PENGALAMAN DAN KARAKTERISTIK SUFISME JALALUDDIN RUMI
Sufisme adalah suatu ilmu yang mempelajari cara bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Allah Swt. Adapun kesadaran berada dekat dengan Tuhan dapat diambil dari berbagai bentuk sesuai dengan kondisi sufi itu sendiri. Yakni bisa berbentuk ma'rifah, mahabbah, ittihad, hulul maupun wihdah al-wujud. Untuk mencapai tujuannya, seorang sufi harus menempuh jalan panjang, di antaranya melalui al-zuhd, yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.
Apabila dilihat dari luasnya wawasan dan tajamnya penglihatan pandangan seorang Jalaluddin Rumi, dari tema-tema universal yang diangkat dalam setiap baris karyanya dan dari cara mengungkapkan pikiran dalam bahasa puisi yang sarat simbol, tak dapat kita pungkiri bahwa bahwa Rumi adalah seorang yang jenius sebagaimana diungkapkan Erich Fromm:
"Dua ratus tahun sebelum pemikiran humanisme renaisance, Rumi telah mendahului mengemukakan ide-ide tentang toleransi agama yang dapat ditemukan pada Erasmus dan Nicholas De Cusa, dan ide-ide tentang cinta sebagai tenaga kreatif yang fundamental sebagai yang dikemukakan oleh Facini... Rumi bukan saja seorang penyair dan mistikus (sufi) serta pendiri Tarekat; tetapi ia juga seorang manusia yang mengetahui secara mendalam tabiat-tabiat manusia.”
Lalu bagaimana dengan pengalaman dan karakteristik sufi seorang Jalaluddin Rumi? Melalui syair-syair dan puisi yang ia tulis, sebagian orang menganggap ia sebagai pelopor yang menghidupkan kembali semangat keagamaan kaum muslimin dan berusaha membuang jauh-jauh kesan yang selama ini merusak citra para sufi yang dianggap sebagai fatalis. Ia mengetengahkan gagasan-gagasan yang mendorong manusia untuk senantiasa berbuat, berkarya dan bekerja keras untuk menunaikan tugas kemanusiaannya yang amat berat.
Rumi adalah termasuk tokoh sufi yang produktif. Dia aktif menulis karya-karya sufisme yang mayoritas berbentuk sya'ir atau prosa. Karena itu, wajarlah jika ia dijuluki sebagai penyair sufi besar. Karya sastra Rumi bisa dibilang sangat jamak; dalam bukunya Diwan-i Syams-i Tabriz terdapat kurang lebih 2500 lirik; dalam Masnawi sekitar 25.000 bait syair; dan Ruba'iyyat (syair empat baris) yang kira-kira 1600 barisnya adalah asli.
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas bahwa karya-karya Rumi mayoritas berbentuk sya'ir, maka untuk melacak dan mengetahui lebih jauh karakteristik sufisme Rumi perlu juga dilakukan analisa terhadap karya-karya tersebut.
Ekspresi-ekspresi sufisme sering berpegang pada keseimbangan antara cinta dan pengetahuan, suatu bentuk ekspresi emosional yang lebih mudah memadukan sikap keagamaan yang merupakan titik awal setiap kehidupan kerohanian Islam. Begitu pula yang dilakukan oleh Jalaluddin Rumi, ia mengekspresikannya dalam bahasa cinta. Hal itu dapat ditemukan dalam sya'irnya:
Aku adalah kehidupan dari yang kucintai
Apa yang dapat kulakukan hai orang-orang Muslim ?
Aku sendiri tidak tahu.
Aku bukan orang kristen, bukan orang Yahudi, bukan orang Magi, bukan orang Mosul,
Bukan dari Timur, bukan dari barat, bukan dari darat, bukan dari laut,
Bukan dari tambang Alama, bukan dari langit yang melingkar,
Bukan dari bumi, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api,
Bukan dari singgasana, bukan dari tanah, dari eksistensi, dari ada,
Bukan dari India, Cina, Bulgaria, Saqsee,
Bukan dari kerajaan-kerajaan Irak dan Kurasan,
Bukan dari dunia ini atau yang berikutnya; dari syurga atau neraka,
Bukan dari Adam, Hawa, taman-taman syurgawi, atau firdausi,
Tempatku tanpa tempat, jejakku tanpa jejak,
Bukan raga atau jiwa; semua adalah kehidupan dari yang kucintai.
Dalam kenyataannya, perbedaan antara jalan pengetahuan dan jalan cinta bermuara pada masalah keunggulan salah satunya atas lainnya, meskipun sebenarnya tidak pernah ada pemisahan sepenuhnya antara kedua modus rohani tersebut. Pengetahuan tentang Tuhan selalu memikirkan cinta, sementara cinta mengisyaratkan adanya pengetahuan mengenai obyek cinta, walaupun itu hanya merupakan pengetahuan langsung dan renungan.
Obyek cinta rohani adalah keindahan Tuhan yang merupakan suatu aspek dari ketakterbatasan Tuhan, dan melalui obyek ini rasa cinta menjadi terang dan jelas. Cinta yang penuh dan terpadu berputar mengelilingi sesuatu titik tunggal yang tak terlukiskan, Allah Swt. Selanjutnya menurut Rumi, cinta lebih tinggi dari kecemasan, hal ini dapat kita fahami dalam syairnya:
Sang Sufi bermi'raj ke 'Arsy dalam sekejap, sang zahid membutuhkan waktu sebulan untuk sehari perjalanan.
Meskipun bagi sang zahid, sehari bernilai besar sekali, namun bagaimana satu harinya bisa sama dengan lima puluh ribu tahun ?
Dalam kehidupan sang Sufi, setiap hari berarti lima puluh ribu tahun di dunia ini.
Cinta (mahabbah), dan juga gairah cinta ('isyq) adalah sifat Tuhan, takut adalah sifat hawa nafsu dan birahi.
Cinta memiliki lima ratus sayap, dan setiap sayap membentang dari atas syurga di langit tertinggi sampai di bawah bumi.
Sang zahid yang ketakutan berlari dengan kaki, para pecinta Tuhan terbang lebih cepat dari pada kilat.
Semoga Rahmat Tuhan membebaskanmu dari pengembaraan ini!, tak ada yang sampai kecuali rajawali yang setialah yang menemukan jalan menuju sang Raja.
Menurut Annemarie Schimmel, kekuatan Rumi adalah cintanya, suatu pengalaman cinta dalam makna manusiawi tetapi sama sekali didasarkan pada Tuhan. Ia merasa bahwa dalam setiap do'a ada rahmat Ilahi, dan ia membukanya sendiri rahmat Ilahi itu. Beserta dengan kehendak Ilahi, ia menemukan pemecahan bagi teka-teki taqdir dan mampu menjulang ke puncak kebahagiaan dari kesedihan yang paling dalam karena perpisahan.
Selanjutnya, Schimmel mengatakan bahwa Rumi telah mengalami keindahan dan keagungan Ilahi dengan seluruh indranya. Pengalaman indrawi terpantul kuat dalam sajaknya, dan dalam sajak itu selalu terjaga keseimbangan antara pengalaman indrawi dan kasih Ilahi, sebagaimana berikut:
Lewat Cintalah semua yang pahit akan jadi manis,
Lewat cintalah semua yang tembaga akan jadi emas,
Lewat cintalah semua endapan akan jadi anggur murni,
Lewat cintalah semua kesedihan akan jadi obat,
Lewat cintalah si mati akan jadi hidup,
Lewat cintalah Raja jadi budak..
Dari beberapa syair Rumi tersebut, kita memperoleh pemahaman bahwa pemahaman atas Tuhan beserta alam semesta hanya mungkin lewat bahasa cinta, bukan semata-mata dengan kerja dan usaha yang bersifat fisik lahiriyah.
Dari syair Rumi dan ungkapan-ungkapan sufistiknya, kita memperoleh gambaran bahwa Tuhan sebagai satu-satunya tujuan, tak ada yang menyamai. Karena itu, penggambaran Tuhan hanya mungkin lewat perbandingan, di mana yang terpenting adalah makna perbandingan itu sendiri, bukan wujud lahiriyah atau interpretasi fisiknya. Manusia senantiasa tidak puas; nafsunya selalu ingin terpenuhi. Karena itu, ia harus terus bertarung melalui segala usaha. Namun, baru dalam cintalah ia mendapatkan kepuasan. Cinta, menurut Rumi, adalah lenyapnya kedirian, yaitu kesatuan sempurna antara kekasih Tuhan dengan Tuhan. Dengan ketiadaan diri (fana') berarti terbuka bagi memancarnya cahaya Ilahi. Dengan kata lain, Tuhan adalah segala-galanya, tak ada selain Dia. Jadi, karakteristik sufisme Rumi adalah menjadikan cinta sebagai sarana untuk bisa bersatu dan dekat dengan Tuhan.
REFERENSI
Nicholson, Reynold A. 1993. Jalaluddin Rumi : Ajaran Dan Pengalaman Sufi. Jakarta : Pustaka Firdaus.