HEGEMONI BUDAYA DALAM PRINCESS KARYA JEAN P. SASSON
1. Pendahuluan a. Latar Belakang Apresiasi sastra menurut Damono (2002: 6) adalah penghargaan yang didasarkan pada penghayatan terhadap sastra. Oleh sebab itu, diperlukan upaya membaca dengan cermat dengan maksud memahami kandungan dan cara menyampaikan kandungan itu. Untuk tujuan tersebut, ada dua kecenderungan dalam menganalisa karya sastra yaitu secara tekstual dan politis atau sosiologis. Hal ini dikemukakan oleh Budianta sebagai berikut: Dalam perkembangannya, teori-teori sastra mengikuti dua kecenderungan: yang pertama – kita sebut saja kecenderungan tekstual – adalah yang merespon dan mendobrak teori-teori objektif (new criticism, formalisme, strukturalisme) tetapi tetap memakai sebagai kerangka acuannya konsep-konsep yang digagas oleh strukturalisme.... Yang kedua – kita sebut saja kecenderungan politis/sosiologis – adalah yang menerapkan teori-teori mutakhir dalam wilayah yang lebih luas, yakni yang melihat sastra dalam kaitannya dengan berbagai dinamika sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Termasuk didalamnya adalah teori-teori neomarxis, teori postcolonial, new historicism, dan kajian budaya (Budianta, 2002: 41).
Princess merupakan kisah nyata yang menceritakan kehidupan di Arab Saudi dari sudut pandang seorang putri kerajaan Saudi dengan nama samaran Sultana. Sang Putri meminta temannya yang berkewarganegaraan Amerika, Jean P. Sasson, untuk menuliskan kehidupan wanita di Arab Saudi agar diketahui oleh penduduk dunia. Dalam suratnya yang ditulis di bagian awal Princess, Sultana menyatakan tujuannya agar warga dunia membantu perempuan Saudi menjadi lebih bermartabat. Harapan Sultana ini dikarenakan beliau merasa bahwa perempuan di Arab Saudi diperlakukan tidak adil oleh para kaum lelaki Arab. Perempuan merupakan golongan yang tertindas. Akan tetapi, selain masalah perempuan, Sang Putri juga menyinggung masalah perekonomian dan kepemimpinan Raja Arab. Dalam mengapresiasi Princess, digunakan pendekatan sosiologis dengan teori hegemoni karena teori ini merupakan salah satu teori marxis postcolonial. Teori hegemoni banyak diungkapkan oleh para politikus, ekonom, negarawan, dan lainnya seperti diantaranya Karl Marx, Lennin, Antonio Gramsci, Wallerstein, Raymond Williams, dan Tony Davies, akan tetapi tulisan ini akan menganalisa Princess dengan menggunakan teori hegemoni menurut Antonio Gramsci. Hal ini dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup tulisan karena tidak semua ahli mempunyai definisi hegemoni yang sama. Disamping itu, teori hegemoni Gramsci juga termasuk dalam lingkup pembahasan sastra pada masa post colonies dan mempengaruhi pemikiran feminisme Spivak (Darma, dan Santiko Budi, …..). Berdasarkan teori hegemoni Gramsci, perempuan merupakan pihak yang subordinat atau pihak yang dipimpin, sedangkan lelaki merupakan pihak yang fundamental atau pemimpin. Lebih jauh, teori hegemoni Gramsci memandang hegemoni bukan hanya dari satu sisi, melainkan dari berbagai sudut seperti ekonomi, ideology, politik, dan budaya. Untuk membatasi topik permasalahan agar diperoleh analisis yang mendalam, maka akan dibahas hegemoni dalam Princess hanya dari sudut pandang budaya saja.
b. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini ialah: 1. Apa saja bentuk-bentuk hegemoni budaya dalam Princess? 2. Apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya hegemoni tersebut?
c. Tujuan Tulisan ini bertujuan untuk menambah khasanah pembaca tentang berbagai bentuk hegemoni budaya dalam masyarakat Arab Saudi yang secara ekonomi merupakan negara kaya karena menjadi salah satu produsen minyak bumi dan secara idiologi berdasarkan ajaran Islam. Tujuan lainnya ialah untuk mengetahui mengapa hegemoni budaya tersebut bisa terjadi di Arab Saudi. Tiap negara mempunyai alasan dan faktor-faktor yang berbeda terhadap terjadinya hegemoni, salah satunya ialah hegemoni budaya. Demikian pula di Arab Saudi, sehingga tulisan ini berusaha mendeskripsikan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya hegemoni budaya di Arab Saudi.
1. Landasan Teori Antonio Gramsci (1891 – 1937) adalah warga negara Italia yang menjadi pemimpin pemikiran Marxis (terjemahan bebas dari Chandler, http://www.aber.ac.uk/media/Documents/marxism/marxism10.html). Hainsworth berpendapat bahwa teori hegemoni Gramsci terlahir dari ide dasar bahwa pemerintah dan negara tidak bisa memaksakan kekuasaan terhadap kelompok tertentu kecuali dengan menggunakan metode yang intelek (terjemahan bebas dari Hainsworth: http://www.google.co.id/search?hl=id&q=gramsci+hegemony&meta=). Hegemoni secara literal berarti kepemimpinan. Kepemimpinan yang dimaksud mencakup berbagai bidang, yang dengan bidang-bidang tersebut kepemimpinan dapat dibangun. Kepemimpinan yang dimaksudkan ialah kepemimpinan yang tidak mendominasi dengan cara paksaan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Faruk: ”Secara literal hegemoni berarti ”kepemimpinan”. Lebih sering kata itu digunakan oleh para komentator politik untuk menunjuk kepada pengertian dominasi. Akan tetapi, bagi Gramsci, konsep hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks. Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis tertentu, yang lewatnya, dalam suatu masyarakat yang ada, suatu kelas fundamental dapat membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa” (Faruk, 2005: 62-63). Meskipun suatu hegemoni diharapkan terjadi secara damai, akan tetapi Gramsci juga mengakui adanya hegemoni yang dijalankan dengan cara kekerasan. Hegemoni, menurut Gramsci, dilakukan dengan dua cara: beraliansi dengan kelompok lainnya, atau mendominasi dengan paksaan. ”Menurut Gramsci, kriteria metodologis yang menjadi dasar studinya didasarkan pada asumsi, bahwa supremasi suatu kelompok sosial menyatakan dirinya dalam dua cara, yaitu sebagai ”dominasi” dan ”sebagai kepemimpinan moral dan intelektual”. Suatu kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok antagonistik yang cenderung ia ”hancurkan”, atau bahkan ia taklukkan dengan kekuatan tentara. Atau, kelompok tersebut memimpin kelompok yang sama dan beraliansi dengannya” (Faruk, 2005: 68). Akan tetapi, Gramsci mengingatkan bahwa hegemoni tidak selamanya harmonis dan stabil. Hegemoni bisa menjadi harmonis dan relatif. Apabila kelompok pemimpin tidak menekan kelompok subordinat, maka bisa dikatakan bahwa keadaan antara kedua kelompok dalam negara tersebut masih harmonis. Namun, bila kelompok pemimpin menekan dan memaksa kelompok subordinat maka keadaan menjadi tidak stabil (Faruk, 2005: 74). Meskipun Gramsci adalah penganut faham marxis, namun teorinya berbeda dengan Karl Marx, Mussolini, dan marxisme yang lain. Gramsci lebih toleran dan tidak ortodoks seperti Marx. Bahkan, Mussolini menganggap bahwa pemikiran Gramsci itu berbahaya jika tidak dicegah. Ketika Gramsci dipenjara karena tidak sepaham dengannya, Mussolini berkata, ”We have to prevent that this mind continue thinking” (Stillo, http://www.theory.org.uk/ctr-gram.htm). Dalam hal pendidikan (moral) dan kebudayaan, Gramsci berpendapat bahwa sekolah sebagai fungsi edukatif yang positif dan istana sebagai satu fungsi edukatif yang negatif dan represif (Faruk, 2005: 77). Ahli antropologi Koentjaraningrat (dalam Kasdi, Aminuddin.2005:51), menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan dari perilaku dan hasil kelakuan manusia yang teratur, yaitu tata kelakuan manusia yang harus diperoleh dengan belajar yang tersusun dan terintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, tulisan ini akan menjelaskan tentang perilaku dan hasil kelakuan dari masyarakat Arab Saudi terutama dalam hal kepemimpinan kaum laki-laki atas kaum perempuan.
2. Pembahasan a. Bentuk-Bentuk Hegemoni Budaya dalam Princess Negara Arab Saudi merupakan negara yang menganut hukum Islam, misalnya dengan menghukum potong tangan atau kaki bagi seorang pencuri, rajam bagi para pezinah, dan lainnya. Budaya di Arab juga seolah-olah berdasarkan Islam, akan tetapi hal ini masih diragukan karena Sultana sendiri mengatakan bahwa sebagian pria Arab menafsirkan Al-Quran dengan bodoh dan mereka juga dengan sengaja membelokkan kata-kata Nabi Muhammad. Misalnya saja beberapa hegemoni atas perempuan Arab yang akan dibahas berikut ini, hegemoni tersebut seolah-olah berdasarkan ajaran Islam. Akan tetapi makalah ini tidak memfokuskan pembahasan pada validitas ajaran Islam tersebut karena hal ini membutuhkan pengetahuan agama yang mendalam. Beberapa hegemoni budaya yang dialami perempuan Saudi adalah sebagai berikut:
a.1 Perempuan Tidak Diizinkan Mengendarai Mobil Meskipun dalam agama Islam perempuan tidak dilarang untuk mengendarai mobil, akan tetapi perempuan Arab Saudi tidak memiliki kebebasan tersebut. Oleh sebab itu semua sopir di Arab Saudi adalah laki-laki. Jika mereka dari keluarga kaya, maka mereka bisa menggaji sopir pribadi. Permasalahan bagi perempuan yang sebenarnya ialah bukan karena tidak diperbolehkan menyopir mobil, akan tetapi penekanan terhadap rasa aktualisasi diri perempuan yang sangat terbatas. Hal ini menimbulkan perasaan tertindas bagi sebagian perempuan Saudi. Mereka menginginkan kebebasan karena dengan tidak diperbolehkannya menyetir maka kemanapun mereka pergi mereka harus selalu ditemani, minimal oleh sopirnya. Bisa diartikan bahwa perempuan tidak cukup bisa dipercaya dalam mengendalikan mobil seperti yang telah dikatakan oleh Karim. Perasaan tertekan ini menjadi semakin kuat ketika perempuan Kuwait yang sedang berada di Saudi diberikan kebebasan menyetir sendiri. Hal ini tercermin dalam pernyataan Sultana ”... saat itu juga kami merasa cemburu bahwa saudari-saudari kami sesama Arab boleh mengendarai mobil dan menampakkan wajah mereka di negeri kami!” (Sasson, 2008: 329-320). Larangan ini bisa dikarenakan oleh beberapa hal: pertama dari segi budaya yang harus dipertahankan. Ketika beberapa perempuan Saudi menentang adat dengan mengendarai mobil sendiri, mereka dihukum dengan hukuman yang berat. Para pelajar sekolah agama juga mengajak para lelaki Saudi untuk menentang perempuan–perempuan pemberani tersebut. Mereka mengatakan bahwa itu adalah godaan dari Barat yang bisa mendatangkan kehancuran Arab Saudi. Tidak diizinkannya perempuan untuk mengendarai mobil sendiri merupakan bentuk dari penindasan terhadap kaum wanita. Wanita sangat dibatasi kebebasannya dan kepercayaan yang diberikan mereka juga sedikit. Laki-laki bisa beraktualisasi diri salah satunya dengan mengendarai kendaraannya sendiri tanpa izin dari siapapun. Namun wanita tidak mempunyai kesempatan yang sama. Walaupun di negara-negara lain di dunia tidak ada bukti yang menunjukkan bbahwa wanita mengemudi lebih buruk dari laki-laki, namun Arab Saudi merasa bahwa wanita tidak bisa mengemudi secara layak dibandingkan dengan laki-laki. Hukum yang kurang diterima logikanya inilah yang semakin membuat wanita Arab Saudi merasa tertindas dan tidak diperlakukan dengan adil.
a.1.2 Perempuan Tidak Diperbolehkan untuk bekerja Selain dilarang berkendara, perempuan Saudi juga dilarang bekerja. Walaupun larangan ini bersifat tidak mutlak, akan tetapi sebagian kecil perempuan saja yang bisa bekerja atas izin bapak atau suaminya. Hal ini diungkapkan oleh Sasson dalam pengamatannya ketika dia berada di Arab Saudi. Sasson mengatakan ”Walaupun 58% lulusan universitas adalah perempuan, hanya 6% yang terlibat dalam dunia kerja” (Sasson, 2008: 6). Dari segi budaya hal ini seolah-olah sesuai dengan ajaran Islam karena yang wajib mencari nafkah adalah suami (lelaki), namun demikian ada yang menafsirkan bahwa Islam juga tidak melarang wanita bekerja selama wanita tersebut tidak melupakan kewajiban utamanya pada keluarga. Ketidakbebasan perempuan di Arab untuk bekerja lebih cenderung ke arah penekanan hak perempuan karena bagaimanapun kondisi ekonomi mereka dan setinggi apapun pendidikannya, izin bekerja dari sang suami atau orang tua laki-lakinya sangatlah sulit. Perempuan haruslah di rumah, hanya boleh bekerja untuk suami dan anak-anak mereka. Walaupun pada akhirnya mereka boleh bersekolah tinggi, namun setelah lulus sebagian besar para suami dan orang tua laki-laki tidak mengizinkan perempuan yang terdidik tersebut untuk bekerja di luar rumah. Hegemoni budaya tersebut membuat para perempuan merasa terbelenggu baik secara fisik maupun pikiran mereka. Keintelektualan yang diasah melalui jalur pendidikan pada akhirnya menjadi tidak berguna dan tumpul karena mereka tidak diperbolehkan untuk mengembangkannya dalam dunia kerja. Intelek atau tidak para perempuan harus memikirkan persoalan yang sama yaitu tentang membesarkan anak dan mengurusi masalah rumah tangga. Jika mereka pandai dalam hal ilmu yang lain, semuanya tidak akan diakui oleh kaum laki-laki karena yang boleh mengemukakan pendapat hanya kaum laki-laki. Dampak dari rutinitas dalam rumah dan tidak diperkenankannya perempuan mengembangkan kemampuannya di luar rumah ialah rasa depresi, sehingga untuk menghabiskan waktu mereka sering mengadakan pertemuan dengan perempuan-perempuan lain di rumah mereka. Dengan demikian mereka bisa saling berbagi dan terhibur satu sama lain karena belenggu atas mereka berlaku untuk hampir semua perempuan di Arab Saudi.
a.1.3 Perempuan Tidak Diperkenankan untuk Memilih Jodohnya Sendiri Perempuan di Saudi tidak punya kuasa untuk memilih sendiri calon suaminya. Mereka harus menurut pada kehendak orang tuanya untuk dinikahkan dengan lelaki manapun. Hal ini bukan hanya terjadi pada perempuan biasa, melainkan juga keturunan kerajaan seperti kakak-kakak Sultana dan pada akhirnya Sultana sendiri. Ketika Sara berusia 17 tahun, ia akan dinikahkan dengan lelaki tua pilihan ayahnya. Sultana kasihan pada kakaknya yang tercantik di keluarga itu, namun Sultana tidak bisa berbuat apa-apa. ”Laki-laki pilihan ayah untuk menikahi anak perempuannya yang paling diminati adalah anggota keluarga pedagang terkemuka di Jeddah yang memiliki pengaruh keuangan pada keluarga kami. Mempelai laki-laki dipilih semata-mata karena hubungan bisnis di masa lalu dan yang akan datang. Ia berumur enam puluh dua tahun;...” (Sasson, 2008: 57).
Perbedaan usia yang besar antara calon suami dengan calon istrinya tidak meluruhkan minat ayah Sara untuk menjodohkan anak perempuannya dengan lelaki saudagar tersebut. Dalam budaya masyarakat Arab Saudi, pimpinan keluarga (orang tua laki-laki) berhak menentukan apapun atas kehidupan anak perempuannya. Jika orang tuanya menginginkan menantu yang mempunyai jabatan ataupun kaya maka orang tua tersebut akan menerima pinangan calon menantu yang diharapkan tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan anak perempuannya. Hegemoni pria atas wanita dilakukan tanpa memperhatikan kebutuhan dan perasaan kaum yang ditindasnya. Perasaan cinta atau benci seorang perempuan tidak menjadi bahan pertimbangan sama sekali dalam menentukan pasangan hidupnya oleh orang tuanya. Hal ini terbukti dengan adanya banyak kasus dimana para perempuan sudah mempunyai calon pendamping hidupnya yang dipilihnya sendiri namun terpaksa harus ditinggalkannya karena mereka dipaksa orang tua mereka untuk menikah dengan pria yang sudah dipilihkan untuk mereka tidak peduli perbedaan usia yang sangat jauh dan perasaan yang dimiliki oleh anak perempuan mereka. Dalam banyak hal, termasuk pernikahan, wanita tidak kuasa untuk menentukan nasibnya sendiri.
a.1.4 Perempuan Dibatasi dalam Memperoleh Pendidikan Formal Bersekolah merupakan salah satu cara untuk meminimalkan kebodohan dan menurut Gramsci, sekolah merupakan salah satu cara untuk memberadabkan suatu negara. Walaupun demikian, sekolah bagi perempuan sangat dibatasi di Arab Saudi. Bahkan keluarga istanapun (dulu) dari pihak perempuan tidak diperkenankan sekolah. Sekolah hanya menjadi hak milik laki-laki. ”Iffat, istri Raja Faisal, menganjurkan ibuku agar mengusahakan pendidikan bagi anak-anak perempuannya, meskipun ayahku tidak mengizinkan” (Sasson, 2008: 43). ”Setelah beberapa tahun berlalu, ayah melihat banyak keluarga kerajaan yang mengizinkan anak perempuannya mendapatkan manfaat pendidikan” (Sasson, 2008: 44).
Meskipun sekolah adalah tempat yang sangat tepat untuk mendidik seseorang baik dalam hal pengetahuan maupun moral, akan tetapi perempuan bangsawan lebih diperintah untuk tinggal di istana, yang menurut pendapat Gramsci, adalah tempat yang penuh dengan tekanan. Sepandai dan sekaya apapun perempuan Arab pada saat itu, pendidikan mereka hanyalah di istana (untuk kaum bangsawan) untuk mempelajari Al-Quran yang penafsirannya dilakukan sesuai dengan kepentingan laki-laki, tidak ditafsirkan dengan benar dan murni. Walaupun mereka juga dididik dengan pengetahuan umum lainnya, akan tetapi semuanya menjadi tidak berkembang karena kehidupan yang mereka tahu hanyalah di dalam rumah. Meskipun sekarang perempuan boleh bersekolah di sekolah-sekolah formal, namun hak-hak mereka masih sangat dibatasi. Jika perempuan di negara lain bisa mengembangkan keilmuannya dan mendapat apresiasi dari kemampuan mereka, maka di Arab Saudi semua itu hanyalah milik pria. Perempuan yang pandai dan terdidik tidak diberi kesempatan dan kepercayaan untuk mengembangkan ilmunya, apalagi penghargaan terhadap kemampuan mereka. Hal itu merupakan kejadian yang hampir tidak ada di Arab Saudi karena yang diminta dan didengar pendapatnya hanyalah kaum laki-laki. Sepertinya, kaum lelaki merasa ’takut’ kehilangan dominasinya atas kaum perempuan. Dengan bersekolah, perempuan akan menjadi lebih cerdas sehingga ditakutkan akan menentang laki-laki.
b. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Hegemoni Budaya di Arab Saudi Hegemoni budaya di Arab Saudi yang dilakukan oleh kelompok yang memimpin (pria) terhadap kelompok yang dipimpin (perempuan) masih berjalan dinamis. Hal ini dikarenakan belum ada keberanian dari pihak perempuan untuk melawan hegemoni yang mereka alami. Keadaan damai inilah yang mendukung masih berlangsungnya hegemoni tersebut sampai saat ini. Meskipun Gramsci berpendapat bahwa hegemoni hendaknya dilakukan secara baik dan bermoral dengan memberikan toleransi dan menganalisa kebutuhan kaum yang terpimpin, namun apa yang terjadi di Arab Saudi sepertinya cenderung ke arah hegemoni Marxisme kuno walaupun tanpa diwarnai perlawanan dari kaum yang tertindas. Akan tetapi menurut Gramsci, sifat hubungan antar kelompok menentukan sifat hegemoni yang terjadi, apakah bisa berlangsung secara damai atau sebaliknya. ”... sifat hubungan antar kelompok itu akan sangat mempengaruhi sifat hegemoni yang ada: apakah ada konflik dan stabilitas antar mereka ataukah ada pertalian politis dan kultural antara keduanya...” (Faruk, 2005: 75). Selama belum ada gejolak dari pihak subordinat terhadap pihak fundamental, maka hegemoni tersebut masih stabil. Namun, bila pihak subordinat mengadakan penentangan terhadap pihak yang berkuasa, maka bisa menimbulkan pergolakan bahkan revolusi. Hegemoni budaya yang dirasakan telah merugikan kaum perempuan sehingga Sultana merasa perlu untuk menceritakan kisahnya demi untuk mendapatkan perubahan budaya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Kembalinya budaya Arab Saudi seperti pada budaya zaman Jahiliyyah.
2. Adanya penafsiran Kitab Suci agama Islam yang kurang tepat.
3. Kurang adanya keberanian dari kaum perempuan untuk mengubah budaya yang membatasi kebebasan mereka. Pada zaman Jahiliyyah, yaitu zaman dimana Islam belum datang di Arab Saudi, orang tua akan membunuh bayi perempuannya begitu bayi tersebut dilahirkan. Hal ini karena pada saat itu perempuan dianggap hina dan merupakan aib. Oleh sebab itu mereka akan malu kalau mempunyai anak perempuan, hanya kelahiran anak laki-laki yang diharapkan. Dengan adanya fenomena budaya Arab Saudi yang memandang rendah kaum perempuan dan tidak memperhitungkan kemampuan mereka dalam banyak hal, berarti keadaan ini hampir sama dengan masa Jahiliyyah. Perempuan dianggap membawa malu keluarga dan keluarga Sultana sendiri hanya mengharapkan kehadiran anak laki-laki. Jika pada zaman Jahiliyyah perempuan dibunuh secara fisik, maka bisa dikatakan pada zaman sekarang perempuan di Arab dibunuh secara mental dengan membelenggu mereka dalam banyak hal seperti dijelaskan sebelumnya. Dalam pengantar Princess dan juga disinggung dalam narasi di dalamnya, dikatakan bahwa kaum laki-laki telah menyelewengkan tafsir Al-Quran demi untuk kepentingan mereka. Al-Quran yang menerangkan agar kaum perempuan dijaga, dikasihi dan dihargai oleh kaum laki-laki sebagai kaum pemimpin mereka ditafsirkan sebagai laki-laki memimpin dan boleh menentukan nasib perempuan tanpa mengindahkan perasaan dan kebutuhan mereka. Al-Quran juga menyerukan larangan keras dan hukuman yang berat atas perzinahan, namun kaum laki-laki Arab memperlakukan perempuan sebagai budak seks dengan memperkosa pekerja wanitanya ataupun membeli wanita-wanita pelacur. Hegemoni laki-laki atas perempuan dalam hal budaya masih berlangsung di Arab Saudi hingga saat ini. Hal itu dikarenakan kurang adanya keberanian dari kaum perempuan untuk mengubah budaya yang membatasi kebebasan mereka. Para perempuan yang mencoba memberontak dan mengubah budaya yang ada bisa dikenakan hukuman yang sangat berat baik dari masyarakat maupun keluarga. Hukuman berat dan tidak adanya dukungan dari masyarakat inilah yang menyurutkan keberanian para perempuan untuk memperjungkan hak-hak mereka dari dominasi budaya yang membelenggu. Salah satu cara yang digunakan oleh Sultana ialah dengan menuliskan kisahnya agar mendapat bantuan dari dunia (negara lain) karena Sultana tidak bisa mengandalkan bantuan dari masyarakatnya sendiri (khususnya dari kaum laki-laki).
4. Kesimpulan Hegemoni di Arab Saudi dalam Princess terjadi sebagian besar dari kaum laki-laki atas kaum perempuan. Dalam hal budaya, hegemoni yang dialami oleh kaum perempuan ialah; Perempuan tidak diizinkan untuk berkendara sendiri, bekerja di luar rumah, bersekolah, memilih jodohnya sendiri, dan sebagainya. Budaya tersebut dirasa sangat merugikan perempuan sehingga membuat mereka tertekan dan merasa tidak dihargai oleh kaum laki-laki. Penekanan kaum laki-laki terhadap perempuan dalam hal budaya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: kembalinya budaya Arab Saudi seperti pada budaya zaman Jahiliyyah, adanya penafsiran Kitab Suci agama Islam yang kurang tepat dan kurang adanya keberanian dari kaum perempuan untuk mengubah budaya yang membatasi kebebasan mereka. Faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh adanya perbedaan kepentingan dan pandangan antara kaum laki-laki dan perempuan dalam menyikapi fenomena yang ada.