Free Essay

Supply Chain Management Sebagai Sumber Competitive Advantage Studi Kasus Di Pt. Nicholas Laboratories Indonesia

In:

Submitted By igakantus
Words 3201
Pages 13
SUPPLY CHAIN MANAGEMENT
SEBAGAI SUMBER COMPETITIVE ADVANTAGE
STUDI KASUS DI PT. NICHOLAS LABORATORIES INDONESIA

Oleh

Ignatius Adisurya Kantus[pic] (120620120001)
Program Pascasarjana Magister Akuntansi Unpad

Abstrak

Adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan menjadikan potensi bagi industri farmasi untuk menangkap peluang tersebut. Namun, disisi lain terjadi persaingan yang begitu ketat diantara industri farmasi sendiri. Di titik ini pentingnya penguasaan dengan baik dalam hal pengelolaan rantai pasok, baik dari hulu sampai pada hilirnya. Kekurangan persediaan produk jadi akan berakibat kehilangan penjualan, sedangkan kelebihan tertentu baik itu bahan mentah maupun produk jadinya akan terjadi penumpukan sehingga biaya pemeliharaan persediaannya pun menjadi mahal. Oleh karena itu, perusahaan farmasi perlu mengkaji strategi yang tepat untuk mencapai keunggulan kompetitif yang pada gilirannya terjaminnya keberlanjutan (going-concern) perusahaan dimasa datang.

Kata kunci: Supply Chain Management, Competitive Advantage, Value Chain Analysis

1. Pendahuluan Persaingan global yang terus meningkat dari hari ke hari harus didukung peningkatan kualitas produk dan jasa yang ditawarkan kepada konsumen. Di era globalisasi yang sangat kompetitif dewasa ini, desakan bagi perusahaan untuk menemukan cara-cara baru dalam menciptakan dan memberikan nilai tambah bagi konsumennya semakin kuat. Perusahaan dituntut untuk dapat menyampaikan produknya dengan efektif, lebih cepat, lebih efisien. Kemampuan mengintegrasikan supply chain dan wawasan serta pengetahuan terkini manajemen rantai pasokan diakui dapat meningkatkan kompetensi tersebut sehingga pada akhirnya perusahaan akan mencapai keunggulan kompetitif. Ada dua strategi yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk mencapai keunggulan kompetitif ini, yaitu pertama-tama terletak pada kemampuan perusahaan untuk membedakan dirinya sendiri di depan mata konsumen dari para pesaingnya (value advantage) atau dikenal juga sebagai strategi diferensiasi (differentiation strategy). Kedua dengan cara bekerja dengan biaya rendah yang dengan perkataan lain untuk memperoleh laba yang lebih tinggi (productivity atau cost advantage) atau dikenal juga sebagai strategi biaya rendah (low cost strategy). Penekanan kedua strategi tersebut tentu saja berbeda. Dengan strategi biaya rendah berarti perusahaan menjual produk atau jasa dengan harga jual lebih murah dibandingkan dengan kompetitornya, tetapi kualitasnya sama atau lebih tinggi. Sedangkan pada strategi diferensiasi, perusahaan menjual produk atau jasa yang unik kepada konsumennya. Perusahaan menjual produk atau jasa yang tidak dijual oleh kompetitor, sehingga dapat bersaing secara unggul dan pada akhirnya dapat mencapai keunggulan kompetitif. Perusahaan yang sedang bersaing sudah seharusnya mengetahui posisi perusahaannya di dalam pasar kompetitif. Selain itu, untuk efisiensi perusahaan maka perusahaan perlu menganalisis aktivitas-aktivitas yang ada dalam rantai nilai serta mengeliminasi aktivas perusahaan yang tidak menciptakan nilai tambah pada produk atau jasa. Kemajuan perusahaan juga didukung oleh hubungan yang baik antara perusahaan dengan pemasok, investor, dan konsumen maupun pelanggan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas produk. Oleh karena itu, untuk dapat melihat posisi dan mengetahui informasi perusahaan guna membuat keputusan strategis dalam menghadapi persaingan bisnis diperlukan sebuah alat analisis manajemen yaitu Value Chain Analysis (VCA). Pasar farmasi di Indonesia diproyeksikan tumbuh tertinggi keempat di kawasan Asia Pasifik periode 2011-2015. Menurut lembaga Frost & Sullivan, pertumbuhan pasar farmasi nasional diperkirakan mencapai 10,3% compounded annual growth rate (CAGR) 2011-2015, dengan nilai pasar mencapai US$ 7,1 miliar di 2015. Dengan proyeksi tersebut, pertumbuhan pasar farmasi nasional di atas rata-rata pertumbuhan pasar farmasi di Asia Tenggara yang tumbuh 9,6% per tahun. Pasar farmasi di Asia Tenggara mencapai US$ 16 miliar di 2011 dan diproyeksikan meningkat menjadi US$ 23 miliar di 2015. Sedangkan pertumbuhan pasar farmasi di Asia, Indonesia berada di bawah pasar farmasi China yang tumbuh 21% CAGR 2011-2015, India 19%, dan Malaysia 11%. Mengungguli pasar farmasi Thailand, Jepang, Korea Selatan, dan Australia yang masing-masing tumbuh rata-rata per tahun sebesar 7%, 2%, 7%, dan 2%. Sampai akhir Januari 2013 tercatat sekitar 300 industri farmasi yang beroperasi di Indonesia dan dari jumlah tersebut belum termasuk industri jamu, suplemen, kosmetik atau produk-produk lain yang berhubungan dengan farmasi seperti industri makanan dan fast moving consumer goods (FMCG) lain misalnya: personal care, home care, toiletries. Disisi lain pertumbuhan tingkat kesadaran masyarakat menggunakan obat dan adanya penguatan daya beli masyarakat mengalami peningkatan yang signifikan. Dengan melihat potensi pasar yang begitu besar merupakan peluang tetapi disisi lain ada begitu banyak pesaing yang menjadi tantangan bagi PT. Nicholas Laboratories Indonesia (PT. NLI). Untuk mengetahui potensi yang ada pada PT. NLI untuk mencapai keunggulan kompetitif perlu dilakukan analis SWOT (strength, weakness, opportunity, threat) yaitu dengan menggunakan VCA. Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2003), dalam hubungan dengan supply chain, analisis kelemahan dan kekuatan perusahaan dilakukan dalam rangka mencoba meningkatkan efisiensi di dalam perusahaan sendiri (tahap awal dari Supply Chain Management - SCM). Dalam makalah ini akan diuraikan mata rantai produk yang merupakan suatu aktivitas yang berawal dari pengadaan bahan mentah sampai dengan pelayanan purna jual. Value chain ini mencakup aktivitas yang terjadi karena hubungan dengan pemasok dan hubungan dengan konsumen.

2. Tinjauan Pustaka 1. Supply Chain Management Supply Chain Management (SCM) adalah manajemen aliran di antara stage pada supply chain untuk memaksimalkan total keuntungan supply chain. Tujuan dari SCM adalah untuk memaksimalkan nilai keseluruhan yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan pelangan. Di sisi lain, tujuannya adalah untuk meminimalkan biaya keseluruhan (biaya pemesanan, biaya penyimpanan, biaya bahan baku, biaya transportasi dan lain-lain). (Chopra dan Meindl, 2004).
[pic]

Gambar 1. Kerangka kerja pengambilan keputusan supply chain
Sumber: Chopra dan Meindl (2004). Direproduksi penulis.

Dari uraian tersebut, terlihat bahwa motif di balik pengaturan SCM sesungguhnya adalah upaya untuk meningkatkan daya saing saluran distribusi perusahaan tersebut. SCM tidak hanya meliputi aliran fisik, tetapi juga aliran informasi sepanjang jalur supply chain tersebut.

Menurut Turban, Rainer, Porter (2004), terdapat tiga macam komponen dalam supply chain, yaitu : 1. Rantai Persediaan Hulu (Upstream Supply Chain) Meliputi aktivitas dari suatu perusahaan manufaktur dengan para penyalur. Aktivitas yang utama adalah pengadaan. 2. Manajemen Rantai Persediaan Internal (Internal Supply Chain Management) Meliputi semua proses pemasukan barang ke gudang yang digunakan dalam mentransformasikan masukan dari hilir ke hulu. Perhatian utamanya diarahkan pada produksi, pabrikasi dan pengendalian persediaan. 3. Rantai Persediaan Hilir (Downstream Supply Chain) Meliputi semua aktivitas yang melibatkan pengiriman produk kepada pelanggan akhir. Perhatian utamanya diarahkan pada distribusi, pergudangan, transportasi, dan pelayanan. SCM tidaklah sama dengan integrasi vertikal yang terdapat dalam berbagai kajian tentang menajemen strategik. Dalam menajemen strategik, formulasi strategi melalui perencanaan skenario bertujuan untuk memperoleh kendali terhadap inputnya (backward), terhadap outputnya (forward), atau keduanya. Biasanya disusun untuk menghadirkan nilai yang tinggi bagi pemegang saham (shareholders). Sedangkan dalam SCM, perusahaan yang melakukan integrasi vertikal memiliki jaminan yang cukup bagi kepentingan pengamanan proses dari hulu hingga ke hilir yang didesainnya. Jadi, SCM lebih mengarah pada upaya untuk mengoptimumkan model dalam rangka mengurangi biaya serta melakukan sinergi agar setiap organisasi yang berada dalam jalur supply chain rela berbagi informasi dan upaya sehingga risiko bisnis dapat diminimalisir. Perpaduan keduanya memungkinkan perusahaan untuk dapat mengendalikan proses bisnisnya sedemikian rupa, sehingga menghasilkan bisnis yang sanggup bergerak cepat dan “langsing”, tetapi pada saat yang sama tetap menjejakkan kakinya di bumi. Ujung akhir dari pengggabungan kedua konsep tersebut adalah keunggulan kompetitif jangka panjang. Konsep supply chain sebetulnya merupakan perpanjangan dari konsep logistik. Hanya saja logistics management lebih terfokus pada pengaturan aliran barang di dalam suatu perusahaan sedangkan SCM menganggap bahwa integrasi internal tidaklah cukup. Integrasi harus dicapai untuk seluruh mata rantai pengadaan barang, mulai dari yang paling hulu sampai dengan yang paling hilir. Oleh karena itu, supply chain terfokus pada pengaturan aliran barang antar perusahaan yang terkait, dari hulu sampai ke hilir bahkan sampai ke pemakai terakhir.
[pic]

Gambar 2. Ilustrasi supply chain industri farmasi

Area cakupan SCM dalam suatu perusahaan secara umum meliputi semua kegiatan utama yang terkait dengan pengembangan produk (product development), kegiatan pengadaan bahan baku (procurement), kegiatan perencanaan dan pengendalian (planning & control), kegiatan produksi (production), kegiatan pengiriman/distribusi (distribution). Kelima kegiatan tersebut tercermin dalam bentuk pembagian departemen atau divisi pada perusahaan manufaktur yang sering disebut dengan divisi fungsional. Cara pandang terhadap supply chain sebagai sebuah siklus dapat dikategorikan dalam tiga bentuk dasar, yaitu: 1. Supply chain internal adalah aliran bahan dan informasi yang terintegrasi dalam unit bisnis (korporasi) dari pemasok sampai pelanggan dan kadang disebut logistik bisnis. 2. Supply chain eksternal adalah aliran bahan dan informasi yang terintegrasi di dalam unit bisnis (korporasi) yang melintasi antara pemasok langsung dan pelanggan. 3. Supply chain total (keseluruhan) adalah aliran bahan dan informasi yang terintegrasi di dalam unit bisnis (korporasi) yang melintasi secara majemuk antara pemasok langsung dan pelanggan.

2. Keunggulan Kompetitif Jalur supply chain yang terlalu panjang menyebabkan banyak kerugian. Waktu perlaluan (throughput time) yang semakin panjang mulai dari hulu sampai hilir dapat menyebabkan berkurangnya peluang produk yang dihasilkan untuk lebih cepat diserap oleh pemakai akhir. Di sisi lain, lambatnya proses penyerapan produk oleh pemakai akhir memunculkan risiko kerusakan produk (waste) yang salah satunya akibat dari keterbatasan waktu daluwarsa (expire date). Faktor kerugian kedua akibat panjangnya jalur supply chain adalah munculnya kerusakan barang akibat kesalahan penanganan (mishandling), baik dalam bentuk kerusakan sebagai akibat dari proses perpindahan antar-sarana transportasi dan/atau antar-gudang, maupun akibat dari kesalahan proses pengelolaan ruang penyimpanan (gudang) terutama produk-produk yang membutuhkan media penyimpanan dan/atau persyaratan khusus (misalnya: produk harus disimpan dalam lemari pendingin, atau produk harus tersimpan dalam suhu ruang tertentu). Tidak jarang, proses pengkerutan (shringkage) ini juga diperparah oleh rawannya jalur transportasi/distribusi akibat kejahatan (pencurian) jalan raya. Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2003), salah satu kunci keberhasilan suatu perusahaan adalah kemampuannya untuk memiliki dan mempertahankan satu atau beberapa keunggulan kompetitif (competitive advantage) yang didefinisikan sebagai berikut: “Competitive advantage is a position of enduring superiority over competitors in terms of customer preference”. Selain itu dikatakan pula bahwa sumber dari keunggulan kompetitif terletak pada: 1. Productivity advantage Semakin besar volume produksi suatu barang, biaya per satuan barang akan makin kecil karena fixed cost dibagi lebih merata dengan angka pembagi yang lebih besar. Sedangkan variable cost tetap sehingga total cost akan mengecil. Oleh karena itu, kenaikan market share akan menaikkan volume produksi dan selanjutnya akan menurunkan biaya produksi. Selain itu dapat juga dilakukan dengan menurunkan biaya logistik. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah capacity utilization, asset turn over, partnership, co-makership, schedule integration, dsb. 2. Value advantage Sudah menjadi semacam axioma dalam marketing bahwa konsumen tidak membeli “barang” (product) tetapi mereka membeli “faedah atau keuntungan tertentu” (benefit). Oleh karena itu, perusahaan harus mampu membedakan barangnya dengan barang kompetitornya dengan menciptakan nilai tertentu pada barang tersebut sehingga di mata konsumen bukan merupakan “barang komoditas” biasa. Misalnya, mungkin masyarakat lebih cendrung membeli obat generik dengan harga yang lebih murah tetapi dengan kasiat yang sama dibandingkan dengan obat paten. Namun, dengan adanya “brand atau corporate image” pada obat paten yang dijual maka pelanggan bersedia membayar lebih mahal. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah tailored services, reliability, responsiveness, after sales service, dsb. Untuk mencapai keunggulan kompetitif maka perusahaan haruslah bertanggung-jawab terhadap seluruh rangkaian proses atas kelima kegiatan utama SCM, termasuk pada wholesaler, pedagang kecil, retailer, pelayanan pada pelanggan, proses pembayaran, dan sampai pada pemakai akhir. Selain itu perusahaan harus mampu untuk mensinkronisasikan dan mengkoordinasikan kesuluruhan aktivitas tersebut disepanjang jalur supply chain agar berjalan secara “harmonis”. Mencermati fenomena di atas, tidak banyak yang dapat dilakukan kecuali meningkatkan upaya untuk memendekan jalur supply chain. Dengan memendekannya perusahaan mampu menyediakan produk yang murah, berkualitas dan cepat pada pemakai akhir sehingga pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas total. Akhir dari semuanya ini adalah tercapainya keunggulan kompetitif. Dengan demikian adalah tepat bahwa dalam konteks ini untuk mengatasi fenomena tersebut menggunakan pendekatan SCM menjadi sangat penting.

3. Value Chain Analysis Dasar-dasar kesuksesan dalam kompetisi di pasar ada beberapa macam tetapi suatu model sederhana yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini adalah apa yang dinamakan the triangular linkage of the company atau the Three C’s (the customers, the competition and the company).
[pic]

Gambar 3. The Three C’s
Sumber: Indrajit dan Djokopranoto (2003). Direproduksi penulis.

Untuk mencapai keunggulan kompetitif ini dapat dicapai melalui berbagai cara dan salah satunya adalah melalui logistics management dan supply chain management.
[pic]

Gambar 4. Porter’s value-chain framework
Sumber: Henriksson dan Nyberg (2005). Direproduksi penulis.

Dalam Gambar 4. di atas terlihat bahwa fungsi logistik dapat membantu untuk meningkatkan baik value advantage maupun productivity advantage. Sebagai buktinya bahwa jika dicermati jelas-jelas logistics activities masuk dalam primary activities dan bukan support activities seperti yang masih diyakini oleh beberapa manajer, sedangkan procurement masuk dalam support activities. Hal lain yang penting untuk diperhatikan bahwa layanan akan sangat menentukan dalam membedakan antara perusahaan yang satu dan perusahaan yang lain. Dan jenis layanan ini (value advantage) hampir tidak terbatas jenisnya, dari yang menggunakan biaya tinggi maupun hanya membutuhkan biaya yang relatif sangat kecil bahkan mungkin sama sekali tidak membutuhkan biaya sama sekali. Dalam rangka mencoba meningkatkan efisiensi di dalam perusahaan sendiri (tahap awal dari SCM) untuk mencapai keunggulan kompetitif adalah dengan menganalisis kelemahan dan kekuatan perusahaan yaitu dengan menggunakan Value Chain Analysis (VCA). Porter (1985), dalam Turban, Rainer, Porter (2004) yang menjelaskan bahwa VCA merupakan alat (tools) analisis strategi yang digunakan untuk memahami keunggulan kompetitif, mencakup identifikasi peningkatan nilai pelanggan yang dapat ditingkatkan, penurunan biaya operasional, dan hubungan perusahaan dengan pemasok, pelanggan, serta perusahaan lain dalam industri. VCA dapat diklasifikasikan menjadi dua: (1) Company’s external value chain yaitu analisis yang berhubungan dengan pihak luar perusahaan yang meliputi hubungannya dengan pemasok (supplier linkages) dan dengan konsumen (customer linkages); dan (2) Company’s internal value chain yaitu analisis atas seluruh aktivitas dalam perusahaan, baik yang bersifat fisik maupun teknologi yang dapat menambah nilai produk. Kemudian aktivitas-aktivitas tersebut dikelola secara lebih baik daripada perusahaan-perusahaan lain untuk menciptakan keunggulan kompetitif.

3. Penilaian VCA Terhadap Kondisi PT. NLI Penilaian VCA terhadap kondisi PT. NLI diperlukan untuk menyusun strategi yang tepat dalam menghadapi persaingan diindustri farmasi. PT. NLI sebagai salah satu pabrik obat yang mempunyai tugas untuk menghasilkan produk-produk yang berkualitas dan memenuhi standard CPOB yang dikeluarkan oleh BPOM. Sebagaimana kebanyakan perusahaan, PT. NLI juga memiliki visi yang menjadi pedoman dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Adapun visinya adalah “Menjadikan Pemimpin Industri Farmasi di Indonesia dengan berdedikasi memajukan kualitas hidup manusia dengan mengajak profesionalnya untuk berkarya dengan integritas tinggi”. Untuk mewujudkan visi tersebut, PT. NLI mempunyai misi: “PT. Nicholas Labolatories Indonesia Fokus dalam membuat, menginovasi dan memasarkan produk dan jasa dengan kualitas terbaik”. Untuk mewujudkan visi dan misi yang tercermin dalam uraian tugas pokok dan fungsi PT. NLI, maka disusunlah struktur organisasi sebagaimana terlihat dalam Gambar 5. di bawah ini:
[pic]

Gambar 5. Struktur Organisasi PT. NLI
Sumber: PT. Nicholas Laboratories Indonesia 2013.

Dalam suatu proses produksi ada tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk menghasilkan suatu produk jadi. Tahapan-tahapan dalam proses produksi dibagi dalam dua kriteria yaitu tahapan untuk produk-produk Liquid dan Non-Liquid. Tahapan-tahapan untuk produk liquid dapat dilihat seperti tampak dalam Gambar 6. di bawah ini:
[pic]

Gambar 6. Tahapan-tahapan produksi khusus produk liquid
Sumber: PT. Nicholas Laboratories Indonesia 2013.

Sedangkan tahapan-tahapan untuk produk non-liquid dapat dilihat pada Gambar 7. di bawah ini:
[pic]

Gambar 7. Tahapan-tahapan produksi khusus produk non-liquid
Sumber: PT. Nicholas Laboratories Indonesia 2013.

Dari tahapan-tahapan produksi seperti tampak dalam Gambar 6. dan Gambar 7. di atas, terlihat bahwa langkah awalnya adalah penyediaan bahan baku, bahan penolong ataupun bahan kemasan. Bahan-bahan mentah tersebut dipasok oleh pemasok berdasarkan jumlah pesanan yang sudah dibuat oleh bagian purchasing PT. NLI. Hasil dari tahapan-tahapan produksi tersebut adalah suatu produk jadi, dimana selanjutnya produk jadi tersebut dilempar ke pasar melalui jalur distributor hingga akhirnya sampai ke tangan pemakai akhir. Jadi pada dasarnya proses bisnis yang ada di PT. NLI sudah mengikuti pola supply chain. Namun, sampai saat ini belum ada penilaian secara komprehensif atas SCM tersebut sehingga belum dapat dipastikan bahwa SCM yang ada sudah memberikan dampak pada keunggulan kompetitif. Untuk dapat memahami dan mengidentifikasi value chain suatu produk mulai dari pemasok, manufaktur, pemasaran sampai pada pemakai akhir dalam suatu aktivitas yang relevan dan bersifat strategis sehingga perusahaan mampu mengetahui posisi perusahaan guna membuat keputusan strategis dalam menghadapi persaingan bisnis diperlukan suatu alat analisis manajemen yaitu VCA. Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2003), VCA dilakukan berdasarkan model Value Chain Porter untuk membantu menganalisis aktivitas-aktivitas spesifik yang dapat menciptakan nilai dan keunggulan kompetitif bagi organisasi. Hasil dari analisis terhadap aktivitas-aktivitas yang ada di PT. NLI dengan menggunakan VCA tampak seperti Gambar 8. di bawah ini:
[pic]

Gambar 8. Penilaian VCA Terhadap PT. NLI
Sumber: PT. Nicholas Laboratories Indonesia 2013. Data diolah.

4. Simpulan SCM berkaitan dengan siklus lengkap mulai dari hulu sampai ke hilir. Selain itu manajemen rantai pasokan juga merupakan suatu sistem pembentukan nilai oleh perusahaan untuk ditawarkan pada pelanggan, oleh karenanya struktur aktivitas atau proses intra-organisasi ataupun inter-organisasi sangatlah penting dalam menciptakan keunggulan kompetitif yang superior sekaligus profit bagi perusahaan. Sementara perusahaan bersaing melalui penyesuaian produk, kualitas yang tinggi, pengurangan biaya, dan kecepatan mencapai pasar – diberikan penekanan tambahan terhadap supply chain. Dengan demikian, SCM fokus pada pengurangan kesia-siaan dan maksimisasi pada jalur supply chain. Suatu perusahaan dikatakan memiliki keunggulan kompetitif ketika perusahaan tersebut mempunyai sesuatu yang tidak dimiliki pesaing, melakukan sesuatu lebih baik dari perusahaan lain, atau mampu melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh perusahaan lain. Untuk memahami dan mengidentifikasi bahwa suatu perusahaan telah mencapai keunggulan kompetitif, sebagai langkah awal yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan analisis terhadap jalur supply chain. Sedangkan alat analisis yang digunakan adalah VCA.

5. Saran Dalam hal ini penulis menyadari bahwa hasil dari tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena dalam bahasan ini belum menyentuh aktivitas biaya sedangkan disisi lain VCA dapat digunakan juga untuk memahami perilaku biaya atas berbagai sumber daya yang ada, sehingga penulis menyarankan untuk memasukan unsur tersebut dalam materi bahasannya. Tujuannya untuk mengetahui seberapa besar efisiensi yang terjadi ketika dilakukan pengurangan, peniadaan ataupun pengalihan biaya terhadap aktivitas-aktivitas yang ada. Bagaimanapun juga efisiensi merupakan salah satu faktor pembentuk nilai baik itu pada suatu produk khususnya maupun perusahaan pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (1996) Value Chain Analysis for Assessing Competitive Advantage, Institute of Management Accountants. http://www.imanet.org/PDFs/Public/Research/SMA/Value%20Chain%20Analysis.pdf, e-Journal diakses: 16.02.2013
Chopra, Sunil dan Peter Meindl, (2007) Supply Chain Management: Strategy, Planning and Operations, 3rd Edition, Pearson Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey.
Henriksson, Toni and Tom Nyberg, (2005) Supply Chain Management as a Source of Competitive Advantage: A Case Study of Three Fast-growth Companies, Göteborg University. https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/1733/1/04-05-69D.pdf, e-Thesis diakses: 15.02.2013.
Indrajit, Richardus Eko dan Richardus Djokopranoto, (2004) Konsep Manajemen Supply Chain: Cara Baru Memandang Mata Rantai Penyediaan Barang, Cetakan Keempat, PT. Grasindo, Jakarta.
Kaplinsky, Raphael and Mike Morris, (2000) A Hand Book For Value Chain Research, Prepared for the IDRC. http://www.srp-guinee.org/download/valuechain-handbook.pdf, e-Book diakses 21.01.2013.
Lu, Dawei, (2011) Fundamentals of Supply Chain Management, Ventus Publishing Aps. http://www.tutorsindia.com/document/management-organisation/fundamentals-of-supply-chain-management.pdf, e-Book diakses 21.01.2013.
Porter, M.E., (1985) Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance, The Free Press.
Savage, Christopher J.; Kevin J. Roberts and Xue Z. Wang, (2006) A Holistic Analysis of Pharmaceutical Manufacturing and Distribution: Are Conventional Supply Chain Techniques Appropriate?, Pharmaceutical Engineering. http://eprints.hud.ac.uk/601/1/savageholistic.pdf, e-Journal diakses: 15.02.2013
Turban, Rainer, Porter, (2004) Introduction to Information Technology, 3rd Edition, Wiley Higher Education, New Jersey.

RIWAYAT PENULIS

Selain sebagai mahasiswa Magister Akuntansi Angkatan XXIV di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Bandung, juga sebagai karyawan di PT. Nicholas Laboratories Indonesia dengan jabatan IT Manager.
[pic]

Similar Documents