Mendongkrak Kinerja Aparatur Pemerintah
Dengan Motivasi
Oleh:
Alfian Arbie P. Harahap, S. Hut*
Adalah sangat menarik untuk diamati bahwa berbagai diagnosis, teori, dan cara telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kualitas kinerja, dan peningkatan produktivitas aparatur di lingkungan pemerintah maupun swasta di negeri kita, namun kualitas dan daya saing serta kualitas kinerja dan produktivitasnya seringkali masih jauh dari yang diharapkan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Kondisinya menjadi lebih parah bila dikaitkan dengan prilaku korupsi yang masih cukup parah, jika bukannya semakin menggurita.
Berbagai diagnosis telah dilakukan mengenai penyebab persoalan sumber daya yang sangat problematis ini. Sebagian ahli menengarai bahwa situasi yang memprihatinkan ini terjadi akibat pendapatan aparatur yang terlalu rendah, salary yang tidak mencukupi untuk membiayai kepentingan domestik aparatur. Diagnosis ini telah diberikan therapy oleh pemerintah dengan kebijakan kenaikan gaji. Berulangkali Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menarik garis bahwa kualitas SDM aparatur yang problematis tersebut berawal dari kecilnya pendapatan dan memutuskan untuk menaikkan gaji aparatur, berkali-kali selama pemerintahannya. Kebijakan ini tampak telah membuat geliat kehidupan domestik yang lebih ceria. Aparatur mulai tersenyum simpul dapat hidup lebih layak, dapat menyekolahkan anak-anak mereka. Apalagi kebijakan penyejahteraan aparatur ini telah diikuti oleh upaya pemerintah daerah untuk menambah tunjangan bagi aparatur mulai dari tunjangan prestasi atau apapun namanya yang sejajar dengan itu.
Namun pertanyaan yang perlu dikedepankan adalah; apakah dengan peningkatan salary dan kesejahteraan tersebut telah dapat mendongkrak kinerja dan produktivitas aparat? Hingga saat ini masih memunculkan tanda Tanya besar. Sebab berita aparatur masih didominasi oleh berbagai ketidakberesan; korupsi, indisipliner, pelanggaran aturan dan kasus-kasus yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan salary mereka. Namun, sampai di sini saya mohon maaf, tidak bermaksud meremehkan prestasi yang ada dan peningkatan kinerja dan produktivitas di celah-celah persoalan yang problematis ini.
Secara teoritis, peningkatan salary atau kesejahteraan akan dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas aparatur. Akan tetapi senyatanya hasil penelitian sejumlah ahli dan teman-teman saya yang meneliti persoalan ini diperoleh jawaban yang positif. Memang ada yang memiliki pengaruh positif, akan tetapi ada juga yang tidak memiliki pengaruh apa-apa. Peningkatan gaji dan pendapatan tidak selalu berimplikasi pada peningkatan kinerja dan produktivitas, bahkan ada yang mengalami penurunan. Ironis memang…
Jika dicoba mendiagnosis berbagai faktor yang menyebabkannya, ditemukan beberapa faktor yang cukup menonjol. Pertama, budaya kerja yang rendah. Sebagian aparatur tidak bermental kerja yang baik. Kerja baginya bukan tugas utama, melainkan “nyambi” hingga tidak memiliki orientasi yang jelas tentang tujuan (goal) kerja dan tidak bersifat pro job. Kedua, prilaku konsumerisme para aparatur yang menyebabkan berapapun gaji atau salary yang mereka terima akan selalu diiringi oleh peningkatan pengeluaran yang berlipat ganda. Tentu saja akan selalu merasa kurang dan tidak cukup hingga peningkatan salary tidak berakibat langsung pada kesejahteraan dan ketenangan, jika bukannya akan ber-impact pada kesusahan dan kesuntukan yang terus menerus.
Ketiga, motivasi yang memungkinkan dapat meluruskan persepsinya tentang kerja tidak terjadi. Hal ini ditengarai sebagai akibat dari teori dan model-model motivasi aparatur yang tidak terlalu variatif, hingga terjadi budaya rutinitas dan kejenuhan. Juga karena inner capacity aparatur, yang tidak pernah mengahayati filosofi kerja secara benar. Kerja hanya dianggap sebagai kewajiban untuk mencari makan dan kasta. Bukan aktualisasi diri sebagai manusia yang bertanggung jawab untuk melakukan kerja dengan benar hingga dapat mendatangkan perubahan bagi diri dan masyarakatnya ke arah yang lebih baik.
Keempat, tidak kalah pentingnya hal yang problematis ini dikarenakan rendahnya pengetahuan dan pemahaman aparatur terhadap kerjanya. Hal yang disebut terakhir telah menyebabkan kinerja yang asal-asalan, tidak sesuai dengan SOP, dan ketiadaan inovasi.
Sebetulnya banyak lagi fakta yang menyebabkan tidak bergeraknya kinerja dan meningkatkan produktivitas aparatur yang tidak mungkin disebutkan satu persatu di sini. Namun fakta yang telah disebutkan diharapkan dapat menggambarkan kerumitan kualitas kinerja aparatur yang tidak saja terjadi di dalam satu sector, melainkan telah merepotkan pada intersektor.
Kalau demikian halnya, apa yang harus kita lakukan? Peningkatan salary atau pendapatan aparatur memang merupakan salah satu upaya revitalisasi peran dan peningkatan kinerja aparatur. Akan tetapi peningkatan pengetahuan dan pengenalan terhadap makna dan nilai kerja bisa jadi tidak menjadikan aparatur menampilkan kinerja yang baik serta produktivitas yang menggembirakan.
Dalam hal ini, peran motivasi yang demikian krusial perlu dilihat sebagai upaya sistematis untuk mengefektifkan berbagai upaya perbaikan kinerja aparatur menjadi lebih berarti. Aparatur perlu mendapat pencerahan tentang makna kenaikan gaji bagi tanggung jawab kerja aparatur. Peningkatan ilmu dan skill menjadi keniscayaan. Sebab hanya dengan pengetahuan seorang aparatur dapat bekerja dengan benar dan dapat melakukan inovasi bagi setiap tugas yang dibebankan kepadanya. Pada saat yang sama aparatur perlu melakukan internalisasi bahwa keberadaan sebagai aparatur adalah amanah dari Tuhan serta rakyat, dan untuk itu mereka harus terus bertekad untuk meningkatkan kualitas kinerja dan produktivitas sebagai bakti mereka untuk negeri. Sebab manusia yang terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain.[]
*Alfian Arbie P. Harahap, S. Hut
Peserta Pasca Pasarjana Ekonomi dan Manajemen
IPB Bogor – PNS Pada Pemda Kabupaten
Padang Lawas Utara.