Sistem Pemilu Versus Kualitas Anggota DPR

Sistem pemilihan umum 2014 masih sama dengan sistem pemilihan umum 2009 dimana kita menggunakan sistem proporsional terbuka dengan sedikit peningkatan di parliamentary treshold dari 2,5% menjadi 3,5%. Berdasarkan sistem ini, indonesia dibagi menjadi 77 daerah pemilihan, dan setiap daerah pemilihan menempatkan 6 hingga 12 orang di DPR. Sistem ini memungkinkan setiap caleg memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih, tidak lagi bergantung pada nomor urut ataupun jabatan di DPR. Berikut cara kerja sistem ini dalam menentukan anggota dewan yang terpilih
Setiap partai harus mencapai perolehan suara secara nasional sebesar 3,5 %, (Akumulasi dari perolehan suara setiap caleg) agar bisa menempatkan kadernya di DPR. Angka 3,5% ini disebut sebagai parliamentary threshold.
Tentukan kuota jumlah suara yang harus didapatkan agar bisa menjadi anggota dewan, kuota ini disebut dengan istilah bilangan pembagi pemilih (BPP). Cara menentukan BPP adalah sebagai berikut: jumlah suara sah dalam daerah pemilihan dikurangi suara partai yang tidak lolos threshold dibagi dengan jumlah kursi yang tersedia di dapil tsb.
Setelah itu, jumlah suara setiap caleg dalam satu partai digabungkan. Apabila memenuhi BPP, maka caleg dengan jumlah suara tertinggi di partai tersebut berhak menjadi anggota DPR. Apabila jumlah gabungan suara tersebut mencapai 2 kali BPP, mala 2 caleg yang perolehan suaranya paling tinggi berhak menjadi amggota DPR
Jika tidak ada lagi partai yang mencapai BPP namun masih terdapat suara sisa, maka semua suara sisa dialihkan ke partai yang perolehan suara/suara sisanya paling tinggi
Berdasar sistem diatas, setiap calon memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih.

Sistem proporsional terbuka seperti ini pertama kali diterapkan pada pemilu 2009 yang lalu, itu artinya anggota DPR periode 2009-2014 yang sekarang sedang menjabat, merupakan hasil dari kompetisi yang terbuka ini. Akan tetapi, kinerja DPR hasil kompetisi terbuka dan pilihan langsung dari rakyat ini tidak menunjukkan kinerja yang lebih baik dari DPR sebelumnya. Tingkat kepuasan akan kinerja DPR periode ini hanya berada di angka 12%, sedangkan tingkat kepuasan akan kinerja anggota DPR periode lalu berada di angka 51% (Data LSI). Angka ini menunjukkan penurunan tingkat kepuasan yang sangat tajam. Itu artinya, kinerja anggota dewan yang dipilih langsung oleh rakyat ini jauh lebih buruk daripada anggota dewan yang dipilih secara tidak langsung (sistem proporsional tertutup berdasar nomor urut). Jika dalam sistem proprosional tertutup, yang terpilih adalah yang nomor urut atas, yang biasanya petinggi partai ataupun kader utama partai. Sedangkan sistem proporsional terbuka, anggota karbitan suatu partai pun bisa terpilih.

Karena sistem pemilu yang dipakai pada 2014 ini adalah sama dengan sistem pemilu 2009, maka potensi terpilihnya caleg yang tidak dikader dengan baik oleh partai ataupun terpilihnya politisi karbitan sangat tinggi. Apalagi 90% dari anggota dewan periode ini kembali mencalonkan diri. Jangan sampai anggota dewan periode mendatang memiliki kinerja yang buruk. Solusi dari permasalahan ini bukanlah dengan mengembalikan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup lagi, akan tetapi dengan memastikan bahwasanya yang dipilih langsung oleh rakyat adalah benar - benar orang yang tepat. Pilihlah wakil rakyat yang berkompeten dan berintegritas.
Sekarang, semua keputusan ada di tangan kita, sebagai pemilih kitalah penentu utama siapakah yang akan duduk di DPR, apakah itu petinggi partai, keluarga petinggi partai, kader terbaik partai, atau justru politisi abal - abal yang tidak paham apa-apa. Sistem proporsional terbuka membuat partai hanya menjadi penyedia calon dan tidak berhak menentukan siapakah yang akan terpilih dari partai mereka, kitalah yang menentukan. Pastikan pilihan kita adalah pilihan yang tepat.

Sumber

www.tempo.co www.beritasore.com www.lsi.or.id
www.kpu.go.id