1. Shalat yang benar akan termanifestasikan dalam kebaikan akhlak
Sabda Rasulullah saw: “Tak melakukan shalat orang-orang yang shalatnya tak menghindarkannya dari kekejian dan kemungkaran.” Shalat yang tak memiliki sifat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar tak memiliki nilai sebagai shalat yang benar, sehingga ia tertolak, sebagaimana dinyatakan dalam hadis yang lain: “Ada kalanya seseorang shalat terus-menerus selama 50 tahun, namun Allah tak menerima satu pun dari shalatnya.”
Pendeknya, shalat yang benar akan membersihkan hati. Dan, dari hati yang bersih, tak akan keluar kecuali hal-hal yang bersih dan baik. Tapi, lebih dari itu, aturan syariat (baca: fiqih) yang terkait dengan syarat sah shalat juga telah memperkecil atau bahkan (seharusnya) menutup sama sekali kemungkinan pelaku shalat melakukan keburukan dan kejahatan. Termasuk di dalamnya, keharusan pakaian dan tempat shalat—bahkan makanan yang kita makan—didapat secara halal. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. menyatakan, “Seorang laki-laki berdoa (habis-habisan) hingga pakaiannya lusuh dan rambutnya berantakan. Tapi, bagaimana Allah akan mengabulkan doanya sementara apa yang dipakainya berasal dari yang haram dan yang dimakannya juga berasal dari yang haram?” Secara logis, tak mungkin juga seseorang melakukan shalat (dengan benar), tapi pada saat yang sama masih melakukankekejian dan kemungkaran. Shalat yang benar tentu dilambari keimanan kepada Allah Swt., yang menjadi “objek” pe-nyembahan kita dalam ibadah ini. Tak mungkin seseorang shalat dengan benar jika ia tak sungguh-sungguh beriman ke-pada-Nya. Nah, orang yang beriman kepada Allah tentu akan sebisanya menjauhi bermaksiat (pembangkangan) kepada-Nya. Inilah yang disinggung dalam sebuah hadis Nabi Saw.:“Tak berzina seorang pezina, ketika berzina, sedang ia berada dalam keadaan Mukmin. Tak mencuri seorang pencuri, ketika mencuri, sedang ia berada dalam keadaan Mukmin.”
2. Shalat hanya memiliki nilai jika dilakukan dengan khusyuk (hadirnya hati).
Khusyuk bermakna kesadaran penuh akan kerendahan kehambaan (‘ubûdiyyah) diri kita sebagai manusia di hadapan keagungan Rubûbiyyah (Ketuhanan). Sikap khusyuk ini timbul sebagai konsekuensi kecintaan sekaligus ketakutan kita kepada Zat Yang Mahakasih dan Mahadahsyat ini. Sebagai implikasinya, orang yang memiliki sikap seperti ini akan berupaya memusatkan seluruh pikiran—seluruh keberadaannya—kepada kehadiran-Nya dan membersihkannya dari apa sajayang selain Allah. Tidak bisa tidak ini berarti hadirnya hati. Tanpa kehadiran hati, shalat kehilangan nilainya. Rasulullah bersabda, “Shalat yang diterima adalah sekadar hadirnya hati.”
Diriwayatkan pula darinya Saw. bahwa “Dua rakaat shalat orang yang khusyuk lebih bernilai ketimbang 1.000 rakaat shalat orang yang tak peduli.” Kepada Abu Dzar, Rasul Saw. mengajarkan, “Dua rakaat shalat pendek yang disertai dengan tafakur adalah lebih baik daripada shalat sepanjang malam dengan hati yang lalai.”
Di kesempatan lain, Rasul Saw. menamsilkan: “Tak akan diterima shalat seseorang yang dilakukan bagai seekor burung yang mematuk-matuk makanannya.”
Selanjutnya, khusyuk mengharuskan pemahaman yang benar tentang makna seluruh gerakan dan bacaan shalat serta menghunjamkannya ke dalam hati. Bahkan, pada puncaknya, bukanlah ucapan dan gerakan yang terhunjam ke hati, melainkan—sebaliknya—hati, yang telah menghayati seluruh makna bacaan dan gerakan shalat, mendiktekan kepada lidah apa yang harus diucapkan dan anggota tubuh yang harus digerakkan. Inilah yang disebut sebagai tafahhum, sebagai-mana dimaksud oleh hadis: “Jadikanlah hatimu sebagai kiblat lidahmu; jangan engkau gerakkan lidahmu kecuali dengan aba-aba dari hati-mu.”
Jika lisan—dan tubuh—sudah digerakkan oleh hati, barulah bacaan dan gerakan tubuh memiliki manfaatnya.
Memang, khusyuk bukanlah suatu hal yang mudah, seperti diingatkan Allah dalam firman-Nya, yang telah dikutip sebelum-nya: “Dan mintalah tolong dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya keduanya amat sulit, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” Kiranya hal ini mudah dipahami. Jika sebesar itu imbalan yang dapat kita peroleh dari melakukan shalat, tentu ia tak akan sedemikian mudah diraih. Diperlukan azam yang teguh, disiplin yang ketat, dan latihan-latihan tak henti-henti-nya serta—di atas semua itu—niat ikhlas hanya untuk mencari keridhaan-Nya agar seseorang benar-benar dapat melakukan shalat secara khusyuk.
3. Shalat yang benar akan termanifestasikan dalam kepedulian sosial.
Ternyata, khusyuk dan kehadiran hati belumlah semua syarat bagi diterimanya shalat seseorang. Rasulullah mengajarkan, “Shalat tidak sempurna melainkan dengan zakat.”
Peringatan Allah yang paling tegas mengenai hal ini adalah ketika Dia mengancam: “(Neraka) Wail bagi orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Yang riya (tidak ikhlas karena Allah dan pamer). Dan menolak memenuhi keperluan dasar orang.”(QS Al-Mâ‘ûn [107]: 4-7)
Kiranya sejalan belaka dengan itu, Imam Ja‘far diriwayatkan berulang-ulang menegaskan: “Tidak diterima shalat orang yang tak memiliki kepedulian terhadap orang-orang yang lapar dan telantar.”
Bahkan, dapat disimpulkan dari keseluruhan kandungan Surah Al-Mâ‘ûn yang merupakan sumber cuplikan ayat-ayat di atas, bahwa orang-orang seperti ini tak lebih dari orang-orang yang berpura-pura beragama (yukadz-dzibu bid-dîn), atau hanya dalam hal lahiriahnya saja tampak beragama. Karena —meski mereka termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat (al-mushallîn)— mereka menolak anak yatim dan tak berupaya menyantuni orang miskin (QS Al-Mâ‘ûn [107]: 1-3).
4. Memelihara thuma'ninah
Jiwa yang tenang dalam Al-Quran disebut sebagai al-nafs al-muthma’innah. Kata muthma’innah memiliki akar kata yang sama dengan katat huma’nînah, yang merupakan salah satu syarat sah shalat. Thuma’nînah adalah ketenangan dalam melakukan semua bacaan dan gerakan shalat, sedemikian sehingga kesemuanya itu dapat dilakukan satu demi satu (one at a time), tidak terburu-buru, sambil memberi waktu cukup untuk pelaksanaan secara sempurna semua rukun shalat, agar kekhusyukan shalat dapat terpelihara. Memang, rukun yang satu ini terkait erat dengan keharusan khusyuk. Seperti telah disinggung dalam tulisan-tulisan yang lalu, khusyuk tak mungkin dapat diraih jika shalat dilakukan secara terburu-buru dan lalai (inattentive), bagaikan—kata Rasul Saw.—“burung yang mematuk-matuk makanannya.”
Shalat yang diselenggarakan dengan memelihara thuma’nînah kiranya merupakan latihan sekaligus sarana untuk menaikkan tingkatan jiwa kita sehingga mencapai derajat “jiwa yang tenang” itu. Dan jika derajat itu bisa dicapai, niscaya seseorang dapat mengalami keadaan pulang kembali kepada Allah, bahkan sebelum ia mengalami kematian. Dengan kata lain, thuma’nînah benar-benar menjadikan shalat sebagai mi‘râj, sebagai wahana pertemuan hamba dengan Tuhannya.
* Pahala yang diberikan Allah swt.
Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang melakukan shalat dua rakaat, dan dalam dua rakaat itu dia tidak memikirkan urusan duniawinya, seluruh dosanya terampuni.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Allah tidak hendak melihat seorang yang shalat yang tidak menghadirkan hati dan tubuhnya dalam shalat.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Daud a.s. berkata, “Wahai Tuhanku! Siapakah orang yang Engkau tempatkan di rumah-Mu dan siapakah yang shalatnya Engkau terima? Terdengar jawaban, “Orang yang Aku tempatkan di rumah-Ku dan shalatnya Aku terima adalah orang yang merendahkan diri di hadapan kebesaran-Ku dan hari-harinya dilalui dengan mengingat-Ku, menahan dirinya dari berbagai keinginan nafsu, dan demi keridhaan-Ku, dia mengenyangkan orang yang kelaparan, memberikan tempat kepada orang asing, dan mengasihaninya. Orang semacam ini cahayanya seperti matahari yang bersinar di langit. Dan tatkala dia memanggil-Ku, Aku akan menjawabnya, ‘Labbaik’ (aku datang kepada-Mu), dan tatkala meminta kepada-Ku, Aku segera memberinya. Dan keberadaannya di tengah masyarakat tak ubahnya seperti Surga Firdaus di mana sungai-sungai yang ada di dalamnya tak pernah kering dan buah-buahan yang ada tak pernah busuk.”
Ingatlah selalu firman-Nya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu agar mendirikan shalat, dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya”(QS ThâHâ [20]: 132). Kata-kata “bersabarlah kamu dalam mengerjakannya” kiranya merupakan isyarat tentang perlunya kita untuk tak pernah putus asa dalam melatih melaksanakan shalat secara khusyuk dan berdisiplin.
Maka, jika kita bersungguh-sungguh, pasti Allah akan menolong kita. Bukankah Dia Swt. berfirman: “Dan orang-orang yang berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menuju kepada Kami, pasti Kami akan me-nunjukinya jalan-jalan Kami.” (Dan Allah tak pernah menyalahi janji-Nya.) (QS Al-‘Ankabût [29]: 69)
“Jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku sedepa, Aku akan mendekat kepadanya sejengkal. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku dengan merangkak, Aku akan mendekat kepadanya dengan berjalan. Dan jika ia mendekat kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan mendekat kepadanya dengan berlari.”(Hadis qudsi)
Akhirnya, hendaknya kita selalu tidak lupa berdoa untuk meminta pertolongan (‘inâyah)-Nya dalam mencapai tujuanini: “Ya Rabb, jadikan aku penegak shalat. Juga anak keturunanku. Wahai Rabb kami, kabulkanlah doa kami.”(QS Ibrâhîm [14]: 40)
“Rabbku, jangan tutup hatiku setelah Kau beri ia petunjuk. Dan anugerahilah aku rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya, Engkau Maha Pemberi Anugerah.”
Terdapat sebuah riwayat dari Rasulullah Saw. yang berisi keharusan untuk mencapai kehadiran hati. Rasulullah Saw. bersabda, “Laksanakanlah shalat seakan shalat yang engkau lakukan adalah shalat terakhir. Dan tatkala engkau mulai memasuki shalat, katakanlah (kepada dirimu), ini adalah shalat terakhir saya untuk dunia. Dan berupayalah untuk merasakan bahwa surga berada di hadapanmu dan neraka berada di bawah kakimu; ‘Izrail ada di belakangmu, para nabi ada di sisi kananmu, dan para malaikat ada di samping kirimu. Dan Allah mengawasimu dari atas kepalamu.”
“Shalat adalah Cahaya Mataku”
Dalam ayat dan riwayat dijelaskan bahwa shalat merupakan sebuah amal perbuatan yang terdapat dalam seluruh ajaran yang dibawa oleh para nabi. Bahkan, Islam menegaskan bahwa shalat merupakan tiang agama. Sebagaimana lempengan besi dapat membelokkan arah jarum kompas, kecenderungan dan nafsu manusia juga akan menyimpangkan jiwa manusia. Dan demi menjaga agar jarum kompas tidak menunjukkan arah yang salah, kita harus me-nyingkirkan lempengan besi dari sekitar kompas itu sehingga jarum kompas berada pada posisi normal. Dengan melaksana-kan shalat lima waktu, kita telah mengarahkan “jarum” jiwa kita kepada Sang Pencipta seluruh keberadaan.
Rasulullah bersabda,
“Dosa-dosa manusia, saat dia melaksanakan shalat, akan jatuh berguguran laksana daun pohon yang berguguran. Shalat adalah cahaya mataku dan bagiku shalat adalah laksana makan-an bagi orang yang lapar dan air bagi orang yang haus; sekalipun orang yang lapar dan haus akan merasa kenyang, tetapi aku tidak pernah merasa kenyang (atas shalat).”
Jangan Menoleh
Nabi Saw. berkata, “Allah memerintahkan Yahya bin Zakaria untuk mengamalkan 5 perintah.”Lalu, Nabi menyebut salah satunya: “Dan Allah memerintahkan kalian untuk mendirikan shalat. Sungguh, Allah menghadap-kan wajah-Nya kepada wajah seorang hamba selama ia tidak menoleh ke sana-kemari dalam shalatnya.” “Maka dari itu,” lanjut Nabi Saw., “jika kalian sedang shalat, janganlah menoleh.”(Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya) (Musnad Ahmad bin Hanbal, Tirmidzi, Nasa’i, Al-Tar-ghîb wa Al-Tandzir Al-Mundziri. Al-Hakim berkata: hadis ini sahih memenuhi syarat Bukhari Muslim.)
Hadirlah dalam Shalat Berjamaah
Imam Ja‘far Al-Shadiq berkata bahwa sebagaimana biasa Rasulullah Saw. masuk ke masjid untuk melaksanakan sha-lat subuh dengan berjamaah. Setelah selesai shalat, beliau Saw. menoleh ke belakang dan melihat bahwa tiga orang di antara Muslimin tidak hadir dalam shalat waktu itu.
Beliau Saw. menyebutkan ketiga nama orang tersebut dan bertanya, “Apakah ketiga orang tersebut biasa hadir dalamshalat berjamaah?”Mereka menjawab, “Tidak.” Rasulullah Saw. bersabda,
“Ketahuilah bahwa bagi orang-orang munafik, tidak ada shalat yang lebih berat daripada shalat isya dan subuh. Sekira-nya mereka mengetahui besarnya pahala shalat isya dan subuh yang dilakukan dengan berjamaah, mereka akan datang untuk melaksanakan keduanya sekalipun harus datang dengan me-rangkak.”
Bantulah Aku dengan Banyak Bersujud
Rabi‘ah bin Ka‘ab berkata: Suatu hari, Rasulullah Saw. bersabda kepada saya, “Wahai Rabi‘ah, selama tujuh tahun engkau mengabdi kepadaku, tidakkah engkau memiliki suatu keinginan dariku dan aku akan memenuhinya?” Saya menjawab, “Wahai Rasulullah, berilah saya kesempatan untuk memi-kirkannya.”
Pada hari berikutnya, Rasul Saw. bersabda,“Wahai Ra-bi‘ah, katakanlah keinginanmu!” Saya berkata, “Mohon-kanlah kepada Allah agar Dia memasukkan saya ke surga bersamamu!”
Tatkala mendengar permintaan saya ini, beliau Saw. bertanya,“Siapakah yang mengajarimu permintaan ini?” Saya menjawab, “Tidak ada seorang pun yang mengajari saya, tetapi saya berpikir sendiri. Jika saya meminta harta yang banyak, semua itu akan musnah. Jika saya menginginkan umur panjang dan banyak anak, akhirnya semuanya akan mati, maka dengan tafakur inilah saya menyampaikan ke-pada Anda permohonan saya itu.”
Untuk beberapa lama, Rasulullah Saw. Menundukkan wajahnya dan berpikir, lalu beliau mengangkat kepala dan bersabda,“Aku akan memohon kepada Allah untuk me-ngabulkan apa yang engkau inginkan, tetapi bantulah aku dengan banyak bersujud.”
Imam ‘Ali berkata, “Panjangkanlah sujudmu, karena tidak ada sebuah perbuatan yang amat menyakitkan setan melebihi tatkala dia melihat manusia yang tengah bersujud.” Beliau juga berkata, “Panjangkanlah qunut (doa sebelum ruku‘ kedua) dan sujud dalam shalatmu, karena hal itu akan menyelamatkanmu dari siksa neraka.”
Kesimpulan: Buat Apa Shalat?
SHALAT adalah ibadah yang mencakup tujuan dasar penciptaan manusia dan pengutusan Muhammad Saw. Sebagai nabi dan rasul. Mari kita lihat. Ada ayat-ayat dan hadis-hadis yang secara lugas menun-jukkan hal ini. Pertama: “Dan tidak kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah (Allah).” Tampak dengan gamblang di sini bahwa satu-satunya tujuan penciptaan manusia (dan jin) adalah mem-bina hubungan (ruhani) dengan Allah Swt. Yakni, berhubungan, “bertemu” dan “menyapa”-Nya, bahkan “bercinta-cintaan” dengan-Nya.
Dalam kaitan ini, di samping berbagai ayat Al-Quran yang mengandung makna yang sama, di sini saya akan mengutip sebuah hadis terkenal yang menunjukkan fungsi shalat sebagai ibadah yang menghubungkan manusia pelakunya dengan Allah Swt.:
“Shalat adalah mi‘râj orang beriman.”
Kita ketahui bahwa mi‘râj adalah peristiwa pertemuan antara Muhammad Saw. dan Allah Swt. Nabi Musa pernah meminta untuk bertemu Allah, namun dia “hanya” diminta untuk menatap sebuah gunung. Dan, ketika Allah Swt. me-manifestasikan Diri (ber-tajallî) kepada gunung itu, si gunung pecah berantakan dan Musa pun pingsan karena kedahsyatan peristiwa itu. Tapi, Nabi Sang Khalil (Sahabat), Muhammad Saw., digambarkan bermuka-muka dengan-Nya dalam mi‘râj. Sebegitu dekatnya sehingga dalam Al-Quran digambarkan bahwa di antara keduanya hanya terdapat jarak “sepanjang dua busur anak panah atau bahkan lebih dekat dari itu”. Seperti inilah Nabi menggambarkan fungsi shalat. Kenyataannya, kapan saja Nabi merindukan pengalaman yang begitu membahagiakannya ketika mi‘râj, beliau mengajak para sahabat untuk melakukan shalat. Inilah, menurut riwayat, keadaan yang di dalamnya (asbâb al-wurûd) Nabi menyabdakan: “Arihnâ yâ Bilâl” (Senangkanlah kami, wahai Bilal) (yakni dengan mengumandangkan azan sebagai pendahulu shalat yang akan mereka kerjakan).
Kedua, dalam sebuah hadis yang lain dikatakan bahwa: “Hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia aku diutus (oleh Allah).”Lagi-lagi dengan amat lugas ditegaskan bahwa penyempurnaan akhlak mulia adalah satu-satunya tujuan pengutusan Muhammad Saw. Dengan kata lain, satu-satunya tujuan diajarkannya Islam. Padahal, di sisi lain, Al-Quran dengan tegas menyatakan: “Sesungguhnya, shalat mencegah orang dari fakhsyâ’ (ke-kejian) dan munkar (kemungkaran).”(Pembahasan panjang lebar mengenai fungsi shalat sebagai pencegah akhlak keji dan kemungkaran dapat dibaca dalam bab-bab sebelum ini.)
Ketiga, dalam Al-Quran, Allah Swt. berfirman:
“Dan tidakKami kirim engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat (kasih-sayang) bagi alam semesta.”
Dalam Bab 6 buku ini, “Keharusan Berbuat Baik kepada Sesama”, jelas kita baca betapa shalat hanya diterima dari orang-orang yang memiliki kesadaran dan melakukan tindakan-tindakan untuk menyantuni dan mengurusi sesama yang memerlukan uluran tangan kita. Hal ini tampak dengan jelas dalam Surah Al-Mâ‘ûn (107) ayat 4-7 yang telah kita kutip dalam bab tersebut:
“Kecelakaan (yakni masuk neraka) bagi orang-orang yang melakukan shalat, yaitu yang lalai mengenai shalatnya, yang melakukannya karena pamer, dan mencegah orang dari men-dapatkan kebutuhan-kebutuhan-dasarnya.”
Ketiga kutipan dari sumber ajaran Islam itu—dengan struktur kalimat yang menunjukkan eksklusivitas (“tidak ... kecuali”, dan “hanya”)—menunjukkan tanpa keraguan bahwa tujuan penciptaan manusia serta diutusnya Muhammad Saw. dan diajarkannya Islam adalah: agar manusia menyembah Allah, menyempurnakan akhlak mulia, dan agar rahmat tersebar kepada alam semesta. Segera tampak pula bahwa ibadah shalat memiliki fungsi yang sama: mencegah akhlak yang buruk, dan menanamkan kesadaran serta mendorong tindakan menebarkan rahmat dan amal-amal saleh (lihat Bagan 1 dan 2).
Yang tidak kalah penting, tak ada tujuan shalat yang dapat dicapai tanpa khusyuk. Karena, bukankah khusyuk berarti hadirnya hati? Sedangkan ketiga hal yang menjadi tujuan shalat itu, secara langsung dan tidak-bisa-tidak terkait dengan hati: berhubungan dan mendekat kepada Allah—Sang Ruh Mutlak—tentu hanya bisa dilakukan dengan hati yang bersifat ruhani; akhlak adalah persoalan kebersihan hati, sedangkan menebarkan kasih sayang sudah tentu adalah persoalan kelembutan hati.
Inilah kiranya jawaban terhadap pertanyaan, “Buat apa shalat?”! Mengapa shalat dianggap sebagai ibadah yang paling utama, yang lebih utama daripada ibadah-ibadah yang lain? Yakni, shalat mengandung di dalamnya tujuan puncak penciptaan manusia serta pengutusan Muhammad Saw. dan diajarkannya Islam.
Di luar itu semua, telah kita lihat betapa shalat memiliki fungsi-fungsi praktis yang dapat memberikan manfaat-manfaat utama dalam kehidupan pelakunya. Yakni, sebagai sumber kebahagiaan dan ketenangan jiwa, kesehatan, pembinaan disiplin, dan peningkatan performance kerja, serta penimbul kreativitas.
Maka, masihkah dengan ini semua kita akan melalaikan fasilitas istimewa yang dianugerahkan dan diajarkan Allah Swt. kepada kita?
Wal-Lâhu a‘lam bish-shawâb.[]