Dalam pembentukan negara- negara di kawasan Rusia, Eropa Timur dan Asia Tengah, Uni Soviet memiliki peranan yang sangat penting. Uni Soviet, tentunya tidak dapat dilepaskan pengaruh Komunisme di kawasan Eurasia. Pengaruh Komunisme dan paham-paham beraliran Marxisme-Komunisme seperti Leninisme dan Stalinisme memegang peranan penting dalam pembentukan negara dan masyarakat di Rusia, Eropa Timur, dan Asia Tengah. Komunisme dan Stalinisme juga memiliki andil dalam penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di kawasan Eurasia sesudah Perang Dingin. dalam jurnal ini akan dibahas mengenai komunisme, stalinisme dan leninisme serta dampak yang diberikan pada perkembangan masyarakat di kawasan Eurasia.

Komunisme merupakan ideologi yang digagas oleh Karl Marx dan Friedrich Engel yang mengimpikan masyarakat tanpa kelas (classless society) hidup adalah sebuah komunitas politik yang dikelola oleh otoritas politik yang memiliki wewenang sebagai pengatur utama (Wicaksana, 2015). Dalam komunisme sendiri terdapat tiga substansi yang menjadi dasar dari pemikirannya, pertama adalah perubahan terjadi karena perubahan ekonomi (Wicaksana 2015). Marx dan Engel menolak pemikiran Immanuel Kant yang menyatakan bahwa perubahan terjadi karena perubahan gagasan dari individu. Bahwa setiap perubahan yang terjadi dalam sebuah masyarakat akan berpengaruh pada semua sector kehidupan. Kedua, perubahan bersifat repetitif (Wicaksana 2015), yaitu artinya bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat akan terus berulang, mulai dari periode primitif kemudian berulang kembali ke era primitif. Gagasan ini menolak modernitas, bagi Marx dan Engel, masyarakat akan terus mengalami perulangan periode. Marx dan Engel meyakini jika siklus alami ini juga akan mengembalikan masyarakat seperti di periode primitif. Terakhir, substansi gagasan Sosialisme Marxisme adalah perubahan masyarakat dari modern society kembali ke communal society akan mengalami perubahan yang bersifat revolusioner (Wicaksana 2015). Pemikiran Marx dan Engel ini menolak pemikiran teoritisi-teoritisi sebelum Sosialisme orisinil.

Vladimir Lenin mendukung gagasan Komunisme yang dibawa oleh Karl Marx dan Friedrich Engel. Namun Lenin mempertanyakan bahwa bagaimana kaum proletar akan mampu menumbangkan kaum borjuis dan mendapatkan kembali hak-hak dan kebebasan mereka. Lenin kemudian mencetuskan bahwa cara terbaik yang harus dilakukan oleh kaum proletar adalah dengan mendirikan partai politik (Wicaksana 2015). Pembentukan partai politik bertujuan untuk mengakomodasi kekuatan dan dukungan kaum buruh. Sehingga kaum borjuis akan lebih mudah untuk ditumbangkan dengan dukungan serta kekuatan massa yang besar. Selain itu Lenin juga menolak adanya negara, karena negara dianggap sebagai penghalang kaum proletar untuk mendapatkan keinginannya serta menganggap negara hanya sebagai representasi kaum borjuis demi kepentingan mereka. Kekuatan partai Komunis milik Lenin mampu menggulingkan kekuasaan Tsar Nicholas di Rusia yang kemudian menyebabkan lahirnya Revolusi Bolshevik tahun 1917. Meskipun di awal Lenin tidak menginginkan adanya negara, namun pada akhirnya Lenin mendirikan sebuah kesatuan negara yang dinamai Uni Soviet. Keberadaan negara dalam pandangan Lenin ini hanya dianggapnya sebagai titik singgah (Wicaksana 2015). Negara hanya diberi kewenangan sebagai pengatur distribusi sumber daya ke masyarakat. Pembentukan negara Uni Soviet oleh Partai Komunis dan Lenin ini diintegrasikan secara paksa, artinya Lenin dan partainya sesungguhnya tidak memiliki legitimasi dari negara-negara satelitnya (Kuzio 2001, 170).

Kemudian kekuasaan Lenin digantikan oleh suksesornya yang bernama Joseph Stalin. Dibawah kepemimpinannya, komunisme semakin diperluas jangkauannya, bukan hanya domestik, melainkan juga di tingkat internasional. Ini juga berkaitan dengan keyakinan Stalin bahwa diperlukan keberadaan negara komunis yang kuat. Stalin meyakini bahwa untuk dapat mencapai keberhasilan kaum proletar meraih kebebasan dan hak-haknya, diperlukan jaringan luas untuk basis dukungan (Wicaksana 2015). Oleh sebab itu keberadaan negara diperlukan untuk mengawal revolusi kaum proletar tersebut sampai tuntas. Perjuangan komunis tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, perlu dilakukan selain domestik di internal negara juga di tingkat internasional (Wicaksana 2015). Hal inilah yang kemudian membedakan kepemimpinan antara Stalin dan Lenin. Tidak berhenti pada itu saja, Stalin terus menyebarkan Komunisme ke negara-negara Eropa Timur seperti Cekoslowakia, Hungaria, Rumania, hingga Jerman Timur (Crampton 1997, 212). Stalin dibanding Lenin, lebih radikal lagi dengan konsepsi Sosialisme dan Komunismenya. Karakter represif benar-benar terlihat lewat kebijakan-kebijakan yang diambil (Wicaksana 2015).

Pada era Stalinisme terdapat 4 aspek pokok yang terbentuk, pertama adalah aspek politik. Aspek politik di Uni Soviet secara keseluruhan dipengaruhi oleh Stalinisme. Totalitarianisme adalah sifat pemerintahan di bawah komunisme Stalin (Wicaksana 2015). Di era ini, kekuasaan terpusat hanya pada sekelompok orang tertentu. Sekelompok orang ini menguasai sektor-sektor politik maupun lainnya. Tidak ada pembagian kekuasaan terjadi dalam totalitarianism, semua kekuasaan terpusat mutlak pada Komunisme dengan dipegang oleh 5-9 orang anggota politburo (Wicaksana 2015). Politburo adalah badan tertinggi dalam komunisme yang menentukan berbagai pertimbangan dan kebijakan yang ada dalam Uni Soviet.

Kedua adalah aspek ekonomi. Pada era Stalinisme, segala sarana produksi dinasionalisasi oleh pemerintah (Wicaksana 2015). Nasionalisasi ini diyakini oleh para pengambil kebijakan di Uni Soviet akan mempermudah negara dalam mengelola kepemilikan yang bukan lagi milik swasta. Segala infrastruktur dan berbagai sistem dikuasai oleh negara. Mereka meyakini dengan kepemilikan pada negara maka akan terjadi pemerataan dan penghapusan kelas-kelas dalam masyarakat. Perekonomian Uni Soviet berdasar pada selera negara atau alokasi birokratik, bukan selera pasar atau alokasi pasar (Wicaksana 2015). Di Uni Soviet, produksi diorientasikan pada selera negara, artinya negara yang berhak menentukan apa saja yang dapat diproduksi oleh negara dan masyarakat termasuk harganya. Selain itu, pada era Stalin ini tidak ada uang riil. Rubel sebagai mata uang Uni Soviet tidk memiliki nilai pasti (Wicaksana 2015). Dampak dari pengaruh Stalinisme dalam sektor ekonomi ini menyebabkan ketika Uni Soviet runtuh, isu kemiskinan menjadi permasalahan utama di negara-negara Eropa Timur dan Asia Tengah.

Kemudian aspek pendidikan. Pendidikan di Uni Soviet serta negara-negara satelit memiliki kualitas bagus (Wicaksana 2015). Oleh sebab itu, karena kualitas pendidikan yang bagus ini, masyarakat dan sektor militer Uni Soviet begitu mumpuni. Di bidang pendidikan ini meski demikian tidak semua ilmu dipelajari. Ilmu ekonomi tidak dipelajari karena ada substansi pemikiran-pemikiran liberalism yang bertentangan tentunya dari sosialisme dan komunisme (Wicaksana 2015). Tidak hanya soal pendidikan, efek Stalinisme yang ingin menjadikan negara-negara satelit di bawah satu Uni Soviet mendorongnya untuk membuat kebijakan penggunaan bahasa Rusia sebagai bahasa utama dan wajib di seluruh negara-negara satelit (Wicaksana 2015). Penggunaan bahasa Rusia ini dipaksakan agar digunakan oleh masyarakat di negara-negara satelit (Slezkine 1994, 432). Semua kebudayaan lokal dihancurkan, karena Stalin berniat untuk menciptakan identitas Uni Soviet dan bukan identitas masing-masing negara satelit. Akibatnya, ketika Uni Soviet runtuh, ada permasalahan identitas yang muncul di negara-negara satelit (Kuzio 2001 : 171).

Identitas di sebagian negara-negara di kawasan Eurasia menjadi sebuah hal yang tidak pernah memiliki kejelasan. Hingga saat ini, masyarakat di kawasan ini masih menganggap diri mereka sebagai bangsa Soviet, bukan bangsa negaranya (Kuzio 2001, 169). Ini merupakan akibat dari kebijakan dan pengaruh Komunisme Uni Soviet yang membentuk identitas mereka sebagai bangsa Soviet. Tidak hanya itu, identitas yang tidak jelas ini kemudian juga menyebabkan rasa nasionalisme di kawasan ini terbilang rendah. Mereka tidak pernah merasa terikat sebagai bagian dari territorial negara yang menaungi tersebut. Ketika nasionalisme tidak tercipta, maka proses perbaikan ekonomi dan penyusunan pemerintahan yang baik juga tidak dapat terjadi (Kuzio 2001, 173).

Referensi :

Crampton, Richard, 1997. “The Communist Takeovers”, dalam Eastern Europe in the Twentieth Century – And After. London: Routledge, Ch. 13.

Kuzio, Taras, 2001. “Transition in Post-Communist States: Triple or Quadruple”, Politics, 21 (3), pp. 168-177.

Slezkine, Yuri, 1994. “The USSR as a Communal Apartment, or How a Socialist State Promoted Ethnic Particularism”, Slavic Review, 53 (2), pp. 414-452.

Wicaksana, I Gede Wahyu, 2015. MBP Rusia, Eropa Timur, dan Asia Tengah SOH321 : State and Society in Eurasia Under Communism : A Brief Historical Review. Universitas Airlangga, FISIP Universitas Airlangg pada 20 Maret.