Free Essay

Resume Analisis Ketimpangan Pembangunan Ekonomi

In:

Submitted By besdris93
Words 15296
Pages 62
RESUME

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN
EKONOMI DI PROVINSI JAWA TENGAH

UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2008

ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu 1981 sampai dengan 2005 dan mengidentifikasi faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi ketimpangan tersebut. Data yang digunakan peneliti adalah data sekunder yang terdiri dari data runtut waktu dari 1981 sampai dengan 2005 yang diperoleh dari Kantor Statistik, Kantor
Badan Penanama Modal dan BAPPEDA Provinsi Jawa Tengah.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ketimpangan pembangunan ekonomi di
Provinsi Jawa Tengah yang diukur dengan Indesk Williamson dalam kurun waktu 1981 sampai dengan 2005 cenderung relatif meningkat.
Berdasarkan perhitungan diketahui bahwa hasil investasi swasta perkapita
(X1) menunjukkan t hitung sebesar -2,362, variabel ratio angkatan kerja (X2) menunjukkan t hitung sebesar -2,128, variabel alokasi dana pembangunan perkapita
(X3) menunjukkan t hitung sebesar 7,184 dengan angka signifikansi lebih kecil 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa variabel bebas secara parsial dan signifikan berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah.
Nilai F hitung sebesar 1,899, dengan angka signifikansi sebesar 0,000 (0,000 < 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga variabel independen yaitu investasi swasta perkapita, ratio angkatan kerja, dan alokasi dana pembangunan perkapita secara bersama – sama berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi
Jawa Tengah. Ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah dapat dijelaskan oleh variasi dari ketiga variabel independen yaitu investasi swasta perkapita, ratio angkatan kerja, dan alokasi dana pembangunan perkapita sebesar 93,7 persen sedangkan sisanya sebesar 6,3 persen dijelaskan faktor-faktor lainnya di luar model.

Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat dan hidayatnya kepada penyusun, sehingga dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul
Analisis Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah.
Dalam kesempatan ini penyusun dengan kerendahan hati mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada :
1. Bapak Dr. Dwisetia Poerwono, MSc selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro Semarang.
2. Bapak Prof. Dr. FX. Sugiyanto, MS. selaku pembimbing utama dalam penyusunan tesis ini.
3. Ibu Dra. Tri Wahyu, MSi. selaku pembimbing pendamping dalam penyusunan tesis ini. 4. Bapak dan ibu Dosen Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menuntut ilmu di Universitas
Diponegoro.
5. Bapak Gubernur Provinsi Jawa Tengah, yang telah memberikan kesempatan kepada penyusun untuk melanjutkan studi di Magister Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan di
Universitas Diponegoro Semarang.
6. Bapak Kepala Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Tengah.
7. Bapak Kepala Badan Kepegawaian Provinsi Jawa Tengah.
8. Bapak Kepala Biro Organisasi dan Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi Jawa
Tengah.
vi
9. Bapak Kepala Bagian Akuntansi pada Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi
Jawa Tengah.
10. Bapak Kepala Badan Pusat Statistik Jawa Tengah.
11. Ayahanda dan Ibunda, yang memberikan restu sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
12. Istri yang tercinta, yang memberikan dorongan, semangat dalam penyusunan tesis ini 13. Rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penulisan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih terdapat kekurangankekurangan, meskipun sudah diupayakan semaksimal mungkin mengingat keterbatasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Sehubungan dengan hal tersebut, segala kritik dan saran terhadap tulisan ini dengan senang hati diterima demi penyempurnaan penulisan dikemudian hari
Semarang, 26 Pebruari 2008
Penyusun

Budiantoro Hartono.

DAFTAR ISI
Halaman Judul ...................................................................................................... i
Halaman Persetujuan .............................................................................................. ii
Halaman Pengesahan ........................................................................................... iii
Halaman Pernyataan ............................................................................................... iv
Abstraksi ................................................................................................................. v
Kata Pengantar ..................................................................................................... vi
Daftar Tabel ......................................................................................................... viii
Daftar Gambar ...................................................................................................... ix
Daftar Lampiran .................................................................................................... x
Bab I Pendahuluan ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 6
Bab II Tinjauan Pustaka ............................................................................. 8
2.1 Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ................................. 8
2.2 Teori Pembangunan Ekonomi Daerah ....................................... 9
2.3 Konsep Ketimpangan Ekonomi Antar Daerah ............................ 13
2.4 Investasi ........................................................................................ 25
2.5 Angkatan Kerja ............................................................................. 26
2.6 Alokasi Dana Bantuan Pembangunan Daerah .............................. 27
2.7 Indeks Williamson ........................................................................ 28
2.8 Penelitian Terdahulu ..................................................................... 28
2.9 Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................ 31
2.10 Hipotesis ....................................................................................... 34
Bab III Metode Penelitian ............................................................................. 35
3.1 Definisi Operasional .................................................................... 35
3.2 Jenis dan Sumber Data ................................................................ 36
3.3 Tekni Analisis ............................................................................. 37
3.3.1 Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah ......................... 37
3.3.2 Variabel berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan antar daerah .......................................................................... 38
3.3.3 Uji Asumsi Klasik .............................................................. 40
3.3.4 Uji Statistik ......................................................................... 42 xi Bab V Hasil Data dan Pembahasan .............................................................. 57
5.1 Tingkat Ketimpangan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah ............ 57
5.2 Pengujian Asumsi Klasik .............................................................. 59
5.2.1 Uji Normalitas Data ............................................................. 59
5.2.2 Uji Multikolinieritas ............................................................. 60
5.2.3 Uji Autokorelasi ................................................................... 61
5.2.4 Uji Heteroskedastisitas ......................................................... 62
5.3 Pembahasan ................................................................................... 63
Bab VI Penutup ................................................................................................. 71
6.1 Kesimpulan ................................................................................... 71
6.2 Saran .............................................................................................. 72
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran-Lampiran

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Ketimpangan, pemerataan, dan infrastruktur sebenarnya telah dikenal cukup lama di Indonesia, misalnya melatar belakangi program padat karya berbagai pembangunan infrastruktur, seperti dalam program alam program perbaikan kampung seperti jalan, pos kampling, jalan, sungai, irigasi dan lain-lain; berbagai program jaring pengaman sosial; pembangunan jaringan infrastruktur di pedesaan, seperti jalan, irigasi, listrik, telepon, pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Ketimpangan yang paling lazim dibicarakan adalah ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi sering digunakan sebagai indikator perbedaan pendapatan per kapita rata-rata, antar kelompok tingkat pendapatan, antar kelompok lapangan kerja, dan atau antar wilayah.
Pendapatan per kapita rata-rata suatu daerah dapat disederhanakan menjadi Produk Domestik Regional Bruto dibagi dengan jumlah penduduk.
Cara lain yang bisa digunakan adalah dengan mendasarkan kepada pendapatan personal yang didekati dengan pendekatan konsumsi (Widiarto,
2001). Dalam pengukuran ketimpangan pembangunan ekonomi regional digunakan Indeks Williamson.
Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia yang diukur dengan indeks
Williamson dari Tahun 1971 hingga Tahun 1990 berkisar antara 0,396 sampai 0,484. Hal ini menunjukkan ada peningkatan ketimpangan ekonomi regional tetapi masih relatif sedang. Indek ketimpangan ekonomi regional dari Tahun 1991 hingga 1997 berkisar 0,643 sampai 0,671 berarti mengalami kenaikan cukup tinggi (Sjafrizal, 1997).
Studi empiris dari Brodjonegoro (1999) dan Mahi (2000) dengan menggunakan PDRB per kapita menurut harga konstan 1993 menunjukkan bahwa Indeks Williamson tahun 1995 tercatat sebesar 0,716. Pada tahun
1996, Indeks Williamson mengalami penurunan mecapai 0,712. Dan Tahun
1997, Indeks Williamson mengalami kenaikan mencapai 0,713 sebagai akibat dari krisis ekonomi di Indonesia (Thulus Tambunan, 2001).
Namun demikian, Kabupaten/Kota di Indonesia yang memiliki keuntungan relatif besar dari sumber daya alam hanya 6 propinsi (20%) dan dari 350 kabupaten/kota tidak sampai 20 kabupaten/kota (5%) yang menikmati bagi hasil yang besar (Simanjuntak, 2001). Gejala tersebut sesuai dengan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh UNSFIR, yang menyatakan bahwa perbedaan yang mencolok antara kekayaan daerah dengan kesejahteraan masyarakatnya pada daerah-daerah yang kaya sumber daya alam tersebut telah menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat terhadap sesuatu yang seharusnya dinikmati, yang disebut aspirasi terhadap ketidakmerataan (inequality). Aspirasi ini mencerminkan adanya rasa ketidak-adilan yang muncul bila tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang kaya sama atau bahkan lebih rendah dari masyarakat Indonesia pada umumnya (Tadjoeddin, 2001). Di Kalimantan
Timur sebanyak 915 desa atau 72,7 persen dari 1.295 desa tergolong miskin.
Sementara di Provinsi Riau 20 % dari 4,2 juta penduduknya hidup dalam kondisi prasejahtera dan hampir 70% angkatan kerjanya berpendidikan rendah (Harian Kompas, 7 Mei 2002).
Sedangkan perhitungan ketimpangan antar wilayah di Propinsi Jawa
Tengah berdasarkan penelitian Tantia Hastarini dengan menggunakan data time series dari tahun 1981 hingga tahun 2000 menyimpulkan bahwa ketimpangan ekonomi antar daerah di Provinsi Jawa Tengah cenderung mengalami peningkatan. Hal ini juga ditunjukkan oleh perhitungan ketimpangan ekonomi yang dilakukan oleh Beppeda Provinsi Jawa Tengah yakni tahun 1999 mencapai 0,75; tahun 2000 mencapai 0,78; tahun 2001 sebesar 0.76; tahun 2002 sebesar 0,77; tahun 2003 sebesar 0,80 ; tahun 2004 sebesar 0,76; dan tahun 2005 sebesar 0,76 (Bappeda, Perda No. 11, 2003).
Namun perlu juga diperhatikan nasib daerah-daerah yang secara absolut memang miskin sumber daya alam dan sumber daya lainnya (tenaga kerja yang trampil, teknologi, modal/investasi) sehingga pemerintah daerah juga low profile terkesan nerimo tetapi penduduk daerah-daerah tersebut semestinya mendapat perhatian lebih besar.
Ketimpangan ekonomi antar daerah secara absolut maupun ketimpangan relatif antara potensi dan tingkat kesejahteraan tersebut dapat menimbulkan masalah dalam hubungan antar daerah. Falsafah pembangunan ekonomi yang dianut pemerintah jelas tidak bermaksud membatasi arus modal
(bahkan yang terbang ke luar negeri saja hampir tidak dibatasi). Arus modal mempunyai logika sendiri untuk berakumulasi di lokasi-lokasi yang mempunyai prospek return atau tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, dan tingkat risiko yang lebih rendah. Sehingga tidak dapat dihindari jika arus modal lebih terkonsentrasi di daerah-daerah kaya sumber daya alam dan kota-kota besar yang prasarana dan sarananya lebih lengkap.
Di sisi lain gelombang pencari kerja juga mengalir mengejar kesempatan ke kota-kota besar, ke daerah-daerah yang kaya potensi. Hal ini menjadi masalah kepadatan penduduk bagi daerah yang menerima pencari kerja dari daerah-daerah miskin ke kota-kota besar.
Oleh karena di kota-kota besar tersebut relatif banyak golongan ekonomi lemah dari penduduk asli ataupun dari daerah-daerah lain dapat mengakibatkan saling berebut tempat dan peluang antar kelompok daerah asal (Risfan Munir, 2003).
Untuk itulah diperlukan pembangunan daerah yang merupakan bagian dari pembangunan nasional. Guna meningkatkan pembangunan nasional harus didukung dengan pembangunan daerah yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dalam rangka mewujudkan keserasian dan keseimbangan
Pembangunan Nasional.
Pembangunan pada hakekatnya merupakan upaya terencana dan terprogram yang dilakukan secara terus menerus untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Pembangunan dapat dilakukan melalui pendekatan wilayah (pembangunan wilayah) atau pendekatan sektoral
(pembangunan daerah). Pembangunan daerah lebih menekankan pada pendekatan daerah secara administrasi dan pendekatan sektoral, yang diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menserasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar perkotaan, antar perdesaan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan prioritas daerah serta pengembangan daerah seoptimal mungkin dengan memperhatikan dampak pembangunan
(Mursid Zuhri. 1998).
1.2 Rumusan Masalah.
Berdasarkan beberapa penelitian dengan menggunakan Indeks
Wlliamson dari Tahun 1971 sampai Tahun 1997 cenderung melebar.
Masalah dalam penelitian ini adalah bahwa ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah di Indonesia semakin melebar. Sedangkan untuk ketimpangan di Provinsi Jawa Tengah dari tahun 1981 sampai Tahun 2005 juga menunjukkan semakin melebar, maka dapat diambil beberapa pertanyaan penelitian yakni :
1. Seberapa besar tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi
Jawa Tengah dari Tahun 1981 – 2005?
2. Bagaimana pengaruh investasi swasta terhadap tingkat ketimpangan ekonomi yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah dari Tahun 1981 - 2005?
3. Bagaimana pengaruh angkatan kerja terhadap tingkat ketimpangan ekonomi yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah dari Tahun 1981-2005?
4. Bagaimana pengaruh alokasi dana bantuan pembangunan
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah terhadap tingkat ketimpangan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1981-2005?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Secara garis besar penelitian bertujuan untuk memperoleh masukan yang lebih rinci dan diharapkan dapat memberikan nilai lebih peda perencanaan pembangunan di provinsi Jawa Tengah. Adpun rincian tujuan penelitian ini yakni
1. Menganalisis tingkat ketimpangan pendapatan regional berdasarkan berdasarkan Indeks Wlliamson (Vw) dan faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan regional di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1981 -
2005.
2. Menganalisis pengaruh investasi swasta terhadap tingkat ketimpangan ekonomi yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah dari Tahun 1981-2005.
3. Menganalisis pengaruh angkatan kerja terhadap tingkat ketimpangan ekonomi yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah dari Tahun 1981-2005.
4. Menganalisis pengaruh alokasi dana bantuan pembangunan
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah terhadap tingkat ketimpangan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1981-2005.
Sedangkan manfaat penelitian ini yakni memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa
Tengah serta Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota tentang variabel yang signifikan berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan antar daerah di Propinsi Jawa Tengah. Dengan demikian memudahkan Pemerintah Puat dan Pemerintah Daerah untuk memilih alternatif kebijakan yang akan diambil untuk mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah. Dan memberikan tambahan acuan untuk peneliti berikutnya, khususnya penelitian yang berkaitan dengan masalah ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
2.1 Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi.
Sumitro Djojohadikusumo (1987) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi bertumpu pada proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Sedangkan pembangunan ekonomi mengandung pengertian yang lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh. Pembangunan merupakan proses transformasi yang dalam perjalanan waktu ditandai dengan perubahan strktural yakni perubahan pada landasan kegiatan ekonomi maupun pada kerangka susunan ekonomi masyarakat yang bersangkutan.
Pada umumnya pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan. Pada tingkat permulaan, pembangunan ekonomi dibarengi pula dengan pertumbuhan dan sebaliknya
(Irwan dan M. Suparmoko, 1988).
Selama tiga dasawarsa perhatian utama pembangunan pada cara mempercepat tingkat pertumbuhan pendapatan nasional, baik negara maju/kaya maupun negara terbelakang/miskin, baik yang menganut sistem kapitalis, sosialis maupun campuran selalu mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Seperti diketahui bahwa suatu keberhasilan program pembangunan di negara berkembang sering dimulai berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan output dan pendapatan nasional. Baik buruknya kualitas kebijakan pemerintah dan tinggi rendahnya mutu aparat di bidang ekonomi secara keseluruhan biasanya diukur berdasarkan kecepatan pertumbuhan output yang dihasilkan. Namun demikian penyebaran pertumbuhan pendapatan tersebut masih sangat terbatas jangkauannya, kekuatan antara negara maju dan negara berkembang tidak seimbang sehingga cenderung memperlebar jurang kesenjangan antara kelompok negara kaya dan negara miskin. Di negara berkembang perhatian utama terfokus pada dilema antara pertumbuhan dan pemerataan. Pembangunan eknomi mensyaratkan GNP yang lebih tinggi dan juga pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan sauatu pilihan yang harus diambil. Namun yang menjadi masalah adalah bukan hanya soal bagiamana caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap melaksanakan dan berhak menikmati hasilnya. Dengan demikian pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur berdasarkan peningkatan GNP secara keseluruhan, tetapi harus memperhatikan distribusi pendapatan telah meyebar ke segenap penduduk/lapisan masyarakat, serta siapa yang telah menikmati hasil-hasilnya
(Todaro, 1999).

2.2 Teori Pembangunan Ekonomi Daerah.
Pembangunan ekonomi daerah merupakan proses pemerintah daerah dan masyarakat daerah mengelola sumber-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan untuk mendorong perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam suatu wilayah tertentu (Lincolin Arsyad,
1999).
Saat ini tidak ada suatu teori yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komperhensif. Namun demikian ada beberapa teori yang secara parsial dapat membantu untuk memahami arti penting pembangunan ekonomi daerah. Pada hakikatnya, inti dari teori tersebut berkisar pada metode dalam menganalisis perekonomian suatu daerah dan teori-teori yang membahas tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi disuatu daerah tertentu. Secara Umum pendapat-pendapat yang mendasari bidang teori pembangunan eknomi regional yang masing-masing mempunyai asumsi yang berbeda yaitu sebagai berikut :
1. Model Neo Klasik.
Model Neo Klsik mendasarkan analisa pada peralatan fungsi produksi, sama halnya dengan analisis pertumbuhan ekonomi nasional. Kelompok Neo-
Klasik berpendapat bahwa unsur-unsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal, tenaga kerja, kemajuan teknologi. Namun demikian ada kekhususnya teori pertumbuhan regional Neo Klasik yaitu membahas secara mendalam pengaruh dari perpindahan penduduk/migrasi dan lalu lintas modal terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Kesimpulan dari model Neo Klasik adalah terdapat hubungan antara pertumbuhan dari suatu negara dengan perbedaan kemakmuran daerah (regional disparity) pada negara yang bersangkutan. Kelompok Neo Klasik mengatakan bahwa pada saat proses pembangunan baru dimulai (negara yang sedang berkembang), tingkat perbedaan kemakmuran antara wilayah cenderung menjadi tinggi (divergence).
Ketika proses pembangunan telah berjalan dalam waktu lama (negara yang telah berkembang) maka perbedaan tingkat kemakmuran antara wilayah cenderung menurun (convergen). Alasan dikemukakan adalah bahwa lalu lintas orang dan lalu lintas modal di negara yang sedang masih belum lancar sehingga proses penyesuaian ke arah tingkat keseimbangan pertumbuhan belum dapat terjadi. Belum lancarnya fasilitas perhubungan dan komunikasi serta masih kuatnya tradisi yang menghalangi mobilitas penduduk, biasanya merupakan faktor utama yang menyebabkan belum lancarnya arus perpindahan orang dan modal antar daerah. Sedangkan di negara-negara maju, proses penyesuaian tersebut terjadi dengan lancar karena telah tersedianya fasilitas perhubungan dan komunikasi. Kebenaran pendapat ini mula-mula diselidiki secara empiris oleh Williamson (1965).
2. Model Peyebab Kumulatif
Teori ini pada mulanya dikemukakan oleh Myrdal (1957) yang mengkritik teori Neo Klasik mengenai pertumbuhan yang stabil. Myrdal menyatakan bahwa perbedaan tingkat kemajuan pembangunan ekonomi antar wilayah selamnya akan menimbulkan adanya bachwas effect yang mendominasi spread effect dan pertumbuhan ekonomi regional merupakan proses yang tidak ekulibrium (disequilibrium). Perbedaan utama dari teori Neo-
Kalisk dan teori dari Myrdal adalah, yang pertama menggunakan constant return to scale dan kedua menggunakan increasing return to scale. Perbedaan tingkat pertumbuhan antara wilayah mungkin akan menjadi sangat besar jika increasing return to scale berlangsung terus. Menurut Kaldor (1970) bahwa prisnsip-prinsip dari peyebab kumulatif adalah penyederhanaan dari increasing return to scale di perusahaan. Kondisi daerah-daerah di sekitar kota yang semakin buruk menunjukkan konsep dasar dari teori ini. Kekuatan-kekuatan pasar cenderung memperparah kesenjangan antara daerah-daerah tersebut
(maju versus terbelakang). Daerah yang maju mengalami akumulasi keunggulan kompetitif dibanding daerah-daerah lain. Hal ini disebut Myrdal sebagai backwash effects. Berdasarkan kondisi ini maka penganut teori
Cummulative Causation berpendapata bahwa peningkatan pemerataan pembangunan antar daerah tidak dapat hanya diserahkan pada kekuatan pasar, sehingga perlu dilakukan melalui campur tangan yang efektif dari pemerintah.
3. Teori Basis Ekonomi
Teori basis ekonomi, biasa disebut analisis basis digunakan untuk mengidentifikasi pendapatan yang berasal dari sektor basis pendapatan regional akan langsung meningkat bila sektor basis mengalami perluasan, sedangkan kesempatan kerja baru terasa dalam jangka panjang.
Teori ini menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Petumbuhan industri-industri yang menggunakan sumber daya lokal termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk di ekspor akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja. Keunggulan dari metode ini adalah dapat secara cepat mengetahui sektor-sektor yang menjadi andalan/basis komparatif suatu perekonomian daerah. Kelemahan model ini adalah didasarkan pada permintaan eksternal bukan internal. Pada akhirnya akan menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kekuatankekuatan pasar secara nasional maupun global. Namun demikian, model ini berguna untuk menentukan keseimbangan antara jenis-jenis industri dan sektor yang dibutuhkan masyarakat untuk mengembangkan stabilitas ekonomi.
4. Teori Tempat Sentral
Teori tempat sentral menanggap bahwa ada hirarki tempat. Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumberdaya (industri dan bahan baku). Tempat sentral tersebut merupakan suatu permukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang mendukungnya.

2.3 Konsep Ketimpangan Ekonomi Antar Daerah.
Thee Kian Wie, (1981) menyatakan bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan dari sudut pandangan ekonomi dibagi menjadi :
1. Ketimpangan pembangian pendapatan antar golongan penerima pendapatan (size distribution oncome);
2. Ketimpangan pembagian pendapatan antar daerah perkotaan dan daerah pedesaan (urban-rural income disparities);
3. Ketimpangan pembagian pendapatan antar daerah (regional income disparities); Ketimpangan pembangunan antar daerah dengan pusat dan antar daerah dengan daerah lain adalah merupakan suatu yang wajar, karena adanya perbedaan dalam sumber daya dan awal pelaksanaan pembangunan antar daerah (Williamson, 1965).
Analisis yang menghubungkan tahap pembangunan ekonomi dan distribusi pendapatan serta ungkapan pertumbuhan versus pemerataan sebenarnya dipicu oleh sebuah penemuan yang dimulai oleh Simon Kuznet (1955). Simon Kuznet menghubungkan laju pertumbuhan berbagai negara maju dan negara sedang berkembang dengan mengamati data time series untuk Amerika, Inggris dan
Jerman serta data cross section yang mencakup tiga negara tersebut ditambah India,
Srilangka serta Puerto Rico dan pada hasil pengamatan tersebut Kuznet menemukan sebuah pola yang berbentu U terbalik. Pola tersebut mensyaratkan bahwa pada tahap awal perkembangan (diwakili oleh PDB per kapita yang masih rendah), maka proses pertumbuhan diikuti oleh semakin memburuhnya distribusi pendapatan dan setelah mencapai titik tertentu, pembangunan akan diikuti oleh membaiknya pemerataan. Pembangunan dengan hasil seperti yang digambarkan oleh hipotesisi U terbalik, sebagian besar didasarkan pada model pembangunan
Dualistik (Munawar Ismail, 1995).
Model pembangunan dualistik ini (Suharto, 2001) berdasarkan artikel terkenal tentang ekonomi surplus tenaga kerja dari Artur Lewis, yang memperbaharuhi model kalsik. Menurut model pembangunan pembangunan yang diajukan Lewis
(Todaro, 1999), perekonomian terbelakang terdiri 2 sektor yaitu :
1. Sektor tradisionil yaitu sektor pedesaan sub sistem yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol. Hal ini merupakan situasi yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja sebagai suatu fakta bahwa sebagaian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian dan sektor tersebut tidak akan kehilangan outputnya sedikitpun. 2. Sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsistem. Perhatian utama dari model ini diarahkannya pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor modern. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja tersebut dimungkinkan oleh adanya perluasan ouput pada sektor modern. Adapun laju atau kecepatan terjadinya perluasan tersebut ditentukan oleh tingkat investasi dibanding industri dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern.
Peningkatan investasi itu sendiri dimungkinkan oleh adanya kelebihan keuntungan sektor modern dari selisih upah dengan asumsi para kapitalis yang berkecimpung dalam sektor modern tersebut bersedia menanamkan kembali seluruh keuntungannya. Hal ini dapat meningkatkan pangsa keuntungan pada pendapatan nasional. Tingkat upah di sektor industri perkotaan (sektor modern) diasumsikan konstan dan berdasarkan suatu premis tertentu, jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah sektor pertanian subsisten tradisional (Todaro, 1999).
Distribusi fungsional berpindah dari penghasilan upah. Pola distribusi berbentuk U dari permulaan dan lebih lanjut tidak ada trade off antara pertumbuhan dan distribusi pendapatan. Pertumbuhan hanya menentukan berapa cepat sebuah negara melewati U.
Teori Lewis ini kemudian disempurnakan oleh Gustav Ranis dan John Fei. Model pembangunan ekonomi Ranis-Fei (Jhingan, 2000) bukan saja terperinci menunjukkan pengaruh dari perubahan produktivitas tenaga kerja di sektor modern kepada corak proses pembangunan akan tetapi menunjukkan juga akibat kemajuan tingkat produktivitas kegiatan-kegiatan di sektor pertanian terhadap pembangunan ekonomi yang akan tercipta.
Di dalam mengemukakan teorinya Fei dan Rei membuat asumsi scbagai berikut :
1. Terdapat sektor pertanian tradional yang pasif dan industri yang aktif;
2. Output sektor pertanian adalah fungsi dari tanah dan buruh saja;
3. Di sektor modal tidak terdapat akumulasi modal selain dalam bentuk penggarapan tanah kembali;
4. Persediaaan atau penawaran tanah bersifat tetap;
5. Kegiatan pertanian ditandai dengan hasil (return to scale) yang tetap dengan buruh sebagai faktor variabel;
6. Diasumsikan bahwa produktivitas marginal buruh adalah nol, Jika penduduk melampaui jumlah dimana produktivitas marginal buruhnya nol, buruh dapat dialihkan ke sektor industri tanpa mengurangi output pertanian;
7. Output sektor industri adalah fungsi dari modal dan buruh saja;
8. Pertumbuhan penduduk dianggap sebagai fenomena eksogen;
9. Upah nyata di sektor industri dianggap tetap dan sama dengan tingkat pendapatan nyata (sebelumnya) sektor pertanian, yang disebut upah institusional; 10. Pekerja masing-masing sektor hanya mengkonsumsikan produk-produk pertanian. Berdasarkan asumsi tersebut maka Fei dan Ranis menelaah pembangunan ekonomi surplus tenaga kerja menjadi 3 tahap, yaitu
1. Tahap pertama, para penganggur tersamar, yang tidak menambah output pertanian, dialihkan ke sektor industri dengan upah institusional yang sama.
2. Tahap kedua, pekerja pertanian menambah output pertanian tetapi memproduksi lebih kecil dari upah institusional yang mereka peroleh. Para pekerja ini dialihkan ke sektor industri. Jika migrasi pekerja ini berlangsung terus, akan dicapai suatu titik dimana pekerja pertanian menghasilkan output yang sama dengan upah institusional.
3. Tahap ketiga, dan merupakan awal pertumbuhan swasembada pada saat buruh pertanian menghasilkan lebih besar daripada perolehan upah intitusional. Pada tahap ini kelebihan buruh sudah terserap dari sektor pertanian menuju komersial.
Kuznet menyebutkan bahwa diantara faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik yang mempengaruhi pola U, terdapat faktor penting yaitu terpusatnya modal pada kelompok pendapatan tinggi dan adanya pergeseran penduduk dari sektor pertanian tradisional menuju sektor industri modern. Banyak penelitian susulan yang mencoba membantah atau mendukung penemuan Kuznets tersebut. Satu dekade setelah adanya hipotesa Kuznet, Williamson membuat suatu langkah dengan menganalisis hubungan antara distribusi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi pada tingkat region di suatu negara. Williamson (1965) menjadi orang pertama yang mencoba membuktikan hipotesis U terbalik dengan menggunakan data antar wilayah. Dengan mendasarkan analisisnya pada pengalaman impiris di 24 negara selama kurun waktu 1950-1960, ia membuktikan bahwa kesenjangan antar wilayah akan memberikan pengaruh negatif pada kelangsungan pertumbuhan ekonomi.
Williamson juga menjelaskan hipotesa U terbalik pada lingkup wilayah bahwa pada saat pendapatan pendapatan perkapita meningkat, akan terjadi peningkatan kesenjangan wilayah, lalu bertahan dalam jangka waktu tertentu dan kemudian menurun. Implikasi yang dapat diturunkan bahwa ketimpangan pendapatan antar regional merupakan konsekuensi dari pembangunan dan akan hilang dengan sendirinya sejalan dengan kedewasaan pembangunan itu sendiri. Williamson menganalisa empat faktor yang mendasari pola U terbalik dalam pengembangan wilayah yaitu : sumber daya alam, perpindahan tenaga kerja, perpindahan modal, kebijakan pemerintah pusat. Williamson menyatakan bahwa ketersediaan sumber daya alam yang berbeda akan menimbulkan pertumbuhan wilayah yang tidak seimbang pada tahap awal pembangunan. Robinson (1976) dengan hipotesa-U terbalik menyimpulkan bahwa kekuatan hukum ekonomi akan menyeimbangkan kesenjangan antar daerah.
Menurut teori Neo Klasik ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut dapat mencapai keseimbangan kembali dengan sendirinya, karena daerah-daerah tertinggal akan dengan sendirinya konvergen dengan daerah yang lebih maju. Para ekonom Neo Klasik seperti Solow (1956), Suan (1956) dan Meade (1961) mengajukan model pertumbuhan dengan menggunakan beberapa asumsi (Sadono
Sukirno, 1981) sebagai berikut (1) Full employment; (2) Persaingan sempurna; (3)
Komoditi Homogen; (4) Ongkos transportasi nol; (5) Constant return to scale antar wilayah; (6) Supply tenaga kerja tetap; (7) Tingkat teknologi tetap;
Berdasarkan asumsi tersebut, maka tingkat upah merupakan fungsi langsung dari rasio kapital dan tenaga kerja, sehingga akan terjadi pergerakan tenaga kerja dari daerah yang tingkat upahnya rendah ke daerah yang tingkat upahnya tinggi.
Sementara modal bergerak sebaliknya.
Kekuatan konvergensi potensial lainnya (Glasson, 1990) antara lain alokasi sumber daya di daerah yang berangkat dari sektor upah rendah (seperti sektor pertanian) ke sektor dengan upah yang tinggi, dengan produktivitas tinggi akan menaikkan pendapatan rata-rata perkapita serta adanya ciri-ciri kematangan dalam daerah-daerah yang sudah lama berpendapatan tinggi yang dapat memperlambat kenaikan pendapatan perkapita di masa mendatang.
Salah satu kelompok hibrida dari teori pertumbuhan regional yang jelas-jelas mengakui bahwa pertumbuhan regional itu mungkin saja bersifat divergen dan bukannya konvergen, adalah teori-teori centre-periphery dari Hirschman, Friedman dan Myrdal (Glasson, 1990). Myrdal dan Hirschman dalam teorinya tentang kesenjangan pembangunan ekonomi menyatakan bahwa kekuatan divergensi adalah lebih kuat daripada kekuatan konvergensi dalam pola pertumbuhan ekonomi.
Argumen umum dari teori dapat dijelaskan dengan membandingkan peruntungan dari dua daerah, A dan B. Pada mulanya daerah A berkembang lebih cepat daripada
B, karena ia mempunyai kemanfaatan-kemanfatan alamiah dan/atau buatan manusia. Akan tetapi bertentangan dengan banyak teori pertumbuhan, divergensi ini mungkin tidak akan hilang dengan sendirinya dan proses ini malahan dapat menjadi kumulatip, dimana yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin. Menurut Myrdal (Sadono S, 1981) dalam jangka panjang pendapatan perkapita antar daerah cenderung timpang. Perbedaan tersebut menurutnya disebabkan adanya dua faktor yaitu backwash effect dan spread effect. Pembangunan ekonomi antar wilayah akan menimbukan adanya backwash effect yang mendominasi spread effect dan pertumbuhan ekonomi regional merupakan proses yang tidak ekuilibrium. Spread effect adalah kekuatan yang menuju konvergensi antara daerah-daerah kaya dan daerah daerah miskin. Dengan bertumbuhnya daerah kaya, maka bertambah pula permintaannya terhadap produk dari daerah yang tertinggal seperti hasil pertanian dan hasil industri barang konsumsi, dengan demikian akan yang menimbulkan pertumbuhan. Myrdal menyatakan sebab-sebab kurang mampunya daerah terbelakang berkembang secepat daerah yang maju. Hal tersebut disebabkan karena keadaan backwash effect, yang menyebabkan daerah terbelakang menghadapi lebih banyak hambatan dalam mengembangkan ekonominya. Dari masa ke masa daerah yang lebih maju akan menjadi daya penarik bagi penduduk daerah terbelakang, untuk mengadakan migrasi karena adanya keyakinan untuk mendapatkan gaji yang lebih baik/ prasarana sosial yang lebih baik di daerah yang lebih maju.
Pada umumnya yang melakukan migrasi adalah kaum muda, berpendidikan dan berpengalaman cukup dan dengan demikian yang tertinggal di daerah terbelakang adalah golongan penduduk yang tingkat kecakapan maupun produktivitas rendah sehingga menyebabkan potensi yang lebih terbatas dalam menggalakkan pembangunan.
Demikian pula karena ketidaktersediaan institusi finansial dan prospek investasi yang suram akan menggiring kapital keluar menuju daerah yang maju.
Berdasarkan keadaan ini, maka penganut teori Cummulative Causation berpendapat bahwa peningkatan pemerataan pembangunan antar daerah tidak dapat hanya diserahkan pada kekuatan pasar, sehingga perlu dilakukan melalui campur tangan yang aktif dari pemerintah.
Hirschman berkeyakinan bahwa terjadinya konsentrasi pembangunan disebabkan oleh faktor-faktor di daerah maju yang mempengaruhi dan menghambat pembangunan di daerah tertinggal. Faktor-faktor yang menghambat itu dinamakan polarization effect, namun juga terdapat kekuatan yang bersumber di daerah maju yang akan mempengaruhi pembangunan di daerah tertinggal yang disebut tricling down effect , tetapi kekuatan ini biasanya jauh lebih rendah daripada polarization effect. Sementara Freedman's (1966) menyatakan bahwa atas dasar kenyataan pada sejarah proses pembangunan spasial menekankan bahwa pembangunan ekonomi mempunyai kecenderungan untuk berkonsentrasi pada suatu daerah yang diawali oleh arus urbanisasi yang kemudian diikuti oleh pembangunan sarana dan prasarana. Perroux menyatakan bahwa pembangunan ekonomi yang tidak merata terjadi di berbagai daerah, tetapi mengelompok pada pusat-pusat pertumbuhan dan hal ini akan menentukan perkembangan ekonomi daerah lain yang lebih lambat perkembangan ekonominya.
Teori Pusat Pengembangan (Growth Poles Theory) akan dapat merupakan salah satu alat yang ampuh untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan keseluruh pelosok daerah (Sjafrizal, 1983:15). Teori ini dapat menggabungkan kebijakan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan secara terpadu.
Menurut Perroux, konsep pole decroisumce lebih banyak menyangkut konsep economic region daripada geographic region Karena itu suatu pusat pengembangan seringkali didefinisikan sebuah suatu konsentrasi industri pada suatu tempat tertentu yang kesemuanya saling berkaitan melalui hubungan input dan output industri utama. Konsentrasi dan saling keterkaitan adalah merupakan dua faktor penting dalam setiap pusat pengembangan karena melalui faktor ini akan dapat diciptakan berbagai bentuk agglomerution economies yang dapat menunjang pertumbuhan dari industri-industri yang bersangkutan melalui penurunan ongkos produksi. Keuntungan aglomerasi yang merupakan kekuatan dari setiap pusat pengembangan dapat dibagi menjadi atas 3 jenis yaitu sebagai berikut :
1. Scale economies yaitu semacam keuntungan yang dapat timbul karena pusat pengembangan memungkinkan perusahaan industri yang tergabung di dalamnya beroperasi dalam skala besar, karena ada jaminan bahan baku dan pasar.
2. Locatization economies yang dapat timbul akibat adanya keterkaitan antar industri, sehingga kebutuhan bahan baku dan pemasaran dapat dipenuhi dengan mengeluarkan ongkos angkut yang minimum.
3. Urbanization economies yang timbul karena fasilitas pelayanan sosial dan ekonomi dapat dipergunakan secara bersama sehingga pembebanan ongkos untuk masing-masing perusahaan industi dapat dilakukan serendah mungkin. Kesimpulan yang dihasilkan bahwa bila kegiatan ekonomi yang saling berkaitan dikonsentrasikan pada suatu tempat tertentu maka pertumbuhan ekonomi dari daerah yang bersangkutan dapat ditingkatkan lebih cepat dibandingkan kalau tersebar dan berpencar. Dengan demikian bila pusat pengembangan didirikan pada suatu daerah yang relatif masih kurang berkembang dibandingkan daerah-daerah lainnya maka laju pertumbuhan pada daerah yang bersangkutan dapat ditingkatkan sehingga perbedaan kemakmuran antar wilayah secara bertahap akan tercapai. Akan tetapi kebijaksanaan tersebut tidak jarang malah menimbulkan kepincangan pembangunan wilayah yang makin tinggi.
Kebijaksanaan pusat pengembangan yang dilakukan oleh suatu negara dapat dikatakan berhasil dari segi pandangan nasional tetapi gagal dalam dari sudut pembangunan wilayah. Kebijaksanaan pusat pengembangan yang hanya tertuju pada beberapa tempat saja bila tidak hati-hati dapat memperbesar jurang kemakmuran antara penduduk yang berada di dalam pusat dan dengan yang berada di luarnya.
Teori Hechsher-Ohlin (Amirrudin, 1992:55) yang dikenal sebagai teori H-O menjelaskan pula penyebab kesenjangan antar daerah. Hechsher-Ohlin mencoba menjawab mengapa perdagangan cenderung pada suatu wilayah tertentu dan menuju pada polarisasi. Hechsher-Ohlin percaya pada endowment factor yang dimiliki masing-masing daerah, sehingga daerah mempunyai comparative adventage dibanding yang lain dan ini dapat menaikan pendapatan daerah tersebut. Hilhorst (1968) menyangkal pendapat teori H-O yang menyatakan keunggulan comparative sebagai penyebab terjadinya perdagangan inter-regional.
Menurut Hilhorst (Hilhorst dalam Amirrudin 1992), ada faktor-faktor lain sebagai penyebab perdagangan inter-regional misalnya kelancaran transportasi dan komunikasi muncul dan kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan kemudahankemudahan serta adanya jalinan kerjasama antar sesama rekanan usaha.. Dengan adanya transportasi dan komunikasi, faktor-faktor produksi yang inmobil (tidak bergerak) diantara dua wilayah mulai hilang dan faktor endowment cenderung merata. Kebijakan alokasi investasi regional menjadi penting bila tujuan pembangunan wilayah yang dicapai yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, karena dengan hal itu dapat ditentukan prioritas - prioritas yang akan dilaksanakan (Sjafrizal, 1983:17). Dalam hal pemerataan, Rahman berpendapat bahwa unsur pemerataan pembangunan antar wilayah dapat dipertimbangkan melalui pelaksanaan switching policy. Bila menurut analisa alokasi anggaran perlu lebih banyak diarahkan pada daerah yang relatif maju, maka setelah mencapai titik tertentu maka prioritas alokasi anggaran harus dibelokkan ke daerah yang kurang maju. Dengan demikian unsur pertumbuhan dan unsur pemerataan akan dapat dipertimbangkan secara sekaligus.
2.4 Investasi.
Investasi merupakan penanaman modal di suatu perusahaan tertentu. Penanaman modal bersumber dari penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal luar negeri. Dengan adanya penambahan investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri maka dapat menyerap tenaga kerja. Hal ini dikarenakan dalam proses produksi barang dan jasa meningkat yang pada giliranya akan menyerap angkatan kerja. Sehingga tenaga kerja tersebut memperoleh upah, dan tenaga kerja tersebut mempunyai daya beli. Dengan semakin banyak investasi yang digunakan untuk melakukan proses produksi barang jasa, dimana tenaga kerja dapat diserap lebih banyak juga sehingga terjadi pemerataan pendapatan perkapita (Sadono Sikirno,
1985).
2.5 Angkatan Kerja.
Besarnya penyediaan atau supply tenaga kerja dalam masyarakat adalah jumlah orang yang menawarkan jasanya untuk proses produksi. Diantara mereka sebagian sudah aktif dalam kegiatannya yang menghasilkan barang dan jasa yang disebut dengan golongan yang bekerja atau empoymed persons. Sebagaian lain tergolong siap bekerja dan sedang berusaha mencari pekerjaan yang disebut dengan pencari kerja/penggangur. Jumlah yang bekerja dan pencari kerja dinamakan angkatan kerja atau labor force (P.J. Simanjuntak, 1985)
Namun setiap negara dapat memberikan pegertian yang berbeda mengenai definisi bekerja dan menganggur, dan definisi itu dapat berubah menurut waktu.
Dalam sensus penduduk tahun 1971, orang yang bekerja dengan maksud memperoleh penghasilan paling sedikit dua hari dalam seminggu sebelum hari pencacahan dinyatakan sebagai bekerja. Juga tergolong sebagai bekerja selama seminggu sebelum pencacahan tidak bekerja atau kurang dari dua hari tetapi mereka adalah (1) pekerja tetap pada kantoe pemerintah atau swasta yang sedang tidak masuk kerja karena cuti, sakit, mogok atau magkir; (2) petani-petani yang mengusahakan tanah pertanian yang sedang tidak bekerja karena menunggu panen atau menunggu hujan untuk menggarap swahnya dan (3) orang yang bekerja dalam bidang keahlian seperti dokter, konsultan, tukar cukur, dan lain-lain (P.J.
Simanjuntak, 1985).
2.6 Alokasi Dana Bantuan Pembangunan Daerah.
Dana bantuan pembangunan daerah merupakan salah satu sumber keuangan untuk melakukan pembangunan daerah. Pada dasarnya dalam melaksanakan pembangunan diperlukan sumber dana. Untuk mencapai keberhasilan suatu program pembangunan sangat tergantung pada pemanfaatan sumberdaya yang tersedia. Namun potensi dan pemanfaatan sumber daya tersebut bervariasi antar daerah. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Marisa dan Hutabarat (1988) serta
Nurmanah (1989) mengidentifikasikan bahwa ketimpangan dan variasi distribusi pendapatan mempunyai hubungan yang positif dengan distribusi penguasaan faktor-faktor produksi. Dengan demikian tidak mengherankan bila keberhasilan pembangunan antar daerah berbeda-beda. Sehingga perlu adanya campur tangan pemerintah pusat untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah, misal dengan memberikan bantuan kepada daerah untuk mempercepat pembangunan daerah. Alokasi dana bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan pengeluaran pembangunan pemerintah pusat ke daerah kabupaten/kota.
2.7 Indeks Williamson.
Indeks Williamson merupakan salah satu alat ukur untuk mengukur tingkat ketimpangan daerah yang semula dipergunakan oleh Jeffrey G. Wlliamson.
Perhitungan indeks Wlliamson didasarkan pada data PDRB masing-masing daerah digunakan rumus Hasil pengukuran dari nilai Indeks Williamson ditunjukkan oleh angka 0 sampai angka 1 atau 0 < VW < 1. Jika indeks Williamson semakin mendekati angka 0 maka semakin kecil ketimpangan pembangunan ekomoni dan jika indeks Wlliamson semakin mendekati angka 1 maka semakin melebar ketimpangan pembangunan ekonomi (Safrizal, 1997).
2.8 Penelitian Terdahulu.
Ketimpangan yang paling lazim dibicarakan adalah ketimpangan ekonomi.
Ketimpangan ekonomi sering digunakan sebagai indikator perbedaan pendapatan per kapita rata-rata, antar kelompok tingkat pendapatan, antar kelompok lapangan kerja, dan atau antar wilayah.
Perhitungan ketimpangan distribusi pendapatan antar wilayah di Indonesia dimulai oleh Hendra Esmara (1975). Peneliti lain yang menggunakan kerangka kerja Williamson dalam mengamati kesenjangan regional telah dilakukan diantaranya oleh Uppal dan Handoko (1986), Aminudin (1992), Sjafrizal (1997),
Brodjonegoro (1999) dan Mahi (2000). Studi tersebut tercantum pada Tabel 2.1 dan mendukung hipotesa U terbalik versi Williamson (Haryo Kuncoro, 2001).
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No. Peneliti dan Judul Alat Pengukuran Hasil Penelitian
1. Hendra Esmara
(1975)
(Regional Income
Disparities Bulletin of
Indonesia Economic
Studies, vol XI No. 1 Th.
1975 : 41-57 )
Pendapatan per kapita dengan Indeks
Williamson
Diluar Provinsi penghasil migas (Riau,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah) secara umum kesenjangan antar daerah jauh lebih rendah dibanding jika termasuk daerah penghasil migas.
2. Uppal dan Handoko
(1986)
(Regional Income
Disparities in Indonesia,
Ekonomi Keuangan
Indonesia vol XXXiV
No. 3 Jakarta hal 285-
306)
Pendapatan per kapita dengan Indeks
Williamson
a.
b.
c.
Faktor yang meyebabkan kesenjangan antar daerah yaitu transfer pemerintah pusat melalu berbagai macam grant dan pengeluaran pemerintah pusat di masingmasing
Propinsi (DIP).
Penempatan industri berskala besar dan menengah di daerah yang relatif miskin merupakan kebijakan efektif mengurangi kesenjangan. Tingginya persentase penduduk yang hidup di perkotaan tidak meyebabkan naiknya pendapatan perkapita, meskipun pada beberapa
Propinsi yang tinggi PDRB per kapitanya seperti Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan DKI Jakarta me-miliki prosentase penduduk perkotaan yang relatif tinggi
Kesimpulan ini membuktikan bahwa kebijakan transmigrasi masih diper-lukan dan sekaligus menganjurkan bahwa sebaiknya industri yang beralokasi di daerah urban yang padat di Pulau Jawa di geser ke daerah yang jarang penduduknya. Ketimpangan dan variasi distribusi pendapatan mempunyai hubungan yang posistif dan variasi distribusi penguasaan faktor-faktor produksi.
3. Marisa dan Hutabarat serta Nurmanaf (1988)
(Achmad, Rozary
Nurmanah, 1999 :
Kesenjangan
Pengeluaran
Pembangunan antar wilayah dan propinsi di
Indonesia, konomi dan
Keuangan Indonesia
Vol. No. 4, 1999 hal
416-421)
Pendapatan per kapita dengan Indeks
Williamson
Ketimpangan dan variasi distribusi pendapatan mempunyai hubungan yang positif dengan variasi distribusi peng-uasaan faktor produksi.
4. Amiruddin Ardani
(1992)
(Analysis of Regional
Grrowth and Disparity he Impac Analisis of The
INPRES Project on
Indonesia Deve-lopment, a Doctor disertation
USA : University Of
Pennslyvania
Philaderphia) -> tidak dipublikasikan. Pendapatan per kapita dengan Indeks
Williamson
Hasil perhitungan dengan migas, tanpa migas maupun penyesuaian harga, sela,a periode
1968-1993, Ardani menemukan bahwa kesenjangan antar daerah di Indonesia cenderung mengikuti kurva U terbalik.
5. Hamsar (1997)
(Kesenjangan Pembangu nan Ekonomi antar daerah dan faktor yang mempengaruhi di
Indonesia 1983-1993
Tesis S.2 UGM -> tidak dipublikasikan Pendapatan per kapita dengan Indeks
Williamson
Deregulasi parsial berdampak negatif terhadap pemerataan, kemiskinan per-kotaan meningkat distribusi pendapatan kelompok kecil di kota turun dan di desa meningkat.
Faktor penyebabnya adalah Pendapatan riil buruk tidak berubah selama periode 1985-
1993. Sedangkan Pendapatan riil profisional meningkat 7,5 % per tahun.
6. Nasyith Majidi (1997)
(Anggaran
Pembangunan dan
Ketimpangan Ekoniomi antar Daerah, Prisma 3
Maret hal 3-16)
Pendapatan per kapita dengan Indeks
Williamson
Kebijakan alokasi anggaran antar daerah di
Indonesia cenderung mendorong daerah yang makin maju dan yang terbelakang menjadi makin terbelakang.
7. Syafrizal (1997)
(Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan
Regional Wilayah
Indonesia Bagian Barat,
Buletin Prisma, 1997).
Pendapatan per kapita dengan Indeks
Williamson
Penelitian mengenai kesenjangan regional di
Wilayah Indonesia Bagian Barat dan menyatakan bahwa masalah pokok terjadinya kesejangan adalah :
a. Berhubungan dengan permasalahan dalam pemanfaatan SDA yang tersedia
b. Menyangkut masalah sosial budaya yang timbul dari tingkah laku dan pola kehidupan masyarakat.
c. Ketiga mengenai pengalokasian anggaran pembangunan. 8. Wisanggono (1998)
(Analisa Perubahan
Struktur Perekonomian dan Kesenjangan di propinsi Lampung; Tesis
S.2 UGM
Pendapatan per kapita dengan Indeks
Williamson
Menyatakan bahwa tahap awal pembangunan kesenjangan antar daerah relatif kecil kemudian dalam proses pembangunan kesenjangan cenderung meningkat kemudian menurun lagi.
9. Jati (1999)
(Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesenjangan Pembangun an Ekonomi antar
Daerah di Propinsi Jawa
Tengah. Tesis S.2 UGM-
> tidak dipublikasikan.
Pendapatan per kapita dengan Indeks
Williamson alat analisis
PAM (Partial
Adjusment Model)
Faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap kesenjangan pembangunan antar daerah di Propinsi Jawa Tengah dian-taranya adalah a. Pengeluaran pembangunan
b. Prosentase Industri
c. Kesenjangan pada tahun sebelumnya.
10. Eko Prasetyo (1999)
(Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
Kesenjangan
Pembangunan antar
Daerah di DI
Yogyakarta Tesis S.2
UGM)-> tidak dipublikasikan. Pendapatan per kapita dengan Indeks
Williamson
Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kesenjangan pembangunan antar daerah di
DIY adalah :
a. Prosentase Industri
b. Prosentase Pertanian
c. Prosentase Inpres Dati II
11. Andiran Smith (2000)
(Ethnicity, Economic
Polarization and
Regional Inqeuality
Shouthern Slovakia,
Grouth and Change
Pendapatan per kapita Penyebab kesenjangan adalah perbedaan produktivitas yang diukur dengan GDP
Regional dibagi dengan Angkatan Kerja serta
Variasi Angkatan Kerja Regional
13. Brodjonegoro (1999) dan
Mahi (2000)
Pendapatan per kapita dengan Indeks
Williamson
Kesenjangan terjadi akibat krisis ekonomi tahun 1997.
2.9 Kerangka Pemikiran Teoritis
Pada dasarnya pembangunan merupakan perubahan variabel-variabel seperti penduduk, pendapatan perkapita, ouput selama kurun waktu tertentu dalam suatu daerah yang dibatasi secara jelas. Namun dalam proses pembangunan ekonomi masalah percepatan pertumbuhan ekonomi antar daerah adalah berbeda, sehingga mengakibatkan ketimpangan regional yang tidak dapat dihindari mengingat adanya perbedaan kekayaan sumber daya yang berbeda antar daerah dan dasar pelaksanaan pembangunan itu sendiri serta konsentrasi yang berbeda. Bagi daerah yang terlebih dulu membangun sudah barang tentu lebih banyak menyediakan sarana dan prasarana misalkan iklim usaha yang baik, jasa perbankan yang baik, sehingga menarik minat investor untuk mengadakan investasi. Proses tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan pembangunan antar daerah sebenarnya akibat dari proses pembangunan itu sendiri.
Berdasarkan atas penyebab ketimpangan regional dan tingkat ketimpangan pendapatan antar wilayah dari tahun ke tahun cenderung melebar maka dapat diambil suatu kerangkan pemikiran penelitian yakni ketimpangan pembangunan ekonomi yang dipengaruhi oleh investasi swasta, angkatan kerja dan alokasi dana bantuan pembangunan daerah.
Investasi swasta berupa penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing antar daerah dapat mempengaruhi secara negatif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Jawa Tengah. Artinya dengan adananya peningkatan insvestasi swasta akan mengakibatkan kegiatan ekonomi dan peningkatan kemakmuran penduduk sehingga ketimpangan akan menurun.
Jumlah angkatan kerja yang ada dapat mempengaruhi tingkat ketimpangan.
Dengan adanya angkatan kerja yang meningkat berarti ada kenaikan kegitan ekonomi dan tingkat kemakmuran, sehingga ketimpangan mengalami penurunan.
Jumlah angkatan kerja mempunyai pengaruh secara negatif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi. Berarti semakin meningkat angkatan kerja akan menurunkan ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. Dengan dibukanya lapangan kerja baru tentu akan menyerap tenaga kerja baru sehingga jumlah angkatan kerja mengalami kenaikan.
Sehingga ada penyerapan angkatan kerja ini yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga permintaan barang dan jasa lebih besar yang kemudian mendorong produsen untuk memproduksi lebih banyak lagi dan seterusnya, dengan demikian kegiatan ekonomi akan berjalan dengan baik dan ketimpangan ekonomi akan menurun.
Keberhasilan suatu program pembangunan sangat tergantung pada pemanfaatan sumberdaya yang tersedia. Namun pada kenyataannya potensi dan pemanfaatan sumber daya tersebut bervariasi antar wilayah. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Marisa dan Hutabarat (1988) serta Nurmanah (1989) mengidentifikasikan bahwa ketimpangan dan variasi distribusi pendapatan mempunyai hubungan yang positif dengan distribusi penguasaan faktor-faktor produksi. Dengan demikian tidak mengherankan bila keberhasilan pembangunan antar daerah berbeda-beda. Sehingga perlu adanya campur tangan pemerintah pusat untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah, misal dengan memberikan bantuan kepada daerah untuk mempercepat pembangunan daerah.
Alokasi dana bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan pengeluaran pembangunan pemerintah pusat ke daerah kabupaten/kota.
Berdasarkan uraian dari kerangkan pemikiran maka hubungan antara variabel idependen (bebas) dengan variabel dependen (terikat) dapat dilihat pada gambar 2.1, yakni
Gambar 2.1
Hubungan tiga variabel idependen terhadap Ketimpangan Pembangunan
Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah.
2.10 Hipotesis.
Berdasarkan tujuan penelitian ini, maka diajukan hipotesis sebagai berikut :
H1 : Investasi swasta berpengaruh secara negatif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi;
H2 : Angkatan kerja berpengaruh secara negatif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi;
H3 : Bantuan pembangunan Kab./Kota berpengaruh secara negatif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi;
BAB III
METODE PENELITIAN
Indeks Ketimpangan
Pembangunan Ekonomi
(Vw)
Investasi Swasta (X1)
Angkatan Kerja (X2)
Alokasi Dana Bantuan Pembangunan
Daerah (X3)
3.1 Definisi Operasional Variabel.
Untuk memberikan kesamaan pemahaman terhadap variabel independen maupun variabel dependen dalam penelitian ketimpangan ekonomi di Provinsi
Jawa Tengah, maka diperlukan suatu definisi operasional variabel, yakni :
a. Indeks Ketimpangan Pembangunan Ekonomi.
Ketimpangan Pembangunan Ekonomi diukur dengan menggunakan rumus
Indeks Williamson, dimana pendapatan diukur dengan menggunakan PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 1993 untuk setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dari tahun 1981 sampai tahun 2005. Sedangkan
Indeks Ketimpangan Pembangunan Ekonomi ditunjukkan oleh angka 0 sampai angka 1 atau 0 < VW < 1.
b. Investasi Swasta Perkapita.
Investasi swasta diperoleh dari jumlah realisasi investasi dalam negeri
(Penanaman Modal Dalam Negeri) ditambah dengan realisasi investasi asing (Penanaman Modal Asing). Untuk memperoleh investasi swasta perkapita diukur dari jumlah realisasi investasi swasta dibagi dengan jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah. Dan investasi swasta dinyatakan dalam ribuan rupiah.
c. Ratio Angkatan Kerja.
Angkatan kerja diukur dari jumlah penduduk dari usia 10 tahun sampai dengan 65 tahun, yang mempunyai pekerjaan selama seminggu yang lalu, baik yang bekerja maupaun sementara tidak bekerja karena sesuatu sebab, misal menunggu panen, pegawai cuti dan sejenisnya. Disamping itu mereka tidak mempunyai pekerjaan tetapi sedang mencari pekerjaan termasuk pula dalam angkatan kerja (BPS Provinsi Jawa Tengah). Untuk memperoleh ratio angkatan kerja diukur dari jumlah angkatan kerja dibagi dengan jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah, yang dinyatakan dalam persentase.
d. Alokasi Dana Bantuan Perkapita.
Alokasi Bantuan Pembangunan diukur dari jumlah dana bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang telah dihitung berdasarkan kouta untuk setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan alokasi bantuan pembanguan perkapita yang diukur dari jumlah alokasi bantuan pembangunan dibagi dengan jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah, yang dinyatakan dalam jutaan rupiah.
.
3.2 Jenis dan Sumber Data.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang telah diolah oleh Badan Pusat Statistik yang terdiri dari data penduduk, data PDRB
Propinsi Jawa Tengah, data PDRB per kabupaten/kota, data investasi swasta, data angkatan kerja, alokasi data bantuan pembangunan untuk kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah, Tahun 1981 s/d 2005.
3.3 Teknik Analisis.
3.3.1 Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah.
Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang perkembangan masing-masing daerah dari segi pemerataan pembangunan, dapat diamati dengan menggunakan indeks ketimpangan pembangunan antar daerah yang semula dipergunakan oleh Jeffrey G. Wlliamson. Perhitungan indeks Wlliamson didasarkan pada data PDRB masing-masing daerah digunakan rumus sebagai berikut (Safrizal, 1997) :
.......................(1)
dimana :
Vw = Indeks Williamson. fi = Jumlah penduduk masing-masing Kabupaten/Kota di Propinsi
Jawa Tengah n = Jumlah penduduk di Propinsi Jawa Tengah yi = Pendapatan per kapita masing-masing Kabupaten/Kota.
= Rata-rata pendapatan per kapita di Propinsi Jawa Tengah.
Hasil pengukuran dari nilai Indeks Williamson ditunjukkan oleh angka 0 sampai angka 1 atau 0 < VW < 1. Jika indeks Williamson semakin mendekati angka 0 maka semakin kecil ketimpangan pembangunan ekomoni dan jika indeks Wlliamson semakin mendekati angka 1 maka semakin melebar ketimpangan pembangunan ekonomi.
3.2.2 Variabel berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan antar daerah. Guna memperoleh hasil dari variabel investasi swasta perkapita, ratio angkatan kerja, maupun alokasi dana bantuan pembangunan perkapita di
Provinsi Jawa Tengah, maka untuk masing-masing variabel tersebut dihitung dengan rumus sebagai berikut :
, 0 1
( )2 ( : )
< <

= Σ Vw y y y f n
Vw i i i y Untuk mengukur variabel investasi swasta per kapita digunakan rumus (Hg.
Suseno, 1990) :
........................................................(2)
dimana :
Σ I = Jumlah realisasi Investasi di Provinsi Jawa Tengah
Σ Pd = Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah
Dan untuk mengukur ratio angkatan kerja diukur dengan rumus (Hg. Suseno,
1990) :
........................................................(3)
dimana :
Σ Ak = Jumlah Angkatan Kerja di Provinsi Jawa Tengah
Σ Pd = Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah
Dan untuk mengukur Dana Bantuan per kapita diukur dengan rumus
(Hg. Suseno, 1990) :
........................................................(4)
dimana :
Σ Dbt = Jumlah Realisasi Dana Bantuan di Provinsi Jawa Tengah
Σ Pd = Jumlah Penduduk di Provinsi Jawa Tengah
Dalam menganalisis hubungan antara ketimpangan yang disebabkan oleh investasi swasta, angkatan kerja pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah alokasi dana bantuan pembangunan daerah maka digunkana data time series
(Gujarati, 1995). Dengan model ini diharapkan akan diketahui pengaruh
Σ
Σ =
Pd
I
X1
Σ
Σ =
Pd
Ak
X2
Σ
Σ =
Pd
Dbt
X3
variabel idependen terhadap variabel dependen (tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi) yang berguna dalam perencanaan pembangunan.
Dari keempat variabel tersebut dapat disusun suatu fungsi Indeks
Ketimpangan Pembangunan Ekomomi yakni :
......................................(5)
Dari persamaan (5) indeks ketimpangan pembangunan ekonomi tersebut merupakan suatu persamaan non linear yakni :
............................(6)
dimana :
Vw = Indeks Williamson Provinsi Jawa Tengah.
X1 = Investasi Swasta di Provinsi Jawa Tengah per kapita.
X2 = Ratio Angkatan Kerja di Provinsi Jawa Tengah.
X3 = Alokasi Dana Bantuan Pembangunan Daerah per kapita di
Provinsi Jawa Tengah. α0 = kosntanta. α1, α2, α3 = koefisien masing-masing dari X1, X2, X3 t = tahun. μ = faktor gangguan.
3.3.3 Uji Asumsi Klasik.
Agar mendapatkan prediktor yang tidak bias maka diperlukan evaluasi terhadap dipenuhinya asumsi dari regresi linier klasik yaitu : asumsi normalitas, tidak terdapat autokorelasi, multikolinieritas dan heterokedasitas.
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Untuk menguji apakah distribusi data normal atau tidak dalam penelitian ini digunakan dengan melihat normal probability plot, yang membandingkan distribusi kumulatif dari data sesungguhnya dengan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal akan t t t t t Vw = α + α X + α X + α X + μ 0 1 1 2 2 3 3
( , , ) 1 2 3 Vw = f X X X membentuk satu garis lurus diagonal, dan plotting data akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya.
Autokorelasi merupakan korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu
(seperti dalam data deretan waktu) atau ruang (Gujarati, 2003). Dalam konteks regresi, model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi atau ganguan ui. Dengan kata lain unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau ganguan yang berhubungan dengan pengamatan lain manapun.
Pengujian ada atau tidaknya autokorelasi dalam persamaan regresi ini dilakukan dengan melihat keadaan nilai Durbin Watson (DW test). Jika
DW hitung terletak lebih kecil dari dL terjadi autokorelasi positif, di antara dL dan dU tidak dapat diputuskan, di antara dU < DW < 4-dU maka bebas autokorelasi, di antara 4-dU dan 4-dL maka tidak dapat diputuskan, lebih dari 4-dL maka terjadi autokorelasi negatif (Gujarati, 2003)
Multikolineritas terjadi jika terdapat hubungan yang sempurna atau pasti di antara beberapa variabel atau semua variabel independen dalam model. Pada kasus multikolinieritas yang serius, koefisien regresi tidak lagi menunjukan pengaruh murni dari variabel independen dalam model.
Multikolinierity berarti adanya hubungan yang sempurna atau pasti di antara beberapa variable atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi
(Sumarno, 2003; Gujarati, 2003). Pengujian asumsi klasik Multikolinieritas dilakukan dengan melihat nilai VIF (Variance Inflation Factor) dan
Tolerance. Bila nilai VIF lebih kecil dari 10 dan nilai toleransinya di atas 0,1 atau 10% maka dapat disimpulkan dalam model bebas dari penyimpangan asumsi klasik. Multikolinieritas (Ghozali, 2005; Gujarati, 2003).
Asumsi penting dari model regresi linear klasik adalah bahwa gangguan (Disturbance) yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah homoskedastisitas, yaitu semua standar error mempunyai varian yang sama.
Pengujian terhadap gejala Heteroskedastisitas digunakan Glejtser Test
(Gujarati, 2003) yaitu dengan cara meregres nilai residual absolute (sebagai variabel terikat) dari perhitungan regresi awal dengan semua variabel bebasnya. Bila pengujian secara statistik dari hasil regresi tidak signifikan, ini berarti dalam model tidak terjadi penyimpangan asumsi klasik heterokesdastisitas dengan demikian menerima hipotesis homoskedastisitas dan sebaliknya.
3.3.4 Uji Statistik.
Untuk menguji apakah variabel penyebaran investasi swasta, bantuan pembangunan, angkatan kerja serta kondisi krisis ekonomi berpengaruh atau tidak terhadap kesenjangan akan diuji dengan uji-t dan uji-F. Pengujian hipotesis secara statistik dinyatakan dengan hipotesa nol yang disebut Ho.
Hipotesa nol diuji terhadap hipotesa alternatif yang dinyatakan Ha.
Pengujian hipotesa berkenaan dengan prosedur untuk memutuskan apakah menerima atau menolak hipotesis.
1. Uji Parsial
Prosedur pengujian hipotesis diperlukan untuk menguji kebenaran atau dugaan sementara HO dan hipotesis alternatif (Ha) . kemudian penetuan taraf uji (significancy level) misal 1 %, 5 % atau 10 %. Uji parsial bertujuan untuk membuat kesimpulan mengenai pengaruh masingmasing variabel independen (X) terhadap variabel dependen (Y). kemudian untuk menerima atau menolak Ho dibuat atas dasar nilai statistik uji-t , yang diperoleh dari data yang dimiliki.
………………………………………(6)
Dimana : βi = penaksir koefisien βi
SD βi = standar deviasi βi
N = jumlah observasi
K = jumlah parameter dalam model termasuk intersep, dengan derajat keyakinan dan derajat kebebasan df = n - k tertentu.
Jika t-hit > t-tabel, maka Ho ditolak, yang berarti variasi-variasi variabel Xi mampu mempengaruhi Variabel Yi
2. Pengujian secara serentak (Uji simultan)
Pengujian semua koefisien penaksir regresi secara serentak dilakukan dengan uji-F
………………………….(7)
dimana :
R2 = koefisien determinasi n = jumlah observasi k = jumlah parameter dalam model termasuk intersep, dengan tingkat keyakinan dan derajat kebebasan df = (k-1; n-k) tertentu. Jika F-hit > F-tabel maka Ho ditolak yang berarti bahwa semua variabel penjelas yang digunakan secara serentak bersama-sama dapat menjelaskan atau mempengaruhi variabel yang dijelaskan secara nyata. i i hit SD t β β =
((1 ) / ))
( / 1)
2
2
R n k
F R k hitung − −

=
BAB IV
GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN
4.1 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Perkapita.
Salah satu sisi untuk melihat keberhasilan pembangunan dari aspek perekonomian suatu wilayah, tidak hanya dilihat dari perkembangan nilai Produk
Domestik Regional Bruto akan tetapi juga dapat dilihat dari besarnya pendapatan perkapita. Perkembangan pendapatan perkapita di Provinsi Jawa Tengah cenderung mengalami kenaikan. Selama kurun waktu 1981 hingga 2005 PDRB perkapita per
Kabupaten/Kota juga mengalami kenaikan. Namun jika dilihat pada tabel 4.1 terdapat PDRB perkapita per Kabupaten/Kota tertinggi untuk tahun 1981 yakni
Kabupaten Kudus sebesar Rp 1.612.208,51 diikuti Kota Semarang Rp 1.380.140,27;
Kota Pekalongan Rp 1.008.325,84; Kota Magelang sebesar Rp 907.488,35. Dan
PDRB perkapita per Kabupaten/Kota terkecil untuk tahun 1981 yakni Kabupaten
Klaten sebesar Rp 181.618,51
Sedangkan pada tahun 2005 PDRB perkapita per Kabupaten/Kota tertinggi yakni Kabupaten Kudus sebesar Rp 9.162.761,66 diikuti Kabupaten Cilacap Rp
9.040.572,72; dan Kota Semarang Rp 8.058.647.,23. Untuk PDRB per kapita per
Kabupaten/Kota terendah yakni Kabupaten Blora sebesar Rp 1.307.941,33.
Sementara untuk rata-rata PDRB Perkapita Pertahun dari tahun 1981 hingga 2005 cenderung bervariasi. Namun jika dilihat juga terdapat rata-rata PDRB perkapita per
Kabupaten/Kota ada yang tinggi yakni Kabupaten Kudus sebesar Rp
4.186.458,54 diikuti Kabupaten Cilacap Rp 3.449.610,93; dan Kota Semarang sebesar Rp 3.537.324.,81. Dan rata-rata PDRB perkapita per Kabupaten/Kota terendah yakni Kabupaten Tegal sebesar Rp 682.291,39; Kabupaten Grobogan sebesar Rp 682.729,43.
Pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa PDRB perkapita dari kurun waktu 1981 hingga 2005 untuk per Kab./Kota di Provinsi Jawa Tengah masih terjadi ketidakmertaan pendapatan, bahkan secara rata-rata PDRB perkapita per Kab./Kota juga menunjukan ketidakmerataan pendapatan yang diterima oleh setiap orang.
Tabel 4.1
Perkembangan PDRB Perkapita Per Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Tengah Tahun 1981 hingga Tahun 2005
No.
Kabupaten / Kota
PDRB
Perkapita PDRB Perkapita Rata-Rata PDRB
Perkapita Pertahun
1981 2005 Dari 1981-2005
1 Kab. Cilacap 476.940,93 9.040.572,72 3.449.610,93
2 Kab. Banyumas 467.824,79 1.784.469,14 762.657,36
3 Kab. Purbalingga 502.950,19 1.652.820,95 826.931,78
4 Kab. Banjarnegara 530.213,33 1.793.564,30 1.012.552,70
5 Kab. Kebumen 629.890,70 1.277.164,35 841.776,84
6 Kab. Purworejo 524.943,24 2.471.742,93 990.692,68
7 Kab. Wonosobo 331.670,96 1.471.950,72 702.767,61
8 Kab. Magelang 489.917,84 2.032.500,30 942.471,99
9 Kab. Boyolali 656.597,19 2.844.458,20 1.187.788,92
10 Kab. Klaten 181.618,51 2.745.482,06 1.066.681,26
11 Kab. Sokoharjo 737.164,50 3.722.060,56 1.483.983,67
12 Kab. Wonogiri 321.527,76 1.768.280,14 736.727,00
13 Kab. Karanganyar 706.060,32 3.848.263,63 1.545.822,77
14 Kab. Sragen 432.702,05 2.010.765,03 836.467,00
15 Kab. Grobogan 420.649,06 1.401.076,25 682.729,43
16 Kab. Blora 548.779,35 1.307.941,33 822.127,01
17 Kab. Rembang 594.898,31 1.852.470,63 969.803,39
18 Kab. Pati 488.622,81 2.423.301,34 970.020,83
19 Kab. Kudus 1.612.208,51 9.162.761,66 4.186.458,54
20 Kab. Jepara 527.375,09 2.490.182,20 1.077.516,78
21 Kab. Demak 445.669,15 1.745.492,06 832.904,61
22 Kab. Semarang 470.588,96 4.189.797,52 1.413.309,97
23 Kab. Temanggung 522.472,04 1.964.158,16 952.468,81
24 Kab. Kendal 654.626,15 3.310.024,43 1.642.361,48
25 Kab. Batang 547.835,90 1.895.958,02 1.034.967,89
26 Kab. Pekalongan 537.459,41 2.199.616,98 1.067.743,95
27 Kab. Pemalang 454.451,65 1.420.040,22 772.555,30
28 Kab. Tegal 385.356,99 1.401.874,29 682.291,39
29 Kab. Brebes 547.733,15 1.841.321,11 877.088,31
30 Kota Magelang 907.488,35 4.516.117,47 2.042.296,55
31 Kota Surakarta 798.569,06 4.995.808,07 2.245.302,24
32 Kota Salatiga 825.707,38 2.796.612,52 1.710.316,33
33 Kota Semarang 1.380.140,27 8.058.647,23 3.537.324,81
34 Kota Pekalongan 1.008.325,84 3.457.453,74 1.722.268,31
35 Kota Tegal 866.258,72 2.081.989,52 1.409.782,59
Jumlah PDRB Perkapita 615.292,53 2.942.192,57 1.343.958,17
Sumber : Jawa Tengah dalam angka Tahun 1981 s/d Tahun 2005, BPS, data diolah.
4.2 Pertumbuhan Penduduk.
Pertumbuhan penduduk yang besar bagi suatu negara tidak otomatis menjadi modal pembangunan, bahkan dapat pula menjadi beban tanggungan bagi penduduk lainnya (Hg. Suseno, 1900 : 104). Pertumbuhan penduduk setiap tahun akan berdampak pada usia kerja yang mempengaruhi pertumbuhan maupun jumlah angkatan kerja. Pembangunan ketenagakerjaan ditujukan untuk memperluas lapangan kerja produktif, baik jumlah maupun mutunya. Melalui pembangunan ketenagakerjaan diharapkan terjadi penyerapan tambahan angkatan kerja baru, penurunanan jumlah pengangguran. Faktor yang mempengaruhi perkembangan ketenagakerjaan yakni kondisi perekonomian suatu negara, kebijakan pemerintah serta perkembangan teknologi (BPS, 2000 : 62). Perkembangan elastisitas kesempatan kerja pada periode 2000 – 2005 di Provinsi Jawa Tengah berfluktuasi.
Hal ini dipengaruhi PDRB serta perkembangan kesempatan kerja. Selama kurun waktu 2000-2005 rata-rata pertumbuhan PDRB sebesar 4,30 % per tahun. Jika dimati dari tabel 4.2 pertumbuhan PDRB dari tahun ke tahun cenderung mengalami fluktuasi. Pada tahun 2000 mencapai 3,90 % hingga tahun 2002 mengalami penurunan mencapai 3,55 %. Sedangkan pada tahun 2003 mengalami peningkatan mencapai 4,98 % hingga tahun 2005 sebesar 5,35 % (tabel 4.2).
Tabel 4.2
Laju Pertumbuhan PDRB dari Tahun 2000-2005
Provinsi Jawa Tengah
Tahun Laju Pertumbuhan PDRB (%)
2000 3,90
2001 3,59
2002 3,55
2003 4.98
2004 5,13
2005 5,35
Sumber : Jawa Tengah dalam Angka Tahun 2000-2005
4.3 Perkembangan Angkatan Kerja
Sedangkan jumlah angkatan kerja antara daerah di Provinsi Jawa Tengah relatif bervariasi dan tentunya hal ini berkaitan dengan pertumbuhan penduduk di daerah. Persentase tertinggi angkatan kerja di Provinsi Jawa Tengah pada tahun
1981 adalah Kabupaten Cilacap 5,57 % diikuti oleh Kabupaten Klaten 4,93 %;
Kabupaten Wonogiri 4,67 %; Kabupaten Brebes 4,61 %. Persentase terendah pada tahun 1981 Kota Tegal 0,23 %; Kota Salatiga 0,29 %; Kota Magelang 0,52 % dan
Kota Pekalongan sebesar 0,54 % (tabel 4.3).
Sedangkan pada tahun 2005 angkatan kerja tertinggi pada Kabupaten
Brebes 5,43 % diikuti Kabupaten Cilacap 4,47 %; Kabupatan Banyumas 4,34 %;
Kabupaten Grobogan 4,33 %; Kota Semarang 4,18 %; dan Kabupaten Tegal
4,091%. Persentase terendah pada tahun 2005 Kota Magelang 0,42 %; Kota Salatiga
0,55 %; Kota Tegal 0,76 % dan Kota Pekalongan 0,90 % (tabel 4.3).
Tabel 4.3
Jumlah dan prosentase angkatan kerja di Provinsi Jawa Tengah
No. Kabupaten / Kota
Angkatan Kerja
Tahun 1981 % Tahun 2005 %
1 Kab. Cilacap 855.676 5,57 758.481 4,47
2 Kab. Banyumas 617.793 4,02 735.363 4,34
3 Kab. Purbalingga 381.559 2,48 411.460 2,43
4 Kab. Banjarnegara 420.930 2,74 464.644 2,74
5 Kab. Kebumen 530.624 3,45 543.633 3,21
6 Kab. Purworejo 520.002 3,38 361.276 2,13
7 Kab. Wonosobo 410.311 2,67 421.916 2,49
8 Kab. Magelang 685.698 4,46 594.218 3,50
9 Kab. Boyolali 548.801 3,57 538.369 3,18
10 Kab. Klaten 757.634 4,93 641.839 3,79
11 Kab. Sokoharjo 390.985 2,54 450.370 2,66
12 Kab. Wonogiri 718.326 4,67 571.816 3,37
13 Kab. Karanganyar 456.586 2,97 477.742 2,82
14 Kab. Sragen 525.612 3,42 465.321 2,74
15 Kab. Grobogan 580.669 3,78 734.860 4,33
16 Kab. Blora 419.185 2,73 457.162 2,70
17 Kab. Rembang 270.253 1,76 300.328 1,77
18 Kab. Pati 598.459 3,89 640.292 3,78
19 Kab. Kudus 269.935 1,76 424.601 2,50
20 Kab. Jepara 405.455 2,64 550.936 3,25
21 Kab. Demak 449.290 2,92 508.419 3,00
22 Kab. Semarang 449.002 2,92 535.250 3,16
23 Kab. Temanggung 351.627 2,29 412.864 2,44
24 Kab. Kendal 429.216 2,79 476.284 2,81
25 Kab. Batang 317.972 2,07 360.716 2,13
26 Kab. Pekalongan 455.711 2,96 435.249 2,57
27 Kab. Pemalang 232.030 1,51 648.709 3,83
28 Kab. Tegal 681.936 4,44 692.815 4,09
29 Kab. Brebes 709.374 4,61 921.376 5,43
30 Kota Magelang 79.202 0,52 71.794 0,42
31 Kota Surakarta 251.440 1,64 265.686 1,57
32 Kota Salatiga 45.354 0,29 92.746 0,55
33 Kota Semarang 439.015 2,86 708.157 4,18
34 Kota Pekalongan 83.761 0,54 151.836 0,90
35 Kota Tegal 35.913 0,23 128.104 0,76
Jumlah 15.375.336 100 16.954.632 100
Penduduk 25.564.361,00 33.126.475,00
Ratio Angkatan Kerja 60 51
Sumber : Jawa Tengah dalam angka Tahun 2001 dan Tahun 2006, BPS, data diolah.
Namun demikian jika diamati tabel 4.3 jumlah angkatan kerja tahun 1981 dan 2005 cenderung mengalami peningkatan, sedangkan per kabupaten/kota ada 16 yang mengalami penurunan dan 19 daerah mengalami kenaikan baik untuk kabupaten/kota atau jumlah angkatan kerja untuk Provinsi Jawa Tengah tahun 1981 mencapai 15.375.336 dan tahun 2005 sebesar 16.954.632 jiwa. Sedangkan ratio angkatan pada tahun 1981 mencapai 60 % dan tahun 2005 mencapai 51 % berarti mengalami penurunan sebesar 9 %.
4.4 Investasi Swasta
Dalam rangka menggerakkan kegiatan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah, masih diperlukan modal sebagai tambahan investasi pada setiap tahunnya.
Tambahan investasi dapat berasal daeri investasi pemerintah melalui alokasi anggaran pembangunan, dunia usaha/swasta maupun masyarakat. Investasi swasta dari dunia usaha atau Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal
Asing) adalah investasi yang secara langsung berpengaruh terhadap tingkat produktivitas perusahaan, antara lain digunakan untuk pembelian mesin-mesin dan perakitan produksi.
Besarnya nilai Penanaman Modal Dalam Negeri maupun Penanaman Modal
Asing antar daerah di Provinsi Jawa Tengah sangat bervariasi. Adapaun
Perkembangan realisasi investasi di Provinsi Jawa Tengah cenderung mengalami kenaikan. Pada tabel 4.4 menujukkan investasi per Kabupaten / Kota tetinggi pada tahun 1981 yakni Kota Surakarta Rp 157.635.000.000. Dan investasi pada tahun 1981 yang terendah yakni Kabupaten Semarang Rp 366.000.000. Sedangkan investasi perkapita per Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp 15.247.448.
Selanjutnya pada tahun 2005 juga terdapat Kabpuaten/Kota yang mendapat investasi perkapita terbesar yakni Kabupaten Kendal sebesar Rp
503.308.000.000; diikiuti Kabupaten Pekalongan sebesar Rp 417.676; Kabupaten
Pati sebesar Rp 161.775.000.000. Sedangkan investasi perkapita Provinsi Jawa
Tengah tahun 2005 sebesar Rp 56.741.685, yang berarti mengalami kenaikan sebesar Rp 41.494.237.
Sementara secara rata-rata investasi selama kurun waktu 1981 hingga 2005 juga ada Kab./Kota yang mendapat invstasi tertinggi yakni Kota Semarang sebesar
Rp 820.337.000.000; dan Kabupaten/Kota yang mendapat rata-rata investasi terendah yakni Kota Tegal sebesar Rp 500.000.000.
Dengan dimikian investasi perkapita untuk per Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah baik dari tahun ke tahun maupun secara rata-rata pertahun cenderung tidak merata.
Tabel 4.4
Perkembangan Realisasi Investasi Per Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
Tahun 1981 hingga Tahun 2005
No. Kabupaten / Kota Investasi
(jutaan rupiah)
Rata-rata Pertahun
(jutaan rupiah)
Tahun 1981 Tahun 2005 1981 s/d 2005
1 Kab. Cilacap 78.522 4.949 516.235
2 Kab. Banyumas 0 23.456 3.098
3 Kab. Purbalingga 0 4.622 3.970
4 Kab. Banjarnegara 0 0 2.476
5 Kab. Kebumen 0 0 49.070
6 Kab. Purworejo 0 0 411.124
7 Kab. Wonosobo 0 0 13.752
8 Kab. Magelang 0 0 22.780
9 Kab. Boyolali 0 0 33.302
10 Kab. Klaten 0 29.775 9.622
11 Kab. Sokoharjo 0 103.979 78.524
12 Kab. Wonogiri 0 0 27.005
13 Kab. Karanganyar 0 76.839 192.901
14 Kab. Sragen 0 4.162 44.038
15 Kab. Grobogan 0 0 46.638
16 Kab. Blora 0 0 6.643
17 Kab. Rembang 0 0 24.789
18 Kab. Pati 0 161.775 42.511
19 Kab. Kudus 0 0 16.042
20 Kab. Jepara 0 26.650 186.469
21 Kab. Demak 0 11.000 35.043
22 Kab. Semarang 366 73.382 144.326
23 Kab. Temanggung 0 70.000 9.466
24 Kab. Kendal 0 503.308 399.705
25 Kab. Batang 451 0 47.229
26 Kab. Pekalongan 159 417.676 45.203
27 Kab. Pemalang 0 0 38.519
28 Kab. Tegal 0 164.630 26.178
29 Kab. Brebes 0 0 60.520
30 Kota Magelang 0 0 8.273
31 Kota Surakarta 157.635 36.414 54.152
32 Kota Salatiga 4.566 89.644 48.952
33 Kota Semarang 148.092 59.914 820.337
34 Kota Pekalongan 0 7.478 15.131
35 Kota Tegal 0 9.999 500
Jumlah 389.791 1.879.652 3.484.520
Penduduk 25.564,36 33.126,48 4.169,06
Perkapita 15,247 56,742 835,805
Sumber : Badan Penanaman Modal Provinsi Jateng Tahun 1981 s/d Tahun 2005, data diolah
4.5 Bantuan Pembangunan
Bantuan pembangunan bagi Kabupaten/Kota yang diberikan oleh
Pemerintah Pusat kepada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu pengeluaran pembangunan Pemerintah Pusat.
Bantuan pembangunan daerah tersebut diharapkan berperan mendukung pembangunan daerah. Arah bantuan dana ini adalah agar dapat meningkatkan kapasitas manusia dalam membangun, melakukan akumulasi kemampuan masyarakat dan proses pemupukan potensi dan modal, serta mendorong perubahan struktur sosial budaya dan ekonomi menuju kehidupan yang lebih baik.
Untuk itulah guna memberikan gambaran perkembangan bantuan pembanguan dapat dilihat pada tabel 4.5. Selama kurun waktu 1981 hingga 2005 bantuan pembanguan perkapita per Kabupaten/Kota juga mengalami kenaikan. Pada tabel 4.4 untuk tahun 1981 terdapat Kabupaten/Kota yang mendapat bantuan terbesar untuk setiap orang yakni Kabupaten Cilacap sebesar Rp
8.033.393.000; diikuti Kota Surakarta sebesar Rp 2.084.198.000; dan Kota
Semarang sebesar Rp 2.904.166.000. Sedangkan Kabupaten/Kota yang mendapat dana bantuan pembangunan yang terkecil yakni Kota Salatiga Rp 163.254.000.
Dan dana bantuan pembangunan perkapita di Provinsi Jawa Tengah mencapai Rp
1.211.000.
Sedangkan pada tahun 2005 terdapat juga Kabupaten/Kota yang mendapat bantuan terbesar yakni Kabuapten Cilacap sebesar Rp 22.041.724.000. Dan
Kabupaten/Kota yang mendapat bantuan terkecil yakni Kota Salatiga Rp
5.019.392.000. Serta secara rata-rata pertahun Kabupaten/Kota yang mendapat bantuan terbesar yakni Kabupaten Cilacap sebesar Rp 12.935.976.000 dan
Kabupaten/Kota yang mendapat bantuan terkecil yakni Kota Tegal sebesar Rp
3.999.794.000. Untuk dana bantuan pembangunan perkapita di Provinsi Jawa
Tengah tahun 2005 mencapai Rp 15.477.000.
Dengan demikian nampak bahwa pembangunan di Provinsi Jawa Tengah dari kurun waktu 1981 hingga 2005 tidak merata, hal ini ditunjukkan adanya daerah yang menerima bantuan relatif tinggi dan relatif rendah.
Tabel 4.5
Perkembangan Realisasi Dana Bantuan Perkapita Per Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Tengah Tahun 1981 hingga Tahun 2005
(ribuan rupiah)
No. Kabupaten / Kota Dana Bantuan Rata-rata
Pertahun
Tahun 1981 Tahun 2005 1981 s/d 2005
1 Kab. Cilacap 8.033.393 22.041.724 12.935.976
2 Kab. Banyumas 523.064 21.663.073 12.305.857
3 Kab. Purbalingga 441.671 15.161.286 8.451.347
4 Kab. Banjarnegara 412.758 15.285.750 8.763.327
5 Kab. Kebumen 1.099.000 17.800.463 10.641.678
6 Kab. Purworejo 564.123 15.766.817 8.229.737
7 Kab. Wonosobo 442.281 13.648.248 7.254.393
8 Kab. Magelang 1.510.787 16.933.320 9.330.660
9 Kab. Boyolali 501.104 14.931.981 8.960.420
10 Kab. Klaten 901.338 16.897.241 9.470.121
11 Kab. Sokoharjo 529.971 14.314.132 7.044.045
12 Kab. Wonogiri 620.099 18.224.933 10.527.393
13 Kab. Karanganyar 325.664 13.598.003 7.158.652
14 Kab. Sragen 507.033 15.192.299 8.815.125
15 Kab. Grobogan 509.512 16.766.580 10.272.106
16 Kab. Blora 582.731 14.358.811 7.532.048
17 Kab. Rembang 255.827 11.134.660 6.098.198
18 Kab. Pati 830.440 16.579.664 9.414.661
19 Kab. Kudus 541.715 12.025.296 6.179.027
20 Kab. Jepara 414.366 15.402.986 8.441.623
21 Kab. Demak 426.555 14.139.061 7.815.551
22 Kab. Semarang 456.342 14.827.781 8.571.270
23 Kab. Temanggung 500.686 12.788.099 6.758.996
24 Kab. Kendal 563.799 15.686.844 8.719.061
25 Kab. Batang 371.951 12.503.182 7.275.222
26 Kab. Pekalongan 495.505 12.902.617 7.216.870
27 Kab. Pemalang 814.699 18.182.611 9.513.663
28 Kab. Tegal 651.272 18.314.391 11.072.601
29 Kab. Brebes 982.672 21.787.724 12.638.979
30 Kota Magelang 318.098 8.044.990 4.215.821
31 Kota Surakarta 2.084.198 12.105.945 6.263.630
32 Kota Salatiga 163.254 5.019.392 2.963.200
33 Kota Semarang 2.904.166 8.574.073 9.527.279
34 Kota Pekalongan 457.187 10.567.843 4.229.523
35 Kota Tegal 214.922 8.525.962 3.999.794
Jumlah 30.952.183 511.697.782 288.607.854
Penduduk 25.564 33.126 29.223
Perkapita 1.211 15.447 9.876
Sumber : Jawa Tengah dalam angka Tahun 1981 s/d Tahun 2005, BPS, data diolah
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Tingkat Ketimpangan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah
Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus indeks Williamson, dapat diketahui tingkat ketimpangan di Provinsi
Jawa Tengah selama tahun 1981-2005 cenderung meningkat, hal ini menandakan ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah yang semakin meningkat. Sebaliknya bila indeks Williamson menurun berarti ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah juga menurun. Berdasarkan tabel 5.1 selama 25 tahun pengamatan indeks Williamson yang paling rendah pada tahun 1982 sebesar 0,44 yang berarti tingkat pemerataannya mencapai 56 %. Sedangkan tingkat ketimpangan paling tinggi pada tahun 2003 yakni 0,80 yang berarti tingkat pemerataan pembangunan hanya sekitar 20 %.
Untuk investasi perkapita yang terendah pada tahun 1981 sebesar Rp 15.247; dan yang tertinggi terjadi pada tahun 1981 sebesar Rp 433.607. Dan untuk ratio angkatan kerja yang terendah terjadi pada tahun 1994 dan 1996 sebesar 46
%; sedangkan yang tertinggi terjadi pada tahun 1990 sebesar 62 %. Selanjuntnya untuk bantuan pembangunan perkapita yang terendah terjadi pada tahun 1984 mencapai Rp 704 dan yang tertinggi terjadi pada tahun 1999 mencapai Rp 17.520.
Tabel 5.1
Indeks Ketimpangan Pembangunan Ekonomi, Dana Bantuan Pembangunan Perkapita,
Ratio Angkatan Kerja, dan Investasi Perkapita di Provinsi Jawa Tengah.
Tahun
Indeks
Ketimpangan
Investasi
Perkapita
(jutaan rupiah)
Ratio Angkatan
Kerja
( persen)
Dana Bantuan
Pembangunan Perkapita
(ribuan rupiah)
1.981 0,47 15.247 60 1.211
1.982 0,44 32.573 66 939
1.983 0,47 26.146 60 1.095
1.984 0,46 265.797 64 704
1.985 0,47 210.930 60 708
1.986 0,55 191.097 60 4.240
1.987 0,58 41.794 62 2.733
1.988 0,56 53.344 61 3.399
1.989 0,59 39.663 60 4.060
1.990 0,61 67.361 62 7.446
1.991 0,68 37.042 60 8.437
1.992 0,69 58.606 60 9.672
1.993 0,77 42.512 47 10.179
1.994 0,78 36.501 46 12.022
1.995 0,78 42.768 47 15.319
1.996 0,78 433.607 46 16.572
1.997 0,74 393.490 47 15.401
1.998 0,74 418.344 49 14.013
1.999 0,75 114.309 50 17.520
2.000 0,78 61.848 49 14.752
2.001 0,76 76.165 48 14.098
2.002 0,77 115.487 53 16.113
2.003 0,80 63.676 52 15.562
2.004 0,76 60.757 51 15.006
2.005 0,76 56.742 51 15.447
Sumber : BPS, data diolah.
Dengan demikian untuk realisasi dana bantuan pembangunan perkapita per Kabuapetn/Kota di Provinsi Jawa
Tengah terjadi ketidakmerataan dalam kurun waktu 1981 hingga 2005. Hal ini juga terjadi pada realisasi investasi perkapita per Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah yang tidak merata. Dan ratio penduduk per Kabupaten/Kota relatif merata.
Sedangkan tingkat ketimpangan cenderun meningkat dari tahun ke tahun.
5.2. Pengujian Asumsi Klasik
Sebelum data diintepretasikan terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik agar dapat diperoleh estimasi yang BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Pengujian asumsi klasik yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi uji
Multikolinieritas, Autokorelasi dan Heteroskedastisitas
5.2. 1 Uji Normalitas Data
Untuk menguji apakah distribusi data normal atau tidak dalam penelitian ini digunakan dengan melihat normal probability plot, yang membandingkan distribusi kumulatif dari data sesungguhnya dengan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk satu garis lurus diagonal, dan plotting data akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya. Hasil uji normalitas dengan normal probability plot dapat dilihat pada Gambar 5.1 di bawah ini:
Dari Gambar 5.1 di atas terlihat ploting titik-titik mengikuti garis diagonalnya sehingga data dalam penelitian ini memenuhi distribusi normalitas.
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Dependent Variable: Indeks Ketimpangan (Vw)
Observed Cum Prob
0.00 .25 .50 .75 1.00
Expected Cum Prob
1.00
.75
.50
.25
0.00
Gambar 5.1
Uji Normalitas Data
5.2. 2 Uji Multikolinieritas
Multikolineritas terjadi jika terdapat hubungan yang sempurna atau pasti di antara beberapa variabel atau semua variabel independen dalam model. Pada kasus multikolinieritas yang serius, koefisien regresi tidak lagi menunjukan pengaruh murni dari variabel independen dalam model. Multikolinierity berarti adanya hubungan yang sempurna atau pasti di antara beberapa variable atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi
(Sumarno, 2003; Gujarati, 2003). Pengujian asumsi klasik Multikolinieritas dilakukan dengan melihat nilai VIF
(Variance Inflation Factor) dan Tolerance. Bila nilai VIF lebih kecil dari 10 dan nilai toleransinya di atas 0,1 atau
10% maka dapat disimpulkan dalam model bebas dari penyimpangan asumsi klasik. Multikolinieritas (Ghozali,
2005; Gujarati, 2003). Hasil perhitungan dengan menggunakan SPSS diperoleh nilai sebagai berikut :
Tabel 5.2
Pengujian Multikolinieritas
Variabel Nilai VIF Tolerance Keterangan
Investasi Swasta Perkapita
Rasio Angkatan Kerja
Perkapita
Alokasi Dana Bantuan
Pembangunan Perkapita
1,091
4,085
3,959
0,917
0,245
0,253
Bebas Multikol
Bebas Multikol
Bebas Multikol
Sumber : data diolah, lampiran 19.
Dari Tabel 5.2 menunjukkan bahwa nilai VIF semua variabel bebas dalam penelitian ini lebih kecil dari
10. Selain itu hasil perhitungan nilai tolerance menunjukkan semua variabel bebas memiliki nilai tolerance lebih dari 0,1 yang berarti tidak ada korelasi antar variabel bebas yang nilainya lebih dari 90%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolonieritas antar variabel bebas dalam model regresi
5.2. 3 Uji Autokorelasi
Autokorelasi merupakan korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu
(seperti dalam data deretan waktu) atau ruang (Gujarati, 2003). Dalam konteks regresi, model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi atau ganguan ui. Dengan kata lain unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau ganguan yang berhubungan dengan pengamatan lain manapun
Pengujian ada atau tidaknya autokorelasi dalam persamaan regresi ini dilakukan dengan melihat keadaan nilai Durbin Watson (DW test). Dari hasil perhitungan, uji mapping Durbin Watson (DW) diperoleh angka
DW sebesar 1,899 (lihat lampiran SPSS). Dengan jumlah data (n) sama dengan 25 dan jumlah variabel (k) sama dengan 3 serta α= 5% diperoleh angka dL = 1,12 dan dU = 1,66
Gambar 5.2
Hasil Pengujian Durbin Watson
Dari gambar 5.2 di atas terlihat nilai DW hitung terletak di antara dU < DW < 4-dU atau daerah bebas
Autokorelasi, maka model dapat dikatakan tidak mengandung gejala Autokorelasi baik positif maupun negatif.
5.2. 4 Uji Heteroskedastisitas
Asumsi penting dari model regresi linear klasik adalah bahwa gangguan (disturbance term) yang muncul dalam fungsi regresi populasi adalah homokedastisitas, yaitu semua disturbance term mempunyai varian yang sama. Pengujian terhadap gejala Heteroskedastisitas digunakan Glejtser Test (Gujarati, 2003) yaitu dengan cara meregres nilai residual absolute (sebagai variabel terikat) dari perhitungan regresi awal dengan semua variabel bebasnya. Bila pengujian secara statistik dari hasil regresi tidak signifikan, ini berarti model tidak mengandung heterokesdastisitas dan sebaliknya. Berdasarkan hasil perhitungan dengan SPSS (lihat lampiran) didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 5.3
Hasil Pengujian Glejtser
Variabel Ind Sig. Keterangan
Investasi Swasta Perkapita 0,052 Bebas Hetero
Rasio Tenga Kerja 0,672 Bebas Hetero
Alokasi Dana
Pembangunan Perkapita
0,506 Bebas Hetero
Sumber : data diolah, lampiran 20. dL 1,12 dU 1,66
4 - dU
2,34
4 - dL
2,88
Daerah bebas Autokorela i Daerah ragu-ragu Daerah ragu-ragu Autokorelasi
( - )
Autokorelasi
( + )
DW 1,899
Dari tabel 5.3 dapat dilihat bahwa semua variabel bebas memberikan nilai probabilitas signifikansi lebih besar dari 0,05 (tidak signifikan) sehingga disimpulkan bahwa pada model, semua variabel bebas tidak terdapat gejala Heteroskedastisitas.
5.3. Pembahasan
Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi Ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah digunakan model regresi. Hasil estimasi dari model di atas dengan bantuan software SPSS 14 ditunjukkan pada
Tabel 5.3 berikut :
Tabel 5.3
Rangkuman Hasil Estimasi
Variabel Indep
Variabel Depend : Indeks Williamson (Vw)
Koef Regresi Nilai t-ratio Prob. Sig
Investasi Swasta Perkapita (X1)
Rasio Angkatan Kerja (X2)
Alokasi Dana Pembangunan Perkapita (X3)
Konstanta
-0,000000013
-0,005
0,0000016
0,775
-2,362**
-2,128**
7,184***
5,656***
0,028
0,045
0,000
0,000
F
Prob. Sig.
R2
DW
N
104,285
0,000***
0,937
1,899
25
(Sumber : data dilolah, lampiran 19)
Keterangan :
*** : Nyata pada derajat kepercayaan 99% ( α = 0,01)
** : Nyata pada derajat kepercayaan 95% ( α = 0,05)
* : Nyata pada derajat kepercayaan 90% ( α = 0,10)
Berdasarkan hasil regresi seperti pada tabel 5.3. tersebut maka ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi
Jawa Tengah bila diformulasikan dalam model adalah sebagai berikut:
Vw = 0,775 - 0,000000013X1 - 0,005X2 + 0,0000016X3
Dari persamaan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Nilai konstanta sebesar 0,775 menunjukkan nilai indeks Williamson bila variabel bebas investasi swasta, rasio angkatan kerja dan bantuan pembangunan perkapita dianggap nol.
- Koefisien regresi untuk variabel investasi swasta memberikan nilai yang negatif sebesar 0,000000013. Hal ini berarti bahwa apabila investasi swasta meningkat sebesar Rp 1 Juta perkapita, maka indeks Williamson akan menurun sebesar
0,000000013. Hal ini menunjukkan bahwa invesatasi swasta yang semakin besar dan merata pada daerah di Provinsi jawa tengah akan mendorong terjadinya peningkatan pendapatan perkapita sehingga akan menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan antar daerah dengan asumsi variabel lainnya dianggap konstan. - Koefisien regresi untuk variabel rasio angkatan kerja memberikan nilai yang negatif sebesar 0,005. Hal ini berarti bahwa apabila rasio angkatan kerja naik sebesar 1 persen, maka indeks Williamson akan menurun sebesar 0,005. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan jumlah angkatan kerja yang diimbangi dengan adanya kesempatan kerja yang tinggi akan dapat menyerap angkatan kerja yang baru. Penyerapan angkatan kerja ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga permintaan barang dan jasa lebih besar yang kemudian mendorong produsen untuk memproduksi lebih banyak lagi dan seterusnya, dengan demikian kegiatan ekonomi akan berjalan dengan baik dan ketimpangan ekonomi akan menurun sehingga akan menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan antar daerah dengan asumsi variabel lainnya dianggap konstan.
- Koefisien regresi untuk variabel alokasi dana bantuan pembangunan daerah memberikan nilai yang positif sebesar 0,0000016. Hal ini berarti bahwa apabila alokasi dana bantuan pembangunan daerah meningkat Rp. 1 Juta perkapita, maka indeks Williamson akan meningkat sebesar 0,0016. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi bantuan pembangunan daerah yang semakin tinggi dan tidak merata maka akan semakin tinggi ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa
Tengah. Hal ini disebabkan karena kondisi daerah yang berbeda-beda baik jumlah penduduk maupun pendapatan asli daerah maka besaran nilai bantuan pembangunan dari pusat pada masing-masing kabupaten dan kota haruslah tidak sama. Apabila besaran dana alokasi bantuan pembangunan daerah yang diberikan kepada suatu daerah dengan daerah lainnya sama, sedangkan kondisi, jumlah penduduk, pendapatan asli daerah tidak sama maka hal ini akan menimbulkan kesenjangan baru karena daerah yang kaya akan makin kaya dan daerah miskin akan semakin miskin
Dari Tabel 5.3 di atas menunjukkan bahwa secara bersama-sama/serentak (uji F) variabel bebas yang terdiri nilai investasi swasta perkapita, ratio angkatan kerja dan alokasi dana pembangunan secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah pada tingkat kepercayaan sampai dengan α=1%. Hal ini dapat dilihat nilai probabilitas signifikansi F sebesar 0,000 yang jauh lebih kecil dari 0,01. Sedangkan secara parsial
(individu variabel bebas), semua variabel bebas memberikan nilai koefisien yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai tratio masing-masing variabel bebas yang memberikan nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 (taraf nyata 5%).
Dari Tabel 5.3 menunjukkan bahwa nilai R2 sebesar 0,937 (cukup tinggi). Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,937 artinya variasi variabel ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah dapat dijelaskan oleh variabel-variabel investasi swasta perkapita, rasio angkatan kerja, dan alokasi dana pembangunan daerah sebesar 93,7% sedangkan sisanya sebesar 6,3% dijelaskan faktor-faktor lainnya di luar model.
Hipotesis Pertama (H1) menyatakan investasi swasta berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi.
Nilai t hitung variabel investasi swasta memberikan probabiltas signifikansi 0,028 yang lebih kecil dari 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa variabel investasi swasta berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Jawa Tengah.
Dengan demikian hipotesis pertama yang menyatakan investasi swasta berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi adalah diterima.
Hipotesis kedua (H2) rasio angkatan kerja berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi. Nilai t hitung variabel rasio angkatan kerja memberikan probabilitas signifikansi sebesar 0,045 lebih kecil dari 0,05 yang berarti variabel rasio angkatan kerja berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Jawa Tengah. Dengan demikian hipotesis kedua yang menyatakan rasio tenaga kerja berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi adalah diterima. Hipotesis ketiga (H3) Bantuan pembangunan Kab./Kota berpengaruh secara Negatif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi. Nilai t hitung variabel alokasi dana pembangunan daerah perkapita memberikan probabilitas signifikansi sebesar 0,000 jauh lebih kecil dari 0,05 yang berarti variabel alokasi dana pembangunan daerah perkapita berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi, namun memberikan nilai yang positif. Hal ini terjadi karena alokasi dana pembangunan dari tahun ke tahun pada tiap Kabupatean/Kota tidak sama. Dengan demikian hipotesis ketiga yang menyatakan alokasi dana pembangunan daerah berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi adalah gagal diterima.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel investasi swasta, rasio angkatan kerja dan alokasi dana pembangunan berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa tengah. Nilai koefisien dari variabel investasi swasta perkapita memiliki tanda negatif yang artinya apabila investasi swasta di provinsi Jawa Tengah meningkat maka akan mengurangi ketimpangan pembangunan ekonomi. Sebaliknya bila investasi swasta di Provinsi Jawa Tengah menurun maka tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah akan meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian Tantia
Hastharini (2002) yang menyimpulkan bahwa investasi berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi.
Persebaran kegiatan investasi yang tidak merata dapat menyebabkan kegiatan ekonomi dan peningkatan kemakmuran penduduk antar daerah menjadi tidak seimbang. Adanya peripindahan modal juga dapat meningkatkan ketimpangan antar daerah. Di daerah yang sudah maju, permintaan yang meningkat akan merangsang investasi yang pada giliranya akan meningkatkan pendapatan dan menyebabkan permintaan meningkat. Oleh kaerana itu peningkatan investasi diharapkan tidak hanya pada daerah-daerah yang sudah maju karena memiliki sarana dan prasarana yang lebih lengkap, namun pada daerahdaerah yang tertinggal juga perlu ditingkatkan investasinya dengan memberikan insentif investasi serta meningkatkan sarana dan prasarana yang diperlukan dalam investasi.
Koefisien regresi variabel rasio angkatan kerja memberikan tanda negatif yang berarti semakin meningkat rasio angkatan kerja akan menurunkan ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. Jumlah penduduk yang semakin besar akan mengakibatkan variasi dan jumlah angkatan kerja meningkat. Pertambahan jumlah angkatan kerja yang diimbangi dengan adanya kesempatan kerja yang tinggi akan dapat menyerap angkatan kerja yang baru. Penyerapan angkatan kerja ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga permintaan barang dan jasa lebih besar yang kemudian mendorong produsen untuk memproduksi lebih banyak lagi dan seterusnya, dengan demikian kegiatan ekonomi akan berjalan dengan baik dan ketimpangan ekonomi akan menurun. Hasil ini sesuai dengan penelitian Smith (2000) dan Tantia Hastharini (2002) yang menyimpulkan angkatan kerja berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi.
Variabel Alokasi pembangunan daerah memberikan koefisien regresi positif yang berarti alokasi bantuan pembangunan daerah yang semakin tinggi dan tidak merata maka akan semakin tinggi ketimpangan pembangunan ekonomi di
Provinsi Jawa Tengah. Hal ini disebabkan karena kondisi daerah yang berbeda-beda baik jumlah penduduk maupun pendapatan asli daerah maka besaran nilai bantuan pembangunan dari pusat pada masing-masing kabupaten dan kota haruslah merata. Apabila besaran dana alokasi bantuan pembangunan daerah yang diberikan kepada satu daerah dengan daerah lainnya tidak merata maka hal ini akan menimbulkan kesenjangan baru karena daerah yang kaya akan makin kaya dan daerah miskin akan semakin miskin. Oleh karena itu pemberian alokasi dana bantuan pembangunan daerah perlu memperhatikan kondisi dan wilayah masing-masing daerah sehingga diharapkan kesenjangannya akan menurun. Hal ini sesuai dengan penelitian Uppal dan Handoko (1986) yang menyatakan faktor yang menyebabkan kesenjangan antar daerah yaitu transfer pemerintah pusat melalui berbagai macam grant.
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis kesenjangan pembangunan ekonomi di Provinsi
Jawa Tengah maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah di Provinsi Jawa Tengah yang dihitung dengan menggunakan indeks Williamson selama periode 1981-
2005 menunjukkan ketimpangan semakin melebar.
2. Nilai investasi swasta perkapita, rasio angkatan kerja dan alokasi bantuan pembangunan daerah berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan perkapita ekonomi di Provinsi Jawa Tengah baik secara parsial maupun simultan. 3. Peningkatan nilai investasi swasta yang berarti peningkatan kegiatan penanaman modal akan mengakibatkan kegiatan ekonomi dan peningkatan kemakmuran penduduk sehingga ketimpangan akan menurun.
4. Meningkatnya jumlah angkatan kerja yang diimbangi dengan kesempatan kerja baru dapat mengurangi ketimpangan. Hal ini karena penyerapan angkatan kerja akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
5. Alokasi dana bantuan pembangunan dari pemerintah pusat yang tidak merata dan daerah yang mendapat bantuan terlalu besar dapat meningkatkan tingkat ketimpangan antar daerah. Hal ini akibat pembangunan yang terkonsentrasi daerah-daerah yang sudah maju dibandingkan daerah yang masih tertinggal, karena daerah yang maju memiliki fasilitas lebih baik dari daerah yang belum maju. 6. Nilai R2 sebesar 0,937 artinya variasi variabel ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah dapat dijelaskan oleh variabel-variabel investasi swasta perkapita, rasio angkatan kerja, dan alokasi dana pembangunan daerah sebesar 93,7% sedangkan sisanya sebesar 6,3% dijelaskan faktor-faktor lainnya di luar model.
Saran
Untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah di Provinsi
Jawa Tengah, maka perlu dilakukan:
1. Meningkatkan investasi swasta dengan memberikan kemudahan- kemudahan dan insentif investasi sehingga investor mau menamkan modalnya. Investasi juga diarahkan pada daerah-daerah yang kurang maju dengan membangun sarana dan prasarana yang mendukung dalam berinvestasi.
2. Peningkatan jumlah angkatan kerja harus diimbangi dengan kesempatan kerja yang lebih banyak. Tentunya dengan kegiatan investasi di atas dapat meningkatkan kesempatan kerja. Kesempatan kerja sebaiknya juga diciptakan pada semua daerah dan tidak mementingkan daerah tertentu.
3. Adanya ketimpangan pendapatan perkapita antar daerah menyebabkan pentingnya bantuan pembangunan dari pemerintah pusat. Bantuan pembangunan yang diberikan pemerintah pusat kepada kabupaten/kota hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi di daerah masing-masing sehingga diharapkan daerah yang tertinggal mampu mengejar daerah yang sudah maju. Agar penggunaan dana bantuan pembangunan optimal, perlu ditingkatkan peran pengawasan baik oleh institusi yang berwenang maupun masyarakat.
Daftar Pustaka.
Achmad, Rozany Nurmanah. 1999. Kesejangan Pengeluaran Pembangunan Antar
Wilayah dan Propinsi di Indonesia, Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Volume
XLVII, Nomor 4.
Amirudin, Ardani. 1992. Analysis of Regional Growth and Disparity The Impac
Analysis of the INPRES Project on Indonesia Development, a Doctor desertasion, USA : University of Pennsylvania Philadelphia.
Anonim. 1997. Meninjau Ulang Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi, Jurnal
Bulletin Prisma, 1 Januari 1997.
Arsyad, Lincolin, 1997, Ekonomi Pembangunan, Ed. 3, Yogyakarta : STIE YKPN
BPFE.
Bappeda Provinsi Jawa Tengah. 1998/1999. Kebijakan/Proyeksi Investasi dan
Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah, Semarang. Bagian Penerbitan : Bappeda.
Bappeda. 1999. Rencana Pembangunan Lima Tahun Ke VI Daerah Provinsi Dati I
Jawa Tengah, Buku IV, Semarang : Bagian Penerbitan BAPPEDA Provinsi Jawa
Tengah.
Bappeda. 2003. Evaluasi Visi Rencana Stategis, Perbaikan atas Perda No. 11 Tahun
2003, tanggal 30 Maret 2007 (Renstra) Provinsi Jawa Tengah 2003-2008,
Semarang : Bagian Penerbitan : Bappeda Provinsi Jawa Tengah, Semarang, 2007.
Barro, Robert J. 1999. Inequality, Growth and Investment, National Bureau Of
Economic Research, Working Paper No. 73038, JEL No. 0413. Availabel : http://www.nbr.org/paper/w708. BPM Provinsi Jawa Tengah. 1981-2005. Perkembangan Investasi di Provinsi Jawa
Tengah, Semarang : Bagian Penerbitan BPM Provinsi Jawa Tengah.
Boediono. 1985. Teori Pertumbuhan Ekonomi, Yogyakarta : BPFE-UGM
BPS Provinsi Jawa Tengah. 1981-2005. Pendapatan Regional Jawa Tengah, Buku
Jawa Tengah dalam angka, Semarang : BPS Provinsi Jawa Tengah.
BPS Provinsi Jawa Tengah. 1981-2005. Alokasi Bantuan kepada Kabupaten/Kota,
Buku Jawa Tengah dalam Angka, Semarang : BPS Provinsi Jawa Tengah.
BPS Provinsi Jawa Tengah. 1981-2005, Profil Ketenagakerjaan Provinsi Jawa
Tengah, Buku Jawa Tengah dalam Angka, Semarang : BPS Provinsi Jawa Tengah.
Demurger, Sylvie. 2000. Infrastructure Development and Wconomic Groth : An
Explanation for Regional Disparities in China. Jurnal of Comparative
Economics.29.95-117.
Dumairy, 1999, Perekonomian Indonesia, Yogyakarta : Bagian Penerbitan
Erlangga.
Glasson, John, 1997, Pengantar Perencanaan Regional, diterjemahkan Paul Sitohang,
Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Gujarati, Damodar, 2003, Basic Econometric, (Fourth edition), USA, Mc Graw-Hill
Internatonal.
Hendra, Esmara. 1995. Regional Income Disparities, Bulletin Of Indonesia Economic
Studies. Vol.XI No. 1.
Hastarini, Tantian, 2002, Analisis Kesenjangan Pembangunan Ekonomi di Propinsi
Jawa Tengah 1980-2000, Tesis S.2 MIESP Undip Semarang (tidak dipublikasikan). Imam Ghozali, 2001. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS :
Universitas Diponegoro.
Irawan dan M. Suparmoko. 1987. Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta : Liberty.
Triyanto W, Hg. Suseno, 1991, Indikator Ekonomi, Yogyakarta : Kansisus.
Irwan dan Suparmoko, 1987. Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta : Liberty.
Kuncoro, Mudrajad, 1997, Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
Mursid, 1998, Kajian Hubungan Fungsional Jawa Tengah – Jawa Timur dalam
Pengembangan Wilayah, Semarang : BAPPEDA Propinsi Jawa Tengah.
Todaro, Michael P. 1990, Ekonomi Pembangunan Di Dunia Ketiga, Jakarta :
Erlangga.
Munir, Risfan, Otonomi Daerah dan Masalah Ketimpangan Ekonomi, http://www.forum-inovasi.or.id, email : inovasi@forum-inovasi.or.id.
Richarson, Harry W, 2001, Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional, (diterjemahkan
Paul Sitohang), Edisi Revisi 2001, Jakarta : Fakultas Ekonomi Univesrsitas
Indonesia.
Sudibyo, Bambang dkk, 1995, Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia,
Yogyakarta : Bagian Penerbitan Aditya Media.
Sukirno, Sadono, Ekonomi Pembangunan, 1985, Jakarta : Fakultas Ekonomi
Universitas Indinesia, Bima Grafika.
Sjafrizal, 1997, Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah
Indonesia Bagian Barat, Jakarta, Jurnal Buletin Prisma.
Sumitro, Djojohadikusumo, 1987, Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan
Pembangunan, Jakarta : Bagian Penerbitan : LP3ES.
Suryana, 2000, Ekonomi Pembangunan-Problematikan dan Pendekatan, Jakarta :
Bagian Penerbitan Salemba Empat.
Thee Kian Wie, 1982, Perekonomian di Negara Berkembang, Jakarta : Pustaka Jaya.
Tambunan, Tulus TH. 2001, Perekonomian Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Widiarto, 2001, Ketimpangan, Pemerataan dan Infrastruktur, widoarto@bandumg2. wasantara. net.id
xii

Similar Documents