Contents Bab III. Pandangan Kelompok 1 Bab IV. Kesimpulan 7
Bab III. Pandangan Kelompok
Menangapi kasus yang terjadi antara Pertamina dan Karaha Bodas, kelompok kami memiliki pandangan sebagai berikut : 1. Keputusan Kepres No 39/1997, Kepres No 47/1997 dan Kepres No 05/1998, timbul karena adanya krisis ekonomi yang terjadi secara regional, sehingga seharusnya keputusan ini dapat dikatakan keadaan force majeure bukan dibuat atas dasar wan prestasi. 2. Persiapan yang tidak seutuhnya dilakukan oleh pihak Pertamina dan Pemerintah RI dalam menghadapi tuntutan yang dilakukan oleh Karaha Bodas di sidang Arbritase di Jenewa, Swiss 3. Pertamina dan Pemerintah RI tidak seutuhnya siap akan apa yang dapat terjadi setelah adanya keputusan dari sidang Arbritase. 4. Pembatalan pelaksanaan keputusan dari sidang Arbitrase antara Pertamina dan Karaha Bodas tidak seharusnya dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena hal tersebut berada diluar kewenangannya.
Keputusan Kepres No 39/1997 (Keputusan Penangguhan/Pengkajian Projek Pemerintah, BUMN dan Swasta yang berkaitan dengan Pemerintah/BUMN), Kepres No 47/1997 (Keputusan bahwa projek Pemerintah, BUMN dan Swasta yang berkaitan dengan Pemerintah/ BUMN boleh dilanjutkan kembali) dan Kepres No 05/1998 (Keputusan Penangguhan/Pengkajian Kembali Projek Pemerintah, BUMN dan Swasta yang berkaitan dengan Pemerintah/BUMN) dikatakan sebagai force majeure karena sebenarnya keputusan tersebut dibuat atas dasar pertimbangan bahwa secara regional pada saat itu telah terjadi sebuah sebab luar biasa yang tidak mampu dihindari oleh pihak manapun sehingga kerugian bagi pihak yang berkepentingan tetap tidak dapat dihindari, yaitu terjadinya peristiwa Krisis Ekonomi. Selain itu keputusan tersebut dibuat berdasarkan rekomendasi dari IMF (International Monetary Fund) yang pada saat itu dianggap sebagai penasehat bagi Indonesia yang sedang berusaha agar dapat keluar dari krisis, setelah melihat bahwa adanya ketidak efisiensian secara keuangan terhadap beberapa projek yang sedang dijalankan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada saat itu.
Dan menurut fakta yang berkembang dikalangan masyarakat muncul pendapat bahwa sangat sayang hal ini tidak digunakan sepenuhnya oleh Pertamina selama menghadapi persidangan Arbtritase dengan Karaha Bodas, yang mana seharusnya hal ini dapat bertindak sebagai fakta yang tak terbantahkan dalam membuktikan bahwa Pertamina tidak melakukan wan prestasi, dan sebagai sebuah prima facie evidence yang seharusnya menjadi pertahanan yang sangat kuat dalam menghadapi persidangan ini.
Kemudian selama Pertamina dan Pemerintah RI melakukan persidangan sepertinya Pertamina dan Pemerintah RI tidak melakukan persiapan yang seutuhnya untuk menghadapi persidangan ini. Karena terkadang muncul kesan bahwa Pertamina menganggap bahwa pengadilan Arbitrase adalah pengadilan yang keputusannya tidak dapat berlaku di Indonesia dan menganggap remeh persidangan ini. Hal ini terbukti dari tidak dipilihnya arbiter yang akan melakukan proses peradilan selama di sidang Arbritase. Padahal sebagaimana diketahui menurut UU No 30 tahun 1999 (yang merupakan Undang-Undang yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia untuk meratifikasi hasil dari New York Convention 1958)
Pada pasal (1) pada penjelasan nomor (7), dikatakan bahwa :
Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.
Dan pada pasal 15, ayat (3), yang mengatakan bahwa :
Apabila dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dan salah satu pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah pihak.
Padahal kami menganggap pemilihan arbiter adalah salah satu langkah yang paling penting dalam tahapan persiapan menghadapi persidangan Arbritase, karena sifat dari Arbiter yang nantinya akan menjadi hakim dalam persidangan. Dan sudah selayaknya karena memang merupakan hak dari pihak bersengketa, tentunya akan memilih arbiter yang sekiranya mengerti dengan baik kondisi baik secara ekonomi, budaya dan hukum yang berlaku di Indonesia pada saat itu. Sehingga diharapkan setidaknya dapat memberikan penilaian yang jauh lebih objektif terhadap kasus yang sedang berjalan.
Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya Pertamina dan Pemerintah telah melewatkan kesempatan istimewa yang diberikan kepadanya mereka untuk memilih arbiter, sehingga arbiter yang terpilih untuk menjalankan kasus ini adalah berasal dari Eropa dan Mesir (Prof. Piero Bernardini, Prof. Ahmed S. El Kosheri dan Me Yves Derains) yang dikatakan sebenarnya tidak terlalu mengenal dengan baik kondisi ekonomi, budaya dan hukum yang berjalan di Indonesia. Hal ini mungkin secara tidak langsung melemahkan posisi dari Pertamina dan Pemerintah RI dalam proses persidangan tersebut. Walaupun pada akhirnya Pertamina dan Pemerintah RI membantah ketidak siapan mereka dalam menghadapi sidang ini bahwa mereka telah diberitahu secara tidak layak untuk melalui proses ini.
Kemudian setelah keluar keputusan dari sidang Arbritase Jenewa, hal yang disayangkan adalah sepertinya Pertamina dan Pemerintah tidak siap juga untuk menghadapi keputusan tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa hasil keputusan dari sebuah sidang Arbritase adalah final and binding (pertama dan terakhir, serta mengikat), dan dari pernyataan ini berarti bahwa seharusnya kemungkinan untuk dilakukannya banding adalah sudah hampir dapat dikatakan tidak mungkin. Kecuali keputusan yang dikeluarkan itu melanggar atas apa yang disebutkan pada UU No 30 tahun 1999, Pasal 66, yang mengatakan :
Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional; b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan; c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum; d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dan jika dilihat keputusan yang dibuat dari Arbitrase di Jenewa telah memenuhi semua syarat yang telah disebutkan diatas. Sehingga dapat dikatakan sebenarnya keputusan Arbritase adalah sudah sah dan seharusnya dapat dilaksanakan di Indonesia. Tindakan kontroversial selanjutnya yang dilakukan oleh Pertamina dan Pemerintah RI setelah adanya keputusan Arbritase adalah Pertamina dan Pemerintah RI sebagai pihak yang kalah dalam Arbritase, justru yang mendaftarkan hasil tersebut ke Pengadilan Negri Jakarta Pusat, dan hal ini tidak pernah dilakukan oleh Karaha Bodas sebagai pihak yang memenangkan Arbitrase. Langkah yang dilakukan ini justru menimbulkan pemikiran bahwa ini adalah sebuah langkah yang dilakukan oleh Pertamina dan Pemerintah RI agar dapat melakukan pembatalan keputusan dengan didasarkan pada UU No 30 tahun 1999 pasal 71 yang mengatakan :
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri
Karena memang setelah pengajuan pendaftaran hasil dari keputusan Arbitrase di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, selanjutnya Pertamina dan Pemerintah RI segera mengajukan pembatalan keputusan.
Kontroversi kembali terjadi setelah dilakukannya proses persidangan untuk pembatalan keputusan Arbritase antara Pertamina dan Karaha Bodas, yang diajukan oleh Pertamina dan Pemerintah RI, adalah dengan dikeluarkannya Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 27 Agustus 2002 No.86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST, yang mengabulkan permintaan Pertamina dan Pemerintah RI untuk membatalkan Keputusan Arbitrase Jenewa. Dimana tindakan ini adalah sangat tidak sesuai dengan batasan kewenangan yang diberikan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dimana dalam hal ini Ketua Mejelis Hakim H. Herri Swantoro, SH, dan anggota Majelis Hakim : Saparuddin Hasibuan, SH dan Silverster Djuma, SH telah keliru menafsirkan ketentuan Pasal V(1)(e) Konvensi New York 1958 yang mengatakan bahwa :
“The award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of with, that award was made”
Dan majelis hakim menafsirkan bahwa competent authority ini merupakan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, karena atas dasar hukum pada perjanjian yang dibuat oleh Pertamina dan Karaha Bodas terjadi di Indonesia, sehingga hukum yang berlaku seharusnya adalah hukum Indonesia. Sehingga dianggap tepat bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memang berhak untuk membatalkan keputusan yang dikeluarkan oleh Arbitrase di Jenewa. Padahal seharusnya dalam sistem hukum Arbtritase yang perlu diperhatikan dalam menafsirkan competent authority adalah tidak lain adalah berdasarkan konsep Lex Arbrity (dimana yang berhak membatalkan keputusan yang dibuat oleh Arbritase adalah pengadilan dimana negara dilaksanakannya proses Arbtritase tersebut), yang berarti adalah tidak lain Pengadilan Negri di Jenewa, Swiss. Jadi yang perlu diartikan secara explisit pernyataan dari Konvensi New York 1958 yang dijadikan sebagai acuan dari majelis hakim, mengatakan bahwa pengadilan yang diminta untuk melakukan ekskusi dapat menolak melaksanakan eksekusi jika setelah adanya pembatalan keputusan Arbritase di suatu competent auhtority (dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Swiss). Selain itu keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini tidak akan pernah diakui oleh Pengadilan Luar Negeri karena keputusan yang diambil ini adalah tidak benar. Dan juga Pengadilan Luar Negeri juga tidak akan pernah mengakui/mengabaikan hasil dari Pengadilan Negara Lain, karena adanya hubungan dengan kedaulatan dari sebuah negara. Sehingga keputusan Arbitrase Jenewa yang pada akhirnya tetap akan diakui dan dijalankan di negara-negara selain Indonesia.
Bab IV. Kesimpulan
Sengketa antara Pertamina dan Karaha Bodas Company (KBC) bermula dari ditandatanganinya perjanjian Joint Operation Contract (JOC) pada tanggal 28 November 1994. Perjanjian ini bertujuan untuk explorasi bersama energy panas bumi yang ada di Garut, Jawa Barat. Pada saat yang sama, Pertamina dan KBC juga menandatangani perjanjian dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) berupa Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian ini bertujuan untuk memasok kebutuhan listrik PLN dari proyek eksplorasi JOC di Garut tersebut. Dalam kenyataannya, Indonesia secara khusus dan Asia secara umum jatuh ke dalam resesi dan krisis ekonomi pada medio 1997. Perekonomian nasional secara umum manjadi lumpuh, kemampuan financial pemerintah sebagai pemilik proyek JOC juga terkena imbas yang sangat serius sehingga pemerintah terpaksa menerima uluran bantuan IMF yang disertai dengan beberapa persyaratan yang hingga saat ini masih dipertanyakan motif dari syarat-syarat tersebut, seperti dihentikannya proyek dirgantara nasional dan juga salah satu keputusan pemerintah yang atas rekomendasi IMF adalah menunda proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi di Garut yang dalam hal ini merupakan JOC antara Pertamina dan KBC dan pada akhirnya berujung dengan gugatan ke arbitrase internasional dan dikabulkannya gugatan KBC pada tanggal 18 December 2000 oleh arbitrase Jenewa dengan keputusan agar Pertamina membayar kurang lebih USD 270 juta. Dari rangkaian kasus ini dapat diambil berbagai pelajaran yang bisa diambil oleh bangsa Indonesia antara lain; 1. Kasus Pertamina dengan KBC ini telah diputuskan oleh arbitrase internasional di Jenewa, Swiss sesuai dengan keputusan awal yang tertera dalam kontrak kerjasama JOC antara Pertamina dan KBC. Keputusan ini adalah keputusan yang final dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa. Walaupun pada akhirnya Pertamina mengugat hasil keputusan tersebut baik di Swiss maupun menggunakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membatalkan putusan arbitrase internasional yang tentu saja kontra produktif dan semakin memperburuk image ketidakpastian hukum investasi di Indonesia. 2. Diperlukannya pedapat hukum professional maupun internasional yang reliable akan masalah arbitrase internasional. Pemerintah RI harusnya dapat melakukan pendekatan G to G sebelum KBC mengajukan gugatan arbitrrase internasional. Karena batalnya proyek JOC tersebut merupakan keadaan force majeure yang merupakan dampak krisis ekonomi pada medio 1997-1998 dan juga penangguhan tersebut adalah salah satu syarat yang diajukan IMF agar Indonesia dapat memperoleh bantuan penangan krisis ekonomi. 3. Semakin lama penangguhan pembayaran yang dilakukan Pertamina akan berdampak pada semakin besarnya pinalti yang harus dibayar kepada KBC. Pemerintah harus dapat dengan jeli melihat “untung-rugi” nya kasus ini dipertahankan seperti mengambang. Karena ini pasti akan berpengaruh terhadap iklim investasi yang merupakan program pemerintah untuk menggerakkan perekonomian nasional. Pemerintah harus dapat melakukan cut-lost dari apa yang telah terjadi. Sehingga beban ekonomi yang bias dihasilkan tidak terlampau berefek domino karena gagalnya investasi global untuk masuk Indonesia yang pasti berimbas pada pertumbuhan ekomoni. 4. Kurangnya pengalaman pemerintah dalam memfasilitasi kasus arbitrase investasi. Cenderung menganggap remeh kasus yang terjadi ternyata merupakan blunder yang fatal. Pemerintah harus lebih mempersiapkan diri dengan memagari setiap kontrak kerjasama yang akan dilakukan akan kemungkinan masalah yang timbul dikemudian hari. Dan jika memang terjadi seperti kasus Pertamina vs KBC, pemerintah hendaknya secara serius menangani masalah arbitrase ini. Karena jika keputusan sudah dibuat, keputusan itu merupakan final and binding decision yang harus ditaati oleh pihak yang bersengketa. 5. Pemerintah hendaknya menghindari proses hukum diluar kebiasaan internasional, seperti dalam kasus ini adalah pembatalan keputusan arbitrase Jenewa oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Karena walaupun secara hukum dimungkinkan adanya pembatalan putusan arbitrase tetapi hasil keputusan ditingkat domestic dapat diabaikan pada tingkat internasional. Sehingga walaupun PN Jakarta Pusat telah membatalkan kasus arbitrase tersebut, nyatanya asset Pertamina masih banyak yang diblokir diberbagai Negara atas permintaan KBC.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Republik Indonesia No 30 tahun 1999 tentang “Arbritase dan Alternatif Penyelesaiian Sengketa”
Tudung Mulya Lubis, “Karaha Bodas, sampai kapan” http://www.lsmlaw.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=199&Itemid=18&lang=en Tudung Mulya Lubis, The Jakarta Post, Rabu, 24 November 2004, “Karaha Bodas and Five Mistakes”
Karen Mills, Jurnal Hukum Bisnis Volume 21, Oktober – November 2002, hal 55-66, “Enforcement of Arbitral Awards in Indonesia Issues Relating to Arbritation and The Judiciary”
Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, PhD. Jurnal Hukum Bisnis Volume 21, Oktober – November 2002, hal 67-74, “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional”