari Pat jiu Toanio untuk merampas pedang.

Tiong Kiat mencoba untuk menarik kembali pedang di tangan kirinya, akan tetapi ternyata kalah cepat, ia hanya mengerahkan tenaganya dan memegang pedang Hui-liong kiam itu erat erat karena kalau sampai pedang itu direbut, belum tentu lawan akan berhasil merenggutnya. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa Tiong Han mempergunakan ilmu silat baru.

Tiba-tiba ia merasa pergelangan tangan kirinya lemas dan otomatis pegangannya terbuka sehingga pedang itu tahu-tahu sudah pindah ke tangan Tiong Han !

Tiong Kiat terkejut dan heran, akan tetapi sifat sombongnya keluar dan sambil tersenyum-senyum ia berkata, "Ambillah, memang itu pedangmu!"

Sementara itu ketika melihat Tiong Han, wajah Eng Eng berseri sebentar, akan tetapi segera ia menghadapi segala gerak-gerik dari Tiong Kiat lagi, dengan marah sambil berkata kepada Tiong Han. "Aku yang mendapatkannya lebih dulu, maka aku yang hendak membunuhnya."

“Maaf, nona Suma, sekarang bukan waktunya untuk mengurus urusan pribadi. Aku datang sebagai utusan dari Jenderal Gak untuk melakukan pembicaraan dengan Oei Sun dan kaki tangannya.” Kemudian ia memandang dengan tajam kepada Tiong Kiat,

'Kau tentu kaki tangan Oei Sun pula, bukan?" Suaranya mengandung penyesalan dan juga ejekan, lalu disambungnya.

'Pergilah sampaikan kepada Oei Sun bahwa aku utusan Gak-goanswe sengaja datang untuk bertemu dan bicara !" Sambil berkata demikian, Tiong Han lalu mencabut sehelai kain putih yang merupakan bendera tanda utusan dari Gak goanswe.

Tentu saja Tiong Kiat memandang dengan mata terbelalak. Wajahnya menjadi pucat seperti melihat setan di tengah hari.

"Engko Tiong Han"

"Tutup mulut! Jangan menyebut engko, aku bukan saudaramu! Kau seorang perwira pemberontak dan aku seorang utusan dari tentara kerajaan ! Lekas kau melaporkan kedatanganku, ataukah aku sendiri harus masuk ke sana?” Ia menunjuk ke arah bayangan tenda di kejauhan.

Tiong Kiat menggigil seluruh tubuhnya.

"Apakah artinya ini?? Tiong Han…demi kehormatan ayah... demi Tuhan, katakanlah, apa artinya ini? Benar-benarkah Oei ciangkun memimpin barisan pemberontak, bukankah jenderal she Gak itu yang memberontak ?"

"Kebiasaan jahat mendatangkan pemandangan yang sempit dan jiwa yang hampa !" kata Tiong Han. "Entah kau berpura-pura atau tidak, akan tetapi sungguh amat lucu kalau tidak tahu bahwa Oei Sun yang bersekutu dengan Huayen-khan adalah pemberontak-pemberontak keji yang patut dibasmi! Sungguh menyebalkan mendengar orang berkata bahwa Jenderal Gak yang gagah perkasa adalah seorang pemberontak. Pemutarbalikan yang tidak kenal malu ! Siapa tidak tahu bahwa pemberontak Oei Sun adalah bekas tokoh Pek lian-kauw dan bahwa dia dibantu oleh lima orang bekas pemimpin Pek Iian kauw yang kini bernama Go bi Ngo-koaitung? Entah matamu yang buta, entah batinmu yang sudah tak dapat melihat lagi."

Makin pucat wajah Tiong Kiat mendengar ini dan bibirnya bergetar. Sukar sekali ia dapat mengeluarkan kata-kata, akan tetapi akhirnya dapat juga ia berkata,

"Tiong Han........ demi mendiang ayah kita…tidak bohongkah kau? Bersumpahlah..!"

"Aku bukan seperti kau, tak sudi berbohong dan tak perlu bersumpah."

Mendengar ini, terdengar isak tangis tertahan dari dada Tiong Kiat. la membantingbanting kaki beberapa kali kemudian membalikkan tubuh terus berlari secepat terbang menuju kepada tenda tenda yang terpasang di luar hutan.

"Bangsat hendak lari ke mana?" Eng Eng membentak nyaring dan mengejar, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang orang dari belakang. Ia menengok dan memandang kepada Tiong Han dengan heran.

"Eh, eh, saudara Sim. Mengapa kau memegang tanganku ? Apakah kau kembali hendak membela adikmu yang murtad itu?"

Tiong Han melepaskan pegangannya dan menggeleng kepalanya.

"Nona Eng Eng, jangan salah sangka. Aku hanya mencegahmu untuk mengejarnya oleh karena hal itu amat berbahaya. Baru Tiong Kiat seorang saja agaknya amat sukar kau menjatuhkannya, apalagi di sana masih banyak orang-orang kosen dan berkepandaian tinggi. Go-bi Ngo koai tung dan Oei Sun adalah lawan-lawan yang amat berat, kalau kau mengejarnya, bukankah itu sama saja dengan mengantarkan nyawa?"

"Kau perduli apakah, Saudara Sim ? Aku tidak takut mati." jawab Eng Eng sambil mengedikkan kepalanya.

"Aku tidak meragukan kegagahanmu, nona. Akan tetapi… aku tidak rela kalau kau mati begitu saja.... "

Wajah nona itu berubah merah, menambah kecantikannya yang amat menarik hati Tiong Han, "Apakah maksudmu? Apa hubungannya kematianku dengan rela atau tidaknya kau, saudara Sim?" Dengan jujur dan tajam mata pemuda itu menatap wajah Eng Eng, lalu disusul oleh kata-katanya yang jelas.

'Nona Suma Eng, terus terang saja, aku amat kasihan kepadamu, dan juga aku amat suka dan tertarik oleh kegagahan dan nasibmu. Selain itu, aku merasa ikut bertanggung jawab atas kejahatan adikku itu, maka…aku ingin sekali…menebus dosa adikku terhadapmu, aku ingin sekali memperbaiki segala kesalahan adikku terhadapmu, dan aku tidak ingin melihat kau mengalami penderitaan lebih lanjut karena adikku yang jahat, Ketahuilah bahwa semenjak pertemuan kita, aku selalu memikirkan keadaanmu, nona. Hanya dua macam tugas suci dalam hidupku, pertama-tama membela negara dan menghancurkan adikku sendiri yang jahat. Kedua kalinya, mendatangkan kebahagiaan padamu dengan jalan apa saja yang kau kehendaki !"

“Eh, eh. saudara Sim, dalam keadaan seperti ini, mengapa kau bicara yang bukan-bukan? Sudahlah, nanti saja kita bicara kalau urusan sudah selesai. Aku harus menyusul dan mengadu nyawa dengan adikmu !"

Kembali Eng Eng hendak berlari mengejar Tiong Kiat, akan tetapi Tiong Han mencegahnya lagi.

"Nanti dulu nona. Ucapanku tadi pun ada hubungannya dengan urusan ini. Kukatakan tadi bahwa tugasku pertama-tama membela negara. Urusan Tiong Kiat mudah diselesaikan kemudian kalau tugas pertama ini sudah selesai. Aku adalah seorang utusan dari jenderal

Gak. Kau ikutlah dengan aku menjumpai Oei Sun dan kaki tangannya. Aku ditugaskan untuk membujuk mereka menyerah agar tidak terjadi perang antara bangsa sendiri. Setelah itu kita bersama mengejar Tiong Kiat. Bagaimana pikiranmu? Kalau kau pergi sekarang mengejar akan mengacaukan dan menggagalkan rencanaku karena fihak pemberontak tentu akan menjadi geger dan mencurigaiku.”

Eng Eng berpikir sebentar, kemudian ia mengangguk. "Baiklah, saudara Sim, aku turut nasihatmu."

Tiong Han tersenyum. 'Nona, dulu ketika bertemu, kau menyatakan hendak menyebut twako kepadaku, akan tetapi sekarang agaknya kau telah lupa akan sebutan itu. Tak enak melihat kau berlaku sungkan-sungkan lagi setelah kita menjadi sahabat baik."

Gadis itu tersenyum dan tanpa menjawab ia lalu melangkah maju, bersama dengan pemuda itu menuju ke arah tenda-tenda yang kini nampak terang di bawah sinar matahari.

Tenda yang ditempati oleh Oei Sun adalah tenda atau kemah di tengah-tengah yang paling besar. Di depannya terdapat sebuah bendera besar dengan huruf OEI yang besar pula, berkibar-kibar tertiup angin. Kemah yang besar ini dikelilingi oleh lima buah kemah lain yang menjadi tempat tinggal Go bi Ngo koai tung. Ada pun Tiong Kiat biasanya bermalam di dalam kemah terbesar bersama Oei Sun, atau seperti seringkali terjadi, ia bermalam di kemah lain, tentu bersama Ang Hwa !

Ketika Tiong Han dan Eng Eng tiba di perkemahan paling depan mereka disambut oleh barisan penjaga pertama yang segera menodong mereka dengan tombak. Tadinya para penjaga itu merasa ragu-ragu dan menyangka bahwa pemuda ini tentu Sim ciangkun yang menyamar akan tetapi melihat sikap pemuda ini berbeda dari Sim ciangkun mereka lalu berlaku hati hati dan membentak,

"Siapakah kalian dan ada keperluan apa datang ke sini ?”

Tiong Han tidak mau banyak cakap, lalu mengeluarkan bendera putihnya. Para penjaga terkejut dan seorang di antaranya cepat-cepat memberi laporan ke dalam. Kemudian keduanya dipersilakan masuk melalui perkemahan pertama. Tiong Han menjadi heran mengapa agaknya para penjaga itu belum tahu akan kedatangannya. Apakah Tiong Kiat belum memberi laporan kepada pimpinan pemberontak? Akan tetapi ia tidak banyak cakap dan berjalan terus dengan sikap waspada. Ia memegangi bendera putih itu di depan dadanya sedangkan Eng Eng dengan gagah sekali berjalan di belakang Tiong Han. Gadis ini menyimpan pedang di punggung dan nampak cantik dan gagah sehingga para penjaga memandangnya dengan kagum.

Setelah melalui beberapa lapis penjaga akhirnya mereka tiba juga di barisan tenda Go-bi Ngo Koai-tung yang mengelilingi tenda tempat tinggal Oei Sun. Di sana sini nampak perajurit berdiri menjaga bagaikan patung. Ternyata penjagaan dilakukan amat rapi dan teguh.

Tidak seperti pada lapisan-lapisan perkemahan di luar, di sini mereka tidak di sambut oleh penjaga-penjaga, bahkan para penjaga yang berdiri menjaga bagaikan patung tidak bergerak sama sekali seakan-akan tidak melihat mereka, Tiong Han menjadi ragu-ragu. Jalan untuk memasuki lingkungan tenda itu tidak ada, karena antara tenda satu dengan yang lainnya, yakni antara lima buah tenda tempat tinggal Go-bi Ngo-koai tung dipasangi tali yang menghubungkan yang Iain dan juga merupakan penghalang bagi mereka yang hendak masuk. Akan tetapi dari luar, Tiong Han dan Eng Eng dapat melihat bendera yang bertuliskan huruf OEI. Adapun pada tenda yang lima buah banyaknya itu dipasangi bendera bendera hitam yang model bentuknya menyeramkan seperti bendera yang biasa dipergunakan oleh pendeta-pendeta untuk mengusir roh jahat.

"Bagaimana kita harus masuk !" Kata Tiong Han perlahan kepada Eng Eng.

"Putuskan saja tali yag menghalang ini," kata gadis itu.

Tiong Han menggeleng kepala. "Seorang utusan tidak boleh berlaku kasar dan menghina tuan rumah, sebaliknya tuan rumah juga tidak boleh menghina utusan lawan."

Setelab berkata demikian, Tiong Han mengumpulkan khikangnya, lalu berseru,"Utusan dari Gak goanswe telah tiba, mohon menghadap kepada pemimpin she Oei !" la sengaja tidak mau menyebut Oei ciangkun, karena setelah menjadi pemberontak otomatis ia tidak bisa menganggap orang she Oei itu sebagai perwira lagi.

Suara yang dikeluarkan oleh Tiong Han ini bergema sampai jauh. Sampai lama mereka menanti, barulah terdengar jawaban dari dalam tenda Oei Sun. "Utusan Gak goanswe silakan masuk saja. Tenda kami tidak berapa tinggi !”

Tiong Han memandang ke atas. Hem, mereka sengaja menguji kepandaiannya, pikirnya, ia memberi isyarat kepada Eng Eng, kemudian mereka lalu mengenjot tubuh, melompat ke atas tenda yang berbendera hitam itu. Gerakan mereka bagaikan dua ekor burung walet saja gesitnya. Setelah berdiri di atas tenda itu, Tiong Han lalu melompat turun ke dalam diikuti oleh Eng Eng yang masih terus berada di belakangnya ! Sepasang orang muda ini benar-benar nampak gagah dan elok ketika mereka melompat turun tanpa mengeluarkan suara.

Keadaan di situ sunyi saja, akan tetapi perasaan mereka memberitahukan bahwa diam-diam banyak mata mengikuti gerak-gerik mereka. Tiong Han dan Eng Eng menghampiri pintu tenda terbesar yang masih tertutup. Mereka berdiri, tidak berani masuk.

'Masuklah saja, kami telah menanti kedatanganmu !" Suara tadi terdengar lagi dari dalam tenda.

"Hati-hati, nona Eng Eng " bisik Tiong Han dan sambil membawa bendera putih yang tadi dimasukan dalam saku ketika ia melompati tenda, lalu membuka pintu tenda besar itu. Dengan gagah ia berjalan masuk diiringi oleh Eng Eng.

Ternyata di dalam tenda itu telah duduk enam orang, yakni Oei Sun dan Go-bi Ngo koaltung yang kesemuanya pernah dilihat oleh Eng Eng dan Tiong Han.

Oei Sun tertawa bergelak, lalu berkata.

"Aah, tidak tahunya saudara Sim Tiong Han dan nona Suma Eng yang menjadi utusan dari Gak goanswe! Ini namanya berurusan dengan sahabat-sahabat lama. Bagus, bagus!”

'Menurut pendapatku, kita bukan sahabat-sahabat. Cuwi (tuan-tuan sekalian) adalah pemimpin pemimpin pemberontak, adapun kami berdua adalah utusan dari Jenderal Gak pemimpin balatentara kerajaan." jawab Tiong Han dengan tegas karena ia hendak menyatakan bahwa tak mungkin dengan dia dan Eng Eng dapat diadakan persekutuan !

"Bukan sahabat juga tidak mengapa " Thian It Tosu berkata dengan senyum menyindir, "kamipun tidak suka menjadi sahabat dari orang-orang yang pernah kami kalahkan."

Tiong Han dan Eng Eng merasa panas, akan tetapi karena merasa Tiong Han maklum bahwa mereka itu memancing "suasana panas" agar ia sebagai utusan melakukan pelanggaran dan kekerasan, hanya tersenyum saja dan tidak mau menjawab.

"Kau datang sebagai utusan membawa kabar apakah? Apakah Jenderal Gak mengajak damai?"

'Memang mengajak damai, hanya dengan satu syarat, yakni supaya kau dan semua bekas pemimpin Pek Iian kauw dan pemimpin-pemimpin pemberontak menyerahkan diri untuk dibawa ke kota raja. Dengan begitu, barulah barisanmu akan diampuni. Kalau tidak, kepungan akan lakukan terus sampai kalian kehabisan ransum sama sekali!'

Bukan main marahnya hati Oei Sun mendengar ini akan tetapi ia dapat menyembunyikan kemarahannya di balik ketawanya yang bergelak-gelak. "Ha, ha, ha, lucu sekali kau ini. Orang macam kau bisa dijadikan utusan. Ha, ha. Ingin aku melihat bagaimana pendapat Sim-ciangkun melihat kakaknya yang menjadi pelawak ini. Penjaga! Coba kaucari Sim ciangkun dan panggil dia ke sini !" teriaknya kepada penjaga yang segera memberi hormat dari luar dan pergi. Kemudian Oei Sun berkata lagi kepada Tiong Han.

'Apakah Gak-goanswe berani menjamin bahwa aku dan kawan-kawanku takkan dihukum apabila kami sudah dibawa ke kota raja?"

“Hal ini tentu saja Gak-goanswe tidak dapat menjamin. Tergantung kepada keputusan Hongsiang sendiri." jawab Tiong Han, sementara itu, pemuda ini dan juga Eng Eng merasa heran mengapa Tiong Kiat tidak berada di situ dan bahkan tidak kelihatan sehingga dicari oleh Oei Sun.

"Kalau jenderal Gak mau membuka jalan untuk kami melarikan diri dari kepungan, kami suka meninggalkan barisan dan tidak melakukan perlawanan lagi" kata Oei Sun.

"Akan kusampaikan permintaan ini." jawab Tiong Han "akan tetapi kurasa sia-sia belaka karena jenderal Gak adalah seorang yang memegang teguh disiplin. Membebaskan pemimpin pemberontak berarti sebuah pelanggaran yang besar !"

Pada saat itu, dengan wajah pucat masuklah tiga orang suku bangsa Ouigour yang melaporkan bahwa Huayen-khan dan Ang Hwa didapatkan telah mati terbunuh di dalam hutan. Oei Sun berseru keras sambil mencabut goloknya, demikian pula Go bi Ngo koai tung bangkit sambil meloloskan tongkat mereka.

Ketika Oei Sun mengeluarkan suitan keras, sebentar saja kemah itu telah dikepung oleh barisan yang banyak sekali !

"Sim Tiong Han! Kau benar-benar utusan yang tidak patut ! Bagaimana kau berani membunuh Huayen khan dan Ang Hwa? Kau melanggar peraturan!"

"Bukan kami yang membunuh mereka," jawab Tiong Han dengan tenang, "yang membunuh mereka adalah pembantumu yang bernama Sim Tiong Kiat !"

Oei Sun dan Go bi Ngo-koai tung saling pandang.

"Kalau begitu bangsat itu telah berkhianat !" kata Thian lt Tosu dan dengan suara menyesal ia berkata kepada Oei Sun. "Apa kataku dulu ? Tidak baik mempercayai orang jahat itu. Tangkap yang dua ini sekalian si bangsat she Sim agar dapat kita pergunakan sebagai orang tahanan dan pembuka jalan kita melarikan diri!"

Eng Eng berseru keras dan mencabut pedang merahnya. Sedangkan Tiong Han pun bersiap sedia dan berkata kepada Eng Eng, "Nona, mari keluar !” la menarik tangan Eng Eng dan keduanya melompat keluar dari tenda ini. Di luar mereka telah dicegat oleh banyak sekali tentara yang terdiri dari perwira-perwira pemberontak, yakni sebagian besar bekas orang orang Pek-lian-kauw yang diangkat oleh Oei Sun.

Eng Eng memutar pedangnya dan Tiong Han lalu mengeluarkan kepandaiannya. Biarpun ia bertangan kosong, akan tetapi kehebatan sepak terjangnya tidak kalah oleh Eng Eng yang

berpedang. Tiap kali tangannya mengena tubuh lawan, berteriaklah lawan itu dan roboh tak dapat bangun lagi.

"Mundur semua, biarkan kami menangkap mereka!" Oei Sun berseru keras dan para pengeroyok itu mundur cepat-cepat, mengatur barisan kepungan sehingga tidak memungkinkan dua orang itu melarikan diri. Tiong Han menendangi tubuh para pengeroyok yang tadi sudah roboh sehingga ia dan Eng Eng mendapatkan tanah lapang cukup luas. Dari dalam tenda muncul lima orang tosu itu bersama Oei Sun yang bergerak menyerang mereka.

Eng Eng menyambut Oei Sun dan karena Oei Sun sudah pernah merasai kelihaian gadis ini, maka ia minta tolong kepada Thian It Tosu yang segera membantunya. Adapun Tiong Han yang bertangan kosong menghadapi keroyokan Thian Ji Tosu dan tiga orang adik seperguruannya. Pertempuran berjalan seru sekali. Eng Eng yang dikeroyok dua dapat mengimbangi permainan kedua lawannya.

Pedangnya bagaikan seekor naga merah menyambar-nyambar di antara tongkat dan golok kedua lawannya. Akan tetapi ia merasa betapa lihai permainan tongkat dari Thian It Tosu. Kalau saja tidak dibantu oleh Oei Sun, agaknya sanggup ia mendesak tosu ini. Akan tetapi golok besar Oei Sun juga tidak boleh di pandang ringan, sehingga gadis ini harus bertempur dengan hati-hati sekali.

Adapun Tiong Han, dengan menggunakan ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Pat jiu Toanio dan Lui-kong-jiu, dapat mengimbangi permainan tongkat keempat orang pengeroyoknya bahkan ia mulai mendesak mereka dengan angin pukulannya yang lihai. Kalau lawan-lawannya kurang hati-hati, baru terkena sambaran pukulannya saja tentu akan terluka. Empat orang tosu itu maklum akan kelihaian pemuda ini, maka mereka selalu menjauhkan diri dan hanya mempergunakan tongkat untuk menyerang sambil mengepung.

Yang membuat Tiong Han dan Eng Eng gelisah adalah kepungan para perwira yang makin lama datang makin banyak itu. Ratusan orang mengepung tempat itu dan mereka tahu bahwa di situ masih ada ribuan orang tentara lagi.

Bagaimana mereka bisa keluar dari situ dengan selamat? Beberapa orang perwira yang berkepandaian lumayan, mulai masuk pula dalam kalangan pertempuran sehingga kini Eng Eng dikeroyok oleh lima orang dan Tiong Han menghadapi tujuh orang pengeroyok. Terpaksa pemuda ini menggunakan kepandaiannya untuk merobohkan seorang perwira, dan dengan pedang Hui-liong kiam yang tadi dirampas dari Tiong Kiat, ia lalu mengamuk dengan pedang di tangan kanan dan pukulan di tangan kiri masih mainkan ilmu silat Kong-jiucap-ji-kun !

Bukan main ramainya pertempuran itu. Sudah beberapa orang perwira lagi roboh oleh amukan Tiong Han dan Eng Eng, akan tetapi kedua orang muda ini tetap saja masih belum berhasil merobohkan Go-bi Ngo-koai-tung dan Oei Sun, pengeroyok-pengeroyok yang paling berbahaya.

Kini keadaan Tiong Han dan Eng Eng mulai berbahaya. Perwira-perwira yang jatuh ditarik

mundur dan diganti oleh perwira Iain yang kepandaiannya lumayan juga. Kedua orang muda itu mulai menjadi lelah! Dan Go-bi Ngo koai tung mulai kemak kemik membaca mantera untuk mempergunakan hoatsut (ilmu sihir) guna merobohkan dua orang lawan muda yang lihai ini !

"Semua mundur biarkan kami menjatuhkan mereka !" kembali Thian lt Tosu berseru keras dan para perwira lalu mengundurkan diri. Sambil menunjuk ke arah Eng Eng, tosu ini lalu mengerahkan tenaga batinnya dan berseru,"Rebah engkau… rebah….!"

Eng Eng merasa tiba-tiba kepalanya pening dan ia mulai terhuyung-huyung! Permainan pedangnya kacau balau dan hampir saja ia celaka.

Tiong Han terkejut sekali dan cepat ia melompat ke dekat gadis itu sambil berseru,

"Eng moi !" Seruan ini keluar dari hati yang amat gelisah, mengandung kasih sayang dan kekuatiran atas diri gadis yang dicintanya itu !

Aneh sekali begitu telinga Eng Eng mendengar panggilan ini, seketika itu juga lenyaplah rasa pening dan mabok. Alangkah mesra dan merdunya suara panggilan dari Tiong Han itu. Jantungnya berdebar, darahnya berdenyut keras dan terusirlah pengaruh hoatsut yang dijalankan oleh Thian It Tosu! Ia mengamuk lagi dengan hebat setelah mengerling dan melempar senyum manis ke arah Tiong Han!

"Han-ko, jangan takut akan segala ilmu siluman ini!" katanya dan bagi Tiong Han katakata gadis ini merupakan panambahan semangat yang luar biasa sehingga kembali ia dapat mendesak keempat orang pengeroyoknya, sehingga kembali para perwira yang tadi mundur kini maju lagi mengeroyok. Akan tetapi mereka itu hanya menjadi seperti kupu-kupu mendekati api lilin. Baru saja masuk, beberapa orang telah menjadi korban lagi!

Betapapun juga, Eng Eng dan Tiong Han mulai menjadi lelah dan peluh telah mengalir membasahi seluruh tubuh mereka. Tiong Han telah berhasil merobohkan Thian Sam Tosu dan Thian Ngo Tosu, orang ketiga dan kelima dari Go bi Ngo koai-tung. Akan tetapi jumlah pengeroyok makin bertambah.

Adapun Eng Eng, biarpun telah banyak merobohkan perwira yang mengeroyok, namun masih amat sukar baginya untuk menjatuhkan Oei Sun dan Thian It Tosu. Tosu ini tidak dapat mempergunakan hoatsutnya lagi setelah beberapa kali dicobanya tidak mempan, bahkan ia lalu mengomel keras.

"Keparat, tidak tahunya saling mencinta lagi dua ekor tikus ini!"

Ucapan dan Thian It Tosu ini membuat Tiong Han dan Eng Eng menjadi merah mukanya,

karena mereka maklum bahwa yang dimaksudkan oleh Thian lt Tosu tentu mereka. Agaknya rasa cinta yang tumbuh di dalam hati kedua orang muda di dalam bahaya ini merupakan daya penahan atau penolak yang amat kuat bagi serangan ilmu hitam dari tosu itu tadi !

Pada saat Eng Eng dan Tiong Han mulai terdesak, tiba-tiba terjadi geger di luar kepungan dan teriakan-teriakan keras. "Api…api… Gudang ransum kebakaran…! Ah... tendatenda mulai kebakar…tolong ! Kebakaran !"

Keadaan menjadi kacau balau. Benar saja, mulai nampak asap bergulung-gulung dan api mengamuk hebat, membakari tenda-tenda yang seperti jamur di bawah itu. Para pengeroyok menjadi panik dan ketakutan, bahkan banyak yang meninggalkan tempat itu untuk menolong tenda mereka sendiri.

Dan tiba-tiba, sebuah bayangan biru berkelebat dengan cepatnya, didahului oleh cahaya merah dan tahu-tahu Thian Ji Tosu dan Thian Su Tosu, orang kedua dan keempat yang mengeroyok Tiong Han roboh mandi darah.

"Tiong Kiat...!" Tiong Han berseru, ketika melihat pemuda yang kini sudah berganti pakaian biru-biru itu.

"Sim ciangkun… kau… pengkhianat !!" Oei Sun berseru keras dengan amat marahnya, lalu meninggalkan Eng Eng dan menyerang Tiong Kiat dengan goloknya.

"Jahanam besar, sekarang kau binasa!" Eng Eng ikut berteriak dan melompat ke arah Tiong Kiat, menyerang dengan pedangnya ditusukkan ke arah lambung Tiong Kiat yang sedang menangkis golok Oei Sun.

Tiong Kiat mengelak cepat sambil berteriak. "Nona Suma, awas serangan gelap !" Akan tetapi terlambat, Eng Eng yang hanya mencurahkan perhatiannya kepada Tiong Kiat telah meninggalkan Thian It Tosu dan tidak memperdulikannya lagi. Kesempatan baik ini dipergunakan oleh Thian It Tosu. Ketika dilihatnya Eng Eng berbalik menyerang Tiong Kiat, tosu ini mengeluarkan sebatang Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) dan disambitkan ke arah Eng Eng. Gadis itu mengeluh, dan cepat meraba pangkal lengan kirinya yang dirasa amat sakit dan gatal. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa kepalanya pening dan robohlah ia dengan tubuh lemas !

"Thian It totiang, kau tahanlah pengkhianat ini !" seru Oei Sun yang segera diturut oleh Thian lt Tosu. Oei Sun sendiri setelah Tiong Kiat dihadapi oleh Thian It Tosu, lalu melompat ke arah Eng Eng, menyambar tubuh gadis ini dengan tangan kanan dan menjemput pedang merah gadis itu dengan tangan kiri, lalu melarikan diri !

"Bangsat lepaskan dia !" teriak Tiong Han akan tetapi lebih dari sepuluh orang perwira menghadangnya sehingga terpaksa ia membabat mereka dalam amukan hebat.

Tiong Kiat dengan marah sekali lalu mainkan ilmu silat pedang Ang coa kiamsut yang paling tinggi, dan Thian It Tosu yang sudah tua dan sudah lelah itu tidak dapat menangkis lagi. la berseru keras dan roboh dengan dada tertembus pedang Ang-coa-kiam !

"Han-ko jangan khawatir, aku akan menolong nona Suma Eng !" seru Tiong Kiat yang cepat mengejar ke arah Oei Sun melarikan diri tadi.

Tiong Han tak dapat membantah karena ia sendiri sedang dikepung dan tidak kuasa melakukan pengejaran. Terpaksa ia mengamuk dan sebentar saja mayat bekas pemimpin Peklian-kauw bergelimpangan di sekitarnya.

Sementara itu, Jenderal Gak yang tidak melihat Tiong Han kembali dan mendengar laporan bahwa di tempat markas besar pemberontak yang terkepung itu nampak asap mengepul segera memerintahkan pasukannya bergerak menyerbu !

Tiong Han yang mengamuk seperti naga terluka itu hampir saja roboh saking lelahnya ketika barisan Jenderal Gak sudah tiba di situ.

"Menyerahlah semua! Jangan kena dibujuk dan ditipu oleh pemimpin kamu orang-orang Peklian kauw!" Tiong Han dan Jenderal Gak dibantu oleh panglima-panglima lain mengerahkan tenaga khikang berteriak-teriak kepada para pemberontak. Tak lama kemudian, para pemberontak yang sudah terkepung dan kehilangan pimpinan itu lalu melemparkan senjata dan menyerah.

Tiong Han biarpun masih lelah, biarpun ditahan oleh Jenderal Gak, memaksa pergi sambil berkata singkat, "Maaf, goanswe, saya masih mempunyai urusan penting sekali yang harus diselesaikan!" Setelah berkata demikian, dengan pedang Hui liong kiam di tangan, ia lalu berlari secepat mungkin mengejar ke utara !

Ketika tiba di tepi Sungai Sungari yang lebar ia melihat dua buah perahu terapungapung. Ternyata bahwa di dalam perahu yang tidak beratap ia melihat Eng Eng rebah miring seperti orang tidur, sedangkan seorang pemuda baju biru berlutut di dekatnya sambil memegangi lengan kirinya. Ternyata pemuda itu adalah Tiong Kiat yang sedang memeriksa luka di lengan Eng Eng! Ketika tadi Tiong Kiat mengejar, ternyata Oei Sun telah mendapatkan seekor kuda dan melarikan Eng Eng dengan amat cepatnya ke utara. Maksud Oei Sun melarikan Eng Eng ialah untuk dijadikan tanggungan agar ia dapat melarikan diri. Benar saja, ketika ia bertemu dengan tentara mengepung di sebelah utara, ia dapat mengancam mereka, akan membunuh Eng Eng kalau tidak diberi jalan. Di antara para perwira ada yang sudah mengenal Eng Eng, maka terpaksa mereka melepaskan Oei Sun pergi.

Tiong Kiat menjadi marah sekali dan biarpun tentara pengepung menghadangnya, ia mengamuk dan dapat merobohkan beberapa orang tentara kerajaan dan dapat lolos dari kepungan, lalu melanjutkan pengejarannya !

Ternyata bahwa Tiong Kiatlah yang tadi melepas api dan membakari gudang ransum dan tenda-tenda. Pemuda ini demikian sakit hati karena telah ditipu dan dibujuk sehingga ia membalas dendam dengan hebatnya. Kini biarpun ia amat lelah, ia memaksa diri untuk melakukan pengejaran terhadap Oei Sun yang menggendong pergi tubuh Eng Eng yang terluka.

Oei Sun tiba di tepi Sungai Sungari dengan selamat. Ia merampas sebuah perahu dengan mendorong nelayannya ke sungai, kemudian ia meletakkan tubuh Eng Eng di atas perahu dan mendayung perahu itu ke tengah sungai.

Ia tidak tahu bahwa diam-diam Tiong Kiat mengikuti gerak-geriknya, dan tanpa diketahui oleh Oei Sun, Tiong Kiat lalu menceburkan diri ke dalam sungai dan berenang menghampiri perahu itu. Alangkah kagetnya hati Oei Sun ketika tiba-tiba muncul kepala Tiong Kiat di pinggir perahunya !

Sebelum ia dapat menyerang, Tiong Kiat telah melompat ke dalam perahu dan dalam beberapa gerakan saja Oei Sun roboh ke dalam sungai dengan kepala terbelah oleh pedang Ang-coa kiam !

Tiong Kiat cepat minggirkan perahu itu. Beberapa orang nelayan yang melihat peristiwa ini menjadi ketakutan dan melarikan diri, meninggalkan perahu-perahu mereka sehingga di situ banyak terdapat perahu-perahu kosong di tepi sungai bergolek-golek tanpa penumpang dan terikat pada sebatang patok. Tiong Kiat segera memeriksa luka di lengan Eng Eng dan merobek baju pada lengan yang luka itu. Melihat jarum hitam itu masih menancap, ia lalu mencabutnya dan berkerutlah keningnya melihat betapa luka itu menghitam dan membengkak.

Ia lalu mendekatkan mulutnya dan dihisapnya luka itu sehingga darah yang hitam membeku keluar dari luka itu ke dalam mulutnya. Beberapa kali ia menyedoti luka di lengan itu dan sebagai orang yang sudah lama bergaul dengan Thian It Tosu, ia membawa obat penawar Hek tok-ciam. Diambilnya obat penawar yang berupa bubuk putih yang sudah basah kuyup itu, lalu ditempelkan di atas luka setelah darah yang terkena racun telah disedotnya habis. Ia membalur luka itu dengan kain pengikat kepalanya.

Pada saat itu Eng Eng sadar akan tetapi masih pening. Gadis itu memandang muka pemuda yang berlutut di dekatnya, lalu berbisik lemah. "Han-ko… kau baik sekali…alangkah jauh bedanya dengan adikmu yang jahat..." Lalu gadis itu meramkan lagi kedua matanya dan bibirnya yang manis tersenyum.

Dua titik air mata melompat keluar dari mata Tiong Kiat ketika ia mendengar bisikan ini. la merasa ulu hatinya seperti ditikam pedang. Ia menyambar pedang Ang coa kiam, mengamat-amatinya lalu berdiri di pinggir perahu. Dengan muka pucat ia menengadah, lalu berkata keras.

"Ayah, aku juga seorang perwira....... seorang perwira gagah…" Lalu ia menggerakgerakkan pedang sambil bernyanyi, nyanyian yang dulu ketika kecil sering ia nyanyikan bersama Tiong Han.

Pedang telanjang di tangan

berlumur darah musuh jahanam !

Anak panah beterbangan

bagai maut mengintai nyawa !

Pasukan musuh di mana ?

Serbu…! Maju gembira !

Inilah tugas tiap ksatrya !

Mati ? Hanya gugur bagai bunga.

Aku hanya ingin menang........ menang !

Biar takkan mendapat jasa

Biar takkan menerima pahala.

Tidak perduli, aku ingin menang !

Aku ingin menjadi pahlawan

Seperti ayah seperti ayah…!

Air mata turun bagaikan hujan dari kedua matanya ketika berkali-kali ia menyebut bait terakhir. "Seperti ayah… seperti ayah…!”

“Ayah, aku ingin seperti engkau…akan tetapi aku… aku perwira pemberontak ! Ha, ha, perwira pemberontak harus mampus!" Setelah tertawa seperti mayat hidup, ia mengerakgerakkan pedang Ang-coa-kiam ke arah lehernya.

"Tiong Kiat…!" terdengar seruan keras dari pinggir sungai dan Tiong Han datang berlarilari. Pemuda inipun menumpahkan air mata ketika ia mendengar adiknya bernyanyi tadi.

Tiong Kiat menahan pedangnya dan menoleh. "Han-ko, kau perlu hidup, Eng Eng mencintaimu. Berbahagialah kau dengan dia, Han-Ko!" Pada saat Tong Kiat berkata demikian Eng Eng baru saja sadar dan gadis ini mulai bangkit dan duduk. Akan tetapi Tiong Kiat tidak melihat lagi karena ia telah mengayun pedang yang kini menancap ke dadanya dan tubuhnya beserta pedang itu terjungkal ke dalam air yang dalam!

Tiong Han melompat ke dalam perahu dan hanya melihat air sedikit kemerahan. Ia berjongkok dan dengan saputangannya, dihapus tiga titik darah dari Tiong Kiat yang tadi jatuh di atas papan perahu. Kemudian ia menyimpan saputangan itu untuk bukti kepada suhunya kelak dan duduk menghadapi Eng Eng.

Perahu itu bergerak perlahan terbawa aliran air Sungai Sungari. Angin senja bertiup perIahan, bermain-main dengan rambut kepala Eng Eng yang berjuntai dengan kacau di atas jidatnya. 'Kau sudah mendengar ucapan terakhir dari Tiong Kiat?" tanyanya.

Eng Eng mengangguk diam. Akhirnya ia bertanya, "Kita ke mana, Han-ko?"

Tiong Han terkejut menjawab. "Ke mana.....? Ke… pantai bahagia, Eng-moi kau bersedia bukan?"

Kembali Eng Eng mengangguk diam. Keduanya menikmati rasa bahagia tanpa banyak cakap, perahu meluncur terus dengan lancar!

TAMAT

Similar Documents

Free Essay

Btec

...di wajah Chang Man Tian tampak terpanggang hingga merah. Tepatnya ada tiga bekas luka, bekas luka itu dan sekitar 7 atau 8 macam luka dalam telah memberikan dirinya kemasyuran dan posisi yang ia nikmati sekarang ini. Bila cuaca berubah menjadi lembab atau hujan, luka dalamnya akan mulai berdenyut-denyut lagi, menyebabkan ruas-ruas tulangnya terasa sakit, dan ia tentu akan teringat lagi pada pertarunganpertarungan dahsyat di masa mudanya dan merasa sangat bersyukur. Bisa bertahan hidup selama ini bukanlah hal yang mudah, bisa menjadi seorang wakil kepala perusahaan ekspedisi yang pendapatannya 500 tael perak sebulan malah lebih sulit lagi, karena posisi itu didapatkan dengan darah dan keringat. Akhir-akhir ini ia jarang mengawal sendiri barang-barang antaran perusahaannya. Kepala perusahaan ekspedisi “Pembawa Kedamaian” adalah juga kakak seperguruannya. Mereka berdua menghabiskan waktu beberapa tahun terakhir ini dalam hidup yang tenteram dan damai, berlatih sedikit kungfu di pagi hari, minum arak di malam hari. Dengan melihat bendera “Pedang Besi Tombak Emas” sudah cukup membuat orang-orang di wilayah tenggara menjauh dari barang-barang antaran perusahaan “Pembawa Kedamaian”. Tetapi barang antaran kali ini terlalu penting, si pemilik meminta kedua saudara seperguruan itu melakukan sendiri seluruh proses antaran. Tapi karena sang kepala sedang sakit, Chang Man Tian terpaksa mengambil kembali sepasang pedang besinya yang masing-masing berbobot lebih dari 13...

Words: 70871 - Pages: 284

Free Essay

Ssss

...ALIF ( ‫) أ‬ 1. Aban : ‫ : َﺑَـﺎن‬perbuatan yang sangat jelas, nama putra khalifah ‫أـ‬ ‘Utsman bin ‘Affan 2. Abiy : ‫ : أﺑﻲ‬yang memiliki kepribadian yang kuat yang pantang ّ َِ tunduk terhadap tekanan 3. Abyan : ‫ : أﺑ َﻦ‬yang lebih jelas ‫َ ْﻴ‬ 4. Adib : ‫ : أدﻳْﺐ‬sastrawan َِ 5. Ahmad : ‫ : أﺣ َﺪ‬yang banyak dipuji-puji, nama yang diberikan oleh Allah ‫َ ْﻤ‬ kepada Nabi Muhammad dalam al-Qur’an 6. Arib : ‫ : أرﻳْﺐ‬yang cerdik dan berakal َِ 7. Arhab : ‫ : أر َﺐ‬yang lapang dada ‫َ ْﺣ‬ 8. Asad : ‫ : أ َﺪ‬singa (lambang keperkasaan) ‫َﺳ‬ 9. Asmar : ‫ : أﺳ َﺮ‬yang berkulilt coklat, abu-abu ‫َ ْﻤ‬ 10. As’ad : ‫ : أﺳ َﺪ‬yang lebih bahagia ‫َ ْﻌ‬ 11. Asyqar : ‫ : أﺷ َﺮ‬yang berambut pirang ‫َ ْﻘ‬ 12. Asyhab : ‫ : أﺷ َﺐ‬warna putih yang bercampur hitam, sebutan lain bagi singa. ‫َ ْﻬ‬ 13. Ashil : ‫ : أﺻﻴْﻞ‬yang asli ِ َ 14. Anis : ‫: َ ِﻴْﺲ‬ ‫أﻧ‬ yang dapat menenangkan hati dari kerisauan/keterasingan 15. Akram : ‫ : أآ َم‬yang lebih mulia ‫َ ْﺮ‬ 16. Aman : ‫ : َ َــﺎن‬rasa aman ‫أﻣ‬ 17. Amin : ‫ : َ ِﻴْــﻦ‬yang dapat dipercaya ‫أﻣ‬ 18. Amir : ‫ : أﻣﻴْﺮ‬Emir, pemimpin, yang memerintahkan َِ 19. Anwar : ‫ : أﻧﻮر‬yang lebih bercahaya َ َْ 20. Arkan : ‫ : أر َﺎن‬pondasi, pokok ‫َ ْآ‬ 21. Awwab : ‫ : أ ﱠاب‬yang amat taat kepada Tuhan, julukan bagi nabi Daud ‫َو‬ 'alaihissalam 22. Ayib : ‫ : ﺁ ِﺐ‬yang kembali ‫ﻳ‬ 23. Ayyub : ‫ : أﻳﻮْب‬yang banyak kembali, nama nabi ‫َﱡ‬ 24. Islam : ‫ : إﺳﻠﺎم‬keislaman َْ ِ 25. I’tisham : ‫ :اﻋﺘ َﺎم‬berpegang teguh ‫ِ ْ ِﺼ‬ 26. Iklil : ‫ : إآﻠﻴْﻞ‬mahkota...

Words: 5438 - Pages: 22

Free Essay

Raheeq Makhtum Malay

...SEERAH NABAWIYYAH Al-Raheeq al-Makhtum Syeikh Safy al-Rahman al-Mubarakfuriyy India Pemenang Hadiah Pertama Pertandingan Seerah Rabitah Alam Islam, Mekkah PERANAN & PERLUNYA RIWAYAT HIDUP RASULULLAH DALAM MEMAHAMI ISLAM   Tujuan mengkaji riwayat hidup RasuluLlah dan penganalisaannya bukanlah semata-mata untuk melihat kejadian-kejadian dan episod-episod yang bersejarah ataupun memaparkan cerita-cerita yang indah sahaja. Oleh yang demikian tidak seharusnya kita menganggap kajian sejarah hidup Rasulullah ini sama dengan membaca dan menala'ah sejarah para pemerintah (khalifah) di zaman purbakala. Tujuan pokok dari kajian yang dimaksudkan ialah supaya setiap Muslim dapat memahami, menganggap dan menggambarkan bahawa hakikat zahir dan batin Islam semuanya teradun di dalam penghidupan Rasulullah itu sendiri. Gambaran dan anggapan ini akan timbul dan wujud setelah seseorang Muslim itu dapat memahami dengan benar segala hikmah dan keistimewaan prinsip-prinsip dan dasar-dasar Islam satu persatu terlebih dahulu. Tegasnya kajian riwayat hidup Rasulullah Sallallahu 'alaihi Wasallam ini adalah suatu usaha mengumpul hakikat dan intisari dasar-dasar Islam kemudian memadan dan menyesuaikan dengan contoh Islam iaitu Nabi Muhammad Sallallahu 'alahi Wasallam. Sekiranya perlu kita bahagikan tujuan-tujuan ini maka bolehlah dibahagikan seperti berikut: 1. Memahami peribadi Nabi Muhammad SallaLlahu 'alaihi Wasallam menerusi penghidupan dan suasana...

Words: 129247 - Pages: 517

Free Essay

Green

...No. Nama Perguruan Tinggi AKADEMI AKUNTANSI PGRI JEMBER Nama Pengusul Sisda Rizqi Rindang Sari Program Kegiatan Judul Kegiatan 1 PKMK KUE TART CAENIS ( CANTIK, ENAK DAN EKONOMIS) BERBAHAN DASAR TAPE 2 AKADEMI FARMASI KEBANGSAAN Nensi MAKASSAR AKADEMI KEBIDANAN CITRA MEDIKA SURAKARTA AKADEMI KEBIDANAN GIRI SATRIA HUSADA AKADEMI KEPERAWATAN KERTA CENDIKA SIDOARJO AKADEMI KEPERAWATAN KERTA CENDIKA SIDOARJO AKADEMI KEPERAWATAN KERTA CENDIKA SIDOARJO Putri Purnamasari PKMK LILIN SEHAT AROMA KURINDU PANCAKE GARCINIA MANGOSTANA ( PANCAKE KULIT MANGGIS ) 3 PKMK 4 Latifah Sulistyowati PKMK Pemanfaatan Potensi Jambu Mete secara Terpadu dan Pengolahannya sebagai Abon Karmelin (Karamel Bromelin) : Pelunak Aneka Jenis Daging Dari Limbah Nanas Yang Ramah Lingkungan, Higienis Dan Praktis PUDING“BALECI”( KERES) MAKANAN BERSERATANTI ASAM URAT 5 Achmad PKMK Zainunddin Zulfi 6 Dian Kartika Sari PKMK 7 Radita Sandia PKMK Selonot Sehat (S2) Diit untuk Penderita Diabetes 8 AKADEMI PEREKAM Agustina MEDIK & INFO KES Wulandari CITRA MEDIKA AKADEMI PEREKAM MEDIK & INFO KES Anton Sulistya CITRA MEDIKA AKADEMI PEREKAM Eka Mariyana MEDIK & INFO KES Safitri CITRA MEDIKA AKADEMI PEREKAM MEDIK & INFO KES Ferlina Hastuti CITRA MEDIKA AKADEMI PEREKAM Nindita Rin MEDIK & INFO KES Prasetyo D CITRA MEDIKA AKADEMI PEREKAM MEDIK & INFO KES Sri Rahayu CITRA MEDIKA AKADEMI PERIKANAN YOGYAKARTA PKMK Kasubi Wingko Kaya Akan Karbohidrat...

Words: 159309 - Pages: 638

Free Essay

Perahu Kertas

...Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana: Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Dee PERAHU KERTAS © 2009, Dee / Dewi Lestari Editor: Hermawan Aksan Proof Reader: Jenny Jusuf Reza Gunawan Desain Sampul: Kebun Angan www.kebun-angan.com Tata Letak Isi: Irevitari Kontak Dee: Jenny Jusuf +62-817 992 8558 Email: j3nnyjusuf@yahoo.com Penerbit: Bentang Pustaka Truedee Pustaka Sejati Jl. Pandega Padma no 19 Jl. Rajawali no 2 Yogyakarta 55824 Bandung...

Words: 89668 - Pages: 359

Free Essay

Biografi Soekarno (Oleh Cindy Adams)

...Penyambung Lidah Rakyat Indonesia     BUNG KARNO BIOGR@PHY @S TOLD TO CINDY @D@MS                                   BAB I Alasan Menulis Bab ini ... CARA yang paling mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno ialah dengan menamakannya seorang  yang  maha‐pencinta.  Ia  mencintai  negerinya,  ia  mencintai  rakyatnya,  ia  mencintai  wanita,  ia  mencintai  seni dan melebihi daripada segala‐galanya ia cinta kepada dirinya sendiri.  Sukarno  adalah  seorang  manusia  perasaan.  Seorang  pengagum.  Ia  menarik  napas  panjang  apabila  menyaksikan pemandangan yang indah. Jiwanya bergetar memandangi matahari terbenam di Indonesia.  Ia menangis dikala menyanyikan lagu spirituil orang negro.  Orang mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia terlalu banyak memiliki darah seorang seniman.  "Akan  tetapi  aku  bersyukur  kepada  Yang  Maha  Pencipta,  karena  aku  dilahirkan  dengan  perasaan  halus  dan  darah  seni.  Kalau  tidak  demikian,  bagaimana  aku  bisa  menjadi  Pemimpin  Besar  Revolusi,  sebagairnana  105  juta  rakyat  menyebutku?  Kalau  tidak  demikian,  bagairnana  aku  bisa  memimpin  bangsaku  untuk  merebut  kembali  kemerdekaan  dan  hak‐asasinya,  setelah  tiga  setengah  abad  dibawah  penjajahan Belanda? Kalau tidak demikian bagaimana aku bisa mengobarkan suatu revolusi di tahun 1945  dan  menciptakan  suatu  Negara  Indonesia  yang  bersatu,  yang  terdiri  dari  pulau  Jawa,  Bali,  Sumatra,  Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan bagian lain dari Hindia Belanda...

Words: 75361 - Pages: 302

Free Essay

Isabella

...ISABELLA Sebuah novel berdasarkan kajian perbandingan Islam dan Kristian Oleh Maulana Mohammad Saeed Terjemahan Abdullah Hussain .................................................................................................. BAB 1 Taman Yang Diberkati Di bandar Cordova, negeri Sepanyol terdapat sebuah taman yang amat terkenal kerana keindahan bunga-bungaan dan kesegaran tanam-tanaman di dalamnya, berbeza sedikit dari Taman Firdausi. Taman ini selalu dibanjiri oleh para pelancong jauh dan dekat. Pada suatu petang yang damai di salah satu sudut taman itu yang agak terpencil, duduk dua orang lelaki muda yang kelihatannnya seperti orang berilmu. Mereka sedang tenggelam di dalam satu perbincangan agama yang serius. Hari semakin petang dan matahari sudah hampir ghurub di langit barat. Kicauan burung yang pulang ke sarangnya menimbulkan suasana riang kepada orang-orang yang lalu-lalang. Seorang gadis kristian yang dikenali namanya dalam sejarah sebagai Isabella kebetulan duduk bercengkerama dengan beberapa orang kawannya di sebalik serumpun tumbuhan berhampiran dengan tempat kedua lelaki muda itu. Isabella sering datang ke taman itu dengan kawan-kawannya untuk menikmati keindahan alam semula-jadi. Dia adalah anak ketua paderi bandar Cordova dan baru berusia 17 tahun. Kecantikan wajahnya dan keanggunan perawakannya selalu digambarkan oleh pemuda-pemuda yang mengenalinya sebagai jelmaan bidadari dari syurga. Orang-orang bangsawan termasuk para paderi banyak yang tergila-gilakannya...

Words: 46312 - Pages: 186

Free Essay

Agree

...DE_SUPERNOVA-_BintanG_jatuH SUPERNOVA Episode: Ksatria, Puteri, dan BintanG jatuH © 2000 Pee H Proof Reader Prof. Dr. Fuad Hassan Hernia wan Aksan Tata Letak Muhammad Roniyadi (thatkid20@yahoo.com) Desain Sampul Tepte (teple@imatrekkie.com) Foto Dissy Ekapramudita Penerbit Truedee Books X Patrakomala no. 57, Bandung 40113, Indonesia Tel/Fax. 62-22-4213691 http://www.truedee.com E-mail: Dooks@truedee.com Hotfine Customer Service: 081-22141015 Pre-press Polar Repro Bandung Percetakan Gpta Cekas Grafika - Bandung Osakanl : Februari 2001 /CefakanU -Maret 2001 hafalan IH : April 2001 Cetakan IV :Juni2001 **«anV ; November 2001 Katalog Dalam Terbitan i ¦fe^'S ^ Bi,Mn* BMK,un8: T»*, Books; 200. $&96257-0-X JudulEngkaulah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tak berujungku mengenal Hidup.Engkaulah tetes embun pertama yang menyesatkan dahagaku dalam Cinta tak bermuara.Engkaulah matahari Firdausku yang menyinari kata pertama di cakrawala aksara. Kau hadir dengan ketiadaan. Sederhana dalam ketidakmengertian. Gerakmu tiada pasti. Namun aku terus di sini. Mencintaimu. Entah kenapa. (catatan di satu pagi buta di atas atap rumah tetangga) Sanksi Pelanggaran Pasat 44: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1982 Tentanq Hak Cipta Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak 8p 100.000...

Words: 53406 - Pages: 214

Free Essay

Tugas Sindy

...Apa yang Perlu Anda Ketahui Tentang . . . 28 Uraian Doktrin Dasar Alkitabiah INDONESIA PUBLISHING HOUSE Kotak Pos 1188 Bandung 40011 Telepon (022)) 6 3 3 2 Fax : ( 2 6027784,4 E a l i h d @ m i . o T l p n ( 2 6030392,; F x(022)2 6 2 7 Email: iph@bdg.centrin.net.id eeo 02 009 a 0 ) 078; mi: pbggalcm Kutipan Pasal 72: Sanksi Pelanggaran Undang-undang Hak Cipta (UU No. 19 Tahun 2002) 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masingmasing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun denda/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500. 000.000,00 (lima ratus juta rupiah). © Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dicetak dan diterbitkan oleh Indonesia Publishing House Bandung 2006 Firman Tuhan Allah 6 Apa yang Perlu Anda Ketahui Tentang . . . 28 Uraian Doktrin Dasar Alkitabiah Departemen Kependetaan Masehi Advent Hari Ketujuh Se-Dunia 6840 Eastern Avenue NW Washington, DC 20012 Seventh-day Adventist Believe... A...

Words: 176042 - Pages: 705