Asia Tengah adalah kawasan yang terdiri dari lima negara, yaitu Tajikistan, Turkmenistan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, dan Kazakhstan. Kelima negara ini adalah negara pecahan dari Uni Soviet. Setelah Perang Dingin berakhir, kelima negara ini kemudian memisahkan dirinya dari Uni Soviet dan menyatakan kemerdekaannya masing-masing di tahun 1991. Masing-masing negara di Asia Tengah memiliki karakteristik geografis yang berbeda-beda. Tajikistan, Kirgistan, dan Uzbekistan termasuk ke dalam kategori landlocked countries, sedangkan Turkmenistan dan Kazakhstan berbatasan langsung dengan Laut Kaspia. Perbedaan karakteristik geografis ini berdampak pada perbedaan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing negara, dimana Turkmenistan dan Kazakhstan yang berbatasan langsung dengan Laut Kaspia memiliki akses minyak bumi dan gas alam yang terdapat disitu. Sedangkan Uzbekistan meskipun tidak berbatasan secara langsung dengan kawasan tersebut, tapi negara ini memiliki gas alam dalam jumlah yang cukup besar. Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, kawasan ini juga mempunyai beberapa kesamaan, diantaranya bentuk pemerintahannya yang sama-sama republik dengan pemerintah yang bersifat otoriter, serta pola perdagangannya yang sama-sama tidak menjadikan negara-negara di kawasan tersebut sebagai major trading partners.
Regionalisme merupakan fenomena umum yang terdapat di dunia pada beberapa waktu terakhir. Tidak ada wilayah di dunia yang tidak memiliki kerjasama regional, perbedaannya hanya terletak pada tahapan perkembangannya. Salah satu contoh kerjasama regional yang seringkali dijadikan role-model dan memang telah mencapai tahap perkembangan yang terjauh adalah Uni Eropa. Tidak ketinggalan kawasan lain pun mempunyai kerjasama regionalnya masing-masing, seperti kawasan Amerika yang tergabung dalam Organization of American States (OAS) dan kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).
Bagaimana halnya dengan kawasan Asia Tengah? Berbagai bentuk kerjasama regional hadir di kawasan ini, sebut saja Central Asian Cooperation Organization (CACO), Central Asia Regional Economic Cooperation (CAREC), dan yang paling terakhir adalah Shanghai Cooperation Organization (SCO). Namun, hingga saat ini berbagai bentuk kerjasama regional tersebut masih belum bisa terlihat keefektifannya secara nyata.
Suatu region/kawasan tidak hanya didefinisikan sebagai wilayah yang memiliki kesamaan letak geografis, melainkan lebih kepada bagaimana aktor-aktor politik internasional menginterpretasikan makna dari region itu sendiri. Karenanya, regionalisme bukan hanya sebuah konsep geografis, melainkan juga sebuah proses dinamis yang di dalamnya mencakup hubungan ekonomi, politik, dan sosial budaya. Secara umum, regionalisme didefinisikan sebagai kondisi di mana sekelompok negara, biasanya yang terletak dalam wilayah geografis yang sama, setuju untuk bekerjasama dan membagi tanggung jawab untuk meraih tujuan yang sama. Regionalisme merupakan sebuah respon logis yang diambil suatu negara dalam menghadapi masalah yang terlalu besar untuk diselesaikan sendiri, atau masalah di mana tindakan suatu negara akan mempengaruhi negara lainnya.
Dalam memahami regionalisme, pemahaman yang penting adalah bahwa regionalisme berbeda dengan regionalisasi. Regionalisme merupakan konsep normatif yang merujuk pada nilai, norma, identitas, dan aspirasi yang dipegang oleh pihak-pihak tertentu. Berbeda dengan regionalisasi yang merujuk pada a series of complex, proses yang saling terkait untuk memperluas dan mempercepat saling keterkoneksinya (interconnectedness) suatu domain regional dalam hubungan politik, ekonomi, dan sosial. Pada beberapa definisi, aktor utama di balik regionalisme adalah negara; sementara pada beberapa definisi lain, aktor yang berperan tidak hanya terbatas pada negara. Menurut Anthony Payne dan Andrew Gamble, ‘regionalisme adalah sebuah proyek state-led atau states-led yang bertujuan untuk mengatur ulang suatu ruang regional tertentu bersama dengan tujuan ekonomi dan politik yang telah ditentukan’.
Pembentukan regionalisme sendiri dapat dibagi menjadi dua berdasarkan dua perspektif dasar dalam Ilmu Hubungan Internasional, realis dan liberal. Perspektif realis memandang bahwa pembentukan regionalisme tidak serta merta menghilangkan kedaulatan negara. Justru, menurut perspektif ini seperti yang dikatakan oleh Gilpin , kerjasama regional adalah alat untuk memperluas kepedulian dan ambisi nasional. Regionalisme dipandang sebagai upaya negara untuk memperkuat keberadaannya ketika persaingan ekonomi semakin meningkat. Dampaknya adalah (1) negara akan berusaha melihat apakah keuntungan yang didapatkannya ketika mengadakan kerjasama jauh lebih besar ketimbang dengan tidak melakukan kerjasama (relative gain); (2) kerjasama regional baru akan berkembang seiring dengan absennya kepemimpinan internasional yang kuat; (3) kerjasama regional juga baru akan terbentuk jika ada partisipasi dari beberapa negara yang kuat untuk menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya dalam mempromosikan kerjasama tersebut; selain itu (4) sifatnya menjadi interest driven institution, dimana negara-negara baru akan bekerjasama apabila kepentingannya tercapai melalui kerjasama tersebut, oleh karena itu negara bisa melakukan perbuatan curang (cheating/non-compliance) apabila kepentingannya tidak tercapai.
Perspektif liberal sendiri dalam memandang regionalisme dapat dibagi ke dalam dua periode. Pada awalnya perspektif ini memandang bahwa kerjasama regional akan terbentuk akibat adanya insentif ekonomi. Insentif ekonomi akan terjadi apabila terdapat kerjasama ekonomi yang mendorong terjadinya liberalisasi perdagangan, liberalisasi ini menguntungkan dalam hal dapat mengalokasikan sumber daya secara efektif, sehingga mendorong terjadinya multiplier effect. Selain itu economic scale yang besar dapat mendorong terjadinya pertumbuhan pasar. Namun, muncul pertanyaan, apakah liberalisasi dalam tingkat regional akan lebih menguntungkan daripada liberalisasi dalam tingkat global? Liberalisasi ini ternyata akan menguntungkan apabila dapat menimbulkan pasar (trade creation) melalui apa yang dinamakan sebagai building blocs (bila setiap pasar sudah memiliki FTA maka kerjasama akan mudah dilakukan karena hubungannya langsung antar blok regional). Sedangkan di sisi lain, liberalisasi ini tidak akan menguntungkan apabila justru yang terjadi adalah trade diversion karena adanya stumbling blocs, yaitu persaingan di antara kerjasama-kerjasama regional yang kemudian menimbulkan benteng-benteng (fortress) terhadap akses pasar. Perspektif liberal kemudian berkembang dalam varian fungsionalisme dan neo-fungsionalisme yang pada dasarnya melihat bahwa seiring dengan berkembangnya isu-isu yang tidak dapat ditangani oleh berbagai negara, sehingga mereka harus bekerjasama untuk menyelesaikan isu-isu ini. Kerjasama yang semakin erat ini kemudian akan menyebabkan ketergantungan negara-negara yang bekerjasama itu terhadap kerjasama yang mereka buat. Kerjasama regional pun pada akhirnya bersifat dominan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi diantara negara-negara anggotanya, sehingga peranan negara (nation-states) pun berkurang. Kerjasama regional pun didasarkan pada persamaan norma dan nilai (norms-driven institution).
Hubungan diantara negara-negara Asia Tengah tersebut diwarnai oleh berbagai permasalahan. Permasalahan-permasalahan yang pada akhirnya menghambat kerjasama diantara mereka antara lain masalah perbatasan dan distribusi air. Permasalahan perbatasan diantaranya terjadi antara Uzbekistan dengan Kyrgyzstan dan Tajikistan, dimana para tentara Uzbekistan memasang ranjau pada tahun 1999-2000 untuk mencegah serangan oleh ekstrimis agama Islam di negara tersebut yang sering disebut sebagai Islamic Movement of Uzbekistan (IMU). Pemasangan ranjau ini pun memakan korban dimana sebanyak 98 rakyat sipil meninggal serta 59 lainnnya terluka (kebanyakan wanita dan anak-anak). Permasalahan perbatasan ini juga terjadi antara Kazakhstan dengan Kyrgyzstan, tapi permasalahan diantara mereka dapat diselesaikan dengan negosiasi yang berlangsung secara damai sehingga pada tahun 1996 penentuan batas negara dapat disepakati dan demarkasi berhasil dilaksanakan pada Desember 2001.
Permasalahan lain yang juga mewarnai hubungan negara-negara Asia Tengah adalah permasalahan air. Sumber air di kawasan tersebut sebagian besar berasal dari dua sungai, Amu Darya dan Syr Darya, yang berasal dari Kyrgyzstan dan Tajikistan dan mengalir menuju Laut Aral yang berlokasi di Kazakhstan, Turkmenistan dan Uzbekistan. Lembah sungai Laut Aral menyediakan keperluan air bagi 75% populasi Asia Tengah dan mengandung 90% surface water di kawasan. Pertanian adalah dasar dari ekonomi di kawasan dan tanaman-tanaman pertanian seperti kapas dan nasi membutuhkan irigasi yang intensif. Tahun 1960, keputusan dibuat untuk membelokkan aliran dua sungai tersebut ke perkebunan kapas dengan tujuan menaikkan produksi mereka, hal ini kemudian menyebabkan pengurangan volume air di Laut Aral hingga 75%. Hingga saat ini, Uzbekistan masih melakukan tindakan membahayakan ini. Padahal tindakan ini mengakibatkan lebih dari 50% air hilang ketika transit dalam perjalanannya menuju ladang pertanian. Namun di Kazakhstan situasi membaik, dimana mereka membangun dam guna membuat 40% dari air kembali ke Laut Aral kembali. Sebenarnya masalah manajemen air di kawasan ini gagal dilakukan setelah negara-negara Asia Tengah merdeka dari Uni Soviet. Perjanjian air yang ada hingga saat ini mengalokasikan 73% air dari lembah sungai Laut Aral ke Kazakhstan, Turkmenistan dan Uzbekistan, dimana Kyrgyzstan and Tajikistan –negara dengan 9% dari semua air– menandatangani kurang dari seperempat jumlah air untuk kebutuhan mereka sendiri (untuk ditukar dengan sumber daya energi). Lebih jauh lagi, walaupun negara-negara hilir di kawasan percaya bahwa air adalah sumber daya bersama bagi seluruh kawasan, mereka tidak mengambil tindakan untuk mengelola sistem air.
Kerjasama regional di Asia Tengah pertama kali dibuat tahun 1994 dibawah kepemimpinan Kazakhstan, yang bernama Central Asian Union dan dibentuk oleh Kazakhstan, Kyrgyzstan and Uzbekistan dengan tujuan menciptakan kawasan ekonomi single dengan peningkatan dalam pengaturan pembayaran dan penghilangan tarif di antara negara-negara anggota. Tahun 1995, prinsip perdagangan bebas diantara negara-negara anggota diterima dan dibentuklah sebuah Bank Sentral Asia untuk Kerjasama dan Pembangunan (Central Asian Bank for Cooperation and Development). Tahun 1998, Tajikistan bergabung dengan organisasi ini dan organisasi ini berubah nama menjadi Central Asian Economic Cooperation (CAEC). Tahun 2001, CAEC berubah menjadi Central Asian Cooperation Organization (CACO) dengan tujuan memperluas kerjasama dalam bidang ekonomi dan politik sekaligus menciptakan consortia untuk menghadapi isu-isu seperti air dan energi. Namun, pada tahun 2004, Rusia kemudian bergabung dengan CACO. Oleh Rusia, CACO digabungkan dengan Eurasian Economic Community (EAEC) yang kemudian sarat dengan dominasi Rusia.
Kerjasama regional berikutnya adalah Central Asia Regional Economic Cooperation (CAREC). Kerjasama ini merupakan inisiatif dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) guna mendorong dan meningkatkan kerja sama ekonomi di antara negara-negara di kawasan Asia Tengah. CAREC sendiri dibentuk pada tahun 1997, anggotanya terdiri dari delapan negara dan enam lembaga multilateral yang bekerja untuk mempromosikan pembangunan melalui kerjasama, yang mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Delapan negara CAREC adalah Afghanistan, Azerbaijan, Cina, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Mongolia, Tajikistan, dan Uzbekistan, sedangkan mitra lembaga multilateralnya adalah Asian Development Bank (ADB), European Bank for Reconstruction and Development (EBRD), International Monetary Fund (IMF), Islamic Development Bank (IsDB), United Nations Development Programme (UNDP), dan World Bank. CAREC kemudian memfasilitasi dan mempromosikan kerjasama regional dalam empat bidang yakni transportasi, fasilitas perdagangan, kebijakan perdagangan, dan energi. Mengamati CAREC lebih jauh, dapat terlihat bahwa kerjasama ini lebih terfokus pada masalah energi di Asia Tengah, dimana bidang kerjasama lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung berfungsi untuk mendukung perdagangan energi di kawasan Asia Tengah. Oleh karena itu, kerjasama regional ini patut dipertanyakan, apakah tujuannya memang murni untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan atau justru membantu pengekplotasian sumber daya energi yang terdapat di kawasan ini.
Kerjasama regional lainnya yang juga terdapat di kawasan Asia Tengah adalah Shanghai Cooperation Organization (SCO). SCO adalah sebuah organisasi kerjasama antar-pemerintahan yang dijalin oleh Cina, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Rusia, Tajikistan and Uzbekistan pada 15 Juni 2001. SCO sendiri merupakan perkembangan sebuah forum Shanghai Five pada tahun 1996. Shanghai Five sendiri meliputi negara Rusia, Cina, Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan, yaitu sebuah kerja sama yang berbentuk forum dalam peningkatan kepercayaan dan keamanan dalam bidang militer di kawasan tersebut. Tujuan dan prinsip SCO seperti yang dikatakan dalam Piagam SCO adalah penguatan rasa saling percaya dan dan peningkatan kerja sama di berbagai bidang. Namun, dalam perkembangannya, kerjasama yang terjadi terutama dalam bidang ekonomi justru lebih banyak terjalin melalui kerjasama bilateral, seperti misalnya kerjasama bilateral Cina-Tajikistan untuk pembangungan jalan di Tajikistan. Selain itu, dikatakan pula bahwa dalam pengambilan keputusan seringkali Cina dan Rusia lebih dominan di dalamnya. Sehingga dikatakan terdapat struktur dalam SCO yakni 2 (Cina dan Rusia) + 4 (Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Uzbekistan), atau 1 (Rusia) + 1 (Cina) + 4 (Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Uzbekistan).
Berdasarkan uraian di atas, hal pertama yang coba dilihat oleh penulis apakah kerjasama regional tersebut pantas disebut sebagai bentuk regionalisme. Berdasarkan pengertian yang diberikan seperti yang tercantum dalam kerangka pemikiran bahwa regionalisme adalah kondisi di mana sekelompok negara, biasanya yang terletak dalam wilayah geografis yang sama, setuju untuk bekerjasama dan membagi tanggung jawab untuk meraih tujuan yang sama, telah dipenuhi oleh kerjasama regional tersebut. Namun, seperti yang terlihat jelas dalam uraian di atas, Turkmenistan yang merupakan salah satu negara di Asia Tengah justru tidak pernah terlibat secara aktif dalam regionalisme yang terdapat di kawasan tersebut. Justru yang lebih banyak terlibat dalam kerjasama tersebut adalah Cina dan Rusia yang tidak termasuk negara di kawasan tersebut, tapi secara langsung berbatasan dengan negara-negara di kawasan tersebut. Hal ini kemudian memperlihatkan bahwa regionalisme yang terjalin di kawasan tersebut lebih dikarenakan adanya kepentingan negara-negara anggotanya (interest driven institution), dibandingkan dengan persamaan norma dan nilai (norms-driven institution) di antara mereka, seperti yang dikatakan oleh perspektif realis terkait pembentukan regionalisme. Kepentingan-kepentingan tersebut mencakup masalah energi dan keamanan daerah perbatasan. Selain itu, keterlibatan Rusia dan Cina disini juga dapat dilihat sebagai aktor kuat yang akhirnya mendorong terjalinnya kerjasama tersebut. Hal ini sesuai dengan perpektif realis yang memandang kerjasama regional baru akan terbentuk jika ada partisipasi dari beberapa negara yang kuat untuk menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya dalam mempromosikan kerjasama tersebut. Meskipun menurut perspektif realis, regionalisme tidak dapat berjalan efektif seutuhnya karena ada kemungkinan untuk perilaku curang (cheating/non-compliance), tapi penulis melihat beberapa faktor lain yang juga menjadi penyebab dari tidak efektifnya pembentukan regionalisme di Asia Tengah. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Keadaan Internal Masing-Masing Negara Asia Tengah yang Tidak Baik
Niklas Swanström dalam tulisannya tentang kerjasama regional di Asia Tengah mengatakan “…the current states are weak and the national identities are not strong enough to create effective and solid states. The clans still have an important power position in the region at the expense of the national governments. For the region to integrate into regional organizations, this creates difficulties, because the states are neither strong nor confident enough to engage in regional cooperation and surrender parts of their national sovereignty to a regional organization.”
Selain itu ketidakstabilan politik di masing-masing negara Asia Tengah juga dapat menjadi penghambat bagi pembentukan regionalisme di kawasan ini. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, negara-negara di Asia Tengah memiliki rezim otoriter dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan presiden, yang harusnya menolong untuk menstabilkan rezim. Namun, kepresidenan di negara-negara tersebut terlalu banyak bertumpu pada personal might, tidak ada kekuatan penyeimbang untuk transfer kekuatan negara dan demokrasi yang mulus. Hasilnya adalah setiap pergantian presiden menghasilkan instabilitas sosial dan politik di setiap negara.
2. Hubungan yang Tidak Baik antara Negara-Negara Asia Tengah
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, hubungan di antara negara-negara Asia Tengah sendiri masih diwarnai oleh berbagai permasalahan. Permasalahan-permasalahan yang pada akhirnya menghambat kerjasama diantara mereka antara lain masalah perbatasan dan distribusi air.
Selain itu masing-masing negara juga mempunyai pandangannya masing-masing terkait kerjasama regional. Turkmenistan yang terikat pada sikap netralnya menolak berbagai bentuk kerjasama regional. Uzbekistan juga bersikap sangat hati-hati terhadap kerjasama regional. Sedangkan Kazakhstan selaku negara terkaya di kawasan ini selalu mempromosikan kerjasama regional. Hal ini dikarenakan Kazakhstan mempunyai ambisi untuk menjadi pemimpin di kawasan tersebut. Sedangkan dua negara kecil di Asia Tengah, Kyrgyzstan dan Tajikistan bersikap lebih terbuka terhadap kerjasama regional karena mereka membutuhkan bantuan dari kerjasama tersebut mengingat performa ekonomi kedua negara yang kurang baik.
3. Peran Negara Luar Asia Tengah yang Dominan
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, peranan Cina dan Rusia terasa sangat dominan dalam kerjasama regional di kawasan Asia Tengah. Hal ini dikarenakan kedua negara ini berbatasan langsung dengan wilayah ini, sehingga untuk menjaga keamanan perbatasan wilayah mereka, perlu dilakukan kerjasama diantara mereka. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa Cina dan Rusia sama-sama tertarik dengan sumber daya energi yang terdapat di kawasan tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila mereka terus menerus mempromosikan kerjasama regional yang juga mencakup kerjasama dalam bidang energi.