Free Essay

Pkn Konstitusi and Rule of Law

In:

Submitted By mentarikartika
Words 2997
Pages 12
BAB I
KONSTITUSI

I. Pengertian Konstitusi
Konstitusi berasal dari bahasa Prancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.
Di negara negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah Constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi. Pengertian konstitusi dalam praktik dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas yaitu keseluruhan dati peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Konstitusi dalam dunia politik sering digunakan paling tidak dalam dua pengertian, sebagaimana dikemukakan oleh K.C Wheare dalam bukunya Modern Constitution: Pertama dipergunakan dalam arti luas yaitu sistem pemerintahan ari suatu negara dan merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya sebagai sistem pemerintahan didalamnya terdapat campuran tata peraturan baik yang bersifat legal maupun yang non legal atau ekstra legal. Kedua, pengertian dalam arti sempit yakni sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa dokumen yang terkait satu sama lain.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian konstitusi meliputi konstitusi tertulis dan tidak tertulis, dan Undang-Undang Dasar itu sendiri merupakan konstitusi tertulis. Adapun batasan-batasan dapat dirumuskan kedalam pengertian sebagai berikut: a. Suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan kekuasaan kepada pasar penguasa b. Suatu dokumen tentang pembagian tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik c. Suatu deskripsi dari lembaga-lembaga negara d. Suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak-hak asasi manusia

II. Klasifikasi Konstitusi
K.C Wheare berpendapat tentang macam-macam kalsifikasi konstitusi. Wheare mengungkapkan panjang lebar mengenai macam-macam konstitusi dilengkapi dengan beberapa contoh konstitusi di beberapa negara, namun pada intinya sebagai berikut: a. Konstitusi tertulis dan konstitusi bukan tertulis b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rijid c. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi d. Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan e. Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem pemerintahan parlementer
Pertama, yang dimaksud konstitusi tertulis adalah suatu konstitusi yang dituangkan dalam sebuah dokumen formal. Sedangkan konstitusi yang bukan dalam bentuk tertulis adalah suatu konstitusi yang tidak dituangkan dalam suatu dokumen formal seperti konstitusi yang berlaku di Inggris, Israel, dan New Zealand. Kedua, dasar dalam konstitusi fleksibel dan rijid karena didasarkan atas criteria atau berkaitan dengan cara dan prosedur perubahannya. Jika suatu konstitusi itu mudah dalam mengubahnya, maka ia digolongkan pada konstitusi fleksibel. Sebaliknya jika ia sulit cara dan prosedur perubahannya maka ia termasuk jenis konstitusi yang rijid. Dalam konteks ini, UUD 1945 dalam realitanya termasuk konstitusi yang rijid. Ketiga, yang dimaksud konstitusi derajat tinggi adalah suatu konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara, dan dari segi bentuknya konstitusi ini berada diatas peraturan perundang-undangan yang lain, serta cara untuk mengubahnya lebih berat dibandingkan dengan yang lain. Sementara konstitusi tidak derajat tinggi adalah suatu konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat tinggi, serta persyaratan yang diperlukan untuk mengubah konstitusi jenis ini sama dengan persyaratan yang dipakai untuk mengubah peraturan-peraturan yang lain, umpamanya undang-undang. Klasifikasi keempat berkaitan erat dengan bentuk suatu negara. Artinya jika bentuk suatu negara itu serikat maka akan didapatkan sistem pambagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara bagian. Pembagian kekuasaan diatur dalam konstitusi. Dalam negara kesatuan, pembagian kekuasaan tersebut tidak dijumpai karena seluruh kekuasaannya tersentralkan di pemerintahan pusat walaupun dikenal juga sistem desentralisasi, hal ini juga diatur dalam konstitusi kesatuannya.
Kelima atau terakhir klasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Untuk sistem pemerintahan presidensial mempunyai ciri-ciri pokok yaitu a. Mempunyai kekuasaan nominal sebagai Kepala Negara, Presiden juga berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan (yang belakang ini lebih dominan) b. Presiden tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih seperti Amerika Serikat c. Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif. d. Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan.
Sedangkan untuk sistem pemerintahan parlementer yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a. Kabinet yang dipilih oleh perdana menteri dibentuk atau berdasarkan kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen. b. Para anggota kabinet mungkin seluruhnya, mungkin sebgaian adalah anggota parlemen. c. Perdana menteri bersama kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. d. Kepala Negara dengan saran atau nasihat perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum.
Berdasarkan klasifikasi konstitusi di atas, dalam di tarik kesimpulan bahwa UUD 1945 termasuk dalam klasifikasi konstitusi tertulis dalam arti dituangkan dalam dokumen, konstitusi rijid, konstitusi berderajat tinggi, konstitusi kesatuan, dan yang terakhir termasuk konstitusi yang menganut sistem pemerintahan campuran. Karena dalam UUD 1945 di samping mengatur ciri-ciri pemerintahan presidensial, juga mengatur beberapa ciri sistem pemerintahan parlementer. Di sinilah keunikan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan klasifikasi konstitusi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam UUD 1945 termasuk dalam klasifikasi konstitusi yang rijid, konstitusi tertulis dalam arti dituangkan dalam dokumen, konstitusi derajat tinggi, konstitusi kesatuan dan yang terakhir konstitusi yang menganut sistem pemerintahan campuran. Karena dalam UUD 1945 disamping mengatur cirri-ciri sistem pemerintahan presidensial juga mengatur beberapa cirri sistem pemerintahan parlementer. Disinilah keunikan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. III. Nilai Konstitusi
Menurut Karl Loewenstein, arti dari suatu konstitusi tertulis UUD dalam suatu lingkungan nasional yang spesifik terutama kenyataannya bagi rakyat biasa sehingga membawanya kepada tiga jenis penilaian konstitusi sebagai berikut: a. Konstitusi yang memiliki nilai normative
Suatu konstitusi yang telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi tersebut bukan hanya berlaku dalam arti hokum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnay diperlukan dan efektif. Dengan kata lain konsstitusi itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen. b. Konstitusi yang memiliki nilai nominal
Konstitusi yang mempunyai nilai nominal berarti secara hokum konstitusi itu berlaku, tetapi kenyataannya kurang sempurna. Sebab pasal pasal tertentu dari konstitusi tersebut dalam kenyataannya tidak berlaku. c. Konstitusi yang memiliki nilai semantik
Suatu konstitusi disebut memiliki nilai semantik jika konstitusi tersebut secara hokum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekadar untuk memberikan bentuk dari tempat yang telah ada, dan dipergunakan untuk melaksanakan kekuasaaan politik. Jadi, konstitusi tersebut hanyalah sekadar suatu istilah belaka, sedangkan dalam pelaksanaannya hanyalah dimaksudkan untuk kepentingan pihak penguasa.

IV. Sifat Konstitusi
Pengertian pengertian mengenai sifat konstitusi biasanya dikaitkan dengan pembahasan tentang sifat-sifatnya yang flexible atau rigid, tertulis atau tidak tertulis dan ssifatnya yang formal dan materiil. Mengenai sifat-sifat konstitusi tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut: a. Luwes (Fleksibel) atau Kaku (Rigid)
Naskah konstitusi atau undang-undang dasar dapat bersifat luwes atau kaku. Ukuran yang biasanya diapaki oleh para ahli untuk menentukan apakah suatu undang-undang dasar itu bersifat luwes atau kaku adalah (i) apakah terhadap naskah konstitusi itu dimungkinkan dilakukan perubahan dan apakah cara mengubahnya cukup mudah atau sulit, dan (ii) apakah naskah konstitusi itu mudah atau tidak mudah mengikuti perkembangan kebutuhan zaman.
Negara-negara yang mempunyai konstitusi yang bersifat luwes (flexible) umpamanya adalah New Zealand dak Kerajaan Inggris yang dikenal tidak memiliki konstitusi yang tertulis. Sementara konstitusi atau undang-undang dasar yang bersifat kaku (rigid) misalnya adalah Konstitusi Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Swiss.
Memang harus diakui bahwa untuk menentukan sifat flexible atau rigid suatu undang-undang dasar sebenarnya tidaklah cukup hanya dengan melihat dari segi cara menggubahnya. Dapat saja terjadi suatu undang-undang dikatakan bersifat rigid, tetapi dalam kenyataannya dapat diubah tanpa melalui prosedur yang ditentukan sendiri oleh undang-undang dasarnya, melainkan diubah melalui prosedur di luar ketentuan konstitusi seperti melalui revolusi atau dengan constitutional convention.
Menurut K.C Wheare ada tiga cara untuk mengubah undang-undang dasar yaitu : (i) formal amendment atau perubahan resmi, (ii) constitutional convenction atau konvensi ketatanegaraan dan (iii) judicial interpretation atau penafsiran pengadilan. Oleh karena itu, perubahan dalam arti penyempurnaan terhadap undang-undang dasar tidak selalu harus dilakukan dengan cara formal amendment , tetapi dapat pula dilakukan dengan konvensi ketatanegaraan.
Untuk menentukan sifat fleksibilitas atau rigiditas undang undang dasar , dapat digunakan ukuran kedua, yaitu apakah undang-undang dasar itu mudah atau tidak mudah mengikuti perkembangan zaman. Jika undang undang dasar mudah mengikuti perkembangan zaman, maka undang-undang dasar itu dapat dikatakan bersifat fleksibel. Sebaliknya, jika undang undang dasar tiu tidak mudah mengikuti perkembangan zaman, dapat disebut bersifat rigid. Suatu undang undang dasar yang hanya mengatur hal-hal yang pokok adalah konstitusi yang mudah dapat mengikuti perkembangan masyarakat, sebab norma-norma pelaksanaannya lebih lanjut diserahkan kepada bentuk perundang undangan yang lebih rendah sehingga lebih mudah untuk dibuat dan diubah. b. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis
Membedakan secara prinsipil antara konstitusi tertulis atau tidak tertulis adalah tidak tepat. Sebutan konstitusi tidak tertulis hanya dipakai untuk dilawankan dengan Konstitusi modern yang lazimnya ditulis dalam suatu naskah atau beberapa naskah. Timbulnya konstitusi tertulis disebabkan karena pengaruh aliran kodifikasi. Salah satu negara didunia yang mempunyai konstitusi tidak tertulis adalah negara Inggris.
Dengan demikian, suatu Konstitusi disebut tertulis apabila ia ditulis dalam suatu naskah atau beberapa naskah, sedangkan suatu konstitusi disebut tidak tertulis dikarenakan ketentuan-ketentuan yang mengatur suatu pemerintahan tidak tertulis dalam suatu naskah tertentu, melainkan dalam banyak hal diatur dalam konvensi-konvensi atau undang-undang biasa. c. Konstitusi Formal dan Materiil
Adanya kesalah pahaman dalam cara pandang banyak orang mengenai konstitusi yang sering diidentikkan dengan undang-undang dasar. Penyebab kesalahan tersebut ialah adanya pengaruh paham kodivikasi yang menghendaki semua peraturan dibuat dalam bentuk tertulis dengan maksud untuk mencapai kesatuan hukum, kesederhanaan hukum, dan kepastian hukum. Pengertian undang-undang dasar dihubungkan dengan pengertian konstitusi merupakan sebagian dari pengertian konstitusi yang ditulis (die geschrieben verfassung), dalam arti inilah konstitusi bersifat yuridis atau rechtsverfassung, yaitu sebagai undang-undang dasar atau grundgesetz. Sementara itu konstitusi dalam arti luas tidak hanya bersifat yuridis semata tetapi bersifat sosiologis dan politis yang tidak disebut sebagai undang-undang dasar namun termasuk dalam pengertian konstitusi. Setiap rechtsverfassung memiliki dua syarat. Syarat pertama mengenai bentuknya yang berupa naskah tertulis sebagai undang-undang yang tertinggi dan berlaku di negara tersebut, syarat kedua isinya berupa peraturan fundamental.
Secara singkat, konstitusi dalam arti formil berarti konstitusi yang tertulis dalam ketatanegaraan suatu negara, sedangkan konstitusi materiil adalah konstitusi yang dilihat dari segi isinya.

BAB II
RULE OF LAW

I. Pengertian Rule of Law dan Ruang Lingkupnya
Rule of Law adalah suatu doktrin hukum yang mulai muncul pada abad ke 19, bersamaan dengan kelahiran negara konstitusi dan demokrasi. Ia lahir sejalan dengan tumbuh suburnya demokrasi dan meningkatnya peran parlemen dalam penyelenggaraan negara dan sebagai reaksi terhadap negara absolut yang berkembang sebelumnya.
Rule of Law merupakan konsep tentang common law dimana segenap lapisan masyarakat dan negara beserta seluruh kelembagaannya menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibangun diatas prinsip keadilan dan egalitarian. Rule of Law adalah rule by the law dan bukan rule by the man. Ia lahir mengambil alih dominasi yang dimiliki kaum gereja, ningrat dan kerajaan, menggeser negara kerajaan dan memunculkan negara konstitusi dari mana doktrin Rule of Law ini lahir. Ada tidaknya Rule of Law dalam suatu negara ditentukan oleh “kenyataan” apakah rakyatnya benar-benar menikmati keadilan, dalam arti perlakuan yang adil, baik sesama warganegara, maupun dari pemerintah. Oleh karena itu, pelaksanaan kaidah-kaidah hukum yang berlaku di suatu negara merupakan suatu premise bahwa kaidah-kaidah yang dilaksanakan itu merupakan hukum yang adil, artinya kaidah hukum yang menjamin perlakuan yang adil bagi masyarakat.
Berdasarkan pengertiannya, Friedman (1959) membedakan Rule of Law menjadi 2 (dua), yaitu pengertian secara formal (in the formal sense) dan pengertian secara hakiki/materiil (ideological sense). Secara formal, Rule of Law diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisasi (organized public power), misalnya negara. Sedangkan secara hakiki, Rule of Law terkait dengan penegakan Rule of Law, karena menyangkut ukuran hukum yang baik dan buruk (just and unjust law). Rule of Law terkait erat dengan keadilan, sehinggaRule of Law harus menjamin keadilan yang dirasakan oleh masyarakat/bangsa.
Rule of Law merupakan suatu legalisme sehingga mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal, dan otonom.

II. Prinsip Rule Of Law Secara Formal
Di Indonesia, prinsip-prinsip Rule of Law secara formal tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan : (1) bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa, …..karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan “peri keadilan”, (2) ……. kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, “adil” dan makmur; (3) …….. untuk memajukan “kesejahteraan umum”, ……. dan “keadilan sosial”; (4) …….. disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu “Undang-undang Dasar Negara Indonesia”; (5) ……..”kemanusiaan yang adil dan beradab”; dan (6) …….. serta dengan mewujudkan suatu “keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip-prinsip tersebut pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia dan juga “keadilan sosial”, sehingga Pembukaan UUD 1945 bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaraan negara. Dengan demikian, inti dari Rule of Law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan sosial. Prinsip-prinsip di atas merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan bagi penyelenggara negara/pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan jaminan atas rasa keadilan terutama keadilan sosial.
Penjabaran prinsip-prinsip Rule of Law secara formal termuat didalam pasal-pasal UUD 1945, yaitu : (1) Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3); (2) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat 1); (3) Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (pasal 27 ayat 1); (4) Dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal 28 D ayat 1); (5) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28 D ayat 2).

III. Prinsip-prinsip Rule of Law secara Hakiki dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Prinsip-prinsip Rule of Law secara hakiki (materiil) sangat erat kaitannya dengan “the enforcement of the rules of law” dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam hal penegakan hukum dan implementasi prinsip-prinsip Rule of Law. Berdasarkan pengalaman berbagai negara dan hasil kajian menunjukkan bahwa keberhasilan “the enforcement of the rules of law” tergantung kepada kepribadian nasional masing-masing bangsa (Sunarjati Hartono, 1982). Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa Rule of Law merupakan institusi sosial yang memiliki struktur sosiologis yang khas dan mempunyai akar budayanya yang khas pula. Rule of Law ini juga merupakan legalisme, suatu aliran pemikiran hukum yang didalamnya terkandung wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dan negara, yang dengan demikian memuat nilai-nilai tertentu yang memiliki struktur sosiologisnya sendiri. Legalisme tersebut mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang sengaja bersifat objektif, tidak memihak, tidak personal, dan otonom. Secara kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Rule of Law telah banyak dihasilkan di negara kita, namun implementasi/penegakannya belum mencapai hasil yang optimal, sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan Rule of Lawbelum dirasakan sebagian besar masyarakat.

IV. Strategi Pelaksanaan Pengembangan Rule Of Law di Indonesia
Agar pelaksanaan (pengembangan) Rule of Law berjalan efektif sesuai dengan yang diharapkan, maka: a. Keberhasilan “the enforcement of the rules of law” harus didasarkan pada corak masyarakat hukum yang bersangkutan dan kepribadian nasional masing-masing bangsa; b. Rule of Law yang merupakan institusi sosial harus didasarkan pada akar budaya yang tumbuh dan berkembang pada bangsa; c. Rule of Law sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dan negara, harus dapat ditegakkan secara adil, dan hanya memihak kepada keadilan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu dikembangkan hukum progresif (Satjipto Rahardjo, 2004), yang memihak hanya kepada keadilan itu sendiri, bukan sebagai alat politik yang memihak kepada kekuasaan seperti seperti yang selama ini diperlihatkan. Hukum progresif merupakan gagasan yang ingin mencari cara untuk mengatasi keterpurukan hukum di Indonesia secara lebih bermakna. Asumsi dasar hukum progresif bahwa “hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya, hukum bukan merupakan institusi yang absolut dan final, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menerus menjadi (law as process, law in the making). Hukum progresif memuat kandungan moral yang sangat kuat, karene tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan sustu institusi yang bermoral yaitu kemanusiaan. Hukum progresif peka terhadap perubahan-perubahan dan terpanggil untuk tampil melindungi rakyat untuk menuju ideal hukum. Hukum progresif menolak keadaan status quo, ia merasa bebas untuk mencari format, pikiran, asas serta aksi-aksi, karena “hukum untuk manusia”.
Arah dan watak hukum yang dibangun harus berada dalam hubungan yang sinergis dengan kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia, atau “back to law and order”, kembali kepada orde hukum dan ketaatan dalam konteks Indonesia. Artinya, bangsa Indonesia harus berani mengangkat “Pancasila” sebagai alternatif dalam membangun “negara berdasarkan hukum” versi Indonesia sehingga dapat menjadi “Rule of Moral” atau “Rule of Justice” yang bersifat “ke-Indonesia-an” yang lebih mengedepankan “olah hati nurani” daripada “olah otak”, atau lebih mengedepankan komitmen moral.

V. Lembaga Penegak Hukum di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Budiarjo, Miriam. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Dahlan Thaib, dkk. 2005. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Projodikoro, Wirjono. 1989. Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat
Rahardjo, Satjipto. 2003. Sisi sisi lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Soemantri,Sri. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni
Srijanti, dkk. 2008. Etika Berwarga Negara. Jakarta : Salemba Empat

--------------------------------------------
[ 2 ]. Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1989, hal. 10
[ 3 ]. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hal. 95
[ 4 ]. Dahlan Thaib et.all, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 7
[ 5 ]. Ibid, hal 13
[ 6 ]. Ibid, hal14
[ 7 ]. Ibid hal 25
[ 8 ]. Ibid hal 28
[ 9 ]. Ibid hal 29
[ 10 ]. Ibid hal 60
[ 11 ]. Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987 hal. 60-61
[ 12 ]. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hal.115
[ 13 ]. Ibid hal 118
[ 14 ]. Srijanti, A. Rachman, Etika Berwarga Negara, Salemba Empat, Jakarta, 2008 hal. 109
[ 15 ]. Ibid hal. 108
[ 16 ]. Ibid hal 110
[ 17 ]. Ibid hal 111
[ 18 ]. Satjipto Rahardjo, Sisi sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2003 hal.4

Similar Documents