Representasi Kemiskinan Dalam Novel Jatisaba Karya Ramayda Akmal (Kajian Sosiologi Sastra)
In:
Submitted By pratiwis Words 33883 Pages 136
BAB 4
REPRESENTASI KEMISKINAN DALAM NOVEL JATISABA KARYA RAMAYDA AKMAL 4.1 Sinopsis Novel
Novel ini bercerita tentang tokoh Mae, seorang mantan buruh migran datang ke kampung halamannya, Jatisaba. Sebagai mantan pekerja buruh migran yang mengalami nasib malang, Mae harus mengalami nasib buruk untuk yang kedua kalinya, yaitu menjadi pekerja di sindikat perdagangan manusia internasional. Karena pekerjaannya itulah, Mae diharuskan mencari korban di desanya sendiri. Pekerjaan Mae untuk mencari korban di desanya ini merupakan pekerjaan terakhirnya, sebelum dia benar-benar bisa terlepas dari pekerjaannya ini. Kepulangan Mae ke Jatisaba inilah yang kemudian memunculkan beberapa peristiwa yang tidak terduga dan sangat menyentuh. Dimulai dari nostalgia Mae akan kampung halaman, keluarga, teman-teman, sampai kenangan indah bersama cinta pertamanya, Gao. Kehidupan masyarakat desa dengan sekelumit persoalan juga harus dilalui oleh Mae yang pada akhirnya terjerat dalam politik desa yang rumit.
Kedatangan Mae ke Jatisaba membuatnya harus pandai memainkan peran sebagai seorang ‘mantan’ warga Jatisaba. Hal ini harus dilakukan Mae agar warga Jatisaba tidak menaruh curiga padanya. Selama berada di Jatisaba, Mae tinggal di rumah Sitas. Di rumah Sitaslah, Mae banyak mengingat masa lalunya tentang Jatisaba. Kehidupan keluarganya, masa kecilnya, sampai ingatan pemerkosaan yang pernah Mae alami. Sitas adalah tetangga Mae yang sudah sejak lama Mae kenal ketika Mae masih tinggal di Jatisaba. Namun sayang, pilihan Mae untuk tinggal di rumah Sitas justru menjadi bumerang bagi diri Mae. Sifat Sitas yang seperti ular berkepala dua menjadi ancaman besar bagi Mae, tetapi Mae tidak menyadari hal itu.
Keesokan harinya, tak lama setelah kedatangan Mae, Mae dan Sitas pergi ke warung Sitar. Ketika berada di warung Sitar itulah, Mae kemudian bertemu dengan Jompro yang juga kawan Mae sejak dahulu. Dimulai dari pertemuan itu, negosiasi Mae dan Jompro pun terjadi. Jompro yang akan mencalonkan diri menjadi kepala desa dan juga memiliki kekuasaan dan cukup ditakuti di Jatisaba menyanggupi tawaran Mae untuk membantunya mengurus surat-surat untuk calon korban Mae. Sebaliknya Mae harus menjamin bahwa orang-orang (calon korban Mae) itu akan memilih Jompro yang mencalonkan diri sebagai kepala desa di hari pemilihan nanti.
Dalam upaya Mae mencari korban-korbannya, Mae berpura-pura menjadi pekerja di agen pencari tenaga kerja Indonesia. Mae mendatangi beberapa orang yang dahulu menjadi teman atau bahkan keluarganya untuk ia ajak menjadi tenaga kerja. Mae datang ke rumah-rumah mereka, pengikuti pengajian warga, atau sesekali datang di sela-sela kampanye kepala desa. Kemiskinan dan kebodohan yang menaungi warga Jatisaba, membuat mereka mudah percayai Mae. Namun, diceritakan ketika Mae merayu para calon korbannya, Mae mengalami konflik batin yang luar biasa. Di satu sisi Mae merasa tidak tega jika harus menjebak orang-orang terdekatnya. Akan tetapi di sisi lain Mae seolah tidak berdaya untuk tidak melakukan hal tersebut. sebab hal tersebut seolah menjadi keharusan yang harus ia laksanakan.
Suasana pemilihan kepala desa yang sangat rumit dan dipenuhi dengan money politic dan kampanye terselubung para calon menjadi awal ketegangan cerita ini. Selain beberapa ancaman yang diterima oleh masyarakat desa dari para masing-masing calon, mereka juga dipaksa untuk menerima dampak dari sengitnya pemilihan kepala desa karena konflik antarcalon. Mendekati hari pemilihan, suasana desa semakin kacau, beberapa aparat desa sudah ada yang mencium gelagat tak beres akan pekerjaan Mae. Oleh karena itulah, kepergian Mae untuk membawa calon korbannya dipercepat menjadi esok hari setelah hari pemilihan.
Namun semua itu tidak berjalan mulus begitu saja. Jompro yang semula sudah melakukan negosiasi dengan Mae ternyata kalah dalam pemilihan. Sebab, para calon korban Mae yang telah dibantu mengurusi surat-surat oleh Jompro ternyata ingkar. Mereka semua tidak memilih Jompro sebagai kepala desa. Begitupula Mardi, lawan terkuat Jompro yang juga kalah dalam pemilihan. Keduanya kemudian terlibat ketegangan yang berdampak pada seluruh warga Jatisaba. Hal inilah yang membuat suasana desa semakin kacau dan mencekam. Semua warga merasa keselamatannya terancam, termasuk keselamatan Mae. Jompro menuduh Mae berkhianat karena Jompro mengetahui bahwa calon korban Mae tak ada satupun yang memilihnya. Beberapa ninja Jompro berusaha mencegah kepergian Mae, namun Gao menolong Mae. Sehingga Mae bisa tetap berangkat bersama calon-calon korbannya ke kota.
Ketegangan yang dirasakan Mae tidak selesai di situ saja. Keberhasilannya membawa korban-korban dari desanya ternyata tidak disambut Mayor Tua dengan Mae. Karena situasi yang sangat kacau dan gerak-gerik Mae semakin mencurigakan, maka Mayor Tua (Bos Mae) menyuruh Mae pergi ke Hongkong untuk menghapus jejak. Namun sayang, nasib malang menimpa Mae dan Malim (rekan kerja Mae). Ketika menunggu keberangkatan di airport, Mae justru ditangkap oleh polisi yang sudah mengintainya sejak bertemu di bis dalam perjalanan Mae menuju Jatisaba. Polisi itu menjelaskan bahwa yang selama ini melaporkan setiap perbuatan dan tingkah laku Mae dalam menjerat calon korbannya di Jatisaba adalah Sitas. Sitas, pemilik rumah tempat Mae tinggal, yang notabene temannya sendiri.
Novel ini juga memperlihatkan kemiskinan di sebuah desa yang terpencil dan jauh dari kota. Dari gaya hidup sampai pola pikir masyarakat desa yang dapat dengan diperdaya dengan uang juga tidak luput ditampilkan. Selain itu, muncul pula potret kebudayaan masyarakat desa dengan tipikal dan kultur-sosialnya, terutama masyarakat dengan kultur Jawa. Tradisi-tradisi yang terdapat dalam masyarakat Jatisaba dicatatkan oleh pengarang dengan detail. Seperti tradisi nini cowong, tradisi obong bata, dan tradisi ebeg. Selain itu, pengarang menghadirkan gambaran ketegangan dalam politik pilkades yaitu pimilihan kepala desa yang diwarnai kecurangan dalam kampanye, salah satunya praktik-praktik money politic. Tidak hanya sampai disitu, dalam novel ini juga diceritakan mengenai hubungan cinta masa lalu dan hubungan seksual yang mengaduk-aduk perasaan. 4.2 Analisis Unsur-unsur Intrinsik Novel Jatisaba
Pada pembahasan ini, peneliti akan menguraikan bagaimana analisis unsur-unsur intrinsik novel. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bentuk dari sebuah karya sastra dalam hal ini novel Jatisaba. Selain itu, analisis ini akan membantu peneliti dalam menjawab representasi kemiskinan di analisis tahap berikutnya. 4.3.1 Plot atau Alur
Agar jalan cerita dapat diketahui dengan jelas, maka penganalisisan alur sangatlah diperlukan. Analisis plot atau alur dilakukan untuk mengetahui peristiwa yang dialami para tokoh dalam novel ini. Selain itu, untuk mengetahui letak konflik dan klimaks cerita. Dalam menganalisis plot, peneliti mengacu pada tiga hal penting yang harus ada dalam pengalisisan plot yaitu peristiwa, konflik dan klimaks. Hal ini sejalan dengan pendapat Stanton (2012:31) yang mengatakan bahwa dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks.
Berdasarkan jenis plot yang dibagi dari urutan waktu, maka plot yang digunakan oleh pengarang dalam novel ini adalah plot tak kronologis. Sebab cerita dalam novel ini tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari bagian akhir cerita, kemudian awal, tengah dan akhir cerita yang seterusnya menjadi baru kronologis. Namun, pada beberapa bagian cerita, pengarang banyak menggunakan teknik sorot balik, flash back, regresif. Cerita diawali dengan gambaran peristiwa yang merupakan klimaks dari cerita, kemudian pendahuluan atau pengenalan cerita, munculnya konflik, klimaks, dan diakhiri dengan tahap penyelesaian.
Pengarang membuka novel ini menghadirkan peristiwa yang merupakan bagian dari klimaks (hampir akhir) dalam novel ini. Bagian awal cerita oleh pengarang dijelaskan dalam satu bab dengan judul Galengan. Galengan menjadi latar tempat terjadinya peristiwa yang menegangkan bagi Mae. Peristiwa dalam bab pembuka ini sebenarnya muncul kembali di bagian akhir cerita. Jadi, bab satu yang menjadi pembuka ini adalah penggalan dari bab lain di akhir cerita, yaitu bab “Galengan Berlumpur Kabut”. Dengan latar galengan, pengarang menceritakan suasana tegang ketika Mae membawa korban-korbannya keluar dari Jatisaba. Selain itu, latar suasana paska pemilihan kepala desa yang mencekam dan diwarnai aksi anarki para pendukung masing-masing calon membuat bagian pembuka ini terasa sangat semakin mencekam. Suasana dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Di depanku, perempuan-perempuan menutupi kepala dengan selendang yang basah. Tampak seperti bidang abu-abu yang bergerak di tengah pekatnya malam. Mereka berjalan tergopoh-gopoh di antara galengan1. Tajamnya daun padi mulai kalah oleh batang-batang hujan yang deras. Porak poranda, sepatu tinggidan rasa tidak ikhlas pergi dari kampung membuatku semakin tertinggal jauh. Akan tetapi ketakutan selalu medorongku lebih kasar untuk segera enyah. Di belakangku langit memerah. Kabut bertarung dahsyat dengan kobaran api yang membabi buta. Beberapa rumah terbakar, suara tembakkan di mana-mana. Hujan tak mampu menghentikannya. Malam larut tak jua menenangkannya. (Akmal, 2011:3)
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa pengarang ingin mencoba membangun suasana yang mencekam dan tegang kepada pembaca ketika memulai membaca novel ini. Suasana hati pembaca coba dibangkitkan dengan hadirnya peristiwa yang hampir klimaks. Sebelum pada akhirnya pembaca akan terlarut dalam peristiwa-peristiwa yang mengejutkan. Oleh karena itu, cerita dibiarkan menggantung sehingga pengarang langsung loncat pada bagian berikutnya yang merupakan awal dari peristiwa-peristiwa dalam cerita ini terjadi.
Setelah memunculkan peristiwa yang merupakan bagian dari klimaks cerita, pengarang kemudian menceritakan bagian awal cerita yang menjadi penggerak beberapa peristiwa yang muncul selanjutnya. Awal cerita ini bermula dari kedatangan tokoh Mae atau Mainah yang kembali ke kampung halamannya, Jatisaba. Mae yang merupakan mantan buruh migran yang pernah terjerat dalam perdagangan manusia membuatnya memiliki masa lalu yang kelam. Namun kemalangan Mae tak usai sampai di situ, selepasnya menjadi buruh migran, Mae menjadi pekerja di sindikat perdagangan manusia internasional. Penyebab munculnya beberapa peristiwa dalam novel ini adalah akibat pekerjaan Mae mengharuskannya kembali ke Jatisaba. Kepulangan Mae ke Jatisaba adalah untuk menyelesaikan pekerjaan terakhirnya, yaitu mencari calon korban yang akan di jual oleh perusahaannya dengan berkedok agen pencari tenaga kerja.
Pada bagian awal ini pengarang memberikan pengenalan berupa gambaran desa Jatisaba melalui ingatan tokoh Mae. Gambaran kampung Jatisaba yang indah dengan setumpuk kenangan, semakin mendesak-desak ingatan Mae tentang masa lalunya. Dalam sela-sela ingatan Mae tersebut, kemudian muncullah konflik batin dalam dirinya. Hati nurani Mae sebenarnya menolak melakukan pekerjaan ini, terlebih pekerjaan ini ia lakukan kepada orang-orang yang sejak dahulu menyimpan kenangan indah bersamanya. Namun Mae tidak dapat berbuat apa-apa, sebab pekerjaan ini merupakan pekerjaan terakhirnya agar ia bisa lepas dari perusahaan tempat Mae bekerja. Pergulatan batin Mae tergambar pada kutipan berikut.
Aku akan memulai sesuatu yang sudah lama menjadi impianku. Bukan karena menyenangkan, tetapi karena ini adalah pekerjaan penghabisan. Aku ingin menyudahi semuanya. Pertanyaan yang tak pernah terjawab sampai sekarang adalah mengapa impian terindah itu harus ditebus dengan kejahatan terbesar? Dan mengapa kejahatan terbesar ini harus dilakukan kepada orang-orang yang justru pada mereka aku menyimpan sisa-sisa kenangan dan kebahagiaan. (Akmal, 2011:10-11)
Dari kutipan di atas, dapat terlihat bahwa pada bagian awal cerita, Mae sudah mengalami konflik batin. Konflik batin inilah yang semakin mendorong cerita kepada peristiwa-peristiwa lainnya. Dalam perjalanan itu, Mae berbincang dengan seorang laki-laki yang tak ia kenal dan menanyakan maksud kedatangan Mae ke Jatisaba. Mae bercerita setengah bernostalgia tanpa memperdulikan siapa sebenarnya lelaki tersebut. Pertemuan dengan lelaki itulah yang nantinya menjadi jawaban dari klimaks atau bagian tahap penyelesaian cerita.
Setibanya di Jatisaba, Mae memutuskan untuk tinggal di rumah Sitas. Hal tersebut merupakan cara agar Mae tetap dekat dengan ingatan tentang keluarganya. Rumah Sitas adalah satu-satunya tempat di mana Mae bisa melihat rumah yang dahulu ditinggali ia dan keluarganya. Di rumah Sitas, Mae teringat dengan kenangan tentang rumah dan masa kecilnya. Pembaca sejenak diajak pada kilas balik tentang latar belakang Mae. Dalam ingatannya, Mae menggambarkan bagaimana bentuk rumah lengkap dengan suasana juga masa kecilnya. Ketika sedang mengingat tentang rumahnya, tiba-tiba ingatan lain muncul dan membangkitkan kenangan buruk Mae yang pernah dipaksa oleh Tuan Kim untuk melayani nafsu lelaki yang tak ia kenali.
Mae menahan rasa sakit yang mendalam. Rasa nyeri lain kembali berdenyut dalam ingatan Mae, ketika tak lama setelah lelaki itu pergi, Tuan Kim masuk dan kembali memerkosanya dengan sangat keji. Berbagai peristiwa tentang tentang kisah-kisah kelam yang dialami Mae muncul secara acak. Peristiwa-peristiwa itu hadir sebagai kilas balik dalam ingatan-ingatan Mae. Ingatan-ingatan tentang masa lalu Mae ketika tinggal di Jatisaba sering dan menjadi penjelas beberapa peristiwa lain.
Setelah menjelaskan beberapa peristiwa tersebut, pengarang kemudian mulai memperkenalkan satu persatu tokoh yang ada dalam novel. Pengarang menceritakan tokoh melalui pandangannya terhadap tokoh tersebut. Namun, pengarang yang dalam hal ini merupakan tokoh aku, tidak memperkenalkan dirinya secara jelas. Pada bagian awal, pengarang justru lebih banyak mendeskripsikan tokoh lain. Tokoh yang paling pertama perkenalkan oleh pengarang adalah tokoh Sitas. Kemudian tokoh Pontu, yang merupakan suami Sitas. Bahkan dalam novel ini pengarang menghadirkan satu bab khusus untuk menjelaskan tokoh Sitas dengan judul yang sama.
Keesokan hari setelah kedatangan Mae, Sitas mengajak Mae untuk pergi ke warung Sitar. Ajakan Sitas ini yang menjadi awal pertemuan Mae dengan Jompro. Dari pertemuan itu pula, Mae mengetahui bahwa Jompro merupakan salah satu calon kepala desa. Pertemuan Mae dengan Jomprolah yang menjadi awal dari konflik-konflik yang terjadi dalam cerita. Pertemuan mereka di warung Sitar tersebut kemudian berlanjut di gang Larasati menghasilkan kesepakatan. Mae akhirnya menceritakan pada Jompro bahwa dia membutuhkan beberapa orang yang mau ikut bersamanya ke luar negeri. Untuk itu Jompro bersedia membantu Mae mengurus surat-surat yang tak lengkap bagi calon korbannya. Sementara Mae bersedia menyepakati keinginan Jompro agar orang-orang yang ikut bersama Mae itu dipastikan akan memilihnya.
Setelah pertemuan Mae dengan Jompro, Mae kemudian mendatangi rumah-rumah calon korbannya untuk menawarkan pekerjaan. Konflik batin kembali muncul dalam diri Mae ketika Mae mendatangi calon-calon korbannya yang tidak lain adalah kawannya sendiri. Namun konflik batin yang menggelayuti tokoh Mae tidak menjadi halangan bagi Mae untuk tetap mencari orang yang mau menjadi korbannya. Ketika Mae berusaha mencari korban-korbannya ini, pengarang juga melakukan pengenalan tokoh-tokoh tambahan dalam cerita ini.
Selanjutnya tahap pemunculan konflik. Masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Sehingga tahap ini merupakan tahap awal munculnya konfilk. Konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Konflik awal dalam novel ini adalah suasana politik pemilihan kepala desa yang tidak sehat. Meskipun pada tahap awal dijelaskan bahwa tokoh Mae mengalami konflik batin, namun konflik batin itu menjadi konflik yang menggerakan cerita dari awal hingga sampai pada munculnya konflik utama dalam cerita.
Pada tahap awal konflik ini, dijelaskan mengenai suasana pemilihan kepala desa yang tidak sehat sehingga membuat para warga Jatisaba semakin resah dan tidak betah untuk berada di Jatisaba. Konflik tersebutlah yang pada akhirnya mendorong munculnya peristiwa di mana Mae berhasil mendapat calon korban-korbanya. Bahkan beberapa diantaranya menawarkan diri untuk ikut dengannya. Keberhasilan Mae ini tidak terjadi hanya karena Mae berhasil merayu dan melakukan tipu daya saja. Namun faktor suasana pemilihan yang kacau juga mendorong calon korban-korban Mae untuk percaya pada Mae. Kehidupan mereka yang selalu diusuk dan dihantui oleh botoh-botoh para calon membuat mereka merasa terganggu dan terancam.
Selain itu, gambaran kemiskinan dalam novel ini, terutama faktor ekonomi menjadi faktor utama yang membuat beberapa warga Jatisaba untuk ikut bersama Mae. Tidak hanya menjadi faktor pendorong keberhasilan Mae mencari calon korban-korbannya, namun suasana kampanye yang sedang terjadi di Jatisaba sedikit banyak menjadi penghambat Mae dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini yang akhirnya mengharuskan Mae untuk pergi dari Jatisaba lebih cepat, yaitu satu hari setelah pemilihan kepala desa dilaksanakan.
Ketika mencari calon korbannya, Mae selalu dilanda oleh konflik batin yang muncul karena ingatan-ingatan Mae. Ingatan tokoh Mae tentang masa lalunya dan nostalgia masa cinta monyetnya menjadi peristiwa yang menjadi tahap peningkatan konflik dalam cerita ini. Pada tahap ini, Mae lebih sering mangalami konflik batin yang menjadi penghambat tokoh Mae dalam menyelesaikan misinya. Konflik ini membuat Mae ragu-ragu dan tidak hati-hati untuk melangkah, sehingga konflik lain mulai bermunculan. Kutipan berikut ini memperlihatkan konflik batin yang dialami Mae.
Aku benci mendengar kalimat bawalah aku ke kota. Mereka tidak memahami, kalimat itu seperti putusan vonis mati bagiku. Apalagi yang mengucapkannya adalah orang-orang terdekatku. Kalimat itu membawaku serta ke neraka dengan segunung rasa bersalah abadi. (Akmal, 2011: 64)
Badanku berkeringat. Dingin. Apakah aku bisa santai menceritakan dosa diri sendiri. (Akmal, 2011:76)
Tahap peningkatan konflik selanjutnya adalah suasana pemilihan kepala desa yang semakin memanas. Ditambah lagi Mae, yang sebelumnya telah sepakat bekerja sama dengan Jompro, malah dekat dengan Gao yang merupakan cinta pertamanya. Gao sendiri adalah trah Legok yang merupakan botoh Mardi. Namun, hasrat Mae yang besar untuk mengulag masa lalunya bersama Gao membuat posisi Mae semakin terancam dan mencurigakan. Tanpa Mae sadari, botoh Jompro sudah mencurigai gelagat Mae yang dekat dengan Gao, sehingga Jompro mengira Mae berkhianat padanya.
Konflik ini semakin memuncak ketika hari pemilihan hampir dekat. Peningkatan konflik dipicu oleh kematian Pontu yang merupakan botoh dari Jompro membuat suasana Jatisaba tenggelam dalam ketegangan. Kabar meninggalnya Pontu ini semakin menegaskan rumor bahwa pemilihan di Jatisaba selalu saja meminta tumbal. Hal ini membuat warga Jatisaba semakin takut dan tidak betah. Suasana ini juga berpengaruh terhadap kelancaran misi Mae. Sebab, mau tak mau setelah hari pemilihan, Mae harus tetap membawa korban-korbannya keluar dari Jatisaba bagaimanapun caranya.
Puncak dari konflik ini adalah ketika hari pemilihan berlangsung. Kekalahan Jompro sebagai calon kepala desa dianggap sebuah penghianatan yang dilakukan oleh Mae. Untuk itu, Jompro dan botoh-botohnya berusaha mencegah kepergian Mae. Di situlah klimaks dari konflik ini muncul. Suasana Jatisaba yang semakin tidak kondusif karena kekalahan Jompro dan Mardi membuat warga Jatisaba menjadi korban. Jompro dan Mardi saling menuding satu sama lain. Jompro merasa Mardi telah mencuranginya, begitupula Mardi.
Kekalahan Jompro dan Mardi menjadikan Polisi Joko sebagai pemenang dalam pemilihan. Hal ini membuat Jompro dan Mardi tidak menerimanya begitu saja. Setalah Jompro dan Mardi saling menuduh ada yang curang, kini tuduhan kecurangan mengarah kepada Joko. Kemenangan Joko sebagai kepala desa inilah yang semakin menaikan klimaks cerita. Suasana di Jatisaba semakin mencekam. Jompro dan Mardi menggugat kemenangan Joko, sehingga warga Jatisaba menjadi korbannya. Berikut ini gambaran kekacauan Jatisaba paska kekalahan Jompro dan Mardi.
Aku merinding. Setiap kali melihat keluar jendela, aku selalu merasa ada kelebat-kelebat cepat di balik pepohonan. Ninja-ninja itu sudah lepas dari penjara dan sekarang bebas berkeliaran. (Akmal, 2011:312)
Kabarnya, Joko sudah menyiapkan lima peleton polisis untuk mengamankan rumahnya. Ia tahu pasti simpatisan Jompro dan Mardi tidak aka tinggal diam. Amuk dan protes, sesekali pembunuhan adalah rangkaian prosesi pilkades ini. jadi yang dipikirkan bukanlah menghindari. Tapi bagaimana bertahan dan menyelamatkan diri. Sebegitu mempesonakahnya menjadi kela desa sehingga prosesinya begitu melelahkan dan berdarah-darah? (Akmal, 2011:312-313)
Suasana Jatisaba yang kalut tidak mengurungkan niatan Mae untuk tetap pergi dari Jatisaba, ketika Mae akan pergi dari Jatisaba, ingatan Mae tentang masa lalu dan apa yang telah ia lakukan selama di Jatisaba kembali muncul. Namun ingatan ini tetap tidak menghalangi Mae. Ketika Mae bersama korban-korbannya melintasi galengan untuk keluar dari Jatisaba, muncullah botoh-botoh Jompro yang menghalangi Mae. Terjadilah percekcokan diantara Mae dan botoh-botoh Jompro. Berikut adalah kutipan dalam novel.
“Kami punya banyak urusan dengan kalian. Setelah menerima uang Juragan, kalian tidak bisa pergi begitu saja. Kerjamu taku becus, Yu!” sergah orang-orang yang memukulku persis di telinga, menimbulkan suara ngiung-ngiung. Malim mulai bingung.
“Aku sudah berusaha. Aku tak berkhianat sama sekali.” Aku membela diri dengan jawaban yang sama sekali tidak meyakinkan.
“Tidak berkhianat tapi bergaul dengan musuh. Sejak awal kami tak percaya kamu.” jawab mereka.”Kita bawa mereka ke juragan saja.” kata orang yang mencengkram leher Malim. (Akmal, 2011: 323)
Kemunculan botoh-botoh Jompro ini menjadi penghalang bagi Mae. Bahkan nyaris menggagalkan rencana Mae untuk pergi dari Jatisaba. Dalam percekcokan itu pula terjadi konflik fisik antara Mae, Malim dengan botoh-botoh Jompro.
Kami berusaha berontak ketika mereka menyeret paksa. Tenaga kami yang sudah terkuras dan malam yang pekat membuat segalanya sia-sia. Aku nekat menjerit minta tolong, tapi sebelum jeritan itu keluar dari tenggorokanku, si ninja semakin dalam menekan pisaunya ke pipiku. Aku urung. Jeritan itu berakhir di angan-angan. Mereka menyeret kami lebih kasar. Walaupun tanpa suara, aku meronta-ronta berusaha lepas dari lengan ninja itu. (Akmal, 2011: 323)
Ketika ancaman dari Jompro itu menimpa Mae, Mae diselamatkan oleh Gao. Sehingga Mae dapat melanjutkan perjalannya membawa korban-korbanya. Akhir dari klimaks ini adalah keberhasilan Mae membawa korban-korbannya. Para korban Mae telah dibawa oleh berapa mobil menuju kota.
Nasib malang kembali menimpa Mae. Karena tindakan Mae dalam menjalankan misi ini dianggap tidak berhasil dan memunculkan ancaman, maka atas perintah Tuan Kim, Mae “dibuang” ke Hongkong untuk menghilangkan perusahannya. Pada tahap ini Mae merasakan pergulatan batin yang lebih dahsyat dari biasanya.
“Oh, jadi setelah kalian memaksaku bekerja, setelah aku membawa banyak keuntungan, kini aku terlempar dan bernasib sama dengan mereka. Brengsek kau, Malim!” Dadaku mulai sesak.
“Tidak, Mae. Kau akan bekerja di sebuah cafe. Aku sudah mengurus semuanya. Mayor Tua tidak tahu ini. Jujur saja, dia tak lagi menyukaimu. Katanya kau terlalu bertingkah. Tapi aku tidak, Mae. Kupastikan kau baik-baik saja. Kalau ada kesempatan baik, aku akan menyusulmu, dan kita akhiri semua ini.” (Akmal, 2011:328)
Tahap penyelesaian dari cerita ini berakhir di bandara, yaitu tertangkapnya Mae dan Malim oleh polisi. Mae dan Malim tertangkap oleh polisi di bandara ketika sedang menunggu keberangkatannya ke Hongkong. Polisi yang menangkap Mae adalah lelaki yang duduk bersebelahan dengan Mae ketika di bis dalam perjalanan menuju Jatisaba. Ternyata Mae telah lama menjadi target operasi dan telah dimata-matai. Tidak hanya itu, ternyata yang selama ini melaporkan gerak-gerik dan tindakan Mae dalam menjalankan misinya adalah Sitas. Sitas telah berkhianat pada Mae.
“Oh ya, ada titipan dari tetanggamu, Si... Sitas ya? Katanya dia meminta maaf yang sebesar-besarnya.” (Akmal, 2011:336)
“Iya, selama ini Sitas mengamati dan melaporkan segalanya dengan baik. Sepertinya dia mengenalmu luar dalam.” Kata polisi itu seperti menangkap kebingunganku.
Ya, Tuhan. Sudah kuduga. Aku tidur di sarang musuh dan membiarkannya mengasah pisau untuk membunuhku. Sitas, kau kibarkan bendera akhir nasibku. (Akmal, 2011:336)
Kemenangan Joko dan gambaran akhir paska pemilihan kepala desa di Jatisaba menjadi penutup cerita ini. Namun, akhir dari cerita ini kembali dibuat menggantung oleh pengarang. Sehingga pembaca dibiarkan menafsirkan sendiri maksud dan ending dari novel ini.
Di tempat yang lain.
Seseorang duduk di meja kerjanya yang baru. Ada sebuah papan nama terpasang rapi, Joko (Kepala Desa). Tatapannya menerawang, seperti sedang merancang sesuatu. Seorang pegawai perempuan muda berlipstik merah muda masuk ke ruangan membawa secangkir kopi. Jalannya tampak terburu-buru.
“Kenapa terburu-buru?” tanya lelaki itu.
“Anu, Pak. Banyak tawon di dapur,” jawab perempuan itu sambil bergidik.
“Tawon?” Suara lelaki itu kabur dalam dengungan yang bising. Satu persatu, lebah menerjang membabi buta masuk ke ruangan. (Akmal, 2011: 337)
Setelah melakukan analisis alur dan plot, maka dapat disimpulkan bahwa dalam novel ini pengarang menggunakan plot tak kronologis dalam novelnya. Untuk macam-macam konflik yang muncul dalam novel ini, pengarang memunculkan konflik fisik dan batin. Namun kemunculan konflik batin lebih dominan, bahkan konflik ini menjadi penggerak cerita dan pendorong tindakan tokoh. 4.3.2 Analisis Tokoh Utama
Dalam novel ini pengarang melakukan penokohan dengan cara penamaan, pemerian, pernyataan, tidakan tokoh lain, dialog antar tokoh, percakapan dialog monolog, dan tingkah laku. Dilihat dari teknik penokohan itulah penulis akan melakukan analisis tokoh yang diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Ketika menganalisis tokoh utama, peneliti akan bertumpu pada tiga tahapan analisis tokoh utama yang dilakukan oleh Redyanto Noor dengan mengacu pada Mieke Bal, yaitu melalui latar belakang tokoh, analisis fisik tokoh dan analisis mental. Hal ini dilakukan agar informasi tentang tokoh utama dapat digali lebih dalam. 4.3.3.1 Mainah (Mae)
Latar belakang tokoh Mae sebagai tokoh utama dapat dilihat dari status perkawinan, status sosial dan pendidikannya. Status perkawinan tokoh Mae yaitu belum menikah. Pada teks, tidak ada bagian yang menceritakan status perkawinan Mae, namun dari keseluruhan isi cerita tersirat bahwa Mae adalah seorang perempuan yang belum pernah menikah. Sekalipun ia pernah beberapa kali melakukan hubungan seksual baik secara terpaksa maupun tidak, dan itu ia lakukan diluar status perkawinan. Mae juga pernah terjebak dalam romansa cinta bersama Gao, cinta pertamanya. Namun hal itu hanyalah sebatas kenangan, sebab Gao telah menikah bersama orang lain ketika Mae pergi dari desanya.
Dilihat dari status sosial, Mae adalah seorang warga Jatisaba yang bekerja ke kota sebagai pekerja di perusahaan yang terkait dengan sindikat perdagangan manusia internasional. Karena pekerjaan itu pula, Mae diharuskan kembali ke desanya. Kembalinya ia ke Jatisaba adalah untuk memenuhi tugas pekerjaannya yaitu mencari calon korban (biasa disebut dere-deer, jago-jago atau babon) yang akan dijual ke luar negeri seperti dia dahulu. Berikut cuplikan dalam teks yang menyatakan status sosial Mae.
Aku akan memulai sesuatu yang sudah lama menjadi impianku. Bukan karena menyenangkan, tetapi karena ini adalah pekerjaan penghabisan. Aku ingin menyudahi semuanya. Pertanyaan yang tidak pernah terjawab sampai sekarang adalah mengapa impian terindah itu harus ditebus dengan kejahatan terbesar? Dan mengapa kejahatan ini harus dilakukan kepada orang-orang yang justru pada mereka aku menyimpan kenangan dan kebahagiaan. (Akmal, 2011:10-11)
Selain itu, terdapat pula penjelasan yang merupakan kutipan surat dari Mayor Tua, dan percakapan antara Mae dengan Malim, temen satu pekerjaannya, sehingga semakin menegaskan pekerjaan Mae.
Mae,
Dere cokelat. Ga usah sekolah, ga sembahyang. Babon juga gak papa. Yang penting tahan gebug. Jago perkasa jangan lupa. Ada juragan glepung butuh kurir. Jeroan-nya juga bisa ditawarkan ke Juragan sipit. Jugragan sipit juga pengen bocah SD berkucir dua. Kalau dapat kau bisa ke Great Wall. Akhir bulan siap kirim. (Akmal, 2011:32)
“Buat apa surat-surat, kau hanya perlu berpura-pura sudah mengurus semuanya.” Kata Malim. “Kita penculik, Mae. Jangan berdekatan dengan segala hal yang berhubungan dengan surat-surat,” lanjutnya sambil berbisik di telingaku dan meniumnya singkat. (Akmal, 2011:112) Ungkapan Malim di atas menjelaskan bahwa mereka (Malim dan Mae) adalah seorang penculik. Tergabung dalam sebuah agen penjualan manusia yang berkedok penyalur agen TKI. Pernyataan Malim tersebut diperkuat dengan pernyataan kepala desa kepada Mae, ketika Mae akan mengurus surat-surat. Dalam kutipan lain juga menyebutkan nama perusahaan tempat Mae bekerja. Seperti ketika pertemuan Mae dengan Malim di bis tempo dulu. Berikut ini adalah kutipan dalam teks.
“Jadi ternyata kau agen B.A.N? Tidak kusangka.” Kata kepala desa datar sambil menyedot rokok klobotnya. (Akmal, 2011:177)
“Iya, Pak. Aku mau mengajak beberapa teman ikut bekerja di luar, siapa tahu bisa mengubah nasib mereka.” (Akmal, 2011:177)
“Kau agen B.A.N. kan? Apakah kau terlibat juga dalam kasus Patimuan?”ucap pak Kades ketika aku membuka pintu hendak keluar. (Akmal, 2011:180)
Dia menggunakan baju bertuliskan B.A.N. di lengannya. Saat itu aku baru sadar, itu teman satu perusahaan. Dan aku juga menyadari, bahwa dia juga sudah melihat bordiran B.A.N di tas jinjingku. (Akmal, 2011:111)
Penggalan pernyataan dalam teks di atas menyiratkan bagaimana Mainah atau Mae kembali ke kampungnya, untuk memenuhi tuntutan pekerjaannya. Mae tergabung sebagai anggota B.A.N (Bidadari Antar Nusa), yaitu perusahaan penyalur tenaga kerja. Dalam surat Mayor Tua, ia meminta Mae mengirimkan beberapa orang sesuai pesanan. Bukan untuk dijadikan Tenaga Kerja Indonesia, namun lebih kasarnya lagi dikatakan bahwa Mae akan menculik mereka. Menjerat mereka dalam lingkaran penderitaan.
Selanjutnya mengenai latar belakang pendidikan Mae. Mae pernah mengenyam pendidikan sampai sarjana, dan dia termasuk orang yang cukup cerdas. Itulah sebabnya ia dipekerjakan sebagai orang yang mencari calon pekerja, karena Mae cerdik. Selain itu, dalam teks juga dijelaskan bahwa Mae pernah belajar mengaji. Oleh karena itu, setidaknya Mae bisa memahami pendidikan agama. Berikut ini adalah kutipan dalam teks yang menjelaskan latar belakang pendidikan Mae.
Aku segera membakar kertas-kertas ini. Burn After Reading. Aku terlatih menggunakan pena abadi di otakku yang membuat segala hal yang kutahu dapat tertulis cepat dan tak terhapuskan. Itulah hal utama kenapa Mayor Tua mempertahankanku. Aku juga bersekolah, aku bisa bernegosiasi dengan mataku. Satu lagi, jika tak berbicara aku tampak seperti gadis lemah yang frustas. (Akmal, 2011:34)
Tapi aku mengajarinya bagaimana menulis surat cinta murahan di atas kertas daur ulang itu. Kali ini gelar sarjanaku yang berguna. (Akmal, 2011:45)
Begitulah gurauanku dengan teman-teman setiap pulang mengaji waktu remaja dulu. Sekarang aku tak mengaji lagi. Tak ada teman-teman. Tak ada motivasi. (Akmal, 2011:24)
Analisis berikutnya adalah analisis fisik tokoh. Gambaran fisik tokoh Mae tidak banyak diceritakan dengan jelas dalam teks. Namun tokoh-tokoh lain dalam narasi dan dialognya menyiratkan sedikit banyaknya bagaimana bentuk fisik tokoh Mae. Mae digambarkan oleh tokoh lain (Sitas) sebagai perempuan yang memiliki paras yang cukup cantik dengan mata yang indah. Pernyataan bahwa Mae bermata indah juga diakui oleh dirinya sendiri. Dalam teks Mae mengaku memiliki mata elang yang dapat memikat para lelaki. Berikut percakapan dalam teks antara Mae dan Sitas, serta pengakuan Mae atas dirinya sendiri.
“Jangan lupa, matamu bagus sekali. Kalau mau dibuat semakin tajam, Pontu bisa melakukannya. Kau hanya perlu membeli emas sebutir pasir.” (Akmal, 2011:30)
Selebihnya, Jom hanya memiliki kekejaman. Tidak ada yang bisa mengalahkan pesona kekejaman Jompro. Kecuali mata elangku, mingkin. Walau ini semata-mata penilaian subjektif.
“Hallo, nona manis,” sapa Jom ketika sampai di depanku. (Akmal, 2011:158-159)
Ungkapan Sitas di atas, menjelaskan bahwa Mae memiliki mata yang indah. Selain itu pada dialog Mae dan Jompro yang bertemu di warung Sitar, Jompro juga secara jelas menyebutkan bahwa Mae berwajah cantik. Berikut ini kutipan dalam novel.
“Masih ingat aku kan?” kataku sambil duduk di sebelahnya. “Tentu, aku tidak mungkin lupa. Kau semakin cantik.” (Akmal, 2011:39)
Selain cantik dan memiliki mata yang indah, Mae juga sangat mementingkan penampilan. Hal ini tergambar ketika Mae akan datang untuk melihat ebeg Gao. Dalam teks Mae melakukan pengakuan diri yang mendeskripsikan tentang dirinya sendiri.
Di depan cermin yang retak itu aku mematut diri. Begitu sulit rasanya mengoles lipstik pada dua bibir yang terbayang akibat cermin retak itu. Kini aku begitu mementingkan penampilan. (Akmal, 2011:121)
Sumur ini hanya dipagari pohon cakla-cakli dan tidak beratap. Menimbulkan efek panoptik yang dahsyat. Aku selalu merasa ada mata di balik runcingnya daun cakla-cikli itu. Bahkan dulu beberapa kali kupergoki penderes bertengger di atas pohon kelapa dan asyik melihat bagaimana aku membersihkan selangkanganku. Ketika aku menatap mata penderes itu, ketakutanku berubah. Mengapa tak kubiarkan mereka menatapku? Mungkin aku memang indah? Mungkin mereka jadi bergairah lagi di rumah? Menggauli istrinya sambil membayangkan diriku. (Akmal, 2011:106)
Pada kutipan di atas, Mae melakukan pengakuan diri sebagai perempuan yang menggoda. Ketika ia sedang mandi, ia seolah merasa senang ketika ada orang lain yang melihatnya sedang mandi. Artinya Mae sangat bangga terhadap tubuhnya yang dapat menggoda laki-laki, tubuh yang demikian tentunya tubuh yang indah.
Selain cantik, manis dan memiliki mata yang indah, dalam teks Mae digambarkan sebagai wanita yang kuat dalam hal fisik. Kekuatan Mae itu sebenarnya lebih cenderung kepada kuatnya dia dalam melayani nafsu seks lelaki. Seperti apa yang dituturkan oleh Mae sendiri ketika mengingat masa lalunya dahulu dengan Tuan Kim.
Sementara jika ada pelanggan istimewa, yang sedikit eksentrik, Tuan Kim selalu menyodorkan aku. Katanya, “Gadis ini kuat dan siap melayani kegairahan ekstra Anda.” Setiap hari ada saja bagian badanku yang babak belur. (Akmal, 2011:218-219)
Analisis selanjutnya adalah analisis mental tokoh Mae. Mae digambarkan sebagai tokoh yang cukup tangguh. Tokoh yang memiliki masa lalu yang cukup kelam di desa kelahirannya, Jatisaba. Akan tetapi, tokoh Mae tetap bisa dengan mudah mengingat kembali berbagai peristiwa yang menimpanya sekalipun sangat memilukan. Seperti peristiwa pemerkosaan yang sempat ia alami, sampai peristiwa terjebaknya Mae dalam lingkaran perdagangan manusia. Berikut kutipan dalam teks.
Di atas kasur aku merintih. Nyeri dan perih di sela-sela pahaku. Pintu kamar diketuk. Aku tak bisa bangkit. Ketukan mengeras dan berulang. Aku mulai gemetar. Tuan Kim membuka pintu dari luar. Seorang lelaki mengikutinya. Kemudian Tuan Kim mengunci kami berdua di dalam. Entah sudah berapa lama lelaki itu menindihku. Aku terus saja menghitung kotak eternit di langit-langit mencoba menahan rasa sakit yang bertambah seiring goyangan lelaki itu. (Akmal, 2011:25)
Rasa nyeri berdengyut lagi dalam ingatanku.
Tuan Kim masuk segera setelah lelaki itu keluar. Tanpa bicara dia memaksaku bangkit. Dia menelanjangiku. Tangannya memegang sesuatu. Satu botol besar saus tomat. Dia menyemprotkan ke seluruh tubuhku. Aku tak bisa menangis lagi. “Aku sakit!!!” jeritku sekuat tenaga. Dia tidak peduli. Dia semakin menikmati tubuhku yang berubah warna menjadi oraye. Sesekali bahkan menjilati tubuhku. Aku lebarkan kedua pahaku di hadapannya. Matanya tidak buta, dia harus melihat sesuatu yang bengkak penuh luka. Bunuh saja aku. (Akmal, 2011:26)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Mae adalah tokoh yang memiliki masa lalu yang silam dalam urusan percintaan dan kehidupan pribadinya yang kerap kali dipaksa untuk melayani nafsu lelaki hidung belang. Beberapa kutipan lain banyak yang juga menjelaskan bahwa Mae adalah tokoh yang sering kali mengalami tindakan kekerasan seksual dari lelaki. Dari mulai pemerkosaan, sampai tindakan yang melecehkan fisiknya, dan itu Mae alami semenjak ia masih kecil. Seperti kutipan berikut ini.
“Iya, Yu. Aku cuma bernostalgia,” jawabku. Ah, tidak banyak nostalgia denganmu, Jompro. Kecuali kau yang pernah meremas dadaku dan melingkarkan jari berbentuk hati sambil berkata I Love You. Perbuatan yang dilakukan hampir seluruh anak-anak sekolah menengah kepada anak-anak SMP sepertiku dulu. Tapi nostalgia kecil ini tidak mungkin kulupa dan kelak memudahkanku. (Akmal, 2011:41)
Namun dalam bagian teks lain, Mae digambarkan sebagai tokoh yang justru menikmati hubungan seks tanpa status terlebih ketika ia kembali ke desanya untuk mencari babon-babon. Mae juga selalu mau ketika diajak berhubungan badan dengan siapapun. Termasuk Malim rekan kerjanya di B.A.N. Dapat terlihat pada kutipan berikut ini.
“Brengsek! Kau tak pernah diperkosa, Mae. Kau selalu menikmatinya.”
“Kalau iya kenapa? Apa urusannya denganmu?” jawabku di depan muka Malim persis. Aku bisa melihat api di matanya, dan mendengar gemuruh di dadanya.” (Akmal, 2011:112)
Apalagi yang bisa menjadi selimut di saat seperti itu kecuali punggung Malim yang luas dan hal apalagi yang bisa menghangatkan kami selain keringat percintaan. Bahkan ketika kita duduk berdampingan di bis, jika aku tertidur di pundaknya, Malim akan melingkarkan tangannya di punggungku dan meletakkan tangannya di atas dadaku. Menggerakkannya perlahan-lahan sampai aku terbangun. (Akmal, 2011: 105)
Selain hubungan percintaannya dengan Malim, Mae juga melakukan hubungan seksual dengan beberapa lelaki lain, seperti Jompro, Gao, bahkan Mayor Tua sekalipun yang merupakan bosnya. Berikut ini adalah beberapa kutipan dalam teks yang mengambarkan percintaan Mae dengan Jompro, Gao dan Tuan Kim.
“Bagaimana kalau aku bayar dengan ini.” Jompro bangkit dari duduknya dan menghampiriku. Dia duduk di sampingku dan tiba-tiba menciumku. Mulutnya yang berbau campuran tembakau dan alkohol menyumpal mulutku sehingga aku tidak bisa berkata-kata. tangannya meremas dadaku, seperti waktu SMP dahulu. Tapi jika dulu sekujur tubuhku dingin dan takut kini aku kepanasan ketika tangan Jom terus menggerayangiku. Dan aku mulai menikmatinya. (Akmal, 2011: 51-52)
Selanjutnya berikut ini adalah kutipan yang menggambarkan percintaan Mae dengan Gao.
Seperti ada air mata yang jebol di kedalaman hatiku ketika tanpa ragu Gao menari tubuhku ke atas pangkuannya. Mata air itu deras menyapu semua yang ada di sekitarnya ketika Gao membenamkan wajahnya dilipatan dadaku yang tak seberapa. Gemercik mata air itu adalah desahanku. Gerak lincah air yang menerobos ke segala arah adalah tubuh kami yang bergumul chaos di atas amben berkeriut. Dedaunan yang basah terpercik oleh air segar adalah tubuh kami yang berkeringat, terbakar. Air mengalir itu terjun bebas dari ketinggian membentur dasar lembah dalam kombinasi suara benturan yang sempurna seperti teriakan kami berdua yang justru tengah mencapai puncak. (Akmal, 2011: 308)
Kutipan Mae yang pernah melakukan percintaan dengan bosnya sendiri, Tuan Kim.
Apa yang bisa membuat orang lebih berkeringat lebih deras selain keringat masa lalu yang jahanam. Tak ada. Kecuali bercinta dengan suami orang di ranjang istrinya sendiri. Keringat birahi, keringat cemas, keringat dosa, menjadi satu. Bertahun-tahun aku dan Mayor Tua mengeluarkan keringat itu di ranjang, ketika Cik Vicky asyik berbelanja. (Akmal, 2011:220)
Dari kutipan hubungan percintaan Mae dengan berbagai lelaki, secara analisis mental, tokoh Mae tergolong sebagai tokoh yang kecanduan berhubungan seks. Lembaga Society for the Advancement of Sexual Health mengatakan bahwa kecanduan seks dianggap sebagi penyakit kejiwaan yang teridentifikasi dengan kurangnya kontrol seseorang atas perilaku seksualnya. Para pecandu seksual ini cenderung akan mengikuti keinginan seksualnya walaupun ia tahu akan berakibat buruk. Ia juga tidak sanggup membuat batasan dan terus menerus berfikir soal seks. Para pecandu seks ini mengaku mereka tak merasa senang dengan perilakunya, malah mereka merasa malu.
Beberapa kutipan di atas cukup menjelaskan bagaimana tokoh Mae senang melakukan hubungan seksual dengan banyak lelaki. Sekalipun ia merasa malu dan menyesalinya. Namun kutipan tersebut justru menjelaskan bahwa Mae menikmatinya. Meskipun lembaga tersebut menganggap bahwa kecanduan seks sebagai salah satu penyakit kejiwaan, hal ini rupanya masih menjadi kontroversi.
Lembaga-lembaga psikologi lain tidak memasukan kecanduan seks ke dalam penyakit kejiwaan. Sementara itu, Asosiasi Psikologi Amerika hanya menuliskan gangguan kejiwaan baru yang disebut hiperseksual. Hiperseksual ini bisa berhubungan dengan kecanduan seks. Oleh karena itu, tokoh Mae dapat dikatakan sebagai tokoh yang mengalami penyakit kejiwaan yaitu kecanduan seks. Analisis tersebut diperkuat dengan pengakuan tokoh Mae dalam teks yang menjelaskan bahwa bercinta adalah sebuah kenikmatan.
Semua orang suka bercinta, itu adalah tenaga hidup utama. Akan tetapi, setiap orang berhak memilih pasangannya, agar percintaan itu menjadi penuh makna. Percintaan itu menjadi dikenang karena dilakukan dengan seseorang yang kita sayangi. Bukan seperti itu yang aku rasakan dengan Malim. Tapi aku tak mampu mencegahnya. Ketika aku dan Malim telanjang bersama, kita bukan lagi seorang Mae dan Malim, tetapi lelaki dan perempuan yang haus. Jika saja aku mencintai Malim, maka percintaan itu bukan sekadar masalah kehausan. Mungkin kebahagiaan, mungkin estetika. Sayangnya, bahagia atau indah itu tak pernah aku rasakan. (Akmal, 2011: 105) 4.3.3.2 Sitas
Latar belakang tokoh Sitas dapat dipaparkan melalui status perkawinan, status sosial dan pendidikan. Mengenai status perkawinan tokoh Sitas, tokoh Sitas merupakan istri yang memiliki tiga anak, dua Awae dan satu Zawae (sebutan untuk anak-anaknya). Suami Sitas adalah Pontu, penjual es cincau. Berikut ini beberapa bagian pada teks yang menjelaskan status perkawinan Sitas.
Aku hanya sempat bertahan beberapa menit di balik selimut itu. Lalu aku bangkit dan keluar kamar. Suara dengkuran wanita itulah yang aku dengar selama bertahun-tahun di rumahku. Mungkin juga yang aku rindukan. Di luar, Pontu, suami Sitas, sedang memeras-meras daun cincau. (Akmal, 2011:20)
“Oh, ya, bapaknya Awae sudang berguru ke orang pintar. Dia sudah di lantik. (Akmal, 2011:29)
Dalam hal status sosial, tokoh Sitas tampil sebagai seorang ibu rumah tangga. Ia tidak memiliki pekerjaan yang tetap, sesekali memberi makan bebek-bebeknya dan membantu suaminya menjual es cincau. Selain itu, dalam teks Sitas beberapa kali dikatakan sebagai orang miskin. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut ini.
Mungkin karena ia miskin, maka ia mencuri. (Akmal, 2011:19)
Dalam lingkungan sosial, Sitas juga termasuk orang yang tidak disukai oleh orang-orang di kampunya. Sitas suka menyebarkan berita bohong yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Sehingga orang-orang di sekitarnya kurang menyukai Sitas. Seperti dalam kutipan teks berikut ini.
“Dia adalah azab Tuhan di dunia.” Begitu kata kiai mesjidku ketika Sitas memberitakan pada seluruh orang bahwa kiai itu pernah memegang selangkangan anak lelakinya. (Akmal, 2011:20)
Selanjutnya adalah pernyataan yang menjelaskan status pendidikan tokoh Sitas. Sitas pernah mengenyam pendidikan sekolah akan tetapi tidak tamat. Berikut adalah kutipan ungkapan Sitas dalam teks yang menyatakan pendidikannya.
“Aku juga dulu sekolah, Mae. Walau tak tamat!” jawab Sitas agak ketus. Aku lupa dia trah Dulbur. Pasti Sensitif. (Akmal, 2011:36)
Sitas adalah tokoh yang paling mewakili orang Dulbur. Hal ini dilihat dari perilaku tokoh juga status sosial Sitas yang tergolong miskin seperti yang telah dikutip di atas.
Gambaran fisik tokoh Sitas sebagian besar diungkapkan secara tersurat melalui penilaian tokoh-tokoh lain. Mae sendiri sebagai tokoh utama yang dalam teks banyak menggambarkan bagaimana tokoh Sitas. Pada novel ini juga ada satu bab yang khusus dibuat dengan judul ‘Sitas’ untuk mendeskripsikan tokoh tersebut. Selain itu, penilaian tokoh Sitas disampaikan oleh tokoh Mae dalam teks seperti berikut.
Dia bernama Sitas. Wanita muda beranak tiga. Jika muda itu diartikan terawat dan penuh vitalitas, maka di desaku tidak ada lagi sebutan muda untuk wanita beranak. Hanya karena umurnya saja Sitas disebut muda. Tubuhnya, gaya bicaranya, tindak tanduknya, benar-benar seperti siluman rubah. (Akmal, 2011:18)
Jika usia bisa menggolongkan fisik seseorang, maka tokoh Sitas digolongkan sebagai tokoh yang masih muda, seperti gambaran tokoh Mae di atas. Dalam hal penampilan, ada dua gambaran yang terlihat menonjol pada diri Sitas, yaitu tidak pandai merawat diri dan cuek. Sitas juga berbadan gemuk dan memiliki aroma bau badan yang tidak enak seperti narasi yang disampaikan oleh tokoh Mae sebagai berikut.
Beberapa hari ini aku akan berbagi ranjang dengan seseorang yang tubuhnya bau tai bebek. Bau yang aku hirup setiap pagi dari dapurku, dulu. (Akmal, 2011:17)
“Iya, Yu.” Jawabku segera sambil duduk dan segera menggosok-gosok punggung Sitas. Dalam hitungan detik, tanganku sudah cokelat oleh daki punggung Sitas. (Akmal, 2011:139)
Sambil memegang lengan Sitas yang gemuk dan mencium bau ikan laut yang samar-samar dari ketiaknya, aku tenggelam dalam kenangan tentang Gao. (Akmal, 2011:136)
Kini dia membelakangiku. Panu-panunya terlihat jelas. Ada yang besar sekali seperti pulau Kalimantan. Aku bergidig melihatnya. (Akmal, 2011:170)
Seperti gambaran fisik tokoh Sitas, analisis mental tokoh Sitas sangat rinci digambarkan oleh tokoh Mae. Gambaran mental Sitas diungkapkan secara tersurat melalui Mae sebagai tokoh yang memiliki pemikiran aneh. Hal ini tersirat dalam teks sebagai berikut.
Hanya ada dua hal yang istimewa dan patut dibicarakan perihal Sitas. Pertama, dia memberi nama anak-anaknya dengan bahasa aneh, yang kata dia berasal dari bahasa Malaysia. Jika anak lelaki maka nama depannya ‘Awae’, jika perempuan namanya ‘Zawae’. Sekarang dia mempunyai dua Awae dan satu Zawae. (Akmal, 2011:19)
Selain itu, tokoh Sitas digambarkan sebagai tokoh yang sekali mencuri apapun. Hal ini tergambar dalam teks sebagai berikut.
Ia tak pernah berhenti mencuri apapun. Selama bertahun-tahunia mencuri segalanya dari rumahku. Jika ia pergi ke suatu tempat untuk bekerja, dan ia bisa pulang dengan selamat tanpa masuk penjara atau dipukuli, maka itulah prestasi terbesarnya. (Akmal, 2011:19)
Sitas mencuri karena ia bodoh. Hanya orang bodoh yang masuk ke dapurku dan mencuri sabun colek. Hanya orang bodoh yang mencuri genting teras rumahku satu persatu dan memindahkan ke atas rumahnya. Hanya orang bodoh yang tetap melakukan itu meski kami sudah memaafkan dan bahkan memberikan semua yang ia curi sejumlah dua kali lipat. (Akmal, 2011:19)
Selain itu Sitas gemar mengadu domba orang karena perkataannya yang selalu berlainan tentang sesuatu hal pada orang yang berbeda.
Lidah Sitas selalu mendahului otaknya. Dan kemudian otaknya terlalu kecil untuk mengingat-ingat apa saja yang baru ia katakan. Oleh karena itu Sitas akan berbicara segalanya yang dalam waktu berbeda dan dengan orang yang berbeda hal itu akan berbeda pula. (Akmal, 2011:20) 4.3.3 Analisis Tokoh Tambahan
Dalam menganalisis tokoh tambahan, peneliti akan memaparkan beberapa tokoh yang muncul dalam cerita melalui narasi tokoh utama dan dialog antar tokoh. Terdapat 17 tokoh sampingan dalam novel ini, mayoritas dari mereka adalah warga desa Jatisaba sendiri. Namun beberapa diantaranya ada yang bukan merupakan warga Jatisaba. Tokoh-tokoh tambahan ini adalah tokoh yang banyak diceritakan oleh tokoh Mae yang juga dalam cerita banyak bersinggungan dengan tokoh utama. Seperti halnya penokohan pada tokoh utama, untuk penokohan pada tokoh sampingan, pengarang menggunakan teknik penokohan dengan cara penamaan, pemerian, pernyataan, tidakan tokoh lain, dialog antar tokoh, percakapan dialog monolog, dan tingkah laku. Berikut ini adalah analisis tokoh sampingan dalam novel Jatisaba. 4.3.4.3 Pontu
Ketika melakukan analisis status perkawinan terhadap tokoh Sitas, dijelaskan bahwa Sitas adalah perempuan yang sudah menikah dan memiliki suami bernama Pontu. Oleh karena itu, secara status pernikahan, Pontu adalah suami Sitas. Pontu adalah nama singkatan, nama hari pasaran orang Jawa, seperti pada kutipan berikut.
Masih ujar ibuku, Pontu itu singkatan dari Pon Setu. Nama hari pasaran orang Jawa. Ia lahir pada hari itu. Nama yang singkat. Menurutku dalam hal memberi nama, orang dulu lebih praktis dan jelas. (Akmal, 2011:21)
Pontu diceritakan memiliki pekerjaan sebagai penjual es cincau. Berikut ini adalah kutipan dalam novel yang menjelaskan pekerjaan tokoh Pontu.
Di luar, Pontu, suami Sitas, sedang memeras-meras daun cincau.
“Besok jualan, Lik?” aku bertanya basa-basi.
“Iya, mencoba berjudi. Berjudi dengan penjual es krim, es gabus, dan es mambo. Siapa tahu besok mereka tak jualan. Jadi esku bisa laris,” jawab Pontu tanpa mengalihkan perhatiannya dari daun-daun cingcau. Dari dulu dia pendiam. Monster kalem, sebutan ibuku untuknya. (Akmal, 2011:20-21)
Dari kutipan di atas, Pontu juga digambarkan sebagai tokoh yang pendiam dan tidak banyak bicara. Sangat kalem dan tak banyak berbicara jika tidak diperlukan. Selain itu, dalam teks beberapa kali ada yang mejelaskan bahwa Pontu adalah tokoh yang sakti. Pontu berguru ke orang pintar untuk mendapatkan kesakitian. Kutipan di bawah memaparkan bagaimana Sitas dengan bangganya memerkan kesaktian Pontu. “Oh ya, bapaknya Awae sudah berguru ke orang pintar. Dia sudah dilantik. Dia bisa menjernihkan sumur, mengusir kuntilanak, memenangkan Pilkades, nahkan menyembuhkan atau mematikan orang yang sekarat.” (Akmal, 2011:29)
“Kemarin, kaki Bardanom sekarat. Terus Pontu bertanya, mau hidup apa mati? Bardanom menggeleng pelan dan menunjuk ke jendela. Pontu paham dan bergegas keluar. Ia memetik dua lembar daun kelor yang tumbuh di perkarangan seberang jendela. Kemudian mengibas-ngibaskan ke seluruh tubuh Bardanom. Dalam hitungan detik, Bardanom tidak bernafas lagi. Ternyata ia menginginkan mati. Setelah keberhasilan Pontu mematikan Bardanom, kami mengadakan selamatan. Pontu telah cukup kesaktiannya.” (Akmal, 2011:30)
“Jangan lupa, matamu bagus sekali. Kalau mau dibuat semakin tajam, Pontu bisa melakukannya. Kau hanya perlu emas sebutir pasir.” (Akmal, 2011:30)
“Dia sakti. Sia tak mungkin mati. Dia sakti. Dia tak mungkin mati di kubangan seperti kodok lemah.” (Akmal, 2011:259)
Sekalipun Pontu adalah orang yang sakti, namun Pontu justru sangat takut dan patuh pada Sitas. Dia tidak banyak berkomentar akan kelakuan Sitas. Ia juga tidak pernah melarang Sitas. Justru Pontu seolah tak berdaya ketika menghadapi Sitas, seperti pada kutipan berikut.
Satu tamparan mendarat di pipi Pontu.
“Itu hanya beras berulat dari Mardi. Tak pantas untuk disayangkan!” sekarang gantian Sitas yang memarahi suaminya. Pontu pasi. Dia pergi ke belakang dan tak muncul-muncul lagi. Di hadapan Sitas, dia adalah anjing yang lemah. Anjing yang duduk di gerbang, kedinginan dengan tubuh penuh koreng. Anjing seperti itu harus menyediakan diri untuk ditendang majikannya. (Akmal, 2011:138)
Pontu juga tidak pernah cemburu pada Sitas. Meskipun Pontu sakti, namun Pontu justru takut dan sangat patuh pada Sitas. Dalam cerita, Pontu telihat tidak bahagia dengan Sitas. Berikut ini pandangan tokoh Mae tehadap tokoh Pontu.
Yang aku heran, Pontu tak merasa cemburu sedikitpun melihat istrinya begitu manis kepada Malim. Satu hal yang tidak pernah didapatkan dari Sitas sepanjang perkawinan mereka. (Akmal, 2011:198)
Tokoh lain menilai Pontu sebagai tokoh yang baik. Hal ini terlihat dalam ungkapan tokoh Jompro ketika berbicara pada tokoh Sitas saat Pontu ditemukan meninggal dikubangan.
“Oalah nasibmu, Tas. Aku prihatin. Aku gela. Pontu bocah sing apik, bocah sregep,4” hibur Jompro sambil mengelus-elus pundak Sitas. (Akmal, 2011:265)
“Pontu adalah warga yang baik. Sebagai tetangga, mari kita panjatkan doa semoga arwahnya tenang dipangkuan Tuhan.” (Akmal, 2011:271)
4.3.4.4 Jompro
Jompro adalah warga Jatisaba yang merupakan salah satu calon kepala desa. Dalam teks, Jompro digambarkan sebagai tokoh yang kaya raya, memiliki banyak harta. Keluarganya adalah pemilik tanah kuburan di Jatisaba. Namun, meskipun ia adalah calon kelapa desa, Jompro gemar berjudi dan main perempuan. Bisa dikatakan Jompro mata keranjang dan perayu perempuan. Seperti pandangan tokoh Mae pada kutipan berikut ini.
Apa jadiya jika kampungku dipimpin oleh orang seperti Jompro. Dia memang orang kaya, punya sawah banyak, bahkan kuburan yang luas ini di klaim milik keluarganya. Tapi di otaknya Cuma ada perempuan, dia memang ahli, ahli anatomi tubuh perempuan. Sementara narulinya adalah naruli seorang penjudi. Terpenting lagi, dia orang Dulbur. Aku masih tidak percaya dia mencalonkan diri sebagai kepala desa. (Akmal, 2011:41-42)
Jompro juga digambarkan sebagai orang licik dan jahat. Kelicikan Jompro adalah terhadap harta. Dia sangat ingin menguasai harta ibunya. Selain itu, Jompro juga dikenal sebagai tokoh yang kejam, sampai-sampai tidak ada yang bisa mengalahkan kekejaman Jompro. Berikut ini kutipan yang menggambarkan sifat Jompro.
Jangan pernah melibatkan perasaan dengan seorang Jompro. Jangan melakukan sesuatu karena ikhlas atau semangat pengabdian kepada orang seperti dia. Itu hanya akan menghancurkan diri kita sendiri. Ia mengabdi untuk dirinya sendiri. Ia patuh dan hormat kepada ibunya supaya jika ia meracuni ibunya hingga mati mendadak, tidak ada yang mencurigai dia. Lalu, seluruh harta warisan akan jatuh ke tangannya dengan mudah. Dia tidak punya saingan lagi. (Akmal, 2011:157)
Selebihnya, Jom hanya memiliki kekejaman. Tidak ada yang bisa mengalahkan pesona kekejaman Jompro. Kecuali mata elangku, mingkin. Walau ini semata-mata penilaian subjektif.
“Hallo, nona manis,” sapa Jom ketika sampai di depanku. (Akmal, 2011:158-159)
Selain sifatnya yang kejam dan serakah, secara fisik Jompro memiliki perawakan yang bagus, sehingga tokoh Mae mengatakan bahwa Jompro gagah. Seperti pada kutipan berikut ini.
Jom tampak gagah dengan kemeja hitam ketatnya. Dadanya dibiarkan terbuka sedikit. Ada bekas luka yang sesekali tampak jika kerah kemejanya tersingkap. (Akmal, 2011:266)
4.3.4.5 Gao
Dalam novel ini, nama Gao banyak diceritakan oleh Mae. Gao adalah cinta pertama Mae. Kepulangan Mae ke Jatisaba salah satunya juga membangkitkan kenangan indah masa kecilnya bersama Gao.
Itu adalah anugerah bagi si pencita monyet. Didorong-dorong hingga bisa menyentuh punggung kekasih yang hangat, tangannya yang gemetar, dan bahkan merasakan nafasnya ketika berpura-pura memberontak. Dulu aku dan Gao pernah mengalaminya. Mengingatnya saja begitu menyenangkan. (Akmal, 2011:23)
Sejak dahulu, Mae sudah menyukai Gao. Gao juga adalah teman mengaji Mae, dan Gaolah sebenarnya yang memotivasi Mae untuk mengaji, Karena Gao pula lah Mae jadi pandai mengaji.
Aku rajin mengaji karena aku menyukai Gao. Teman mengajiku. Hanya karena Gao aku jadi pandai mengaji. Kalau mendengar orang mengaji, aku jadi ingat Gao. Sebelum kemudian juga ingat Tuhan. (Akmal, 2011: 24)
Gao digambarkan sebagai lelaki yang seolah sempurna. Informasi tentang Gao banyak didapat dari narasi tokoh Mae yang mengingat-ingat tentang kenangannya bersama tokoh Gao. Selain melalui ingatan Mae, analisis tokoh Gao juga muncul dari penilaian tokoh lain. Berikut kutipan dalam novel yang menjelaskan tokoh Gao.
Gao tidak menjawab. Hanya menggeleng dan menatapku dengan matanya yang berkilat-kilat. (Akmal, 2011:85)
Aku berharap seseorang ada diantara pemuda-pemuda itu, seseorang yang matanya seperti elang. Tatapannya bisa membuat ikan-ikan mengambang dan mendekat. Aku tersenyum sendiri. Tiba-tiba tangan dingin melingkar di pinggangku. (Akmal, 2011:100)
Kutipan di atas menggambarkan analisis fisik Gao. Dari segi fisik Gao digambarkan berbadan kurus namun memiliki mata yang indah. Matanya berkilat dan tatapan matanya seperti elang. Bahkan Mae mengibaratkan tatapan mata Gao dapat membuat ikan-ikan mengambang dan mendekat. Selain memiliki mata yang indah, Gao juga memiliki punggung yang indah. Berikut ini kutipan tentang gambaran fisik tokoh Gao.
“Apa yang harus aku lakukan, Mae?” Gao berbisik di telingaku. Kurasakan telapak tangannya yang kasar dan kaku di leherku. (Akmal, 2011: 252)
Dari dekat, aku bisa memperhatikan tangannya yang kasar dengan pembuluh darah yang timbul di sana-sini. (Akmal, 2011: 286)
Aku memperhatikan punggungnya. Punggung yang indah tapi entah kenapa menyedihkan. (Akmal, 2011:86)
“Aku merasa kau lebih kurus daripada dulu,” bisikki sambil meraba punggungnya yang keras perlahan-lahan. (Akmal, 2011: 235)
Sebagai seorang dukun yang sakti, Gao selalu berpenampilan serba hitam. Namun penampilan Gao tersebut dapat membius dan memancarkan pesona. Banyak orang yang membencinya sebab dia yang paling sakti. Orang-orangpun tak ada yang berani padanya.
Tak berapa lama Gao muncul, dengan beskap, celana komprang, dan iket hitam. Sungguh mempesona. Meski banyak orang yang membencinya, di saat seperti ini tetap menjadi bintang. Dia yang paling sakti. Tak ada yang berani membicarakannya, tak ada yang berani mencekat juga. (Akmal, 2011:126-127)
Namun pernyataan lain muncul tentang pekerjaan Gao. Dalam dialognya dengan Mae, Gao menyatakan bahwa dirinya bukan seorang dukun. Dia memiliki cita-cita yang lain, dan dari status pendidikan, Gao adalah tamatan Sekolah Teknik.
“Aku bukan dukun, Mae. Aku peng-ebeg dan pencari rumput biasa. Cita-citaku sebenarnya membuka bengkel reparasi asal kau tahu. Aku lulusan Sekolah Teknik, Mae.” (Akmal, 2011: 304)
Gao juga digambarkan sebagai tokoh yang bijaksana. Tergambar pada kutipan berikut ini.
“Biarlah semua berjalan seperti itu. Kami hanya harus berusaha semaksimal mungkin,” jawab Gao bijaksana. (Akmal, 2011: 248)
4.3.4.6 Musri
Musri adalah teman Mae. Dahulu, ketika Mae masih tinggal dan menghabiskan masa kecilnya di Jatisaba, dia memiliki tiga teman baik yaitu Musri dan Kusi. Musri diceritakan sebagai tokoh yang masih muda, dan sudah menikah. Namun nasib malang menimpanya. Ketika ia melahirkan anak, anaknya justru meninggal dunia. Suami Musri bekerja di Jakarta sebagai pelayan kantin di Universitas. Kutipan berikut ini menjelaskan usia tokoh Musri dan status perkawinannya.
Dia masih muda. Dia punya suami, dia bisa, bisa bikin anak lagi. (Akmal, 2011: 93)
“Di mana suami Musri?” tanyaku.
“Bekerja di Jakarta. Pelayan kantin Universitas. Bahkan ia tak sempat melihat bayinya. Tak dapat cuti.” jawab Kusi sambil terus berjalan di depanku. (Akmal, 2011: 56)
Ketika Mae bertemu dengan Musri, kondisi Musri baru saja melahirkan, dan sayangnya anak yang dilahirkan Musri meninggal. Dalam teks banyak dijelaskan bagaimana Musri kehilangan anaknya dan kesedihan yang dirasakan Musri.
“Ketubannya keruh, ketika lahir bayinya biru mengkerut dan tidak bernyawa lagi. Astagfirullah,” kata Kusi sambil terus menerus mengusap-usap anaknya ketika mengucapkan astagfirullah. (Akmal, 2011:56)
Selain anaknya meninggal, rahim Musri telah diangkat, dan artinya dia tidak bisa memiliki anak lagi.
“Bidan sudah mengambil semuanya. Rahim Musri. Dia tidak bisa punya anak lagi. Ada pendarahan dan infeksi, begitu kata bidan. Aku tak paham bahasa orang pintar, Mae. Jangan sampai orang lain tahu. Apalagi mertua Musri. Bisa cerai dia! Aku tak tega melihat anakku jadi janda. Duh biyung.” (Akmal, 2011: 94)
Dilihat dari segi fisik, Musri digambarkan sebagai tokoh yang memiliki perawakan yang subur. Perutnya dipenuhi kerutan karena habis melahirkan. Selain itu, di kaki Musri terdapat banyak luka gudhig dan sangat tidak terawat. Berikut ini kutipan narasi tokoh Mae terhadap tokoh Musri.
Aku masih telanjang, ketika bayangan Musri yang meliuk-liuk di atas panggung menggangguku. Memang dia bukan dere atau perawan, tapi dia bisa dipaksa menjadi penari yang justru tidak diutamakan kecantikan atau kemolekan tubuhnya. Penari-penari seperti Musri dibutuhkan untuk ditertawakan. Penonton memperoleh kepuasan ketika telah berhasil mempermalukan Musri di depan umum. Mungkin seorang lelaki tua akan mengomentari perut Musri yang berkerut-kerut sehabis melahirkan. Yang lain akan menghitung jumlah bekas luka gudhig di kaki Musri. Sementara yang lain lagi akan menampari wajah Musri yang tak berdaya. Setelah itu mereka akan tertawa bersamaan. (Akmal, 2011:118)
Di samping fisiknya yang sangat tidak terawat, tokoh Musri adalah tokoh yang jujur dan pekerja keras. Meskipun ia pemalu, tapi ia giat dalam bekerja. Musri juga seorang yang madras (kuat), seperti kutipan berikut ini.
Musri jujur dan madras1. Musri adalah pekerja keras tapi pemalu. Yang terpenting, Musri adalah bagian dari masa laluku yang indah. Mengingat dirinya adalah mengingat keindahan. Mencium aroma amisnya seperti mencium wangi masa kecil yang memabukan. (Akmal, 2011:205-206)
Musri juga tidak banyak bicara, ia digambarkan sebagai pendengar yang baik. Selain itu Musri mudah kagum dan gemar sekali memuji. Temasuk memuji temannya, Mae. Musri baru saja melahirkan, namun ia kehilangan anaknya. Dalam teks, Musri digambarkan sangat putus asa, sehingga ia rela jika suaminya menikah lagi.
Walau semua sudah berubah, Musri tetap seperti dulu. Seorang yang lebih banyak mendengar, mudah kagum, dan gemar memuji. Terhadapku, kekagumannya nyaris seperti memuja. (Akmal, 2011:206)
“Tapi aku tidak bisa punya anak lagi, Mae. Aku perempuan yang tidak lagi berguna. Aku sudah bilang ke suamiku, silakan kalau mau cari istri lagi.” kata Musri lirih. (Akmal, 2011:210)
4.3.4.7 Kusi
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya dalam analisis tokoh Musri, Kusi dan Musri adalah teman terbaik Mae. Selain sahabat terbaik Mae, Kusi juga merupakan guru mengaji Mae. Hal ini tersurat dalam pengakuan tokoh Mae dalam kutipan berikut.
Musri dan Kusi adalah dua gadis Legok. Mereka teman terbaikku. (Akmal, 2011:55)
Sementara Kusi adalah guru ngaji yang juga karibku. Kami bertiga disebut gotong mayit3. (Akmal, 2011:56)
Fisik Kusi digambarkan sebagai tokoh yang memiliki badan subur dan melar. Kusi juga telah menikah dan memiliki anak. Kusi juga sangat bahagia dengan peran barunya sebagai istri dan ibu. Berikut ini kutipan dalam teks yang merupakan dialog anatara tokoh Mae dan tokoh Kusi.
“Mba sekarang subur.” Komentarku otomatis ketika memerhatikan badan Kusi yang benar-benar melar. (Akmal, 2011:57)
“Semuanya bersumber dari anak. Aku mau anakku sehat. Susunya cukup. Makannya lengkap. Kalau melihat anakku makan dengan lahap, aku jadi dua kali lebih lahap darinya ketika makan,” jawab Kusi sambil tersenyum bahagia. (Akmal, 2011:57)
Dalam ingatan Mae, Kusi adalah tokoh yang gemar menonton sepak bola sejak dahulu. Pada kutipan berikut ini yang merupakan dialog tokoh Mae dan Kusi digambarkan bagaimana keseharian tokoh Kusi setelah menikah dan memiliki anak. Kusi yang sering yasinan, dan sudah tidak gemar melihat totoan dara, dinilai Mae benar-benar telah menjadi ibu.
“Masih suka nonton Liga Italia, Mbak? Masih tergila-gila sama Cannavaro?”
“Tak sempat lagi aku, Mae. Sepulang mengajar aku melihat anak. Sore hari aku mengajar lagi. Malem hari bermain dengan anak sampai tidur. Kadangkala bapaknya juga. Tidak ada tenaga yang tersisa setelah itu. Aku langsung tidur. Lelap. Tidak ada lagi insomnia, teriakan gol, dan poster-poster di kamar. Aku malu sama anakku.”
Masih sering yasinan, Mbak? Atau lihat totoan dara?” tanyaku lagi.
“Yasinan masih, Mae. Tapi bersama ibu-ibu. Aku tak berani mendekati totoan dara lagi. Katanya bulu dara tak bagus buat anak kecil. Lagipula isinya Cuma ghibah. Masyaallah.”
“Mbak Kusi sudah benar-benar menjadi ibu.” (Akmal, 2011:57-58)
4.3.4.8 Mardi Kartodiarjo
Mardi adalah salah satu calon kepala desa, dan dia orang Legok. Hampir seluruh penduduk Legok satu keluarga dengan Mardi. Tidak ada penjelasan yang spesifik tentang gambaran fisik Mardi. Hanya penjelasan bahwa sejak Mae kecil, sampai sekarang, Mardi selalu mencalonkan diri sebagai kepala desa. Namun hanya menjadi calon. Dia tidak pernah menang. Mardi kaya raya. Dia memiliki banyak lumbung padi. Oleh karena itu dia selalu rela membuang-buang uang demi pencalonan dirinya sebagai kepala desa. Berikut kutipan dalam novel yang menjelaskan tokoh Mardi.
Hanya satu yang menolong Mardi dari kepayahan itu, kekayaan yang tak pernah berkurang. (Akmal, 2011:170)
Seluruh penduduk Legok adalah satu keluarga dengan Mardi. (Akmal, 2011: 122)
Sejak aku kecil, Mardi selalu mencalonkan diri, selalu mempunyai massa fanatik dari keluarga besarnya, selalu menciptakan kerusuhan, tapi sampai sekarang dia selalu hanya menjadi calon. (Akmal, 2011: 44)
Mardi sudah memberikan segala yang ia mampu agar terpilih menjadi kepala desa, sampai detik ini, pencalonannya yang kelima kali, ia tak jua menang. (Akmal, 2011: 169)
4.3.4.9 Ibu Mardi
Ibu Mardi adalah istri dari Mardi Kartodiarjo. Pada novel ini tidak disebutkan nama dari Ibu Mardi ini. Keterangannya hanya bahwa dia adalah istri Mardi yang kemudian disebut Ibu Mardi. Dalam novel Ibu Mardi tidak dijelaskan secara fisik, hanya pekerjaan dan status perkawinannya saja. Diceritakan bahwa Ibu Mardi ini memiliki sebuah lembaga baru yang didirikan demi kemaslahatan penduduk dusun Jatisaba. Lembaga ini bergerak untuk mengawasi jalannya pilkades. Namun hal ini menjadi ganjil ketika sang suami, Mardi adalah calon kepala desa. Berikut ini kutipan yang menjelaskan tokoh Ibu Mardi.
“Memang suami saya mencalonkan diri, tetapi itu tidak ada hubungan sama sekali dengan lembaga saya. Lembaga yang saya dirikan justru akan mengawasi proses jalannya pilkades di kampung kita ini. Jika ada kecurangan, lembaga saya akan mencatat dan melaporkan ke pusat. Bahkan jika itu suami saya sendiri. Saya berjanji,” lanjut Bu Mardi. (Akmal, 2011: 71)
Hanya sedikit kutipan yang menggambarkan sosok Ibu Mardi, yaitu dia adalah orang yang cukup tenang. Hal ini dapat terlihat ketika Ibu Mardi disudutkan oleh ibu-ibu yang mencibir lembaga yang ia dirikan.
“Gimana mau tau yang curang, wong orang kayak kita ini kerjanya cuma di dapur dan di kasur.” Seseorang yang ternyata ibunya Musri tiba-tiba nyeletuk dan kemudian disambut dengan cekikikan ibu-ibu yang lain.
“Justru karena di kasur, kita tahu betul suami kita curang atau tidak,” jawab Bu Mardi tenang. (Akmal, 2011: 71)
4.3.4.10 Malim
Malim adalah teman kerja Mae di perusahaannya B.A.N., namun tidak hanya sebatas teman kerja, Mae dan Malim terlibat hubungan yang lain. Dalam misi Mae mencari pekerja di Jatisaba, Malimlah orang yang paling banyak membantu Mae. Malim digambarkan sebagai sosok yang setia dan sabar. Hal ini tergambar dalam penilaian tokoh Mae terhadap Malim. Malim memiliki sikap yang tenang dan tidak banyak bicara. Secara penamilan, Malim juga selalu bersih dan terawat, seperti pada kutipan berikut ini.
Dia orang bersih dan menjaga kebersihannya itu. Segala tindakannya tenang dan sigap. Dia tidak banyak bicara. Dia berbicara tidak dengan mulut. Aku memahami segala maksud Malim hanya dengan melihat gerak bibirnya. Kepada orang lain, Malim bisa berbicara dengan apa saja, termasuk dengan belati yang selalu disembunyikan di paha kirinya. (Akmal, 2011:102-103)
Dalam teks, Mae juga sering bersiteru dengan Malim. Namun, dalam setiap pertengkaran Mae dan Malim, Malim selalu menunjukan ketenangan dan kesabarannya. Sekalipun Mae pernah mau mencoba membunuhnya.
Aku benci sekali kepadanya. Badanku panas dan kepalaku mendadak seperti penuh. Tapi Malim tetap diam, tenang, bahkan tersenyum. (Akmal: 2011, 193-194)
“Bunuh saja aku, Mae. Kalau itu melegakanmu.” ucap Malim masih tenang. Ketengangannya itu semakin menghempaskanku pada pasir dingin yang belukar ini. (Akmal, 2011:194)
Sikap Malim yang sangat tenang dan tidak banyak bicara itu berlainan dengan tingkahnya dalam bertindak. Dalam menyelesaikan masalah, Malim sangat gesit dan cepat. Ia tidak banyak bicara, namun tindakannya itu selalu memberikan penyelesaian bagi masalah-masalah Mae. Berikut ini kutipan dalam novel.
Malim tersenyum dan berjingkat, keluar melalui jendela. Gerakannya begitu gesit seperti ninja-ninja Jompro. (Akmal, 2011:200)
Meskipun dalam teks tidak dipaparkan secara jelas tentang perasaan Malim terhadap Mae, namun dalam beberapa kejadian Malim terlihat selalu melindungi Mae. Dia selalu ada dan membantu Mae, dan diapun pernah merasa cemburu pada Mae. Hal ini ditegaskan dalam kutipan berikut yang merupakan pengakuan tokoh Mae sendiri tentang Malim. Kemudian dialog-dialog Mae dengan Malim.
Dia hanyalah Malim. Orang yang selalu mencintai dan melindungiku. (Akmal, 2011:195)
Rasa suka Malim terhadap Mae tersirat dalam teks. Meskipun Malim tidak secara langsung menyatakan cinta terhadao Mae. Namun dari tingkah laku Malim terhadap Mae, juga kecemburuannya, menyiratkan ada perasaan lebih terhadap Mae. Berikut ini adalah dialog Mae dan Malim yang menyiratkan perasaan Malim.
“Brengsek! Kau tak pernah diperkosa, Mae. Kau selalu menikmatinya.”
“Kalau iya kenapa? Apa urusannya denganmu?” jawabku di depan muka Malim persis. Aku bisa melihat api di matanya, dan mendengar gemuruh di dadanya.
“Ada, selalu ada urusannya denganku,” kata Malim sambil mencengkram leherku sangat kuat. (Akmal, 2011:112-113)
4.3.4.11 Sanis
Sanis adalah tokoh yang juga akan menjadi babon-babon untuk ikut bersama Mae. Dalam analisis tokoh Mae, peneliti banyak mendapat keterangan dari narasi tokoh Mae terhadap Tokoh Sanis. Seperti pada penggalan kutipan berikut ini yang mendeskripsikan penampilan Sanis.
Sanis berpenampilan khas seperti ibu-ibu Logok lainnya.hanya saja penampilan itu yang paling terburuk diantara ibu-ibu lain. Ia menggunakan kemeja kumal berkutik bekas baju sekolah anak SMA, masih ada lambang OSIS di dadanya. Sementara rok yang digunakan berkibar-kibar dan sudah sobek di sana-sini. Seperti bendera pawai atau poster calon bupati penuh lubang dan kotor yang melintang di jalan. (Akmak, 2011:220-221)
Kutipan narasi Mae di atas adalah penilaian tokoh Mae ketika datang ke rumah Sanis. Dalam kutipan itu digambarkan Sanis memiliki penampilan khas seperti ibu-ibu. Namun penampilan Sanis adalah penampilan yang paling buruk. Selain itu digambarkan pula bagaimana Sanis berpakaian. Pakaiannya, celananya, dijelaskan oleh Mae secara detil dalam narasinya. Selanjutnya kutipan berikut ini akan menjelaskan analisis fisik Sanis.
Rambutnya penuh uban, badannya kurus melengkung. Beda sekali dengan dulu ketika aku masih kecil dan sering kemari. Walau kumal, dulu Sanis masih tampak perkasa. Keperkasaannya itu membuat ia entah kenapa tampak cantik. Sekarang dagingnya menipis diterjang angin sawah. (Akmal, 2011:221)
Sanis digambarkan sebagai tokoh yang berperawakan kurus dan rambutnya telah dipenuhi uban. Ini berbeda dengan penampilan Sanis dahulu, ketika Mae mengenal Sanis. Gambaran fisik Sanis ini semakin kuat oleh pengakuan Sanis sendiri, yang mengatakan bahwa dirinya sudah bobrok, seperti pada kutipan berikut.
“Mae, sebelumnya maaf, tapi aku penasaran, apa orang bobrok sepertiku ini masih diterima bekerja di luar negeri?” Tanya Sanis memecah kesunyian. (Akmal, 2011:222)
4.3.4.12 Besuk
Besuk adalah calon babon-babon Mae juga, sama seperti Sanis. Besuk digambarkan sebagai tokoh yang memiliki perawakan yang gemuk, melar dan perutnya besar. Lebih besar dari dadanya. Dada Besuk juga besar, namun meskipun demikian, Besuk tampak bugar. Berikut kutipan dalam novel yang meupakan dialog anatara Mae dan Besuk.
“Mungkin jadi, Mae. Tapi apa aku tak kegemukan ya?” jawabnya sambil pencet-pencet perutnya yang lebih penuh daripada dadanya.
“Harusnya sih lebih kurus sedikit, tapi tak apalah. Mbak Besuk masih tampak bugar.” Aku berseloroh. (Akmal, 2011:227)
Setelah menikah, Besuk seperti halnya Sitas melar di mana-mana. Rasa malu dan keinginan besar untuk memelihara tubuh seperti waktu gadis dulu telah sirna. (Akmal, 2011:230)
Ah, Mbak Besuk. Dadamu terlempar ke sana kemari. (Akmal, 2011:230)
Selain tubuhnya yang gemuk, Besuk memiliki cara bicara yang khas. Seperti kutipan berikut yang merupakan pandangan tokoh Mae trhadap Besuk. Gaya mulutnya yang mencang-mencong setiap kali ia bicara ditambah dengan air ludahnya yang mucrat ke sana kemari. Besuk juga gesit dalam bekerja. Sekalipun badanya gemuk, tapi dia sangat gesit mengangkut beberapa gelas dalam baki.
Yang khas dari Besuk dan tidak akan pernah berubah sampai kapanpun adalah bibirnya yang mencang-mencong kalau bicara dan ludah yang muncrat-muncrat setiap kali pembicaraannya menjadi serius atau menggebu-gebu. (Akmal, 2011:226)
Gesit sekali Besuk mengangkut beberapa gelas dalam baki yang diangkat dengan satu tangan ke atas pundaknya. Tak salah aku memilihnya sebagai salah satu babonku. (Akmal, 2011:264)
Besuk bekerja sebagai penjual kacang rebus. Hal ini ia lakukan semenjak dahulu bersama keluarga-keluarganya. Ia berjualan kacang rebus di terminal, kemudian menikah dengan salah satu kondektur di terminal. Turun temurun keluarga Besuk, yang merupakan orang Legok adalah penjual kacang rebus yang sehari-harinya mangkal di terminal. Tapi ketika ada acara tontonan malam-malam, keluarga Besuk juga akan menggelar dagangan kacang rebusnya. Besuk sangat mencintai pekerjaannya. Dengan berjualan kacang rebus, Besuk mambiayai anak-anaknya. Berikut ini adalah kutipan mengenai pandagan tokoh Mae terhadap Besuk dan dialog mereka yang menjelaskan bagaimana tokoh Besuk.
Besuk jadi gemuk sekali. Dulu, ketika masih gadis, ia adalah pujaan sopir-sopir terminal. Sampai kemudian, salah satu kondektur yang dinilai baik hati, diterima menjadi suaminya. Sementara kakaknya telah lebih dahulu menikah dengan seorang sopir. Turun temurun, keluarga Besuk adalah keluarga penjual kacang rebus. Sehari-hari mangkal di terminal. Kalau ada tontonan malam-malam, keluarga Besuk juga akan mendominasi dengan kacang-kacang dan gembus-gembusnya. Ibunya, Besuk, dan dua orang kakaknya masing-masing menggelar dagangan dibeberapa pojok area tontonan. Besuk Nut Company. Nama yang diberikan adikku kepada mereka. (Akmal, 2011:229-230)
“Tapi entahlah, Mae. Di hati kecilku masih ada semacam kekhawatiran. Memang, aku sudah muak berjualan kacang dan gembus di terminal, tapi aku juga takut meninggalkan pekerjaan itu.” (Akmal, 2011:227)
Atau Besuk yang leluhurnya orang Legok, tapi keluarganya sendiri merasa terbuang hanya karena berjualan kacang di terminal-terminal yang penuh dengan lelaki hidung belang. Jadi, mereka lebih mudah marah kepada Mardi juga Jompro. (Akmal, 2011:241-242)
4.3.4.13 Gebog
Analisis tokoh Gebog diawali dengan gambaran fisik tokoh Gebog. Gebog adalah satu-satunya calon babon Mae yang masih dere (perawan). Narasi tokoh Mae berikut ini menyuratkan status perkawinan Gebog yang masih dere.
Hanya Gebog yang masih dere. Lainnya sudah seperti babon yang keberatan badan. (Akmal, 2011:108)
Sementara Gebog adalah dere tulen. Walau ada bau aneh yang akan kita hirup jika dekat-dekat dengannya, selalu akan ada yang tertarik dengan orang seperti Gebog ini. (Akmal, 2011:119)
Namun, meskipun Gebog masih perawan, ia tetap saja tidak pandai merawat diri. Badannya bau, terlebih telinganya yang selalu mengeluarkan aroma busuk telur asin. Tubuhnya juga kurus seperti lidi hitam. Ketika Mae mengunjunginya di rumah, Mae sampai tak kuat menahan bau busuk yang keluar dari telinganya. Berikut ini kutipan dalam novel tentang tokoh Gebog.
Setelah dari tempat Besuk, aku mengunjungi Gebog. Hanya tahan beberapa menit saja aku di sana. Aroma telur asin busuk dari telinganya membuat aku ingin muntah. (Akmal, 2011:232)
Sementara Gebog, walau masih gadis, tapi tubuhnya yang seperti lidi hitam, akan sulit disukai orang. Ditambah aroma busuk yang keluar dari telinganya. (Akmal, 2011:232)
4.3.4.14 Gutheng
Gutheng juga merupakan dere yang akan pergi bersama Mae. Kasem yang merekomendasikannya, sebab Kasem tidak jadi berangkat. Jika dilihat dari latar belakangnya, menurut pengakuan Kasem, Gutheng adalah keponakannya. Usia Gutheng juga masih muda, yaitu empat belas tahun. Namun, pengakuan Kasem itu diragukan oleh Mae, sebab Mae merasa wajah Gutheng mengingatkannya pada seseorang. Diusianya yang masih muda, Gutheng sangat pendiam, penurut dan seperti yang takut pada Kasem. Berikut ini kutipan dalam teks yang menggambarkan tokoh Gutheng.
Dia menyodorkan seorang gadis bernama Gutheng untuk ikut denganku. Menurut Kasem gadis itu keponakannya, anak dari adik suaminya. Usianya baru 14 tahun. Wajahnya entah kenapa begitu mirip dengan seseorang. Tapi aku lupa. Gadis itu pendiam dan mengangguk-angguk saja sebelum didorong-dorong oleh Kasem. (Akmal, 2011:232)
Kecurigaan Mae itu ternyata benar, Gutheng adalah anak dari suaminya dengan perumpuan lain, teman kerja Sutris dahulu. Kutipan berikut menguraikan secara jelas bagaimana latar belakang Gutheng.
Gutheng adalah anak dari suami Kasem dengan seorang wanita teman bekerjanya dahulu. Waktu tahu dirinya hamil, wanita itu memberitahu suami kasem, tapi ia tidak mau mengakuinya kerena ia sudah punya anak istri. Takut akan tanggung jawab, suami Kasem pulang kampung. Sementara kandungan perempuan itu semakin besar. (Akmal, 2011:234)
Semenjak itu, Sutris yang kebetulan tak punya anak, mengumumkan bahwa bayi itu adalah anak adopsinya. Semua orang mengangguk-angguk. Dalam hati, semua berucap, wah bayi itu mirip sekali dengan Darto ya. Begitupula hatiku, seperti ada bunyi klik dan kemudian aku berkata, “Iya, Gutheng mirip sekali dengan Darto.”(Akmal, 2011:234-235)
4.3.4.15 Mayor Tua
Tidak banyak penjelasan mengenai tokoh Mayor Tua dalam novel. Mayor Tua hanya dijelaskan sebagai tokoh yang merupakan Bos Mae dan Malim di B.A.N. Mayor Tua adalah pemberi perintah Mae dalam melakukan aksinya di Jatisaba. Sehingga perintah Mayor Tua tersebut menjadi penyebab mengapa Mae datang kembali ke Jatisaba. Dalam novel, Mayor Tua hanya digambarkan melalu difatnya yang jahat, seperti Iblis. Berikut ini kutipan dalam novel.
“Kau lebih tahu tentang Mayor Tua. Dia iblis yang selalu tersenyum. Semanis apapun senyumnya, dia itu iblis.” (Akmal, 2011:101)
4.3.4.16 Dikin
Dikin adalah sekretaris desa. Dia membantu Mae dalam mengurus beberapa berkas untuk calon babon-babon-nya. Dalam teks tidak ada yang menggambarkan tokoh Dikin secara fisik. Dikin hanya dijelaskan sebagai sepupu Jompro yang bekerja sebagai sekretaris desa, seperti pada kutipan berikut ini.
“Baiklah Nona, kau harus menjamin mereka tidak membelot. Kang Dikin!” kata Jom sambil memanggil seseorang bernama Dikin di antara kerumunan. Yang aku tahu, Dikin adalah sekretaris desa. Aku hampir lupa, Dikin juga sepupu Jompro. (Akmal, 2011:159-160)
4.3.4.17 Kepala Desa
Tokoh Kepala Desa dalam teks tidak disebutkan namanya. Mae bersinggungan dengan tokoh ini ketika dia akan mengurus surat-surat calon babon-nya di desa. Kepala Desa ini memiliki karakter yang cuek namun pandai mencemooh. Ia juga gemar merokok. Berikut ini kutipan dalam teks yang menjelaskan Kepala Desa ketika berdialog dengan Mae.
“Jadi ternyata kau agen B.A.N? Tidak kusangka.” Kata kepala desa datar sambil menyedot rokok klobotnya. (Akmal, 2011:177)
“Iya, Pak. Aku mau mengajak beberapa teman ikut bekerja di luar, siapa tahu bisa mengubah nasib mereka.” (Akmal, 2011:177)
“Kau agen B.A.N. kan? Apakah kau terlibat juga dalam kasus Patimuan?”ucap pak Kades ketika aku membuka pintu hendak keluar. (Akmal, 2011:180)
Pandangan lain mengenai tokoh Kepala Desa ini dijelaskan oleh Sitas yang mengatakan bahwa Kepala Desa adalah orang yang cerewet dan rewel Sitas bahkan mengatakan bahwa kepayahan laki-laki ada pada diri Kepala Desa. Dia pelit, istrinya banyak, tetapi tidak ada yang berhasil dihamili. Berikut ini kutipan dalam teks.
“Oh dia, semua kepayahan laki-laki ada di dirinya. Dia memang cerewet. Istrinya banyak tapi tak ada satupun yang berhasil dia hamili. Pelitnya minta ampun. Suka nongkrong juga di rumah jurangan Jom, berlama-lama di depan gaple. Selebihnya aku tak tahu.” (Akmal, 2011:182)
Selain itu, dalam kutipan berikut ini Sitas juga menceritakan bahwa Kepala Desa ini memiliki kelainan seksual yang suka terhadap lelaki. Sitas mengatakan bahwa dia pernah melihat Kepala Desa mengelus-elus selangkangan Dikin.
Pak Lurah mengelus-elus selangkangan Dikin. Besuk yang ada di belakangku juga melihatnya. Pak Lurah tidak menyadari kehadiran kami karena kami membelakangi mereka. Tapi Dikin tahu sehingga dengan cepat menepis tangan pak Lurah. Dan kau pasti tidak akan menyangka apa yang dikatakan pak Lurah. “Kowe nang apa Dikin? Aku kangen karo manukmu.” Sitas bercerita sambil matanya melotot. (Akmal, 2011:183-184)
4.3.4.18 Joko
Selain Jompro dan Mardi, calon kepala desa yang lainnya adalah Joko. Joko adalah mantan pensiunan polisi. Berbeda dengan Jompro dan Mardi, Joko adalah Wong Tiban. Sehingga kehidupan dan pekerjaan Joko lebih baik dari Jompro dan Mardi. Dalam teks tidak banyak menggambarkan tentang Joko. Hanya beberapa dialog Mae dan Sitas yang menjelaskan bahwa Joko adalah salah satu calon kepala desa. Berikut kutipan dalam novel
“Yu, siapa calon yang lain?”
Sitas hanya melongokkan kepala ke kamarku dan berkata lirih “Polisis Joko, dan tentu saja Mardi Kartomihardjo.” (Akmal, 2011:44)
Selanjutnya kutipan yang menjelaskan pekerjaan dan status sosialnya yang merupakan Wong Tiban.
Wong Tiban yang ada di sekitar pertunjukan ebeg adalah botoh-botoh Joko, semua orang yakin itu. Termasuk aku. Joko adalah pensiunan polisi. Maka orang-orang yang berada di belakangnya juga orang-orang yang merasa senasib. (Akmal, 2011:131)
Pada novel ini, Joko diceritakan sebagai calon yang akhirnya memenangkan pemilihan kepala desa. Hal ini terlihat pada bagian akhir cerita yang menjadi penutup novel ini.
Di tempat yang lain.
Seseorang duduk di meja kerjanya yang baru. Ada sebuah papan nama terpasang rapi, Joko (Kepala Desa). Tatapannya menerawang, seperti sedang merancang sesuatu. Seorang pegawai perempuan muda berlipstik merah muda masuk ke ruangan membawa secangkir kopi. Jalannya tampak terburu-buru.
“Kenapa terburu-buru?” tanya lelaki itu.
“Anu, Pak. Banyak tawon di dapur,” jawab perempuan itu sambil bergidik.
“Tawon?” Suara lelaki itu kabur dalam dengungan yang bising. Satu persatu, lebah menerjang membabi buta masuk ke ruangan. (Akmal, 2011: 337)
4.3.4.19 Polisi
Tidak banyak kutipan dalam novel yang menjelaskan tokoh Polisi ini. pengarang tidak menggunakan teknik penokohan dengan penamaan, namun melalui percakapan dialog monolog. Tokoh polisi ini hanya muncul pada awal cerita dan akhir cerita. Seperti terlihat pada kutipan berikut.
“Mau ke mana?” Tanya lelaki itu lagi.
“Pulang kampung.”
“Jatisaba?” lelaki itu coba menebak.
“He-eh.”
“Kampung yang indah,” lanjutnya. (Akmal, 2011:11)
Lelaki itu berkata sambil membuka topinya. Melihat kepalanya yang nyaris botak dan pakaian safarinya yang sedikit kekecilan memngingatkanku pada pegawai desa atau kecamatan. Perutnya juga mlebung. Salah satu tanda pegawai yang hobi melakukan ‘perjalan dinas’. Tapi ada cartier di pergelangan tangannya. Cuma pegawai korupsi yang bisa membelinya. (Akmal, 2011:12)
Tokoh polisi ini merupakan tokoh yang bertemu dengan Mae di bis pada saat perjalanan menuju Jatisaba. Awalnya Mae tidak menyadari bahwa orang yang duduk di sebelahnya itu merupakan Polisi. Mae hanya mengira lelaki itu sebagai pegawai kecamatan. Namun tenyata, pada bagian akhir cerita baru diketahui bahwa tokoh lelaki itu merupakan polisi.
Satu dua detik, ada gong yang tiba-tiba memukul kencang ingatanku. Lelaki itu tidak asing. Ingatanku belum bekerja sempurna ketika dia menanyaiku lagi.
“Sudah puas bernostalgia di kampung halaman?” Gong yang lebih besarpun menggema di ingatanku. Dia lelaki yang kutemui di bus ketika dalam perjalanan pulanf. Lelaki gemuk bersenyum Michael Dougulas. Insting bahaya merayapi seluruh tubuhku. Aku sudah mengambil posisi siap kabur ketika sebuah bundaran besar lipstik menekan perutku. Sebuah pistol siap menyarangkan peluru di perutku. Separuh darahku tiba-tiba lesap ke bumi.
“Tenanglah,” kata lelaki itu sambil menujukkan identitasnya sekilas di hadapanku. Polisi. Sekarang separuh sisa darahki yang masih ada pun membeku. Dia bukan pegawai kecamatan tapi polisi. (Akmal, 2011:333-334)
Kutipan di atas menjelaskan mengenai tokoh laki-laki yang bertemu Mae di bis. Tokoh yang semula dianggap Mae sebagai pegawai kecamatan, kemudian diketahui sebagai Polisi. Tokoh Polisi ini yang menangkap Mae dan Malim ketika di bandara. Ia sudah lama mengintai Mae melalui mata-mata Sitas. Sehingga dapat dikatakan tokoh polisi ini merupakan tokoh penentu nasib Mae sebagai tokoh utama.
4.3.4 Analisis Latar Tempat
Latar novel ini terdiri atas latar tempat, latar waktu, latar sosial, dan latar suasana. Berikut ini adalah penjelasan latar dalam novel Jatisaba. Latar tempat sendiri terbagi dibagi menjadi dua latar, yaitu latar geografis dan latar tempat itu sendiri. Latar geografis adalah tempat terjadinya peristiwa dalam cerita secara umum. Artinya latar geografis ini menjelaskan kedudukan tempat yang dalam hal ini adalah sebuah desa di tempat tertentu. Sedangkan latar tempat berikutnya lebih memaparkan tempat yang rinci dalam setiap peristiwa dalam novel. Berikut ini analisis latar tempat dalam novel Jatisaba. 4.3.5.20 Jatisaba
Latar geografis dalam novel ini adalah Desa Jatisaba. Jatisaba diceritakan sebagai kampung halaman tokoh utama yaitu Mainah atau Mae. Berikut ini adalah penggalan dalam novel yang mendukung pendeskripsian latar tempat.
“Mau ke mana?” Tanya lelaki itu lagi.
“Pulang kampung.”
“Jatisaba?” Lelaki itu coba menebak.
“He-eh.”
“Kampung yang indah.” Lanjutnya. (Akmal, 2011:11)
Ketika inderaku berfungsi lebih sempurna, aku mencium sesuatu, aku melihat seseorang dan ada yang mendesak-desak di ingatan. Wangi itu, rumput itu, JATISABA. (Akmal, 2011:16)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Jatisaba dikatakan sebagai kampung yang indah. Jatisaba dibangun di atas kuburan para leluhurnya. Jalan berlubang menjadi identitas jalan menuju Jatisaba. Jalan ini begitu menyiksa dengan kerikil-kerikil segitiganya yang tajam. Kutipan berikut ini akan menggambarkan bagaimana kondisi jalan menuju Jatisaba.
Bus berguncang-guncang. Tampaknya semakin dekat dengan kampungku. Jalan yang berlubang dan bergelombang menjadi identitas kedua kampungku. Ingatanku terdampar pada jalan di depan rumahku dulu. Jalan yang membelah kampungku itu sebenarnya dipersiapkan menjadi jalan propinsi. Tapi tak ada satupun kedaraan antarpropinsi yang melewatinya. Hanya bus-bus antar daerah yang mau menggunakannya, itupun sebelum jam 12 siang. Sasaran mereka adalah sedikit anak-anak yang bersekolah di kota, termasuk aku, dan orang-orang yang akan belanja ke pasar. Setiap tahun, jalan itu dihaluskan. Tetapi tidak pernah berhasil. Jalan itu tetap menyiksa dengan kerikil-kerikil segitiganya yang tajam. Hampir semua orang di kampungku yakin, sampai kapanpun jalan ini tidak akan pernah halus. (Akmal, 2011: 13)
Kondisi jalan yang bergelombang dan berlubang ini diyakini oleh orang Jatisaba sebagai sebab karena jalan menuju Jatisaba dibangun di atas kuburan para leluhurnya. Seperti pada kutipan berikut ini yang menjelaskan alasan mengapa jalan menuju Jatisaba selalu berlubang dan bergelombang.
Konon, jalan ini dibangun di atas kuburan leluhur. Demi memenuhi syarat lebar jalan, mereka harus menggusur sebagian kuburan. Kala itu kampungku menjadi seperti kampung zombi dengan bau anyir dan busuk yang tidak tertahankan. Sebagian mayat sudah bersatu dengan tanah, sebagian lagi tingal tulang-belulang, dan beberapa diantaranya tengah membusuk. Ada yang satu matanya sudah hilang dimakan belatung, ada yang tubuhnya gosong atau berpindah posisi, dan banyak lagi cerita yang mungkin tercipta di khayalan orang-orang saja. Waktu itu aku masih kecil. Aku hanya merasakan kengerian dari cerita ibuku. Oleh karena pemindahan kuburan semaunya ini, arwah-arwah dari mayat itu marah dan mengutuk jalan di kampung halamanku. (Akmal, 2011: 13-14)
Kutipan berikutnya mejelaskan keadaan georafis Jatisaba yang terletak di desa Karangmangu dengan setupuk keindahannya.
Jatisaba hanyalah nama sebuah kampung. Kampung ini ada di dalam desa Karangmangu. Akan tetapi, satu kampung ini menentukan segalanya. Selain wilayahnya yang luas dan penduduk yang terpusat di dalamnya, Jatisaba adalah induk. Induk kehidupan Karangmangu. Kehidupan lahir dan batin. Jatisaba mempunyai kuburan luas, lapangan hijau dukun-dukun sakti, dan bayi yang lahir antre setiap hari. Jadi, orang lebih mengingat Jatisaba daripada Karangmangu. Orang lebih bangga menjadi orang Jatisaba. (Akmal, 2011:41)
Selanjutnya adalah penggalan yang menyatakan Jatisaba adalah kampung halaman tokoh utama, Mae. Kutipan ini adalah narasi tokoh Mae yang mengingat kembali kenangannya tentang Jatisaba.
Ternyata, aku sama sekali tidak menangis. Pada waktu-waktu yang lalu, ingatanku akan kampung, selalu membuat mataku cembung penuh air mata. Begitu aku ada di tanah ini, kampungku, aku kehilangan melankolia itu. Mungkin kesedihan yang mendalam dan kehilangan besarku telah menenggelamkan perasaan haru dan menyisakan tubuhku sebagau seonggok daging tanpa emosi. (Akmal, 2011:17)
Dalam novel, Jatisaba selain digambarkan memiliki panorama yag indah, Jatisaba juga digambarkan sebagai kampung yang dipenuhi dengan kuburan. Hampir sepertiga tanah di Jatisaba adalah kuburan.
Hampir sepertiga tanah di kampungku adalah kuburan. Kuburan di kampungku dianggap kuburan terluas dan terpanjang yang pernah ada. (Akmal, 2011:35)
Jatisaba diceritakan sebagai sebuah desa yang terletak sebelah pesisir, sehingga akan terdengar sayup-sayup gemuruh ombak laut selatan. Untuk itu, penduduk Jatisaba terbiasa mendengar dan merasakan getaran debur ombak. Berikut ini adalah kutipan yang memaparkan desa Jatisaba yang terletak di pesisir.
Sayup-sayup terdengar gemuruh ombak laut selatan. Jatisaba yang terletak di sebelah pesisir membuat penduduknya terbiasa mendengar dan merasakan getar debur ombak sebagai pengiring tidur lelap mereka. Walaupun demikian, orang-orang Jatisaba tidak berhubungan sama sekali dengan laut. Kecuali debur ombak, tidak ada yang mengingatkan orang Jatisaba dengan laut. Entah kenapa. (Akmal, 2011:202)
Meskipun Jatisaba terletak di sebelah pesisir, namun penduduk Jatisaba tidak pernah pergi ke laut. Hal ini karena penduduk Jatisaba harus melewat desa Ayamalas. Kedua desa ini tidak pernah akur dan selalu terserang konflik seperti pada kutipan dalam novel berikut ini.
Mungkin karena sebuah karma bagi orang-orang Jatisaba untuk berjalan ke selatan. Kalau mau ke laut, orang-orang Jatisaba harus melewati desa Ayamalas. Itu tabu. Karena dua desa ini tak pernah akur. Selalu bermasalah dan mungkin akan bermusuhan sampai kiamat. orang Jatisaba tidak boleh menikah dengan orang Ayamalas. Pertandingan sepak bola antara keduanya sering berubah menjadi pertandingan tinju. Jika orang Jatisaba kemalingan, maka orang Ayamalas pasti menjadi tertuduh. Jika gadis Ayamalas hamil di luar nikah, maka pemuda Jatisaba tersangka utamanya. (Akmal, 2011:202)
Jadi, hanya debur ombak yang sayup terdengar di pagi hari, yang mengingatkan orang-orang Jatisaba bahwa mereka berada di dekat laut. (Akmal, 2011:203)
Kampung Jatisaba didiami oleh dua keluarga besar yang terletak berada di dalamnya, yaitu Dulbur dan Legok. Dalam novel, Dulbur dan Legok yang merupakan bagian dari Jatisaba diceritakan dengan deskripsi latar yang berbeda. Berikut ini kutipan dalam novel.
Dulbur merupakan akronim dari kidul kuburan. Sebab, kebanyakan rumah mereka ada di selatan (kidul) kuburan. Bagi orang-orang dulbur, kuburan bukan hal yang menakutkan. Kuburan menjadi bagian dari kegiatan mereka sehari-hari. (Akmal, 2011:37)
Orang legok selalu merasa memiliki kampungku. Mereka bermukim di seberang sawah, dikelilingi rumpun bambu. (Akmal, 2011:56-57)
Selain itu, tokoh Mae banyak menjelaskan tentang Jatisaba diberbagai suasana. Jatisaba sebagai sebuah desa memiliki kekhasan sebuah kampung yang asri dan nyaman. Setiap suasana seolah menggambarkan Jatisaba dengan wajah yang lain. Jatisaba yang menjadi kota layang-layang di musim kemarau, sampai Jatisaba yang berubah menjadi sebuah desa di Mongol setiap bulan Ramadhan. Jatisaba diberbagai suasana ini hadir dalam ingatan tokoh Mae.
Dulu, di musim-musim kemarau, Jatisaba menjadi kota layang-layang. Pagi hari orang sibuk menebang dan menyerut bambu, menjadikannya layang-layang kodokan4 atau daplangan5. Kadang ada layang-layang naga, pesawat, bahkan satria baja hitam. Siang hari mereka menyiapkan benang. Sore hari menerbangkan layang-layang. Dan suara sengau senderen6nya terdengar di malam hari. Aku masih ingat betul ketika ayah membuat layang-layang daplangan yang besar sekali dengan ekor lima helai yang panjangnya lebih dari 30 meter. Alhasil layang-layang itu tidak bisa terbang, kaboten buntut7. Di musim-musim kemarau seperti itu, Jatisaba beraroma layang-layang. (Akmal, 2011:82-83)
Selanjutnya gambaran suasana lain yang menggambarkan Jatisaba ketika bulan Ramadhan.
Dulu, setiap bulan Ramadhan tiba, Jatisaba berubah menjadi seperti sebuah desa di Mongol, berwarna hijau dan putih, perpaduan atara pepohonan dan salju. Bedanya, di Jatisaba jalanan menjadi putih karena kertas-kertas bekas ledakan mercon. Meski sudah dilarangm setiap pagi, bahkan siang, bunyi ledakan terdengar di mana-mana. Bahkan ada kontes mercon antarRT yang dilaksanakan di pereng. (Akmal, 2011:83)
Pemaparan di atas menjelaskan bahwa Jatisaba merupakan latar tempat secara keumuman. Latar ini menjadi latar geografis yang menunjukan tempat diceritakannya peristiwa dalam novel. Akan tetapi, ada beberapa latar tempat yang lebih spesifik dalam setiap peristiwa yang juga akan dibahas dalam penelitian ini. Latar tempat ini baiasanya merujuk pada di mana suatu peristiwa terjadi, misalnya di rumah, lapangan, kantor, warung, dan lain sebagainnya. 4.3.5.21 Rumah Sitas
Latar rumah Sitas muncul sebagai latar tempat yang menegaskan setiap peristiwa yang terjadi dalam novel. Rumah Sitas bisa dianggap sebagai latar tempat yang dominan. Karena rumah Sitas adalah tempat yang ditinggali oleh dua tokoh utama, yaitu Mae dan Sitas. Rumah Sitas digambarkan sebagai rumah yang kumuh, tidak terawat, bau dan dipenuhi dengan bebek-bebek milik Sitas. Berikut ini adalah kutipan dalam novel yang menjelaskan latar rumah Sitas.
Aku hanya bertahan beberapa menit di balik selimut itu. Lalu aku bangkin keluar kamar. (Akmal, 2011:20)
“Terima kasih, Lik,” kataku sambil berjalan melewati halaman rumah belakang Pontu yang penuh berisi cincau sisa. Bercampur dengan tai bebek, dedak basah, dan cangkang keong, cincau itu mengeluarkan kombinasi yang menakjubkan.” (Akmal, 2011:21)
Ketika aku masuk ke rumah, berbagai aroma menyeruak, aroma bawang, pace, bahkan aroma tengik8. (Akmal, 2011:106)
Kutipan di atas menjelaskan bagaimana kondisi rumah Sitas yang sangat tidak nyaman, aroma bau tai bebek yang bercampur dengan aroma lain menjadi udara khas rumah Sitas. Terlihat bahwa Mae sendiripun tidak nyaman dengan suasana rumah Sitas yang bau sesak. 4.3.5.22 Warung Sitar
Latar warung Sitar menjadi tempat di mana pertama kalinya Mae bertemu Jompro. Terlihat pada kutipan dalam novel berikut ini.
Warung Sitar terkenal dengan pisang goreng raja berkulit asin sejak 1980-an. Letaknya di belakang kuburan dan selalu ramai dengan orang. Terutama tukang ojek, penjual ayam, juragan beras, dan beberapa pejabat desa. Yang lebih ekslusif lagi, di salah satu bilik ruamh Sitar, tersedia beberapa meja bagi yang ingin berjudi. Di balik rimbunnya dagangan Sitar, berbagai merk minuman keras murahan juga sudah disiapkan. Bahkan anak Sitar menerima orderan untuk mengoplos minuman-minuman itu. (Akmal, 2011:35)
Kami berbagi payung kertas yang diambil Sitas begitu saja dari salah satu kuburan yang masih basah. Kami menyusuri jalan setapak menuju warung Sitar. Cahaya matahari menyelimuti sepanjang kuburan yang aku lewati, menghasilkan efek air bergelombang di atas kuburan-kuburan itu. (Akmal, 2011:35)
Warung Sitar begitu ramai. Sampai yang terlihat hanya kepala-kepala orang. Ketika kami datang, keramaian berpindah poros. Beberapa orang menyapaku. Beberapa lainnya berbisik-bisik. Beberapa anak antri memperebutkan pisang goreng. Para lelaki duduk menghisap rokoknya. Ada seseorang di antara mereka yang terus memandangku.
“Yu, itu Jompro kan?” Aku menanyakan orang itu pada Sitas. (Akmal, 2011:38)
Warung Sitar sudah sejak lama menjual pisang goreng raja kulit asin. Letaknya berada di belakang kuburan. Warung Sitar juga selalu ramai dengan orang yang ingin berjudi, minum-minum, atau bahkan nongkrong-nongkrong. Orang-orang yang datang ke warung Sitar didominasi oleh lelaki yang ingin mencari hiburan di sana. Begitupula Jompro, yang ketika itu bertemu dengan Mae di warung Sitar. 4.3.5.23 Kantor Pos
Dalam teks, kantor pos bukan dijadikan latar sentral oleh tokoh. Namun, kantor pos ini merupakan latar yang mengingatkan tokoh Mae terhadap kenangan masa kecilnya. Latar kantor pos digambarkan oleh Mae secara detil dalam narasinya. Ruangan, sampai aroma kantor pos tidak luput dari pemaparan Mae. Letak kantor pos berada di samping pasar pegadaian juga statsiun. Di depan kantor pos ada pasar burung dara. Berikut ini kutipan dalam teks yang menjelaskan latar kantor pos.
Tiba-tiba aku terharu begitu sampai kantor pos. Ruangan berbau lem berwarna orange yang lengang sekali. Hanya ada dua pengunjung termasuk aku. Teknologi telepon, pesan singkat, atau titipan-titipan kilat mengalahkannya. Kantor pos ini seperti mewakili masa lalu yang renta. Tapi bagiku, masa lalu yang renta. Tapi bagiku, masa lalu itu membahagiakan, dan aku menyukainya. Maka entah kenapa, aku betah berlama-lama di ruangan itu. Kalau tidak teringat harus membeli dedak, aku mau seharian duduk dan mengendus aroma lem. (Akmal, 2011:46-47)
Di samping kantor pos dan pasar pegadaian, juga statsiun. Setiap pagi, di depan kantor pos itu ada pasar burung dara. Di sekitar itu banyak toko yang menjual pakan hewan dan benih-benih sayuran yang dikeringkan. Di salah satunya aku membeli dedak pesanan Sitas. Kebanyakan penjualan manula-manula. Jadi benar-benar seperti mengingat masa silam. (Akmal, 2011:47) 4.3.5.24 Gang Larasati
Latar gang Larasati muncul dalam teks ketika Mae dan Jompro bertemu untuk melakukan negosiasi. Bahkan dalam teks, terdapat satu bab khusus yang menjelaskan tentang negosiasi Mae dan Jompro dengan latar gang Larasati. Di gang ini, Mae dan Jompro menyepakati perjanjian bahwa Jompro akan membantu Mae mengurusi surat-suran calon babon-babon Mae. Sedangkan Mae akan memastikan bahwa babon-babon-nya itu akan memilih Jompro sebagai kepala Desa. Pada kutipan ini diterangkan bahwa gang Larasati sejak dahulu terkenal sebagai tempat prostitusi dan dikatakan gang kenikmatan bagi lelaki hidung belang. Gang Larasati terletak di daerah padat sekitar pasar. Di dalamnya terdapat banyak rumah bertingkat, kamar, salon, dan tentunya banyak wanita.
Tukang becak itu membawaku menyelinap gang-gang padat sekitar pasar. Dan berbelok disebuah gang yang lebih besar. Banyak lelaki lalu lalang di situ. Tentu saja, siapa tidak tahu gang Larasati. Walau aku belum pernah ke sini, sejak kecil aku sudah mendengar cerita tentang gang ini. Gang kenikmatan, kalau para lelaki bilang. Banyak rumah bertingkat, banyak kamar, banyak salon, banyak warung, dan banyak wanita. Tapi tukang becak itu membawaku menyelinap lagi, dan menghentikan becaknya di rumah kecil yang lebih sepi. Bukan warung bukan salon. Rumah biasa. (Akmal, 2011:48)
4.3.5.25 Mushola
Mushola muncul dalam teks sebagai latar tempat. Mushola ini adalah tempat Mae mengaji sewaktu dahulu. Di mushola ini juga dilakukan beberapa pertemuan antara warga. Termasuk ketika ibu Mardi mengadakan pertemuan dengan ibu-ibu pengajian untuk mendeklarasikan dirinya sebagai tim pengawas pilkades. Mushola ini digambarkan tidak seperti layaknya mushola. Kayunya mulai rapuh, berbau jamur sangat menyengat, dan tidak ada peralatan sembahyang seperti biasanya sebuah mushola. Berikut kutipan dalam teks.
Mushola ini tampak seperti lumbung padi. Kayunya mulai rapuh. Bau jamurnya menyengat, dan jika duduk di lantainya, sebentar saja kaki kita bisa kaku karena basah dan kedinginan. Hanya ada satu mikrofon tua dan karpet yang robek-robek. Tidak ada Al-quran, Iqro, apalagi peralatan sembahyang. Kalau tidak ada orang yang jungkat-jungkit sembahyang, orang tidak akan mengira tempat ini adalah mushola. (Akmal, 2011:69)
4.3.5.26 Sumur
Latar Sumur muncul sebagai latar tempat ketika Mae sedang mandi. Dalam Narasinya, lagi-lagi tokoh Mae menggambarkan dengan jelas bagaimana situasi sumur itu, yang mungkin bisa dikatakan sebagai kamar mandi. Selain gambaran sumurnya, dalam kutipan berikut Mae menjelaskan bahwa di sumur itu dia sering memergoki penderes yang sedang keasyikan memerhatikan Mae mandi.
Sumur ini hanya dipagari pohon cakla-cakli dan tidak beratap. Menimbulkan efek panoptik yang dahsyat. Aku selalu merasa ada mata di balik runcingnya daun cakla-cikli itu. Bahkan dulu beberapa kali kupergoki penderes bertengger di atas pohon kelapa dan asyik melihat bagaimana aku membersihkan selangkanganku. (Akmal, 2011:106)
4.3.5.27 Pereng
Selanjutnya muncul latar pereng. Pereng diceritakan sebagai tempat dilangsungkannya kampanye oleh Mardi. Pereng terletak di Legok, yang hampir semua keluarga Mardi adalah orang Legok. Berikut ini kutipan dalam novel yang menjelaskan latar pereng.
“Tak usah malu, aku punya yang seperti itu. Ayo ke pereng, melihat ebeg Gao,” ucap Sitas. (Akmal, 2011:120)
Kami ke pereng4, duduk di lincak yang sama dengan bertahun-tahun silam. Lincak tempat aku mengintai pemcari rumput bersama Gao. (Akmal, 2011:56)
Pereng sering digunakan sebagai tempat berkampanye. Keluarga Mardi menjadi orang yang paling sering menggunakan tempat ini untuk berkampanye.
Seluruh penduduk Legok adalah satu keluarga dengan Mardi. Tidak salah jika dia leluasa menggunakan pereng sebagai tempat berkampanye. Ini berkah buat lelaki-lelaki pedagang cau, buat para pedagang klepon dan gembus1, tentu saja berkah untuk Gao. (Akmal, 2011:122)
Sesampainya di sana, arena sudah dipenuhi kepala-kepala orang. Beberapa orang yang rumahnya dekat dengan arena membawa kursi tamunya. Ada pula yang membawa tikar, menyobek daun pisang, atau meletakkan sandal jepitnya sendiri sebagai alas duduk. Para lelaki memilih berdiri di belakang rombongan-rombongan ini sambil menyedekapkan tangan di dada. Mereka perkasa dan kuat berdiri berjam-jam. (Akmal, 2011:123) 4.3.5.28 Pantai Katapang Indah
Pantai Katapang Indah tidak jauh letaknya dari desa Jatisaba. Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh orang saja untuk sampai di sana. Pantai ini sepi dan tidak terekspose oleh banyak orang. Di pantai inilah Malim mengajak Mae untuk menenangkan diri sambil membicarakan pekerjaan mereka.
Tidak ada sepuluh menit dan kami sudah terdampar di sebuah pantai yang sepi. Namanya Pantai Katapang Indah. Pantai ini belum terekspose oleh banyak orang. Justru itu adalah daya tarik utama untuk orang-orang tertentu yang tidak suka keramaian. Pantai ini dibiarkan tersembunyi, sengaja tidak diiklankan. (Akmal, 2011:189)
Seperti pantai-pantai lainnya, di Pantai Ketapang Indah juga disewakan beberapa kamar yang lebih akrab disapa gubug. Selain latar pantai yang menjadi latar umumnya, ada pula latar gubung yang muncul sebagai latar tempat dalam novel. Gubug ini digambarkan terbuat dari kayu. Gubung ini pula yang menjadi latar tempat percakapan Mae dan Malin terjadi. Pada percakapan ini pula, hampir membuat Mae membunuh Malim. Pada kutipan berikut ini, Mae menarasikan dengan jelas bagaimana gambaran kamar gubuk di Pantai Ketapang Indah.
Walau terbuat dari kayu dan beratap daun nipah, kamar ini betul-betul sempurna. Konsep sebagai tempat istirahat para penyadap nira diterapkan total dalam design interiornya. Beberapa golok menjadi hiasan di dinding. Kelapa muda diletakkan di sudut-sudut kamar. Pelayannya juga, ah, mereka terlihat seksi sekaligus bodoh menggunakan cawat khas pengambil nira. Seksi karena dada telanjang mereka sungguh menggairahkan, dan entah mengapa, mereka tampak bodoh dan membawa-bawa makanan dari atas baki dengan hanya menggunakan cawat kumuh. (Akmal, 2011:191)
Sajian di atas meja spesial semua berasal dari nira dan kelapa. Dan yang menakjubkan, tidak ada ranjang di kamar itu. Hanya daun nipah yang ditumpuk-tumpuk dan dianyam menjadi seperti kasur tipis. Lantainya murni pasir bercampur akar-akar semak pantai. Jendelanya bertirai rumba-ruma nipah muda. Bagiku, kamar ini terlalu eksotik. Terlalu. (Akmal, 2011:191)
Di depan jendela ada dua kursi yang terbuat dari ban bekas. Kami duduk di situ. (Akmal, 2011:191)
4.3.5.29 Pasar Sore
Latar tempat pasar sore memang tidak terlalu banyak dijelaskan dalam novel. Karena latar ini muncul hanya sekilas dalam perjalanan pulang Mae dan Malim dari Katapang Indah. Namun latar ini juga menjelaskan bahwa Jatisaba selain desa yang indah, memiliki pantai dan juga terdapat pasar sore. Letak Jatisaba yang jauh dari mall atau toko ritel modern menjadikan pasar sore ini sebagai tempat orang-orang Jatisaba berbelanja.
Dalam perjalanan pulang, kami melewati sebuah pasar sore. Kampungku jauh dari mall atau sekedar toko ritel modern. Yang ada hanyalah beberapa petak tanah di mana pedagang menggerombol yang kemudian disebut pasar. Ada pasar yang setiap hari di waktu pagi atau sore. Ada pula yang buka berdasarkan hari pasaran orang Jawa seperti pasar wage, pasar pon, pasar kliwon, dan lain-lain. (Akmal, 2011:171)
4.3.5.30 Rumah Musri
Ketika akan memastikan Musri ikut bersama Mae untuk bekerja, Mae datang ke rumah Musri. Mae kembali menarasikan bagaimana bentuk dan suasana rumah Musri. Rumah musri yang sama seperti kebanyakan orang Legok lainnya yaitu gedhek beratapkan sebagian besar seng. Pada kutipan berikut ini, Mae menarasikan dengan detil bagaimana gambaran rumah Musri.
Seperti rumah orang Legok lainnya, rumah Musri sepenuhnya adalah gedhek. Dindingnya terbuat dari kepang yang dipaku pada kerangka bambu. Atapnya sebagaian genting, tapi sebagian besar seng. Jika kalau hujan deras menyerbu, tidak ada suara lain yang terdengar selain keratak hujan di atas seng. Andai saja cucuran itu bernada, pasti indah seperti marching band. Tapi seandainyapun indah, Musri sekeluarga tidak akan sempat mendengarkan. Mereka sibuk mondar-mandir membawa mangkuk-mangkuk untuk menampung air yang menetes dari atap mereka yang bocor dari sana-sini. Rumahnya berbentuk persegi yang dibagi menjadi tiga bagian. Ruang tamu, ruang tengah yang dibagi menjadi empat kamar yang ditengahi sebuah lorong, dan terakhir adalah dapur. Bagian terakhir ini yang paling luas, karena di tempat ini Bangkring membuat klepon jualannya, dan tempat Tusan, suaminya, mengistirahatkan becak. Selain itu, dapur juga tempat adik-adik Musri mengurung ayam-ayam dan burung dara mereka. (Akmal, 2011:207-208)
Selain menggambarkan rumah Musri secara keseluruhan, pada kutipan berikut Mae menggambarkan bentuk kamar dan suasana kamar Musri.
Kamar Musri adalah segi empat berukuran 3x3 meter. Seperti lantai ruangan lain, lantai Musri juga hanyalah tanah yang menjadi halus karena saking seringnya diinjak. Ada satu lemari dan tempat tidur tanpa kasur. Bagian paling menarik dari kamar ini adalah lubang di antara bambu-bambu penyangga dinding. Di lubang itu Musri menyimpan uang tabungannya, dan beberapa manik-manik tak penting. Dia pernah sekali menunjukan padaku dulu. Ada juga selembar poster besar yang ditempel untuk menutupi kepang yang sudah mulai rapuh dan berlubang. Poster tiga orang bintang film India, Shakhrukh Khan, Amir Khan, dan Salman Khan. Mereka memakai baju kuning dan celana biru. (Akmal, 2011:208-209)
Selain lubang itu dan poster, kamar ini sepenuhnya menyedihkan. Udaranya lembab, campurannya antara tanah basah, jamur kayu, dan bau tikus atau kencing kucing. Tidak ada jendela atau cahaya yang terang. Hanya cahaya mentari siang yang sesekali menerobos masuk melalui celah antar genteng. Tidak ada debu di kamar ini karena semua sudah menyatu dalam kekotoran menjadi debu itu sendiri. (Akmal, 2011:209)
4.3.5.31 Rumah Sanis
Setelah dari rumah Musri, kemudia Mae menuju ke rumah Sanis untuk melakukan hal yang sama ketika dia di rumah Musri. Rumah Sanis terletak di atas sawah. Bentuk rumahnya seperti panggung kecil nyaris seperti gubuk di tengah-tengah sawah tempat para petani biasa beristirahat. Rumahnya dipenuhi baju-baju bergelantungan di atapnya yang tersusun dari campuran genting dan seng bekas. Di tempat ini juga, Sanis dan keluarganya mandi dan mencuci. Sehingga seluruh hidup dan benda-benda disekitarnya mengeluarkan bau amis abadi lumpur sawah.
Rumah Sanis nyaris seperti dangau2 kalau saja tak banyak baju bergelantungan di atapnya. Rumahnya adalah setitik nila kotor di tengah lautan hijau kekuningan yang indah. Yang Sanis punyai hanyalah sepetak sawah berbentuk trapesium kecil di tengah kotak-kotak hijau yang besar. Dia sekeluarga tidak punya apa-apa lagi. (Akmal, 2011:215)
Dia membangun panggung kecil di atas sawah itu. Lantainya terbuat dari papan yang berjejer sembarangan. Dari sela-selanya kita bisa melihat telor keong merah jambu menempel di daun padi. Sela-sela itu pula yang menjadi toilet darurat kalau Sanis sekeluarga tidak mendapat tumpangan di tempat tetangga. Di atapnya yang tersusun dari campuran genting dan seng bekas, Sanis menjemur pakaian. Sanis sekeluarga mandi dan mencuci di aliran irigasi antar petak sawah. Jadi, seluruh hidup dan benda-benda di sekitar Sanis mengeluarkan bau amis abadi lumpur sawah. (Akmal, 2011: 215-216)
Ingatan Mae tentang kenangan masa kecilnya juga muncul di tempat ini. Waktu Mae dan teman-temannya banyak digabiskan di rumah Sanis. Meskipun rumah Sanis mengeluarkan bau amis lumpur sawah, tempat ini tetap dijadikan Mae dan teman-temannya bermain, seperti mengumpulkan curingan (sejenis ikan kecil yang hidup disela-sela tanaman padi).
Saat kecil, aku dan teman-teman menghabiskan banyak waktu di gubug Sanis ini. Bau amis yang diiringi angin sawah seperti mencandui kami untuk kerasan di rumah Sanis. Terutama sekali pada musim puasa. Setangah hari kuhabiskan waktu di rumah Sanis untuk bermain gaple atau wayangan. Yang kalah harus mengumpulkan curingan3 dengan telapak tangan sendiri. Setelah terkumpul, curingan dibuang begitu mudahnya oleh ibuku ketika aku berhasil menang. Padahal aku rela dimarahi dan legam oleh terik matahari untuk mendapatkannya. (Akmal, 2011:216)
Kami tampak terengah-engah ketika sudah menuruni lembah dan menyusuri galengan di sawah-sawah. Rumah Sanis tampak kecil sekali di kejauhan. (Akmal, 2011:218)
4.3.5 Latar Waktu
Dalam novel tidak secara implisit dituliskan latar waktu berlangsungnya peristiwa-peristiwa dalam novel, seperti keterangan tahun, periode atau zaman. Akan tetapi, melihat dari peristiwa-peristiwa secara keseluruhan, peneliti menyimpulkan bahwa latar waktu yang digunakan dalam novel ini adalah masa lalu. Hal tersebut dapat dilihat dari suasana yang dihadirkan dalam novel, serta beberapa dialog antar tokohnya. Selain itu pernyataan lain yang bisa mengisyaratkan bahwa novel ini menceritakan waktu pada masa lalu, ada pada kata pengantar yang ditulis oleh pengarang. Pengarang yang bertindak sebagai tokoh utama, menuliskan bahwa dia sedang menulis ingatan. Berikut ini kutipan yang menjelaskan hal tersebut.
Menulis Ingatan...
Jatisaba adalah keping-keping ingatan tentang bekas kampung halaman saya yang terjalin melalui penghayatan, pemakluman, pembelaan, dan hasrat untuk selalu ingin melemparkan diri ke masa lalu. Walau mungkin khayalan murtad, tapi ingin rasanya meminjam tangan Tuhan untuk mengubah beberapa peristiwa agar orang-orang yang saya cintai di sana memiliki nasib lebih baik. Sayangnya lagi, itu hanya persepsi saya yang belum tentu mereka setujui. Saya hanya mampu terbata-bata menuliskannya. (Akmal, 2011:iii)
Penggalan kata pengantar yang pengarang tuliskan di atas memperlihatkan bahwa pengarang tentang menulis ingatan. Ingatan tentunya merupakan sebuah peristiwa yang sudah terjadi pada masa lalu. Untuk itu, berdasarkan hal tersebut peneliti menyimpulkan bahwa pengarang menggunakan latar waktu masa lalu dalam menceritakan novel ini.
Selain latar waktu yang menjelaskan zaman, dalam novel ini terdapat itu, ada beberapa latar waktu yang muncul, yaitu waktu pagi hari, siang hari, dan malam hari. Keempat bagian waktu tersebut muncul sebagai penjelas peristiwa berbeda. Latar waktu ini yang kemudian menjelaskan kekhasan dari peristiwa-peristiwa tersebut. Misalnya tokoh Mae yang banyak mengingat masa lalunya ketika malam hari, atau beberapa negosiasi yang juga dilakukan di malam hari. Penggambaran latar waktu ini selalu dilakukan oleh tokoh Mae. Berikut ini penjelasan lebih jelas mengenai analisis latar waktu yang muncul dalam novel ini.
Latar waktu yang pertama adalah latar waktu pagi. Latar ini tidak terlalu banyak diceritakan dalam novel. Namun, kutipan berikut menggambarkan bagaimana suasana alam Jatisaba dengan kekhasan gemuruh ombaknya. Pada kutipan ini digambarkan juga suasana Jatisaba yang syahdu dan tenang.
Di pagi hari saat sebagian alam masih terlelap, gemuruh ombak itu semakin jelas terdengar. Seiring bulan yang perlahan-lahan meredup, lalu padam. Bintang-bintang malu dan bersembunyi dibalik serat-serat awan yang terlalu skepris dalam menentukan rupa. (Akmal, 2011:43)
Latar waktu yang berikutnya adalah latar waktu siang. Siang hari di Jatisaba digambarkan sangat panas. Selain itu beberapa ingatan Mae tentang masa lalupun muncul ketika siang hari. Seperti pada kutipan berikut ini.
Panas menggila. Aku dan Sitas berlari-lari menuju rumah. Aku lupa membeli pisang goreng raja berkulit asin. (Akmal, 2011:44)
Penggalan latar siang di atas adalah waktu ketika Mae bersama Sitas pergi ke warung Sitar dan kemudian untuk pertama kalinya bertemu lagi dengan Jompro. Selain itu, ingatan Mae tentang masa lalu juga hadir pada siang hari. Berikut ini kutipan dalam novel.
Siang ini, dibalik jendela gudang Sitas, terpapar masa lalu. Tapi juga masa depan. Walau kabur. Walau mengkhawatirkan. (Akmal, 2011:43)
Selanjutnya adalah latar waktu malam. Latar waktu malam ini paling banyak muncul dalam novel. Berbagai peristiwa banyak dilatari oleh waktu malam. Salah satunya adalah ingatan-ingatan Mae tantang kenangannya di Jatisaba yang lebih banyak muncul secara acak pada waktu malam hari. Seperti kutipan berikut ini yang memperlihatkan latar malam ketika Mae baru saja tiba di rumah Sitas. Latar ini pula yang mengiringi ingatan Mae tentang Jatisaba dan peristiwa pemerkosaan yang menimpanya.
Dingin menggigit-gigit. Pukul sebelas malam. Tidak ada angin sama sekali. Aku selalu percaya, di kampungku, di pinggir laut selatan, jika malam hari kami akan kehabisan angin. Daratan menyerahkan angin ke lautan untuk bercinta dengan ombak-ombak. (Akmal, 2011: 23)
Angin malam menghentikan ingatan saus merah itu. (Akmal, 2011: 26)
Ingatan tentang suasana malam juga hadir dalam teks. Ketika tokoh Mae mengingat aktivitasnya dahulu yaitu mengaji, seperti pada kutipan berikut ini.
“Malam-malam tanpa angin begini, jika kau merasa ada sesuatu berhembus di tubuhmu, maka itu adalah nafas hantu.” Begitulah gurauanku dengan teman-teman setiap pulang ngaji waktu remaja dulu. (Akmal, 2011: 76)
4.3.6 Latar Sosial
Dilihat dari segi latar sosial, peneliti menemukan tiga latar sosial. Latar sosial ini meliputi tiga kelompok sosial yang berada di Jatisaba, mereka adalah orang Dulbur, Legok, dan Wong Tiban. Dalam teks, latar sosial yang dimunculkan adalah adanya perbedaan karakteristik warga dua kampung Dulbur dan Legok. Dulbur digambarkan sebagai kampung yang sangat terpencil dan terbelakang, sedangkan Legok lebih dianggap kampung yang kota. Pada teks ada beberapa penjelasan yang menggambarkan bagaimana kebiasaan dan tingkah laku warga kedua kampung tersebut yang memiliki ciri masing-masing.
Seperti definisi latar sosial bahwa latar sosial biasanya akan mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan tingkah laku dan tata cara kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat dalam sebuah karya sastra. Oleh karena itu, peneliti akan memaparkan bagaimana karakteristik tiga kelompok sosial tadi yang nantinya akan menjelaskan latar sosial dalam novel ini. Berikut adalah kutipan narasi Mae yang menjelaskan tentang orang Dulbur dan Legok.
Pada analisis tokoh Sitas, dikatakan bahwa Sitas adalah tokoh utama yang mewakili orang Dulbur. Setiap narasi, dialog antar tokoh ataupun penggambaran diri oleh tokohnya sendiri, Sitas banyak digambarkan sebagai tokoh yang licik, sensitif, bodoh dan miskin. Seperti pada kutipan narasi berikut ini yang menceritakan secara jelas tentang orang Dulbur mulai dari tempat tinggal, sampai pendidikan dan kehidupan sosialnya.
Orang-orang yang hidup di sekitar kuburan itu disebut orang-orang Dulbur. Termasuk Sitar dan Sitas. Mereka masih saudara. (Akmal, 2011:35)
Dulbur merupakan akronim dari kidul kuburan. Sebab, kebanyakan rumah mereka ada di selatan (kidul) kuburan. Bagi orang-orang dulbur, kuburan bukan hal yang menakutkan. Kuburan menjadi bagian dari kegiatan mereka sehari-hari. Sembari duduk di atas kijing, mereka menonton sepak bola. Ketika musim kemarau datang, angin laut bertiup kencang di sore hari, mereka berlari-lari di atas kuburan menerbangkan layang-layang. Mereka menjemur pakaian di atas kijing dan menanam singkong di sela-selanya. Mereka meyakini, mayat manusia adalah pupuk terbaik. (Akmal, 2011:37)
Kutipan di atas menjelaskan bagaimana kondisi kehidupan orang Dulbur yang tinggal di dekat kuburan. Sebutan Dulbur yang merupakan akronim dari kata kidul kuburan ini pun dijelaskan dengan kondisi mereka yang banyak melakukan aktivitas di dekat kuburan. Mulai dari bermain, sampai menjemur pakaian di atas kijing.
Mungkin yang dimaksud orang Dulbur ini hanya terdiri atas sepuluh keluarga. Tapi mereka bisa menurunkan lebih dari sepuluh tim sepak bola. Tidak ada tanda kehidupan yang mampu mereka pertahankan selain membuat dan melahirkan anak. Satu keluarga terdiri dari lima belas orang. Anak-anak mereka, terutama yang masih kecil, jarang sekali berpakaian. Mereka juga tidak sekolah, mereka hidup liar di tengah kampung kami. Mengembara dari satu ladang ke ladang lain. Mencuri apa saja yang bisa mereka curi. Mereka tidak takut teguran. Jika dipukul mereka akan balas memukul. Mereka tidak mengenal trauma atau dosa, mereka hanya harus makan setiap kali perut mereka lapar. Mereka miskin dan tidak bernama, setidaknya bagiku. Sebab, sampai aku pergi yang aku tahu mereka biasa dipanggil pantek, mijong, ateng, kempreng, guteng, jamprong, wes, roto, dan banyak lagi yang tidak aku ingat. Aku tidak percaya itu nama yang diberikan orang tua mereka. Separuh dari mereka mati muda karena hepatitis. (Akmal, 2011:37-38)
Dari kutipan di atas, dapat terlihat bagaimana gambaran tokoh-tokoh orang Dulbur. Selain mereka sangat miskin secara materi, kebiasaan hidup mereka yang sangat tidak sehat, pendidikan yang rendah, sampai kepercayaan mereka terhadap agamapun sangat memprihatinkan. Tidak mengenal dosa dan tauma. Tidak sekolah juga. Mereka hanya tahu lapar dan nafsu mereka. Sebagai sebuah keluarga, orang Dulbur menghasilkan populasi anak yang tidak wajar. Mengapa tidak, jumlah anak mereka tidak diseimbangi dengan kesejahteraan hidup. Oleh karena itu, orang Dulbur paling banyak melahirkan warga di Jatisaba. Hal ini sedikit berbeda dengan gambaran orang Legok yang diungkapkan seperti dalam narasi tokoh Mae berikut ini.
Orang Legok selalu merasa memiliki kampungku. Mereka bermukim di seberang sawah, dikelilingi rumpun bambu. Kehidupan mereka lebih baik dari orang-orang Dulbur. Lelaki-leki menjadi petani atau tukang becak. Sementara si ibu menjadi penjual klepon atau pengasuh anak. Kawasan mereka dibelah oleh jalan setapak yang kanan dan kirinya dibatasi oleh tumbuhan cakla cikli. Dari jalan, hanya atap rumah mereka yang tampak. Oleh karena itu mereka disebuh orang Legok, orang yang tinggal di cekungan. (Akmal, 2011:56-57)
Kutipan di atas menjelaskan secara sekilas kondisi orang Legok yang lebih baik dari orang Dulbur. Setidaknya orang-orang Legok tidak menganggur. Pekerjaan yang mereka lakukan juga lebih baik. Lelaki-lelaki menjadi tukang becak. Sedangkan yang perempuan juga bekerja, meskipun hanya menjadi penjual klepon atau pengasuh anak. Selanjutnya kutipan berikut ini akan menjelaskan aktivitas orang Legok.
Di malam hari orang-orang Legok mengaji, membaca yasin, atau berjanjen5 di mushola. Sore harinya, terutama para lelaki, menerbangkan burung dara setelah mereka pulang dari sawah. Bahkan ada beberapa lelaki yang pekerjaannya hanya menerbangkan burung dara itu. Pada waktu-waktu tertentu mereka akan bertaruh. Penghasilan mereka didapat dari kemenangan bertaruh itu. Ibuku memberi julukan kepada orang-orang itu sebagai “pekerja maskapai penerbang merpati”. (Akmal, 2011:58)
Dengan sepedanya mereka hilir mudik membawa pagupon6. Sementara ibu-ibu menyuapi anak-anaknya di pinggir jalan sambil menyoraki sang suami dan burung daranya. Jika beberapa ibu sudah berkumpul, maka mereka menjadi reporter infotaiment kampung. Gosip dan berita menyebar begitu cepat. Sementara ana-anak mereka mengunyah nasi sambil berkerut kening mendengarkan bisik-bisik ibunya. Mereka menceritakan bahagia dengan penuh kata-kata “jangan-jangan’ dan menceritakan musibah dengan banyak kata gara-gara. (Akmal, 2011:58-59)
Dalam kutipan tersebut tersurat bahwa selain kehidupan secara pekerjaan yang lebih baik, secara moral dan agamapun orang Legok tergolong orang yang cukup taat. Pada malam hari mereka mengaji, membaca yasin atau berdiam di mushola. Akan tetapi, meskipun mereka lebih taat dan beradap dari orang Dulbur, namun tingkah lakunya tetap saja banyak yang bertentangan. Para bapak suka bertaruh, dan para ibu sering bergosip.
Orang-orang Logok jarang yang mempunyai WC permanen. Sebagian besar mereka membuat WC di pekarangan. Lubang persegi berkedalaman satu sampai dua meter yang kemudian ditutup dengan bambu. Bambu itu dilubangi lagi secukupnya, dan melalui lubang itulah setiap pagi orang-orang Legok memenuhi panggilan alam. (Akmal, 2011:207)
Kutipan di atas menjelaskan bagaimana kondisi rumah tinggal orang Legok yang tidak memiliki WC permanen. Selain itu kutipan di bawah ini menyeratkan gambaran fisik para petani Legok. Mereka digambarkan memiliki badan yang kurus, kumal dan tidak terawat, seperti pada kutipan berikut.
Boneka sawah nyaris tak berbeda dengan petani-petani Legok. Kurus, kumal, dan bengkok. Sesekali, segerombol burung menyerbu padi dan seketika itu juga suara kaleng susu beradu terdengar sahut-menyahut seperti perkusi ditabuh. (Akmal, 2011:222)
Selajutnya pernyataan tokoh Mae yang menggambarkan bahwa orang Legok menguasai hampir keseluruhan Jatisaba.
Orang-orang Legok ini mengisi hampir separuh hidup remajaku. Teman-temanku orang Legok. Guru ngajiku orang Legok. Cinta pertamaku juga orang Legok. Mereka memang benar-benar menguasai kampungku dan hidup-hidup orang yang mendiaminya. Meski mereka juga sering membuat keributan. (Akmal, 2011: 80)
Selain latar sosial Dulbur dan Legok, dalam teks juga dijelaskan penduduk lain yaitu Wong Tiban. Pada teks, Wong Tiban digambarkan sebagai penduduk yang memiliki kehidupan yang lebih layak. Berikut ini kutipan yang menggambarkan bagaimana kondisi sosial Wong Tiban.
Kami semua menyebutnya sebagai Wong Tiban, orang-orang yang biasanya menyuguhkan opor dalam acara yasinan setiap minggu. Mereka bekerja sebagai guru, pengrajin kayi, brimop, atau sekadar pegawai KUD. (Akmal, 2011: 129-130)
Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana kondisi sosial Wong Tiban. Pekerjaan mereka lebih layak dan baik daripada warga Dulbur dan Legok. Ada yang bekerja sebagai guru sampai brimop. Hal ini memperlihatkan kondisi sosial Wong Tiban yang jauh dari orang Dulbur maupun Legok. Selanjutnya kutipan yang memperlihatkan bagaimana orang Dulbur dan Legok tidak pernah akur dengan Wong Tiban.
Kalau Wong Tiban memberikan iuran secukupnya, mereka mengatakan orang itu pelit. Kalau tidak ikut bekerja bakti atau ronda, Wong Tiban akan ditakut-takuti bahwa kalau terjadi perampokan di rumahnya tidak akan ada yang membantu. Beban yang paling berat di kampungku adalah menjadi Wong Tiban. Tetapi orang seperti kami memang pantas diperlakukan demikian. Kami memperoleh pekerjaan yang lebih bersih dari mereka maka kami jadi sedikit sombong. Karena kami banyak yang sarjana maka kami seringkali memaksakan kehendak atau kadang membodoh-bodohi. Karena sebagian kami berada di utara jalan, di daerah yang lebih tinggi dari Legok atau Dulbur, kami merasa lebih mulia. (Akmal, 2011: 130-131)
Perasaan-perasaan demikian membuat kami mendongkakkan kepala ketika berjalan di depan orang-orang Dulbur atau Legok. Ketika mendongkakkan kepala itulah kami merasa orang-orang Legok dan Dulbur tertunduk. Kami tidak mau sama dengan mereka, membuat barisan tersendiri di mushola, dan membeli barang dagangan mereka sembari berkata “Ambillah kembaliannya, buat beli jajan anakmu.” (Akmal, 2011: 131)
Perselisihan antara orang Dulbur dan Legok dengan Wong Tiban dipicu karena Wong Tiban secara status sosial lebih tinggi dari pada orang Dulbur dan Legok. Dari segi pekerjaan mereka memiliki pekerjaan yang lebih bersih (pekerja kantoran), sedangkan orang Dulbur dan Legok tidak. Selain itu dilihat dari latar belakang pendidikan Wong Tiban yang rata-rata sarjana membuat Wong Tiban merasa pantas untuk bersombong diri. Karena perbedaan kondisi sosial itulah mereka tak pernah bisa berdamai. Sama halnya seperti Mae yang merupakan Wong Tiban.
Dulu, keluargaku termasuk Wong Tiban yang paling banyak celanya. Waktu keluargaku mengadakan hanyatan perayaan khitanan adikku, orang-orang Legok menuduh masakan kami terlalu pedas sehingga kampung terkena wabah diare seketika. Orang-orang sakit dan tidak bisa bekerja. Ibuku hanya bisa diam dan meminta maaf. Beberapa hari setelah itu ibuku berbisik-bisik kepadaku. Seharusnya merekalah yang meminta maaf kepadaku. Mereka mengambil lauk dan sayur buat hajatan kemarin berkuali-kuali tanpa sepengetahuan keluargaku. (Akmal, 2011: 130)
Tapi kehidupan ala Wong Tiban tidak lama keluargaku lakukan. Waktu yang tersisa di kampung, dilewatkan keluargaku sebagai bukan siapa-siapa. Tidak mirip dengan ketiga kelompok yang berada di kampungku. (Akmal, 2011: 131)
Menjadi Wong Tiban merupakan beban berat bagi warga Jatisaba, selain mereka selalu dimusuhi, Wong Tiban juga akan sering dicela. Hal tersebut terlihat pada kutipan di atas yang memperlihatkan kondisi keluarga Mae yang selalu mendapat celaan dari orang Dulbur dan Legok.
Wong Tiban yang ada di sekitar pertunjukan ebeg adalah botoh-botoh Joko, semua orang yakin itu. Termasuk aku. Joko adalah pensiunan polisi. Maka orang-orang yang berada di belakangnya juga orang-orang yang merasa senasib. Pegawai-pegawai negeri, pegawai-pegawai swastra, atau orang-orang yang ingin dianggap pegawai. Seorang guru tidak mungkin Memilih Mardi yang petani atau Jomprong yang penjudi. Mau tidak mau mereka akan memilih Joko. Jika aku boleh mengira, Joko akan memenangkan pemilihan ini. (Akmal, 2011: 131-132)
Kutipan penutup di atas merupakan kutipan penutup yang menyimpulkan analisis latar sosial pada novel ini. Kutipan di atas pada intinya menjelaskan bahwa dalam novel ini terdapat tiga kelompok sosial yaitu Dulbur, Legok dan Wong Tiban. Kelompok sosial tersebut kemudian diwakili oleh masing-masing tokoh yang dalam cerita merupakan calon kepala desa. Mereka adalah Mardi, seorang petani yang mewakili orang Legok. Selanjutnya Jompro, seorang penjudi, yang mewakili karakter orang Dulbur, dan yang terakhir adalah Joko, pensiunan polisi yang mewakili karakter Wong Tiban.
Selain itu, dalam teks juga terdapat silsilah keluarga Jatisaba. Pengarang memunculkan silsilah ini pada akhir cerita untuk membantu pembaca mengenal tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam novel. Silsilah tersebut berupa gambaran dua keluarga besar yang berada di Jatisaba, yaitu silsilah keluarga Dulbur dan Legok. Adanya pencantuman silsilah oleh pengarang, membantu peneliti untuk menganalisis latar sosial yang ada. Sebab, melalui silsilah tersebut, peneliti mendapatkan data tokoh-tokoh mana saja yang merupakan warga Legok, dan warga Dulbur. Berikut ini peneliti akan melampirkan silsilah keluarga Jatisaba agar dapat terlihat latar sosial yang juga mewakili karakter setiap tokoh-tokoh tersebut.
Gambar 4.1 Silsilah Keluarga Dulbur |
Gambar 4.2 Silsilah Keluarga Legok | | 4.3.7 Latar Suasana
Jika dalam analisis latar sosial peneliti menjabarkan bahwa latar sosial yang muncul dalam novel ini adanya dua silsilah keluarga besar Jatisaba. Maka dalam analisis latar suasana, peneliti menemukan latar suasana pemilihan kepala desa. Latar suasana ini mengacu pada suasana sekeliling saat terjadinya peristiwa yang menjadi pengiring atau latar belakang kejadian penting. Ketika Mae datang ke Jatisaba, desa Jatisaba sedang ramai dengan persiapan pemilihan kepala desa yang baru. Setiap peristiwa yang terjadi dalam cerita diiringi satu latar suasana yaitu suasana pemilihan kepala desa.
Suasana pemilihan kepala desa ini memunculkan berbagai suasana lain, diantaranya gembira, mencekam, haru, dan tegang. Selain itu suasana pemilihan kepala desa juga menggambarkan adanya beberapa praktik money politik dan kecurangan dalam berdemokrasi. Kutipan berikut ini adalah penegasan bahwa di Jatisaba akan dilangsungkan pemilihan kepala desa.
Pemilihan dilaksanakan dua minggu lagi. Tapi kau tahu kan, masa kampanye hanya beberapa hari saja, dan itu tidak berarti buatku. Sementara kepala desa yang sekarang, tiba-tiba menjadi begitu disiplin, memasang mata-mata di mana-mana, mengawasi kalau ada kampanye gelap. Dia seperti tidak rela kehilangan kedudukannya. Padahal duduk saja sudah tak bisa, hahaha huk...huk..huk.” Jompro tertawa lalu terbatuk. (Akmal, 2011:49)
Setiap calon kepala desa memiliki ninja-ninja yang bertugas mengawasi warga Jatisaba ketika kampanye tiba. Ninja-ninja itu seringkali menjadi ancaman bagi warga Jatisaba. Sebab selain mereka memaksa warga untuk memilih calon tertentu, ninja-ninjapun sering mengusik kehidupan warga Jatisaba. Berikut ini adalah kutipan suasana kampanye yang mencekam bagi masyarakat Jatisaba.
“Hanya pakaian ini yang dijual di pasar sore tadi. Menakjubkan bukan? Demam pilkades di kampungmu dimanfaatkan oleh semua orang termasuk penjual pakaian. Jadi kau harus hati-hati. Mungkin ada satu dua ninja yang ternyata palsu, hehehe,” jawab Malim ringan. (Akmal, 2011:199)
“Hanya pakaian ini yang dijual di pasar sore tadi. Menakjubkan bukan? Demam pilkades di kampungmu dimanfaatkan oleh semua orang termasuk penjual pakaian. Jadi kau harus hati-hati. Mungkin ada satu dua ninja yang ternyata palsu, hehehe,” jawab Malim ringan. (Akmal, 2011:199)
“Iyalah. Aku juga sudah muak ada di sini, Mae. Bayangkan saja, setiap hari keluarga kami diawasi ninja-ninja. Ibuku nyaris gila dan kalap atas keadaan itu. (Akmal, 2011:211)
Sementara itu, ninja-ninja semakin rajin hadir ke mimpi-mimpi setiap orang. Kadang menjadi perampok, kadang menjadi pemerkosa, kadang menjadi kakek tua pemberi nasihat, dan kadang menjadi raksasa. Yang jelas ninja itu selalu membuat warga terbangun dengan tubuh mandi keringat dan dada berdegup kencang. (Akmal, 2011: 237-238)
Selain hadirnya ninja-ninja yang sangat mengganggu warga Jatisaba, adanya pemilihan kepala desa tidak disambut antusias oleh warga. Bahkan warga seolah tidak peduli akan pelaksanaan pilkades ini.
“Iyalah. Aku juga sudah muak ada di sini, Mae. Bayangkan saja, setiap hari keluarga kami diawasi ninja-ninja. Ibuku nyaris gila dan kalap atas keadaan itu. (Akmal, 2011:211)
Ninja-ninja itu betul-betul menganggu kehidupan kami. Semua itu gara-gara pilkades berengsek ini. Kami tidak tenang. (Akmalo, 2011:213)
Aroma curang pemilihan kepala desa di Jatisaba juga selalu hadir setiap kalinya. Suasana pemilihan ini diwarnai dengan politik uang dan suap menyuap. Botoh-botoh setiap calon kerap membagikan sembako pada warga dengan tujuan agar warga Jatisaba mau memilih mereka.
“Oalah Mae, sekarang orang-orang kampung mukanya berubah menjadi padi, jagung atau singkong semua. Calon-calon kepala desa mulai menyebar botohnya menjadi mata-mata. Orang jadi takut untuk saling memandang apalgi bertegur sapa. Kau juga bagaimana kau bisa santai mengikuti Gao. Ini buruk,” ucap Sitas berbisik-bisik sambil matanya sesekali melotot. Padi sudah jelas Mardi, kalau singkong itu Jompro, berarti jagung milik Joko. (Akmal, 2011: 88)
Sementara rombongan Jayeng Wisesa telah keliling ke hampir seluruh pelosok desa. Pesona mereka diyakini mampu menyedot suara bagi Mardi. Apalagi beras Mardi yang terus mengalir ke warga-warga, membuat Mardi semakin percaya diri. Dia selalu meyakini bahwa beras-beras adalah sumber kehidupan yang mengatasi segala-galanya. Dan dia memberikan itu kepada setiap orang yang menampakkan wajah di hadapannya. (Akmal, 2011: 237)
Suasana mencekam khas pemilihan kepala desa di Jatisaba juga semakin tegas dengan ancaman-ancaman bagi para ninja-ninja. Pemilihan kepala desa di Jatisaba selalu memakan korban jiwa yang tidak lain adalah botoh-botoh (ninja-ninja). Semua orang sudah tahu dan mendengar, sehingga mereka memilih tidak berurusan dengan kemelut pemilihan kepala desa.
Siapa yang tidak paham dan tidak mendengar, pemilihan kedes di Jatisaba selalu menelan korban jiwa, ya botoh-botoh itu. Anjing-anjing yang setia dan terperdaya. Ayahku pernah menjadi botoh, sebelum rumah kami porak poranda. Tapi dia selamat. Dan sekarang entah kenapa, aku berharap seharusnya dia dulu mati saja. (Akmal, 2011:89)
Lagipula pilkades kan selalu meminta tumbal. Meski tak boleh, sudah jauh-jauh hari kami menerbak-nebak. Siapa lagi tumbal kali ini. (Akmal, 2011: 263)
Ketika hari terakhir kampanye, suasana mencekam semakin terasa di Jatisaba. Jatisaba semakin terasa panas.
Angin dingin membelai leherku. Beberapa bulu kudukku berdiri. Di luar jendela, sesuatu berkelebat. Pontu mulai bekerja. Bersok hari terakhir kampanye. Suasana mulai terasa panas. Di langit utara, mendung sudah terlihat, berjalan malas menuju langit Jatisaba. Sesekali tampak petir berkilat, timbul tenggelam di antara domba-domba langit yang kelabu itu. Pasti nini cowong bekerja keras membujuk Tuhan untuk menurunkan hujan di musim kemarau seperti ini. (Akmal, 2011: 237)
4.3.8 Style, Gaya Bahasa
Dalam novel ini pengarang menggunakan dua bentuk penuturan cerita. Pertama adalah narasi yang kemudian dialog. Tidak ada yang lebih dominan, sebab objek penelitian ini berupa novel, maka baik narasi maupun dialog sama-sama muncul untuk mendukung cerita. Dilihat dari unsur leksikal gramatikal, penggunaan bahasa dalam novel Jatisaba menggunakan bahasa komunikasi sehari-hari. Artinya, makna kata yang digunakan pengarang dalam menuangkan ceritanya secara umum bersifat denotatif. Meskipun ada beberapa bagian dalam cerita yang menggunakan makna kias.
Dilihat dari struktur kalimat, struktur kalimat yang digunakan yaitu stuktur kalimat yang sederhana dan pada umumnya merupakan kalimat tunggal. Unsur style berupa bahasa figuratif (pemajasan, penyiasatan struktur, dan pencitraan) juga digunakan dengan lebih dominan. Macam-macam pecitraan muncul sebagai gaya bahasa dalam novel. Pencitraan yang digunakan yaitu penglihatan, pendengaran, gerakan, rabaan dan penciuman. Berikut contoh penggunaan bahasa oleh pengarang yang menggunakan bahasa figuratif.
Di sawah ini, tak ada yang bisa kembali dengan utuh seperti nyiur lemah ditinggalkan angin atau jamur yang busuk oleh racunnya sendiri sekarang, kita berdua adalah mahluk asing yang tak mungkin saling bercengkrama kecuali menikmati kenangan yang patah. (Akmal, 2011:55)
Bahasa figuratif yang gunakan oleh pengarang adalah menggunakan majas. Penggunaan bahasa dengan menggunakan bahasa puitik menjadi salah satu kekuatan pengarang terutama dalam menggambarkan suasana dan ingatan-ingatannya akan peristiwa-peristiwa. Kutipan lain berikut ini yang memperlihatkan penggunaan bahasa figuratif yaitu majas.
Mushola ini tampak seperti lumbung padi. Kayunya mulai rapuh. Bau jamurnya menyengat, dan jika duduk di lantainya, sebentar saja kaki kita bisa kaku karena basah dan kedinginan. Hanya ada satu mikrofon tua dan karpet yang robek-robek. Tidak ada Al-quran, Iqro, apalagi peralatan sembahyang. Kalau tidak ada orang yang jungkat-jungkit sembahyang, orang tidak akan mengira tempat ini adalah mushola. (Akmal, 2011:69)
Selanjutnya dalam novel ini juga digunakan bahasa figuratif yang mendonjolkan pencitraan yang juga disertai bahasa-bahasa puitik. Seperti kutipan berikut yang muncul pada pembuka bab-bab dalam cerita ini.
Aku ingin pulang mencium bau kuburan dan lapangan mencicipi cincau yang pahit membaca barzanzi dan bermain Cina Boi. (Akmal, 2011:10)
Kutipan selanjutnya memperlihatkan bahwa pengarang menggunakan beberapa pencitraan untuk menguatkan deskripsinya tentang suatu hal. Sehingga pembaca seolah ikut merasakan suasana dari setiap bahasa yang dituliskan pengarang.
Angin menusuk-nusuk. Bibirku bergetar, sama sekali tak bisa kukendalikan. Ingatan tentang Tuan Kim dan rumah ditambah angin yang diam tapi ganas mengalahkan ketenangan tubuhku. (Akmal, 2011:28)
Ketika indraku berfungsi lebih sempurna, aku mencium sesuatu, aku melihat seseorang, dan ada yang mendesak-desak di ingatan. Wangi itu, rumput itu, kenangan itu, JATISABA. (Akmal, 2011:16)
Selain penggunaan bahasa figuratif dalam setiap pengungkapan cerita, pengarang termasuk sangat apik dalam melakukan pemilihan diksi, sehingga realitas sosial dan penggambaran kehidupan dalam cerita begitu hidup. Hal ini terlihat ketika pengarang bertindak sebagai tokoh aku menggambarkan tokoh lain dalam narasinya berikut ini.
“Iya, Yu.” Jawabku segera sambil duduk dan segera menggosok-gosok punggung Sitas. Dalam hitungan detik, tanganku sudah cokelat oleh daki punggung Sitas. (Akmal, 2011:139)
Sambil memegang lengan Sitas yang gemuk dan mencium bau ikan laut yang samar-samar dari ketiaknya, aku tenggelam dalam kenangan tentang Gao. (Akmal, 2011:136)
Kini dia membelakangiku. Panu-panunya terlihat jelas. Ada yang besar sekali seperti pulau Kalimantan. Aku bergidig melihatnya. (Akmal, 2011:170)
Kutipan di atas adalah salah satu contoh penggambaran tokoh aku dalam mendeskripsikan tokoh lain. Bahasa yang digunakan sederhana dan dekat dengan pembaca (bahasa sehari-hari). Namun dari sinilah pembaca akan dengan mudah mengimajinasikan setiap tokoh yang ada dalam novel. Sehingga pembaca terhanyut dalam berbagai perasaan dan pandangannya terhadap tokoh. Misalnya ketika mengimajinasikan tokoh Sitas, pembaca akan merasa kesal dan jijik karena perilaku dan penggambaran fisik tokoh Sitas. Contoh penggambaran lainnya seperti pada kutipan berikut ini.
Setelah dari tempat Besuk, aku mengunjungi Gebog. Hanya tahan beberapa menit saja aku di sana. Aroma telur asin busuk dari telinganya membuat aku ingin muntah. (Akmal, 2011:232)
Selain pendeskripsian tokoh yang sangat baik dengan menggunakan bahasa sehari-hari, pengarang juga banyak menggunakan istilah lokal untuk memperkuat sudut pandang orang pertama. Bahasa Jawa-Banyumas yang cukup banyak digunakan dalam novel terasa begitu jujur dan membangun suasana. Hal inilah yang semakin memperkuat novel ini sebagai novel yang berlatar pedesaan. Salah satunya penggunaan bahasa Jawa adalah ketika Mardi melakukan kampanye ini terlihat dari kutipan berikut ini.
“Hidup Padi! Padi Mardi! Mardi Padi! Sedulur Jatisaba kabehan, dhewek kudu kelingan, luluhure dhewek kuwe pari. Mati uripe dhewek nang pari. Waras mriange dhewek merga pari. Sugih mlarate dhewek sekang pari. Pari kalelep udan bisa urip. Pari nang karangan ya tetep urip.dhewek ora bisa ngilari takdire urip nang pari. Enyong, wong tuwa nang kene, pengin teyeng nggawa semangate pari nang pilihan ngesuk. Enyong pengin rika pada precaya karo enyong. Nyoblos enyong, nyoblos Pari! Hidup padi, padi Mardi! Coblos padi! Coblos Mardi!” (Akmal, 2011: 129)
Penggunaan bahasa daerah dalam salah satu peristiwa, yang dalam hal ini kampanye, menjadi penegas bahwa Jatisaba adalah sebuah kampung. Sebab rata-rata, penduduk pedesaan sebagaian besar masih menggunakan bahasa nomor daerah sebagai bahasa pengantar. Sekalipun konteksnya adalah acara besar seperti kampanye ini. Karakter masyarakat pedesaan yang masih erat dengan unsur kedaerahan ditonjolkan oleh pengarang salah satunya melalui bahasa. Namun dalam beberapa bagian, penggunaan bahasa lokal ini tidak disertai dengan arti kata (catatan kaki) dan ini cukup menyulitkan pembaca dalam memahami makna kata tersebut, terutama pembaca yang tidak paham bahasa Jawa. 4.3.9 Analisis Penceritaan 4.3.10.32 Analisis Kehadiran Pencerita
Kehadiran pencerita dalam novel Jatisaba adalah sebagai pencerita intern, yang artinya pencerita berada di dalam teks. Pencerita hadir sebagai pelaku dalam novel tersebut, yaitu bertindak sebagai tokoh utama. Penceritaan yang tidak berjarak, pencerita yang berada di dalam penceritaan atau masuk ke dalam konteks cerita dapat dilihat dari pengambilan posisi sebagai tokoh aku dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Pengarang hadir sebagai pencerita dengan menggunakan orang pertama sebagai pelaku utama.
Sudut pandang peceritaan digunakan oleh pengarang ini digunakan untuk menyajikan tokoh, tingkah laku tokoh, tindakan, latar, serta berbagai macam peristiwa yang membangun cerita. Sudut pandang ini dapat dilihat dari sudut pandang mana narator bercerita. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, sudut pandang yang digunakan pencerita sudut pandang orang pertama, yaitu sebagai pelaku utama. Hal ini dapat dilihat dari peran pencerita yang mengambil posisi sebagai tokoh aku. Pencerita banyak menggunakan pronomina pertama tunggal “aku” oleh tokoh Mainah atau Mae. Dapat disimpulkan pula bahwa pengarang atau pencerita merupakan tokoh Mae, dan menjadi tokoh utama yang berada dalam novel. Dapat dilihat pada kutipan dalam novel.
Aku pulang, walau tidak punya rumah. Walau hasrat untuk pulang sama kuat dengan hasrat untuk mencegahnya. Aku sempat berjanji tidak akan kembali. Tetapi kenangan akannya begitu mengutukku. Kutukkan yang mendatangkan kerinduan. Kerinduan yang mengalahkan segalanya; rasa malu, keangkuhan, dan dendam. Sepanjang jalan aku gemetar, menyadari yang aku rindukan di masa lalu. Namun aku sedang ke sana dan mungkin akan menghancurkannya, juga diriku. Aku tidak bisa mengelak. (Akmal, 2011:10)
Beberapa hari ini aku akan berbagi ranjang dengan seseorang yang tubuhnya bau tai bebek. Bau yang akan aku hirup setiap pagi dari dapurku, dulu. (Akmal, 2011:17)
Aku sudah di kamar bekas gudang lagi. Di bawah cahaya senthir dengan hati yang rawan. Aku gelisah dan merasa akan gagal. Bahkan lebih buruk lagi dari itu. Ingatanku masih berputar-putar pada mushola yang gaduh. Betul-betul yasinan yang kacau. (Akmal, 2011:80)
Aku masih telanjang, ketika bayangan Musri yang meliuk-liuk di atas panggung menggangguku. (Akmal, 2011:118)
Selanjutnya, pencerita yang merupakan Mainah atau Mae (tokoh utama) hadir sebagai tokoh yang menggerakan cerita. Pencerita mengambil posisi sebagai pengamat dan banyak menjelaskan kedudukan tokoh lain. Salah satunya tergambar ketika Mae menjelaskan tokoh Sitas dan Pontu.
Dia bernama Sitas. Wanita muda beranak tiga. Jika muda itu Dia bernama Sitas. Wanita muda beranak tiga. Jika muda itu diartikan terawat dan penuh vitalitas, maka di desaku tidak ada lagi sebutan muda untuk wanita beranak. Hanya karena umurnya saja Sitas disebut muda. Tubuhnya, gaya bicaranya, tindak tanduknya, benar-benar seperti siluman rubah. Semakin tua, orang akan menjadi semakin munafik, karena orang itu tahu banyak hal. Karena tahu banyak hal, maka ia akan takut banyak hal pula. Karena takut, ia akan ringan berbohong, mudah berubah, dan pandai beralasan. Begitulah, mungkin aku akan menua, dan semakin mirip Sitas. (Akmal, 2011:18)
Masih ujar ibuku, Pontu itu singkatan dari Pon Setu. Nama hari dan pasaran orang Jawa. Ia lahir pada hari itu. Nama yang singkat. Menurutku dalam hal memberi nama, orang dulu lebih praktis dan jelas. (Akmal, 2011:21)
Pencerita juga menggunakan saluran informasi untuk menyampaikan cerita kepada pembaca melalui beberapa cara. Cara pencerita dalam menyampaikan ceritanya yaitu melalui kata-kata, pikiran tokoh-tokoh, persepsi pengarang, tindakan-tindakan tokoh. Selain itu ada juga penyampaian melalui pikiran pemcerita (narator) dalam hal ini tokoh utama, perasaan, dan resepsi tokoh utama maupun tokoh sampingan.
Jika dilihat dari sejauh mana pencerita menempatkan pembaca dari ceritanya, peneliti menyimpulkan bahwa narator menempatkan pembaca dekat dengan cerita. Hal ini dikarenakan pencerita merupakan pencerita intern dan dapat membangun suasana sangat baik. Sehingga pembaca seolah terbawa dalam setiap peristiwa dan larut dalam ketegangannya. 4.3.10.33 Analisis Tipe Penceritaan
Tipe penceritaan yang pencerita gunakan dalam novel ini dengan menghadirkan tiga tipe penceritaan, yaitu wicara yang dilaporkan, wicara yang dinarasikan dan wicara yang dialihkan. Berikut ini penjelasan mengenai tipe penceritaan dalam novel ini.
Pertama adalah wicara yang dilaporkan. Dalam tipe penceritaan ini, pencerita melaporkan keseluruhan teks atau isi dari cerita tersebut. pada tipe ini pengarang mengungkapkan dialog secara langsung. Wicara tersebut terlihat pada kutipan berikut.
“Teman-teman calonmu itu yang menghamili Sakem ya?”
“Yang mencuri uang perjalanannya juga.”
“Gajinya juga dipotong terus untuk biaya perjalanan sampai akhir masa kerja.”
“Jangan-jangan mereka juga yang menjual isi perut Mijong.”
“Iya ga, Mae. Iya kan?” Ibu-ibu berebut berbicara. (Akmal, 2011: 75-76)
Salah satu kutipan berikut adalah bentuk wicara yang dilaporkan. Dalam dialog yang merupakan percakapan Mae dan ibu-ibu, pencerita menggambarkan situasi mendesak yang dialami Mae dalam menjawab pertanyaan ibu-ibu tentang pekerjaannya. Contoh berikutnya masih merupakan wicara yang dilaporkan. Kutipan berikut berupa dialog antara Mae dan Sitas ketika Sitas memberitahukan Mae kedatangan tamu.
“Kau ditunggu seseorang.” Sitas berbisik di telingaku saat aku keluar kamar.
“Siapa?”
“Temui saja di lincak belakang.”
“Siapa, Yu?” aku mendesak Sitas.
“Setan.” Telingaku berdengung mendengar jawaban Sitas. Ada nyeri di dada seperti halnya ketika melihat kejadian yang mengerikan. Kekerasan dan caci maki memiliki efek yang sama di tubuh manusia. (Akmal, 2011: 93)
“Gao!” pekikku pelan,
“Mengapa kau mengikutiku?” tanyanya dingin.
“Aku merasa mengenali dirimu, matamu.” Jawabku gugup.
“Ini berbahaya, Mae.apa kau melihat semuanya?” tanya Gao pelan.
“Tentu saja. Ternyata kau botoh Mardi,” jawabku tak kalah pelan. (Akmal, 2011: 85)
Dari beberapa kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa bentuk wicara yang dilaporkan adalah berupa dialog antar tokoh. Pencerita memunculkan dialog-dialog antar tokoh untuk melaporkan setiap peristiwa dalam cerita.
Kedua adalah wicara yang dinarasikan atau diceritakan. Pada tipe penceritaan ini, pencerita merinci atau menjelaskan peristiwa yang dialami atau dilakukan oleh tokoh. Wicara tersebut terlihat pada kutipan berikut.
Akhirnya Mbah Bangkring mengangguk sambil mengelap ingusnya lagi, dia tempel-tempelkan ingus itu ke lincak. Aku bergegas masuk kamar dan mengambil secarik kertas. Aku tulis nama Musri. Aku mengambil tintan cina dan alasnya. Aku yakin Bangkring tidak bisa tanda tangan. (Akmal, 2011:97)
Kutipan tersebut merupakan peristiwa yang dilakukan oleh tokoh Mae ketika ia melakukan bercakapan dengan Bangkring. Sebagai orang pertama yang serba tahu, tokoh Mae menyampaikan peristiwa disertai dengan pemikirannya. Selain itu, pencerita banyak menggunakan tipe wicara yang dinarasikan atau diceritakan ketika menggambarkan juga menjelaskan tingkah laku dan perilaku tokoh dalam cerita. Salah satunya seperti pada kutipan berikut ini, yaitu tingkah laku tokoh Pontu ketika melihat Mae bersama Malim.
Pontu lewat depan kamar dan melirik ke kami. Sebelum kemudian bergegas karena kami menyadari kehadirannya. Dia memakai pakaian hitam-hitam dengan sarung terlilit di kepalanya. Aneh, Sitas mengikuti di belakang sang suami. Mereka berbisik-bisik di depan pintu. Lalu Pontu berjalan cepat dan menghilang seketika. Seperti ada kabut yang menghalangi pandangan kami dan menelan Pontu begitu cepat. Kami berdua mengusap-usap mata. Kali ini betul-betul seperti dua orang tolol yang terkesiap. Sitas memergoki ketersiapan kami dengan senyum puas. (Akmal, 2011: 113)
Selanjutnya, berikut ini adalah kutipan yang menceritakan suasana kampanye Mardi yang masih merupakan contoh wicara yang dinarasikan.
Tepuk tangan meriah. Anak-anak bersuit-suit. Tapi ada beberapa juga yang diam bergeming. Terutama orang-orang yang baru masuk ke dalam lingkaran. Beberapa orang Jatisaba, tapi lenih banyak dari dusun lain. Kami semua menyebutnya sebagai Wong Tiban, orang-orang yang biasanya menyuguhkan opor dalam acara yasinan setiap minggu. Mereka bekerja sebagai guru, pengrajin kayi, brimop, atau sekadar pegawai KUD. (Akmal, 2011: 129-130)
Terakhir adalah wicara yang dialihkan atau wicara yang disesuaikan. Tipe peceritaan ini memperlihatkan pandangan pencerita atau tokoh tentang sesuatu, biasanya berupa monolong tokoh.
Apa jadinya jika kampungku dipimpin oleh orang seperti Jompro. Dia memang orang kaya, punya sawah banyak, bahkan kuburan yang luas ini di klaim milik keluarganya. Tapi di otaknya Cuma ada perempuan, dia memang ahli, ahli anatomi tubuh perempuan. Sementara narulinya adalah naruli seorang penjudi. Terpenting lagi, dia orang Dulbur. Aku masih tidak percaya dia mencalonkan diri sebagai kepala desa. (Akmal, 2011:41-42)
Dia bernama Sitas. Wanita muda beranak tiga. Jika muda itu diartikan terawat dan penuh vitalitas, maka di desaku tidak ada lagi sebutan muda untuk wanita beranak. Hanya karena umurnya saja Sitas disebut muda. Tubuhnya, gaya bicaranya, tindak tanduknya, benar-benar seperti siluman rubah. (Akmal, 2011:18)
Kutipan di atas merupakan salah satu contoh wicara yang dialihkan. Wicara ini berupa pandangan pencerita ketika memandang tokoh Jompro dan Sitas. Pada tipe penceritaan ini, peneliti banyak menemukan pandangan pencerita yaitu tokoh Mae dalam menggambarkan setiap tokoh. Berpijak dari hal tersebut, untuk itu peneliti menyimpulkan bahwa tipe wicara yang dialihkan ini, lebih dominan ditemukan dalam penggambaran setiap tokoh yang ada dalam novel.
Namun pandangan pencerita tentang sesuatu juga muncul pada kutipan berikut ini yang menjelaskan bagaimana suasana kampanye pemilihan kepala desa di Jatisaba.
Siapa yang tidak paham dan tidak mendengar, pemilihan kedes di Jatisaba selalu menelan korban jiwa, ya botoh-botoh itu. Anjing-anjing yang setia dan terperdaya. Ayahku pernah menjadi botoh, sebelum rumah kami porak poranda. Tapi dia selamat. Dan sekarang entah kenapa, aku berharap seharusnya dia dulu mati saja. (Akmal, 2011:89)
Lagipula pilkades kan selalu meminta tumbal. Meski tak boleh, sudah jauh-jauh hari kami menerbak-nebak. Siapa lagi tumbal kali ini. (Akmal, 2011: 263)
Pada kutipan ini terlihat bagaimana pandangan pencerita (tokoh Mae) dalam memandang sesuatu, yaitu kampanye pemilihan kepala desa. Digambarkan oleh tokoh Mae bahwa pemilihan kepala desa selalu menelan korban jiwa sampai meminta tumbal yang tak lain adalah botoh-botohnya sendiri. 4.3.10 Tema
Setelah melakukan analisis terhadap unsur-unsur intrinsik sebelumnya, akhirnya peneliti sampai pada analisis tema. Untuk mengenali sebuah tema, penelaahan terhadap konflik sangat penting dilakukan. Sebab, kedua hal ini berhubungan sangat erat. Terutama posisi konflik utama yang biasanya menjadi kunci dalam mengetahui tema apa yang dibawa oleh pengarang dalam ceritanya. Selain itu, analisis tokoh, latar, dan yang lainnya menjadi pembuka bagi peneliti dalam menemukan tema yang diusung oleh pengarang
Pada novel Jatisaba, tema yang diusung oleh pengarang adalah mengenai rumitnya persoalan masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan yang dimaksud dalam novel ini yaitu masyarakat Indonesia yang tinggal di desa. Hal ini terlihat dari judul yang diambil oleh pengarang, yaitu Jatisaba. Jatisaba sendiri diceritakan sebagai sebuah kampung yang terletak di sebelah pesisir. Pengarang menggambarkan Jatisaba sebagai kampung yang memiliki keadaan geografis yang indah, namun menyimpan banyak cerita tentang kehidupan masyarakat desa.
Secara garis besar peneliti merangkum tema dalam novel ini yaitu mengenai kisah sebuah desa yang menggambarkan persoalan kemiskinan, persoalan human trafficking dengan modus pengiriman TKI, serta gambaran politik desa, dan perilaku seks bebas. Hal ini dapat terlihat dari hasil analisis unsur-unsur intrinsik yang sudah dilakukan sebelumnya. 4.3 Representasi Kemiskinan dalam Novel Jatisaba
Setelah melakukan analisis terhadap struktur novel, selanjutnya pada tahap ini peneliti akan melakukan analisis representasi kemiskinan. Mengacu pada teori representasi yang digunakan dalam penelitian ini, maka kemiskinan dalam novel muncul sebagai penggambaran juga pencerminan atas kenyataan. Dalam novel ini, peneliti menemukan beberapa representasi kemiskinan. Representasi kemiskinan tersebut yaitu, kemiskinan pendidikan, kemiskinan harta, kemiskinan moral, dan kemiskinan agama.
Dalam menggambarkan kemiskinan, pengarang menitipkannya pada tokoh, latar, atau dialog-dialog setiap tokoh yang menjadi pemikiran tokoh tersebut terhadap sesuatu. Untuk menemukan jawaban mengenai representasi kemiskinan, tahap pertama yang peneliti lakukan adalah mendeskripsikan kemudian menganalisis gambaran kemiskinan dengan mengacu pada analisis unsur-unsur intrisik yang telah dilakukan sebelumnya.
Selanjutnya, peneliti akan melihat kesejajaran dan keterkaitan antara gambaran kemiskinan-kemiskinan yang muncul dalam novel Jatisaba dengan kenyataan sosial. Ketika melihat hal tersebut, peneliti akan lebih utama mengaitkannya dengan kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat yang menjadi latar dalam novel, yaitu daerah Cilacap. Namun, peneliti juga secara luasnya akan mengaitkan kenyataan sosial tersebut dengan kondisi di Indonesia. Hal ini peneliti lakukan untuk memperoleh jawaban apakah gambaran kemiskinan-kemiskinan tersebut merepresentasikan kenyataan sosial masyarakat Cilacap khususnya, dan umumnya masyarakat Indonesia. Berikut ini analisis representasi kemiskinan dalam novel Jatisaba. 4.4.11 Kemiskinan Pendidikan
Kemiskinan pendidikan menjadi hal yang kerap kali muncul dalam teks. Pengarang memunculkan kemiskinan ini salah satunya melalui tokoh-tokoh dalam novel. Hal ini terlihat ketika pengarang yang merupakan tokoh “aku” menggambarkan tokoh lain, yaitu Sitas. Kemiskinan pendidikan pada tokoh Sitas tergambar pada kutipan berikut ini.
“Aku juga dulu sekolah, Mae. Walau tak tamat!” jawab Sitas agak ketus. Aku lupa dia trah Dulbur. Pasti Sensitif. (Akmal, 2011:36)
Dari kutipan di atas dapat terlihat bahwa Sitas memiliki pendidikan yang rendah. Ia pernah mengenyam sekolah, namun tidak tamat. Itu artinya pendidikan tokoh Sitas ini bisa dikatakan kurang berpendidikan. Ketika seseorang tidak memiliki pendidikan yang baik, maka kecenderungan orang itu akan melakukan tindakan negatifpun lebih besar. Hal inilah yang menyebabkan tokoh Sitas selalu melakukan tindakan pencurian. Pengarang juga menjelaskan alasan bahwa Sitas mencuri karena ia bodoh.
Sitas mencuri karena ia bodoh. Hanya orang bodoh yang masuk ke dapurku dan mencuri sabun colek. Hanya orang bodoh yang mencuri genting teras rumahku satu persatu dan memindahkan ke atas rumahnya. Hanya orang bodoh yang tetap melakukan itu meski kami sudah memaafkan dan bahkan memberikan semua yang ia curi sejumlah dua kali lipat. (Akmal, 2011:19)
Selain itu, gambaran kemiskinan pendidikan tokoh Sitas juga tergambar pada pernyataan Sitas pada Mae berikut ini.
Mereka butuh orang sepertiku ini. Kalau mereka menggunakan orang-orang besar, itu terlalu mencolok. Maka mereka menggunakan orang-orang bodoh seperti aku ini untuk melakukan hal-hal bodoh pula, hehe. (Akmal, 2011:139)
Pernyataan Sitas pada Mae di atas memperlihatkan kerelaan Sitas melakukan tindakan apapun termasuk mempermalukan dirinya. Ketika Mae bertanya mengapa Sitas melakukan semuanya, Sitas secara gamblang mengatakan bahwa dirinya bodoh. Karena dirinya bodoh, maka orang-orang membutuhkan dia untuk pekerjaan yang bodoh pula. Sebab hanya orang bodohlah yang mau melakukan tindakan yang mempermalukan dirinya sendiri.
Penjelasan mengenai kebodohan Sitas di atas menjelaskan bahwa rata-rata penduduk Jatisaba mengalami kemiskinan pendidikan. Namun, kemiskinan pendidikan Sitas tidak hanya menjadi gambaran kondisi masyarakat Jatisaba saja, melainkan merepresentasikan perilaku masyarakat Indonesia, terutama mereka yang tinggal di pedesaan. Kesejajaran atau keterkaitan antara novel Jatisaba dengan kenyataan sosial masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Cilacap mengenai kemiskinan pendidikan sesuai dengan berita yang dirilis oleh SatelitPost. Dalam berita yang dirilis tanggal 24 Juni 2013 tersebut, dicatatkan bahwa 16 ribu warga Cilacap buta aksara. Berikut kutipan berita yang peneliti peroleh dari SatelitPost online.
Cilacap, SatelitPost- berdasarkan dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Cilacap menempati urutan ke empat untuk buta aksara. Jumlahnya mencapai 16.304 jiwa. Namun, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora) menyatakan sudah terdata sekitar 12 ribu orang.
Walau presentase yang mengalami buta aksara di Cilacap sendiri kebanyakan adalah mereka yang usianya sudah di atas 45 tahun. Namun tidak menutup kemungkinan masih ada masyarakat yang masih usia produktif mengalami buta aksara. Alasan anak-anak usia produktif ada yang belum melek huruf, karena memang tidak disekolahkan oleh orang tuanya. Selain itu juga karena jarak rumah dengan sekolah luar biasa jauh. (satelitnews.com)
Berita tersebut memperlihatkan gambaran kemiskinan pendidikan yang dialami oleh warga Cilacap. Jatisaba yang merupakan latar novel merupakan nama sebuah kampung di Cilacap. Oleh karena itu, kemiskinan pendidikan dalam novel Jatisaba merepresentasikan keadaan yang sebenarnya dialami oleh warga Cilacap. Bahkan dalam berita tersebut dituliskan alasan mengapa masyarakat yang berusia produktif bisa mengalami buta aksara. Salah satu faktor yang melatarbelakanginya adalah karena orang tua yang tidak mau menyekolahkan anak-anak mereka. Hal tersebut seolah menjadi pola pikir masyarakat desa yang tidak mementingkan pendidikan. Hal ini tersebutlah yang kemudian direpresentasikan oleh pernyataan tokoh Bangkring.
“Semuanya sama, Mae. Menikah, punya anak, bikin rumah gedhek, mbawon ke sawah, atau keliling jual es. Kalau beruntung bisa dapat kios sempit di pasar kayak aku, jualan klepon.” (Akmal, 2011:64)
Pernyataan Bangkring tersebut menggambarkan kehidupan warga Jatisaba yang tidak memilih untuk bersekolah. Pola pikir warga Jatisaba dalam menjalani hidup hanya sebatas menikah dan bekerja. Mereka sama sekali tidak memikirkan pendidikan sebagai prioritas yang penting dalam hidupnya. Padahal pendidikan merupakan modal agar mereka tidak mudah dibodohi oleh orang lain.
Selain data yang diperoleh dari SatelitPos online, peneliti juga melihat adanya kesejajaran dan keterkaitan gambaran kemiskinan pendidikan seperti dikutip sebelumnya dengan data yang peneliti peroleh ketika melakukan wawancara dengan warga Cilacap. Pada wawancara itu, peneliti mencoba menggali bagaimana gambaran pendidikan masyarakat Cilacap secara umum. Ketika peneliti menanyakan bagaimana rata-rata pendidikan masyarakat Cilacap, narasumber mengatakan bahwa rata-rata pendidikan masyarakat di sana adalah lulusan SMP atau SMA. Jarang sekali masyarakat Cilacap yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Narasumber juga mengatakan penyebab rendahnya kesadaran masyarakat untuk bersekolah berasal dari pandangan atau pola pikir lingkungan yang membentuk mereka. Contohnya, orang tua mereka yang lebih memilih menyuruh bekerja atau menikah saja, daripada harus melanjutkan sekolah. Peneliti memang tidak melakukan studi lapangan secara langsung ke tempat yang merupakan latar dalam novel. Peneliti hanya mencari data dari narasumber yang merupakan warga Cilacap untuk mendapatkan gambaran masyarakat Cilacap secara umum.
Karya sastra tidaklah melulu merepresentasikan masyarakat yang sebenarnya diceritakan dalam karya tersebut, akan tetapi bisa merepresentasikan kondisi masyarakat yang lain. Berdasarkan data tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa gambaran kemiskinan pendidikan yang dititipkan melalui tokoh Sitas dan pola pikir masyarakat pedesaan yang gambarkan tokoh Bangkring merupakan representasi dari kondisi sosial masyarakat Cilacap secara umum.
Selanjutnya, gambaran kemiskinan pendidikan juga muncul ketika peneliti melakukan analisis latar sosial. Dalam analisis tersebut ditemukan bahwa latar sosial yang digunakan dalam novel ini terletak pada adanya tiga kelompok sosial di Jatisaba. Kelompok sosial tersebut adalah Dulbur, Legok, dan Wong Tiban. Ketiga kelompok sosial ini tidak hanya mewakili keadaan sosial saja, namun menyiratkan pula status pendidikan dari masing-masing kelompok tersebut. Pada novel ini, orang Dulbur digambarkan sebagai kelompok sosial yang memiliki kehidupan paling memprihatinkan dari yang lainnya. Demikian juga untuk pendidikan warga-warganya. Berikut kutipan dalam novel.
Tidak ada tanda kehidupan yang mampu mereka pertahankan selain membuat dan melahirkan anak. Satu keluarga terdiri dari lima belas orang. Anak-anak mereka, terutama yang masih kecil, jarang sekali berpakaian. Mereka juga tidak sekolah, mereka hidup liar di tengah kampung kami. (Akmal, 2011:37)
Pada kutipan tersebut, pengarang sangat jelas mengatakan bahwa orang Dulbur tidak sekolah. Pola pikir masyarakat yang tidak mementingkan pendidikanpun tercermin dalam analisis sosial orang Dulbur. Bukan hanya tidak sekolah, untuk tanda tanganpun mereka tidak bisa melakukannya. Berikut kutipan yang menjelaskan bahwa Bangkring yang merupakan orang Dulbur tidak bisa tanda tangan.
Aku ambil tinta cina dan alasnya. Aku yakin Bangkring tidak bisa tanda tangan. (Akmal, 2011:97)
Berdasarkan pemaparan dan analisis di atas, peneliti menyimpulkan bahwa dalam novel Jatisaba terdapat potret kemiskinan pendidikan masyarakat pedesaan. Kemiskinan pendidikan ini terepresentasi melalui tokoh-tokoh dan latar sosial yang digunakan dalam novel. Pengarang menyimbolkan tokoh Sitas sebagai tokoh yang berpendidikan rendah. Hal ini didukung dengan munculnya latar sosial yang menggambarkan kondisi masyarakat Dulbur. Masyarakat Dulbur dikatakan tidak bersekolah, dan sangat bodoh. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa, Sitas yang merupakan orang Dulbur menjadi simbol kemiskinan pendidikan dalam novel Jatisaba.
Selain itu, gambaran kemiskinan pendidikan yang muncul dalam novel memiliki kesejajaran dengan realitas kehidupan masyarakat Indonesia dikarenakan merepresentasikan kenyataan sosial. Kenyataan sosial yang mucul yaitu mengenai rendahnya pendidikan masyarakat Cilacap. Tidak hanya pendidikan masyarakat Cilacap yang masih rendah, namun lebih luasnya lagi potret kemiskinan pendidikan dalam novel Jatisaba merepresentasikan bahwa pendidikan di Indonesia terutama di wilayah pedesaan menjadi masalah utama yang masih belum menemui penyelesaiannya.
4.4.12 Kemiskinan Harta
Kemiskinan selalu erat dikaitkan dengan ketidakbermilikan materi atau biasa disebut harta. Kemiskinan harta juga tergambar dalam novel ini. Seperti analisis representasi pendidikan, tokoh Sitas kembali digambarkan oleh pengarang sebagai orang Jatisaba yang kekurangan dalam hal materi. Berikut kutipan dalam teks menyatakan bahwa Sitas miskin.
Mungkin karena ia miskin, maka ia mencuri. (Akmal, 2011:19)
Ia tak pernah berhenti mencuri apapun. Selama bertahun-tahun ia mencuri segalanya dari rumahku. (Akmal, 2011:19)
Selain perilaku Sitas yang suka mencuri karena dia miskin, dia juga rela melakukan apa saja demi uang. Hal ini Sitas lakukan dikarenakan dirinya kekurangan dari segi ekonomi.
“Kenapa Yu Sitas mau melibatkan diri dalam urusan yang berbahaya ini?” tanyaku membuka pembicaraan.
“Kau pikir untuk apa? Jelas untuk hidup, Mae. Aku butuh uang. Mereka butuh orang sepertiku ini. Kalau mereka menggunakan orang-orang besar, itu terlalu mencolok. Maka mereka menggunakan orang-orang bodoh seperti aku ini untuk melakukan hal-hal bodoh pula, hehe,” jawab Sitas sambil terkekeh. “Semua ini kebodohan. Hanya karena ingin jadi kepala desa, mereka menghambur-hamburkan uang begitu banyaknya. Sementara aku di sini kekurangan uang. Banyak orang kelaparan. Ini menyebalkan sekali bagiku, Mae.” Lanjut Sitas menggebu-gebu. (Akmal, 2011:139)
Kutipan di atas memperlihakan bahwa kemiskinan yang diderita Sitas, membuatnya rela melakukan apa saja demi uang. Sitas memanfaatkan keloyalan calon kepala desa yang selalu menghambur-hamburkan uang sebagai cara untuk mendapatkan uang. Sitas bahkan rela dibayar untuk mempermalukan dirinya sendiri dihadapan orang lain. Gambaran tindakan tokoh Sitas yang rela mempermalukan dirinya tersebut selain menggambarkan kemiskinan dan kebodohan Sitas, menggambarkan pula perilaku calon kepala desa yang suka menghamburkan uang.
Melihat kesejajaran dan keterkaitannya dengan kenyataan sosial, perilaku calon kepala desa tersebut yang merepresentasikan kenyataan sosial. Perilaku calon kepala desa Jatisaba memberikan gambaran seperti apa calon-calon pemimpin di negara kita ketika melakukan kampanye. Masyarakat yang berniat untuk menjadi calon pemimpin di Indonesia, haruslah rela mengeluarkan dana kampanye yang tidak sedikit. Salah satu contoh kasusnya tercermin pada berita yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Berita tersebut memaparkan besarnya dana kampanye yang dikeluarkan oleh calon presiden dan wakil presiden 2004.
Pasangan Wiranto–Salahuddin Wahid, misalnya, besarnya dana kampanye yang masuk dari pasangan calon Rp 3.750.000.000,-; dari gabungan partai politik Rp 30.000.000.000,-; perseorangan Rp 15.004.900.000,- dan badan hukum Rp 737.500.000,-. Total keseluruhan dana kampanye sebesar Rp 49.491.400.000,-. Sementara pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, besarnya dana kampanye yang masuk, dari partai politik Rp 2.600.000.000,-; perseorangan Rp 34.396.200.000,- dan badan hukum swasta Rp 66.100.000.000,-. Total atau keseluruhan dana kampanye sebesar Rp 103.096.200.000,-. Pasangan Amien Rais-Siswono besarnya dana kampanye yang masuk total secara keseluruhan sebesar Rp 22.007.486.877,-. Selanjutnya adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-M. Jusuf Kalla. Besarnya dana kampanye yang masuk, saldo awal Rp 1.500.000.000,-; pasangan calon Rp 10.000.000.000,-; persorangan Rp 17.314.130.000,-; badan hukum swasta Rp 25.835.000.000,-; anonim (di bawah Rp 5 juta) Rp 10.261.111,- dan jasa giro Rp 4.425.565,-. Total dana kampanye sebesar Rp 60.385.966.676,-. Pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar adalah yang paling kecil. Besarnya dan kampanye yang masuk, dari calon pasangan Rp 200.000.000,-; penyumbang persorangan Rp 1.950.000.000,- dan badan hukum swasta Rp 600.000.000,-. Keseluruhan dana kampanye sebesar Rp 2.750.000.000,-. (www.kpu.go.id)
Data tersebut memperlihatkan besarnya dana kampanye yang dikeluarkan oleh calon presiden. Para calon bisa dengan sangat mudahnya mengeluarkan dana kampanye sangat besar di tengah kondisi masyarakat kita yang masih miskin. Tokoh Sitas menyampaikan pesan moral bahwa apa yang dilakukan para calon dengan megeluarkan dana sangat besar untuk kampanye begitu sangat melukai masyarakat miskin. Selain itu perilaku para calon tersebut semakin memperlihatkan kejomplangan ekonomi masyarakat Indonesia. Hanya karena ingin menjadi pemimpin, mereka dengan mudahnya menghambur-hamburkan uang sangat banyak. Sementara di luar sana masih banyak orang yang kelaparan dan kekurangan uang.
Selanjutnya pada kutipan berikut juga menggambarkan bagaimana kemiskinan harta sangat terlihat jelas di Jatisaba. Mereka kadang harus mengemis pada warga lain yang lebih kaya agar bisa makan.
“Oalah, Nak. Kau harus mengambil jatah beras dari rumah Mardi. Lihat ibumu, kau tahu sendiri ibumu remuk seperti ini. Ayahmu harus berdagang. Kau ingin tetap makan nasi besokkan?” (Akmal, 2011:167)
“Ibu, aku lapar,” ucapnya cepat. Ia berfikir bahwa setelah orang bekerja, dia berhak meminta imbalan, meminta makan. Tangan Sitas langsung mendarat di kepala Awae.
“Kau pikir apa yang bisa kau kulakukan dengan kondisi seperti ini? Anak tidak tahu diuntung. Makanan saja yang kau pikirkan. Sana pergi ke tempat Jurangan, mungkin masih ada sisa-sisa tulang kambing dan nasi obong bata tadi malam yang boleh kau minta.” (Akmal, 2011:172-173)
Kutipan teks di atas, memperlihatkan gambaran kemiskinan harta tokoh Sitas. Sebagai warga Jatisaba dan orang Dulbur yang lahir, besar, dan tinggal di Jatisaba, Sitas cukup mewakili warga Jatisaba lainnya. Digambarkan bagaimana Sitas menyuruh anaknya Awae untuk mengambil jatah beras di Mardi agar mereka bisa makan. Sekalipun beras tersebut bukanlah beras layak makan. Selain itu, narasi tokoh Mae berikut ini semakin menegaskan gambaran kemiskinan harta warga Jatisaba.
Raskin atau beras miskin dikampungku haruslah dibagi rata. Semua orangpun akan mengambilnya. Tak peduli nanti akan dimakan atau dibiarkan membusuk, karena demi Tuhan, beras itu tidak layak dimakan. Aku melihatnya sendiri. Beras itu sudah berulat kutu.
Beberapa orang benar-benar memakannya, karena mereka memang miskin dan tak punya beras. Sebagian besar lainnya mencampur beras itu untuk pakan ternah mereka. Kasem pernah mencoba membuat bubur dengan beras itu. Alih-alih keberuntungan, ia malah mendapat cercaan banyak orang. “Kau mau membunuh anak-anak kecil dengan menyajikan bubur berulat ini?” bentak Sitas disuatu pertengkaran dengan Kasem bertahun-tahun lalu. “Aku miskin, tapi aku tidak sudi memakan buburmu ini,” lanjut Sitas sambil membuang bungkusan bubur itu di depan Kasem dan pembeli lainnya.
“Oalah, Nak. Kau harus mengambil jatah beras dari rumah Mardi. Lihat ibumu, kau tahu sendiri ibumu remuk seperti ini. Ayahmu harus berdagang. Kau ingin tetap makan nasi besokkan?” (Akmal, 2011:167-168)
Melalui kutipan di atas, dapat terlihat bagaimana kondisi perekonomian warga Jatisaba. Mereka sangat miskin, sehingga tidak mampu membeli beras. Warga Jatisaba selalu mengemis beras dari orang lain, mereka selalu menerimanya, sekalipun beras itu berulat kutu. Representasi kemiskinan harta juga tergambar ketika peneliti melakukan analisis latar sosial. Dalam kutipan ini tersurat bahwa orang Dulbur sangat miskin.
Mereka miskin dan tidak bernama, setidaknya bagiku. Sebab, sampai aku pergi yang aku tahu mereka biasa dipanggil pantek, mijong, ateng, kempreng, guteng, jamprong, wes, roto, dan banyak lagi yang tidak aku ingat. (Akmal, 2011:38)
Dari pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa gambaran kemiskinan harta yang muncul dalam novel, kembali disimbolkan melalui tokoh-tokoh yang merupakan orang Dulbur. Terlihat dari kutipan di atas, pengarang secara tersirat menuliskan bahwa orang Dulbur miskin dan tak bernama. Ditambah dengan kutipan-kutipan sebelumnya yang memperlihatkan kemiskinan tokoh Sitas juga beberapa tokoh lain yang jika dilihat dari silsilah merupakan orang Dulbur.
Melihat kesejajaran dan keterkaitan potret kemiskinan harta seperti yang sudah dipaparkan di atas, kemiskinan harta yang muncul dalam novel ini merepresentasikan kenyataan sosial. Kenyataan sosial yang direpresentasikan adalah kondisi masyarakat Cilacap itu sendiri. Cilacap, Jawa Tengah tercatat memiliki angka kemiskinan yang tinggi. Pernyataan tersebut dilandasi oleh data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Indonesia per September 2012. Dicatatkan bahwa Jawa Tengah memiliki 4.863.500 penduduk miskin yang tersebar di kota dan di desa. Sebanyak 1.946.500 atau 13,11% penduduk miskin yang berada di kota dan 2.916.900 atau 16,55% penduduk miskin yang berada di desa. Presentase tersebut memperlihatkan bahwa kemiskinan secara materi pada realitanya benar-benar merepresentasikan kondisi di Jawa Tengah. Latar desa dalam novel yang memotretkan kemiskinan harta didukung oleh data penduduk miskin di desa yang lebih banyak dibandingkan penduduk miskin di kota.
Selain itu, perilaku tokoh Sitas menjadi representasi masyarakat miskin di Indonesia yang merasa bahwa tidakan para calon yang menghamburkan uang sangatlah tidak bijak. Pada bagian ini, tokoh Sitas seolah menyampaikan ideologi tertentu yang merupakan reperesentasi dari suara hati masyarakat miskin di Indonesia. Representasi tersebut seolah menjadi kritik bagi para calon pemimpin kita. Di tengah perilaku mereka yang mengambur-hamburkan uang untuk dana kampanye, ternyata masih ada masyarakat kita yang masih kelaparan, dan sangat membutuhkan uang. 4.4.13 Kemiskinan Moral
Sama seperti representasi kemiskinan yang sebelumnya, gambaran kemiskinan moralpun terlihat ketika pengarang mendeskripsikan tokoh dalam novel. Tokoh Sitas kembali menggambarkan kemiskinan moral, seperti yang terlihat pada kutipan berikut.
Ia tak pernah berhenti mencuri apapun. Selama bertahun-tahun ia mencuri segalanya dari rumahku. Jika ia pergi ke suatu tempat untuk bekerja, dan ia bisa pulang dengan selamat tanpa masuk penjara atau dipukuli, maka itulah prestasi terbesarnya. (Akmal, 2011:19)
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa tokoh Sitas tidak bermoral baik. Sitas tak pernah berhenti mencuri. Bahkan Sitas merasa bangga jika tindakan pencuriannya itu tidak diketahui oleh orang lain. Perilaku demikian menunjukan kebobrokan moral seseorang. Pertama, seseorang yang tidak pernah jera untuk mencuri bisa saja menderita sakit. Ia tidak bisa berhenti melakukan tindakan itu karena merasa itu merupakan perbuatan yang menyenangkan, penyakit itu disebut kleptomania. Kedua, ada pula orang yang selalu mencuri sebab ia memang sudah tidak memiliki moral dan tidak takut akan norma-norma dalam masyarakat, aturan hukum, bahkan agama. Dalam kasus Sitas, hal kedualah yang menyiratkan bahwa hati nurani Sitas telah tertutup dan tidak takut lagi pada apapun.
Selanjutnya, kemiskinan moral tergambar pada tokoh Mae ketika ia melakukan beberapa kali negosiasi dengan tokoh Jompro untuk memuluskan aksinya.
“Tapi kepulanganku memang bertujuan, Jom. Selain rindu rumah tentunya. Rumah yang hilang. Aku berharap besok bisa membawa beberapa orang. Aku punya beberapa peluang bagus untuk mereka di sana,” kataku lirih sekali.
“Mae, itu sulit. Aku sendiri yang akan menyulitkanmu. Karena kau kuanggap teman, dan mungkin tidak peduli dengan kampung ini, tidak tertarik menguasainya, aku akan bicara apa adanya. Aku butuh suara mereka, Mae. Sedikitpun itu berarti. Apalagi kampung kita sedikit orang dewasanya. Orang-orang seperti dirimu ini yang selama ini mengangkut mereka. Harusnya aku memusuhimu.”
“Apakah kau tega memusuhiku? Aku bukan orang lain. Aku besar di sini, Jom. Ini kampungku,” jawabku singkat. “Tapi selalu ada negosiasi, aku tetap ingin membawa mereka. Aku tidur di tempat Sitas. Mungkin kau bisa menjengukku,” lanjutku sambil beranjak dari duduk. Sitas selesai belanja. Dia mulai resah menunggu dan melihat orang-orang yang lebih resah dengan keintiman pembicaraanku dengan Jompro. (Akmal, 2011:40)
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa Mae sedang melakukan negosiasi dengan Jompro yang saat itu juga menjadi calon. Mae meminta pada Jompro untuk membantunya agar ia bisa membawa beberapa orang agar mau ikut dengannya. Sebagai orang yang cukup berpendidikan, Mae tetap saja melakukan tindakan licik dengan bernegosiasi dengan Jompro. Jompropun demikian, untuk kepentingan dirinya sebagai calon, ia seolah menjual kekuasaan dirinya dan keluarganya untuk melancarkan warga Jatisaba agar mau ikut dengannya. Selanjutnya, negosiasi kedua yang dilakukan Mae dan Jompro setelah pertemuan mereka di warung Sitar.
“Aku punya penawarang yang mungkin kau sukai. Pertama, kita sama-sama membutuhkan orang. Permasalahannya Cuma terletak pada waktu. Bagaimana kalau kita bekerjasama? Pemilihan dilaksanakan dua minggu lagi. Tapi kau tahu kan, masa kampanye hanya beberapa hari saja, dan itu tidak berarti buatku. Sementara kepala desa yang sekarang, tiba-tiba menjadi begitu disiplin, memasang mata-mata di mana-mana, mengawasi kalau ada kampanye gelap. Dia seperti tidak rela kehilangan kedudukannya. Padahal duduk saja sudah tak bisa, hahaha huk...huk..huk.” Jompro tertawa lalu terbatuk. (Akmal, 2011:49)
“Kau butuh kepercayaan dari orang-orang agar dia mau berangkat, Mae. Hidup miskin membuat mereka tidak punya pilihan lain, tapi mereka tahu siapa kamu. Siapa ayahmu. Mereka akan dengan mudah mengatakan buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Kalau sudah begitu, kau tidak akan dipercaya seperti halnya ayahmu dulu.” Aku tercekat. Dadaku sakit. Bahkan setelah berpisah, ayah masih meninggalkan kesusahan buatku. (Akmal, 2011:50)
“Baiklah, artinya kau harus memberi mereka kemudahan dan pelayanan istimewa supaya mereka percaya padaku dan aku harus berkata, segala kemudahan dan keistimewaan ini berasal darimu, Juragan Jompro yang baik. Begitu bukan? (Akmal, 2011:50)
Negosiasi kedua yang dilakukan Mae dan Jompro, adalah lanjutan dari pertemuan mereka di warung Sitar. Jompo memanfaatkan Mae agar dia mau memuluskan niatnya untuk memenangkan pemilihan kepala desa dengan membantu pengurusan administrasi warga Jatisaba yang akan ikut dengan Mae. Dalam negosiasi yang kedua ini sangat telihat bagaimana kemiskinan moral seorang calon kepala desa yang menggunakan politik tidak sehat dengan cara kampanye gelap. Selain itu Mae sebagai orang yang berpendidikan juga seolah tidak mempunyai moral untuk memikirkan orang lain yang menjadi korbannya. Ditambah lagi, setelah melakukan negosiasi itu, Mae dan Jompro melakukan hubungan seks sebagai bayaran dari ide Jompro, dan Mae menikmatinya.
Kemiskinan moral lainnya tergambar dalam latar tempat dilakukannya negosiasi antara Mae dan Jompro. Jika dilihat latar tempat, Mae dan Jompro melakukan negosiasi pertamanya di warung Sitar. Warung Sitar selalu ramai dengan orang, tempat berjudi dan mengoplos minuman keras.
Warung Sitar terkenal dengan pisang goreng raja berkulit asin sejak 1980-an. Letaknya di belakang kuburan dan selalu ramai dengan orang. Terutama tukang ojeg, penjual ayam, juragan beras, dan beberapa pejabat desa. Yang lebih ekslusif lagi, di salah satu bilik rumah Sitar, tersedia beberapa meja bagi yang ingin berjudi. Di balik rimbunnya dagangan Sitar, berbagai merk minuman keras murahan juga disiapkan. Bahkan Sitar juga menerima orderan mengoplos minuman-minuman itu. Sitar juga mempunyai banyak anak perempuan yang pendiam tapi gampang senyum. Digoda, senyum. Dicolek, senyum. Diculik, mungkin tetap senyum. Bagaimana bisnisnya tidak maju? (Akmal, 2011:35)
Kemudian negosiasi kedua dilakukan di Gang Larasati yang juga memperlihatkan gambaran kemiskinan moral dalam novel.
Tukang becak itu membawaku menyelinap gang-gang padat sekitar pasar. Dan berbelok disebuah gang yang lebih besar. Banyak lelaki lalu lalang di situ. Tentu saja, siapa tidak tahu gang Larasati. Walau aku belum pernah ke sini, sejak kecil aku sudah mendengar cerita tentang gang ini. Gang kenikmatan, kalau para lelaki bilang. Banyak rumah bertingkat, banyak kamar, banyak salon, banyak warung, dan banyak wanita. Tapi tukang becak itu membawaku menyelinap lagi, dan menghentikan becaknya di rumah kecil yang lebih sepi. Bukan warung bukan salon. Rumah biasa. (Akmal, 2011:48)
Gambaran mengenai latar negosiasi awal Mae dan Jompro adalah di warung Sitar. Pengarang menggambarkan latar demikian dalam negosiasi Mae dan Jompro agar latar tersebut menjadi penjelas juga simbolisasi tempat munculnya kemiskinan moral yang ada dalam novel. Negosiasi selalu dilakukan di tempat yang bisa dikatakan tempat maksiat. Seperti negosiasi kedua yang dilakukan di gang Larasati. Gang prostitusi yang dijadikan tempat oleh Jompro untuk berbicara dengan Mae. Latar tempat ini menjadi unsur yang mendukung bagaimana kemiskinan moral tergambarkan dalam novel.
Kesejajaran dan keterkaitan gambaran kemiskinan moral yang terlihat pada setting tempat dilakukannya negosiasi ini merepresentasikan beberapa kasus politik yang sering terjadi pada masyarakat Indonesia. Tempat-tempat prostitusi kerap dijadikan tempat untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut. Dapat dilihat dari kasus yang baru-baru terjadi, yaitu tertangkapnya politisi di kamar hotel. Berikut ini berita yang dikutip dari laman Kompasiana.
KPK Tegaskan Ahmad Fathonah dan Maharani Di Tangkap Dalam Kamar
Siang tadi saya membaca di running teks berita TV One yang menuliskan ” KPK Tegaskan bahwa Ahmad Fathonah dan Maharani di tangkap di dalam kamar”. Saya tersenyum geli membaca tulisan itu, teringat press conference Maharani sehari sebelumnya yang menyatakan bahwa dirinya ditangkap bersama AF di lobi hotel. Saya menangkap kesimpulan bahwa, running teks itu membantah semua keterangan Maharani seputar kejadian malam bersama Amad Fathonah. Orang yang disebut-sebut punya hubungan khusus dengan Mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishak dan tertangkap tangan menerima suap kuota impor daging sapi oleh KPK sehingga membuat LHI ikut terseret dan menjadi tersangka. Penegasan KPK itu menjadi bukti bahwa keberadaan Maharani dalam kamar bersama AF itu sebagai sebuah peristiwa memalukan dari seseorang yang punya kaitan erat dengan presiden PKS, sudah beristri 5 tapi masih juga menyerempet dengan persoalan sex. Kejadian ini memang akan merusak citra PKS sebagai partai Dakwah. Karena peristiwa LHI dan AF dengan Maharaninya tercium bau menyengat juga faktor “perempuan” di dalamnya. Sangat disayangkan, pernyataan Maharani kemarin bertolak belakang secara tegas dengan apa yang dikatakan KPK. Kita yang melihat preskon itu juga diaduk-aduk logika berfikirnya. Pengakuan Maharani sungguh tak masuk diakal dan aneh. Uang sepuluh juta berharga hanya sebatas perkenalan dan seterusnya. (Kompasiana.com)
Berita di atas memberikan gambaran realitas sosial masyarakat Indonesia saat ini. Jika dikaitkan dengan gambaran kemiskinan moral dalam novel, peristiwa ini memiliki kesamaan. Latar tempat yang digunakan pengarang, yaitu gang Larasati, berkaitan dengan kenyataan bahwa hotel, dan tempat-tempat prostitusi selalu dijadikan tempat untuk melakukan beberapa negosiasi politik. Tidak hanya negosiasi politik, namun beberapa diantaranya kerap melakukan hubungan seksual sebagai pemanis dari negosiasi politik yang dilakukan. Dalam hal ini, pengarang memberikan representasi bagaimana kebobrokan para oknum politisi dari segi moral.
Jompro sebagai tokoh dalam novel merepresentasikan tindakan tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini, semakin banyak oknum politisi atau para calon pemimpin yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan. Dimulai dari kasus suap, kampanye gelap, sampai beberapa kecurangan lain dengan bumbu perilaku seksual. Tokoh Jompro yang merupakan calon kepala desa, setidaknya mengingatkan kita bahwa kasus-kasus tersebut tidak hanya terjadi dalam lingkup yang besar dan terjadi di perkotaan saja. Namun saat ini, kasus-kasus tersebut sudah menyentuh lingkup yang paling kecil, yaitu wilayah pedesaan.
Selain itu gambaran kemiskinan moral terlihat dari perilaku Mae dalam novel yang beberapa kali melakukan hubungan seks dengan seseorang yang bukan suaminya. Pada awal cerita, Mae digambarkan sebagai perempuan trauma akan perilaku seksual, sebab ia pernah mengalami pemerkosaan semasa dahulu. Namun pada beberapa bagian, Mae justru seperti seseorang yang menikmati hal itu. Seperti hubungan seks yang ia lakukan dengan Jompro.
Dia duduk di sampingku dan tiba-tiba menciumku. Tapi jika dahulu sekujur tubuhku dingin dan takut, kini aku kepanasan ketika tangan Jom terus menggerayangiku. Dan aku mulai menikmatinya. Lagipula Malim tak jua menemuiku. Kita bergumul di atas kursi. (Akmal, 2011:52)
Mae juga melakukannya beberapa kali hubungan seks dengan teman kerjanya, Malim. “Aku memang tidak suka. Karena aku tak pernah bisa menolakmu. Tapi malam ini dingin, tidak ada kendaraan pula. Situasi desa sedang tidak aman. Botoh-botoh yang berkeliaran bisa jadi sangat buas dan sensitif, Malim. Tunggulah sampai fajar.” Mimpi itu membangunkanku. Kemudian aku sadar, aku telanjang, sementara Malim sudah tidak ada di sampingku. Ternyata semalam itu bukan mimpi, gumamku dalam hati sambil membersihkan cairan yang mengering di perut. Lelaki itu bukan Gao, bukan mata elang. (Akmal, 2011:115-117)
Kutipan di atas menggambarkan bagaimana tokoh Mae secara sadar sangat menikmati hubungan seksnya dengan banyak lelaki. Mae secara tidak keberatan melalakukan hubungan seks sekalipun pada orang yang sangat tidak ia sukai, Jompro. Bahkan dalam hubungannya dengan Malim, Mae yang meminta Malim. Kemiskinan moral lainnya juga tergambar pada narasi tokoh Mae yang menjelaskan bagaimana kebiasaan warga Jatisaba yang suka membicarakan keburukannya satu sama lain. Karena hal tersebut, terkadang pertengkaran yang sering terjadi.
Pertengkaran ini seringkali terjadi hanya karena permasalahan rajeg2 yang bergeser atau anak-anak mereka yang saling mengolok-ngolok. Suatu ketika seorang ibu-ibu Legok membicarakan aib tetangga kampung yang hamil di luar nikah dengan menggebu-gebu kepada ibuku. Beberapa waktu berselang, ibu Legok yang lainnya tiba-tiba mendekati ibuku dan berkata bahwa ibu-ibu yang tadi tidak pantas berkoar-koar. Waktu muda dia sering dibawa pergi pacarnya bercintaan di pereng3. Kemudian pacaranya meninggalkan dia dalam keadaan tidak perawan. Dia hampir bunuh diri. Ibuku hanya nyengir, ada keheranan besar di wajahnya. Bagaimana tidak, dua wanita itu kakak beradik. (Akmal, 2011:81)
Tingkah laku warga Jatisaba yang suka mengolok-olok warga lain merepresentasikan realita sosial masyarakat Indonesia. Representasi yang muncul adalah sikap masyarakat Indonesia yang gemar bergunjing. Dapat dilihat dari fenomoena munculnya program infotaiment yang semakin banyak. Hal ini dapat menjadi cerminan bahwa karakter masyarakat Indonesia lebih gemar berjunjing. Diperkuat juga dengan konten tayangan infotaiment yang lebih banyak mempergunjingkan aib seseorang. Seperti halnya ibu-ibu warga Jatisaba yang dalam novel digambarkan senang menggunjingkan aib seseorang. Perilaku yang tergambar dalam novel tersebut cukup merepresentasikan karakter masyarakat Indonesia saat ini yang terkait dengan kemiskinan moral.
Gambaran kemiskinan moral lainnya ditemukan oleh peneliti ketika melakukan analisis latar suasana. Latar suasana yang muncul adalah suasana pemilihan kepala desa yang tidak sehat. Beberapa calon seperti Mardi dan Jompro melakukan tindakan kampanye yang licik. Ada yang melakukan money politik seperti Mardi, dan ada juga yang bekerjasama dengan Mae untuk menjual hak suaranya agar mau memilih dirinya, seperti yang dilakukan Jompro.
“Ibu-Ibu yang saya hormati, di malam berbahagia ini, Bu Mardi hendak memberi kita dikit rezeki. Selain itu, beliau juga hendak memperkenalkan sebuah lembaga baru yang telah didirikan demi kemaslahatan seluruh penduduk dusun Jatisaba ini.”
“Ini terakhir kalinya kau merengek-rengek kepada Mardi. Ambil uangmu dan jangan berulah lagi. Semua orang tahu, kau botoh Jompro. Ini akan membahayakanmu Sitas. Juga kami, kalau terus-terusan kau lakukan,” ucap Gao. (Akmal, 2011:147)
Sayang sekali walau Mardi sudah memberikan segala yang ia mampu agar terpilih menjadi kepala desa, sampai detik ini, pencalonannya yang kelima kali, ia tak kunjung menang. Aku ingat, ketua remaja tempatku, membuat berpuluh-puluh proposal kepada Mardi. Meminta berpuluh-puluh bola volli. (Akmal, 2011:147)
Kutipan di atas, menyiratkan bahwa Mardi sebagai salah satu calon kepala desa tengah melakukan money politik. Ia memberikan sumbangan pada warga dengan cuma-cuma, kemudian membagikan beras pada warga agar mereka memilihnya. Sekalipun hal itu tidak pernah berhasil sampai pencalonannya yang kelima kali menjadi kepala desa.
Besok hari terakhir kampanye. Suasana mulai terasa panas. Di langit utara mendung sudah terlihat, berjalan malas menuju langit Jatisaba. Sementara rombongan Jayeng Wisesa telah keliling hampir seluruh pelosok desa. Pesona mereka diyakini mampu menyedot suara bagi Mardi. Apalagi beras Mardi mengalir ke warga-warga, membuat Mardi semakin percaya diri. Dia selalu meyakini bahwa beras adalah sumber kehidupan yang mengatasi segala-galanya. (Akmal, 2011:237)
Tidak hanya Mardi, beberapa calon lainpun melakukan kecurangan dalam pemilihan kepala desa. Kecurangan itu berupa money politic dan kampanye terselubung dengan menggerahkan ninja-ninja yang mengganggu kehidupan warga Jatisaba. Berikut kutipan dalam novel.
“Oalah Mae, sekarang orang-orang kampung mukanya berubah menjadi padi, jagung atau singkong semua. Calon-calon kepala desa mulai menyebar botohnya menjadi mata-mata. Orang jadi takut untuk saling memandang apalagi bertegur sapa. Kau juga bagaimana kau bisa santai mengikuti Gao. Ini buruk,” ucap Sitas berbisik-bisik sambil matanya sesekali melotot. Padi sudah jelas Mardi, kalau singkong itu Jompro, berarti jagung milik Joko. (Akmal, 2011: 88)
Pada kutipan tersebut memperlihatkan bahwa ketiga calon kepala desa melakukan pratik suap. Mereka menyuap warga agar memilih mereka. Mardi menyuap dengan membagi-bagikan beras. Jompro membagi-bagikan singkong, dan Joko membagi-bagikan jagung. Tidak hanya itu, ketika menyuap warga, para calon mengerahkan ninja-ninja yang tujuannya mendesak dan mengancam para warga agar mau memilih calon yang menjadi juragan mereka. Seperti tergambar pada kutipan berikut ini.
“Iyalah. Aku juga sudah muak ada di sini, Mae. Bayangkan saja, setiap hari keluarga kami diawasi ninja-ninja. Ibuku nyaris gila dan kalap atas keadaan itu. (Akmal, 2011:211)
Sementara itu, ninja-ninja semakin rajin hadir ke mimpi-mimpi setiap orang. Kadang menjadi perampok, kadang menjadi pemerkosa, kadang menjadi kakek tua pemberi nasihat, dan kadang menjadi raksasa. Yang jelas ninja itu selalu membuat warga terbangun dengan tubuh mandi keringat dan dada berdegup kencang. (Akmal, 2011: 237-238)
Money politic dan berbagai kecurangan di atas menggambarkan kemiskinan moral warga Jatisaba. Terlebih pelakunya merupakan calon kepala desa yang seharusnya memiliki sikap dan contoh perilaku yang baik. Hal ini bisa menjadi akar munculnya korupsi dan kasus-kasus lain, jika moral para calon pemimpin bobrok seperti demikian.
Jika dilihat dari kesejajaran dan keterkaitan gambaran kemiskinan moral di atas dengan realistas yang ada, maka money politic pada pemilihan kepala desa di Jatisaba merepresentasikan realitas sosial masyarakat Indonesia yang juga melakukan hal serupa. Tergambar dari berita berikut ini yang melaporkan kasus money politic pada pemilihan umum.
Jakarta-Kasus money politics mendominasi kasus laporan pelanggaran pidana pemilu ke polisi. Laporan ini diterima pihak kepolisian di seluruh Indonesia pada 16-26 Maret 2009. "Pelanggaran pemilu yang dilaporkan berupa money politics dalam bentuk membeli barang. Dan juga kampanye di tempat ibadah, penggunaan fasilitas negara, perusakan alat peraga kampanye," kata kata Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Sulistyo Ishaq di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, Senin (30/3/2009). Menurutnya hingga kini sudah ada sekitar 200 lebih laporan yang masuk. "Untuk kasusnya P21 sebanyak 62 kasus, SP3 sebanyak 50 kasus, dan selebihnya masih dalam proses," jelasnya. Berdasarkan data, pelanggaran paling banyak terjadi di Provinsi Gorontalo 22 kasus, Jateng 20 kasus, Sulsel 17 kasus, Polda Metro dan Jawa Timur 13 kasus. (detiknews.com)
Berita di atas memperlihatkan bahwa kasus money politic masih menjadi masalah dominan dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia. Hampir setiap pemilihan umum diwarnai dengan tindakan kecurangan yang dilakukan oleh masing-masing calon. Tindakan politik uang ini tidak hanya dilakukan melalui pembagian uang pada masyarakat yang akan menjadi pemilih. Akan tetapi para calon semakin kreatif mensiasati pratik curang ini. Mereka juga membagi-bagikan sembako, membagun fasilitas jalan, dan rajin memberikan sumbangan. Hal ini dilakukan untuk membentuk pencitraan diri mereka. Padahal hal tersebut termasuk perilaku kecurangan dalam kampanye.
Gambaran perilaku Ibu Mardi dalam novel yang membantu suaminya untuk melakukan praktik suap juga sesuai dengan kasus yang menimpa istri dari Gubernur inkumben NTT. Seperti dikutip pada laman berita online harian umum Tempo berikut ini.
Istri Gubernur Inkumben NTT Terseret Politik Uang
Istri gubernur inkumben ini diketahui membagi-bagikan uang antara Rp 100 ribu dan Rp 200 ribu di Kabupaten Timor Tengah Selatan. (tempo.com)
Selain mencerminkan perilaku kecurangan dalam penyelenggaran pemilu di Indonesia, gambaran money politic dalam novel ini memang benar-benar merupakan gambaran yang sesungguhnya terjadi di daerah Cilacap. Peneliti memperoleh data tersebut dari beberapa narasumber yang berasal dari Cilacap. Mereka memberikan gambaran bahwa di Cilacap, perilaku suap pada pemilihan kepala desa memang kerap terjadi. Bentuknya pembagian barang atau sembako kepada warga-warga. Selain itu, para calon menjadi semakin rajin membenahi fasilitas desa. Seperti perbaikan jalan, atau tempat ibadah. Tidak lupa juga para calon sering mengadakan kumpul-kumpul di rumahnya untuk membegi-bagikan makanan kepada warga. Calon kepala desapun diakui oleh mereka memang berasal dari berbagai golongan masyarakat. Ada juragan, pengusaha, pegawai sampai dengan preman. Kasus yang pernah terjadi pula, kepala desa yang merupakan preman tersebut saat ini tengah terlilit kasus hukum, yaitu kasus korupsi. Realitas yang ada sebagai perilaku masyarakat Cilacap inilah yang tergambar dalam novel.
Dapat disimpulkan bahwa representasi kemiskinan moral dalam novel Jatisaba terlihat dari analisis tokoh Mae dan Sitas. Pada tokoh Sitas, kemiskinan moral digambarkan melalui perilakunya yang suka mencuri dan merasa bangga atas tindakannya tersebut. Selain itu, Sitas juga tidak memiliki rasa malu untuk menggoda lelaki lain yang bukan suaminya. Sementara pada tokoh Mae, kemiskinan moral digambarkan melalui tingkah laku Mae yang selalu melakukan hubungan seksual dengan banyak lelaki. Latar belakang masa lalu Mae yang pernah diperkosan, tidak menjadikan Mae jera dan takut untuk melakukan hubungan seksual di luar peenikahan.
Dalam teks diceritakan, Mae melakukan hubungan seksual dengan Malim, rekan kerjanya di B.A.N., kemudian dengan Jompro ketika mereka melakukan negosiasi, selanjutnya juga dengan bos Mae, yaitu Mayor Tua. Namun yang lebih parah lagi, Mae juga malakukan hubungan seksual dengan Gao yang diceritakan sebagai cinta pertamanya. Padahal ketika melakukan hal tersebut, Gao sudah memiliki istri dan anak. Namun rasa cinta Mae terhadap Gao, membuatnya ingin melakukan hubungan seksual bersama Gao. Gambaran kemiskinan dalam novel di atas, menjadi gambaran keadaan sosial yang sebenarnya terjadi di Cilacap dan di Indonesia. 4.4.14 Kemiskinan Agama
Pada novel Jatisaba, kemiskinan agama juga muncul sebagai permasalahan yang melatarbelakangi cerita. Agama yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah agama Islam. Hal ini dikarenakan agama yang diceritakan dalam novel adalah agama Islam. Pada beberapa bagian cerita, baik itu narasi tokoh aku (Mae), dialog antar tokoh, atau gambaran warga Jatisaba yang diwakili Sitas, mencerminkan bagaimana agama tidak cukup menjadi pondasi bagi warga Jatisaba dalam menjalani kehidupan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.
“Oh, ya, bapaknya Awae sudang berguru ke orang pintar. Dia sudah di lantik. Dia bisa menjernihkan sumur-sumur, mengusir kuntilanak, memenangkan Pilkades, bahkan menyembuhkan atau mematikan orang yang sekarat. (Akmal, 2011:29)
“Suamiku sekarang sakti. Menjadi anak buah Juragan Jom yang bisa menghilang dan menyelinap kemana saja, hehehe,” ucap Sitas bangga sambil terkekeh. (Akmal, 2011:113)
Beberapa penggalan percakapan antara antara Mae dan Sitas tersebut, menggambarkan bagaimana tokoh Sitas justru merasa sangat bangga suaminya telah berguru ke orang pintar. Dia membanggakan beberapa kesaktian Pontu yang dapat melakukan banyak hal. Sampai-sampai Pontu dikatakan dapat menyembuhkan mematikan orang yang sekarat. Kepercayaan Sitas pada hal-hal mistis sama halnya dengan keyakinan warga Jatisaba yang tidak percaya kehendak Tuhan, ini tergambar pada narasi Mae yang menjelaskan bahwa Sitas tidak percaya akan penyebab kematian seseorang.
Separuh dari mereka mati muda karena hepatitis. Menurutku, Sitar dan minuman-minuman oplosannya bertanggung jawab atas kematian-kematian itu. Tapi mereka sendiri yakin, itu adalah santet. Cerita tentang paku dan rambut yang keluar dari perut Lestari hingga sekarang. Improvisasi ceritanya kian hari kian mengagumkan. (Akmal, 2011:38)
Apa betul kata Sitas, Bangkring menggunakan pesugihan sehingga klepon seperti ini jadi terasa enak? (Akmal, 2011:98)
Kutipan di atas menggambarkan bagaimana warga Jatisaba masih percaya dengan hal-hal mistis, yaitu santet. Kematian seseorang, tidak pernah dikaitkan pada penyebab yang ilmiah, akan tetapi pada permainan ilmu hitam. Selain itu, diceritakan juga bagaimana warga Jatisaba masih melakoni pesugihan untuk memuluskan beberapa usaha mereka. Seperti Bangkring yang dikatakan Sitas melakukan pesugihan untuk menjadikan keleponnya terasa enak.
Selanjutnya, melalui dialog antara tokoh Mae dengan Kusi. Di sana digambarkan bagaimana pengajian menjadi telah beralih fungsi menjadi tempat melakukan ghibah oleh ibu-ibu. Kemudian ada juga kutipan dalam teks yang menjelaskan bahwa pengajian (yasinan) ramai didayangi bila ada yang hendak bersodaqoh saja. Selebihnya, mereka hanya ingin acara cepat selesai dan menikmati aneka hidangan pada acara pengajian tersebut.
“Masih sering yasinan, Mbak? Atau lihat totoan dara?” tanyaku lagi.
“Yasinan masih, Mae. Tapi bersama ibu-ibu. Aku tak berani mendekati totoan dara lagi. Katanya bulu burung dara tak bagus buat anak kecil. Lagipula isinya Cuma ghibah. Masyaallah.” (Akmal, 2011:58)
Ada yang hendak bersodaqoh. Oleh karena itu, Ya-sin dilangsungkan dengan cepat. Ibu-ibu semangat ingin segera selesai dan menikmati aneka hidangan tersebut. (Akmal, 2011:70)
Meskipun yasinan atau pengajian kerap dilakukan di Jatisaba, namun segalanya telah beralih fungsi. Pengajian tidak dipahami lagi sebagai suatu kegiatan untuk menimba ilmu agama, namun pengajian dijadikan ajang kampanye oleh para calon kepala desa. Pada kutipan lain juga digambarkan bahwa arisan kerap kali dilakukan disela-sela pengajian.
Aku ingat, pernah suatu kala, orang-orang Legok ingin menjadi lebih religius. Bapak, ibu dan anak-anak mereka, dari yang balita sampai yang remaja berbondong-bondong pergi ke mushola. Kemudian mereka mengadakan yasinan setiap malam jumat. Agar lebih bersemangat, diadakan arisan di sela-sela acara yasinan itu. Agar lebih semangat lagi, uang perolehan arisan itu dibelikan makan-minum buat peserta yasinan. (Akmal, 2011:61)
Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana kebiasan warga Jatisaba dalam mengadakan pengajian. Kehadiran mereka di pengajian bahkan dimotivasi oleh kegiatan arisan, dan makan-minum. Sudah pasti kegiatan yasinan tidak menjadi kegiatan agama, melainkan kegiatan bergosip dan menggunjing orang.
Kemiskinan agama yang tergambar dalam novel Jatisaba ini memiliki kesejajaran dan keterkaitan dengan realitas yang ada di masyarakat. Gambaran penduduk Jatisba yang masih mempercayai dukun bahkan santet, pada kenyataannya masih terjadi di masyarakat kita. Kepercayaan ini memang akan lebih sedikit ditemukan di wilayah perkotaan, namun jika kita melihat budaya dan kultur masyarakat desa, kepercayaan demikian akan mudah ditemukan. Seperti halnya masyarakat desa yang masih memilih pergi ke dukun beranak dari pada dokter di puskesmas ketika akan melahirkan anak.
Selain itu, faktor masih kentalnya budaya dan kultur masyarakat pedesaan yang masih memelihara kebudayaan dan adat istiadat desanya membuat kepercayaan ini tetap terpelihara. Sebab, kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka membuat para pewarisnya harus tetap mempertahankan hal tersebut. Seperti adanya dukun ketika akan melakukan upacara adat. Hal ini tetap mereka pelihara dan lakukan meskipun menentang ajaran agama.
Representasi kemiskinan agama mengenai kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal gaib, dukun, santet, dan sebagainya dapat dilihat kesejajarannya dengan realita yang muncul pada masyarakat Indonesia. Realita yang muncul bahkan bukan hanya terjadi di masyarakat pedesaan, namun juga dialami masyarakat yang tinggal di kota. Masyarakat kota yang notabene sudah lebih modern dari masyarakat desa, nyatanya tetap saja bisa mengalami kemiskinan agama seperti yang digambarkan dalam novel.
Hal ini dapat dilihat dari kasus yang mencuat baru-baru ini tentang Eyang Subur. Seseorang yang dikatakan sebagai guru spiritual ini membuka praktik perdukunan yang dianggap oleh sabagian masyarakat dapat memberikan keuntungan bagi mereka. Praktik perdukunan Eyang Subur ini akhirnya terbongkar, sehingga MUI kemudian mengeluarkan fatwa sesat terhadap dirinya. Seperti berita yang dikutip dari laman liputan6.com berikut ini.
MUI Diminta Keluarkan Fatwa Sesat Terhadap Eyang Subur
Liputan6.com, Jakarta: Ormas Islam Gerakan Reformasi Islam (Garis) mendesak Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk segera mengeluarkan fatwa sesat terhadap Eyang Subur. Mereka menolak dengan tegas segala praktek perdukunan yang dijalankan Eyang Subur.
"Kami minta supaya MUI serius memperhatikan masalah ini, ini masalah penistaan agama, tidak main-main. Segera keluarkan fatwa sesat terhadap Eyang Subur," ucap Ketua Garis DKI Jakarta, Haji Adang Nurmansyah saat menyampaikan orasinya di depan kantor MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Jumat (19/4/2013). Dia mengatakan, sebagai corong umat Islam di Indonesia, MUI wajib untuk menertibkan pelaku aliran sesat dan tindak penistaan agama kepada siapapun, termasuk Eyang Subur.
"Kami minta MUI menata kembali orang-orang yang disinyalir melakukan tindak penistaan agama. Ini yang terakhir kalau perlu ada orang yang menggunakan nama Eyang, semoga tidak ada lagi Eyang Eyang yang lainnya," harap dia.
Aksi dan orasi yang dilakukan ormas Islam pimpinan KH.Chep Hermawan ini juga dilakukan dengan membentangkan sejumlah spanduk yang menyatakan Eyang Subur terbukti melakukan ajaran sesat dan penistaan agama.(Gie/Mer) (liputan6.com)
Fatwa MUI yang mengatakan bahwa Eyang Subur mengajarkan ajaran sesat, menjadi penegasan adanya kesejajaran dan keterkaitan antara sikap warga Jatisaba yang masih mempercayai dukun dengan representasi kemiskinan agama di Indonesia. Realitas ini tidak hanya menggambarkan kondisi masyarakat desa saja. Akan tetapi, gambaran kemiskinan agama dalam novel juga merepresentasikan kondisi keumuman masyarakat Indonesia, yang seolah tidak bisa terlepas dari hal tersebut. Bahkan, kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal gaib ini seperti sudah menjadi karakter bangsa kita. Sebab perilaku yang demikian bisa saja hanya muncul di Indonesia dan sulit ditemukan di negara lain.
Dari deskripsi dan analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemiskinan agama (Islam) dalam novel ini terlihat sangat dominan dari tingkah laku warganya. Secara keseluruhan warga Jatisaba tidak ada yang memahami ilmu agama dengan baik, mereka banyak bergunjing juga menghina satu sama lain. Selain itu, beberapa diantara mereka juga ada yang menyekutukan Tuhan. Warga Jatisaba masih mempercayai ilmu-ilmu hitam dan takut pada dukun. Jika gambaran kemiskinan agama ini dikaitkan dengan realita yang ada, maka gambaran perilaku warga yang miskin agama dalam novel, merepresentasikan kondisi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Tidak hanya perilaku masyarakat desa, namun merepresentasikan perilaku masyarakat kota dari sejak dahulu hingga sekarang. 4.4 Hubungan Representasi Kemiskinan dengan Permasalah Sosial yang Muncul dalam Novel Jatisaba
Setelah melakukan analisis mengenai representasi kemiskinan dan menemukan kemiskinan apa saja terdapat dalam novel Jatisaba, selanjutnya peneliti akan menganalisis apakah kemiskinan-kemiskinan tersebut memengaruhi munculnya persoalan sosial yang diceritakan dalam novel. Hubungan ini akan peneliti kaji melalui aspek-aspek unsur intrinsik yang kemudian dikaitkan dengan aspek ekstrinsik novel. Melalui penelaahan itulah, peneliti akan mendapatkan jawaban bagaimana hubungan antara representasi kemiskinan yang muncul dalam novel dengan persoalan sosial yang menjadi temanya. Tema yang pengarang angkat sebagai gagasan utama dalam novel ini adalah kemiskinan yang juga menggambarkan persoalan human trafficking dengan modus pencarian Tenaga Kerja Indonesia. Selain hal tersebut, pengarang juga mengangkat persoalan sosial lain seperti permasalah politik desa dan seks.
Dalam persfekif sosiologis, masalah sosial sendiri sering disebut dengan social problem. Masalah sosial ini menjadi suatu gejala atau fenomena sosial dengan aspek kajian yang kompleks dan sangat luas. Masalah sosial didefinisikan oleh Soekanto (2003:362) sebagai ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, atau yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada, maka hal tersebut dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
Selanjutnya Aminuddin (1992:237) menjelaskan bahwa masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara realitas yang ada dengan nilai yang ada dalam masyarakat. Masalah sosial seringkali disebut sebagai suatu kondisi yang tidak diharapkan oleh orang banyak, semua masyarakat ingin memperbaiki persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Oleh karena masalah sosial dipengaruhi oleh gejala sosial yang kompleks, maka terjadinya masalah sosial sudah pasti dilatarbelakangi oleh berbagai alasan yang mendukungnya.
Berdasarkan definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa tema dan fenomena-fenomena dalam novel ini mengangkat persoalan sosial masyarakat Indonesia. Pertama adalah munculnya kemiskinan-kemiskinan yang tergambar dalam novel. Kemiskinan tersebut meliputi kemiskinan pendidikan, harta, moral dan agama. Ketika menganalisis representasi kemiskinan tersebut, peneliti menemukan jawaban bahwa kemiskinan-kemiskinan dalam novel merepresentasikan kemiskinan-kemiskinan dalam kenyataan.
Dalam analisis representasi kemiskinan pendidikan, peneliti menemukan adanya realitas sosial yang masuk ke dalam cerita sebagai hasil telaahan pengarang. Pengarang memunculkan gambaran kemiskinan pendidikan yang dititipkan kepada tokoh Sitas. Tokoh inilah yang menyimbolkan bagaimana gambaran kemiskinan pendidikan masyarakat pedesaan yang sebenarnya. Kesempatan memperoleh pendidikan yang sangat kecil dikarenakan faktor ekonomi, minimnya lembaga pendidikan di desa, sampai faktor geografis yang terletak jauh dari kota. Tidak hanya tokoh Sitas, dalam analisis latar sosial, peneliti menemukan salah satu kelompok sosial, yaitu karakter warga Dulbur yang pendidikannya lebih rendah dari kelompok sosial lain. Hubungan tokoh Sitas dengan Dulbur tentulah sangat dekat. Dilihat dari silsilah keluarga Jatisaba, Sitas masuk ke dalam keluarga Dulbur. Itu artinya, dalam novel ini, pengarang menggambarkan keadaan sosial warga Dulbur yang terbelakang dari segi pendidikan. Kemudian secara spesifik, pengarang menitipkan gambaran-gambaran tersebut melalui satu tokoh, yaitu Sitas.
Hubungan antara representasi kemiskinan pendidikan tersebut dengan permasalah sosial dalam novel yaitu memiliki hubungan kausalitas. Hubungan ini memiliki keterkaitan atau ketergantungan dari dua realitas, konsep, gagasa, ide, atau permasalahan. Sesuatu hal tidak akan mengalami akibat tanda disertai suatu sebab. Atau sebaliknya, suatu kegiatan tidak dapat menunjukan suatu sebab bila belum mengalami akibat. Hubungan ini tergambar dalam novel ketika tokoh Sitas pernah memiliki masa lalu sebagai korban perdagangan manusia bermodus pencari tenaga kerja. Diceritakan bahwa Sitas pernah memiliki masa lalu yang kelam ketika ia terkatung-katung atas janji-janji agen penyalur tenaga kerja. Berikut ini kutipan dalam novel.
“Ampuni aku, Mae. Aku trauma mendengar segala hal tentang TKI.”
“Ketika aku menjadi TKI, aku lupa bagaimana rasanya menjadi manusia, bagaimana rasanya jadi ibu. Tentu saja, aku dari sedikit orang yang sial. Kau bisa melihat nasib Lasinem, dia kaya raya dan sehat bugar setelah pulang bekerja di Hongkong. Aku memang sial.” Sitas mulai bercerita. (Akmal, 2011:142)
Kutipan di atas merupakan pengakuan Sitas terhadap Mae bahwa ia pernah menjadi TKI. Namun sayang, nasib sial menimpa Sitas. Ia malah terlantar di pengungsian dan dijual. Pernyataan Sitas tersebut menegaskan bahwa sebagai tokoh yang disimbolkan miskin pendidikan, Sitas berpeluang lebih besar menjadi korban perdagangan manusia. Kebodohan yang menimpa seseorang akan membuat orang itu mudah menjadi korban penipuan. Selain itu, kesempatan kerja bagi mereka pun semakin sempit. Sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka dalam bekerja, termasuk menjadi TKI.
Pernyataan tersebut didukung oleh hasil wawancara yang peneliti lakukan terhadap beberapa warga Cilacap mengenai persoalan pendidikan ini. Mereka menuturkan bahwa warga Cilacap memang paling banyak bekerja sebagai TKI. Mereka juga merepresentasikan sekitar 70% penduduknya memilih menjadi TKI yang didominasi oleh perempuan dan anak-anak. Ketika peneliti mencoba mengkonfirmasi alasan dibalik fenomena tersebut, narasumber menjelaskan bahwa hal tersebut dilatarbelakangi oleh pendidikan warga Cilacap yang rendah. Pendidikan yang mereka tempuh rata-rata hanya sampai lulusan Sekolah Menengah Pertama. Bahkan di beberapa tempat, masih banyak masyarakat yang hanya bersekolah hingga Sekolah Dasar. Jikapun ada yang melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Atas atau sampai berkuliah, jumlahnya sudah pasti sangat sedikit.
Dalam novel, hal ini terepresentasi melalui pikiran dan pandangan tokoh Bangkring terhadap pendidikan. Dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
“Semuanya sama, Mae. Menikah, punya anak, bikin rumah gedhek, mbawon ke sawah, atau keliling jual es. Kalau beruntung bisa dapat kios sempit di pasar kayak aku, jualan klepon.” (Akmal, 2011:64)
Kuipan di atas menjelaskan bahwa pilihan masyarakat Cilacap dalam menjalani hidup seolah hanya dibatasi oleh dua hal. Pertama, jika setelah SD atau SMP mereka tidak melanjutkan, maka bekerja atau menikah adalah pilihannya. Kedua, jikapun mereka bekerja, maka pekerjaan yang mereka pilih rata-rata adalah menjadi TKI. Hal ini dikarenakan pendidikan mereka yang rendah, sehingga tidak memungkinkan bekerja di tempat lain. Sekalipun tidak menjadi TKI, pekerjaan yang dapat mereka lakukan pun hanya sebatas menjadi buruh tani, tukang bangunan, pembantu rumah tangga.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka hubungan sebab akibat yang muncul adalah, karena pendidikan mereka rendah dan kesadaran akan pendidikan yang kurang, maka kesempatan kerja yang mereka terima juga semakin kecil. Jenis pekerjaan yang bisa mereka lakukan juga terbatas pada pekerjaan yang berpenghasilan rendah. Realitas yang muncul mengatakan bahwa warga Cilacap sebagaian besar memilih menjadi TKI, sehingga mereka berpeluang untuk menjadi korban dalam kasus perdagangan manusia berkedok agen TKI. Ketidakpahaman mereka bahwa mereka akan lebih mudah menjadi korbanpun, membuat kesempatan mereka untuk terjerat dalam kasus ini semakin semakin besar.
Dapat simpulkan bahwa, munculnya gambaran kasus perdagangan manusia dalam novel ini memiliki kaitan sebab akibat dengan gambaran kemiskinan yang juga dimunculkan dalam novel. Oleh karena itu, gambaran kemiskinan pendidikan yang menjadi sebab munculnya kasus perdagangan manusia dalam novel ini sedikit banyak akan menyadarkan pembaca bahwa pendidikan adalah pondasi utama yang harus dimiliki oleh masyarakat Indonesia agar tidak mudah menjadi korban perdagangan manusia.
Selanjutnya kemiskinan harta yang digambarkan dalam novel. Tidak jauh berbeda dengan kemiskinan pendidikan, selain Sitas, pengarang juga menggambarkan kondisi warga Dulbur yang sangat miskin. Pengaruhnya terhadap kemunculan masalah perdagangan manusia dengan modus TKI ini dengan representasi kemiskinan harta yang muncul adalah hubungan sebab akibat. Faktor ekonomi menjadi sebab mengapa masyarakat pedesaan menginginkan bekerja di luar negeri sebagai TKI. Faktor ekonomi ini pada awalnya muncul karena pendidikan mereka yang rendah. Mereka hanya bekerja sebagai buruh tani, pembantu, tukang bangunan dan sebagainya dengan penghasilan sangat kecil. Karena pekerjaan mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka itulah, mereka menjadi serba kekurangan dari segi ekonomi. Sehingga memunculkan sebab mengapa mereka bisa miskin dari segi materi atau harta.
Hal tersebut juga tergambar dalam novel. Kemiskinan harta yang muncul dalam novel, menjadi sebab mengapa mereka dengan senang hati menerima tawaran Mae untuk bekerja di luar negeri. Dapat dilihat dari analisis tokoh sampingan. Beberapa tokoh yang menjadi calon korban Mae didominasi oleh orang Dulbur dan Legok, yaitu kelompok masyarakat yang oleh pengarang digambarkan sangat miskin secara ekonomi. Tokoh-tokoh tersebut adalah Musri, Sanis, Besuk, Gebog, Gutheng, dan Bangkring (lihat hasil analisis tokoh tambahan hal. 76-93). Beberapa alasan yang melatarbelakangi mereka menjadi TKI adalah karena mereka merasa sudah tidak memiliki pengharapan untuk hidup di desa. Untuk itu mereka memilih keluar dari Jatisaba dan ikut bersama Mae.
Gambaran di atas memiliki kesesuaian dengan pendapat narasumber yang berasal dari Cilacap. Mereka mengatakan bahwa hampir seluruh hidup orang Cilacap banyak dihabiskan untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia. Alasan utama yang mendorong mereka untuk pergi dari kampungnya dikarenakan faktor ekonomi. Diibaratkan ketika mereka ingin membangun rumah, maka mereka akan pergi menjadi tenaga kerja. Sepulangnya dari luar negeri, kemudian mereka menginginkan memiliki kendaraan bermotor, maka mereka juga akan kembali berangkat ke luar negeri. Demikian seterusnya dan terjadi berulang-ulang. Bahkan beberapa diantara mereka pernah pulang dengan babak belur, sakit, dan dihamili majikannya. Namun peristiwa tersebut sama sekali tidak membuat mereka jera untuk kembali bekerja ke luar negeri. Bahkan jika mereka tidak bisa berangkat lagi, maka mereka akan menyuruh anak-anak mereka untuk berangkat menjadi TKI.
Selain itu, representasi dalam kenyataan yang ada, disampaikan juga oleh narasumber. Dijelaskan bahwa para calon tenaga kerja tersebut didominasi oleh kaum perempuan. Perempuan-perempuan tersebut akan memilih bekerja ke luar negeri, sementara suami-suami mereka tinggal di desa dan mengurus anak-anak mereka. Bersasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan sudah pasti memiliki berpeluang lebih besar menjadi korban kejahatan tenaga kerja. Tidak hanya penyiksaan atau pemerkosaan saja, namun peluang untuk terjerat dalam lingkaran perdagangan manusia pun sama besarnya. Hal tesebut diperkuat dari data yang peneliti peroleh dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang meneliti persoalan tersebut.
Dikarenakan dalam menganalisis sosiologi sastrra dikatakan bahwa karya sastra tidak hanya merepresentasikan kondisi masyarakat yang menjadi latar cerita, namun bisa juga merepresentasikan kondisi masyarakat lainnya. Berdasarkan hasil analisis kemiskinan harta yang telah dilakukan sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa gambaran kemiskinan yang muncul dalam novel tidak hanya tertuju pada gambaran masyarakat Cilacap, Jawa Tengah saja. Akan tetapi menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia secara umum. Salah satunya terjadi pada masyarakat Jawa Barat dan masyarakat Indonesia di provinsi lainnya. Untuk itu, selanjutnya peneliti akan memaparkan data yang bersumber dari LSM untuk memperkuat hal tersebut.
LSM yang bernama Institut Perempuan dan Jaringan Gerakan Anti Trafiking Jawa Barat ini lebih memfokuskan penelitian pada kasus-kasus buruh migran yang terjadi di Jawa Barat. Data yang peneliti peroleh dari LSM tersebut yaitu berupa catatan pemantauan kasus-kasus trafficking dan eksploitasi buruh migran di Jawa Barat (Januari 2009-Juni 2011). Dari data tersebut, peneliti akan memaparkan hubungan representasi kemiskinan tersebut dengan persoalan perdagangan manusia yang tergambar dalam novel. Selama Januari 2009 - Juni 2011, terdapat 161 kasus-kasus trafficking dan eksploitasi buruh migran di Jawa Barat. Dilihat dari jumlah korban kekerasan yang dialami perempuan dan anak di Jawa Barat, paling banyak terjadi pada kasus trafficking (85 kasus), hilang kontak (33 kasus) dan kasus kekerasan terhadap PRT migran (10 kasus). Berikut ini pemaparan dalam tabel. Tabel 4.1 Jumlah Kasus | No | Jenis Kasus | Jumlah Kasus | Presentase (%) | 1 | Trafficking | 67 | 41,6 | 2 | Kekerasan terhadap PRT Migran | 10 | 6,2 | 3 | Perkosaan | 1 | 0,6 | 4 | KDRT | 1 | 0,6 | 5 | Hilang kontak PRT Migran | 33 | 20,4 | 6 | Penipuan | 11 | 6,8 | 7 | Kasus pra penempatan | 22 | 13,6 | 8 | Lain-lain (asuransi) | 16 | 9,9 | Total | 161 | 100 |
Tabel 4.2 Jumlah Korban | No | Jenis Kekerasan | Jumlah Korban | 1 | Trafficking | 85 | 2 | Kekerasan terhadap PRT Migran | 10 | 3 | Perkosaan | 1 | 4 | KDRT | 1 | 5 | Hilang kontak PRT Migran | 34 | 6 | Penipuan | 11 | 7 | Kasus pra penempatan | 18 | 8 | Lain-lain (asuransi) | 10 |
Dari tabel di atas, dapat dilihat dari jumlah kasus dan jumlah korban, keduanya menunjukkan bahwa trafficking masih menjadi kasus yang paling banyak menelan korbannya. Selain itu, tabel berikut ini menggambarkan korban menurut jenis kelaminnya. Dari 161 kasus yang terjadi, menempatkan perempuan sebagai korban yang paling banyak mengalami kekerasan. Tabel 4.3 Korban Menurut Jenis Kelamin | No | Jenis Kekerasan | Jumlah Korban | 1 | Perempuan | 150 | 2 | Laki-laki | 11 | Jumlah | 161 |
Gambaran di atas memperlihatkan bahwa perempuan mencatatkan angka yang tinggi sebagai korban dari tindakan kejahatan yang terjadi. Sesuai dengan pernyataan narasumber yang mengatakan bahwa mayoritas masyarakat Cilacap yang bekerja di luar negeri merupakan perempuan. Selanjutnya, data kasus trafficking yang dihimpun International Organization for Migration (IOM) dari tanggal Maret 2005-Juni 2011, menempatkan propinsi Jawa Barat sebagai profinsi di Indonesia yang menduduki rangking pertama dalam jumlah korban trafficking. Tabel 4.4 Data Banyaknya Korban Trafficking di Indonesia | No | Propinsi | Jumlah | Presentase (%) | 1 | Jawa Barat | 920 | 23,33 | 2 | Kalimantan Barat | 722 | 18,31 | 3 | Jawa Timur | 478 | 12,12 | 4 | Jawa Tengah | 445 | 11,29 | 5 | Sumatra Utara | 256 | 6,49 | 6 | Nusa Tenggara Barat | 256 | 6,49 | 7 | Lampung | 194 | 4,92 | 8 | Nusa Tenggara Timur | 168 | 4,26 | 9 | Sumatra Selatan | 74 | 1,88 | 10 | Banten | 86 | 2.18 | 11 | Sulawesi Selatan | 62 | 1,57 | 12 | DKI Jakarta | 63 | 1,60 | 13 | Aceh | 28 | 0,71 | 14 | DI Yogyakarta | 20 | 0,51 | 15 | Sulawesi Tengah | 24 | 0,61 | 16 | Jambi | 15 | 0,38 | 17 | Sulawesi Tenggara | 12 | 0,30 | 18 | Sulawesi Barat | 11 | 0,28 | 19 | Kepulauan Riau | 11 | 0,28 | 20 | Riau | 9 | 0,23 | 21 | Sumatra Barat | 8 | 0,20 | 22 | Sulawesi Utara | 8 | 0,20 | 23 | Maluku | 5 | 0,13 | 24 | Bengkulu | 6 | 0,15 | 25 | Kalimantan Selatan | 7 | 0,18 | 26 | Kalimantan Timur | 3 | 0,08 | 27 | Gorontalo | 2 | 0,05 | 28 | Bali | 1 | 0,03 | 29 | Kalimantan Tengah | 1 | 0,03 | 30 | Papua | 4 | 0,10 | 31 | Kepulauan Bangka-Belitung | 1 | 0,03 | 32 | Tidak ada data | 43 | 1,09 | Total | 3.943 | 100 | Sumber: International Organization for Migration, 2011 |
Data di atas memperlihatkan bahwa Jawa Barat menduduki peringkat tertinggi untuk kasus perdagangan manusia. Mayoritas korban di Jawa Barat adalah perempuan, sedangkan untuk mayoritas korban di Kalimantan Barat adalah laki-laki dan anak-anak. Selanjutnya adalah data yang menyatakan dari mana korban berasal. Pada tabel di bawah ini, terlihat bahwa Cirebon mencatatkan angka yang paling tinggi jika dibandingkan tempat-tempat yang lain. Tabel 4.5 Korban Berdasarkan Asal Daerah | No | Jenis Kasus | Jumlah Kasus | Presentase (%) | 1 | Indramayu | 33 | 39 | 2 | Cirebon | 36 | 42,3 | 3 | Subang | 7 | 8,2 | 4 | Kuningan | 3 | 3,5 | 5 | Garut | 1 | 1,1 | 6 | Purwakarta | 2 | 2,4 | 7 | Sukabumi | 1 | 1,1 | 8 | Tidak diketahui | 2 | 2,4 | Total | 85 | 100 |
Berdasarkan pemaparan dan data-data yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara representasi kemiskinan harta dengan permasalahan ini adalah hubungan sebab akibat. Faktor kemiskinan secara ekonomi masih menjadi sebab mengapa masyarakat Indonesia memilih menjadi tenaga kerja di luar negeri. Harapan dan keinginan untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak adalah alasan utamanya. Namun sayangnya hal tersebut tidak ditunjang oleh pengetahuan mereka tentang kasus-kasus yang mungkin tejadi pada buruh migran. Sehingga, munculnya kasus perdagangan manusia ini selain disebakan oleh faktor ekonomi, dudukung juga oleh pendidikan yang rendah.
Di samping itu, dapat dikatakan bahwa gambaran mengenai permasalah sosial dalam novel merupakan representasi atas kasus-kasus sosial yang memang terjadi di masyarakat kita. Kasus tersebut tidak hanya merepresentasikan kasus yang terjadi di daerah Cilacap saja, namun juga menggambarkan kasus yang terjadi di Indonesia. Dapat dilihat dari data tabel-tabel yang dipaparkan sebelumnya, kasus kekerasan pada buruh migran yang merupakan kasus perdagangan manusia ini banyak terjadi di daerah pedesaan. Seperti halnya Jawa Barat yang menempati angka paling tinggi dalam kasus ini didominasi oleh daerah-daerah pedesaan, yaitu Cirebon dan Indramayu. Oleh karena itu, gambaran kemiskinan ekonomi dan persoalan perdagangan manusia ini merepresentasikan realita sosial masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di pedesaan.
Berikutnya adalah representasi kemiskinan moral yang tergambar melalui persoalan kecurangan dalam berpolitik. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, latar suasana dalam novel ini adalah gambaran suasana pemilihan yang tegang dan sangat panas di Jatisaba diwarnai oleh berbagai praktik kecurangan dalam pemilihan umum. Hal yang paling jelas terlihat adalah munculnya kasus politik uang (money politic) dalam proses pemilihan kepala desa. Politik uang ini dilakukan oleh semua calon kepala desa. Diceritakan dalam novel bahwa para calon gemar membagi-bagikan sembako dan uang kepada warga. Perilaku politik uang ini adalah akibat dari miskinnya moral warga Jatisaba. Dapat dilihat dari pelakunya. Pelaku politik uang ini adalah semua calon kepala desa yang notabene harus memiliki moral yang baik. Namun sayang, moral tersebut tidak dimiliki oleh ketiga calon kepala desa tersebut.
Selain melakukan politik uang, para calon juga kerap kali melakukan kampanye terselubung yaitu dengan mengancam warga agar mau memilih mereka. Perilaku tersebut menggambarkan bagaimana para calon pemimpin rela melakukan cara apapun agar dapat memperoleh kekuasaan. Karena hal tersebut, bisa saja memunculkan perilaku-perilaku yang lebih tidak bermoral lainnya di kemudian hari. Seperti munculnya kasus-kasus korupsi yang menimpa beberapa pejabat di negara kita. Kasus-kasus korupsi yang muncul di negara kita ini dikarenakan bobroknya moral para pemimpin. Pemimpin di Indonesia seakan tidak takut dan malu lagi ketika melakukan kecurangan dalam pekerjaan mereka. Hal tersebut yang tergambar dalam novel. Gambaran calon kepala desa di Jatisaba ini memperlihatkan bahwa kemiskinan moral pada pemimpin kita sudah memasuki wilayah-wilayah yang lebih kecil, yaitu kepala desa.
Terakhir adalah hubungan representasi kemiskinan agama dengan persoalan seks yang digambarkan dalam novel. Seperti ketiga representasi kemiskinan lainnya, kemiskinan agama juga memiliki hubungan sebab akibat dengan persoalan seks. Gambaran kemiskinan agama dalam novel ini, menjadi alasan mengapa perilaku seks bebas yang dilakukan oleh tokoh Mae dengan lelaki-lelaki yang bukan suaminya menunjukkan adanya kebobrokan dari segi agama dan juga moral. Pengarang ingin mengangkat perilaku Mae ini sebagai representasi dari keadaan sosial kita saat ini. Pelacuran yang semakin meluas dan karakter masyarakat kita yang semakin tidak tahu malu bisa dijadikan perbandingan dengan perilaku Mae dalam novel.
Dari keempat hubungan representasi kemiskinan dengan permasalah sosial dalam novel, peneliti menemukan hubungan kausalitas antara keduanya. Artinya, representasi kemiskinan-kemiskinan yang muncul dalam novel menjadi faktor yang menyebabkan mengapa persoalan sosial dalam novel bisa muncul. 4.5 Model Representasi Kemiskinan
Setelah melakukan analisis keseluruhan terhadap unsur dalan novel ini, tergambar dengan jelas bahwa novel ini merepresentasikan kemiskinan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Representasi kemiskinan itu pula yang menjadi sebab munculnya persoalan sosial yang tergambar dalam novel. Persoalan sosial yang juga merepresentasikan masalah-masalah yang ada di masyarakat kita. Seperti kasus perdagangan manusia, kecurangan dalam berpolitik, sampai gambaran perilaku seks bebas. Dalam merepresentasikan kemiskinan-kemiskinan dalam novel ini, pengarang tidak sekadar memberi gambaran yang seadanya. Namun, pengarang berupaya memberi makna terhadap representasi kemiskinan yang digambarkannya itu. Pemaknaan tersebut tercermin dalam tema, tokoh, latar, serta sudut pandang yang digunakan pencerita.
Seperti yang telah dijabarkan dalam analisis sebelumnya, novel ini mengangkat tema mengenai kemiskinan, kasus human trafficking dengan modus pencarian Tenaga Kerja Indonesia (TKI), gambaran kecurangan dalam berpolitik, dan seks bebas. Dari keempat tema tersebut, hal yang paling ingin digambarkan oleh pengarang adalah mengenai kasus perdangan manusia (human trafficking). Melalui ide cerita tersebut, pengarang tidak hanya menggambarkan mengenai kasus human trafficking, namun pengarang memberikan pandangan juga potret sosial lain pengenai kemiskinan di desa yang menjadi sebab munculnya persoalan tersebut. Persoalan kemiskinan dipotret secara jelas oleh pengarang melalui rangkaian peristiwa yang terjadi di dalamnya. Sehingga tergambarlah kemiskinan pendidikan, kemiskinan harta, kemiskinan moral dan kemiskinan agama.
Melalui tema tersebut, pengarang ingin menujukkan bahwa persoalan kemiskinan merupakan persoalan sosial yang tidak pernah terselesaikan. Karena persoalan kemiskinan pula, dalam analisis hubungan representasi kemiskinan dengan kemunculan persoalan sosial, peneliti menemukan kaitan diantara keduanya. Kaitan yang muncul adalah hubungan kausalitas, atau sebab yang mengakibatkan. Persoalan kemiskinan menjadi sebab utama mengapa warga Jatisaba dapat dengan mudahnya terjerat dalam lingkaran perdagangan manusia. Keempat kemiskinan yang muncul tersebut memberikan kaitan pada tema cerita ini. Berdasarkan gambaran tersebut, maka model representasi kemiskinan yang digunakan oleh pengarang adalah model aktif. Hal ini karena dalam representasi tersebut, terdapat pemaknaan yang berupa kritik terhadap kenyataan yang digambarkan. Kritikan tersebut yaitu berupa gugatan.
Representasi berupa penggambaran dan penghadiran kemiskinan dari kenyataan yang ada sehari-hari ke dalam novel terlihat dari peran, pandangan dan tingkah laku tokoh-tokohnya. Apa yang digambarkan tersebut merepresentasikan apa yang terjadi di dalam masyarakat. Adapun dipermasalahkannya representasi kemiskinan tersebut tampak lewat hadirnya tokoh Sitas dan Mae yang dalam novel menjadi tokoh hibrid. Dalam satu sisi, tokoh Mae dan Sitas ini seperti merepresentasikan kemiskinan-kemiskinan tersebut. Namun dalam bagian lainnya, Mae dan Sitas justru memberikan pandangan dan gugatannya terhadap kemiskinan-kemiskinan tersebut. Melalui sudut pandang pencerita, yang dalam hal ini bertindak sebagai tokoh Mae, gugatan-gugatan mengenai kemiskinan tersebut lebih banyak muncul.
Setelah memberikan gambaran tentang representasi kemiskinan yang hadir dalam kehidupan masyarakat melalui novel kemudian mempermasalahkannya, akhirnya novel ini menggugat kemiskinan tersebut dan bermaksud mengubah tatanan yang ada. Gugatan tersebut muncul melalui tindakan tokoh Sitas pada akhir cerita. Tindakan Sitas pada awal cerita seperti melakukan dukungan terhadap tindakan-tindakan Mae yang memanfaatkan kemiskinan masyarakat Jatisaba untuk dijadikan korban perdagangan manusia berkedok penyalur tenaga kerja. Namun ketika akhir cerita, saat Mae akhirnya tertangkap oleh polisi karena tindakannya tersebut, pembaca akan dikagetkan dengan kenyataan dalam novel bahwa yang melaporkan Mae ke polisi adalah Sitas.
Gugatan yang muncul yaitu, masyarakat kita didorong agar tidak takut dan ragu untuk melaporkan segala tindakan yang mencurigakan disekitarnya. Masyarakat yang biasanya takut dan enggan melaporkan kasus yang demikian, digiring pola pikirnya untuk berubah dan menjadi berani untuk melapor. Melalui tokoh Sitas inilah pengarang memberikan gugatan bahwa kemiskinan yang membelenggu masyarakat pedesaan jangan dijadikan alasan mereka untuk tidak mau berlawan. Terutama tokoh Sitas yang menjadi simbol perempuan. Bahwa perempuan yang lebih banyak menjadi korban harus berani membela dirinya sendiri dan sesama kaumnya. Selain melalui tokoh Sitas, gugatan itu juga bisa disimpulkan berdasarkan keseluruhan unsur dan isi novel.
Tidak hanya gambaran perdagangan manusia. Dalam novel ini, pengarang juga memberikan kritik berupa gugatan terhadap potret pemilihan umum di Indonesia. Gambaran kasus-kasus kecurangan dalam pemilihan kepala desa di Jatisaba merepresentasikan kondisi sebenarnya pemilihan umum di Indonesia. Melalui tingkah laku beberapa tokoh yang mencibir dan merasa terganggu akan tindakan politik uang, kampanye terselubung dan ancaman-acaman, pengarang bermaksud menggugat hal tersebut. Bahwa kecurangan dalam pemilihan umum tersebut sebenarnya sangat mengganggu dan meresahkan masyarakat. Sikap para calon yang menghambur-hamburkan uang untuk kampanye, digambarkan sebagai tindakan yang melukai masyarakat miskin yang jelas-jelas lebih membutuhkan uang.
Pada novel ini, kritikan yang berupa gugatan disampaikan secara halus. Pengungkapan tidak dilakukan secara langsung, melainkan secara eksplisit melalui unsur-unsur yang membentuk novel. Hal yang mendukung teknik gugatan secara tidak langsung ini adalah melalui sudut pandang yang dipergunakan pengarang, yaitu sudut pandang orang pertama. Pengarang bertindak sebagai tokoh utama, yaitu Mae. Sehingga, melalui tokoh utamanya itulah pengarang banyak memberikan gambaran-gambaran kemiskinan yang berangkat dari kenyataan sosial. Selain itu, gugatan juga muncul melalui penggambaran tokoh dan peristiwa. Pengarang dapat membuat pembaca terlibat secara emosional, yaitu berempati terhadap tokoh-tokoh yang dikehendaki pengarang, yang dalam hal ini tokoh-tokoh yang menjadi korban dari gambaran kemiskinan.
Oleh karena itu, novel ini berusaha mengkritik dan menggugat sikap masyarakat yang cenderung menerima terhadap kemiskinan dan persoalan sosial yang terjadi di sekitarnya. Melalui gugatan tersebut diharapkan masyarakat bisa mengkaji ulang pandangannya mengenai perilaku dan pola pikir yang keliru tersebut. Dengan mengkaji ulang, diharapkan masyarakat pedesaan khususnya menjadi sadar untuk mengubah sistem juga tatanan kehidupan yang selama ini seolah telah membentuk pola pikir masyarakat Indonesia. 4.6 Kesimpulan tentang Representasi Kemiskinan
Jatisaba merupakan sebuah novel yang menceritakan tentang kehidupan sebuah kampung bernama Jatisaba dengan sekelumit persoalannya. Jatisaba adalah nama sebuah Dusun, di Desa Katangmangu, Kroya, Cilacap, yang merupakan daerah asal pengarang, yaitu Ramayda Akmal. Dari hasil analisis representasi kemiskinan terhadap unsur-unsur intrinsik pada novel Jatisaba, maka dapat diketahui bahwa novel ini merepresentasikan kondisi kemiskinan di Cilacap. Namun, lebih luasnya lagi, kemiskinan-kemiskinan yang dimunculkan dalam novel ini juga merepresentasikan kondisi masyarakat Indonesia yang sampai hari ini masih terbelenggu dengan persoalan kemiskinan. Hasil analisis tersebut didukung dari hasil studi pustaka yang peneliti lakukan dengan ditambah wawancara narasumber dan lembaga terkait.
Kemiskinan yang muncul dalam novel ini yaitu kemiskinan pendidikan, kemiskinan harta, kemiskinan moral, dan kemiskinan agama. Pencerminan tersebut dapat dilihat dari setiap unsur yang membangun cerpen ini, yaitu tokoh dan penokohan, plot, latar, tema, sudut pandang, dan bahasa. Dari unsur-unsur tersebut misalnya, kita menemukan sikap tokoh Sitas yang mencerminkan kemiskinan. Hal ini dapat terlihat dari analisis tokoh Sitas yang meliputi latar belakang tokoh, analisis fisik, dan analisis mental tokoh. Selain itu, gambaran latar suasana yang telah peneliti analisis pada bagian sebelumnya juga menggambarkan kemiskinan yang terjadi di Jatisaba.
Pertama adalah gambaran kemiskinan pendidikan direpresentasikan oleh tokoh Sitas yang menjadi simbol dari warga Jatisaba yang memiliki pendidikan yang rendah. Melalui analisis latar sosial, yaitu masyarakat Dulbur, pengarang juga memberikan gambaran bahwa kemiskinan masih mendominasi kehidupan masyarakat pedesaan. Dalam analaisis gambaran kemiskinan pendidikan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa kemiskinan tersebut merepresentasikan rendahnya pendidikan masyarakat kita, terutama masyarakat yang berada dan tinggal di lingkungan terpencil. Simpulan tersebut peneliti perkuat dengan beberapa data yang peneliti paparkan pada saat melalakukan analisis.
Kedua adalah gambaran kemiskinan harta yang juga direpresentasikan oleh tokoh Sitas. Sitas kembali menjadi simbol masyarakat Jatisaba yang serba kekurangan dari segi finansial atau ekonomi. Pengarang banyak melalakukan penggambaran ini melalui tingkah laku dan status sosial tokoh Sitas. Selain itu, sama halnya dengan gambaran kemiskinan pendidikan, pengarang juga memberikan gambaran kemiskinan harta melalui analisis latar sosial yang dibagi menjadi tiga kelompok sosial. Kelompok sosial tersebut meliputi warga Dulbur, Legok dan Wong Tiban. Melalui warga Dulbur, pengarang memberikan gambaran atas kemiskinan harta. Gambaran kemiskinan harta tersebut kembali menjadi representasi akan gambaran kemiskinan harta yang terjadi di dalam masyarakat Cilacap dan masyarakat Indonesia. Analisis representasi ini didasarkan atas data-data yang menjelaskan hal tersebut.
Selanjutnya adalah gambaran kemiskinan moral dengan diperlihatkannya suasana pemilihan kepala desa di Jatisaba yang tidak sehat. Gambaran kemiskinan moral ini juga merepresentasikan kultur dan sikap masyarakat Indonesia yang kerap kali melakukan kecurangan dalam berpolitik. Politik uang yang mewarnai pemilihan kepala desa di Jatisaba, mengingatkan kita akan beberapa kasus serupa yang terjadi dalam pemilihan umum di Indonesia. Selain itu, gambaran kemiskinan moral dalam novel juga diperlihatkan melalui perilaku tokoh Mae yang gemar melakukan hubungan seks dengan laki-laki yang bukan suaminya. Hal ini juga merepresentasikan perempuan-perempuan di Indonesia yang gemar melakukan hubungan seks demi kepuasan semata. Untuk itu, melalui gambaran kemiskinan moral ini, pengarang ingin memberikan kritik bahwa persoalan moral di Indonesia sampai saat ini belum menemui solusinya.
Terakhir adalah gambaran kemiskinan agama yang diperlihatkan melalui sikap tokoh dalam novel yang gemar bergunjing dan masih mempercayai dukun, santet dan semacamnya. Pada analisis ini, kemiskinan agama yang dimaksudkan adalah kemiskinan agama berdasarkan pandangan agama Islam. Warga di Jatisaba digambarkan tidak takut kepada hal apapun, termasuk Tuhan. Hal ini merepresentasikan kondisi masyarakat Indonesia pedesaan di Indonesia yang masih mempercayai hal demikian.
Pendidikan yang rendah dan dipengaruhi oleh tingkat ekonomi yang juga rendah, membuat pola pikir masyarakat pedesaan yang mempercayai santet dan praktik perdukunan. Namun tidak hanya masyarakat Indonesia yang tinggal di pedesaan, perilaku miskin agama ini juga terepresentasi pada masyarakat Indonesia yang tinggal di kota. Selain itu, landasan agama yang kurang juga menjadi sebab mengapa hal ini bisa terjadi. Jika pendidikan agama yang diterima oleh seseorang kuat, maka dia dapat membedakan yang hak dan yang bathil. Akan tetapi sebaliknya, jika pendidikan agama yang diterimanya kurang, maka orang tersebut akan mudah terpengaruh pada perilaku yang nistakan agama, salah satunya menyekutukan Tuhan.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa gambaran kemiskinan-kemiskinan dalam novel merepresentasiskan kenyataan dalam masyarakat, dalam hal ini masyarakat Indonesia. Kenyataan yang dicerminkan tersebut antara lain adalah kenyataan sosial yang ada di daerah Cilacap, yakni daerah yang menjadi latar tempat dalam novel, dan kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, terutama gambaran masyarakat pedesaan.