Free Essay

Alexs Wish

In:

Submitted By indira4758
Words 37587
Pages 151
Part 1
JAUH di suatu tempat, di langit tak terbatas, ada dua kerajaan besar bernama Asteria dan Malvera.
Asteria negeri yang penuh kesederhanaan, baik kerajaan maupun rakyatnya. Walaupun begitu, negeri ini tetap saja terlihat menyenangkan dan sangat nyaman dihuni. Lingkungannya sangat bersih dan teratur. Bunga bermekaran di sepanjang jalan dan taman di seluruh penjuru negeri. Bangunan kerajaan yang megah dan besar terlihat asri dengan taman yang mengelilinginya. Sikap bersahabat seluruh penghuni kerajaan menambah kehangatan negeri yang dihuni para malaikat ini.
Sementara Malvera adalah negeri yang penuh kemewahan. Bangunan-bangunan megah, yang nggak jarang dihiasi kilauan emas, memenuhi tiap sudut negeri yang dihuni para setan itu. Namun nggak seperti Asteria yang nyaman dan asri, negeri megah Malvera malah terkesan kaku dan menakutkan. Sejauh mata memandang hanya ada tembok-tembok kaku dan dominasi warna hitam.
Nggak tampak serangkai bunga pun di negeri ini.
Malaikat dan setan adalah dua makhluk yang menghuni dunia langit. Kehidupan di langit sama

dengn di bumi. Di sana terdapat pemerintahan yang mengatur negeri, perkantoran, sekolah, dan sebagainya. Dan di sana juga terdapat kendaraan yang sama seperi di bumi.
Sosok malaikat dan setan juga sama sepert sosok manusia penghuni bumi. Bedanya, sementara manusia bisa memilih apa-apa sendiri—seperti pakaian yang harus dipakainya, sekolah tempatnya belajar, negeri tempatnya tinggal, berteman dengan siapa saja yang diinginkannya—makhluk langit nggak punya kebebasan itu. Meski sosok mereka sama, merka diharuskan hidup di dua kerajaan yang berbeda, dengan wajah dan penampilan berbeda.
Malaikat umumnya berwajah biasa dan berpakaian sederhana. Pakaian yang mereka kenakan umumnya berwarna soft, kalo nggak putih sekalian. Sementara setan umumnya berwajah cantik dan tampan.
Kebanyakan dari mereka sering menghiasi wajah dengan riasan hitam dan merah. Mereka juga senang sekali memakai pakaian dengan warna-warna mencolok. Meski nggak sedikit yang hobi memakai pakaian serba hitam.
Dalam kesehariannya, malaikat bertugas memengaruhi manusia berbuat baik agar masuk surga, sementara setan bertugas memengaruhi manusia berbuat kesalahan biar jadi penghuni

neraka. Begitulah yang terjadi sepanjang masa.
Masing-masing makhluk langit itu melakukan tugas menurut bangsanya.
Namun tujuh belas tahun lalu terjadi kasus menggemparkan di antara kedua kerajaan langit tersebut. Michael Sawa, yang biasa dipanggil Mike, putra mahkota kerajaan setan, diam-diam menikahi malaikat bernama Alisa. Begitu masalah ini terbongkar, kedua kerajaan sibuk memperebutkan status bangsa pasangan itu. Kerajaan malaikat nggak mau salah seorang kaumnya menjadi setan. Kerajaan setan apalagi. Terlebih karena Mike putra mahkota tunggal. Karena keributan terus berlanjut, akhirnya Sang
Bijak, penguasa tunggal seluruh alam, turun tangan.
Dia meminta Mike dan Alisa memilih sendiri. Mike yang lebih dulu memilih, mutusin dia akan pindah ke kerajaan Asteria dan menjadi malaikat.
Westana Sawa, sang raja kegelapan, tentu nggak mau begitu saja kehilangan pewaris kerajaannya.
Dia menyetujui kepergian Mike dengan perjanjian yang disepakati bersama. Bunyi perjanjian itu: jika
Mike mempunyai anak laki-laki, anak tersebut harus diserahkan kepada kerajaan setan.
Bua tahun setelah menihkah, Mike dikaruniai putra yang dinamakan Federic Sawa, sejak kecil

ditasbihkan menjadi bangsa setan dan diangkat menjadi putra mahkota tunggal kerajaan Malvera.
Eric pun dididik kakeknya secara keras untuk menjadi setan sejati dan raja kegelapan seperti dirinya. ***
Lima belas tahun pun berlalu. Kini Eric sudah remaja. Dia memiliki ketampanan kaum setan.
Tubuhnya jangkung dan tegap, rambut lurus yang ditata hingga nutupin sebagian wajah, dan tatapannya tajam. Dia juga suka membuat kekacauan, sifat dasar penghuni kerajaan setan. Raja
Westana sangat senang dengan calon pengganti dirinya ini.
Namun belakangan, berembus isu di kerajaan setan yang mengatakan Eric memiliki hati malaikat. Konon dua penjaga kerajaan setan pernah melihat Eric menolong manusia.
Atas isu ini kemudian Ketua Dewan kerajaan
Malvera memanggil Eric untuk menemuinya. “Kau telah melakukan perbuatan baik yang melanggar hukum kerajaan setan, tapi karena kau adalan calon pewaris tunggal kerajaan, kau akan diberi

kesempatan untuk membuktikan bahwa kau tidak memiliki hati malaikat. Kau akan menghadapi sebuah ujian, dan jika gagal, kau akan diusir dari kerajaan setan,” kata Ketua Dewan dengan senyum sinis, belum apa-apa sudah yakin Eric gagal.
“Hahaha, itu nggak bakal terjadi!” Eric tertawa, balas meremehkan “Sang Biijak sudah menyetujui rencana ini,” kata
Ketua Dewan, menghentikan tawa Eric.
Eric terdiam, Sang Bijak adalah penguasa tunggal semesta. Jika Sang Bijak sedah menyetujui hal ini, artinya Kakek juga setuju. Nggak ada yang pernah membantah Sang Bijak. Eric nggak bisa berkutik.
“Ini soal ujianmu,” kata Ketua Dewan. Tangannya terangkat dan melakukan gerakan menjatuhkan sesuatu. Mendadak entah dari mana, jatuhlah buku yang tebal banget ke tangan Eric. Saking tebalnya,
Eric nyaris terjungkal saat menangkapnya.
“Baca soalnya, dan cepat kerjakan.”
Eric berusaha menyeimbangkan tubuh, sambil terbengong-bengong melihat buku yang tebalnya lebih dari dua puluh sentimeter ini.
“Sekarang?” tanya Eric nggak yakin. Dia nggak suka kerja keras, hobinya Cuma bermalas-malasan. Dan sekarang dia harus ikut ujian? Ada berapa soal di buku setebal ini?! Eric menggerutu sendiri.

“Ada batas waktu mengerjakan soal di dalam buku ini, baca saja aturannya. Lebih cepat kauselesaikan, tentu lebih baik.”
“Setebal ini isinya soal semua?”
“Itu ujianmu.”
“Sebanyak ini?”
Ketua Dewan mengangguk. Lalu tanpa basa-basi lagi, dia mengetukkan palu. “Sidang ditutup!” serunya nyaring. Seketika para anggota dewan lain bergegas merapikan tas kerja mereka dan meninggalkan ruang sidang.
Eric melongo melihat dirinya ditinggal begitu saja.
Padahal dia ingin minta pengurangan jumlah soal ujian. Uuugh! Eric hanya bisa menarik napas kesal.
Nggak percaya dirinya harus ikut ujian segala, apalagi dengan soal sebanyak ini.
Semua cuma gara-gara isu! Gerutu Eric dalam hati.
Padahal ia yakin banget dirinya pangeran kegelapan dan setan sejati. Nggak mungkin kan, dia mau ngelepasin posisinya sebagai calon raja kegelapan?
Yang benar saja! Jadi raja kegelapan itu kan berartii punya istana mewah, kerjanya cuma bermalasmalasan, punya semua kekuasaan jahat, dan ditakuti. Nggak rela banget kalau gara-gara gosip yang nggak terbukti dia sampai kehilangan semua

itu...
***
Dengan lunglai Eric melangkah keluar dari ruang sidang dewan kerajaan. Di luar, dia langsung mengomel panjang-pendek pada Slash, teman yang mengantarnya ke sini.
“Bayangin, Slash, gue diharusin ikut ujian. Masa pangeran disuruh-suruh kayak gini?” gerutu Eric sambil menyerahkan bukunya ke tangan Slash.
Slash yang spontan menyambut buku itu, langsung terjungkal saking beratnya. Sementara Eric terus saja berjalan ke mobil.
“Setan-setan di dewan itu payah semua. Masa isu kayak gitu mereka percaya?” Eric masih terus mengomel. Dia membuka pintu mobil Slash dan duduk di bangku sebelah setir.
Tanpa bicara, Slash membuka pintu mobil dan melemparkan buku tebal itu ke pangkuan Eric, lalu menyalakan mesin.
“Tau nggak, ini soal ujian. Coba lihat, tebal banget, kan?! Gila aja yang nagsih soal ujian sebanyak ini,”
Eric masih protes.
Slash masih diam. Cowok ini aslinya memang pendiam. Wajahnya pun sering terlihat bete. Giliran

bicara, kalo nggak ketus pasti menggerutu. Slash dan
Eric bukan sahabat sejati, tapi mereka berteman dari kecil. Sampai sekarang pun mereka tetap berteman meski jarang akur.
“Kata dewan kerajaan kalo nggak lulus, gue akan diusir dari kerajaan setan dan nggak bisa jadi raja!”
“Baguslah,” kata Slash, berkomentar untuk pertama kalinya. “Bagus?!”
“Setan suka kegagalan, termasuk kalo temannya gagal jadi setan hahaha,” Slash malah tertawa keras.
“Jadi menurut lo, gue nggak bakal lulus?!” Eric mulai tersinggung. Slash mengangguk.
“Oke, gue akan ngerjain soal ujian ini. Lo lihat aja, gue pasti bisa!” kata Eric sambil membalik lembar pertama buku tebal tersebut. “Di belakang lembar ini tercantum catatan hidup seorang manusia. Tugas anda adalah... minta manusia itu menyerahkan nyawanya dan jerumuskan dia ke dalam neraka.
Caranya terlampir di belakang. Waktu anda tiga puluh hari. Kontrak kematian terlampir di halaman terakhir. Selamat ujian...” Eric membacakan soal tersebut. “Segampang ini?!” tanyanya takjub.
Mengganggu manusia adalah masalah gampang bagi kaum setan, karena tugas mereka memang itu. Yang

agak berbeda dalam soal ini mungkin cuma masalah kontrak kematian.
“Ada dua cara untuk membuat manusia menandatangani kontrak ini. Pertama, bujuk dia dengan mengabulkan permintaannya, dan kedua, paksa dia dengan kekerasan supaya mau tanda tangan,” kata eric sambil membalik halaman dua di buku ini.
“Jadi buku setebal ini soalnya hanya itu?! Tau gitu ngapain gue capek-capek ngomel dari tadi? Ini sih gampang banget.” Eric tertawa meremehkan.
“Siapa manusia itu?” tanya Slash dengan suara datar.
Dia nggak terpengaruh sedikit pun dengan kegembiraan Eric.
Eric membalik lembar buku itu lagi. Tampak foto seorang cewek. Tawa Eric langsung terhenti.
Slash melirik sekilas, “Cewek? Kok Dewan Kerajaan mencari sasaran semudah itu?” gerutunya.
Eric diam saja. Cewek itu mengingatkannya pada...pada siapa ya?
“Berapa umurnya?”
Eric mencari keterangan usia di buku itu. “Lima belas,” katanya pelan. Dalam hati dia malah pengin protes kenapa baru lima belas tahun udah harus mati? Slas malah kesal mengetahui usia cewek itu masih

lima belas tahun. Di kalangan setan, ngerjain remaja lebih mudah, karena umumnya pikiran mereka masih gampang dipengaruhi. “Ah, makin gampang aja. Kok dewan ngasih soal semudah itu sih?”
Eric nggak berkomentar. Sekarang gantian dia yang jadi pendiam.
“Hei, ngapain lo diam?” Slash mulai sadar perubahan sikap temannya. “Jangan-jangan lo bukan setan, ya?” sindirnya. “Siapa bilang? Gue ini setan sejati dan pasti jadi raja
Malvera!” tegas Eric biar terkesan pede. Namun pas melihat buku ujian itu lagi, wajahnya malah murung.
“Tunggu apa lagi? Buktikan ke semua setan itu!” kata
Slash sambil menghentikan mobilnya seolah sudah tidak sabar ingin menurunkan Eric biar langsung pergi ke bumi.

Part 2
JAM 04.57.
Alexandra Alfarez tersentak dari tidurnya tiga menit sebelum weker di kamarnya berbunyi.

Alex, begitu cewek kelas satu SMA itu biasa disapa, memang sengaja bangun pagi. Sebisa mungkin lebih pagi dibandingkan biasanya. Dia bangun pagi, mandi, dan menyiapkan keperluan sekolah secepatnya. Setelah itu, dia mengendap-endap menuju garasi. Ada motor 250 cc di sana, yang langsung di dorong Alex perlahan keluar garasi.
“Alex, bangun!” terdengar teriakan Mama dari dalam rumah. Pasti Mama mengira dia belum bangun, karena belum juga muncul di ruang makan. Jam segini biasanya Mama sedang membuat sarapan dan
Alex kadang membantunya.
“Alex, kamu udah bangun, belum? Nanti terlambat,” kata Mama lagi.
Alex nggak menyahut sama sekali. Dia malah semakin cepat mendorong motornya keluar gerbang. “Alex?!” teriak Mama yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu. Wajah Mama tampak penuh amarah.
Alex pura-pura nggak lihat, dia malah menyalakan mesin motornya.
“Alex, jangan bawa motor itu! Berapa kali Mama bilang, nanti kamu bisa celaka! Alex! Alex....!”
Alex nggak mendengar lagi ucapan mamanya. Ia menginjak pedal motor dan memutar gas di setang kanannya. Dengan cepat ia melaju meninggalkan

rumahnya.
Sudah lima bulan terakhir ini Alex berusaha berangkat sekolah naik motor sport berwarna dominan hijau ini. Aslinya motor itu punya Oom
Fadly, adik Mama. Karena Oom Fadly ditugasin belajar di luar negeri oleh kantornya, motornya dititip di rumah Alex. Maksudnya sih biar bisa dipakai Adrian, kakak laki-laki Alex, buat kuliah.
Tapi karena kakak Alex tinggal di kos-an dan nggak mau bawa motor itu, Alex-lah yang membawanya.
Bahkan akhirnya motor itu jadi milik Alek, karena dia minta sama oomnya dan dikasih.
Alex memang senang sekali dengan motor yang kecepatannya bisa dengan mudah dipacu di atas seratus kilometer per jam itu. Berada di atas motor sekencang itu membuatnya merasa “dekat” dengan seseorang. Ayahnya.
Alex nggak pernah kenal papanya. Orangtuanya bercerai, dan Papa pergi dari rumah saat Alex masih berusia tiga tahun. Apa sebabnya, Alex nggak tahu.
Yang pasti sampai usia lima belas tahun saat ini, Alex nggak pernah ketemu papanya lagi. Satu-satunya yang Alex ingat soal papanya adalah punggung Papa saat meninggalkan rumah terakhir kalinya.
Punggung yang terkesan lebar dan kokoh.
Setelah Papa pergi, semua tentang papa seolah jadi

hal terlarang di rumah. Mama menyingkirkan semua, barang, maupun foto yang berhubungan dengan Papa. Mama juga sepertinya marah kalau
Alex bertanya soal Papa. Yang Alex tahu, sampai saat ini papanya masih hidup. Tapi berada di mana atau bagaimana keadaannya, Alex nggak tahu.
Alex juga malas sering-sering bertanya soal Papa, karena cuma akan bikin Mama marah. Jadi semua soal Papa dipendamnya dalam-dalam. Untung Alex masih sempat menyelamatkan foto Papa yang dia temukan di rumah neneknya. Di foto itu Papa tampak duduk di atas motor balap.
Makanya Alex senang sekali dengan motor sport pemberian Oom Fadly. Dia nggak sekadar memakai motor itu menjadi alat transportasinya ke manamana, tapi juga suka main kebut-kebutan di jalanan, di arena balapan ilegal. Yang semakin membuat kemarahan Mama menjadi-jadi.
“Alex, kamu tuh gimana sih? Kebut-kebutan itu berbahaya. Buat anak laki-laki aja udah bahaya, apalagi buat anak perempuan! Nanti kamu bisa mati!” begitu hardik Mama tiap kali tahu Alex baru kebut-kebutan naik motor.
Biasanya Alex cuma bisa diam. Tapi bukan berarti dia kapok.

***
Motor Alex melaju menuju SMA Harapan. Sudah satu semester dia jadi siswa di SMA ini. Tapi boleh dibilang, Alex nggak suka sekolahnya. Anak-anak di sekolah ini sepertinya menganggap Alex cewek aneh dan takut padanya. Nggak tahu kenapa. Mungkin karena dia pendiam, jarang tersenyum, dekil, naik motor sport, dan sering muncul di sekolah dengan tangan dan kaki pakai plester perban. Alhasil, selama SMA, dia cuma punya dua teman: Mimi dan
Elmo. Dua-duanya juga orang aneh, mungkin malah lebih aneh dibanding Alex... hehehe.
Motor yang dikendarai Alex mulai mendekati SMA
Harapan. Tiba-tiba saja ada motor lain yang melintas kencang mendahuluinya.
Alex cuma menahan napas melihat motor itu. Motor biru bertipe sama dengan motor Alex itu milik Kian.
Cowok itu juga masih kelas satu, sama kayak Alex.
Bedanya, Kian kelas 1-1, sementara Alex kelas 1-7.
Bedanya lagi, cowok itu populer di sekolah. Semua anak di SMA Harapan terutama cewek kenal sama
Kian. Secara fisik, semua kompak bilang Kian keren.
Cowok itu tinggi, cakep, jago basket, dan senyumnya menawan. Alex tiba di parkiran motor. Begitu melepas

helmnya, dia nggak sengaja menoleh ke samping.
Tampak Kian menatapnya sinis. Alex langsung buang muka dan pergi secepatnya dari parkiran. Dia benci pada cowok yang menatapnya sinis itu. Bagi
Alex, dijauhi anak-anak lebih baik daripada ditatap sengan tatapan permusuhan seperti yang dilakukan
Kian barusan.
Alex nggak begitu paham kenapa Kian bersikap seperti itu padanya. Mungkin karena Alex pernah ngalahin cowok itu balap motor. Bukan balapan sungguhan sih. Hanya keisengan anak-anak sekolah mereka suatu sore sehabis latihan basket, yang ngomporin Alex dan Kian buat nguji kecepatan motor mereka. Saat itu motor Alex yang menang, dan Kian “ditertawakan” Elmo.
“Wah, lo kalah ama cewek, Kian,” kata Elmo saat itu.
Alex yakin Elmo nggak bermaksud mengejek. Satu hal menurut Alex yang bikin Elmo sulit bergaul ialah gaya bicaranya. Elmo pada dasarnya pendiam, tapi sekalinya bicara pasti terkesan seperti menyindir.
Soalnya pemilihan kata Elmo terlalu jujur, diucapkan tanpa melihat situasi. Sehingga banyak anak yang salah paham dan tersinggung. Termasuk Kian.
Sejak kasus balapan itu, Kian yang sebelumnya juga bukan teman mereka (karena memang nggak pernah kenal) musuhin Elmo, Mimi, dan juga Alex.

Tiap papasan cowok itu nggak pernah negur. Alex juga nggak mau negur duluan, takut diketusin. Jadi yang Alex lakukan tiap ketemu cowok itu adalah menghindar. Bruuk!!! Alex menabrak seseorang, eh, bukan satu, tapi tiga orang sekaligus! Niken, Moniq, dan leony.
Cewek-cewek paling “wah” di kelasnya. Nggak hanya di kelas, tapi mungkin juga di seantero SMA
Harapan. Itu karena mereka yang paling populer, selalu ngikutin tren kecantikan terkini dan memakai barang-barang mahal mulai dari tas, sepatu, jam tangan, gelang, pokonya semua yang lagi ngetren.
Kebetulan juga sih ketiga cewek itu cantik. Niken bahkan pernah jadi finalis model majalan remaja.
Moniq dan Leony juga pernah ikutan sesi foto untuk lembar mode majalah. Cuma sekali sih, tapi karena di SMA Harapan ini Cuma mereka bertiga yang pernah difoto buat majalah, cewek-cewek itu sudah kayak selebritis.
“Uh, si Alex! Kalo jalan lihat-lihat dong?!” hardik
Niken sinis sambil merapikan tata rambutnya yang nggak kusut.
Alex diam saja. Sebenarnya dia pengin langsung minta maaf, tapi karena tiga cewek di depannya kompak melotot seperti mau mengeroyok, dia lebih memilih kabur tanpa bicara apa pun.

“Dasar cewek aneh!” gerutu Leony yang sempat terdengar. “Dandanannya aneh gitu, dia pasti nggak pernah baca majalah remaja,” tuduh Niken menyahuti.
“Berarti dia nggak tahu kita pernah masuk majalah?
Come on, ketinggalan zaman banget nggak sih?” gerutu Moniq lebih prihatin.
Alex yang mendengar semua itu nggak peduli, dia terus saja berjalan...
“Halo, Kian. Lo makin cakep aja deh,” kata Niken yang mau nggak mau menghentikan langkah Alex dan membuatnya menoleh.
Tampak Kian dicegat tiga cewek centil itu. Dan dari pandangan Alex, cowok itu ngobrol dan tertawa bareng cewek-cewek itu. Akrab banget. Sepertinya
Kian juga gembira ketemu mereka. Ya iya lah, mereka kan cantik-cantik. Semua cowok pasti suka sama mereka, keluh Alex dalam hati. Seandainya gue jadi salah satu anggota geng mereka, mungkin Kian...
Alex nggak mau nerusin ucapannya.
Belakangan ini ada yang salah pada diri gue, batin
Alex. Gimana nggak, cowok yang selalu membuat
Alex menjauh itu tiba-tiba selalu ada di pikirannya.
Entah kenapa, Alex ingat wajah tersenyum cowok itu, padahal senyum itu dilihatnya dari jauh dan bukan untuknya (seperti saat ini Kian tersenyum

dan tertawa dengan tiga cewek cantik itu, tapi Alex malah mengkhayalkan seolah cowok cakep itu tersenyum padanya).
Senyum Kian, sosok Kian berlari di lapangan basket, wajah Kian saat melepas helm, dan sebagainya memenuhi memori otak Alex. Semua kebencian yang
Alex ingat tentang cowok itu sekarang berganti dengan semua hal manis. Sialnya, semua hal manis seperti senyum, wajah cakep, dan sosok keren Kian itu nggak pernah ada buat Alex....
Alex pun cuma menunduk pasrah dan melanjutkan langkah menuju toilet. Dia harus melepas celana jinsnya dan memakai rok sekolah (tiap bawa motor
Alex selal pakai jins). Lalu Alex pun melangkah ke kelas 1-7, kelasnya.
“Hai, Alex, wajah lo kayak habis bangun dari mimpi buruk aja,” kata Elmo yang sudah ada di kelas, menyapanya. Alex diam saja, dan terus berjalan ke bangkunya.
Entah mana yang lebih buruk: mimpi buruk atau mikirin indah-indah tentang orang yang justru benci sama gue, keluhnya dalam hati. Tentu saja yang Alex maksud itu Kian.
Lonceng tanda pelajaran dimulai berbunyi. Pertanda jam-jam membosankan buat seorang Alex dimulai.
Alex nggak pernah suka pelajaran sekolah. Nilai

rapornya selalu jelek. Dari dulu guru-guru selalu menganggapnya anak bermasalah, menatapnya curiga, dan nggak pernah memedulikannya. Buat para guru, penampilan, sikap, dan latar belakang keluarganya sudah cukup untuk dicap sebagai anak bermasalah. Gue benci hidup gue, keluh Alex dalam hati.
***
Begitu pulang sekolah, Mama sudah menunggu Alex di depan pintu. Sejenak Alex heran. Ada apa sampai
Mama sudah ada di rumah jam segini? Seharusnya
Mama masih di kantornya. Mama Alex bekerja sebagai arsitek di salah satu perusahaan properti milik swasta dan biasanya sibuk banget.
Ah, paling-paling Mama pulang khusus buat marahin gue, gumam Alex dalam hati.
Dan tuduhan Alex itu langsung terbukti begitu motornya berhenti.
“Sudah berapa kali Mama bilang sama kamu, Alex, jangan bawa motor itu?!” hardik Mama langsung.
Alex diam saja.
“Kamu kenapa sih, bandel banget kalo dibilangin?
Tiap kamu bawa motor itu pasti kamu ngebut. Mau cari mati, apa?!” omel Mama lagi.

“Alex nggak ngebut ko, Ma,” bantah Alex.
“Kata siapa? Semua tetangga di sini bilang kalo kamu bawa motor kencang banget.”
“Ah, mereka cuma mengarang-ngarang aja,” kata
Alex, pura-pura nggak merasakan tuduhan itu. Dia melenggang masuk ke kamar dan mengganti seragam sekolahnya dengan kaus dan kembali memakai jaketnya.
“Hei, mau ke mana lagi kamu?” kata Mama yang mengikuti Alex ke kamar.
“Belajar kelompok di tempat teman,” Alex mengarang alasan.
“Belajar kelompok?! Alex, jangan bikin Mama tertawa. Mama ini nggak bisa kamu bohongi. Belajar di sekolah saja kamu malas. Lihat nilai ulangan kamu—semuanya hancur. Sekarang kamu bilang mau belajar kelompok di rumah teman?!” sindir
Mama.
Alex nggak menggubris ucapan Mama. Dia terus saja melangkah keluar rumah dan kembali menaiki motor. “Alex! Alex! Mama bilang...” ucapan Mama cuma Alex dengar sampai di situ, karena dia sudah melaju dengan motornya.
Alex sengaja pergi dari rumah, karena kalo dia ada di rumah, Mama akan terus memarahinya tanpa henti.

Hubungan Alex dan ibunya memang agak nggak begitu bagus. Semua hal sepertinya selalu jadi bahan pertengkaran di antara mereka. Makanya, kadang lebih baik kalo nggak ketemu aja sekalian.
Biasanya waktu Mama pulang kerja malam, Alex sudah mengurung diri di kamar. Dan jika pagi tiba,
Alex sudah lebih dulu berangkat sekolah.
Alex nggak ngerti juga kenapa dirinya dan Mama nggak pernah akur. Mungkin karena ada sisi pribadi
Alex yang marah pada Mama karena telah membuatnya hidup tanpa ayah.
Sama Adrian, kakak cowoknya, Alex juga nggak dekat. Kakaknya yang pintar itu terlalu sibuk dengan buku dan komputernya. Sejak kuliah, Rian kos di dekat kampusnya dan jarang banget pulang. Makin lengkaplah alasan Alex buat nggak betah berada di rumahnya sendiri.
***
Alex melajukan motornya menuju Jalan Kahyangan.
Jalanan ini merupakan tempat nongkrong favoritnya. Di jalan inilah balapan ilegal sering dilakukan. Hampir tiap hari, ada saja anak-anak yang mencoba mengadu kecepatan motornya. Paling sering malam, meskipun siangnya jalanan lurus sejauh lima ratus meter yang terletak di pinggir kota

ini agak sepi. Tetapi memang lebih seru balapan malam. Alex suka ke sini karena bengkel Garage tempat dia memodifikasi motor terletak di jalan ini.
Tapi siang ini Alex cuma nongkrong di kafe yang terletak persis di samping bengkel.
Kebetulan belum makan siang, Alex pun memesan makanan dan melahapnya sendirian. Siang-siang begini, Kafe Garage yang masih satu pemilik dengan yang punya bengkel memang sepi. Anak-anak motor baru ramai ke sini kalau sudah sore. Saat ini yang ada di kafe cuma Alex, Galang, dan dua temannya yang Alex nggak kenal, serta seorang cewek yang masih pakai seragam SMA. Cewek yang pasti bukan anak motor ini (karena dia tipe cewek cantik seperti geng Niken di kelasnya) berkali-kali melihat jam dan
HP-nya. Cewek berambut pendek itu seperti sedang menunggu seseorang.
“Mana sih dia?” gerutu cewek itu yang sempat terdengar Alex.
Alex nggak memedulikan cewek itu, dan kembali menikmati nasi gorengnya.
Tiba-tiba terdengar deru motor yang tak lama kemudian berhenti di depan kafe. “Hah... akhirnya,” kata cewek itu sambil bergegas keluar.
Alex nggak sengaja menoleh keluar. Karena kafe ini sekelilingnya kaca, dia bisa melihat dengan jelas apa

yang terjadi di luar. Motor di depan kafe itu mirip motor Alex, cuma beda warna saja. Hei, itu kan motor... Alex nggak jadi nerusin tebakannya, karena pengendara motor itu keburu membuka helm, dan ya, dia memang Kian.
Cewek cantik yang masih berseragam itu segera mendekati Kian dan mengangsurkan gelas plastik berisi jus yang dipegangnya ke Kian.
Alex nggak mendengar apa yang mereka bicarakan.
Yang tampak di mata Alex, dua orang itu terlihat akrab banget. Tangan si cewek dengan santai bersandar di bahu Kian, dan tanpa canggung mengelap tetesan air yang jatuh di dagu cowok itu dengan tangannya.
Cewek itu pacar Kian...? tanya Alex nggak percaya dalam hati.
Sejenak Alex memperhatikan cewek berambut pendek yang garis wajahnya cantik itu. Selain cantik, selalu ada tawa menghiasi wajah cewek itu, sehingga mengesankan dia orang yang menyenangkan. Nggak heran Kian suka padanya. Dibanding Niken cs, cewek ini pasti lebih menarik buat Kian. Niken,
Moniq, dan Leony memang cantik, tapi mereka kan angkuh, sementara cewek di depan Kian ini benarbenar menyenangkan. Dibanding Alex...

Hanya dalam mimpi. Begitu pun peluang gue dibanding cewek itu tipisss banget! Keluh Alex dalam hati.
Kian kembali memakai helmnya dan cewek cantik itu duduk di belakangnya. Dua orang yang menyita perhatian Alex ini pun pergi dari depan kafe.
Alex menarik napas, ada perasaan nggak menentu di hatinya sekarang. Selama ini dia nggak tahu Kian sudah punya pacar. Di sekolah Alex selalu melihat cowok itu jalan sendirian. Tapi mungkin saja kan, dia punya cewek yang nggak satu sekolah dengannya.
Hei, dia mau punya cewek atau nggak, apa urusannya sama gue! Tegur Alex pada diri sendiri.
Stop, gue nggak boleh mikirin Kian lagi. Mau senyumnya bagus kek, mau tampangnya cakep kek, mau keren kek, mau jago basket atau apa pun juga, gue nggak peduli lagi! Teriak Alex dalam hati.
Teriaknya sih dalam hati, tapi sendok yang nggak berdosa jadi korban dilempar Alex dengan kasar ke piringnya. Prang! Untung piringnya nggak pecah.
Alex berdiri dan meninggalkan begitu saja makanannya yang belum habis. Selera makannya seketika hilang. Alex pun terlihat jauh lebih kesal daripada saat dimarahi mama tadi. Perasaannya jadi marah nggak menentu. Dia keluar dari kafe itu dan duduk di motornya.

Alex tahu nggak ada gunanya kesal dan marah. Kian bukan siapa-siapanya Alex. Tapi saat ini otak Alex nggak bisa kompromi sama hatinya yang sakit melihat cewek lain bersandar ke Kian.
“Hai, Lex!” tegur Galang, cowok yang tadi juga makan di Kafe Garage. Cowok itu merupakan anak motor yang sering nongkrong di sini, makanya Alex kenal.
“Lex, kenalin teman gue, Kaka ama Rio,” kata Galang lagi sambil menunjuk dua cowok di dekatnya.
Alex cuma diam. Dia mengamati teman Galang itu satu per satu.
“Rio nggak percaya waktu gue bilang lo bisa balap,
Lex. Katanya mana ada cewek yang bisa bawa motor sambil ngebut.”
“Oh, ya?” komentar Alex sinis.
“Gue bilang aja, lo tantangin Alex kalo berani,” kata
Galang lagi.
“Kapan?” Alex malah langsung menjawab tantangan cowok itu.
“Nanti malam,” kata Rio.
Alex melihat ke arah jalanan yang siang ini sepertinya lebih sepi daripada biasanya.
“Kenapa nggak sekarang aja?” tantang Alex lagi.
“Sekarang?” Rio tampak kaget.
“Jalanan sepi kok. Gimana?” Alex malah semakin ingin secepatnya memacu motornya. Rasa kesal

membuatnya ingin secepatnya mencari pelampiasan. Cowok bernama Rio itu tampak terdiam sesaat, lalu akhirnya mengangguk.
“Oke deh, gue ambil motor dulu,” kata cowok itu sambil berjalan ke dalam bengkel.
Alex mendorong motornya ke pinggir jalan, mengikuti Rio yang sudah lebih dulu tiba di sana untuk menempati tempat start.
“Peraturannya, mulai dari sini, putar di tugu pertigaan itu, lalu balik lagi ke sini. Siapa yang duluan tiba lagi di sini, itulah pemenangnya!” Galang menjelaskan lintasan yang harus dilalui Alex dan
Rio.
Alex melihat ke Rio, cowok itu mengangguk, pertanda dia memahami aturannya. Alex memakai helmnya, begitu juga Rio. Galang berdiri di antara motor Alex dan Rio. Cowok itu merentangkan kedua tangan untuk aba-aba start.
“Satu, dua, tiga!”
Alex langsung memacu kencang motornya. Dalam sekejap petunjuk kecepatan di depannya melesat naik. Motornya melaju kencang. Alex melihat ke spion kanan, melihat Rio berada di belakangnya.
Seulas senyum sinis terukir di wajah Alex, dia akan memenangi pertandingan ini. Namun nggak lama

kemudian, dalam hitungan detik, cowok itu menjejeri motor Alex, dan berhasil melewatinya.
Alex nggak bisa diam melihat semua itu. Dia pun makin menambah kecepatan motornya.
“Gue harus menang!” teriak Alex menyemangati dirinya sendiri.
Alex terus menambah kecepatan motornya. Dia nggak peduli dengan angin kencang yang terasa menusuk tubuhnya. Dia harus bisa mendahului Rio.
Kalau dia menang, rasa sakit hatinya melihat Kian tadi mungkin akan sedikit terbayar.
Usaha Alex untuk menang sepertinya nggak sia-sia; dia berhasil melewati Rio. Senyum kemenangan mulai muncul di wajah Alex. Namun tiba-tiba... entah mengapa, motornya sulit dikendalikan. Motornya sempat oleng ketika ia dengan panik berusaha menginjak rem. Tapi... tapi... remnya blong!
Motornya meluncur tak terkendali. Di tengah kepanikannya, Alex membanting setir. Motornya oleng hebat, dan dia refleks melepas pegangannya di setang supaya tidak terseret motornya lebih jauh.
Alex bisa merasakan tubuhnya terempas keras di aspal. Setelah itu semuanya gelap

Part 3
ALEX nggak tau apa yang terjadi pada dirinya. Tibatiba saja dia berada di lorong gelap. Nggak ada cahaya atau apa pun yang terlihat di sekitarnya. Dia melangkah seorang diri di tempat ini.
Apa gue udah mati? Tanya Alex pada diri sendiri.
Alex nggak tahu jawabannya. Kakinya terus melangkah untuk mencari tahu dia ada di mana saat ini. Tapi tetap nggak ada petunjuk apa pun.
Lorong hitam yang dilalui Alex berakhir. Sekarang langkahnya berada di tempat yang terang banget.
Semuanya terlihat berselubung kabut putih, seperti penuh asap.
Kayak dunia langit aja, pikir Alex. Ia ingat dalam salah satu buku cerita anak-anak yang pernah dibacanya, saat mati orang digambarkan berjalan di lorong gelap dan menemukan tempat luas berwarna putih dan penuh asap.

Apa ini artinya gue... hampir mati?
“Tidak!!!” teriak Alex sekuat tenaga. Meski pernah bilang dia benci hidupnya, tetap saja dia nggak pernah kepikiran soal kematian.
Alex langsung cemas. Suaranya habis. Janganjangan... sebentar lagi semua yang ada di dirinya akan hilang perlahan-lahan. Mula-mula kakinya akan terasa ringan, lalu hilang. Terus tangannya menghilang, diikuti badannya... dan terakhir kepalanya yang hilang jadi asap. Setelah semua itu, nggak ada lagi yang namanya Alex!
Namun sebelum semua itu terjadi, Alex mendengar sesuatu. “Kamu harus mengikuti aturannya. Minta nyawanya, bukan menrenggutnya begitu saja! Cara seperti ini tidak akan membuatmu lulus ujian!” Terdengar suara seorang laki-laki yang sepertinya sudah lanjut usia. Suaranya sarat kemarahan.
“Apa bedanya, Raja? Yang penting di sudah mati, maksudku segera mati,” bantah suara lain.

Sepertinya yang ini suara cowok remaja gitu.
Alex mencari-cari asal suara tersebut, tapi tetap nggak menemukan seorang pun. Yang bisa dilihatnya hanya dirinya sendiri. Pembicaraan kedua orang itu masih terus berlanjut.
“Turun ke bumi, dan ikuti ujianmu dengan benar.
Jika tidak lulus, hakmu sebagai putra mahkota akan dicabut Dewan!!!” terdengar suara menggelegar.
Marah banget, sepertinya.
“Tapi aku kan pangeran kegelapan, buat apa aku harus susah payah?!” protes cowok itu lagi.
“Cepat pegi, sebelum Dewan tahu ulahmu!”
Nggak terdengar suara cowok itu membantah.
Itu kalimat terakhir yang Alex dengar dari suara laki-laki yang dipanggil “Raja” oleh si cowok muda.
Apa maksud pembicaraan mereka? Raja... hmmm, apa tempat ini merupakan kerajaan?
Alex nggak bisa melihat apa-apa. Juga nggak mendengar suara apa pun lagi. Dirinya kembali

sendirian di sini. Alex yang takut dirinya akan menghilang begitu saja, berusaha terus melangkahkan kakinya. Dia berharap bisa menemukan jalan keluar dari tempat ini. Namun sejauh apa pun dia melangkah, tetap yang ditemuinya hanyalah cahaya terang dan asap putih di sekelilingnya.
Di mana sih sebenarnya tempat ini? Tanya Alex sambil melihat sekeliling. Dia sudah putus asa setelah lagi-lagi hanya asap putih dan kesendirian yang ditemuinya.
“Mungkin ini memang akhir dari seorang Alexandra
Alfarez,” Alex akhirnya pasrah.
Tiba-tiba... Alex melihat cahaya merah menerpa dirinya. Cahaya itu sangat menyilaukan, Alex sampai menyipitkan mata saking perihnya. Bukan hanya perih, cahaya itu juga terasa berat. Sangat berat, sampai Alex terjatuh. Dia nggak merasakan tubuhnya lagi.
“Alex, Alex, bangun, Sayang...” terdengar suara samar-samar. Mama...? apakah itu suara Mama? Alex yakin itu suara ibunya. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, ia berusaha memaksa matanya membuka.
Tampak cahaya terang dan berwarna putih. Hanya saja kali ini tidak menyilaukan seperti yang di lorong tadi. Hah?! Alex malah melongo menyadari dirinya terbaring di tempat tidur rumah sakit.
“Sayang, syukurlah kamu sudah sadar,” kata Mama, memeluknya sambik terisak-isak.
Alex masih melongo. Dia heran melihat dirinya benar-benar terbaring di kamar rumah sakit, bahkan tangannya ditusuk selang infus segala. Meski samasama terang dan putih, ini jelas bukan seperti tepat barusan yang dikunjunginya.
“Janji sama Mama, jangan naik motor lagi ya,
Sayang,” pinta Mama dengan suara memohon sambil menatap Alex.
Alex hanya diam melihat ibunya. Saat ini dia belum bisa mengatakan apa-apa pada Mama. Dia masih sangat kebingungan.

Seorang dokter dan dua perawat masuk ke kamar
Alex. Para petugas medis itu langsung memegang lengannya sampil memperhatikan layar monitor denyut jantung di meja.
“Bagaimana anak saya, Dok?” tanya Mama dengan suara cemas. Padahal ibunya lihat sendiri, Alex sudah sadar.
“Anak Ibu nggak apa-apa. Silahkan tunggu di luar sebentar. Saya akan mencoba memeriksa keadaan
Alexandra. Nanti saya jelaskan hasil pemeriksaannya pada Ibu,” kata Dokter yang usianya sepertinya lebih tua daripada Mama itu.
Mama Alex pun keluar dari ruang gawat darurat.
Alex sedikit lega karena nggak perlu membahas soal motor dengan Mama saat ini.
Dokter dan dua perawat itu terus memeriksa kondisi
Alex. Mulai dari cek jantung, denyut nadi, tekanan darah, sampai mengetuk sendi-sendi Alex seperti kaki dan lengannya, untuk memeriksa refleksnya.

Sementara Alex sendiri merasa dirinya baik-baik saja. Nggak ada sedikit pun bagian tubuhnya yang terasa sakit. Bahkan saat Alex lihat, tangan, kaki, dan wajahnya juga nggak ada bekas luka. Padahal biasanya Alex jatuh sedikit saja sudah perlu pakai plester perban. Ini malah mulus. Aneh.
Kecelakaannya kan parah banget, mengingat ia sampai nggak sadarkan diri.
“Dok, berapa lama saya pingsan?” tanya Alex ingin tahu. “Sekitar 48 jam.”
“Saya nggak apa-apa, Dok?” tanya Alex, ingin memastikan keadaan dirinya.
“Sampai saat ini saya belum menemukan kelainan apa-apa pada dirimu. Sepertinya kamu baik-baik saja. Benar-benar mukjizat,” kata Pak Dokter, yang membuat Alex bingung.
“Mukjizat?”
“Biasanya banyak akibat yang terjadi pada korban kecelakaan, terutama kendaraan bermotor. Tapi

sudahlah, yang penting kamu selamat. Jangan diulangi lagi ya,” kata Pak Dokter. Kalimat terakhir itu mirip dengan ucapan Mama.
Alex hanya menghela napas.
Thank God, gue bisa kembali ke hidup seorang
Alexandra, katanya pasrah.

Part 4
SETELAH tiga hari absen, pagi ini Alex kembali ke sekolah lagi. Cuma kalau biasanya dia pergi ke sekolah naik motor kebanggaannya, kali ini ia diantar Mama. Motornya sendiri terpaksa menginap di bengkel.
Ke sekolah diantar Mama sebenarnya merupakan hal yang paling Alex hindari. Soalnya Mama biasanya menceramahinya sepanjang jalan.
“Mama paling nggak suka kamu bawa motor itu,

Alex. Apa gunanya coba, kebut-kebutan di jalanan?
Nggak ada, kan?! Cuma bikin kamu luka dan masuk rumah sakit,” kata Mama untuk yang keseratus kalinya Alex dengar sejak siuman.
Alex hanya diam.
“Coba cari hobi yang bermanfaat seperti main basket, majalah dinding, atau melukis,” saran Mama yang hanya dijawab Alex dengan kebisuan.
“Mama nggak pernah ngerti kenapa kamu suka motor itu. Kamu itu anak perempuan, Lex!” omel
Mama lagi.
Alex masih diam. Kalau dia jawab alasannya suka sama motor itu, Mama pasti akan kehilangan katakata saking marah besar dan juga sedihnya.
Untung sekolah sudah di depan mata, sehingga Alex bisa turun dan omelan Mama bisa segera berakhir.
Meski kesal mendengar omelan Mama, Alex tidak membantah. Ia takut mamanya semakin marah.
“Ma, Alex pamit,” katanya saat mobil sudah berhenti.

“Hati-hati,” jawab Mama. “Oh ya, Lex, nanti pulang sekolah kamu langsung pulang ke rumah, ya? Kamu nggak boleh pergi ke mana pun hari ini, karena nanti malam kita ada acara,” lanjut Mama lagi.
“Acara apa?” tanya Alex heran.
“Syukuran kamu sudah sembuh. Mama mau kita makan malam bareng. Kakakmu juga sudah Mama kasih tahu, nanti sore habis kuliah Rian pulang,” jelas Mama.
“Oh.” Alex pun mengangguk.
Mobil Mama kembali melaju.
Alex melangkah ke gerbang sekolah. Hal pertama yang dai lakukan adalah menoleh ke parkiran motor.
Ingin melihat motornya? Tentu saja bukan. Dia ingin tahu apakah cowok sinis yang membawa motor biru itu sudah datang atau belum. Bukan kenapa-kenapa,
Alex hanya sekadar ingin tahu. Sudah tiga hari Alex nggak melihat wajah cowok itu. Cuma ingin tahu, ada nggak yang berubah dari cowok itu?
Sebelum Alex sempat menemukan motor biru itu,

tahu-tahu... BRUKK!!! Ia menabrak, bukan satu, bukan dua, tapi tiga orang sekaligus. Lagi???
“Alex lagi! Lo tuh jalan lihat-lihat kenapa sih, Lex?”
Niken langsung melabraknya.
“Ng...” Alex baru mau bilang sori, tapi tiga cewek canti itu udah ninggalin dia.
“Eh, eh, Eric datang!” pekik Leony yang sempat terdengar Alex.
Alex menoleh, ingin tahu siap yang dimaksud Leony.
Sebuah mobil merah yang sudah dimodifikasi berhenti di parkiran. Ada gambar percikan api di kedua sisi mobil.
Wah, mobilnya keren juga, kayak mobil balap, kata
Alex dalam hati. Siapa di SMA Harapan yang membawa mobil itu? Perasaan Alex baru lihat sekali ini. Dari dalam mobil turun seorang cowok berkacamata hitam dengan bingkai silver. Cowok jangkung itu memakai seragam SMA yang dilapisi jaket oranye.
Dia juga pakai kalung bling-bling yang cukup besar.

Mungkin gara-gara jaket, kacamata, dan perhiasan bling-bling itulah dari jauh cowok itu terlihat bersinar. Alex merasa nggak pernah melihat cowok yang langsung disambut ramah oleh ketiga cewek tersebut. Nggak sengaja Alex melirik ke sampingnya.
Ternyata bukan cuma Alex sendiri yang menonton cowok “bersinar” itu, tapi Kian juga. Namun sial bagi
Alex, begitu dia memandangi Kian, cowok itu malah berjalan ke arahnya.
Alex langsung panik. Ia berbalik dan lari ke kelasnya.
“Alex! Lo udah sembuh?” kata Mimi yang kebetulan ada di kelasnya. Cewek itu memang sering ke kelas
1-7.
Mimi langsung memeluk Alex kegirangan.
“Hebat juga lo, Lex. Padahal menurut teori medis lebih dari 2x24 jam nggak sadar bisa berakibat fatal.
Kalo nggak lewat, berarti kerusakan sistem saraf tubuh. Lah ini lo sehat-sehat aja,” kata Elmo, seperti biasa cenderung blak-blakan.

“Thanks, Mo,” jawab alex atas sambutan aneh itu.
“Untung lo baik-baik aja, Lex,” kata Mimi sambil mengetuk-ngetuk bahu, lengan, dan kaki Alex seperti dokter yang memeriksa keadaan Alex pas siuman.
Gerak-gerik teman Alex yang satu ini memang aneh.
Dia suka berlagak seperti apa yang ada di pikirannya. Kali ini sepertinya Mimi menganggap dirinya dokter ahli.
“Aduh, sakit kali, Mi,” protes Alex. Habis Mimi memukulnya terlalu keras.
“Hehe, sori. Oh ya, Lex, lo tahu nggak, ada info terbaru,” kata Mimi lagi, mulai ngegosip.
“Info apa?” tanya Alex sambil meletakkan tas di bangkunya. “Ada anak...” Mimi baru ngomong segitu ketika tibatiba saja cowok “bersinar” yang naik mobil keren tadi memasuki kelas.
“Hai, Alexandra. Lo udah sembuh?” kata cowok itu sambil membuka kacamata hitamnya.

Alex, yang nggak merasa kenal sama cowok itu, mengangguk saja.
“Oh, bagus. Sembuh dari koma akan membuat lo punya kehidupan baru. Percaya deh sama gue,” kata cowok itu sambil dengan sok akrab menepuk bahu
Alex segala.
Alex cuma melongo.
“Oke deh, gue mau ke kantin dulu,” kata cowok itu, padahal nggak ada yang nanya. Cowok bersinar” itu menaruh tasnya di samping tas Alex dan pergi keluar. “Siapa dia?” tanya Alex yang masih melongo.
“Eric!” jawab Elmo dengan suara yang terdengar bete. Sepertinya teman Alex ini nggak suka sama si cowok baru. Ya, umumnya cowok kan nggak suka lihat cowok “wah” seperti cowok kinclong barusan.
“Siapa?” tanya Alex masih belum mengerti.
“Anak baru,” jawab Mimi.

Alex lalu menoleh ke Elmo. Kalau ada anak baru di kelas mereka, Elmo pasti tau informasi tentang cowok itu.
“Info terbaru yang dimaksud Mimi itu, ya si Eric barusan. Nama lengkapnya Frederic Sawa, pindahan dari luar negeri, warna favoritnya merah...”
“Warna favorit?”Alex merasa aneh mendengarnya.
“Dia memang bilang begitu pas pengenalan diri.”
“Sekalian aja tinggi badan, hobi, cita-cita,” sindir
Alex.
“Dia mau bilang begitu sih, tapi Bu Anita sudah motong duluan dan nyuruh Eric duduk,” kata Elmo, dengan lugunya malah membenarkan.
Alex cuma meringis, sepertinya teman sebangku barunya cukup “ajaib”.
“Sepertinya dia baik ya, Lex, buktinya tadi dia nyapa lo duluan,” komentar Mimi.
“Mi, dia anak baru, memang dia yang harus nyapa

duluan, kali,” kata Alex mengingatkan.
“Ah, biasanya siapa pun nggak ada yang peduli ama kita, Lex,” kata Mimi balik mengingatkan.
Alex diam saja. Mimi ada benarnya. Mereka bertiga anak-anak yang nggak terlihat di sekolah ini, alias dianggap pecundang.
“Eric tinggal dekat rumah lo,” kata Elmo lagi nambah info. “Masa sih?”
“Iya, di ujung kompleks rumah lo,” tambah Mimi.
“Rumah kosong itu?”
“Sekarang itu rumah Eric. Kemaren gue lewat situ, benar kok rumah itu sudah diisi,” jelas Mimi lagi.
Alex cuma angkat bahu. Nggak ada urusannya sama dia, Eric mau tinggal di mana. Toh Alex nggak kenal dia. Mungkin Mimi dan Elmo membahasnya cuma karena nggak ada bahan pembicaraan baru.

***
Jam-jam membosankan di sekolah berlangsung seperti biasanya. Guru menerangkan pelajaran demi pelajarann di depan kelas dan Alex mengikuti dengan setengah hati. Cuma satu yang berbeda hari ini, yaitu teman sebangku baru Alex, Eric. Cowok itu selalu tersenyum saat tanpa sengaja Alex menoleh padanya. Alex yang jarang banget dapat senyuman dari siapa saja (ada juga kening orang-orang berkerut begitu melihatnya), cuma bisa meringis. Mungkin Eric tipe orang yang ramah dan murah senyum, pikir Alex soal sikap cowok itu.
Tadi Alex sudah melihat mobil, jaket oranye, dan kacamata hitam berbingkai silver Eric, sekarang Alex bisa melihat dari jarak dekat sepatu cowok itu— warnanya merah dengan garis silver. Buat ukuran cowok, pemilihan warna barang-barang Eric itu menurut Alex agak luar biasa... atau Eric memang sengaja begitu biar menarik perhatian orang-orang?
Sok nyentrik, gitu. Entahlah, Alex juga nggak tahu.
Kalau kata Alex sih, tanpa benda-benda berwarna

mencolok itu pun Eric sudah menarik perhatian anak-anak SMA Harapan, terutama cewek-cewek.
Bagaimana tidak, cowok itu cakep, tinggi, ramah, dan pintar. Hal terakhir baru Alex sadari sejak jam pelajaran pertama, cowok itu selalu menjawab pertanyaan guru dan sering menawarkan diri pergi ke depan kelas untuk mengerjakan soal.
Apa lagi yang kurang dari Eric? Sepertinya nggak ada. Makanya nggak heran, pas jam istirahat tiga cewek cantik dari geng Niken langsung mendekati cowok itu. Alex memilih keluar dari kelas dan menghampiri kelas Mimi. Sebenarnya sih bukan kelas sahabatnya itu tujuan utama Alex, tapi lapangan basket yang terletak di depan kelas Mimi.
Di lapangan basket itu tiap jam istirahat ada... Kian.
Yap, mau secakep atau sebaik apa pun si anak baru, buat Alex tetap saja musuhnya ini lebih menarik perhatiannya. Alex melihat Kian sudah ada di lapangan basket bersama anak-anak basket lainnya. Memang sudah menjadi kebiasaan mereka untuk selalu mengisi waktu jam istirahat dengan melempar-lemparkan bola ke ring.

“Alex, ke kantin yuk!” ajak Mimi yang baru keluar dari kelasnya.
“Nggak deh, Mi, gue kenyang,” jawab Alex sementara matanya tetap saja fokus melihat ke lapangan basket. Tampak Kian melambai dan tersenyum pada cewek-cewek yang kebetulan lewat dan menyapanya. Kenapa sih dia nggak pernah senyum ke gue, desis
Alex kesal. Dalam hati aja sih...
“Lo lihatin siapa sih, Lex?” tegur Mimi.
“Nggak ada,” jawab Alex tanpa menoleh sama sekali.
Dia masih saja melihat ke lapangan basket.
“Kian?” tebak Mimi yang spontan membuat perhatian Alex teralihkan. Selama ini nggak ada satu orang pun yang tahu Alex suka sama Kian. Dan bagi
Alex, nggak ada satu orang pun yang boleh tahu.
“Kian? Buat apa gue lihatin dia?” tanya Alex balik.
Mimi angkat bahu. “Mana gue tahu.”

“Kian itu kan cowok brengsek!” sergah Alex tegas buat menutupi rahasianya.
Mimi nggak berkomentar apa-apa. Raut wajah cewek itu malah tampak cemas melihat ke Alex... tepatnya ke belakang Alex!
“Lo bilang apa, Lex?” terdengar bunyi suara serak cowok. Kian. Mati gue, batin Alex cemas, tapi buru-buru pasang tampang datar untuk menutupi perasaannya.
“Gue nggak bilang apa-apa,” kata Alex berlagak cuek dan sombong.
“Lo pikir gue nggak punya kuping, apa?” sindir Kian sambil mengambil bola basket yang kebetulan banget jatuh dekat kaki Alex. “Heran gue, baru juga sembuh dari kecelakaan. Lo bukannya berubah, tapi malah makin belagu,” tambah Kian lagi.
“Belagu?!” tanya Alex kesal.
Kian diam, menatap Alex sinis.

“Hei, kalo lo kalah balapan ama cewek akui aja, bukan malah main tuduh gue belagu segala,” balas
Alex sengaja menyindir. Dia terpaksa mengungkitungkit cerita lama supaya imejnya terjaga. Jaim, gitu.
“Gue nggak pernah kalah ama lo!” Kian menuding bahu Alex. Lama-lama cewek ini bikin emosi juga nih. “Nggak pernah?” cemooh Alex. “Lah yang waktu itu apa dong namanya?”
“Lo benar-benar menyebalkan!” teriak Kian. Nggak jelas kenapa, ia jadi marah banget.
“Lo juga!” balas Alex nggak mau kalah.
Kian sepertinya hendak membalas ucapan Alex lagi, tapi temannya keburu datang.
“Ki, udah,” kata cowok itu, menarik Kian balik lagi ke lapangan basket.
Alex mengembuskan napas perlahan. Pas menoleh, dia baru sadar selain Mimi, di dekatnya ternyata sudah ada Elmo, Niken cs, dan Eric! Keenam orang

itu menatapnya aneh.
“Lo nggak apa-apa, Lex?” Eric yang bersuara duluan.
Cowok ini memang persis tebakan Alex—ramah— dan sekarang ditambah lagi penuh perhatian. Tapi karena Alex lagi bete, jawabannya malah jadi jutek nggak jelas.
“Kian benar-benar brengsek!” kata Alex sambil buruburu pergi, meninggalkan keenam orang itu yang lagi-lagi menatapnya aneh.
Alex berjalan kembali ke kelasnya. Begitu tiba di bangkunya, dia langsung membereskan bukubukunya dan menyandang ransel.
“Lho, Lex, lo mau ke mana?” tanya Mimi yang ternyata menyusulnya.
“Cabut!”
“Lex, masa sih cuma gara-gara keributan kecil kayak gitu aja lo mau bolos sekolah? Lo kan udah tiga hari nggak masuk?”
“Keributan kecil, lo bilang? Bagi gue itu masalah!

Masalah besar!!!” tegas Alex, tanpa sadar berteriak di depan wajah Mimi.
Kening Mimi mengernyit. Elmo yang baru muncul di kelas juga heran melihatnya.
“Kian brengsek!” kata Alex sambil meneruskan langkahnya keluar kelas.
“Jangan-jangan ini gara-gara kecelakaan. Saraf emosi
Alex yang biasanya nggak berfungsi, sekarang malah aktif, jadi pemarah deh dia,” Elmo berhipotesis.
Meski mendengar ucapan itu, Alex tetap saja berjalan ke gerbang sekolah. Dia benci sekolah dan sekarang, dia benci banget ada di sekolah ini garagara cowok bernama Kian. Selama ini Kian nggak pernah bicara pada Alex, tapi sekalinya bicara, katakata cowok itu nyelekit banget. Dasar brengsek!
Umpat Alex dalam hati.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi... sebenarnya apa sih yang membuatnya mengecap Kian brengsek? Apa gara-gara ucapan cowok itu atau gara-gara memori otak Alex yang menyimpan adegan Kian berduaan cewek lain di depan Kafe Garage? Kok sepertinya

yang terakhir ya?
“Alex, Alex tunggu!” terdengar suara cowok memanggilnya. Bukan suara Kian, sayangnya. Tapi
Eric.
Alex terpaksa menghentikan langkahnya.
“Lo nggak apa-apa, Lex?” tanya cowok itu, memastikan keadaan Alex.
“Gue mau pulang!” kata Alex ketus membalas perhatian cowok itu.
Tapi sikap Eric tidak berubah.
“Gue antar, ya?” kata Eric sambil menunjuk ke arah mobilnya. Alex melihat ke mobil merah tersebut. Sekilas dia melihat ada kucing hitam di dalam mobil. Tapi berhubung emosi, dia nggak berminat nanya kenapa ada kucing di mobil anak baru itu dan apa kucing itu nggak mati ditinggalin di dalam mobil berjam-jam gitu. “Gue pulang sendiri aja!” kata Alex, meneruskan langkah tanpa memedulikan Eric. Dia keluar gerbang dan menyetop bus yang lewat.
Dari sekolah, Alex langsung menuju rumahnya.
Sebenarnya dia ingin jalan-jalan, tapi karena motornya di bengkel, dia memilih pulang saja.
Tiba di rumah, nggak ada siapa-siapa yang Alex temui. Mama pasti masih di kantor dan di rumah mereka memang nggak ada pembantu. Jadi begitu pulang, Alex langsung mengurung diri di kamar sambil terus merutuki Kian.
Kenapa sih Kian kayak gitu? Coba dia baik-baik sama gue, kan gue juga nggak jadi salting dan ngucapin kata-kata kasar ke dia. Gue bakal bermanis-manis sama dia, dan siapa tahu dia membalas rasa suka gue, kan kami bisa jadian. Kalau gini sih boro-boro jadian, jadi teman aja belum tentu. Kayaknya waktu gue di rumah sakit pun dia nggak pernah ngejenguk deh. Padahal kan bisa dibilang gue kecelakaan garagara “panas” lihat dia sama cewek genit gitu. Berarti dia punya andil dalam kecelakaan gue... Eh, udah nengok nggak, sikapnya bete gitu lagi, repet Alex panjang-lebar. Gambar chibi Kian yang semula cakep

dan menggemaskan habis dicorat-coret Alex.
Sebenarnya sih percuma Alex ngomel, Kian nggak akan dengar. Kalaupun cowok itu dengar palingpaling Kian bakal bilang, “Emang lo siapa?” Kian kan sudah punya cewek...
“Ah, hidup ini mengesalkan!” rutuk Alex sendiri.
Part 5
SAMPAI menjelang malam, Alex masih mengurung diri di kamarnya yang terletak di lantai atas. Dia nggak keluar-keluar dari kamar, baik buat ngambil makanan atau apa pun. Sore tadi pas Mama pulang kerja, Mama sempat teriak memanggil Alex turun buat bantuin nyiapin makan malam. Tapi Alex malah sengaja pura-pura nggak dengar. Mama pun berhenti memanggil, mungkin Mama pikir Alex ketiduran. “Alex, ini sudah jam tujuh, sebentar lagi kita makan malam,” kata Mama sambil mengetuk pintu kamarnya. Alex melihat ke jam dinding kamarnya, memang

sudah jam tujuh malam.
“Ya, Ma, bentar lagi Alex turun,” kata Alex dengan suara terpaksa.
Alex mengembuskan napas dengan malas. Mau nggak mau dia harus turun dan makan malam bersama Mama dan Rian. Duduk bertiga, mendoakan hidup mereka, terutama keselamatan Alex. Itulah yang selalu dilakukan keluarganya tiap kali Alex berurusan dengan rumah sakit.
Tiba di ruang makan, Alex melihat Mama sedang menata meja makan. Sejenak Alex bengong melihat meja makan yang cantik banget itu. Dia tahu mamanya arsitek yang selain bisa merancang rumah juga jago menata ruangan. Tapi apa nggak berlebihan, untuk acara kecil seperti makan malam keluarga aja Mama menata meja sampai sebagus ini?
Ada lilni, bunga, lipatan serbet cantik, dan peralatan makan yang matching satu sama lain. Belum lagi berbagai jenis makanan yng terhidang di meja.
“Ma, kenapa sih harus repot-repot seperti ini?” protes Ales melihat hasil karya mamanya. Terlalu bagus buat sekadar makan malam.

“Kita kan jarang makan sama-sama, Lex” kata Mama.
Ya memang jarang sih, malah boleh dibilang langka.
Mama biasanya pulang kerja malam, sehingga Alex sering makan sendirian, sementara Rian yang udah nggak tinggal di sini juga jarang nengok rumah.
“Ma, kenapa piringnya ada empat?” tanya Alex, baru sadar meja makan tersebut ditata untuk empat orang. “Ada teman Mama yang mau ikut makan sama kita,” kata Mama sambil masih saja sibuk menata meja.
“Teman?” Alex jadi curiga. Siapa teman yang diundang Mama? Jangan-jangan...
“Oom Iwan.”
“Oom Iwan?” Alex nggak merasa kenal dengan nama itu. “Teman Mama, mantan klien. Rumahnya Mama yang rancang tahun lalu. Oom Iwan mau kenal sama kamu. Sekarang dia lagi ada di jalan, jemput Rian dulu di kos, baru bareng ke sini. Oom Iwan sudah

kenal sama Rian, tapi belum kenal sama kamu.
Kemaren waktu kamu dirawat dia sempat datang menjenguk, cuma karena kamu belum sadar, kamu nggak tau. Makanya Mama ajak Oom Iwan ke sini biar kenal sama kamu,” jelas Mama panjang-lebar.
Alex terdiam menatap Mama. Ucapan Mama barusan sudah langsung menjawab kecurigaan Alex, Oom
Iwan itu pasti teman istimewa mamanya. Dan bukan nggak mungkin...
Kecurigaan Alex semakin menjadi jelas saat Oom
Iwan dan Rian datang. Mama menyambut
“temannya” itu dengan wajah ceria sekali. Alex nggak pernah melihat Mama sesenang itu.
“Alex, kemari, Sayang. Kenalin, ini Oom Iwan,” kata
Mama dengan suara lembut beanget memanggil
Alex. Padahal biasanya Mama selalu berteriak dan marah-marah pada Alex.
Dengan langkah terpaksa, Alex mendekati pintu depan dan melihat laki-laki yang disebut Oom Iwan.
Laki-laki itu kira-kira seusia ibunya, tubuhnya tinggi, kurus, dan berkulit agak kecokelatan.
Penampilannya sama dengan eksekutif perusahaan

pada umumnya. Berkemeja mahal, wangi, dan pakai kacamata. “Hai, Alexa, Oom senang lihat kamu sudah sembuh,” kata Oom Iwan sambil menjabat tangan Alex.
Alex diam saja. Dia paling nggak suka dipanggil
“Alexa”. Nama itu menurut Alex terkesan cewek banget alias manja.
“Oh, ya, Oom bawa hadiah buat kamu,” kata Oom
Iwan sambil mengangsurkan tas kertas di tangannya kepada Aelx.
Alex diam saja, nggak berusaha mengambil tas itu.
Mama Alex buru-buru menengahi dengan menarik tangan Alex supaya menerimanya.
“Semoga kamu suka,” kata Oom Iwan lagi.
Alex melirik sekilas ke dalam tas kertas tersebut.
Isinya boneka beruang. Halah, sejak kapan gue suka boneka?! Gerutu Alex dalam hati. Dia langsung ingat, ada boneka malaikat cewek di meja kamarnya di rumah sakit waktu Alex sadar dari koma. Itu pasti pemberian Oom Iwan juga, tuduh Alex. Hanya itu

benda pemberian yang nggak Alex kenali pengirimnya saat di rumah sakit. Yang lainnya Alex hafal semua. Majalah dan komik pasti dari kakaknya, bunga dari Mimi, dan Elmo membawa buah-buahan.
Hanya itulah orang-orang selain Mama yang selalu menjenguknya,. “Sebaiknya kita langsung ke ruang makan saja. Mari,
Mas,” kata Mama menghapus lamunan Alex. Tampak
Mama menggandeng tangan laki-laki itu ke ruang makan. Alex mengernyitkan kening. Sppertinya Oom Iwan itu bukan sekadar teman istimewa, tapi lebih dari itu. Dalam waktu dekat kemungkinan laki-laki itu akan menjadi suami Mama. Duh, jangan sampai deh!
“Kapan-kapan kita berempat makan di luar aja, biar nggak ngerepotin kamu masak semua ini, Wi,” kata
Oom Iwan pada Mama saat mereka berempat mulai makan. Idih. Belum apa-apa laki-laki itu sudah bersikap seperti keluarga ini aja, desis Alex dalam hati.
“Nggak apa-apa, Mas. Sekali-sekali ini. Biasanya kita

juga makan di luar, ya kan, Lex?” kata Mama dengan senyuman yang malam ini terasa sering banget diumbar. Dari tadi, sejak laki-laki itu datang, Mama selalu ceria. Bukan hanya Mama, tapi Kak Rian yang biasanya berwajah murung juga terlihat ceria.
Sementara Alex yang baru kali ini melihat laki-laki itu dan langsung diberi tontonan sikap manis Mama dan kakaknya terhadap Oom Iwan, hanya bisa menebak-nebak heran dalam hati—kenapa begtu cepat laki-laki itu diterima keluargamya?
“Oom dengar kamu suka balap motor ya, Lexa?” tanya Oom Iwan, berbasa-basi pada Alex.
Alex diam saja. Sepertinya oom Iwan sedang berusaha membuat dirinya disukai Alex.
“Alex sering kebut-kebutan di jalanan, nggak bisa dibilangin,” kata Mama, menambahkan informasi soal “hobi” Alex.
“Daripada kebut-kebutan di jalan raya, mending kamu ikutan klub motor sport, Lexa. Teman Oom anaknya ada yang ikut klub itu, mereka punya agenda latihan dan pertandingan yang teratur. Lebih

aman balapan legal daripada ilegal. Kalo kamu mau, nanti Oom daftarin.”
“Nggak usah, makasih,” jawab Alex singkat dan bernada kesal. Dia paling nggak suka orang yang bersikap baik karena ada maunya.
“Balapan motor kurang bagus buat anak perempuan.
Kamu punya hobi lain, Lex? Melukis, misalnya?”
“Nggak,” jawab Alex berbohong. Padahal menggambar termasuk hal yang sering dilakukan
Alex di waktu luang. Terutama gambar chibi-chibi seperti yang ada di dalam komik Jepang. Alex suka karena lucu aja ngeliatnya.
“Kalo musik? Kamu suka musik apa?” Oom Iwan masih terus berusaha mencari perhatian Alex. Dari caranya yang tetap tenang dan berusaha bicara baikbaik pada Alex, ketahuan banget dia berharap Alex bisa menyukainya sehingga dia bisa cepat menjadi ayah Alex.
“Nggak suka musik!”
“Kalo..”

“Oom, saya nggak suka apa-apa!” tegas Alex. Dia muak dengan basa-basi yang dipaksakan seperti ini.
Oom Iwan tampak tetap tenang.
Mama Alex mendelik, menegur sikap nggak sopannya. Alex menunduk dan diam saja.
Begitu selesai makan malam, Alex langsung keluar dari ruamahnya. Dia nggak mau berbaik-baik pada laki-laki itu. Dia nggak mau Oom Iwan jadi ayahnya!
Itulah sebabnya dia langsung nggak suka terhadap teman mamanya itu. Dia nggak mau siapapun jadi ayahnya, selain Papa. Lagi pula jika dibandingin, papanya pasti jauh lebih dbaik daripada Oom Iwan.
Dari segi wajah, cakepan Papa. Badan Papa yang
Alex lihat difoto juga jauh lebih gagah dibanding
Oom Iwan. Papanya kekar, sementara Oom Iwan kerempeng. Tapi apa yang Alex bisa lakukan, ketika papanya sendiri nggak pernah muncul dan Mama menghapus semua hal tentang Papa dari hidup mereka? Alex

nggak pernah kenal papanya dan sekarang akan ada orang lain yang tiba-tiba menggantikan posisi itu...
Keluhan Alex makin lama makin panjang. Kakinya terus melangkah tanpa tujuan di jalan kompleks rumahnya. Tadi dia menggerutu seharian soal Kian, sekarang tambah lagi soal calon ayahnya.
“Hidup ini memuakkan!” rutuk Alex sendirian.

Part 6
RUMAH besar di jalan Meranti yang baru dihuni tiga hari itu tampak lengang pada malam hari. Nggak ada tanda-tanda kehidupan dari rumah itu, selain mobil merah dengan gambar nyala api di bodinya yang terparkir di depan rumah. Tapi jangan tanya seperti apa bagian dalam rumah tersebut. Penuh barang mewah, dan nggak sedikit diantaranya yang terbuat dari emas dan perak. Ruangan dalam rumah itu didominasi warna merah, hitam, dan warna

mengilat seperti emas dan perak. Sepintas ruangan dalam rumah itu mirip puri atau istana dalam bukubuku dongeng. Tapi tentu saja ini bukan istana dongeng. Ini kediaman baru Frederic Sawa, sang pangeran kegelapan.
Setelah gagal dengan cara licik supaya lulus ujian,
Eric terpaksa harus turun juga ke bumi. Awalnya karena ingin cepat lulus, Eric merekayasa kecelakaan Alex dan mengantar cewek itu ke kematian. Tapi begitu kakeknya, Raja Sawa, mengetahui hal tersebut, dia langsung mengambil alih dan mengemballikan Alex ke kehidupannya dan menyuruh Eric turun ke bumi secepatnya dan menuntaskan ujiannya. Eric pun terpaksa menurut.
Turun ke bumi. Artinya Eric harus menyamar menjadi manusia dan punya kehidupan seperti manusia. Eric pun menyewa rumah besar, dan dengan kemampuan sejenis sihir yang dikuasainya, dia menata bagian dalam rumah tersebut seperti
Istana Malvera. Merah, gelap, dan mewah. Bagian luar rumah tetap dibiarkan Eric seperti semula, biar nggak terkesan mencolok. Bagaimanapun, dia sedang menyamar, jangan sampai mengganggu kehidupan manusia lain.

Sebagai anak usia lima belas tahun, Eric harus sekolah. Dia pun membuat identitas baru sebagai pelajar pindahan dari luar negeri. Dan supaya meyakinkan, Eric pun mengaku punya darah campuran Asia dan Eropa. Orangtua rekayasa Eric masih di luar negeri dan akan segera menyusulnya ke Jakarta.
“Eric, cepat kerjakan tugas lo, gue udah bosan di bumi,” gerutu Slash sambil menatap keluar jendela rumah. Sementara Eric malah berbaring di sofa empuk sambil asyik ngobrol di telepon dengan
Niken.
“...orangtua gue masih di Paris, mungkin bulan depan mereka baru pulang,” kata Eric, menjelaskan soal orangtuanya kepada Niken. Dalam hati dia bilang, bulan depan gue nggak si bumi lagi.
“Eric!!!” tegur Slash.
“Nik, udah dulu ya, gue ada urusan lain nih. Nggak, lo nggak bisa datang ke rumah gue sekarang. Gue ada urusan, penting banget. Sori teleponnya gue tutup.
Dah, Niken,” kata Eric sambil menutup telepon.

Akhirnya. Setelah tiga jam, gitu lho...
Slash menatap sahabatnya itu dengan kesal. Gimana dia nggak kesal, sudah lebih dari 24 jam Alex, cewek yang menjadi bahan ujian dewan kerajaan setan, siuman. Tapi bukannya berusaha mendekati cewek itu untuk menandatangani kontrak kematiannya, eh
Eric malah bersantai-santai. Padahal selama di bumi, tiap kali keluar dari rumah besar ini Slash harus berubah menjadi kucing hitam. Soalnya kalau berwujud manusia seperti Eric, artinya dia harus punya identitas baru, dan berusaha hidup normal seperti manusia: harus sekolah, bersosialisasi, dan sebagainya. Dia nggak mau bersussah payah kayak gitu. Ujian ini untuk Eric, bukan dia. Karena Eric mencoba curang dengan ujiannya, Raja Sawa marah.
Dan Slahs yang kebetulan mengantar Eric dituduh telah memengaruhi Eric. Akibatnya dia disuruh menemani Eric melakukan tugasnya di bumi. Sial.
“Sabar Slash, bukannya lo sendiri yang bilang ujian ini mudah,” Eric mengingatkan ucapan Slash dulu.
“Seberapa pun mudahnya, lo nggak akan lulus kalo lo nggak usaha,” sindir Slash.

“Bersikap manis sama manusia itu bagian dari usaha, Slash, biar mereka percaya sama gue. Lo tau nggak, di bumi ini gue dibilang cool. Lo tau apa artinya? Tampan, keren, dan disukai cewek-cewek,” kata Eric bangga.
“Lo itu pangeran kegelapan. Semuanya lo punya, bukannya itu jauh lebih hebat?” kata Slash.
“Nggak ada setan di negeri kita yang bilang gue cool,” Eric ngotot. Dia tetap suka kata cool itu. Ya, iyalah, di kerajaan setan mana ada yang saling memuji. Mereka cuma bekerka sama bikin kejahatan dan nggak pernah peduli pada hal-hal baik, termasuk memuji temannya. Yang menyenangkan di kalangan setan adalah hal-hal jelek. Kalu bagus, itu malah berarti kesalahan. Buktinya, isu menyukai bunga saja sudah bisa menyeret Eric dalam masalah dan menyebabkannya dihukum.
“Cewek-cewek di negeri kita lebih cantik daripada cewek-cewek di bumi,” Slash membandingkan.
“kalo di negeri malaikat?” tanya Eric iseng. Dia sengaja ingin menguji apakan Slash tahu negeri tetangga mereka itu.

“Mana gue tau, gue nggak pernah ke sana!” tegas
Slash.
Eric menarik napas. Sebagai setan, mereka memang dilarang pergi ke negeri malaikat. Sejak kasus ayah
Eric, perbatasan negeri itu dijaga ketat oleh kedua belah pihak. Jarang sekali yang bisa melewatinya, meskipun bukan berarti tidak ada.
“Udah, cepetan. Gue udah bosan di sini. Cepat kerjain tugas lo!” Slash kembali bete.
“Iya, iya. Oke, gue akan temui Alex sekarang. Bujuk dia buat nandatanganin kotrak kematian, lalu kita kembali ke langit. Beres, kan?” kata Eric enteng sambil meraih jaket oranyenya di sofa dan berjalan keluar rumah.
Slash berubah wujud menjadi kucing dulu, lalu mengikuti langkah Eric.
***
Capek jalan kaki tanpa tujuan, Alex duduk di bangku taman kompleks rumahnya. Seandainya motornya

ada, Alex pasti sudah memacunya keliling kota, atau mungkin sampai ke luar kota sekalian, mengingat dia emosi banget saat ini.
Alex melamun sendirian, matanya menatap langit hitam di atasnya.
Mungkin di sana lebih baik daripada di sini, desisnya dalam hati. Nggak ada gunanya gue hidup, nggak ada satu pun yang gue suka yang gue dapatkan, dan nggak ada orang yang merasa gue berarti bagi hidupnya. Seorang Alex mati pun nggak ada yang bakal merasa kehilangan...
“Hai, Alex!” suara cowok membuyarkan lamunannya. Alex menurunkan pandangannya. Tampak cowok cakep berdiri di depannya dengan wajah tersenyum ceria. “Eric? Ngapain lo di sini?!” tanya Alex heran.
“Nggak ngapa-ngapain, cuma jalan-jalan aja. Rumah gue di sana,” tunjuk Eric ke ujung jalan. “Gue lagi keliling naik mobil, trus lihat lo di sini. Lo lagi

ngapain, Lex?” tanya Eric balik.
“Nggak ngapa-ngapain. Rumah gue di blok belakang.
Gue cuma lagi malas di rumah aja, ada tamu,” jawab
Alex seadanya.
“Gue boleh duduk di sini?” tanya Eric sambil menunjuk tempat kosong di sebelah Alex.
“Duduk aja, ini tempat umum kok,” jawab Alex ketus seperti biasa. Sebenarnya dibanding semua orang yang dikenalnya, Eric termasuk yang paling ramah.
Cuma karena sedang kesal, tetap saja cara bicara
Alex seperti orang bete.
“Lex, lo percaya nggak kalo gue bilang gue ini devil alias setan?” kata Eric membuka percakapan.
“Tampang lo terlalu cakep buat jadi setan,” komentar Alex.
“Setan itu memang harus berwajah cantik dan tampan, Lex, kalo nggak gimana dia bisa menggoda menusia, coba?” kata Eric lagi.
“Ah, lo bisa aja,” Alex tertawa menanggapi lelucon

itu. Mata Alex tetap memandang ke langit.
“Gue nggak bercanda, Lex. Gue serius,” kata Eric tanpa tawa sedikit pun.
Alex menoleh sesaat, lalu menggeleng. “Lo cukup pintar nyenangin orang lain, Ric.”
“Kalau gini bisa bikin lo percaya?” kata Eric dengan suara yang terdengar meyakinkan banget.
Alex tetap cuek, pandangannya sekarang beralih ke jalanan kompleks yang sepi pada malam seperti ini.
Tiba-tiba Alex melihat cahaya merah menyilaukan dari sampingnya. Dia ingat pernah melihat cahaya semerah dan sekuat itu saat terbaring koma di rumah sakit. Alam bawah sadarnya membawanya berjalan di lorong hitam, bertemu dunia yang semuanya tampak putih, lalu ada cahaya merah, dan sesudah itu dia siuman.
Cahaya merah itu memudar dan tampaklah Eric di samping Alex. Alex langsung berdiri saking kagetnya. Di depannya tampak Eric berjas hitam, kemeja merah, bersayap hitam, dan ada tanduk merah di kepalanya. Eric seperti... setan.

“Kalau gini lo baru percaya?” tanya Eric sekali lagi.
Alex mundur selangkah, terheran-heran. Kenapa
Eric bisa berubah begitu?
Cahaya merah yang menyilaukan itu hilang. Eric kembali ke sosoknya semula dengan jaket oranye, jins biru, dan sepatu kers merah.
“Ini sulap?” tanya Alex dengan kening yang masih mengernyit. “Alex, tadi itu sungguhan. Gue ini setan,” kata Eric, masih berusaha meyakinkan Alex jati dirinya.
“Anak-anak di sekolah tahu lo bisa sulap?” tanya
Alex lagi. Alex masih sulit percaya ucapan maupun penglihataan tentang Eric saat ini. Ia yakin Eric pasti punya trik khusus.
“Ya nggaklah, Lex. Gue ini beneran setan. Tujuan gue ke bumi cuma untuk lo, untuk bantu lo bersenangsenang.”
“Gue...?” tanya Alex makin nggak ngerti. Sedetik lalu,

yang Alex tahu Eric itu cowok cakep yang ramah banget padanya. Kenapa sekarang tiba-tiba cowok ramah itu jadi mengaku-aku diri setan?
“Lo seharusnya udah mati, Lex. Ingat lo pernah jalan di lorong hitam, lalu bertemu dengan dunia yang semuanya seba putih?” tanya Eric.
Alex terdiam. Bagaimana cowok itu bisa tahu soal itu? “Cahaya merah yang bikin lo balik ke bumi itu adalah kakek gue. Dia raja setan. Lo dihidupin kembali biar lo bisa memilih sendiri, mau hidup atau mati,” jelas Eric.
Alex menatap cowok itu dengan lebih seksama. Apa sebenarnya tujuan Eric mengatakan semua itu?
“Kalo lo mau hidup, jalanilah kehidupan lo yang membosankan. Sementara kalo lo ingin mati, gue akan bantu lo bersenang-senang sebelum mati.”
“Bersenang-senang sebelum mati?” Alex memastikan pendengarannya.

“Dewan Kerajaan Setan memilih lo biar dapat tawaran kehidupan yang menyenangkan sebelm mati,” kata Eric lagi.
Alex terdiam. Saat ini dia memang sedang banyak masalah dan benci banget dengan hidupnya.
Tawaran eric ini terdengar... menggiurkan banget!
“Hei, Alex! Hidup ini nggak menyenangkan, kan?
Jadi, hidup ataupun mati, apa bedanya buat lo?” kata
Eric. Cowok menebak dengan tepat isi hati Alex.
“Toh akhirnya lo akan mati juga, Lex,” kata Eric, menekankan kata “mati”.
“Semua orang akan mati,” Alex berusaha tetap cuek.
“Betul. Makanya gue mau ketemu lo. Tanda tangani kontrak kematian ini, dan gue akan ngabulin keinginan lo. Apa saja yang lo inginkan. Gimana?” tanya Eric sambil menyodorkan buku setebal Kamus
Webster ke depan Alex.
“Lo bawa-bawa kamus itu dari rumah?” tanya Alex heran. Kenapa tiba-tiba ada buku setebal itu di tangan Eric?

“Alex, udah gue bilang, gue ini setan. Gue bisa bantu ngabulin apa saja keinginan lo sebelum lo mati.
Syaratnya mudah, Lex, lo bener-bener tinggal tanda tangani saja kontrak kematian ini.” Eric kembali menyodorkan buku tebal tersebut. Kali ini tiba-tiba saja seperi sulap, sudah ada bolpion di atas buku itu.
Alex mulai memikirkan ucapan Eri. Mungkin nggak sih cowok ini benar-benar titisan setan seperti di film-film? Tapi masa iya sih? Ini sama nggak mungkinnya dengan manusia yang ngaku-aku setan, kan? Kayaknya kurang kerjaan banget. Apa mungkin sebenarnya Eric ini malaikat?
“Lex, malaikat itu nggak akan bantu lo bersenangsenang, mereka cuma bantu lo tabah, nyuruh lo sabar setiap lo dapat masalah. Gue sebaliknya,” kata
Eric, membaca pikiran Alex. “Ayolah, Lex, lo bisa bersenang-senang gitu lho. Seumur hidup lo nggak pernah dapet apa yang lo inginkan, kan?” bujuk Eric lagi. “Emang lo tau apa yang gue inginkan?” Alex sengaja coba menguji.
“Kian, salah satunya,” tebak Eric yang bikin Alex

melongo.
“Tau apa lo soal Kian? Gue benci cowok itu. Lo nggak lihat tadi di sekolah, gue berantem ama dia?” Alex berusaha menghindar.
“Ya, tapi gue juga lihat lo sengaja ke lapangan basket demi merhatiin Kian diam-diam.”
“Gue nggak merhatiin dia!” bantah Alex tegas.
“Ayolah, Lex, lo nggak bisa bohongin gue. Gue tau semua tentang lo. Pikirkanlah, Kian bisa jadi pacar lo. Lo tinggal bilang apa aja permintaan lo, dan gue tinggal bilan zettha archapen, maka permintaan lo akan langsung terwujud,” kata Eric lagi.
“Zettha archapen?” tanya Alex heran.
“Itu mantra. Zetta archapen! Dan klik,” Eric menjentikkan jari, “keinginan lo langsung terkabul.”
Alex menatap cowok cakep di sebelahnya. Alex jelas nggak mau percaya sedikit pun ucapan cowok itu.
Mungkin saat ini Alex sedang ngelindur atau bermimpi dengan semua yang dilihatnya barusan.

Tapi karena penasaran, Alex akhirnya bertanya juga.
“Benar nih, lo bisa kabulkan apa pun keinginan gue?”

Part 7
ERIC mengangguk yakin.
“Berapa lama?” tanya Alex masih penasaran. Dia kembali duduk di bangku taman demi mendengar penjelasan Eric.
“Sebulan. Tapi waktunya sudah terpotong tiga hari karena lo kecelakaan, jadi tinggal 27 hari lagi,” kata
Eric.
“Apa pun?” tanya Alex meyakinkan.
“Batasnya tiga permintaan ya.”
“Cuma tiga?!”
“Alex, tiga aja udah lebih dari cukup, kali. Contoh nih,

pertama jadian sama Kian, kedua jadi kaya, ketiga jadi terkenal. Itu kan sudah berarti semuanya, Lex, sudah lebih dari cukup,” Eric menjawab kekagetan
Alex.
“Tolong jangan sebut-sebut nama cowok brengsek itu lagi,” protes Alex.
Eric malah tersenyum.
“Kalau gue punya tiga permintaan, Kian nggak akan masuk daftar gue!” tegas Alex.
Eric masih tersenyum penuh arti. Sepertinya cowok itu sangat yakin soal Kian.
“Benar, lo bisa ngabulin permintaan gue?” tanya
Alex, mastiin sekali.
“Tanda tangani kertas ini, dan mintalah sesuatu, pasti akan gue kabulin,” kata Eric sambil membalik lembar buku tebal tersebut, dan terbukalah halaman yang berisi kontrak kematian atas nama “Alexandra
Alfarez”. Di bagian bawah halaman itu ada kolom untuk ditandatangani. Membaca semua itu bikin
Alex yang semula bingung jadi cemas.

“Ini bohong-bohongan, kan? Lo becanda, kan?” tanya alex, nggak mau percaya semua ini sungguhan. Masa ada orang, setan, malaikat, atau apalah sebutannya, yang minta nyawanya dengan imbalan mengabulkan tiga permintaan. Jangan-jangan ini sungguhan....
“Ini gila, nggak masuk akal. Hari ini masalah gue udah kelewat banyak. Pikiran gue stuck. Udah ah, mending gue pulang dan tidur,” kata Alex, beranjak dari bangku taman tersebut.
“Lex, lo punya waktu buat mikirinnya kok, tapi jangan lama-lama. Semakin lama lo ragu, waktu lo buat senang-senang semakin dikit,” Eric mengingatkan. Alex nggak menggubris ucapan cowok itu. Dia memang pernah berpikir untuk mati, tapi nggak pernah berpikir dengan cara seperti yang ditawarkan Eric.
“Lex, jangan bilang pada siapa pun tentang apa yang kita bicarakan!” kata Eric setengah berteriak karena jarak Alex sudah cukup jauh.

Langkah kaki Alex berhenti. “Kenapa?” tanyanya sambil melihat ke Eric.
“Nanti lo dibilang gila. Ini hanya rahasia kita,” kata
Eric lagi. Alex meringis. “Ya, memang gila,” katanya pelan sambil meneruskan langkah. Sekilas Alex melihat ke mobil Eric. Ada kucing hitam di dalamnya, lagi minum softdrink seperti manusia dalam posisi duduk dan memegang kalengnya dengan tangan. Hah?!
Alex makin mempercepat langkah menuju rumah.
Malam ini benar-benar gila!!! Teriaknya dalam hati.
***
Eric berjalan lunglai menuju mobilnya. Dia sudah berusaha mengikuti cara pertama untuk lulus ujian, yaitu membujuk dan mencoba mengabulkan permintaan “korban”-nya. Dia juga sudah hafal kalimat “Zetta archapen” yang jadi mantra pengabul permintaan. “Gimana, dia udah tanda tangan?” tanya Slash yang sudah kembali ke wujud manusia.

“Belum,” jawab Eric pelan.
“Membujuk dia aja lo nggak bisa?” tanya Slash nggak percaya. “Alex bukan orang yang mudah dipengaruhi,” Eric beralasan. “Bujukin apa kek. Kabulkan apa aja yang dia mau!” suruh Slash kesal.
“Gue udah nawarin buat ngabulin tiga permintaan sebagai ganti nyawanya, Alex malah bilang semua ini gila.” “Hah? Cuma tiga?”
“Ya, nggak mungkin kan tiga ratus, waktunya cuma tinggal 27 haru. Nggak mungkin mintanya banyakbanyak,” jelas Eric, nggak terima dipersalahkan.
“Berapa kek, selain tiga. Tujuh atau sepuluh, biar lebih menarik.”
“Tiga juga sudah lebih dari cukup. Capek gue banyak-banyak,” kata Eric, nggak mau mengganti

rencananya.
“Terus, sekarang gimana? Gue bosan tuh jadi kucing.” “Sabar sebentar bro. Gue yakin Alex akan berubah pikiran.” “Kalau nggak?”
“Kita ini kan setan. Kalau cara ’baik-baik’ nggak mempan, kita pakai cara...”
“Kekerasan!” Slash menyelesaikan ucapan Eric sambil tertawa culas.
Eric ikut tertawa.
Lalu, tanpa sepengetahuan temannya, tawa gembira itu berganti dengan tawa getir....
***
Alex tiba di rumahnya. Begitu sampai di depan pagar, ia berpapasan dengan Oom Iwan yang baru mau pulang. Ada Mama dan Kak Rian yang

mengantar laki-laki itu.
“Hai, Lexa, kamu mau ikut main boling Minggu sore?” tanya oom Iwan begitu melihat Alex. Wajah laki-laki itu tetap berseri menyapa Alex, seolah nggak merasa pernah diketusin.
“Nggak,” jawab Alex singkat.
“Tapi, Lex, hari Minggu kan kamu libur, apa salahnya kita keluar sama-sama, “ Mama ikut nimbrung.
“Alex nggak mau,” kata Alex sambil terus masuk ke rumahnya, dan langsung menuju kamarnya.
Di dalam kamar, mata Alex langsung terfokus melihat boneka pemberian Oom Iwan tadi dan boneka malaikat yang diberikannya saat Alex dirawat. Kedua boneka yang nggak bersalah itu langsung direnggut Alex dan hendak dibuangnya keluar jendela.
“Mo ngapain lo, Lex?” tanya Kak Rian yang baru masuk ke kamar Alex, kaget.
“Mau gue buang, sebal gue lihat laki-laki itu,” kata

Alex kesal.
“Apa hubungannya boneka itu sama Oom Iwan?” tanya Kak Rian dengan wajah heran.
“Dia yang ngasih, kan?”
“Boneka beruang itu ya, tapi malaikat itu bukan.”
“Bukan? Tapi ini ada di rumah sakit.”
“Teman lo mungkin yang ngasih,” jelas Kak Rian singkat. Alex diam sesaat. Teman gue yang mana yang nagsih boneka ini? Batinnya heran.. yang pasti bukan Elmo ataupun Mimi.
“Lagian emang apa hubungan boneka itu sama Oom
Iwan?” tegur Kak Rian, kembali ke masalah semula.
“Nggak ada.”
“Ya udah, nggak usah dibuang.”
Alex dengan terpaksa menaruh kembali boneka itu

di meja.
“Duduk bentar, Lex, gue mau bicara,” kata Kak Rian serius sekali. Sifat Alex dan kakaknya ini sama sekali berbeda. Rian tipe anak baik-baik, pintar dan patuh banget sama Mama. Segala pujian selalu diberikan pada Rian, sementara segala teguran untuk Alex.
Tapi Alex nggak pernah iri pada Rian. Malah, dalam hati dia menyayangi kakaknya itu. Meski kelihatannya Rian jarang banget peduli pada Alex.
Sama seperti Mama, yang cuma bicara pada Alex kalau ada masalah.
“Kalo soal Oom Iwan, gue nggak mau dengar. Dia bakal jadi ayah kita, kan?” tuduh Alex langsung.
Kak Rian diam sesaat. “Kemungkinan besar. Tapi apa salahnya, Lex, dia duda dan nggak punya anak.
Istrinya meninggal dua tahun lalu. Kelhatannya Oom
Iwan baik...”
“Baik karena ada maunya. Semua orang juga gitu,” sergah Alex memotong ucapan kakaknya.
“Lo nggak boleh pukul rata kayak gitu dong, Lex.
Belum tentu semua orang sama seperti yang lo

pikirin.”
“Pokoknya gue nggak suka sama Oom Iwan!” tegas
Alex lagi.
Kak Rian menatap Alex sesaat, dan geleng-geleng. Ia prihatin melihat sikap Alex yang keras kepala itu.
Lalu tanpa bicara apa-apa lagi, Rian keluar begitu saja dari kamarnya.
Begitu Rian pergi, Alex melemparkan kedua boneka tanpa dosa itu ke lantai. Dia mendengus kesal.
“Huh, kenapa sih semuanya nggak seperti yang gue mau?!” Tiba-tiba Alex teringat penawaran Eric di taman tadi. Tukarkan nyawa dengan tiga permintaan.
Hmm... Alex jadi memikirkan tawaran itu.
Buat apa terus hidup kalau nggak menyenangkan kayak gini? Lagian semua orang kan juga bakal mati.
Dan kalau sebelum mati gue bisa bersenangsenang....
“Tidak!” teriak Alex dengan gelengan yang sangat

kencang. “Lagi pula, nggak ada yang gue inginkan kok.” Nggak ada? Alex terdiam. Kepalanya berpikir keras.
Pastinya ada sesuatu yang paling dia inginkan....

Part 8
PAGI ini Alex masih diantar Mama ke sekolah. Begitu kaki Alex nginjak gerbang sekolah, hal pertama yang dilakukannya adalah menatap parkiran mobil. Kalau biasanya hal pertama yang dilakukannya adalah menatap parkiran motor (memarkir motornya sendiri sekalian mencari Kian), sekarang ia malah mencari Eric. Tapi mobil yang paling keren di SMA
Harapan itu belum kelihatan. Berarti Eric belum datang. Alex terus melangkah menuju kelasnya, tapi matanya tetap saja melihat ke arah parkiran. Ia penasaran, benar nggak sih cowok itu setan?
Bruk! Langkah kaki Alex menabrak seseorang—kali ini benar-benar cuma satu orang. Heran, belakangan ini hampir tiap pagi jalan di sekolah, dia pasti nabrak

orang.
“Lo tuh kalo jalan lihat-lihat, napa?” Alex langusng emosi begitu tahu orang yang ditabraknya itu Kian.
Seharusnya dia memang minta maaf, tapi berhubung masih jengkel soal kemarin, malah Alex yang marah duluan. “Gue? Bukannya lo sendiri yang ngak lihat-lihat?
Atau jangan-jangan lo memang sengaja?” sindir Kian kesal. “Sengaja? Ngapain gue sengaja nabrak lo?!” Alex makin emosi dituduh begitu.
“Mana gue tau,” kata Kian sambil mengumpulkan buku-bukunya yang jatuh dan terus pergi.
“Orang aneh,” Alex sempat-sempatnya berkomentar.
Kian kontan berbalik lagi. “Lo tanya sama anak-anak satu sekolah ini, siapa yang aneh. Gue atau lo?”
“Peduli apa?” kata Alex, tetap nggak mau kalah.
Karena emosi, sesaat dia lupa cowok di depannya ini sebenarnya orang yang selalu dipujanya dalam hati.

“Pagi, Alex!” tegur Mimi, menghapus tatapan marah
Alex pada Kian.
Tanpa bicara apa-apa lagi, Kian langsung berderap pergi. “Lo kenapa sih masih berantem sama dia?” tegur
Mimi.
“Tauk!” jawab Alex, masih kesal.
“Lo udah sembuh belum sih, Lex?” tanya Mimi yang masih menatapnya heran.
“Hei, denger ya. Gue baik-baik aja. Teori Elmo itu salah!” teriak Alex sambil ninggalin Mimi sendirian.
Hebat, sekarang gue benar-benar seperti orang yang bosan hidup! Kata Alex kesal dalam hati.
Begitu Alex masuk kelas, dia melihat bangkunya diduduki Niken.
“Lex, gue duduk di sini ya, lo di belakang aja,” kata cewek itu begitu melihat Alex.

“Pindah!” bentak Alex ketus. Padahal biasanya dia nggak pernah marah pada teman-teman sekelasnya.
Mungkin karena terlalu banyak masalah yang dialaminya, saraf Alex langsung tegangan tinggi hari ini. “Lo bilang apa, Lex?” tanya Niken, si cewek paling populer di sekolah, nggak yakin pada pendengarannya. “Pindah!” ulang Alex, tetap sama ketusnya.
“Kalo gue nggak mau?” tantang Niken nggak mau kalah. Alex yang sedang dibakar emosi, langsung menarik paksa cewek itu dari bangkunya. Begitu tempat duduknya kosong, tanpa rasa bersalah Alex duduk di situ. Niken benar-benar terperangah menatap Alex.
“Dasar gila!” kata cewek cantik itu kesal. Lalu dengan terpaksa Niken berjalan ke bangkunya yang terletak di deretan belakang.

Semua mata di kelas 1-7 menatap takjub pada Alex.
Termasuk Elmo.
“Dampak kecelakaan itu ternyata banyak banget buat lo ya, Lex,” komentar cowok itu yang sempat
Alex dengar.
Alex diam saja, nggak peduli.
Eric yang baru datang, masuk ke kelas sambil menyapa ramah, “Pagi semua!”
Alex mengangkat wajahnya. Eric tersenyum seperti biasa. “Pagi, Alex,” kata cowok itu sambil duduk di sebelahnya. Alex diam saja. Keadaan kelas pun tetap sunyi, nggak ada yang mau membalas sapaan Eric. Semua anak sepertinya masih “terkesima” dengan scene Niken dan Alex barusan.
“Gue ketinggalan apa nih, Lex?” bisik Eric. Ia bisa merasakan keadaan kelas yang agak aneh pagi ini.

Alex mengangkat bahu. Dia nggak mau membahasnya. Eric pun nggak nanya-nanya lagi.
Cowok itu ngeluarin buku dari ranselnya dan mulai membaca. Alex melirik ke sampingnya. Eric terlihat biasa saja.
Sama seperti saat Alex melihatnya pertama kali.
Sama seperti anak-anak cowok lainnya. Tapi bukannya tadi malam Eric mengaku...
“Ric, yang lo bilang tadi malam itu benar?” Alex ingin mastiin. “Tanda tangani dulu kontrak itu dan mintalah sesuatu. Lo akan tau sendiri, gue bercanda atau serius,” jawab Eric.
“Ngng... gue bisa bicara sebentar ama lo?” tanya Alex agak ragu. Meski kemarin malam sudah matangmatang memikirkannya, dia nggak mau terpengaruh oleh Eric. Tapi pagi ini, sisi lain dari dirinya malah menginginkan tawaran Eric itu.
Eric jalan keluar kelas duluan. Alex mengikuti cowok itu dari belakang. Mereka lalu berhenti di koridor belakang sekolah yang agak sepi.

“Ada apa, Lex?” tanya Eric.
“Gue pengin lo ngejelasin lagi ucapan lo kemaren,” pinta Alex. Ia pengin memastikan sekali lagi maksud perkataan Eric tadi malam.
“Oke. Alex, gue ini setan. Dan lo manusia yang terpilih buat gue bantu bersenang-senang sebelum mati,” jelas Eric, masih sama seperti yang dikatakannya kemarin.
Berarti benar. Berarti semalam dia nggak mimpi.
Bisa jadi semalam cowok itu benar-benar memakai baju merah, punya sayap hitam, dan bertanduk.
“Kenapa gue yang dipilih?”
“Gue nggak tau juga kenapa. Setahu gue bisa siapa saja, kebetulan aja orangnya elo.”
“Kalo gue nggak mau?” tanya Alex.
“Terserah elo. Yang rugi kan elo, bukan gue,” kata
Eric tersenyum.

Alex menatap Eric sesaat. Senyum cowok itu seolah mengatakan, rugi banget kalo nggak lo ambil kesempatan ini, Lex.
“Seperti apa rasanya mati?” tanya Alex. Tawaran kematian Eric benar-benar menggoda. Ambil atau nggak, ya?
“Lo nggak tinggal di bumi, tapi di langit. Kalo lo baik, lo masuk surga, kalo nggak, berarti lo bakal hidup di neraka. Nggak ada bedanya sih,Lex, antara hidup dan mati. Asyik malah, karena semua yang lo benci di dunia, lo tinggalin,” jelas Eric lagi.
Alex mencoba berpikir sesaat. Emang menyenangkan meninggalkan orang yang kita benci, tapi bagaimana dengan orang yang kita sayangi?
“Memang orang yang lo sayangi, sayang sama lo?” sindir Eric.
“Gue nggak menyayangi siapa-siapa,” bantah Alex, sengaja berbohong. Dia paling nggak suka disindir seperti itu.
Eric menoleh, dan mengarahkan pandangannya ke

lapangan basket. Tampak Kian lagi memutar bola basket di jarinya, berlagak di depan beberapa cewek.
Nggak cuma memutar bola basket, tapi juga beberapa gerakan free style lainnya. Dan cewekcewek yang melihatnya heboh memuji cowok cakep itu. “Tukang pamer,” gerutu Alex kesal. Di depan cewekcewek lain Kian baik banget, tapi di depan Alex?
Ngebetein abis.
“Dia bisa jadi salah satu permintaan lo, lho,” Eric mulai berusaha memengaruhi.
“Sekali lagi gue kasih tau ya, kalo gue punya tiga permintaan, dia nggak akan termasuk dalam daftar gue!” bantah Alex.
Eric malah tertawa kecil. “Alex... gue tau tentang lo.
Ingat buku tebal yang lo bilang kamus tadi malam itu?” tanya Eric mengingatkan.
“Memangnya kenapa?”
“Sebagian isinya riwayat hidup lo. Kapan lo lahir, siapa keluarga lo, siapa yang lo taksir, semua ada di

dalamnya.”
“Lo baca semua?” tanya Alex nggak percaya. Masa semua tentang hidupnya ada orang yang tahu. Oh iya, Eric kan ngakunya bukan orang, batin Alex dalam hati.
“Ya nggak lah, Lex. Bukunya tebal banget gitu. Gue cuma membalik beberapa lembar. Halaman apa yang kebetulan terbuka aja yang gue baca.”
Alex diam. Dia kembali berpikir. Ucapan Eric memang kedengarannya meyakinkan, tapi semua ini nggak masuk logika. Alex nggak mau dijadikan bahan tertawaan oleh anak baru ini.
“Gue bukan anak baru, Lex, gue ini setan,” kata Eric, untuk kesekian kalinya seolah bisa membaca isi pikiran Alex. “Gue turun ke bumi cuma buat nawarin kontrak kematian itu sama lo. Gue ini lagi menyamar. Waktu gue cuma tiga puluh hari, dan sudah empat hari berlalu. Terserah lo, lo ambil atau nggak.” Alex kembali melihat ke arah lapangan basket.

“Pasti terkabul?” tanya Alex, ingin memastikan sekali lagi.
“Gue jamin. Ayolah, lex, hidup lo nggak pernah menyenangkan, kan? Sekarang lo bisa bersenangsenang sebelum mati. Bisa punya cowok yang lo sukai, uang yang banyak, terkenal...” Eric terus membujuk Alex.
Alex diam sesaat. Otaknya berpiki keras. Hei, hidup gue kan memang nggak menyenangkan! Teriak Alex dalam hati. Jadi buat apa dipertahankan?
“Kontraknya lo bawa?” Itulah kalimat yang akhirnya keluar dari mulut Alex.
Eric menoleh dan menatap Alex dalam-dalam.
Alex pun mengangguk.
“Ikut gue ke mobil,” kata cowok itu sambil berjalan ke depan, ke arah parkiran.
Alex masih terdiam sesaat, agak ragu. Tapi akhirnya diikutinya juga Eric.

***
Alex mengikuti Eric masuk ke mobilnya. Begitu duduk, Alex mendengar ada suara menyapanya.
“Hai, Lex!”
Alex menoleh melihat sekelilingnya. Dia yakin Eric nggak bicara dan di mobil ini nggak ada siapa-siapa.
Cuma si kucing hitam yang duduk di bangku belakang. Eric membuka laci mobilnya dan ngeluarin buku setebal kamus yang Alex lihat tadi malam.
“Tanda tangani di sini,” kata cowok itu, membukakan halaman kontrak.
Alex meraih bolpoin yang terletak di atas kertas itu dan... “Lo yakin mau melakukan ini, Lex?” tanya Eric sambil tiba-tiba menjauhkan kertas tersebut.
“MIAAUW!” Terdengar raungan keras kucing dari bangku belakang mobil. Alex terlonjak kaget. Kenapa

kucing itu sepertinya marah, ya?
Tanpa bicara Eric kembali menyodorkan kertas tersebut ke Alex dan dalam satu tarikan napas, kontrak itu selesai ditandatangani Alex.
“Thanks, Lex,” terdengar lagi cuara cowok, tapi bukan suara Eric.
Alex sejenak menoleh ke sekeliling mobil itu. Lagilagi, selain mereka, yang ada cuma kucing hitam.
Lalu ia menatap Eric.
“Selesai,” kata Eric. “Sekarang, ayo kita balik ke kelas, Lex. Bentar lagi pelajaran pertama dimulai.”
Alex buru-buru keluar dari mobil mewah tersebut.
Dia dan Eric kembali berjalan ke kelas.
“Ric, kucing hitam itu kucing lo?” tanya Alex, penasaran dengan si kucing hitam di mobil tadi.
“Sahabat.”
“Sahabat?” tanya Alex heran.

“Iya, sahabat... biasa kan, bersahabat dengan binatang.” “Tapi apa nggak bahaya ninggalin dia di mobil?
Panas kan, Ric, kasihan,” jelas Alex.
“Dia kucing dari negeri setan, udah biasa panas,” kata Eric tetap santai.
Alex dan Eric kembali ke kelas mereka. Begitu masuk, mata Alex langsung bertubrukan dengan mata Niken, Moniq, dan Leony yang menatapnya penuh kebencian.
“Lo udah pikirin apa permintaan pertama lo?” tanya
Eric begitu duduk di bangkunya.
“Udah,” kata Alex yakin.
“Apa?”
“Gue mau jadi anggota geng-nya Niken.”
“Zetta archapen, permintaan lo akan terwujud,” kata
Eric, bersamaan dengan berbunyinya lonceng jam pertama Part 9
SAAT jam pelajaran pertama, kedua, dan ketiga berlalu, nggak ada tanda-tanda permintaan Alex akan terkabul. Niken, Moniq, dan Leony tetap duduk di bangku belakang, cewek-cewek itu tetap ngobrol bertiga di sela-sela pergantian pelajaran.
“Lo ngerjain gue ya, Ric?” tanya Alex saat bel jam istirahat berbunyi.
Eric malah tersenyum misterius.
“Sori, gue perlu ngomong sebentar sama Alex.
Pinjem dia bentar ya, Ric?” tegur Niken tiba-tiba.
Alex menoleh, kaget melihat Niken ada di depannya, apalagi dengan wajah serius seperti ini. Biasanya tiap melihat Alex, cewek itu akan pasang tampang sinis atau kalau nggak memandang remeh. Janganjangan permintaannya benar-benar terkabul.
“Silahkan,” kata Eric, yang langsung berdiri dan

pergi dari bangkunya. Tapi sebelumnya cowok cakep yang mengaku devil itu mengacungkan jempolnya buat Alex.
“Gue minta maaf atas kejadian tadi pagi,” kata Niken saat Eric sudah keluar dari kelas. Saat ini keadaan kelas nggak begitu rame. Setengah dari anak 1-7 sudah keluar dari kelas buat istirahat.
“Tadi pagi?” tanya Alex nggak begitu ngerti.
Perasaan alex duluan yang ngomong ketus. Apa sikap Niken ini bagian dari terwujudnya permintaan gue? Sepertinya begitu. Karena ucapan Niken berikutnya,
“Ya, gue salah udah ngambil bangku lo tanpa izin.
Sori ya, Lex,” kata Niken, terdengar bersahabat banget. Alex cuma mengangguk sambil meringis dalam hati.
Ini benar?
“Lo mau ikut kita ke kantin, Lex?” ajak Niken yang terdengar sangat ajaib di kuping Alex. Selain Niken, di depannya sekarang juga ada Moniq dan Leony.

“...duluan aja deh,” Alex berusaha menolak. Dia masih canggung “bersahabat” dengan tiga cewek paling populer di SMA Harapan.
“Oke deh, tapi ntar pulang lo bareng kita, ya?” kata
Niken.
Lagi-lagi kata-kata cewek itu membuat Alex terperangah. Setahu Alex, tiga cewek itu pulang dan pergi sekolah naik mobil Niken. Nggak ada anak lain yang diizinkan nebeng. Sekarang cewek itu nawarin
Alex? Wah... keinginan gue asli terkabul nih!
Meski begitu, Alex masih grogi. “Kita lihat nanti aja.”
Niken tersenyum, lalu bersama dua cewek cantik lainnya pergi keluar kelas.
Alex membalas senyum itu dengan meringis. Gila, ini sungguhan, ujarnya takjub dalam hati.
“Hai, lex, ngapain cewek-cewek itu sama lo?
Berantem?” tegur Mimi yang muncul di kelasnya.
“Tadi pagi sih iya, tapi barusan udah minta maaf kok,” jelas Alex seadanya.

“Siapa?”
“Niken.”
“Niken?!” Mimi terperanjat. Memang sih, yang paling sombong dari tiga cewek cantik itu Niken.
Alex mengangguk.
“Tumben,” komentar Mimi kagum.
Alex cuma angkat bahu. Dia nggak mungkin mengatakan yang sesungguhnya pada Mimi.
Sobatnya itu nggak bakal mengerti. Jadi mending kontrak kematian itu hanya Alex dan Eric saja tahu.
***
Jam istirahat kali ini Alex nggak nongkrong di pinggir lapangan basket lagi. Dia malas bertemu dengan Kian. Mimi dan Elmo mengajak Alex ke kantin. Begitu Alex duduk, matanya langsung bersirobok dengan Niken yang duduk di meja dekat jendela. Cewek itu langsung melambai.

“Lex, duduk sini!” panggil Niken.
Alex menggeleng. “Gue di sini aja,” katanya canggung. “Tumben Niken ramah banget,” komentar Mimi yang menyaksikan adegan Niken mengajak Alex.
“Tau,” alex mengangkat bahu. Dia tetap duduk dan makan nasi goreng yang dipesannya.
“Mo, lo tau nggak, tadi Niken minta maaf ke Alex,” lapor Mimi. Waktu Niken minta maaf, Elmo memang sudah nggak ada di kelas.
“Sebenarnya bukan hal yang aneh,” kata Elmo seperti biasanya.
“Bukan?”
“Ada titik-titik tertentu yang memunculkan kesadaran manusia atas kesalahannya. Itu yang sekarang terjadi pada Niken,” kata Elmo sok tahu.
Alex nggak memedulikan teori cowok itu. Dari dulu
Elmo sering punya hipotesis tanpa dasar yang jelas.

Tapi kayaknya nggak ada hipotesis yang bisa menjelaskan soal Niken dan Alex saat ini.
Niken kembali melambai dan menawarkan roti bakarnya pada Alex.
Alex menggeleng. Sumpah, dia canggung banget dengan semua kebaikan cewek itu padanya.
“Kayaknya ada yang salah dengan Niken,” desis Mimi yang ikut memperhatikan Niken. “Tapi nggak boleh berprasangka jelek. Malah bagus kan kalo Niken baik sama lo, Lex,” kata Mimi lagi.
“Ah, gue nggak mikirin,” Alex berlagak menolak
“teman” barunya.
Mimi nggak membahas lagi soal sikap Niken. Cewek itu mulai melahap makanannya. Begitu juga Elmo.
***
Setelah kasus minta maaf pas jam istirahat, lalu mengajak duduk semeja pas ketemu di kantin, sekarang saat bubaran kelas Niken langsung menghampiri Alex.

“Lex, lo pulang bareng kita, ya?” kata cewek itu mencegat langkahnya. Alex sedang jalan bareng
Mimi dan Elmo. Sejak motornya masuk bengkel, Alex selalu pulang bareng dua temannya itu, nebeng mobil Elmo.
“Gue sama...” Alex nggak enak sama dua temannya.
Namun belum selesai dia bicara, Mimi sudah mendorongnya ke dekat Niken.
“Oh, Alex mau ikut kok,” kata Mimi sambil sempatsempatnya ngedipin mata ke Alex.
Alex menatap temannya heran.
“Lex, kapan lagi lo bisa teman mereka? Semua anak berharap jadi teman mereka. Ayo, lex, mumpung
Niken merasa bersalah sama lo,” bisik Mimi pada
Alex. Cewek itu masih percaya teori Elmo, bahwa
Niken baik pada Alex karena merasa bersalah.
Alex menoleh ke arah Niken. Cewek yang biasanya sombong banget itu malah tersenyum.
“Ngng... oke deh,” akhirnya Alex mau juga.

“Asyik!” kata Niken riang banget, seolah Alex teman favoritnya, sehingga kesediaan Alex ikut merupakan kebanggaan baginya.
Hmm... ini menyenangkan juga, komentar Alex dalam hati.
Alex pun ikut naik mobil Niken, bersama tiga
“sahabat” barunya. Sebelum kedatangan Eric, mobil
Niken lah yang paling keren di sekolah ini. Itulah sebabnya hampir semua anak selalu menoleh tiap tiga cewek cantik itu lewat. Gimana nggak, mereka cantik, kaya, dan elegan. Dan sekarang geng yang biasanya berjumlah tiga orang itu akan menjadi empat orang!
***
Bubaran sekolah, Eric masuk ke mobilnya setelah melempar senyum pada cewek-cewek yang menyapanya sepanjang koridor. Di bumi dia cepat populer di kalangan cewek-cewek. Tapi Eric tetap bertindak sewajarnya. Nggak membiarkan satu cewek pun jadi pacarnya. Dia di bumi kan cuma sebentar. Kalau dia sampai punya pacar, bisa berabe.

Karena nanti begitu tugasnya selesai di bumi Eric akan menghilang begitu saja dan meninggalkan semuanya. “Apa lo nggak bisa pulang sedikit lebih cepat?” gerutu Slash begitu Eric duduk di belakang setir. Bel bubaran kelas sudah berbunyi setengah jam lalu, tapi sobatnya baru muncul ke mobil sekarang.
“Sabar, Slash, gue kan cuma ngobrol sebentar saja.”
“Kayaknya lo suka bergaul sama manusia-manusia itu. Jangan-jangan tuduhan Dewan soal lo yang berhati malaikat itu benar,” sindir Slash, mengingatkan pada kasus yang menimpa eric, sehingga mereka berdua dikirim ke bumi.
“Gue ini setan sejati, Slash. Lo nggak percaya banget sih ama teman lo sendiri?! Dukung gue napa,” protes
Eric.
“Mendukung lo? Hei, gue yang harus jadi kucing dan dikurung berjam-jam di mobil gara-gara lo. Lo pikir nggak panas apa di sini?” gerutu Slash.
“Negeri kita kan juga panas, Slash, kayak baru kenal

yang namanya panas aja,” ejek Eric. Negeri di langit memang sama dengan di bumi, ada siang dan ada malam. Cuma di Malvera kalau siang memang panas banget, habis dekat banget dengan matahari sih.
“Ya, memang. Tapi kan gue butuh oksigen, sementara di mobil ini nggak ada!” teriak Slash emosi. “Tenang, bro. Harusnya lo ngasih gue selamat, congrats karena berhasil membuat Alex menandatangani kontrak kematiannya. Bentar lagi gue lulus ujian dan kita bisa kembali ke langit,” kata
Eric sambil menjalankan mobil.
Emosi Slash mereda. “Ya, lo benar,” kata kucing hitam itu, menyatakan persetujuan untuk pertama kalinya. “Ini harus dirayakan, Ric. Lo harus traktir gue makan!”
“Beres!”
“Sebentar lagi gue akan kembali ke rumah gue. Gue rindu kamar gue, mobil gue, dan si Draco,” kata Slash mengingat rumah, mobil, dan juga kucing hitam peliharaannya. Slash benar-benar merindukan negeri Malvera.
Sementara Eric? Nggak ada satu pun yang diucapkannya soal negeri yang panas itu.

Part 10
MOBIL Niken meluncur hingga di depan rumah Alex.
Begitu berhenti, ketiga cewek yang baru pertama kali melihat rumah Alex itu agak kaget.
“Rumah lo di sini, Lex? Gue baru tau kalo ternyata rumah kita dekat. Gue tinggal di Kompleks Pesona, di sebelah kompleks ini,” kata Niken.
“Oh, gue juga baru tau,” kata Alex bohong. Padahal dia sih udah dari dulu tau Niken tinggal di perumahan mewah di sebelah kompleks rumah Alex yang termasuk perumahan elite juga. Motor Alex sering berpapasan dengan mobil Niken di jalan depan kompleks. Niken aja yang nggak pernah ngeh.
“Gue nggak nyangka lo tinggal di sini. Eric tinggal di

kompleks ini juga, kan?” kata Moniq, yang malah lebih tahu rumah si anak baru ketimbang rumah
Alex yang sudah satu semester dikenalnya.
“Ya, rumahnya di blok depan, tadi kita lewatin kok,” jelas Alex. “Kalian mau mampir?” Alex menawarkan ketiga teman barunya main ke rumah. Itu tawaran yang sangat bersahabat, kan?
“Mampir?”
“Rumah gue kosong, nggak ada siapa-siapa. Nyokap gue kerja, bokap gue nggak tinggal di sini, dan kakak gue kos,” jelas Alex.
“Kosong? Kalo gitu boleh deh,” kata Niken sambil turun dari mobil, mendului Alex sendiri.
Ketiga cewek itu lalu diajak Alex melihat sekeliling rumahnya. Niken, Moniq, dan Leony sepertinya kaget melihat tempat tinggal Alex. Soalnya selama ini yang tampak di mata mereka kan Alex biasabiasa aja, belum lagi kalau dilihat dari jaket dekil yang nggak pernah diganti-ganti alias selalu dipakai
Alex itu, kesannya Alex anak dari keluarga sederhana. Jadi, nggak nyangka aja ternyata rumah

Alex keren begini.
“Siapa yang desain rumah lo, Lex?” tanya Moniq masih kagum.
“Nyokap gue.”
“Nyokap?”
“Dia arsitek,” kata Alex.
“Oh, pantas. Keren lho desainnya.”
“Thanks.”
Alex lalu mengajak mereka ke kamarnya. Kalo tadi ketiga anak itu kagum pada arsitektur dan interior rumah Alex, sekarang sepertinya mereka nggak begitu suka melihat isi kamar Alex.
“Kok meja rias lo kosong sih, Lex? Memangnya lo nggak pernah dandan?” tanya Moniq kaget melihat meja rias Alex yang cantik tanpa satu pun peralatan make-up. Alex menggeleng.

“Beli dong. Cewek itu harus dandan,” Moniq menyarankan. Alex tersenyum mendengarnya. “Nanti deh, gue beli.” “Lemari lo segede gini kok isinya cuma kaus sama jins belel doang?” tanya Leony, sama kagetnya dengan Moniq begitu membuka lemari pakaian Alex.
“Ya, gue nggak sempat belanja,” Alex beralasan.
“Nggak sempat? Memang selain sekolah lo ngapain lagi sih?” tanya Niken. “Oh, gue tau. Pasti lo sibuk sama motor itu, kan?” ujarnya menjawab pertanyaannya sendiri.
Alex cuma meringis. Dia memang cinta motor itu karena merasa bisa lebih dekat dengan Papa. Tapi nggak selalu waktunya habis untuk itu. Pulang sekolah dia lebih sering mengurung diri di kamar, nggak ada kegiatan berarti. Paling-paling cuma menggambar. “Ini siapa yang bikin, Lex?” tanya Leony saat

menemukan kertas-kertas gambar Alex di meja.
Tampaknya semua sisi kamar Alex dibongkar ketiga cewek itu.
“Gue.”
“Lo bisa gambar?” Lagi-lagi Alex mendengar nada kagum dalam suara cewek-cewek itu.
“Ah, cuma bisa gambar seperti itu aja, nggak bagusbagus amat.”
“Tapi lucu kok. Eh, gambar ini kenapa lo coretcoret?” tanya Leony sambil menunjukkan gambar chibi-chibi yang habis dicoretin Alex.
“Eh, kayaknya ini gambar cowok deh. Siapa, Lex?” tanya Niken, cepat menyadari gambar di balik semua coretan itu.
“Bukan siapa-siapa,” elak Alex sambil meraih gambar chibi Kian dan buru-buru memasukkannya ke laci.
“Nik, kayaknya Alex harus kita make over deh,” kata
Moniq tiba-tiba, mengganti bahan pembicaraan.

“Make over?” tanya Alex heran.
“Ganti penampilan, Lex. Lo itu harus jadi cewek. Gue yakin kalo lo didandani, cowok mana pun pasti menoleh kagum waktu lo lewat.”
“Gue setuju!” kata Leony, mendukung saran Moniq.
“Ayo, berangkat sekarang aja. Kita ke rumah gue sebentar buat ganti baju, lalu langsung cabut,” kata
Niken langsung semangat mau pergi.
Alex terdiam sesaat. Sihir macam apa yang diciptakan Eric, sampai bisa membuat ketiga cewek cantik ini langsung bersikap seolah Alex sahabat mereka, bagian dari mereka? Sepertinya semua hal yang nggak oke dari dirinya, termasuk soal penampilan, mereka bantu perbaiki supaya Alex kelihatan lebih oke.
“Lex, cepat ganti baju lo! Kita tunggu di bawah,” tegur Niken membuyarkan lamunan Alex.
Alex mengangguk dan cepat-cepat mengganti seragam sekolahnya dengan kaus dan jins. Dia lalu

mengunci kembali rumahnya dan pergi bersama ketiga sahabat barunya.
***
Untuk pertama kalinya Alex jalan bareng Niken,
Moniq, dan Leony. Sekarang Alex merasa sepertinya sudah benar-benar menjadi sahabat Niken cs.
Permintaan pertamanya benar-benar terkabul.
Mobil Niken berhenti di salon Violet. Kata Niken, salon ini merupakan langanannya. Perawatan apa pun yang menyangkut penampilan, mulai dari potong rambut, perawatan wajah dan tubuh, menikur pedikur, di sinilah tempat yang didatangi
Niken dan sahabat-sahabatnya. Itu berarti Alex juga termasuk. Alex bukannya nggak pernah ke salon. Mamanya sering mengajaknya pergi. Tapi kebanyakan ajakan itu Alex tolak. Dia malas saja pergi dengan ibunya.
Sementara teman Alex nggak ada yang bisa diajak pergi ke salon. Elmo kan cowok, sedangkan Mimi biasa meminta tolong kakaknya sendiri buat potong rambut di teras belakang rumah. Makanya model rambut Mimi jadi unik, saking sering jadi bahan

percobaan.
“Hai, ini teman gue Alex. Ana, tolong bikin dia jadi cantik ya,” pinta Niken pada salah seorang pegawai salon. Kalau dilihat dari tas perlengkapan potong rambut yang bertengger di pinggangnya, sepertinya dia hair stylist.
“Beres, honey,” kata sang hair stylist bernama Ana itu sambil memperhatikan Alex dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Ini teman lo, Nik?” tanyanya langsung nggak percaya. Hair stylist di depan Alex ini sebenarnya cowok. Tapi seperti kebanyakan pekerja seni kecantikan, dia kayaknya merasa lebih cocok jadi cewek. Alex sempat bingung harus manggil dia Mas atau Mbak. Tapi karena katanya namanya Ana, ya sudah, anggap saja dia cewek.
“Please, bikin dia jadi cantik,” pinta Niken sekali lagi.
Hair stylist itu memperhatikan Alex sekali lagi, baru kemudian dia tertarik mendandani Alex. “Siapa namamu, Sayang?”
“Alex.”

“Alex sayang, badan lo tinggi, tulang pipi lo bagus, rambut lo juga bagus,” kata Ana mengomentari fisik
Alex. Kok hair stylist ngomentarin soal tualng pipi dulu baru rambut sih? Aneh. Apa mungkin selain hair stylist, dia ahli make up juga? Pikir Alex.
Setelah meminta Alex duduk di depan cermin, Ana pun mulai memotong rambut Alex dengan model yang dirasanya sesaui dengan wajah Alex. Selesai menata rambut Alex, Ana lalu mulai mendandani wajah Alex. Tebakan Alex tadi benar, Ana ternyata memang ahli make up juga. Alis Alex yang berantakan dirapikan, pipinya dikasih blush on pink, bibirnya dibubuhi lipstik, dan matanya diberi eye shadow warna pink dan putih, katanya biar terkesan lebih cerah. Setelah urusan rambut dan make up wajah selesai, kuku Alex yang banyak bekas hitam terkena oli motor itu dibersihkan dan diberi kuteks pink juga.
“Alex, lo cantik bangeeeet!” kata Leony seakan nggak percaya meihatnya.
Alex melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Ia terlihat seperti cewek-cewek yang ada di halaman mode majalah remaja. Apa itu berarti bagus?

Tanyanya dalam hati.
Alex pribadi sih nggak pernah peduli pada penampilannya. Tapi kalau kata sahabat-sahabat barunya benar, bahwa dengan penampilan seperti ini cowok-cowok bakal meliriknya, dia nggak keberatan. Meski dia nggak perlu perhatian dari banyak cowok. Cukup satu cowok saja.
“Rambut oke, make up oke, tapi kayaknya masih ada yang kurang deh,” kata Moni. Sepertinya dari tadi dia yang paling gatal untuk mengubah penampilan Alex.
“Bajunya,” cetus Leony, langsung tahu apa yang kurang dari Alex.
“Betul, baju. Lo harus pake baju yang berkelas dikit,
Lex, jangan T-shirt biasa kayak gini. Come on, girls, kita shopping,” kata Niken sambil mengajak cabut dari salon Violet.
Alex membayar lebih dulu tagihan salonnya. Karena dia sahabat Niken, dia dapat diskon yang lumayan.
Salah satu keuntungan lain berteman dengan Niken cs, batin Alex...

***
Alex, Niken, Moniq, dan Leony pergi ke salah satu mal, langsung menuju konter pakaian bermerek.
Tiga sahabat Alex itu memilihkan pakaian yang menurut istilah mereka “lucu-lucu”. Artinya kurang lebih baju bermerek, mahal, dan potongannya nggak pasaran. Alex nggak pernah memilih baju seperti saat ini. Dia jarang banget ke mal. Kalau pun ke mal, paling cuma makan doang. Dan kalau perlu belanja pakaian, itu cuma sebatas kaus, jins, dan jaket. Hanya itu. Baru sekali ini dia punya “konsultan penampilan” seperti tiga sahabat barunya ini.
“Nah, benar kan gue bilang. Lo cantik, Lex,” kata
Moniq senang.
“Kalo dilihat-lihat, lo malah lebih cantik daripada
Niken,” kata Leony ikut berkomentar.
“Ah, nggak mungkinlah,” bantah Alex langsung.
Mereka sekarang kan sahabat, sesama sahabat nggak boleh saling menjatuhkan.

“Emang dasarnya lo cantik kok, Lex. Pantas Eric cepat tertarik ama lo,” kata Niken, tiba-tiba membawa nama si anak baru.
“Eric?” tanya Alex heran.
Moniq dan Leony mengangguk.
“Niken kan naksir Eric,” kata Moniq buka rahasia.
“Eric?!” tanya Alex kaget. Tapi cowok itu kan...
“Nggak usah marah lah, Lex. Kalo lo suka juga nggak apa-apa kok. Gue cuma suka aja lihat dia, keren. Gue nggak naksir-naksir banget. Gue kan nggak kenal siapa Eric,” bantah Niken.
“Gue nggak naksir dia kok,” Alex cepat-cepat meluruskan. “Gue cuma suka sedikit, belum sampai punya perasaan istimewa. Menurut gue, naksir cowok itu harus jelas. Bukan begitu kenal, cakep, langsung naksir begitu aja. Harus kenal dulu, harus jelas dia siapa, baru deh jadian. Kalo nggak kenal, tahu-tahu dia punya cewek lain, bikin sakit hati, kan?” jelas

Niken lagi.
Alex mengangguk. Dia langsung ingat pernah lihat
Kian dan cewek lain!
“Lagi pula, Eric itu tipe cowok misterius, tiap gue tanyain jawabannya berbelit-belit, dan jarang jawabannya sama. Aneh, kan? Makanya gue udah malas deketin dia, mending gue dikejar cowok daripada ngejar cowok,” cerita Niken lagi.
Berhenti naksir Eric? Baguslah, Nik. Dia kan setan, kata Alex dalam hati.
***
Begitu urusan mengubah penampilan selesai, Alex dan tiga sahabatnya makan di kafe. Kalau biasanya kafe yang Alex datangi cuma Garage, yang isinya anak-anak motor atau orang yang menunggu mobil atau motornya diperbaiki di bengkel sebelah, kafe ini kafe gaul yang didatangi cewek-cewek modis dan cowok-cowok keren. Pembicaraan juga bukan soal oli mesin, tapi ceputar masalah cowok.
“Menurut gue, cowok paling keren di sekolah kita,

kalo dibikinin chart nih, tempat pertama itu Eric, kedua... Kian,” Niken mulai ngegosip.
“Kian?” Alex pura-pura kaget. Meski menurut dia, cowok itu harusnya ada di posisi pertama.
“YA, Kiano, cowok yang ribut ama lo itu,” kata Niken seolah perlu mengingatkan Alex siapa Kian.
“Oh, si brengsek itu,” komentar Alex berlagak sombong. Tentu saja dia nggak mau rahasianya ketahuan. “Alex, Kian itu nggak brengsek. Lo nggak kenal dia sih. Aslinya Kian itu baik, lucu malah. Saking seringnya tertawa, kita sampai sulit tahu isi hatinya.
Misalnya siapa cewek yang dia suka,” kali ini Moniq ikutan membela Kian.
“Gue tau,” potong Alex.
“Hah? Yang bener?”
“Gue pernah lihat dia jemput cewek di kafe samping bengkel motor gue. Cewek itu bukan anak sekolah kita,” kata Alex, sedikit bangga karena menjadi

sumber informasi saat ini. Meski hatinya tetap saja panas kalau ingat peristiwa itu.
“Anaknya kecil, rambutnya pendek?” tebak Niken.
Alex mengangguk.
“Oh, itu sih si Lala, anak SMA Persada. Dia teman
Kian dari SMP, mereka cuma sahabaran kok,” jelas
Niken.
“Masa sih? Kayaknya dekat banget deh,” protes Alex masih nggak percaya. Dalam hati, dia malah lega banget mendengar informasi itu.
“Gue pernah tanya langsung ke Kian, dan jawabannya begitu. Kalo Lala-nya sendiri sih gue gak tau. Mungkin aja cewek itu suka, tapi sepertinya Lala bukan cewek istimewa buat Kian,” tambah Niken.
“Ngapain sih kita ngebahas Kian, emang di sini ada yang naksir cowok itu?” Alex sengaja motong pembicaraan, ingin mastiin dulu.
Niken, Moniq, dan Leony kompak menggeleng.

Alex bernapas lega. “Jadi, kenapa kita ngomongin
Kian?”
“Nggak ada alasan. Gue cuma iseng aja bikin chart.
Soal Kian, siapa tau lo tertarik sama cowok itu,Lex,” tunjuk Niken pada Alex.
“Gue?” Alex berlagak kaget mendengarnya.
“Ya, lo cocok sama Kian, lagi,” Moniq ikut-ikutan mendukung ucapan Niken.
“Gue selalu emosi kalau melihat dia, habis sering diketusin sih,” Alex masih berlagak menolak ucapan teman-temannya. “Ah, itu sih lo juga yang salah, Lex. Abis lo kalo ketemu dia, tampang lo langsung jutek gitu. Coba sekali-sekali senyum, gue yakin Kian bakal luluh sama lo,” Leony menimpali.
Alex masih menggeleng. “Gue musuhan ama dia.”
“Terus menurut lo cowok seperti Kian itu benernya lebih enak dijadiin apa, musuh apa pacar?” tantang
Niken.

Alex terdiam, lalu seulas senyum simpul tersungging di wajahnya.
“Gue benar, kan?” kata Niken, senang sarannya diterima Alex.
“Ya sih, Nik, tapi kayaknya sulit deh.” Alex akhirnya mau juga basa-basi curhat soal Kian.
“Siapa bilang? Sekarang lo cantik, gaul, badan lo tinggi, lagi. Lo pasti bisa dapatin Kian. Nggak cuma
Kian sih, cowok-cowok keren lain juga bisa. Lo tinggal tunjuk aja,” kata Niken biar Alex pede.
Alex menatap Niken dan dua teman di depannya ini, seolah masih nggak percaya. Mereka baik-baik banget, ngertiin dia banget, sahabat baik banget.
Nggak sia-sia 26 hari terakhir hidup gue diisi dengan sahabat seperti mereka! Alex berteriak girang dalam hati. ***
Alex diantar Niken pulang ke rumahnya jam tujuh malam. Mama yang sudah pulang kerja, agak kaget

melihat penampilan anaknya yang jadi cantik dan cewek banget.
“Sayang, kamu baik-baik aja?” tanya Mama dengan kening mengernyit.
“Nggak pernah sebaik ini, Ma,” kata Alex sambil terus naik ke kamarnya. Namun dia masih sempat mendengar ucapan ibunya.
“Kamu jatuh cinta, Sayang?”
Alex nggak mau jawab pertanyaan itu sekarang.
Permintaan satu telah terpenuhi. Saatnya memikirkan permintaan kedua..

Part 11
PAGI ini Alex dijemput Niken berangkat sekolah.
Padahal Alex nggak minta. Tepat saat Mama mau ngeluarin mobil dari garasi, sahabat baru Alex itu

muncul.
Tiba di sekolah, Mimi yang menyaksikan kejadian langka itu mengernyitkan kening. Belum lagi melihat penampilan baru temannya itu.
“Lo berangkat bareng Niken?” tanya Mimi nggak percaya. Alex mengangguk. “Ternyata rumah Niken sama rumah gue dekat,” Alex beralasan biar kerutan di kening Mimi hilang.
“Kalo gue boleh tau, apa sih salah Niken sama lo sampai dia minta maaf kemaren?” tanya Mimi heran.
“Dia dudukin bangku gue tanpa izin.”
“Hah? Hanya itu?!” Mimi makin heran.
“Alex, ayo!” ajak Leony sambil menarik tangan Alex biar jalan bareng tiga cewek itu. Alex pun nggak sempat lagi menjawab sederet pertanyaan Mimi selanjutnya. “Alex, tas lo baru ya? Sepatu lo juga?! Hei, lo potong

rambut ?!” tanya Mimi beruntun. Alex memang belum sempat cerita soal sahabat-sahabat barunya pada Mimi.
“Hai, Eric! Lihat, Alex jadi cantik kan?” Niken memamerkan Alex yang tampil baru ke depan Eric.
Mereka berempat menghampiri mobil cowok itu yang baru saja berhenti.
Eric keluar dari mobilnya dan tersenyum. “Dari pertama lihat gue tau kok Alex cantik,” kata Eric.
Tatapannya seolah bilang, Lex, ingat, persahabatan lo ini berkat gue.
“Tuh kan, lo nggak percaya sih,” kata Niken sambil merangkul bahu Alex. Benar-benar teman sejati banget. “Eh, eh, itu Kian!” kata Moniq mengalihkan perhatian. “Kian!” panggil cewek itu nyaring.
Kian baru saja memarkir motor birunya datang menghampiri mereka yang masih berada di dekat mobil Eric.
“Hai semua, pagi!” sapa Kian dengan senyumnya

yang ceria.
Wah, senyum Kian memang bagus, bikin dia kelihatan makin cakep, kata Alex dalam hati. Ini pertama kalinya dia melihat Kian tersenyum dari dekat. Semoga wajah gue nggak merah saat ini, gumam Alex dalam hati.
Senyum Kian tiba-tiba hilang begitu melihat (atau sadar) salah satu anak yang anak di depannya adalah Alex. Kening cowok itu langsung mengernyit aneh. “Ki, Alex kirim salam,” kata Niken yang langsung disikut Alex.
Kian langsung tertawa tertawa mencemooh.
“Hahaha, pagi-pagi lo udah becanda, Nik,” kata cowok itu sambil berlalu meninggalkan mereka.
Wajah Alex pasti benar-benar merah saat ini. Bukan karena ge-er, tapi karena panas melihat cowok yang memusuhinya itu. Padahal dia bela-belain berubah seperti ini demi cowok itu.
“Tenang, Lex, cowok kalo menghindar seerti itu

pertanda ada apa-apanya,” kata Niken menepuknepuk bahu Alex, ngasih spirit.
“Ada apa-apanya?” tanya Alex nggak ngerti.
“Dia suka sama lo, tapi nggak mau ngaku,” malah
Moniq yang jawab.
Kali ini Alex yang balas tertawa, biar nggak tengsin banget. “Hahaha, itu hal terlucu yang pernah gue dengar.” “Kayaknya kita harus ke kelas deh , bentar lagi bel,” kata Leony sambil mendahului jalan menuju kelas mereka. Pembahasan soal Kian pun berhenti.
Alex jalan paling belakang bersama Eric.
“Udah punya permintaan kedua, Lex?” tanya cowok itu pelan.
Alex yang masih kesal karena ditertawakan Kian nggak jawab apa-apa.
“Oke, pikirkan dulu baik-baik. Tapi sebaiknya cepat,
Lex, biar lo bisa lebih lama bersenang-senang,” Eric

mengingatkan.
Alex tetap diam. Saat ini dia memang kepikiran permintaan keduanya. Gimana kalo minta Kian jadi pacarnya? Tapi nggak ah. Kalo gue ingin dapatkan cinta, sebaiknya dari orang yang menyukai gue, bukan dari orang yang musuhin gue, kata Alex dalam hati. Sementara Alex sibuk memikirkan permintaan keduanya, anak-anak lain yang melihat Alex jalan bersama Niken cs malah mengernyitkan kening.
“Mi, itu Alex, kan?” tanya Rika, anak kelas Mimi yang nggak sengaja memperhatikan Alex.
Mimi yang ditanya diam saja. Dia sendiri juga bingung melihat sahabatnya yang tiba-tiba berubah.
“Sejak kapan Niken mau temanan sama anak aneh itu?” tanya Rika lagi.
Mimi bukannya menjawab, malah langsung ngeloyor pergi ke kelasnya. Biar gimana Alex kan temannya, masa dikatain aneh.

***
Alex belum menemukan permintaan keduanya, padahal sisa hidupnya sesuai perjanjian tinggal 24 hari lagi. Keasyikan main bersama tiga sahabat barunya seolah bikin dia lupa dirinya masih dua permintaan lagi.
Malam Minggu ini, Alex juga jalan bareng sahabatnya yang cantik-cantik itu. Kalau biasanya malam
Minggu Alex hanya mengurung diri di kamar dan menggambar sosok Kian, sekarang dia nongkrong di kafe bareng geng barunya. Alex nggak tahu kenapa tiga cewek cantik ini nggak ada satu pun yang punya pacar. Mungkin karena mereka bingung mau milih cowok mana yang harus dijadiin pacar.
Baru mereka duduk, tiga cowok kelas dua di SMA mereka langsung mendekati.
“Hai, cewek-cewek cantik. Nik, kenalin dong ama teman lo,” sapa salah seorang cowok sambil melirik ke Alex.
Alex tahu cowok itu wakil ketua OSIS. Tiap sekolah mereka bikin acara, tampang cowok itu selalu ada di

samping ketua OSIS. Tapi Alex nggak tau siapa namanya. “Ini teman sekelas gue,” kata Niken menjawab tatapan penasaran cowok itu.
“Anak SMA kita? Masa sih? Kok gue gak pernah lihat?” tanya cowok itu langsung heran.
“Ini Alexandra.”
“Alexandara?” Kelihatan banget si wakil ketua OSIS masih belum mengenali.
“Alex, yang sering bawa motor sport warna hijau itu lho. Satu-satunya cewek yang bawa motor seperti itu ke sekolah kita,” kata Leony memberi clue.
Wajah wakil ketua OSIS itu malah lebih heran daripada sebelumnya. Tapi seketika seulas senyum hadir di wajahnya.
“Lo kelihatan beda banget. Sumpah, gue nggak ngenalin,” kata cowok itu.
“Kayaknya Alex juga nggak ngenalin lo,” kata Leony

yang sepertinya bisa menebak isi pikiran Alex saat ini. “Tau kok,” bantah Alex cepat. Dia nggak mau kelihatan nggak gaul di sekolah. “Dia wakil ketua
OSIS.”
“Namanya?” tuntut Leony.
Alex diam, lalu tersipu malu.
“Nggak apa-apa kok, Lex. Nama gue Dimas, teman gue Putra dan Yogi,” kata cowok itu menyalami tangan Alex, begitu juga dengan Putra dan Yogi. Tiga cowok itu tampak biasa saja mengetahui perubahan
Alex. Malah mereka terlihat senang.
“Kami ikut duduk di sini, ya?” pinta Dimas. Tanpa menunggu jawaban, tiga cowok itu sudah duduk di meja mereka.
Teman ngobrol Alex yang semula tiga orang berubah menjadi enam orang. Niken, Moniq, dan Leony sepertinya sudah biasa ngobrol bareng cowokcowok kakak kelas mereka itu, sementara Alex nggak. Ngobrol sama cowok satu angkatan pun dia

nggak pernah. Paling cuma sama Elmo, itu juga sering nggak nyambung saking omongan cowok itu sulit dimengerti. Jadi sekarang kelihatan bangetlah kalau Alex merasa canggung.
“Motor lo mana, Lex? Kok kayaknya beberapa hari ini gue nggak pernah lihat?” tanya Dimas yang duduk persisi di sampingnya. Kursi kafe ini berupa bangku menyatu yang berbentuk huruf U atau setengah lingkaran. Kalau mereka duduk bertujuh, kebayang kan sempitnya? Niken, Moniq, dan Putra langsung memilih menambah meja. Tiga orang itu pindah meja.
“Di bengkel, rusak parah sehabis gue pakai. Minggu lalu gue kecelakaan.”
“Oh, gue malah baru denger. Tapi lo nggak apa-apa, kan?” kata cowok itu, terdengar ramah banget di telinga Alex. Kalo dia harus bikin chart, cowok in menempati tempat kedua sifat ramahnya setelah
Eric.
“Baik-baik aja kok.”
“Baguslah.”

Alex cuma mengangguk.
“Tapi lo benar-benar kelihatan beda deh,” kata
Dimas sambil sekali lagi menatap Alex.
“Lebih baik atau lebih buruk?” Alex mulai berani juga menanggapi.
“Lebih cantik. Cantik banget, malah,” kata Dimas tersenyum. “Thanks,” kata Alex sambil tersenyum sedetik melihat cowok itu. Seandainya Kian yang berkata seperti itu, Alex setengah memohon dalam hatinya.
“Lex, mau turun nggak?” tanya Dimas tiba-tiba, menghapus lamunan Alex.
“Turun?”
“Dance.”
Mendengar kata itu, Alex spontan menggeleng. Ya nggak mungkinlah Alex yang beberapa hari lalu masih seperti jagoan itu bisa nge-dance.

“Ayolah,” ajak Dimas sekali lagi.
Alex kembali menggeleng.
“Ayo dong, Lex, sekali-sekali juga.” Leony yang mendengar Dimas mengajak Alex ikut mendorongnya. Daripada dipaksa Leony terus, Alex mau juga berdiri dan menyambut uluran tangan Dimas. Musik yang diaminkan di kafe ini dari tadi memang terdengar smooth dan jazzy. Tipikal musik yang memang enak buat nge-dance.
“Gue nggak bisa nge-dance, nggak pernah,” kata Alex jujur. “Nggak apa-apa kok, Lex,” kata Dimas sambil menggenggam tangan Alex. “Lo cuma perlu berdiri di depan gue aja.”
Alex pun nurut. Ia berdiri di depan Dimas dan melihat cowok itu terus memperhatikannya. Kenapa bukan Kian yang speerti ini? Keluh Alex lagi dalam hatinya. “Lo punya pacar, Lex?” tanya Dimas setelah sekian lama menatapnya.
Alex agak kaget mendengar pertanyaan itu. Dia baru kenal Dimas beberap menit lalu, dan sekarang cowok itu langsung berani menanyakan hal-hal yang sifatnya pribadi. Mungkin karena statusnya di sekolah senior Alex.
“Nggak,” jawab Alex jujur banget.
Senyum dimas makin lebar. “Lo mau nggak kalo kita lebih sering ketemu?” tanya cowok itu.
“Kita kan satu sekolah, pasti sering ketemu.”
“Maksud gue bukan itu, Alex,” tegur Dimas. Cowok itu kayaknya nggak suka Alex bercanda saat ini.
“Gue... gue lagi suka seseorang.” Alex mengaku juga akhirnya. “Oh, ya? Siapa?”
“Rahasia.”

“Di mana dia sekarang?” tanya Dimas seolah menguji. Ini kan malam Minggu, seharusnya orang yang Alex taksir ada di dekatnya.
Alex mau bilang nggak tahu, tapi seketika matanya malah melihat Kian masuk ke kafe ini bersama beberapa anak basket sekolah mereka. Dia ada di sana, Alex ingin bilang begitu. Tapi nggak berani.
Kian yang nggak sengaja menoleh langsung kaget melihat Alex. Mata cowok itu lebih sinis daripada biasanya. Alex nggak tau apa makna tatapan cowok itu. Yang dia tahu, dia cepat-cepat melepaskan tangannya dari genggaman Dimas. Semua perubahan penampilan
Alex dilakukannya demi Kian, dan sekarang cowok itu malah menangkap basah Alex berduaan dengan
Dimas. Gawat!
Kian dengan sinis langsung pergi begitu saja dari kafe ini. Bahkan tanpa pamit pada gengnya yang kelihatan bingung melihatnya.
Sungguh sia-sia semua yang gue lakukan, keluh Alex

dalam hati. Semakin jauhlah usaha Alex untuk membuat Kian menyukainya.
***
Hari Minggu ini Alex kembali mengurung diri di kamar. Gengnya nggak bisa diajak jalan karena
Moniq ada acara keluarga. Jadi, kembalilah Alex ke kebiasaannya dulu. Melamun dan menggambar Kian.
Sudah berlembar-lembar gambar Alex hasilkan. Dia jadi mulai mempertimbangkan, gimana kalau permintaan keduanya Kian saja, habis, sudah susah payah Alex mengubah penampilan, cowok itu nggak juga meliriknya. Apa lagi setelah kejadian tadi malam. Pasti makin membuat Kian nggak tertarik padanya. “Alex, kamu udah siap-siap belum?” tegur Mama dari balik pintu.
Siap-siap apa sih? Tanya Alex dalam hati. Dia melihat jam di dinding, jam tiga sore. Ya ampun! Pasti Mama mau memaksanya ikut main boling sama Oom Iwan.
Ugh, satu masalah belum kelar, sudah ditambah masalah baru lagi.

“Ma, Alex nggak mau ikut,” kata Alex begitu membuka pintu kamarnya.
“Mau ngapain kamu sendirian di rumah?” Mama malah balik nanya.
“Alex capek, Ma, mau tidur,” Alex mencari alasan.
Habis kalau dia bilang terus terang alasannya nggak mau pergi, Mama pasti bakal ngomel panjangpendek.
“Mandi, ganti bajumu. Sebentar lagi Oom Iwan datang.” Suruh Mama tanpa memedulikan alasan
Alex.
“Alex nggak mau ikut, Ma,” tolak Alex sekali lagi.
“Cepat, Alex! Sekalian kita mau ke kos kakakmu,” kata Mama seolah-olah itu doktrin yang wajib dipatuhi. Alex dengan sangat terpaksa pergi ke kamar mandi.
Dia nggak mau ribut dengan mamanya saat ini.
Usianya tinggal 23 hari lagi, dia nggak mau Mama mengenangnya sebagai anak nakal. Bagaimanapun,
Alex sering berantem sama mamanya, tapi dalam

hati Alex sangat menyayanginya.
***
Pada Minggu sore ini, rumah Eric yang besar mendapat kunjungan seorang teman sekolahnya di bumi, teman pertama yang mampir ke rumah Eric.
Teman lainnya begitu menelepon mau datang, langsung dia tolak denagan berbagai alasan. Kalau sudah terlanjur datang seperti saat ini, otomatis dia harus berusaha agar teman itu jangan sampai masuk ke rumahnya.
Dia nggak mau anak-anak sekolahnya kebingungan melihat interior rumahnya yang serbanerah, hitam, dan dipenuhi barang mahal seperti emas dan perak.
Belum lagi nanti bakal ada pertanyaan soal orangtuanya, soal dengan siapa ia tinggal di rumah sebesar ini, dan lain sebagainya. Sulit bagi Eric menjawab semua itu, lama-lama nanti malah ketahuan dia bukan manusia.
“Hai, Ki, tumben lo ke sini,” sapa Eric begitu tahu siapa pengendara motor yang berhenti di depan gerbangnya. Kian.

“Gue cuma kebetulan lewat aja. Gue dari rumah
Niken, rumahnya dekat sini kok,” jelas Kian.
“Yang dekat dari sini kayaknya rumahnya Alex deh,”
Eric mengingatkan.
“Alex? Ngapain gue ke rumah cewek itu?” tanya Kian sambil tertawa kencang.
Eric sejenak bingung melihatnya. Rasanya nggak ada hal yang lucu, tapi kenapa teman buminya ini tertawa? “Gue cuma numpang istirahat sebentar. Capek banget. Gue habis keliling kompleks ini, panas banget ternyata,” kata Kian sambil membuka helm dan turun dari motornya.
Habis keliling kompleks ini? Tanya Eric heran dalam hati. Bukannya rumah Niken di kompleks sebelah?
Ngapain Kian malah keliling kompleks ini? Wah, teman buminya ini pasti merahasiakan sesuatu!
Kian duduk sebentar di batu pinggir gerbang rumah
Eric. Cowok itu kelihatan banget seperti punya masalah. Gerak-geriknya aneh. Duduk sebentar, lalu

berdiri lagi, dan melihat ke arah jalanan.
“Lo janjian sama seseorang, Ki?” tanya Eric.
“Nggak!” jawab cowok itu singkat, lalu kembali duduk lagi.
“Mau gue ambilin minum?”
“Nggak perlu... gue mau pergi aja deh,” kata Kian sambil kembali naik ke motornya dan pergi begitu saja dari rumah Eric.
Itu anak kenapa sih? Tanya Eric makin heran.
***
Alex baru saja selesai berpakaian saat mendengar
Mama berteriak lagi.
“Alex, lihat Oom Iwan bawa apa buat kamu!” kata
Mama, yang bikin Alex terpaksa turun meski dengan muka cemberut. Dia nggak suka banget melihat lakilaki yang akan mendampingi mamanya itu.
“Kamu kelihatan beda, Lexa. Potong rambut, ya?”

tegur Oom Iwan begitu melihat Alex.
Alex diam saja. Ia sama sekali nggak ada urusan dengan laki-laki itu. Dan tahu hadiah apa yang dibawanya buat Alex kali ini? Boneka lagi!
“Kita berangkat sekarang?!” tanya Oom Iwan seolah itu perintah. Coba ya, belum jadi suami mamanya saja, laki-laki itu sudah bersikap seolah dia kepala rumah tangga rumah ini.
“Ma, Alex...” Alex masih mencoba menolah pergi sekali lagi. Tapi mata Mama langsung melotot.
“Ngng... Alex taruh boneka ini dulu ke kamar terus ambil jaket dan Hp,” kata Alex terpaksa.
Tiba di kamarnya, Alex melempar boneka itu begitu saja ke atas tempat tidurnya dan mondar-mandir. Ia mau saja menyenangkan Mama, tapi ... ugh, pasti mengesalkan banget ikut sama laki-laki itu. Hidup gue tinggal 23 hari, kenapa masih saja gue ngalamin hal yang mengesalkan? Tidak! Tidak bisa!
Alex langsung meraih Hp-nya dan menelepon Eric.
“Eric, gue Alex!” teriak Alex saking antusiasnya.

“Iya, Alex! Nomor telepon lo udah gue simpen.”
“Gue punya permintaan kedua.”
“Apa?”
Alex menarik napas, berusaha menenangkan diri sesaat. “Gue mau Kian jadi pacar gue,” katanya pelan banget. Tawa Eric di seberang telepon langsung terdengar.
“Eric, gue serius,” tegur Alex.
“Tebakan gue terbukti benar, kan?” cowok devil itu masih tertawa.
Tiba-tiba Alex mendengar teriakan mamanya dari bawah. “Alex, kamu ngapain, sayang? Lama banget!”
“Ya, Ma, bentar!” Alex balas berteriak.
“Keinginan lo akan terwujud. Zettha...” Eric baru bicara segitu, Alex sudah mendengar Mama berteriak lebih keras.

“Iya, iya! Aduh, nggak sabaran amat sih!” gerutu
Alex. “Ric, udah ya, bye!” kata Alex, terpaksa menutup teleponnya.
Dia harus turun dulu, beralasan sama Mama supaya menunda waktu, atau lebih bagus lagi jika nggak jadi pergi. Biar Alex bisa menunggu permintaan keduanya terwujud. Jika sukses seperti permintaan pertamanya, alangkah bahagianya Alex.
Begitu alex turun, dia malah melihat wajah mamanya tersenyum usil menatapnya. Ada apa lagi ini? “Ada teman kamu di luar,” kata Mama sambil menunjuk pintu depan. “Pantas kamu nggak mau ikut Mama, ternyata ada janji lain, ya?” kata Mama menganalisis sendiri.
Alex bingung apa maksud ucapan mamanya. Untuk memastikan, dia berjalan ke pintu dan mengintip dari celah buat melihat siapa yang datang. Begitu melihat “teman” yang dimaksud Mama, dia langsung terkesiap kaget. Cepat banget mantra Eric bekerja!

Part 12
ALEX menarik napas berkali-kali buat menenangkan diri, tapi nggak bisa. Degup jantungnya tetap aja nggak karuan. Padahal Alex tahu kedatangan Kian ke rumahnya akibat “Sihir” Eric.
Mama dan Oom Iwan yang melihat sikap Alex malah tersenyum dan geleng-geleng. Daripada mendengar sindiran dua orang tua itu, Alex memberanikan diri membuka pintu depan.
“Hai,” sapa Alex. Saking groginya, suara Alex terdengar jelek banget. Lalu seketika dia ingat saran
Niken yang menyuruhnya tersenyum di depan Kian.
Alex pun berusaha memasang wajah tersenyum.
“Hai,” sapa Kian sama kakunya dengan Alex. Gimana nggak kaku, selama ini kalo ketemu mereka selalu menunjukkan sikap bermusuhan. Sekarang, meski di bawah pengaruh “sihir”, tetap aja nggak bisa langsung mesra seratus persen.

“Ada apa, Ki?” Alex memilih mengajak ngobrol duluan, daripada senyum-senyum garing.
“Nggak ada, gue cuma kebetulan lewat kok.”
“Oh...”
“...Nggak juga ding, gue memang sengaja nyari lo,” kata cowok itu, meralat ucapannya.
“Nyari gue?” tanya Alex memastikan. Sepertinya permintaan kedua Alex benar-benar mulai bekerja nih. Kian mengangguk. “Ada yang mau gue omongin ama lo.” “Mau masuk?” kata Alex sambil menunjuk pintu di belakangnya. Kayaknya nggak nyaman berdiri, lebih baik duduk biar lebih tenang membahas apa pun yang hendak dibicarakan Kian.
Kian menggeleng. “Gimana kalo kita pergi? Jalan, maksud gue. Lo mau?” Cowok itu kelihatan banget masih grogi.

Alex yang tahu semua ini karena “sihir” Eric, mengangguk yakin. Kian tampak lega melihatnya.
“Ntar, gue pamit sama Mama dulu,” kata Alex sambil kembali masuk ke rumah.
Begitu masuk, Alex menemukan mamanya dan Oom
Iwan berdiri persis di belakang pintu. Tapi Alex malas mengomentari sikap kedua orang yang pasti habis mengintipnya itu.
“Ma, Alex pergi sama teman Alex, ya?” pintanya.
Mama mengangguk.
“Alex pamit, Ma,” katanya sambil mencium tangan
Mama. Tapi begitu melihat Oom Iwan, Alex cuma bicara dengan suara terpaksa. “Alex pamit, Oom.”
“Hati-hati, dan jangan pulang kemalaman,” kata Oom
Iwan. Heran, laki-laki itu sudah bersikap seperti ayah Alex saja. Pede banget.
Cuma, karena saat ini Alex lagi senang, dia nggak mau mikirin sikap Oom Iwan itu. Dia kembali keluar rumah, menemui Kian dan pergi bareng cowok itu

naik motor.
Ini pasti akan menjadi hari terindah dalam hidup gue! Teriak Alex senang dalam hati.
***
Semula Alex dan Kian jalan di mal, tapi karena nggak ada tujuan membeli atau mencari sesuatu, cowok itu ngajak Alex nonton film. Nonton? Mendengar kata itu saja Alex sudah shock duluan. Berjalan di samping Kian saja dari tadi dia canggung, dan sekarang dia harus duduk di samping cowok itu dalam kegelapan bioskop?
Sepanjang film diputar, Alex nggak tahu jalan ceritanya. Pikirannya malah sibuk menebak-nebak kapan Kian nembak dia, gimana cara cowok itu nembak nanti, seperti apa rasanya pacaran, dan semua hal lain yang berhubungan dengan menjadi pacar Kian.
Alex menoleh ke sampingnya dan mendapati Kian sedang memperhatikannya! Lagi-lagi, meski tahu sikap Kian itu akibat “bantuan” Eric, Alex yang pada dasarnya memang jatuh cinta sama cowok itu,

langsung gelagapan, popcorn di tangannya tumpah begitu saja.
“Kenapa, Lex?” bisik Kian pelan di kuping Alex.
Alex nggak menjawab. Mendengar suara Kian sedekat itu, badannya langsung panas-dingin.
Sampai-sampai gelas plastik di tangannya terlepas, isinya tumpah ke bajunya.
“Kamu sakit?” tanya Kian sambil memeriksa lengan dan tangan Alex.
Alex menggeleng. Dia malah semakin nggak menentu dipegang Kian begini.
“Kita keluar aja yuk,” ajak Kian sambil menarik tangan Alex keluar dari studio.
Gue digandeng Kian! Pekik Alex kegirangan dalam hati. Dia pun sibuk mengendalikan emosinya agar jangan salah tingkah dan bertindak konyol lagi.
Setelah insiden di dalam bioskop itu, Kian mengajak
Alex makan di food court yang terdapat di dalam mal tersebut. Kalau tadi dalam kegelapan, sekarang Alex

berhadapan dengan Kian di bawah cahaya terang lampu. Cowok itu makan dan duduk persis di depan
Alex, sehingga Alex bisa memperhatikan dengan jelas seperti apa wajah cowok cakep yang akan segera jadi pacarnya ini. Hasilnya, Alex jadi semakin salah tingkah.
“Kenapa?” Kian mulai merasa aneh melihat sikap
Alex.
“Nggak...” Alex mencoba kembali menikmati makanan di depannya.
“Lex, gue boleh nanya?” tanya Kian tiba-tiba.
“Nanya apa?” Alex menatap cowok itu. Inilah saatnya mulai membahas soal cinta. Ehem.
“Lo merasa aneh nggak, tiba-tiba gue ajak jalan, nonton, dan makan kayak gini?”
Alex diam sesaat. Tentu saja kalau dipikir dengan logika semua ini aneh, tapi ini kan gara-gara...
“Nggak!” jawab Alex yakin.

“Nggak?” Kian langsung heran.
Alex langsung sadar dia salah bicara. “Nggak, maksud gue, gue nggak mau musuhan terus ama lo.
Jadi kalo lo baik, gue juga mau baik,” jelas Alex sewajarnya. Kian tersenyum. “Baguslah, gue tadi takut banget ngajak lo pergi. Ternyata lo nggak...”
“Apa? Seram, menakutkan, begitu?”
Kian kembali tersenyum. Alex senang sekali melihat pemandangan di depan matanya ini.
“Maafin gue. Tapi sekarang gue nggak akan berpikiran seperti itu lagi. Karena ternyata lo baik.”
“Thanks.”
“Gue boleh sering-sering ngajak lo pergi?” tanya
Kian lagi. Sebenarnya ucapan cowok itu masih jauh dari harapan Alex. Tapi mengingat proses terwujudnya permintaan pertama Alex sepertinya bertahap, berarti sekarang juga begitu. Ia masih harus bersabar menunggu kata cinta dari Kian.

Alex mengangguk. Kian lagi-lagi tersenyum.
Sebenarnya melihat senyum cowok itu sudah lebih dari cukup buat gue, bisik Alex dalam hati.
***
Sementara itu, Eric menghabiskan malam Minggu dengan duduk di teras belakang rumah dan menatap langit di atasnya. Tempat tinggalnya seharusnya di sana, di balik langit itu, di negeri kegelapan... atau mungkin juga di negeri putih.
Eric geleng-geleng. Dia nggak boleh memikirkan hal terakhir. Ibunya berasal dari tempat itu, dan sekarang ayahnya juga di sana. Apa keajaiban tempat itu sampai ayahnya memilih meninggalkan semua kemewahan, kekuasaan, dan segala kegelapan yang bisa dimilikinya?
Eric nggak tahu jawabannya. Dari kecil dia hidup sebagai setan dan nggak pernah mempermasalahkannya. Tapi belakangan ini, dia mulai mempertanyakan jati dirinya. Apakah dia setan atau malaikat?

Eric menurunkan pandangannya. Dia melihat ke depan kakinya. Ada bunga di sana. Di rumah buminya ini memang terdapat bunga yang sudah ditanam dari dulu oleh pemilik rumah sebelumnya.
Matanya tertegun melihat bunga itu. Ada cerita tentang bunga yang dimilikinya...
“Berapa lama lagi kita harus di sini?” tanya Slash yang tiba-tiba muncul.
Eric yang hendak menyentuh bunga di depannya segera mengurungkan niatnya. “Dua puluh tiga hari lagi,” jawabnya sambil mengalihkan pandangan.
“Lama sekali waktu berjalan,” omel Slash seperti biasa. “Mungkin,” jawab Eric.
“Mana Alex? Dia nggak ngajuin permintaan lagi?”
“Udah. Tadi dia nelepon gue, tapi terus keputus. Dari tadi gue tungguin dia nggak nelepon balik. Mungkin dia lupa saking sibuk mendengar omelan mamanya,” jelas Eric yang memang sempat mendengar teriakan

mama Alex di telepon tadi.
“Gue lihat Alex itu bukan sosok istimewa, hidupnya juga nggak menyenangkan. Sepertinya dia memang ingin mati. Tapi kenapa Dewan menjadikan dia bahan studi kasus?” tanya Slash heran. “Kayaknya semua ini terlalu mudah.”
“Gue juga merasa begitu. Mungkin soal ujian gue sengaja dibuat mudah buat mastiin gue tetap jadi putra mahkota dan raja kegelapan berikutnya!” kata
Eric bangga sambil tertawa.
Slash malah mengernyitkan kening melihat Eric.
“Jangan terlalu yakin, feeling gue pasti ada hal-hal yang akan menjebak lo,” Slash memperingatkan.
Tawa Eric langsung terhenti. Sekarang gantian Slash yang tertawa.
“Kenapa lo tertawa?” tanya Eric heran.
“Kita kan setan, dan setan senang kegelapan, termasuk jika temannya gagal,” kata sahabat Eric itu sambil kembali ke dalam rumah.

Eric terdiam. Sudah dua kali dia mendengar Slash berkata seperti itu, benarkah dia nggak bisa lulus ujian ini?
***
Entah Eric nanti lulus ujian atau nggak, cewek berusia lima belas tahun yang menjadi subjek studi kasusnya tengah berbunga-bunga. Alex diantar Kian pulang jam dlapan malam. Meski sudah mengantar
Alex sampai ke depan pintu, cowok itu belum juga beranjak pergi.
“Lex, gue boleh ngomong sesuatu nggak ama lo?” tanya Kian.
“Boleh,” jawab Alex sambil tersenyum. Ini saat-saat yang ia tunggu dari tadi. “Mau ngomong apa, Ki?” tanyanya balik.
“Nggak, gue... gue...” Kian malah tampak kesulitan mau mengucapkan sesuatu.
Alex yang berdiri di depan cowok itu tetap tenangtenang menunggu.

Kian menatap Alex lama-lama. “...Gue suka ama lo,” kata Kian akhirnya.
Alex langsung terdiam. Dia terpana menatap cowok itu. Meski ia tahu semua ini terjadi karena Eric tapi tetap saja Alex “melayang” waktu mendengar Kian mengucapkan kalimat itu.
“Lex...,” tegur Kian karena Alex kelamaan diam.
“Eh, iya. Sori,” kata Alex cepat menghapus lamunannya. “Lo marah ya, gue bilang begitu?” tanya Kian takuttakut.
Alex cepat menggeleng.
“Bukan begitu, tapi... gue agak kaget mendengarnya,” kata Alex beralasan.
Kini gantian Kian yang terdiam. Cowok itu kembali tampak kesulitan berkata-kata.
“Benar lo suka sama gue?” tanya Alex memastikan.

Kian mengangguk.
“Kenapa? Bukannya selama ini kita nggak pernah baikan? Tiap ketemu lo selalu sinis, begitu juga gue.
Kita baru berdamai hari ini dan lo langsung bilang suka ama gue?” tanya Alex iseng, ingin tau apa alasan Kian nembak dia. Meski Alex tau, semua ini berkat Eric, tetap saja dia ingin mendengar alasan cowok itu.
“Gue... gue juga nggak tau kenapa, gue nekat bilang soal itu saat ini,” kata Kian kebingungan.
Tentu aja lo bingung, semua ini kan karena Eric, desis Alex dalam hati. Sepertinya Alex nggak bakal tahu apa alasan Kian nembak dirinya.
“Mungkin ucapan gue salah ya, Lex. Seharusnya kita temanan dulu, baru bicara soal suka. Rencana gue sih tadi cuma mau baikan, tapi...”
“Nggak apa-apa kok, Ki,” potong Alex cepat. Dia kasihan juga lihat cowok itu kebingungan.
“Nggak apa-apa?” tanya Kian heran.

Alex mengangguk.
“Maksud lo, lo nerima gue?” tanya Kian nggak percaya. Alex mengangguk lagi.
“Lo mau jadi pacar gue?” tanya Kian masih nggak percaya. Alex lagi-lagi mengangguk. Barulah Kian percaya...
“Thanks, Lex,” kata Kian sambil menggenggam kedua tangan Alex. Nggak hanya itu, cowok itu lalu mencium kening Alex.
Mau semua ini terjadi karena Eric ataupun tidak, tetap aja perasaan Alex nggak terlukiskan saking senangnya. Kian masih menggenggam tangan Alex dan nggak berhenti menatapnya. Cowok itu juga terlihat senang sekali. “Gue pulang ya?” pamit Kian akhirnya.

“Hati-hati,” kata Alex manis banget, tersenyumsenyum konyol. Membuat Kian yang mau melangkah nggak jadi beranjak. “Sudah malam, Ki.”
Kian tersenyum, cowok itu mau juga melepaskan tangan Alex. Kian lalu melangkah menuju motornya, melambai ke arah Alex, baru kemudian benar-benar pergi dari rumah cewek yang baru jadi pacarnya itu.

Part 13
DI dalam mobil, dalam perjalanan menuju SMA
Harapan, Eric bernyanyi keras mengikuti lirik lagu
Korn yang disetelnya di tape mobil. Sementara Eric terlihat ceria, lain halnya dengan Slash yang berwujud kucing hitam.
“Dua puluh dua hari lagi,” gerutu kucing itu bete.
Slash masih saja ngomel soal keberadaannya di bumi. “Kita baru delapan hari di bumi,” ingat Eric. Setan cakep itu terus saja bernyanyi.

“Lo kayaknya senang banget di bumi. Bahkan lo juga suka sekolah itu, sampai tiap hari rajin masuk. Di langit lo malah bolos melulu,” sindir Slash.
“Di langit yang diangap cool itu tukan bolos. Di bumi yang dianggap cool itu yang rajin sekolah hehehe.”
Slash mencibir.
Tiba-tiba lagu Korn di speaker mobil berganti dengan suara besar laki-laki yang mereka hafal banget. Suara Raja Sawa, kakek Eric.
“Bagaimana ujianmu?” tanya Raja Sawa pada calon pewaris kerajaannya. Dia ingin tahu kelanjutan ujian
Eric. Karena dia raja kegelapan, dia bisa memakai cara yang nggak lazim buat “menelepon” cucunya.
Masuk ke suara tape, radio, atau apa saja yang bisa didengar kuping manusia.
“Beres, Raja. Tinggal nunggu manusia itu melengkapi tiga permintaannya,” jelas Eric bangga. Raja Sawa memang kakeknya, tapi karena beliau seorang raja,
Eric tetap tidak boleh memanggilnya kake.

“Kamu menggunakan cara pertama?”
“Yap!”
“Sudah baca semua peraturannya?”
Eric diam sesaat. “Sudah,” katanya bohong.
Slash yang berada di sampingnya langsung menoleh curiga. “Semua beres?” Raja Sawa masih memastikan nasib ujian Eric.
“Saya akan segera kembali ke istana, Raja,” kata Eric yakin. “Baiklan kalau begitu. Teruskan ujianmu,” titah Raja
Sawa.
Setelah itu pembicaraan “telepon” pun putus. Lagulagu Korn kembali terdengar di audio mobil. Slash memunculkan buku ujian Eric ke depannya dan buru-buru membalik halamannya.
“Lo ngapain sih?” tegur Eric heran melihat Slash.

“Baca kontrak ini sejelas-jelasnya! Jangan-jangan lo dijebak,” kata Slash kuatir.
“Eh, kalo ada yang bakal dirugikan itu pasti pihak kedua, bukan pihak pertama. Lo pernah lihat kontrak nggak sih? Pihak pertama itu yang bikin kontrak, nggak mungkin dia mau dirugikan,” jelas
Eric logis.
Tapi Slash sepertinya nggak memahami ucapan Eric.
Kucing hitam itu terus saja membaca dan membolak-balik halaman buku tebal itu.
“Tebalnya 9999 halaman. Kayaknya kita udah keburu pulang dulu baru selesai baca semuanya,” sindir Eric.
Slash nggak peduli. Dia terus membaca buku tebal yang berisi soal ujian Eric, riwayat hidup Alex, dan ribuan peraturan di dalamnya.
***
Seperti biasa sejak permintaan pertamanya dikabulkan, Alex berangkat sekolah bareng gengnya.

Sepanjang jalan dia heboh banget bercerita soal dia jadian sama Kian.
“Masa sih?” tanya Niken nggak percaya. “Oh, jadi dia ke rumah gue kemaren nanya alamat lo itu memang niat mau nembak lo?! Hahaha Kian itu gila juga.”
Tawa gembira Niken dan dua teman Alex lainnya kompak terdengar.
Alex terdiam sesaat. Kenapa Kian ke rumah Niken dulu? Memangnya sihir Eric nggak bisa menunjukkan alamat sekalian? Ah, nggak usah dipikirin, yang penting hasilnya sama.
“Benar kan gue bilang, cowok kalo menghindar tibatiba itu tanda ada apa-apanya,” kata Niken, mengingatkan ucapannya waktu Kian langsung kabur begitu dibilang Alex kirim salam.
“Eh, eh, gue penasaran nih. Gimana cara Kian nembak lo?” tanya Leony iseng.
“Dia bilang suka sama gue.”
“Trus...?”

“Dia nanya apa kita jadian? Apa gue nerima dia? Dan gue mengangguk aja,” jawab Alex.
“Cuma itu? Ah, nggak romantis,” tuduh Leony.
“Dia genggam tangan gue nyium kening gue,” tambah Alex lagi.
“Trus? Dia ngapain lagi abis itu?” Masih Leony yang paling jail pagi ini.
“Eh, Alex itu baru jadian, jangan ngajarin yang nggak-nggak lo,” tegur Moniq yang duduk di bangku belakang sama Leony. Cewek jail itu pun langsung kena jitakan Moniq.
“Gue kan cuma pengin tau,” protes Leony. Moniq mendelik. “Iya deh, iya deh. Yang pasti ini harus kita rayakan.
Pulang sekolah kita makan-makan ya, Lex?” pinta
Leony lagi.
Alex mengangguk.
“Asyik!” teriak Leony.

Semua teman Alex terlihat senang dengan berita jadiannya Alex dengan Kian. Tapi yang paling bahagia tentu saja Alex sendiri.
Gue punya geng cewek paling oke di sekolah, dan sekarang punya pacar cowok cakep an populer di sekolah. Bahagianya menjadi alexandra Alfarez saat ini. Nggak sia-sia gue menukar nyawa demi merasakan semua ini, kata Alex bangga dalam hatinya. Mobil Niken pagi ini tiba di sekolah bertepatan dengan bel jam pelajaran pertama berbunyi.
Keasyikan ngobrol, Niken menyetir mobilnya lebih lambat daripada biasanya. Hasilnya Alex dan tiga temannya harus setengah berlari menuju kelas.
Untung mereka tiba lebih dulu dibanding Bu Alika yang ngajar Kimia, jadi nggak diusir. Peraturan di
SMA Harapan memang cukup ketat, nggak boleh terlambat, satu menit sekalipun. Mereka berempat boleh bernapas lega.
***
Meski sudah mulai senang bersekolah, Alex tetap

saja nggak tertarik untuk menyimak pelajaran di depan kelas. Dalam pikirannya, belajar sudah nggak penting lagi. Nggak ada gunanya, karena toh dalam
22 hari lagi dia akan mati.
Alex suka sekolah cuma karena bisa ketemu gengnya dan sekarang ditambah bisa ketemu pacarnya.
Makanya, saat yang paling ditunggunya adalah jam istirahat. Baru saja bel istirahat berbunyi, Alex langusng keluar kelas. Niatnya mau langsung ke kelas 1-1, kelasnya Kian. Namun belum sampai ke sana, langkah Alex dicegat Mimi.
“Hai, Mi, ada apa?”
“Gue dengar gosip, katanya lo jadian sama Kian.
Benar, Lex?” tanya cewek itu dengan kening berkerut. Alex mengangguk dan tersenyum senang. Kerutan di kening Mimi malah bertambah banyak.
“Lex, Kian itu musuh lo, kok dia bisa jadi pacar lo?
Bukannya kalian selalu berantem? Kalian...”

“Alex, ada Kian tuh di depan perpus!” kata Moniq yang tiba-tiba muncul.
Alex nggak sempat menjawab pertanyaan Mimi karena Moniq sudah keburu menarik tangannya menuju ruang perpustakaan.
“Lex, ntar sore lo di rumah nggak? Elmo minggu depan ultah, kita cari kado ya?!” teriak Mimi yang sempat Alex dengar.
Tapi karena Alex sudah keburu melihat Kian, otaknya lupa memproses ucapan Mimi itu. Dan sorenya, saat Alex jalan-jalan dan makan di kafe bersama geng dan pacar baru-nya, tanpa sepengetahuan Alex, Mimi menunggu dan menunggu di depan rumah Alex. Dari matahari ada sampai matahari tenggelam.
***
Hari terus berganti, Alex sekarang berubah jadi cewek gaul yang supersibuk. Sibuk jalan-jalan, makan di tempat mahal, ke salon, beli baju bermerek, parfum, dan berbagai peralatan make-up.

Berkat gengnya yang pernah jadi model, Alex disulap dari cewek dekil jadi cewek yang care banget dama penampilan. Lemarinya yang dulu sepi, sekarang nyaris nggak bisa ditutup saking penuhnya dengan baju yang rata-rata cuma sekali pakai itu. Meja riasnya yang semula kosong, sekarang udah nggak cukup lagi buat memajang kosmetiknya. Tapi Alex tetap saja menghamburkan uang buat beli barangbarang. Kalo dulu kata Moniq penampilan cantik itu buat bikin cowok-cowok melirik Alex, sekarang setelah punya pacar, Alex berdandan demi Kian.
Sementara itu, anak-anak di SMA Harapan makin sering ngegosipin perubahan Alex. Dulu Alex itu anak motor dekil, pendiam, dan terkesan menakutkan. Sekarang jadi cewek cantik, gabung sama geng populer, punya cowok cakep, dan sepertinya jadi sombong.
“Gue tahu Alex aneh, tapi kenapa sekarang gue merasa dia lebih aneh lagi ya?” kata suara seorang cewek. Mimi yang sedang di dalam bilik toilet nggak sengaja mendengar pembicaraan Putri dan Asri, teman sekelas Alex.

“Ya sih, Put. Masa Niken yang sombong itu bisa begitu aja jadi teman Alex. Kian yang cakep itu tibatiba jadi pacar Alex. Aneh, kan?” kata Asri.
“Gue pernah nanya sama Niken. Nik, tumben lo tibatiba dekat sama Alex. Tau apa jawabannya? Dengan polosnya Niken malah bilang, emang kenapa?
Seolah-olah wajar banget Alex jadi temannya. Aneh, kan?” cetus Putri lagi.
Mimi termangu di dalam biliknya. Ternyata banyak anak di sekolah yang merasa sahabatnya berubah.
Kirain cuma dia dan Elmo aja yang merasa begitu.
“Lo pernah nanya nggak sama Alex?” tanya Putri.
Mimi terus menguping pembicaraan dua cewek itu.
“Alex? Jujur nih, gue takut sama Alex. Tapi karena gue panasaran, gue nekat nanya. Jawaban Alex, bukan urusan lo! Ternyata Alex memang sombong dan menakutkan.”
“Setau gue sih dulu Alex nggak sombong. Belakangan ini aja belagu. Lo perhatiin deh, Alex berubah sejak

ada anak baru di kelas kita.”
“Anak baru? Si Eric? Apa hubungannya?”
“Eric itu kan cakep, keren, tajir, dan dia kayaknya lumayan akrab sama Alex karena rumah mereka tetanggaan. Berkat Eric pergaulan Alex terangkat,”
Putri bikin kesimpulan sendiri.
“Mungkin saja. Tapi nggak mungkinlah cuma garagara itu. Pasti ada penyebab lainnya,” kata Asri nggak terlalu setuju.
Mereka meneruskan pembicaraan sambil berjalan keluar toilet. Mimi yang menguping pembicaraan mereka jadi nggak mendengar kelanjutan gosip dua cewek itu. Ia geleng-geleng sendiri. Ia juga nggak ngerti apa penyebab perubahan Alex.
***
Anak-anak di sekolah mau ngegosip apa pun tentang dirinya, Alex nggak peduli. Dia tetap menjalani hidupnya yang menyenangkan, sesuai permintaannya. Siang ini, seperti biasa Alex dan gengnya jalan-jalan ke mal. Mereka berhenti di counter pakaian olahraga. “Lex, sepatu kuning ini lucu lho,” kata Niken menunjukkan sepasang sneaker berwarna kuning.
“Kemaren gue udah beli yang warna birunya,” kata
Alex.
“Warna biru itu terlalu standar, biasa. Kuning kayak gini lebih istimewa, pasti nggak ada yang pake,”
Moniq ikutan memberi saran.
Alex melihat ukuran sepatu itu sesuai dengan ukuran kakinya. Tanpa pikir panjang, dia mengambil sepatu itu dan mengeluarkan kartu kreditnya. Dia memang punya kartu kredit tambahan dari mamanya. Selama ini kartu tersebut nyaris nggak pernah Alex pakai, sekarang tiap pergi bareng gengnya kartu itu selalu digesek.
“Lex, capuchon ini lucu lho. Lo kan sering pakai jaket bertudung ini,” tunjuk Leony saat menemukan jaket warna merah.

“Gue udah punya, persis warna itu.”
“Ya, yang dekil, yang sering lo pake naik motor dulu itu, kan?” kata Leony, mengingatkan fisik jaket yang
Alex maksud.
Alex mengangguk.
“Plis deh, Lex, itu kan udah dekil banget. Lagian sekarang kan lo nggak bawa motor sendiri, tinggal ngebonceng Kian. Pake jaket rada bagusan nggak ada salahnya, kali, buat kencan sama pacar,” ledek
Leony.
Alex manggut-manggut, dan tanpa pikir panjang langsung mengambil jaket merah itu dan kembali menggesekkan kartu kreditnya.
***
Sehabis belanja “wajib” itu, Alex diantar gengnya pulang. Dia sengaja pulang lebih cepat karena punya janji sama Kian.
Hubungan Alex sama mantan “musuhnya” ini baikbaik saja. Lebih baik daripada yang Alex perkirakan.

Kian juga sudah ngenalin Alex ke Lala, cewek yang pernah Alex sangka pacarnya Kian. Ternyata dua orang itu benar-benar murni sahabatan. Cinta Kian, berkat “sihir Eric”, hanya buat Alex.
Malam ini sehabis mereka makan, Kian mengajak
Alex jalan-jalan. Lau tiba di suatu tempat, cowok itu menghentikan motornya. Tempat ini di pinggir jalan, tapi sudah di luar kota. Suasananya sepi dan tenang.
Di kejauhan tampak kerlip lampu kota, dan di atas mereka tampak bintang bertaburan di langit luas.
Benar-benar indah.
Alex duduk di rumput supaya bisa menyaksikan bintang-bintang itu dengan lebih nyaman.
“Lex, lo punya bintang favorit nggak?” tanya Kian sambil duduk di sebelah Alex dan ikut melihat ke langit. “Nggak, kenapa?”
“Gue punya,” kata Kian, membuat Alex menoleh padanya. “Yang mana?” tanya Alex.

“Itu!” kata Kian, menunjuk salah satu bintang yang terlihat paling terang di langit utara.
“Cahayanya terang banget,” komentar Alex.
“Ya, gue suka ngeliat bintang itu dari gue kecil, dan sampai sekarang gue masih tetep suka ngeliatnya.
Kayaknya sampai seribu tahun lagi juga dia tetep ada di sana,” jelas cowok itu.
“Bintang itu abadi, ya?”
“Ya.”
“Seperti cinta...” desis Alex pelan sambil masih menengadah ke langit. Terbayang olehnya sebentar lagi dia akan mati. Dia tidak abadi.
“Ya, seperti cinta,” kata Kian menegaskan.
Lalu Alex merasa Kian meraih dan menggenggam tangannya. Alex diam saja. Sesaat dia berpikir, dirinya nekat menukar nyawa salah satunya demi mendapatkan cinta Kian. Meski cuma sesaat sebelum dia akhirnya mati, Alex nggak ingin

cintanya ikut mati.
“Kalo itu bintang lo, Ki, berarti di sebelahnya bintang gue,” kata Alex. Ia tidak sadar telah mengucapkannya dengan getir karena mengingat hanya di sana cintanya akan hidup, untuk seribu tahun lagi, dan untuk selamanya.
Ucapan Alex membuat Kian menggenggam tangannya lebih erat. Alex menoleh, melihat Kian menatapnya tanpa henti.
“Lex, gue sayang ama lo,” kata Kian sambil menyentuh wajah Alex.
Alex mengangguk. “Gue juga,” katanya. Nggak berapa lama kemudian mereka pun berciuman.
Alex memang sayang sekali pada Kian. Dan apa yang terjadi di malam ini, menurut Alex adalah hal terindah yang pernah dimilikinya. Nggak sia-sia dia menandatangani kontrak kematiannya.
***
Jika Alex bahagia dengan hidup yang didapatnya dari

kontrak kematian dengan setan bernama Eric, dua temannya yang dulu sama sekali nggak bahagia dengan perubahan Alex. Elmo merayakan ulang tahunnya hanya berdua Mimi. Mereka makan di restoran cepat saji, tanpa keceriaan apa pun. Sebuah kotak kado tergeletak membisu di depan mereka, seolah nggak ada perayaan apa pun.
“Alex mana sih?” gerutu Elmo sambil melihat arlojinya. Jam delapan malam. “Padahal gue udah
SMS dia dari tadi siang,” keluh Elmo.
“Mungkin Alex ada urusan lain yang lebih penting,” kata Mimi, mencoba mencari-cari alasan biar temannya nggak terlalu sedih. “Yang penting kan
Alex ingat lo ultah dan dia udah nitip kado,” kata
Mimi sambil menunjukkan kotak kado berisi jaket di depan mereka.
“Ini bukan dari Alex.” Elmo langsung menggeleng.
“Jaket ini lo sendiri kan yang ngasih?” tebak Elmo yakin. Mimi diam saja.
“Alex lupa ulang tahun gue,” kata Elmo pelan.

Mimi bingung harus berkomentar apa. “Mungkin
Alex sibuk...”
“Sama cewek-cewek gaul itu dan pacarnya,” keluh
Elmo lagi.
“Mungkin...” ujar Mimi.
“Lo merasa nggak sih, Alex makin lama makin aneh?” tanya Elmo tiba-tiba.
Mimi mengangguk. “Alex tiba-tiba bisa temanan sama Niken cs, cewek-cewek yang sebelumnya negur Alex aja malas.”
“Alex juga pacaran sama cowok yang dari dulu selalu berantem sama dia,” tambah Elmo.
Mimi mengangguk. “Menurut lo kenapa Alex aneh begitu?” tanyanya. Biasanya Elmo yang jenius selalu punya teori atau hipotesis sendiri.
Tapi kali ini Elmo pun menggeleng.
“Gue juga nggak tahu harus berpikir apa soal

perubahan Alex yang tiba-tiba ini. Gue bilang Alex aneh, tapi Niken cs lebih aneh lagi kan, tiba-tiba mau temanan sama Alex? Lo tau nggak, anak-anak di sekolah banyak yang heran dan nanya-nanya sama geng itu. Kenapa Niken cs temanan sama Aelx?
Ditanya ke Alex, jawabannya bukan urusan lo!
Ditanya ke Niken cs, jawabannya emang kenapa?
Aneh, kan? Seolah-olah ada mantra yang bikin mereka jadi temanan,” kata Mimi panjang-lebar.
“Termasuk soal Kian?” tanya Elmo.
“Oh, kalo soal itu gue nggak ngerti. Banyak orang yang musuhan dan berantem melulu, lalu besoknya pacaran. Soal cinta sih nggak bisa diprediksi,” kata
Mimi, menolah menyamakan kisah cinta Alex dengan pertemanan Alex dan Niken cs.
“Tapi tetap saja aneh, kan?” kata Elmo lagi.
Mimi mengangguk juga. Lalu mereka berdua terdiam, tetap nggak mengerti apa penyebab keanehan yang terjadi pada diri Alex.
“Gue rasa cuma Alex yang tau misteri yang ada di balik semua ini,” Elmo menyimpulkan.

“Gimana kalo kita tanya aja langsung sama Alex...?” tanya Mimi ragu. Ketemu Alex aja sulit, apalagi bicara. SMS-nya nggak pernah dibalas, ucapannya nggak pernah didengarin Alex lagi. Alex itu memang lupa atau memang sengaja menganggap gue dan
Elmo nggak penting lagi sih? Tuduh Mimi dalm hati.
“Ya, kita harus tanya pada Alex!” akhirnya Elmo memutuskan. Mimi terpaksa setuju.
***
Tapi berbicara dengan Alex saat ini sangatlah sulit.
Pagi hari Mimi dan Elmo menunggu di depan koridor sekolah untuk mencegat Alex. Tapi nggak berhasil. “Sori, gue harus ke toilet dulu buat ngerapiin rambut gue,” kata Alex sambil mengejar Niken cs yang sudah jalan duluan.
Jam istirahat, Mimi dan Elmo mencari Alex. Tapi Alex malah main basket sama Kian di lapangan sekolah.

Bagaimana bisa diajak bicara?
Pulang sekolah, saat Mimi dan Elmo mencegat Alex lagi... “Sori, guys, gue harus pulang sama Niken. Ntar gue ditinggalin. Bye!” hanya itu ucapan Alex.
Mimi dan Elmo geleng-geleng melihat kelakuan teman mereka itu.
“Gimana kalau kita datangin rumahnya aja?” tanya
Elmo.
“Alex nggak pernah di rumah. Waktu gue ngajak dia nyari kado buat lo, gue udah nunggu di rumahnya dari siang, sore, sampai malam, dan dia belom pulang juga. Mamanya bilang biasanya dia kalo main sama Niken cs memang bisa sampai malam. Apalagi sekarang juga sudah ada Kian,” kata Mimi.
“Kenapa Alex segitu sibuknya sampai dia seolah-olah nggak akan punya waktu lagi buat kita?” desisi Elmo nggak percaya.
Mimi mengangkat bahu.

Part 14
MALAMNYA Alex tiba di rumah jam delapan. Dia baru pulang jalan-jalan bareng gengnya. Saat Alex masuk, tampak Mama sudah menunggunya di ruang tamu dengan kedua tangan dilipat. Pertanda akan ada badai kemarahan.
“Ini semua kamu yang beli?” Mama menunjuk setumpu kertas tagihan di atas meja.
Alex mengangguk. Bahkan saat ini pun dua tangannya menenteng kantong belanjaan dari mal.
Ini hampir sama dengan gaji Mama sebulan, Lex!” seru Mama sambil mencengkeram lalu melempar kertas-kertas tagihan itu.
Alex diam saja. Dalam hati dia berkilah, cuma sebulan ini aja gaji Mama habis, sesudah itu nggak akan pernah ada lagi biaya sesen pun buat seorang
Alex.

“Kamu pikir cari duit itu gampang?!” bentak Mama lagi. Alex yang tahu kesalahannya, cuma diam dan menunduk. Tiba-tiba dia mendengar suara Oom Iwan. “Sst, Wi, udah,” kata laki-laki itu membujuk Mama biar nggak terlalu emosi.
Alex yang tadinya menunduk penuh sesal, langsung kesal mendengar suara laki-laki itu. Kayaknya makin lama Oom Iwan makin sering saja datang ke rumahnya. “Tidak, Alex harus dinasehati! Kalo nggak, akan semakin banyak ulahnya. Dulu kebut-kebutan naik mtor, sekarang menghabiskan uang buat hura-hura yang nggak perlu. Selalu aja cari masalah!” omel
Mama bertubi-tubi.
“Sudah, Wi, biar aku aja yang bicara. Kamu ke belakang aja dulu. Sudah, nggak baik marah-marah terus. Marah-marah nggak bakal nyelesein masalah,” bujuk Oom Iwan sambil membawa Mama pergi dari depan Alex.

Setelah mengantar Mama duduk di ruang tengah, laki-laki itu balik lagi ke depan Alex.
“Alexa, mama kamu sudah capek kerja untuk hidup kamu dan Rian. Kalo bisa jangan bikin masalah, Nak, kasihan mamamu,” kata Oom Iwan.
Seolah-olah dirinya laki-laki paling hebat yang bisa ngatasin masalah apa saja. Pakai manggli-manggil
“Nak” segala, memangnya dia pikir dia siapa, cemooh Alex dalam hati.
“Mama bukan melarang kamu belanja, beli baju, makan, dan sebagainya,” kata Oom Iwan sambil melihat satu per satu kertas tagihan itu. “Boleh belanja, tapi harus mikir, sesuatu itu kamu perlukan atau tidak.”
“Ya tentu aja perlu!” jawab Alex ketus.
“Alexa, maksud Oom, pengeluaran kamu perlu diatur, belilah yang kamu rasa penting. Bukan menghambur-hamburkan uang seperti ini."
Alex mengempaskan tas dan kantong belanjaan di tangannya. Emosinya seketika pecah. Nada

bicaranya pun meninggi. “Oom, Oom Iwan bukan ayah saja, jangan sok menasihati deh. Saya mau belanja kek, mau makan kek, suka-suka saya. Kalo
Mama nggak mau saya pakai uangnya, terserah! Tapi jangan Oom yang belagak bijaksana sok menasihati segala. Saya nggak suka lihat Oom Iwan ada di rumah ini!” seru Alex marah. Kekesalannya pada laki-laki yang merupakan teman dekat ibunya ini mencapai puncak.
Alex langusng berjalan menuju pintu keluar.
“Alexa, kamu mau ke mana?” tanya Oom Iwan, tetap dengan suara baik-baik.
“Pergi! Saya nggak akan pulang kalo Oom Iwan masih di sini. Dan satu lagi, jangan pernah memanggil saya dengan nama Alexa lagi. Saya benci nama itu!” kata Alex sambil berjalan keluar rumah dan membanting pintu di belakangnya.
***
Alex menyusuri jalanan kompleks rumahnya tanpa tujuan. Dia kesal, dan kakinya melangkah sambil menendangi apa pun yang ditemukannya di jalan.

Kenapa sih hidup gue yang tinggal beberapa hari lagi harus dirusak oleh hal menyebalkan seperti ini?
Gerutunya dalam hati.
“Hei, gue kan masih punya satu permintaan lagi!”
Alex mendadak ingat. Kakinya pun segera melangkah ke perumahan di blok depan. Rumah
Eric. Rumah itu gampang ditemukan, soalnya dia ingat dulu pernah jatuh naik motor persis di depan rumah itu.
Alex memencet bel di pagar rumah itu berkali-kali.
Eric keluar dan menyambutnya ramah.
“Hai, Alex! Ada apa? Tumben lo ke sini.”
“Nggak boleh?” sergah Alex yang masih kesal dengan ketus. “Ya tentu aja boleh. Ayo masuk,” ajak Eric sambil membuka pintu pagar dan mempersilakan Alex jalan duluan. “Jangan kaget lihat rumah gue ya,” kata Eric memperingatkan saat Alex beranjak masuk ke rumah. Namun Alex yang baru kali ini datang ke rumah Eric,

tetap saja kaget melihat paduan warna di rumah itu yang menyilaukan mata. Jauh sekali perbedaannya dengan penampilan luarnya.
“Gue ini setan, Lex, seperti inilah yang nyaman buat gue,” kata Eric tanpa ditanya Alex. Cowok itu seperti biasa tahu apa isi pikiran Alex.
Sejenak Alex mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah. Memang aneh untuk tempat hunian, kayaknya jadi museum lebih cocok. Wah, Mama kalo ke sini bisa-bisa langsung merombak habis semuanya, kata Alex dalam hati saat mengingat pekerjaan mamanya.
“Lo mau ngapain, Lex?” tanya Eric lagi.
Baru saja Alex hendak menjawab, matanya malah tertegun melihat ke pinggir ruang tamu itu. Seekor kucing hitam tengah menekuri buku yang supertebal. Apa kucing itu sedang membaca? Mana mungkin?! Ujarnya dalam hati.
“Alex...” tegur Eric mengingatkan.
“Oh, sori. Gue ke sini karena gue mau ngajuin

permintaan terakhir gue. Bisa lo kabulkan?” Alex mengatakan tujuannya datang dengan lugas.
“Tentu aja bisa, Lex. Perjanjian kita tiga permintaan sebagai ganti nyawa lo. Sebaiknya lo buru-buru bikin permintaan karena waktu hidup lo tinggal sebelas hari lagi,” Eric mengingatkan.
Alex mengangguk. “Permintaan terakhir gue: gue mau bokap gue datang.”
“Bokap lo?” tanya Eric memastikan.
“Bokap udah cerai ama nyokap dari gue kecil, dan udah dua belas tahun gue nggak pernah ketemu.
Kalo bokap gue datang, otomatis Oom Iwan harus pergi. Biar gimana, dia kan bukan siapa-siapa gue, dia nggak bisa nasehatin dan ngatur hidup gue seenaknya. Lihat aja nanti. Begitu Papa datang, Oom
Iwan bakal tahu dia nggak ada apa-apanya dibanding bokap gue,” ujar Alex.
Eric mengangguk.
“Bisa kan, Ric?” tanya Alex agak nggak yakin. Dia sendiri nggak pernah melihat ayahnya selama dua

belas tahun, dan nggak tahu di mana ayahnya berada. Eric mengangguk. “Zettha archapen, keinginan lo akan terwujud,” Eric mengucapkan mantra andalannya. “Kapan gue bisa ketemu bokap gue?” desak Alex.
“Seperti biasa, Lex, lihat saja sendiri.” Eric nggak memberi jawaban pasti. Tapi karena dua permintaan Alex sebelumnya terbukti terwujud,
Alex percaya saja.
“Gue pulang deh,” kata Alex pamit. Sejenak mata
Alex kembali tertumpu pada kucing hitam Eric. “Dia bisa baca?” akhirnya Alex nggak tahan dan bertanya.
“Dia memang cerdas,” kata Eric singkat.
Alex geleng-geleng. Rumah ini seaneh penghuninya, batin Alex. Dia pun keluar dan pulang ke rumahnya.
Saat Alex tiba di rumahnya, Oom Iwan pulang naik taksi. Laki-laki itu memang lebih sering datang dan pergi naik taksi daripada bawa mobil sendiri.

Baguslah Oom Iwan pulang, kalo nggak, gue yang nggak mau pulang, batin Alex.
***
Sepeninggal Alex, Slash kembali berubah wujud menjadi setan. Dia lalu duduk dan balik menekuni buku soal ujian Eric. Sementara Eric duduk santai sambil menyalakan TV.
“Tadi Alex mengajukan permintaan terakhrnya, berarti dia udah minta tiga permintaan?” tanya
Slash.
Eric mengangguk.
“Permintaan pertama Alex jadi anggota geng cewekcewek populer itu. Kedua jadi paca Kian, dan ketiga...” Slash berusaha mengingat apa saja permintaan Alex.
“Ya yang barusan itu. Alex minta bokapnya datang,” tambah Eric.
“Bagus, berarti sudah semua.”

“Belum,” cetus Eric tanpa sadar.
“Belum?”
“Mak... maksud gue, bokapnya Alex belum datang,” jelas Eric agak gelagapan. Dia menyembunyikan sebuah rahasia soal permintaan itu dari sobatnya.
“Kenapa?” Slash masih ingin tahu alasan Eric.
“Gue bikin mantra itu bekerja besok pagi.”
“Kok gitu?”
“Aneh aja kalo malam-malam seperti ini bokapnya datang. Bokap Alex tinggalnya jauh, di luar pulau.
Mana ada pesawat tengah malam gini,” jelas Eric lagi. “Lo pikirin sampai sejauh itu?” tanya Slash seolah menyindir. “Meski gue mengabulkan permintaan itu dengan mantra, tetap saja harus dipikirkan logikanya. Bisa terjadi apa nggak? Kalo permintaan Alex yang

sebelumnya seperti jadi anggota geng Niken itu kan gampang. Orangnya udah di depan mata, tinggal dikabulkan aja,” jelas Eric, nggak mau dituduh bersikap baik.
“Ya, lo benar juga,” kata Slash akhirnya mengakui.
Eric tersenyum bangga sesaat.
“Jadi mantra lo baru bekerja besok pagi?” tanya
Slash lagi, memastikan.
“Ya.”
“Terus pengaruh mantra itu habisnya kapan?”
“Tentu aja sampai batas waktu ujian gue habis, sebelas hari lagi. Alex mati, kita pergi, dan semua kembali seperti semula. Seolah-olah nggak ada yang terjadi,” jelas Eric dengan wajah yang tersenyum senang. Slash lalu nggak nanya-nanya lagi. Dia kembali menekuni buku di tangannya.
***

Sementara itu dua orang tampak mengendap-endap keluar dari samping rumah Eric. Mimi dan Elmo berjalan menjauhi rumah itu dan menuju taman kompleks. Rencananya tadi mereka cuma mau memata-matai kegiatan Alex. Sudah dari pagi sampai malam begini, kedua sobat itu mengikuti Alex diamdiam. Namun saat tiba di rumah Eric, Mimi dan Elmo pun jadi memata-matai Eric juga. Mereka penasaran dengan pembicaraan Alex dan Eric tadi hingga ikut menguping pembicaraan Eric dan temannya.
“Lo percaya apa yang lo denger di rumah itu?” tanya
Mimi saat mereka sudah tiba di taman kompleks.
“Percaya nggak percaya sih,” jawab Elmo.
“Kucing bisa membaca, lalu berubah jadi cowok pakai baju merah dan bersayap. Dan Eric mengaku dirinya setan yang bisa mengabulkan tiga permintaan Alex...”
“Diganti dengan nyawa!” tegas Mimi. “Sebentar, sebentar... berarti.... Alex mau mati?” tanya Mimi.
“Kata Eric waktu hidupnya tinggal sebelas hari lagi.”

Mimi geleng-geleng. “Kenapa Alex sampai bikin kesepakatan dengan setan?”
“Mungkin karna dia nggak suka hidupnya,” tebak
Elmo.
“Memangnya apa yang kurang dalam hidupnya?”
“Teman yang populer, pacar yang cakep, dan ayah,” kata Elmo mengulangi apa yang di dengarnya dari
Eric tadi.
“Lo merasa perlu nggak punya teman yang populer?” tanya Mimi tiba-tiba.
Elmo diam sejenak. “Ya, pengin sih pengin... tapi kalo nggak ada mau apa? Toh masih ada teman biasabiasa aja yang bisa bantu gue dan jadi teman yang baik,” lanjut Elmo.
“Pacar yang cantik?”
“Ya, pengin juga, tapi berhubung nggak ada cewek cantik yang suka sama gue, masa gue harus paksa?” tanya Elmo balik. “Dan kalo lo nanya soal ayah,

bokap gue baik-baik saja.”
“Jelas aja gue nggak akan nanya soal bokap lo yang nelepon hampir tiap menit itu,” sindir Mimi. Elmo memang anak yang sebentar-sebentar dicek nyokap atau bokapnya ada di mana. Selalu ada SMS dan telepon dari salah satu orangtua cowok itu. Maklum, anak tunggal sih.
“Lo merasa perlu nggak sih dapat hal-hal seperti yang diinginkan Alex?” tanya Elmo balik. Mereka berdua saat ini memang sama sekali nggak menyangka teman mereka sampai rela menukar nyawa demi tiga permintaan macam itu.
Mimi terdiam sesaat, lalu kembali menggeleng. “Gue tahu sih di sekolah kita dianggap pecundang, nggak pernah dilirik, nggak pernah dianggap berarti sama anak-anak lain. Tapi buat apa gue pikirin, tanpa mereka gue juga tetap bisa sekolah,” kata Mimi menyimpulkan. “Sekarang masalahnya, Mi, Alex sudah terlanjut bikin perjanjian kematian itu,” Elmo mengingatkan.
“Jadi apa pun yang kita bahas nggak akan mengubah umur Alex yang tinggal sebelas hari itu.”

“Terus apa dong yang bisa kita lakukan?” tanya
Mimi.
“Menyadarkan Alex,” usul Elmo.
“Menyadarkan? Memangnya dia pingsan?”
“Maksudnya bukan begitu, Mi, tapi meluruskan pikiran Alex. Semua ini kan sebenarnya semu, Mi.”
“Semu?” tanya Mimi nggak mengerti.
“Lo nggak dengar tadi Eric bilang dia mengabulkan permintaan itu dengan mantra?” tanya Elmo mengingatkan. Mimi menatap Elmo, ingin mendengar penjelasan selanjutnya. “Mantra itu yang bikin Alex mendapatkan tiga permintaannya. Tapi begitu pengaruh mantra itu habis, semua kembali seperti semula. Nggak ada yang berubah,” jelas Elmo.
“Nggak ada yang berubah?” tanya Mimi memastikan.

“Iya, nggak ada. Niken cs itu akan lupa Alex pernah jadi temannya. Begitu juga Kian, cowok itu akan lupa
Alex pernah jadi pacarnya. Bokapnya Alex juga begitu, lupa pernah bertemu anaknya.”
Mimi terdiam, ia jadi kasihan menyadari nasib yang menimpa Alex.
“Kita harus bantu Alex,” kata Elmo sekali lagi.
Mimi pun mengangguk.

Part 15
SAMPAI Alex terbangun keesokan paginya, belum ada tanda permintaan ketiganya dkabulkan.
Mungkin ayahnya tinggal di kota lain, sehingga butuh waktu lama buat datang ke rumah, Alex pun memilih mandi dan bersiap-siap berangkat sekolah.
Sebentar lagi Niken akan menjemputnya.
Alex tengah menikmati sarapannya saat mendengar

bunyi bel di pintu depan. Karena nggak ada tandatanda ibunya bakal keluar kamar untuk membukakan pintu, terpaksa Alex sendiri yang beranjak. “Selamat pagi,” terdengar suara seorang laki-laki saat pintu depan terbuka. Bukan Oom Iwan. Lakilaki itu tubuhnya agak gemuk, kepalanya mulai botak, dan berkemeja rapi seperti hendak berangkat kerja. “Kamu Alexandra?” tegur laki-laki itu saat Alex memperhatikannya. Alex mengangguk ragu. Siapa laki-laki ini? Ayahnya?
“Hai, kamu sudah besar. Sini, Sayang, peluk Papa,” kata laki-laki itu sambil mengulurkan kedua tangannya. Alex tertegun. Wajah dan fisik ayahnya berbeda jauh dengan foto yang Alex temukan di rumah Nenek.
Meski sudah nggak secakep dan segagah saat muda dulu, laki-laki ini tetap ayah Alex dan pasti lebih baik daripada Oom Iwan.

Alex menyambut uluran tangan itu dan merangkul papanya. “Alex, kalo itu Oom Iwan...” teriakan Mama terputus.
Mama mempercepat langkahnya menuju pintu. Mata
Mama langsung membelalak kaget.
“Alex, sini!” Mama menarik tangan Alex menjauh.
“Tapi, Ma...”
“Masuk!” teriak Mama marah. “Masuk, kata Mama!” seru Mama lagi ketika Alex sepertinya tidak bergerak. Alex pun terpaksa masuk. Meski berada di ruang makan, dia tetap bisa mendengar apa yang terjadi di depan. “Mau ngapain kamu?” tanya Mama sinis sama Papa.
“Aku kebetulan lagi ada kerjaan di Jakarta. Aku ke sini cuma mau melihat Alex dan Rian,” Papa beralasan. “Dua belas tahun nggak pernah ngasih kabar, nggak

pernah menelepon, apalagi datang. Dan sekarang, tanpa rasa bersalah tahu-tahu datang mau lihat
Alex?! Rian?!” kata Mama lagi.
Alex cuma mendengar pertengkaran ayah dan ibunya sampai di situ saja. Dari jendela dia melihat mobil Niken datang. Terpaksa dia meraih tasnya dan berlari keluar.
“Alex berangkat Ma, Pa,” kata Alex tanpa menyalami seorang pun. Dia langsung saja naik ke mobil Niken dan pergi. Saat ini Mama dan Papa masih emosi, lebih baik dia memilih pura-pura nggak tahu apa yang terjadi, daripada memperburuk keadaan.
“Siapa yang datang, lex?” tanya Niken yang melihat ada mobil lain di depan rumah Alex.
“Bokap gue.”
“Bokap lo? Tumben. Dalam rangka apa, Lex?” tanya
Niken lagi.
“Nggak tau,” jawab Alex sambil angkat bahu. Dia nggak mungkin bilang ini akibat dari salah satu permintaannya. ***
Di sekolah, Mimi dan Elmo sudah menunggu di depan gerbang SMA Harapan. Begitu mobil Niken berhenti, mereka langsung menghampiri Alex.
“Lex, kita bisa bicara sebentar?” tanya Mimi.
“Kalian ini kenapa sih? Kaya gue punya utang saja, dicari-cari terus,” gerutu Alex begitu melihat Mimi dan Elmo.
“Lex, ini penting,” kata Elmo ikut meyakinkan.
“Ah, gue malas berurusan sama kalian lagi,” kata
Alex sambil tetap saja melangkah bareng geng gaulnya. Mimi dan Elmo terdiam.
“Alex sombong banget sih sekarang? Ngapain juga kita harus nolong dia?!” gerutu Mimi.
“Dia teman kita, kan?” kata Elmo, membuat Mimi mengangguk pasrah.

“Oke, terus bagaimana cara kita bilang ke Alex?
Telepon nggak akan dijawab Nona Sok Sibuk itu,
SMS juga dicuekin,” kata Mimi nyaris putus asa.
“Pas istirahat juga nggak bisa. Alex pasti berdua
Kian,” timpal Elmo, lalu cowok itu mencoba memikirkan sesuatu. “Gue ada ide.”
“Apa?”
“Kita culik saja Alex pas pulang sekolah,” kata Elmo.
“Apa?!”
“Terpaksa, Mi, itu satu-satunya cara supaya Alex bisa ikut dan mau mendengar omongan kita,” jelas Elmo.
Mimi mengangguk saja.
Begitu bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi, dua teman itu sudah bersiap-siap. Saat melihat Alex berjalan keluar gerbang sekolah, Mimi buru-buru menariknya ke mobil.
“Hei, hei, kalian apa-apaan sih?” protes Alex kaget.

“Sori, Lex, tapi sebagai teman lo, kami terpaksa melakukan ini,” kata Mimi sambil membuka pintu mobil Elmo dan mendorong alex masuk.
Mimi lalu buru-buru masuk ke mobil, dan Elmo yang duduk di kursi pengemudi langsung mengunci pintunya. “Hei, Mo! Buka pintunya!” seru Alex.
Elmo diam saja dan buru-buru menjalankan mobilnya meninggalkan sekolah.
“Turunin gue!” Alex masih saja memberontak.
“Lex, tenanglah. Kita cuma mau bicara sebentar ama lo,” kata Mimi mencoba meredakan emosi Alex.
“Nggak ada yang perlu gue bicarakan sama kalian.
Kalo kalian merasa gue tinggalin karena gue punya teman-teman baru dan pacar, tolong maklumi saja.
Waktu gue nggak ada lagi buat main sama kalian,” kata Alex sedikit ketus. Dia kesal ditarik dan dipisahkan begitu saja dari gengnya.

“Ini bukan soal itu. Ini soal Eric,” kata Elmo.
Wajah Alex yang semula merah karena emosi berubah heran dan penuh tanya. “Eric?” ulangnya.
“Ya, kemaren kami ngikutin lo seharian, termasuk saat lo ke rumah Eric,” kata Mimi.
“Kami dengar semuanya. Kami tahu lo bikin perjanjian sama setan,” tandas Elmo.
Alex terdiam. Mobil Elmo terus melaju dan sepanjang sisa perjalanan nggak ada satu patah kata pun yang Alex ucapkan.
***
Elmo menghentikan mobilnya di taman kompleks rumah Alex. Cowok itu dan Mimi turun dari mobil.
Sementara Alex tetap saja mematung di kursi belakang mobil. Dia tahu dirinya akan diceramahi panjang-lebar oleh kedua temannya. Dan dia pasti disalahkan karena membuat perjanjian dengan setan. Padahal mereka kan nggak ngerti apa-apa, tuduh Alex dalam hatinya.

“Ini urusan gue,” kata Alex, akhirnya keluar juga dari mobil Elmo.
“Kami tahu ini urusan lo, tapi lo sadar nggak sih apa yang lo lakuin?” tanya Mimi.
“Sadar, sadar banget malah. Ini cara gue bersenangsenang sebelum mati!” kata Alex bangga.
“Bersenang-senang sebelum mati?”
“Gue bukan siapa-siapa di dunia, dan semua orang akan mati. Apa salahnya gue ambil kesempatan untuk bersenang-senang, untuk mendapatkan apa yang gue inginkan sebelum mati?!” Alex masih tetap yakin bahwa apa yang dilakukannya merupakan yang terbaik dalam hidupnya.
“Lex, semua ini nggak benar,” tegur Mimi prihatin.
“Memang nggak. Tapi yang penting gue senang. Gue dapatin apa yang gue inginkan.”
“Lo nggak dapatkan apa-apa, Lex. Semua ini semu,”
Elmo angkat bicara.

“Semu?”
“Saat lo mati, Niken cs nggak akan ingat lo pernah jadi temannya. Kian juga nggak akan ingat lo pernah jadi pacarnya. Dan bokap lo nggak akan ingat pernah ketemu lo,” jelas Elmo.
Sejenak Alex terdiam, mencoba mencerna ucapan cowok itu.
“Eric itu cuma seolah-olah ngabulin permintaan lo,
Lex, tapi kenyataannya itu semua semu. Dia cuma ngasih sejenis mantra buat lo dan memengaruhi orang-orang yang terkena permintaan lo. Mereka bergerak karena mantra, bukan karena diri mereka sendiri. Itu pun hanya berlaku sesaat dan nggak ada artinya begitu lo mati,” Elmo menambahkan.
Alex masih mencoba memikirkan ucapan kedua temannya itu. Selama ini dia nggak pernah kepikiran seperti itu. Benarkah semua ini semu?
“Nggak, kalian nggak tau apa-apa. Kalian bohong!” tuduh Alex.
“Kita dengar sendiri pembicaraan Eric sama

temannya,” kata Elmo lagi memengaruhi pikiran
Alex.
“Eric tinggal di rumah itu sendirian. Dia nggak ada teman,” bantah Alex.
“Ada. Cowok yang bisa berubah jadi kucing,” kata
Mimi menambahkan.
Alex menatap bingung pada dua temannya. Kenapa mereka makin aneh aja? Katanya dalam hati. Tapi sudahlah, dia nggak mau mikirin apa yang dikatakan
Elmo dan Mimi.
“Ucapan kalian nggak ada gunanya, karena kontrak kematian itu udah gue tanda tangani. Sekarang gue mau pulang, lalu pergi sama teman-teman terbaik gue dan pacar gue. Sisa hidup gue mau gue pakai hanya untuk bersenang-senang,” kata Alex, tetap bangga dengan pilihan hidupnya. Dia bahkan tertawa keras, menunjukkan kalau dia bahagia.
“Kalo tau akan mati, seharusnya lo bukan bersenang-senang, tapi banyak-banyak bikin kebaikan,” kata Mimi datar.

Tawa Alex langsung lenyap. Seketika dia merasa tertusuk dengan ucapan cewek itu. Tapi Alex sekarang mana mau terlihat kalah dari dua temannya itu.
“Ini hidup gue, ya terserah gue,” kata Alex sambil mengambil tasnya di mobil. “Oh ya, karena hidup gue tinggal sepuluh hari lagi, gue nggak merasa perlu punya teman seperti kalian lagi,” kata Alex, sempat-sempatnya menitipkan pesan yang terdengar jahat banget. Lalu, tanpa merasa bersalah, dia melangkah pergi begitu saja.
“Walaupun sekarang dia cantik, gaul, dan terlihat keren, gue jauh lebih suka Alex yang dulu,” kata
Elmo yang masih sempat didengar Alex.
“Sama,” kata Mimi juga.
***
Begitu membuka pintu depan rumahnya, Alex langsung melihat bingkisan di atas meja ruang tamu.
“Papa!” seru Alex sambil cepat-cepat meraih kotak bingkisan tersebut. Ini pasti oleh-oleh yang

ditinggalkan papanya tadi.
Alex membuka kotak tersebut, isinya boneka kurakura. “Lucu sekali,” kata Alex sambil memeluk boneka itu. Dia memang nggak suka boneka, tapi kura-kura merupakan hewan peliharaan favoritnya waktu kecil.
Mata Alex melihat ada kartu di dalam kotak itu.
Cepat-cepat dia mengambil dan membacanya.
Saya minta maaf atas apa yang terjadi kemarin.
Bukan maksud saya menasihati atau memarahi kamu. Saya cuma peduli sama kamu, Rian, dan mamamu. Saya sayang kalian semua. Bisa kita ketemu buat bicara dan memperbaiki semua ini,
Alex? Oh ya, saya tidak akan memanggilmu Alexa lagi. Irwansyah
Alex langsung melepaskan boneka di pelukannya.
Laki-laki itu lagi, gerutunya kesal.
“Kenapa bokap gue nggak ngasih gue oleh-oleh ya?” tanya Alex pada diri sendiri. “Oh, mungkin tadi pagi

Papa buru-buru. Sore ini pulang kerja pasti Papa akan ke sini dan ngasih gue hadiah,” kata Alex yakin.
HP Alex tiba-tiba berbunyi. “Papa!” seru Alex sambil membongkar tas, mencari-cari HP. Begitu ditemukannya, ternyata Niken yang menelepon.
“Say, lo ada di mana?”
“Di rumah.”
“Gue jemput ya,” kata Niken lagi.
“Kayaknya nggak bisa deh, Nik,” tolak Alex untuk pertama kalinya.
“Kenapa?”
“Gue ada janji sama bokap gue. Lo tahu kan bokap gue datang? Gue udah lama nggak ketemu bokap.
Sori ya?”
“Ya, nggak apa-apa deh kalo gitu. Bye, Lex,” kata
Niken sambil menutup telepon.
Alex langsung pergi ke kamarnya. Dia tinggalkan

begitu saja bingkisan pemberian Oom Iwan di ruang tamu. Dia nggak butuh hadiah itu, dia nggak butuh laki-laki kurus banyak aturan itu untuk menjadi ayahnya. “Gue punya Papa!” teriak Alex senang.
Alex pun bela-belain hanya duduk diam di rumah, menunggu papanya datang. Tapi sampai jam lima sore, papanya nggak muncul. Sampai jam tujuh malam, saat Mama pulang kerja (kali ini tanpa Oom
Iwan), Papa belum datang juga.
Alex mau bertanya soal Papa ke Mama, tapi dia takut. Karena wajah Mama saat ini kelihatan kesal banget. Alhasil Alex hanya bisa diam dan menunggu.
Jam delapan malam, Papa nggak juga datang.
Menelepon atau SMS pun tidak. Alex jadi mulai mikirin ucapan Mimi dan Elmo tadi.
Jangan-jangan mereka benar, semua ini semu..

Part 16
SEPERTI biasa rumah besar Eric di bumi tampak lengang dari luar. Tapi jangan ditanya apa yang terjadi di dalam. Meski cuma tinggal berdua dengan
Slash sahabatnya, sebagai setan dia punya banyak cara untuk membuat suasana terkesan ramai. Malam ini Eric bikin party. Dia “ciptakan” teman-teman sesuai keinginannya—cewek-cewek seksi dan para cowok keren. Ditambah musik, makanan, lampu yang pas, maka lengkap sudah sajian pesta yang tampak nyata.
Sementara Eric mengisi waktu dengan kebisingan,
Slash yang biasanya lebih berisik malah terus membaca buku soal ujian Eric.
“Slash, sudahlah. Tutup buku itu,” cemooh Eric melihat ulah temannya.
Slash tetap saja membaca buku yang menjadi soal ujian Eric, yang salah satu isinya mengenai kontrak kematian Alexandra.
“Gue nggak yakin Dewan ngasih lo ujian semudah ini. Pasti ada jebakannya.”

“Tenang, Slash, semua akan baik-baik aja. Lo nggak perlu baca buku tebal itu. Masih sepuluh hari lagi kita di bumi. Tunggu aja, santai. Semua akan berakhir juga,” kata Eric lagi. Dia mulai bosan main sendirian dengan game virtual reality bikinannya.
Slash nggak komentar.
“Sudah halaman berapa lo?” tanya Eric sekadar ingin tahu tentang buku tebal yang dibaca Slash tiap hari itu. “Empat ribu tujuh ratus lima puluh!”
“Baru setengahnya. Selamat membaca, kawan!” cemooh Eric lagi.
Tiba-tiba di tengah dentuman keras suara musik, sayup-sayup Eric mendengar bunyi bel di depan.
Erci mengintip dari jendela. Ada mobil berhenti.
“Siapa?” tanya Slash yang melihat gerak-gerik Eric.
“Alex,” kata Eric memastikan cewek yang baru

melangkah keluar mobil.
“Ngapain dia malam-malam ke sini?” tanya Slash heran. “Nggak tau juga. Cepat, cepat lo berubah,” suruh Eric biar Slash mengubah wujudnya jadi kucing hitam.
Eric juga menghilangkan teman-teman pestanya dan mengubah keadaan kembali bersih dan sunyi. Baru setelah itu ia keluar rumah dan menyambut Alex.
“Hai...,” sapa Eric ramah.
“Hai,” balas Alex singkat, ada nada kesal di dalamnya. “Gue bisa bicara sebentar ama lo, Ric?”
“Tentu aja. Masuk, lex,” kata Eric sambil membuka pintu gerbang dan mempersilakan Alex masuk.
Eric yang berjalan di samping Alex bertanya-tanya dalam hati apa yang diinginkan Alex.
“Ric, apa benar semua permintaan gue yang lo kabulkan in semu?” tanya Alex blak-blakan saat sudah berada di ruang tamu.

“Semu?”
“Nggak nyata. Cuma seolah-olah aja nyata, tapi ternyata semuanya nggak ada,” jelas Alex.
“Maksud lo seperti ini?” kata Eric sambil menunjuk ke sapu lidi di dekat mereka. Cowok itu mengangkat tangan, dan seketika sapu itu terangkat dan melayang. Eric lalu menurunkan tangannya, dan sapu itu pun terlempar ke lantai.
Alex terdiam melihat semua itu. Tidak ada yang berubah. Semua kembali seperti semula.
“Jadi benar, semua ini semu? Saat gue mati, Niken nggak pernah merasa gue temannya?” tanya Alex memastikan. Eric mengangguk.
“Niken tetap akan sinis dan menganggap Alex sama saja dengan dulu?”
Eric mengangguk lagi.
“Lo bohongin gue!” tuduh Alex.

“Gue gak bohong. Yang gue tawarin ama lo cuma bersenang-senang sebelum mati. Lo dapatin permintaan lo, keinginan lo, dan lo nikmati. Masalah lo mati dan semua orang tetap nganggap lo sama seperti Alex yang dulu, ngapain lo pikirin? Toh saat itu lo udah mati.”
Wajah Alex tampak merah padam, tanda cewek itu memendam kemarahan. “Lo nggak pernah bilang semua ini semu. Lo bohongin gue!!!” teriak Alex di depan wajah Eric. Ia lalu berlari keluar dan pergi dengan mobilnya.
“Namanya juga setan,” kata Eric pelan. Seketika rasa kasihan menyelimuti dirinya.
“Ya, itulah manusia,” komentar Slash yang menyaksikan adegan tadi dalam wujud kucing hitam di sudut ruangan.
“Kasihan, dia anak baik,” desis Eric pelan.
“Apa?” tanya Slash nggak percaya.
“Salahnya sendiri kenapa mau dipengaruhi

kebahagiaan semu.” Eric cepat-cepat memperbaiki ucapannya. Sebagai pangeran kegelapan, dia harus terlihat jahat.
***
Alex menghentikan mobil yang disetirnya ke tepi jalan. Pikirannya kalut sekali saat ini. Tadi Alex meminjam mobil Mama dengan alasan mau mengambil PR di rumah Niken. Tapi sebenarnya dia penasaran dengan ucapan Mimi dan Elmo tadi siang soal kebahagiaan semu yang Alex dapat dari permintaannya. Makanya dia pergi ke rumah Eric buat nanyain hal itu, dan ternyata...
“Kenapa harus gue yang ngalamin semua ini?
Kenapa nasib gue selalu saja malang?” Tanpa sadar
Alex bicara sendiri.
Dia benar-benar nggak terima harus mengalami nasib sejelek ini. Dari dulu hidupnya sudah menyedihkan. Dia nggak pernah punya keluarga yang bahagia, dia nggak bisa mendapatkan cinta dari orang yang disukainya, dan dia nggak pernah punya teman selain sesama pecundang.

Kok tega sih, udah nasib gue sejelek itu, gue masih harus dibohongi juga?!
“Eric sialan!” umpat Alex sekeras mungkin.
Nggak pernah kebayang sama Alex nyawanya dia tukar demi mendapatkan hal-hal yang sangat dia inginkan dalam hidupnya. Ternyata semua itu hanya sementara, hanya semu!
Pantas Papa cuma sekadar datang, lalu tanpa basabasi menghilang lagi. Nggak nelepon, nggak ngajak ketemu, dan nggak ada oleh-oleh. Selama ini Papa nggak pernah peduli sama gue. Sekarang mungkin agak peduli karena pengaruh permintaan itu, lalu saat gue mati, papa pun akan lupa pernah meluk gue.
Niken cs akan lupa kalau gue pernah jadi sahabatnya. Begitu juga... Kian.
Apa artinya ucapan cinta cowok itu yang bikin gue serasa melayang saking senangnya? Toh pada akhirnya Kian nggak akan ingat pernah bilang cinta sama gue, nggak ingat pernah ngegenggam tangan gue, bahkan nggak pernah ingat pernah nyium gue.
“Eric brengsek!” umpat Alex, lagi-lagi menyalahkan

cowok itu.
Setelah capek teriak-teriak dan bicara sendirian,
Alex pulang ke rumahnya. Tiba di rumah, dia langsung masuk ke kamar dan mengurung diri.
Alex melihat kalender di dinding yang ditandainya.
Hidupnya tinggal sembilan hari lagi!
Alex nggak mau mati konyol. Dia harus mencari cara untuk lepas dari perjanjian kematian itu.
***
Paginya, begitu tiba di sekolah, Alex langung mencari sosok Eric. Cowok cakep yang merupakan jelmaan setan itu. Tapi mobil Eric yang keren nggak kelihatan di parkiran SMA Harapan.
Saat bel masuk berbunyi, tiba-tiba cowok itu muncul di kelas. Tentu saja Alex nggak bisa bicara dengan
Eric, karena pelajaran langsung dimulai.
Begitu jam istirahat tiba, Alex langsung menarik tangan cowok itu ke koridor belakang sekolah.
Tempat itu cukup sepi buat bicara.

“Ada apa, Lex?” tanya Eric datar, seolah nggak merasa ada yang salah.
Alex tentu saja bete melihat reaksi cowok itu.
“Batalin perjanjian kita,” kata Alex ketus.
“Batalin?”
“Iya!” tegas Alex denagn wajah emosi.
“Lex, perjanjian yang dibuat nggak bisa dibatalin,” jelas Eric.
“Nggak bisa!”
“Itu kontrak kematian, Lex, artinya lo harus mati.
Gue kan udah bilang ama lo, gue ini setan. Tugas gue di bumi memengaruhi lo supaya mau menandatangani kontrak kematian itu. Dan itulah yang udah gue lakukan,” jelas Eric tetap tenang.
“Tapi lo bohongin gue!” tegas Alex.
“Gue ini setan, Lex, itu tugas gue. Kalo gue berbuat baik berarti gue malaikat dong,” sindir Eric.

Alex terdiam sesaat. Ucapan Eric itu benar, tapi tetap saja Alex nggak terima kemalangan yang menimpa dirinya. “Hidup gue nggak pernah menyenangkan, Ric, dan lo janji membuatnya menyenangkan. Tapi ternyata semuanya palsu! Kenapa harus gue yang jadi sasaran lo? Kenapa bukan orang lain seperti Niken, misalnya. Hidupnya menyenangkan, gue kan nggak!” protes Alex.
“Gue cuma ngejalanin tugas gue, Lex. Suka nggak suka harus gue jalanin. Sama seperti lo, meski nggak suka sekolah, lo harus sekolah juga. Ini tugas, Lex,” jelas Eric sekali lagi.
“Lo tertawa di atas kemalangan gue!” sergah Alex nggak suka.
“Gue in setan,” ulang Eric tegas.
Alex menarik napas, percuma dia marah-marah.
Tampaknya nggak ada satu hal pun yang bisa membuatnya lepas dari perjanjian kematian itu.

“Gue benci ama lo!” teriak Alex sambil meninggalkan
Eric.
“Memang sepatutnya,” kata Eric yang masih sempat
Alex dengar.
Alex menghentikan langkahnya sesaat. Hal itu membuatnya terenyak dari khayalan kegembiraan semu yang selama ini didapatnya. Eric itu setan. Dari dulu harusnya Alex membenci dan menjauhi sosok keren itu, bukannya malah bekerja sama dan menukar nyawanya demi sesuatu yang nggak penting. Ah, kenapa sih gue begitu bodoh?! Teriak Alex dalam hati. Part 17
SEMUA sudah terjadi. Alex mau meratap seperti apa pun sudah nggak ada gunanya.
Pagi ini Alex bangun nggak seperti pagi sebelumnya.

Dia menatap lesu ke kalender di meja. Hidupnya tinggal delapan hari lagi. Sejak Alex menandatangani kontrak kematian, biasanya tiap bangun tdiur dia pasti siap-siap menikmati kegembiraan hasil permintaannya dari Eric. Sekarang... tidak.
Semua itu ternyata semu. Dan Alex telah mengganti nyawanya dengan kebahagiaan semu.
Alex bangkit dari tempat tidurnya. Mandi dan bersiap pergi sekolah. Meski menyesal, sisa hidupnya tetap harus dilaluinya.
Niken tetap menjemput Alex sekolah, tapi sekarang
Alex nggak terlalu antusias melihat gengnya ini.
Wajahnya kuyu dan dia malas melakukan apa pun termasuk bicara.
“Lo sakit, Lex?” tegur Leony yang memperhatikannya. “Nggak... gue cuma kurang tidur,” Alex beralasan. Dia malas membahas hal yang sesungguhnya sama teman-temannya ini. Toh nanti saat Alex mati mereka juga nggak bakal peduli.

Setibanya di sekolah dan dalam perjalanan ke kelas,
Alex berpapasan dengan Mimi dan Elmo. Tapi dua orang itu langsung pergi begitu melihatnya.
Alex menghela napas, merasa bersalah pada dua temannya itu. Saat Alex berniat mengejar mereka, bel masuk berbunyi. Terpaksa Alex kembali ke kelasnya. Pelajaran di kelas berlangsung seperti biasa. Alex juga mengikuti setengah hati. Pikirannya masih dipenuhi penyesalan atas keputusan salah yang diambilnya. Alex menoleh ke samping. Bangku di sebelahnya kosong. Hari ini Eric nggak masuk. Selembar surat izin keluar kota untuk urusan keluarga ada di meja guru. Alex nggak tau apa Eric benar-benar sedang keluar kota atau cuma sekadar beralasan untuk menghindarinya. Soalnya tiap ada kesempatan Alex selalu marah, memaki, dan menatap benci cowok setan itu.
***

Saat jam istirahat, baru saja Alex berniat mencari
Mimi dan Elmo buat minta maaf, Kian sudah keburu muncul duluan di depannya.
“Kamu baik-baik aja, Lex?” tanya cowok itu sambil memperhatikan wajah Alex yang kelihatan kusut banget. Sejak kejadian cowok itu mencium Alex di bawah bintang, cara bicara Kian ke Alex ikut berubah. Lebih spesial.
Alex mengangguk.
“Udah makan?”
Alex mau mengangguk, tapi Kian keburu menarik tangannya. “Kita ke kantin ya. Kamu mungkin lemas karena nggak makan,” kata Kian menyimpulkan sendiri. Alex tertegun melihat tangannya digandeng Kian.
Semu, keluhnya dalam hati.
***
Jauh dari SMA Harapan, Eric hanya berdiri diam

menatap keluar jendela dari lantai atas rumahnya.
Dia melihat anak laki-laki berseragam SD berjalan digandeng ibunya. Wajah si anak ceria sekali saat bercerita pada ibunya.
Eric tertegun melihat pemandangan seperti itu. Dia nggak pernah mendapat pengalaman serupa. Ibunya nggak pernah menggandengnya, mendengarkan ceritanya, atau apa pun. Eric pernah diam-diam turun ke bumi, dan melihat seorang anak kecil terlepas dari gandengan tangan ibunya dan nyaris tertabrak mobil. Secara spontan Eric menolongnya.
Tindakan yang jelas-jelas melanggar kodratnya. Saat itu Eric mengira nggak ada yang tahu rahasianya.
Belakangan pengawal istana mengaku melihat tindakannya, dan ditambah lagi ucapan pegawai istana yang mengaku pernah melihat bunga pemberian anak itu di kamar Eric. Meskipun tidak ada bukti nyata, Eric tetap harus menjalani hukumannya. Hukuman yang bisa membuat Eric kehilangan jati dirinya sebagai setan.
“Hei, Bro! Lo nggak datang ke sekolah tercinta?” sindir Slash yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
“Malas!” kata Eric tanpa menoleh.

“Nah, bagus! Itu baru teman gue,” komentar Slash sambil tertawa keras. Setan memang seharusnya membuat kekacauan, mencari-cari masalah.
“Mana buku tebal yang biasa lo baca itu?” tanya Eric, tiba-tiba teringat sesuatu. Raja Sawa pernah bilang, jangan-jangan ada jebakan di soal ujian tersebut.
“Kenapa?” Slash balik nanya.
“Gue pengin baca seperti apa peraturan yang ada di dalamnya. Biar gue tau apa jebakannya. Lo udah ketemu hal aneh di kontrak itu?”
“Sampai sekarang belum. Tumben lo pengin tau?” sindir Slash.
“Gue... gue nggak mau gagal,” ata Eric, bingung mencari alasan.
Slash memunculkan buku setebal kamus itu di tangannya dan menyerahkannya kepada Eric.
“Sampai halaman berapa lo baca?” tanya Eric sambil membolak-balik buku itu.

“Lima ribu.”
“Wah, berarti masih ada empat ribu lebih halaman lagi?!” “Selamat membaca, bro!” sindir Slash, menirukan ucapan Eric dulu pada dirinya.
Eric cuma meringis. Dia membalik lembar buku itu dan mulai membaca. Dia nggak bohong waktu bilang pada Slash pengin tau jebakan apa yang ada di soal ujiannya. Tapi masalahnya sekarang, jika jebakan itu benar-benar ada, apa yang harus dilakukan Eric?
Menghindar atau malah menyambut jebakan itu?
***
Kembali ke SMA Harapan. Bel berakhirnya pelajaran berbunyi. Alex membereskan buku-bukunya dan cepat-cepat berjalan menuju pintu. Dia harus mencari Mimi dan Elmo. Tapi lagi-lagi, Kian sudah muncul duluan di depan Alex. Cowok itu sepertinya masih kuatir dengan keadaan Alex.
“Kamu pulang sama aku aja ya,” ajak Kian.

“Aku sama Niken,” tolak Alex, nggak enak sama gengnya. “Nggak, aku aja yang antar pulang, biar aku yang bilang ke Niken,” kata Kian, langsung menghampiri
Niken dan bicara pada cewek itu. Tak lama kemudian cowok itu balik ke depan Alex dan menggandengnya ke parkiran motor.
Alex sempat melihat Mimi dan Elmo yang menatapnya sinis. Saat Alex mencoba tersenyum mau menyapa dua orang itu, Mimi dan Elmo langsung buang muka dan terus berjalan ke mobil
Elmo.
Alex menarik napas panjang. Semua memang salah gue, katanya dengan sangat kecewa dalam hati.
Dirinya memang pantas dibenci Mimi dan Elmo.
***
Motor Kian berhenti di depan rumah Alex. Alex sudah turun, namun Kian belum juga beranjak pergi.
“Benar kamu nggak apa-apa? Kita ke rumah sakit

ya?” tanya Kian, masih saja kuatir.
“Nggak apa-apa kok. Mungkin aku cuma kurang istirahat,” kata Alex beralasan. “Kenapa sih kamu kuatir banget?” tegur Alex.
“Ya aku nggak mau aja kami sakit.”
“Dulu aku kecelakaan, terbaring koma berhari-hari, kamu nggak peduli,” sindir Alex. Meski dia tahu dan sadar banget keberadaan Kian di sampingnya akibat perjanjiannya dengan Eric, dia ingin tahu saja apa tanggapan cowok itu tentang dirinya dulu. Dirinya yang asli tanpa pengaruh permintaan itu.
“Siapa bilang? Aku datang kok jenguk kamu,” bantah
Kian.
“Kamu jenguk aku di rumah sakit?” tanya Alex nggak percaya. “Ya, tapi saat itu kamu belum sadar, jadi kamu nggak tau. Malah, aku juga ikut ngantar kamu ke rumah sakit saat kecelakaan itu,” kata Kian lagi.
“Kamu ikut ngantar aku ke rumah sakit?” ulang Alex,

masih nggak percaya mendengarnya.
Kian mengangguk. “Waktu itu aku lagi jemput Lala, teman SMP-ku yang aku kenalin sama kamu waktu itu. Lala naruh motornya di bengkel Garage dekat tempat kamu kecelakaan. Dia minta tolong supaya aku jemput dia. Pas udah di jalan, dia minta balik lagi karena bukunya ketinggalan di kafe samping bengkel itu. Nah, pas balik itulah aku melihat kamu kecelakaan,” cerita Kian lagi.
Alex terdiam. Dia nggak nyangka Kian salah satu orang yang mengantarnya ke rumah sakit. Selama ini dia pikir yang mengantarnya cuma Galang, Rio, dan Kaka yang balapan dengannya siang itu.
“Aku bener-bener ngejenguk kamu di rumah sakit.
Aku bahkan ninggalin boneka malaikat di samping kamu. Biar malaikat itu bantu kamu cepat sembuh.”
“Boneka malaikat itu dari kamu?” lagi-lagi Alex kaget. Kian kembali mengangguk.
Alex terdiam. Kenapa Kian baik banget padanya?

Padahal waktu itu mereka selalu berantem dan musuhan berat kan?
“Ki, aku boleh tanya sesuatu?”
“Tanya aja,” kata Kian sembari mengamati Alex.
“Waktu itu kita musuh, kan? Kok kamu mau sih nolongin aku?”
“Ya, nggak mungkinlah aku lihat temanku sekarat terus dibiarin saja. Apalagi orang yang aku suka.”
“Ka... kamu suka sama aku dari dulu?”
Kian tersenyum dan mengangguk.
Alex tercengang. Seharusnya dia senang mendengar pengakuan Kian. Tapi saat ini Alex nggak tahu apakah dia harus senang atau sedih. Pengakuan Kian itu nunjukin kalau saja Alex mengubah sikapnya dari dulu terhadap Kian, ramah dan baik pada cowok itu, tanpa bantuan setan pun Alex pasti tetap bisa jadi pacar Kian.
“Ingat nggak waktu kita sering berantem dulu, aku

bilang nggak pernah kalah balapan sama kamu?” tanya Kian.
Alex mengangguk. “Jangan-jangan kamu ngalah, ya?” tebak Alex, baru menyadari kasus balapan itu. Ya, memang rasanya saat itu terlalu mudah bagi Alex untuk memenangi balapan.
“Ya, maksud aku sih waktu itu biar bisa ngobrol, bisa kenal kamu. Tapi nyatanya kamu sama Elmo malah ngejadiin kekalahan itu sebagai bahan ledekan.”
“Sebenarnya sih kita nggak bermaksud ngeledek kok. Cuma cara bicara Elmo aja yang salah,” kata
Alex.
“Mungkin, tapi akibatnya kita selalu berantem.
Untunglah berakhir juga.”
Alex terdiam mendengar pengakuan cowok itu.
“Sebaiknya aku pulang deh, biar kamu bisa istirahat.
Nanti malam aku telepon,” kata Kian, menghapus lamunan Alex.
Alex mengangguk. Kian tersenyum sekali lagi pada

Alex sebelum akhirnya pergi dengan motornya.
Alex masih mematung di tempatnya berdiri, seharusnya Alex bisa selamanya jadi pacar Kian.
Bukan cuma 21 hari!
Alex kecewa berat.
***
Setelah kemunculannya di rumah Alex tiga hari lalu, baru hari ini papa Alex datang lagi. Alex yang sadar semua permintaannya semu, menanggapi kehadiran ayahnya biasa-biasa saja. Meski begitu, hatinya tetap girang ketemu Papa. Bagaimana pun beliau ayah kandungnya. Tapi sayang Rian nggak bisa diajak ikutan momen ajaib ini. Kakaknya ada kuliah sampai sore. Alex diajak papanya makan di salah satu restoran.
Sambil makan Papa asyik bercerita tentang dirinya sendiri. Sekarang Papa tinggal di Kalimantan dan bekerja di salah satu perusahaan swasta di sana.
Hampir tiap tahun Papa ke Jakarta untuk urusan pekerjaan. Tapi saking banyaknya pekerjaan, Papa nggak sempat mengunjungi Alex.

Memang nggak pernah, komentar Alex sinis dalam hati. Duduk dan bercerita dengan ayahnya ternyata nggak seperti gambaran yang selama ini ada di pikiran
Alex. Dulu Alex pikir papanya pria baik yang akan menjaga dan melindunginya dari apa pun.
Ternyata... Papa cuma sibuk bercerita tentang dirinya sendiri, tentang pekerjaannya, tanpa peduli apa dan bagaimana Alex serta kakaknya selama ini menjalani hidup tanpa kehadiran ayah.
Selesai makan, Alex dan papanya jalan di mal tempat restoran itu berada. Nggak sengaja Alex melihat ada pameran motor gede di lantai dasar.
“Pa, ke sana yuk!” ajak Alex girang. Kalo dari tadi dia agak kecewa dengan sikap ayahnya yang nggak seperti dugaannya, kali ini pasti beda. Motor adalah hal yang bisa menyatukan dirinya dengan Papa.
“Pa, motornya bagus, ya?” kata Alex saat tiba di tempat pameran.
Papa cuma acuh nggak cuh melihat sekelilingnya.

“Pa, Alex punya motor seperti ini dikasih Oom Fadly, adik Mama. Tapi sekarang motornya masih di bengkel, Pa, rusak gara-gara kecelakaan,” cerita Alex senang. “Kamu naik motor?” Papa tampak heran menatapnya. Alex mengangguk. “Papa masih suka naik motor sport?” tanya Alex antusias.
Papa malah menggeleng.
“Kenapa? Nggak punya waktu karena sibuk kerja?”
“Papa nggak bisa naik motor,” kata Papa yang membuat Alex melongo.
“Tapi Alex pernah lihat foto Papa naik motor sport di rumah Nenek,” protes Alex nggak percaya.
“Papa cuma nampang,” kata Papa cuek.
Alex termangu. Jadi obsesinya selama ini agar dekat dengan ayahnya itu salah?

Belum habis keterkejutan Alex, HP papanya berbunyi. Dan dia mendengar percakapan ayahnya dengan seseorang, kedengarannya suara anak perempuan. “Siapa, Pa?” tanya Alex saat Papa selesai menutup telepon. “Lia.”
“Lia?”
“Anak Papa.”
Alex mencoba bersikap bijak mendengar kalimat itu.
Dia tahu papanya pasti sudah punya keluarga baru.
“Lia kelas berapa, Pa?” tanya Alex sekadar ingin tahu. “Satu SMA.”
“Satu SMA?” Alex memikirkannya sesaat. Ia sendiri juga kelas satu SMA, sementara setahu Alex, orangtuanya bercerai saat usianya sudah tiga tahun.

“Anak kandung?” tanya Alex lagi.
Papa mengangguk.
Alex terdiam dan nggak bertanya-tanya lagi. Dia jadi tahu apa alasan Mama dan papanya bercerai. Pantas
Mama marah sekali tiap kali Alex menanyakan masalah itu. Papa ternyata berselingkuh dan punya anak dengan perempuan lain. Selain sudah berkhianat, dalam kenyataannya Papa juga nggak pernah memedulikan Alex dan kakaknya.
Kekaguman Alex pada Papa pupus sudah.
Jadi salah satu dari tiga hal yang Alex minya sebagai ganti nyawanya ternyata malah berakhir seperti ini.
Mungkin lebih baik dia nggak meminta papanya datang. Satu kekecewaan lagi.
***
Alex diantar Papa pulang jam delapan malam. Mama yang membuka pintu cuma diam saja melihat mereka. Saat Alex dijemput Papa tadi sore, Mama

memang belum pulang kerja. Tapi Alex sudah ngirim
SMS ngasih tahu dia pergi sama Papa.
“Papa besok pulang ke Kalimantan. Mudah-mudahan kita bisa cepat ketemu lagi,” kata Papa sambil menepuk-nepuk pundak Alex.
“Permisi, Wi,” pamit Papa singkat pada Mama Alex.
“Hati-hati, Pa.” Hanya Alex yang menyahut.
Papa berjalan ke mobilnya. Sejenak Alex ingat, dia pernah melihat punggung ayahnya saat masih kecil dulu dan selalu memimpikan ayahnya akan berbalik.
Sekarang Alex membiarkan sosok itu melangkah menjauh. Alex melihat ke ibunya. Mama malah langsung masuk ke rumah. Alex menghela napas, bingung harus cerita apa sama Mama soal acara jalanjalannya bersama orang yang dalam khayalannya selama ini sangat dikaguminya.
“Bagaimana jalan-jalannya?” tegur Mama saat Alex masuk ke rumah. Mama sudah duduk di ruang tamu sambil melihat-lihat majalah arsitektur.

“Ya... menyenangkan,” kata Alex dengan ekspresi yang berbeda jauh dengan makna ucapannya.
“Ya, memang seperti itulah Alfarez,” kata Mama menyebutkan nama mantan suaminya itu dengan nada kecewa. “Dulu Mama kira sikap acuh nggak acuhnya itu sesuatu yang menarik, bikin penasaran.
Ternyata Arez memang orang yang nggak pernah peduli, dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Kamu jangan seperti itu ya?”
Alex diam saja. Dia merasa nggak enak hati sama mamanya. Selama ini ia menganggap Mama-lah yang bersalah atas perceraian itu. Makanya ia selalu menentang dan marah melulu pada Mama. Padahal selama ini Mama-lah yang bersusah payah menghidupi Alex dan kakanya. Mama harus kerja keras dan mengurus anak senakal Alex sendirian.
“Tapi sekarang Arez ingat untuk menemui kamu, mudah-mudahan saja dia berubah dan lebih memperhatikan kalian,.” Kata Mama lagi.
Alex maish diam. Dia merasa bersalah banget sama
Mama atas tindakannya selama ini.

Melihat Alex diam, Mama juga diam. Selama ini meski tinggal berdua, Alex dan Mama jarang banget bicara. Biasanya bicara cuma buat ngomelin ulah
Alex. Nggak pernah duduk membahas masalah yang mereka alami.
“Oom Iwan nggak datang?” Alex mencoba memulai pembicaraan. “Kan, kamu yang larang datang,” celetuk Mama.
Alex kebingungan menanggapi ucapa Mama yang seolah menyindirnya itu. “Alex... Alex kemarin cuma emosi. Besok Alex ngomong deh sama Oom Iwan,” kata Alex, mencoba mencari cara untuk memperbaiki hubungannya dengan Mama.
“Ma...” Alex ingat satu hal lain yang harus dikatakannya pada Mama. “Ma, Alex minta maaf soal kartu kresitnya. Alex janji nggak bakal mengulanginya lagi.”
“Kamu dihukum, uang saku kamu selama setahun akan dipotong,” kata Mama tanpa emosi.

“Nggak apa-apa.” Alex terima saja hukuman itu.
Meski hidupnya nggak akan sampai setahun, dia memang harus menanggung perbuatannya.
Alex bangkit dari duduknya dan membawa kotak bingkisan dari Oom Iwan yang masih terletak di meja ruang tamu.
“Mau dibawa kemana boneka itu?" tegur Mama melihatnya. “Pajang di kamar,” kata Alex sambil terus jalan.
“Kalo kamu nggak ke mana-mana, rapikan kamarmu,” tegur Mama lagi.
“Ya, Ma,” kata Alex tanpa membantah. Dia terus menaiki tangga menuju kamarnya. Namun belum sampai ke atas, dia berbalik lagi.
“Ma...”
“Apa lagi?”
“Alex sayang Mama.”

Mama terdiam sesaat. Mungkin kaget karena Alex nggak pernah bilang begitu. ‘Ya, Mama juga.”
Alex tersenyum menatap ibunya. Mama juga tersenyum melihatnya. Mama terlihat sangat cantik.
Alex nggak pernah melihat Mama menatapnya selembut itu. Mungkin kalo dia sering meluangkan waktu bersama Mama, hubungan mereka akan dekat. Bukan nggak mungkin mereka bisa jadi sahabat. Sayang selama ini Alex nggak pernah terpikir buat dekat sama Mama.
Alex meneruskan langkah ke kamarnya.

Part 18
MEMANG apa pun yang Alex sesali nggak ada gunanya. Semua sudah terlanjur Alex setujui. Satusatunya yang bisa Alex lakukan sekarang adalah menjalani sisa hidupnya sebaik-baiknya. Bukan bersenang-senang, tapi berbuat baik.
Alex memang masih berangkat sekolah bareng

gengnya, tapi cuma sebatas pergi dan pulang sekolah saja. Dia nggak mau lagi ikut ke mal, salon, atau acara hura-hura ke mana pun. Alex ingin mengisi waktunya dengan sebaik-baiknya. Bagaimanapun juga, hidupnya tinggal 7 hari lagi.
Lagi-lagi hari ini Eric nggak masuk sekolah. Sejenak
Alex termangu melihat bangku di sebelahnya yang kosong. Eric nggak mungkin keluar kota. Pasti ada penyebabnya sampai dia nggak mau datang ke sekolah. Mungkin gara-gara gue, desis Alex dalam hati. Alex pun berencana mencari cowok jelmaan setan itu. Tapi tidak sekarang, dan juga tidak dalam waktu dekat. Alex harus memperbaiki dulu persahabatannya dengan Mimi dan Elmo, lalu memperbaiki hubungannya dengan Oom Iwan. Baru sudah itu ia bisa menemui Eric.
Karena Alex berjanji mau mengisi sisa hidup sebaikbaiknya, dia pun serius mengikuti pelajaran di kelasnya. Yah, mungkin dia akan mati nggak lama lagi. Tapi ilmu pengetahuan termasuk hal baik yang ada di dunia ini. Dia harus meraih sebanyakbanyaknya sebelum mati.

“Alex, ini siapa yang gambar?” tegur Pak Fandi, guru fisika saat membagikan buku latihan Alex. Di belakang buku itu memang ada coretan gambar Alex.
Sering tanpa sadar dia menggambar sesuatu di mana saja, termasuk di buku-buku sekolahnya. Yang digambarnya pun macam-macam, mulai dari karikatur, bunga, sampai rancangan rumah. Kali ini yang tampak di buku itu gambar rumah.
“Saya, pak. Maaf, nanti saya hapus,” kata Alex malu.
Tapi Pak Fandi bukannya marah, malah memuji.
“Gambar kamu bagus. Saya baru tau kamu bisa menggambar. Mungkin kamu punya bakat arsitek.”
“Ibu saya arsitek,” Alex menambahkan.
“Oh, bagus. Mungkin suatu saat kamu bisa melebihi ibumu.” Alex terdiam. “Suatu saat” itu nggak akan pernah datang, bisiknya sedih dalam hati.
Alex kembali ke bangkunya. Dia terdiam memperhatikan gambarnya sendiri di buku latihan

itu. Selama ini Alex nggak pernah terpikir akan menjadi apa saat dewasa nanti. Sekarang dia sadar, dia bisa saja jadi arsitek seperti Mama. Tapi... semua sudah nggak mungkin lagi. Seandainya dari dulu
Alex sadar sekolah bisa membuatnya menjadi seseorang di masa depan...
***
Bel berakhirnya pelajaran sekolah berbunyi. Baru kali ini Alex merasa bel itu berdering terlalu cepat.
Selama ini Alex selalu sampai bete menunggu bel pulang berbunyi.
“Lex, lo pulang bareng kita?” tanya Niken saat Alex merapikan buku-bukunya ke dalam tas.
“Kayaknya nggak deh, Nik, gue mau ke kantor nyokap,” Alex beralasan.
“Ngapain?” tanya Moniq yang juga mendengar ucapan Alex.
“Ada urusan sedikit,” kata Alex, menolak mengatakan alasannya.

“Yah, padahal siang ini jadwal kita ke salon,” keluh
Leony.
“Sori, gue nggak bisa ikut,” tolak Alex baik-baik.
“Kantor nyokap lo di mana sih?” tanya Niken lagi.
“Di Jalan Permai.”
“Ya udah, gue antar aja sekalian,” desak Niken.
“Nggak, biar gue aja yang ngantar,” kata Kian, tibatiba muncul di depan pintu kelas.
“Oke deh. Yuk, guys, kita cabut!” kata Niken sambil berjalan keluar kelas. Moniq dan Leony pun mengikuti cewek itu.
Kian menghampiri meja Alex.
“Nggak perlu, lagi, Ki, ngerepotin kamu aja,” kata
Alex melihat cowok itu.
“Ah, nggak apa-apa. Jalan Permai dekat kok,” kata
Kian sambil menjejeri langkah Alex meninggalkan kelas. Alex tidak berkomentar lagi. Dalam hati, sekarang dia merasa nggak tega dengan kebaikan Kian. Cowok itu baik banget, nggak pantas Alex manfaatkan.
“Lex, aku perhatiin kamu sekarang dekat banget sama Niken, Moniq, dan Leony,” kata Kian, tiba-tiba membahas persahabatan Alex.
“Memangnya kenapa, Ki?” tanya Alex balik.
“Ya, nggak kenapa-kenapa. Malah bagus kan punya banyak teman. Cuma agak aneh aja,” kata cowok itu.
Akex sejenak tertegun. Kenapa Kian merasa persahabatan Alex dengan Niken cs aneh, sementara cowok itu malah nggak merasa aneh pacaran sama
Alex? Padahal dua-duanya kan hasil permintaan Alex ke Eric.
“Oh ya, anak baru di kelas kamu itu ke mana?
Kayaknya dari kemaren aku nggak lihat,” tanya Kian.
“Eric udah dua hari nggak masuk, katanya keluar kota. Kenapa?” tanya Alex balik.

“Nggak kenapa-kenapa. Aku pernah ke rumahnya.”
“Kamu pernah ke rumahnya?” potong Alex cemas.
Jangan-jangan cowok ini seperti Elmo dan Mimi yang tahu soal jati diri Eric yang sebenarnya.
“Aku cuma sampai gerbangnya doang. Cuma numpang istirahat sebentar sebelum ke rumah kamu hari itu.”
“Hari itu?” tanya Alex nggak mengerti hari yang dimaksud Kian.
“Hari kita jadian. Siang itu sebelum ke rumah kamu, aku panik banet. Aku keliling kompleks Meranti berkali-kali dan sempat numpang istirahat di rumah
Eric. Hehe, lucu juga kalo ingat hal itu,” cerita Kian.
Alex terdiam. Jangan-jangan Kian bukan bagian dari permintaannya...? ***
Kian mengantar Alex sampai lobi kantor tempat mama Alex bekerja. Sesudah itu cowok cakep itu langsung pulang.

Alex memang sengaja siang ini pergi ke kantor mamanya. Tujuannya mau minjam mobil. Dia perlu kendaraan untuk urusannya siang ini. Meski motor
Alex sudah selesai diperbaiki, dia takut minya uang ke Mama buat menebusnya. Dia benar-benar nggak mau lagi ribut sama Mama.
Alex lalu menjalankan mobilnya menuju ruma Elmo.
Tujuan pertama Alex adalah minta maaf pada dua sahabatnya. Dimulai dengan Elmo lebih dulu.
Biasanya cowok itu lebih mudah diajak bicara ketimbang Mimi. Tapi saat Alex tiba di rumah cowok itu, mama Elmo malah bilang Elmo lagi ke rumah
Mimi. Alhasil Alex harus ke rumah Mimi dan langsung menemukan kedua temannya sekaligus.
“Gue tau kalian benci sama gue dan nggak mau ketemu gue lagi. Tapi gue tetap harus bilang sesuatu sama kalian. Terserah kalian mau denger atau nggak,” kata Alex begitu melihat kedua temannya ada di teras rumah Mimi.
Mimi dan Elmo hanya diam menatap Alex.
“Gue mau minta maaf atas sikap gue belakangan ini

sama kalian,” kata Alex.
Mimi dan Elmo masih tetap diam menatap Alex.
“Gue cuma mau bilang itu. Makasih udah mau dengerin gue. Gue sadar tindakan gue salah. Kalian benar, semua yang gue dapatin semu belaka.
Sekarang gue nggak akan senang-senang lagi, gue ikuti saran lo, Mi, melakukan yang terbaik yang gue bisa. Termasuk minta maaf ke kalian,” kata Alex lagi.
Nggak terdengar tanggapan apa pun dari kedua temannya. Alex mengerti pasti sulit bagi kedua temannya itu untuk memaafkan sikapnya yang kelewatan belakangan ini. Dengan pasrah Alex pun berbalik. “Gue pulang,” katanya pelan sambil berjalan ke mobilnya.
Tiba di mobil, Alex melihat bingkisan yang ada di bangku belakangnya. Tadi dia memang sengaja membeli kado sebelum ke rumah Elmo.
“Lho kok balik lagi?” tegur Elmo saat melihat Alex muncul lagi di depan dia dan Mimi.
“Gue cuma mau ngasih ini. Sori gue lupa ultah lo.

Kemaren gue... gue memang orang yang amat, sangat jahat... Oke, gue cuma mau ngasih itu aja. Biar utang gue semakin dikit,” kata Alex. Dia lalu berbalik dan kembali meninggalkan kedua temannya.
“Lex?” panggil Mimi saat Alex hendak membuka pintu mobilnya.
Alex menoleh.
“Lo udah makan?” tanya Mimi menghampirinya.
Alex diam saja. Dia tadi cuma sempat pulang ke rumah sebentar, hanya berganti pakaian dan langsung pergi mencari temannya.
“Gue tau, pasti belum kan? Gue pesen pizza, ntar lagi dianter. Lo ikut makan ya?” kata Mimi sambil menarik tangan Alex.
“Nggak usah deh, Mi, gue...” Alex berusaha menolak.
Dia nggak enak hati sama temannya. Dia udah jahat, tapi mereka tetap saja baik.
Mimi tetap menarik tangan Alex dengan kencang.
Sampai Alex nyaris terjungkal. Terpaksa Alex ikuti

saja kemauan Mimi.
Alex menghabiskan siangnya di rumah Mimi. Setelah makan, dia asyik bercerita dan bercanda dengan dua temannya itu seperti dulu.
Mungkin Niken, Moniq, dan Leony kelihatannya teman yang sempurna. Cantik dan populer di sekolah. Berteman dengan tiga cewek itu membanggakan. Berteman dengan Mimi dan Elmo?
Menenteramkan hati, jawab Alex dalam hati.
Jika bersama Niken cs, Alex harus tampil sempurna dan “berkelas”. Setiap hari yang mereka lakukan hanyalah jalan-jalan, bersenang-senang, dan tertawa-tawa. Sementara bersama Mimi dan Elmo, dia cuma perlu jadi Alex. Seperti apa pun dirinya, kedua temannya itu menerimanya. Mimi dan Elmo ada di saat dia tertawa, saat dia sedih, dan juga saat dia bermasalah.
Alex kembali terdiam. Selama ini sebenarnya dia sudah punya teman terbaik. Kenapa dia malah meminta teman yang tidak sejati?

Lagi-lagi Alex menyadari kesalahannya

Part 19
SORE hari sehabis dari rumah Mimi, Alex pergi ke rumah Oom Iwan. Meski bingung bagaimana cara berbicara dengan laki-laki yang pernah Alex makimaki itu, demi janjinya untuk berbuat baik, terpaksa ia lakukan juga.
Alex mengetuk pintu rumah yang kelihatan sepi banget itu. Berdasarkan informasi yang Alex dapat dari Mama, Oom Iwan tinggal di rumahnya hanya ditemani sepasang suami-istri yang jadi pembantu dan tukang kebunnya.
Namun saat pintu terbuka, Oom Iwan sendiri yang menyambut Alex. Laki-laki tu tampak baru pulang kerja, dia masih memakai kemeja dan dasi.
“Alex?” tegur Oom Iwan, tampak kaget melihatnya.

Alex berusaha tersenyum meski sulit. “Boleh saya bicara sebentar sama Oom Iwan?” tanya Alex dengan segenap usaha. Dia canggung banget berhadapan dengan teman ibunya ini.
“Boleh, boleh. Ayo, silakan masuk,” ajak Oom Iwan.
Kekagetan di wajah laki-laki itu langsung hilang, berganti dengan sikap tenang seperti yang biasa
Alex lihat.
Alex melangkah masuk ke rumah itu dan duduk di ruang tamu.
“Ada apa, lex?” tanya Oom Iwan ramah. Nggak ada sedikit pun raut kesal di wajahnya melihat Alex.
Padahal Alex sering banget bersikap jelek pada Oom
Iwan.
“Saya... saya ke sini mau minta maaf atas sikap saya,” kata Alex dengan susah payah. Dia malu banget atas sikap jahatnya selama ini.
Oom Iwan malah memaklumi sikap Alex. “Nggak apa-apa, Lex. Saya mengerti, sulit bagi kamu menerima kehadiran saya. Kalau kamu nggak setuju hubungan saya sama ibu kamu, tidak apa. Saya...”

“Nggak, Oom,” potong Alex cepat. Dia nggak mau mengacaukan hubungan baik ibunya dengan Oom
Iwan. “Saya terserah Mama saja. Saya bukan tidak setuju, hanya saja semuanya terjadi begitu cepat.
Mungkin saya cuma kaget. Tapi buat saya nggak ada masalah kok, Oom.”
“Benar?” tanya Oom Iwan dengan wajah berseri.
Alex mengangguk. “Alex janji nggak akan berkata kasar lagi sama Oom Iwan,” katanya meyakinkan.
Dia malah kembali menyebut dirinya “Alex”, sama seperti cara bicaranya pada Mama.
Oom Iwan menatap Alex dengan senyum yang tersungging ramah di wajahnya. “Kamu anak baik,
Lex,” puji laki-laki itu.
Alex nggak mengomentari pujian itu. Melakukan satu kebaikan setelah membuat sekian banyak masalah belum pantas disebut anak baik.
“Alex nggak bisa lama-lama, Oom. Alex harus jemput
Mama. Dari tadi mobilnya Alex pakai, jadi sampai sekarang Mama masih di kantor,” kata Alex

berpamitan.
“Jemput Mama?”
Alex mengangguk.
“Oom boelh ikut?” tanya laki-laki itu.
Alex kembali mengangguk. Dia berdiri dan berjalan ke pintu keluar diikuti Oom Iwan.
***
Tiba di kantor ibunya, Mama tampak kaget melihat
Alex muncul bersama Oom Iwan. Senyum di wajah mamanya yang cantik langsung terlukis. Mama pasti nggak menyangka secepat ini Alex mau baikan sama
Oom Iwan.
Saking senangnya, mama mentraktir mereka makan di restoran. Lalu dilanjutkan dengan jalan-jalan untuk mengisi waktu layaknya keluarga. Mama bahkan sempat-sempatnya berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar swalayan.
“Lex, besok kita jemput motor kamu ya?” kata Oom

Iwan saat Mama sibuk sendiri memilih sayuran. Alex dan Oom Iwan menunggu di dekat meja kasir. “Tadi siang Oom sudah telepon bengkel tempat motor kamu diperbaiki. Katanya motor kamu sudah selesai diperbaiki,” kata Oom Iwan lagi.
“Nggak usah deh, Oom. Mama kayaknya nggak suka kalo Alex naik motor,” tolak Alex. Sebenarnya dia kangen banget sama motornya, tapi kalo benda itu jadi bahan pertengkaran sama Mama, lebih baik dia hindari. “Tadi juga Oom sudah ngomong sama Mama. Kata
Mama, selama kamu janji nggak ngebut, nggak balapan liar lagi, kamu boleh bawa motor itu,” jelas
Oom Iwan.
“Benar, Oom?” tanya Alex nggak yakin.
Oom Iwan mengangguk.
“Makasih, Oom,” kata Alex senang menatap teman ibunya. Oom Iwan ternyata bukan sosok sejelek pikiran Alex selama ini. Dulu dia menduga Oom Iwan cuma sekadar mencari perhatian agar Alex mau menyetujui hubungan laki-laki itu dengan Mama,

lalu sesudahnya Oom Iwan nggak peduli lagi.
Ternyata Oom Iwan tetap saja baik.
“Omong-omong, kenapa kamu nggak suka dipanggil
Alexa?” tanya Oom Iwan, teringat ucapan Alex padanya. “Nggak kenapa-napa, Oom. Nama itu menurut Alex kesannya manja. Alex nggak mau dianggap anak manja,” jelas Alex.
“Menurut Oom kamu bukan anak manja, Lex, malah anak yang kuat. Pemberani,” kata Oom Iwan, mengacak-acak rambut Alex seperti yang sering dilakukan ayah terhadap anaknya.
Alex diam saja. Pada kenyatannya, dia bukan anak yang kuat apalagi berani. Dia cewek pengecut yang mau saja dikelabui setan. Dia menukar hidupnya yang sebenarnya cukup menyenangkan dengan kebahagiaan semu. Dia punya teman yang baik, punya ibu seperti Mama, dan mungkin dengan mencoba bersikap baik bisa membuatnya mendapat cinta Kian juga. Untuk apa tiga permintaan itu dibuatnya?! Sesal, sesal, dan sesal. Cuma itu yang akhirnya Alex temukan. “Oom, kalo saya nggak ada, jaga Mama baik-baik ya,” kata Alex dengan segenap rasa sesal karena akan meninggalkan orang yang disayanginya.
Oom Iwan sejenak menatap Alex heran, lalu laki-laki itu akhirnya mengangguk.
Mama datang dan menghampiri mereka dengan senyum menghiasi wajah cantiknya.
***
Malamnya Eric duduk di teras belakang rumah.
Tangannya masih saja membaca buku tebal yang menjadi soal ujiannya. Dia tahu caranya salah.
Seharusnya dia baca buku itu sebelum ketemu Alex, atau setidaknya sebelum Alex menandatangani kontrak kematian. Sekarang, saat sudah di tengah jalan, bahkan hampir di akhir jalan mengingat waktu
Alex tinggal tujuh hari lagi, baru dia sibuk mencari tahu seperti apa sebenarnya soal ujian ini, apa benar ada jebakannya atau nggak. Namun sampai halaman tujuh ribuan, belum ada tanda-tanda Eric salah

melakukan tugasnya.
“Masih baca?” tegur Slash yang muncul di depan Eric sambil membawa makanan yang hanya dimakannya sendiri. “Baru halaman 7200,” kata Eric sambil terus membaca. Biasanya begitu buku tebal ini dia taruh, pasti Slash langsung menggantikannya membaca.
Biar lebih cepat selesai.
Ini memang ujian Eric, tapi sebagai teman yang terpaksa terlibat, mau nggak mau Slash solider juga membantunya. “Mungkin buku ini nggak ada soal jebakan apa pun.
Semuanya sama seperti yang sudah gue lakukan,” komentar Eric sambil meletakkan buku itu. Lelah juga dia. Sebagai setan, dia memang nggak dikaruniai kemampuan membaca cepat semudah menjetikkan jari. Di negeri setan, pengetahuan juga harus didapat dengan usaha.
“Sepertinya juga begitu. Gue cuma ketemu satu peraturan aneh di halanan enam ribu,” sahut Slash.

“Apa?”
“Kontrak itu akan hangus kalo permintaan diberikan kepada orang lain,” kata Slash.
“Oh ya?” tanya Eric, belum percaya seratus persen.
“Tapi nggak mungkin terjadi, kan? Lo janji ke Alex tiga permintaan, dan tiga-tiganya sudah dimintanya dan lo kabulkan, kan?”
Eric terdiam.
“Berarti kita aman,” Slash memastikan.
“Tadi lo bilang peraturan itu ada di halaman berapa?” tanya Eric ingin tahu. Dia mau baca sendiri selengkapnya. “Cari aja di halaman enam ribu,” suruh Slash.
Eric membuka halaman yang dimaksud. Di situ tertulis: “Kontrak kematian akan hangus jika pihak kedua memberikan permintaannya kepada orang lain. Jika kontrak ini hangus, berarti semua yang diminta pihak kedua lenyap dan kehidupan pihak

kedua tetap berlanjut, sementara pihak pertama dinyatakan gagal.”
“Berarti kita aman,” kata Slash sekali lagi.
Eric kembali terdiam. Slash tidak tahu bahwa Alex baru mengucapkan dua permintaan. Cewek itu masih punya satu permintaan lagi...

Part 20
ALEX tahu sisa hidupnya makin dekat. Makanya dia berusaha mengisinya sebaik mungkin. Sekarang Alex nggak berangkat sekolah bareng Niken lagi. Dia kembali naik motor kesayangannya. Hal ini membuat Alex diprotes cewek itu.
“Lex, ngapain sih lo naik motor itu? Kan berdebu dan panas. Muka lo bisa jerawatan, Lex, kulit lo bisa rusak,” sindir Niken saat Alex menolak pergi dengannya. “Gue suka motor ini, Nik,” kata Alex sambil mengusap lembut motornya. Meski ternyata Papa bukan pembalap seperti khayalannya semula, Alex benar-benar menyayangi motor hijaunya ini. Oom
Iwan sudah bersusah payah menebusnya, sayang kalau Alex nggak gunakan. Apalagi mengingat dia akan segera mati.
“Lo aneh deh, Lex!” kata Niken kesal. Cewek itu geleng-geleng. Mungkin dalam pikiran Niken, Alex bego banget mau merusak kulitnya dan membuat wajahnya jerawatan dengan naik motor.
“Gue bukan model,” desis Alex pelan.
Niken pergi sendirian dengan mobilnya. Alex masuk dulu ke rumah buat pamit pada mamanya.
“Hati-hati, Lex. Ingat, jangan ngebut,” kata Mama tanpa emosi lagi. Sekarang tiap bicara dengan Alex,
Mama selalu tersenyum.
Alex lalu menaiki motor dan memacunya dengan hati-hati di jalanan. Dia nggak mau ngebut lagi. Sisa hidupnya harus dipergunakan sebaik mungkin.

***
Alex tiba di sekolahnya. Dia tersenyum dan menyapa ramah setiap anak yang dilewatinya.
“Hai, Mi. Hai, Rika,” sapa Alex begitu melewati kelas
Mimi dan melihat sahabatnya itu berdiri di depan kelas bersama Rika.
“Teman lo kenapa lagi, Mi?” tegur Rika yang sempat
Alex dengar.
“Emang kenapa?” tanya Mimi balik.
“Dulu Alex itu menakutkan, lalu gabung sama Niken jadi sombong, dan sekarang kenapa dia malah ramah?” “Lebih baik mana?”
“Tentu saja yang terakhir.”
“Lalu apa masalahnya?” tanya Mimi lagi.
“Nggak ada. Aneh aja,” kata Rika.

Alex nggak mendengar lagi ucapan cewek itu karena dia sudah tiba di kelasnya. Entah apa yang dianggap benar di dunia ini. Bersikap menakutkan disebut aneh, sombong disebut aneh, bersikap ramah juga tetap dianggap aneh, desis Alex dalam hati.
Mungkin sebenarnya gue bukan pecundang di sekolah ini, tapi orang yang istimewa. Buktinya tiap gerak-gerik gue diperhatikan, Alex berusaha menghibur diri.
Alex masuk ke kelasnya, dan duduk di bangkunya.
Pas dia menoleh ke samping, Eric lagi-lagi nggak ada.
Sudah hampir satu minggu Eric nggak masuk sekolah. Alex memang mengurungkan niatnya mencari Eric. Nggak ada yang akan berubah dari kontrak kematian itu. Nanti saja, pada hari terakhir hidupnya dia temui cowok jelmaan setan tersebut.
Pelajaran di sekolah berlangsung seperti biasa.
Cuma sekarang jam-jam belajar itu terasa menyenangkan buat Alex.
“Kamu ikut bimbingan belajar di luar sekolah, Lex?” tanya Bu Alika saat mengembalikan kertas ulangan
Alex.

“Tidak,” jawab Alex sambil tersenyum.
Bu Alika menatap Alex sedikit heran, tapi nggak bertanya lagi. Mungkin bagi sang guru kimi angka delapan di hasil ulangan Alex itu nggak lumrah.
Alex nggak memedulikannya dan kembali ke bangkunya. Saat bel jam istirahat berbunyi, Alex langsung menghambur ke luar kelas.
“Lex, lo mau ke mana?” tegur Leony, mencegat langkah Alex.
“Mau ngajak Mimi ke kantin,” jawab Alex.
Leony langsung melipat tangan dan menatap Alex bingung. “Lex, kalo lo temanan sama kita, ya sama kita aja. Lo nggak boleh sahabatan sama anak-anak lain,” kata Leony, seolah itu peraturan yang nggak boleh nggak harus dipatuhi.
“Kenapa?” tanya Alex ingin tahu.

“Tentu aja nggak boleh, Lex. Nanti rahasia kita lo umbar ke mana-mana,” kata Niken yang mendekati meja Alex.
“Gue nggak pernah ngomong apa-apa sama anakanak lain. Lagian memangnya kita punya rahasia apa sih?” tanya Alex heran. Setau dia yang dilakukannya bersama Niken cs cuma ke salon, mal, dan kafe.
Rahasia apa yang ada di sana selain hura-hura dan menghambur-hamburkan uang?
“Pokoknya lo nggak boleh main sama anak-anak lain.
Kalo lo tetap temanan sama anak-anak lain, terpaksa lo dikeluarkan dari geng kita,” kata Moniq yang baru mendekat. Cewek berambut panjang itu bahkan mengultimatum Alex segala.
Sejenak Alex terdiam. Dia berusaha memikirkan sesuatu di benaknya. Jadi teman Niken cs memang menyenangkan: dianggap “berkelas” dan keren. Tapi gue cuma Alex, dan ingin jadi Alex saja.
Alex menoleh ke pintu kelasnya. Tampak Mimi yang baru datang berdiri di sana. Alex kembali sadar dirinya punya teman yang mau menerimanya apa adanya. “Nggak apa-apa kok, Mon, keluarin aja gue,” kata
Alex baik-baik pada Moniq.
Niken, Moniq, dan Leony melongo.
“Lex, anak-anak di sekolah ini semuanya berharap jadi bagian dari geng kami sementara lo malah pergi?” tanya Niken nggak percaya.
Alex mengangguk dan tersenyum. Memang sih, dulu dia juga berharap jadi salah satu anggota geng populer itu. Bahkan sampai menjadikan itu permintaan pertamanya. Tapi setelah bergabung di dalamnya, Alex merasa dia lebih suka punya teman yang mau menerima dirinya apa adanya. Nggak harus tampil sempurna hanya demi dianggap keren.
“Lo aneh deh, Lex. Kayaknya ada yang salah sama lo,” komentar Niken, lagi-lagi mengatai Alex aneh.
Alex nggak menanggapi, baginya yang aneh justru kenapa kemarin dia mau bergabung dengan cewekcewek populer itu.
“Mi, ke kantin yuk!” ajak Alex, menarik tangan Mimi

yang ikutan bengong di pintu kelasnya.
“Gue nggak lapar, Lex,” tolak Mimi, menarik lepas tangannya. Meski begitu, Mimi tetap mengikuti langkah Alex.
“Nggak mau ke kantin? Mmmm... kalo gitu lihat Kian main basket yuk!” ajak Alex, mengarahkan kakinya ke lapangan basket.
Mimi mengangguk. Namun wajah cewek itu masih menyimpan kebingungan.
“Kenapa, Mi?” tanya Alex.
“Lo ninggalin mereka? Bukannya mereka itu salah satu permintaan lo?” tanya Mimi heran. Mimi memang sempat melihat Alex ditegur Niken cs tadi.
Dan Mimi yang tahu soal tiga permintaan Alex pada
Eric tentu saja heran.
“Gue lebih suka nggak berteman denagn orangorang seperti mereka.”
“Lalu kenapa lo ngajuin permintaan itu ke Eric?”
Mimi masih nggak mengerti.

Alex diam sesaat. Agak sulit baginya menjawab pertanyaan ini. Tapi akhirnya Alex menjawab sejujurnya, “Karena ketololan gue.”
Kini gantian Mimi yang diam.
Alex dan Mimi akhirnya tiba di pinggir lapangan basket. Kian yang sedang bermain basket langsung melambaikan tangan saat melihat Alex. Sekarang saat jam istirahat Kian kembali bermain basket bersama teman-temannya atas permintaan Alex. Dia nggak mau waktu Kian dihabiskan hanya berduaan dengannya. Cowok itu kan perlu waktu bersama teman-temannya sendiri.
“Kian juga salah satu permintaan lo. Apa sama seperti Niken cs tadi, dia bukan yang benar-benar lo inginkan?” tanya Mimi ingin tahu.
Alex terdiam. Dia mengaku salah telah menjadikan
Kian bagian dari permintaannya. Tapi berbeda dengan kasus Niken cs, Alex memang menyukai cowok itu dan nggak mau kehilangan Kian.
“Gue bakal mati, Mi. Boleh nggak gue minta tolong

sesuatu sama lo?” kata Alex tiba-tiba.
“Apa?”
“Saat gue mati, bilang sama Kian, gue sayang sama dia.” Mendengar itu Mimi nggak berani bertanya lagi.
Alex pun hanya diam menatap sosok Kian yang berlari ke lapangan basket. Karena ketololannya, sebentar lagi dia nggak akan bisa melihat cowok itu selamanya. ***
Waktu kematian Alex semakin dekat. Tinggal satu hari lagi, alias besok.
Sepulang sekolah, Alex hanya duduk di dalam kamar merenungi nasib. Di depannya berjejer foto-foto yang kebanyakan baru dibuatnya dalam beberapa hari terakhir. Foto Alex bersama Mama, bersama
Rian, dan foto mereka bertiga bersama Oom Iwan.
Juga ada foto Alex dengan sahabat-sahabat sejatinya,
Mimi dan Elmo, serta foto Alex bersama Kian.

Nggak berapa lama lagi Alex akan pergi selamalamanya, meninggalkan semua yang disayanginya.
Jujur, Alex nggak pengin pergi....
Seandainya ada yang dapat menebus semua kesalahan gue, pinta Alex penuh harap dalam hatinya. Alex lalu menarik napas panjang. Ini memang jalan yang harus dihadapinya. Dia harus menerima kenyataan dirinya mati besok. Tapi setidaknya dalam beberapa hari terakhir ini dia sudah melakukan hal-hal terbaik dalam hidupnya.
Alex melihat jam dindingnya, sudah jam delapan malam. Dia berencana mau ke rumah Eric, bicara sebentar dengan cowok jelmaan setan itu, lalu balik lagi ke kamarnya dan menunggu kematian menjemputnya. “Ma, Alex mau ke rumah teman sebentar ya,” Alex berpamitan pada Mama yang sedang menata meja makan. Oom Iwan ikut membantu.
“Kamu nggak makan dulu?” tegur Mama.

“Duluan aja, Ma, Alex ada perlu sebentar. Penting banget soalnya,” Alex beralasan. “Alex pergi ya, Ma,
Oom,” pamit alex sambil melangkah keluar.
Alex mengambil motornya dan menjalankannya menuju rumah Eric.
***
Eric sedang melihat-lihat sekeliling rumahnya di bumi. Sebentar lagi dia akan menyelesaikan tugasnya di bumi dan pergi dari rumah besar yang disewanya ini. Slash muncul di samping Eric, langsung melempari dinding rumah dengan tanah dan merusak bunga-bunga yang ada di taman.
“Hei, apa-apaan lo?” tegur Eric melihat ulah sahabatnya. “Meluapkan kegembiraan karena sebentar lagi kita bisa pulang,” kata Slash gembira banget.
“Lo merusak rumah orang,” tegur Eric lagi.
“Ini kan tugas kita juga,” sindir Slash tertawa.

Eric terdiam. Gara-gara kelamaan di bumi dan menyamar jadi manusia, dia seolah melupakan hakikatnya sebagai setan. Atau jangan-jangan dia memang bukan setan sejati...
“Slash, gue mau ngasih tahu lo sesuatu,” kata Eric tiba-tiba. Perasaannya nggak enak, terus-terusan menyimpan rahasia.
“Soal apa?”
“Alex.”
Slash menghentikan ulahnya merusak tanaman bunga. “Alex baru ngajuin dua permintaan,” akhirnya Eric mengungkapkan rahasianya.
Slash terkesiap kaget. Kegembiraan pada sahabat
Eric itu berubah menjadi kekecewaan. “Gue udah baca buku ribuan halaman itu sampai habis. Nggak ada batasan lo mau ngasih berapa permintaan buat korban lo. Mau satu, tujuh, ataupun seribu permintaan. Nggak ada ketentuan apa pun,” sergah

Slash.
Eric juga tahu, kali. “Tapi yang gue janjikan sama
Alex tiga permintaan, Slash. Tiga!”
“Dengar, Ric, kalo Alex memberikan permintaan ketiganya buat orang lain, lo akan gagal dalam ujian itu. Meskipun kecil kemungkinan Alex melakukannya, tetap saja dia punya peluang,” Slash mengingatkan. Eric terdiam.
“Kita ini setan. Setan nggak perlu menepati janji selain kepada sesama setan,” kata Slash lagi.
Eric tetap saja terdiam.
“Terserah lo deh. Kalo gagal, lo harus jadi malaikat.
Kalo berhasil, lo akan jadi raja kegelapan berikutnya.
Pilih sendiri!” seru Slash. Ucapan cowok itu terdengar kesal.
“Malaikat?”
“Ya, yang selalu menolong manusia itu lho,” sindir

Slash.
Eric mengerutkan kening. Apa Slash tahu sesuatu tentang rahasianya?
Lamunan Eric dibuyarkan oleh bunyi motor yang berhenti di depan gerbang. Eric menoleh, dan melihat Alex turun dari motor itu.
“Gue harus jadi kucing nih?” tanya Slash.
Terlambat, belum sempat Slash berubah wujud, Alex sudah keburu melihat sahabat Eric itu. Jadi Slash pun mengurungkan niatnya.
“Siapa dia? Gue baru tau lo punya teman,” kata Alex saat Eric membukakan gerbang.
“Slash, dia sahabat gue. Mungkin lo lebih mengenalnya dalam wujud kucing hitam,” Eric memberikan sedikit petunjuk. Eric dan Alex lalu duduk di teras, sementara Slash langsung saja masuk ke rumah.
“Kucing hitam?” tanya Alex sedikit heran.

“Ya, yang sering lo lihat dalam mobil gue, atau yang pernah membaca di dalam rumah.”
Alex mengangguk, tapi tetap saja menatap Eric heran. “Dia setan, sama seperti gue. Cuma dia nggak mau keberadaannya di bumi ini diketahui, makanya di luar rumah ini atau kalau ada manusia, dia berubah jadi kucing,” jelas Eric lagi.
Barulah Alex mengangguk agak lama, tanda mengerti. “Lo kenapa nggak masuk sekolah lagi? Takut ketemu gue?” Alex mengganti bahan pembicaraan.
Eric cuma meringis.
“Sori, gue marah ke elo waktu itu karena gue kecewa banget. Tapi setelah gue pikir-pikir, ini kesalahan gue sendiri.” Alex malah minta maaf sama Eric.
“Nggak perlu, Lex. Selain nggak mau mau ketemu lo, gue juga bakal pergi besok, jadi sekalian aja gue bolos biar gue punya alasan nggak masuk sekolah

karena ngurus kepindahan gue,” jelas Eric. Waktu tinggalnya di bumi semakin sedikit. Eric ingin saat dia pergi nanti nggak ada yang bakal kaget banget atau merasa sangat kehilangan dirinya.
“Tapi gue benar-benar minta maaf lho,” kata Alex lagi. Eric menganguk. “Lo anak baik, Lex,” kata Eric sambil menatap iba cewek di depannya tersebut.
Alex malah menggeleng. “Nggak, gue bukan anak baik. Gue baru sadar gue punya semuanya ketika waktu gue udah semakin sempit.”
Eric terdiam mendengar ucapan Alex. Sejenak keraguan hadir di hatinya. Alex seharusnya punya waktu hidup yang lebih lama lagi. Usia cewek itu baru lima belas tahu, desisnya dalam hati.
“Gue siap mati kok, Ric,” kata Alex lagi.
“Alex, sekali lagi gue cuma mau bilang gue cuma melakukan tugas gue. Aslinya gue setan, bahkan pangeran kegelapan. Gue turun ke bumi karena dihukum. Gue dicurigai berbuat kesalahan,” kata

Eric. Dia sengaja mengatakan yang sesungguhnya sama Alex, sebab waktu ujian ini akan segera berakhir. Keputusan lulus ataupun tidak sesaat lagi akan diketahui. Apa pun hasilnya, Eric merasa dengan mengatakan yang sesungguhnya pada Alex akan membuat bebannya berkurang, dan semoga juga membuat Alex lebih bisa menerima keadaannya. “Kesalahan apa?” tanya Alex ingin tahu.
“Gue dituduh berhati malaikat.”
Alex menoleh, menatap Eric heran.
“Ibu gue malaikat. Bokap gue memilih pergi dari kerajaan setan demi menikahinya, dengan perjanjian kalo punya anak laki-laki, anak tersebut akan jadi milik kerajaan setan. Anak itu adalah gue,” jelas Eric.
“Kenapa lo dituduh berhati malaikat?”
“Ada gosip di istana yang bilang gue pernah ke bumi dan menolong manusia. Dan gosip itu dipertegas lagi dengan bunga.”

“Bunga? Maksudnya?” tanya Alex.
Eric mengangguk. “Gosipnya anak kecil yang gue tolong itu ngasih bunga hidup, lengkap dengan potnya, dan gue menyimpannya di istana. Sementara menurut kaum setan, bunga itu tidak boleh dimiliki karena termasuk keindahan. Semua setan diharuskan menyukai hal yang jelek-jelek seperti kehancuran, kekacauan, dan sebagainya.”
Alex meringis mendengarnya.
“Gue cerita semua ini biar lo tahu yang sesungguhnya. Ini tugas, bukan kemauan gue pribadi, Lex. Gue hanya menjalankan apa yang jadi kewajiban gue.”
“Nggak apa-apa kok, Ric, nggak usah merasa bersalah. Gue ngerti keadaan lo,” kata Alex dengan senyum dipaksakan.
“Lo nggak nyesal?” tanya Eric takut-takut.
“Tentu aja gue nyesal. Tapi nggak apa-apa kok, setidaknya gue menyadari bahwa ternyata hidup gue itu indah. Dan di sisa waktu hidup gue, gue udah

melakukan semua yang terbaik yang gue bisa. It’s ok,” kata Alex lirih.
Kembali rasa kasihan memenuhi diri Eric.
“Masih ada satu hal lagi yang harus gue omongin ke lo,” kata Eric dengan suara pelan. Dia sendiri sangat ragu dengan tindakannya ini.
“Apa?”
“Lo masih punya satu permintaan lagi,” kata Eric lirih. Bagaimanapun, Eric merasa harus mengatakan hal tersebut pada Alex, supaya rasa bersalahnya berkurang. Tapi ucapan itu juga membuat dirinya sendiri berada dalam keadaan tertekan. Dia bisa saja gagal dalam ujian ini.
“Satu permintaan lagi? Bukannya lo bilang cuma tiga, dan gue sudah minta ketiga-tiganya?” Alex malah balik bertanya dengan heran.
“Lo baru minta dua.”
“Dua?!” Alex lebih heran lagi.

Eric mengangguk.
“Tapi gue sudah minta tiga dan lo kabulkan ketigatiganya, Ric. Bokap gue sudah datang, Kian sudah jadi pacar gue, dan tiga cewek populer itu sudah jadi sahabat gue,” Alex mengingat kembali permintaannya satu per satu.
“Satu di antara yang lo katakan itu nggak termasuk permintaan lo. Lo baru minta dua.”
“Apa yang nggak termasuk?”
“Alex, gue nggak akan mengatakannya. Tiga jam lagi waktu ujian gue habis. Sebaiknya lo cepat minta sesuatu!” suruh Eric, menghentikan ocehan Alex.
“Tiga jam? Gue nggak ingin apa-apa lagi, Ric.” Alex menggeleng. “Mintalah sesuatu.”
“Apa gue bisa minta gue terus hidup?” tanya Alex ragu. Pertanda cewek itu tahu kalau hal itu mustahil.
Ering menggeleng memastikan.

“Gue bisa minta waktu kembali ke satu bulan yang lalu, saat kita belum ketemu?” kata Alex sambil tertawa kecil.
Eric kembali menggeleng.
“Kalo gitu, nggak ada lagi yang gue inginkan,” kata
Alex pasrah.
“Ya udah. Setidaknya gue sudah menepati janji gue menawarkan tiga permintaan. Lo ambil ketigatiganya atau nggak ya terserah lo.”
Alex tampak terdiam. “Gue akan mati, Ric, nggak ada yang gue inginkan buat diri gue lagi,” kata cewek itu menggeleng. Tapi tiba-tiba Alex seperti teringat sesuatu. “Boleh nggak permintaan itu gue berikan buat orang lain?”
Eric langsung tersentak mendengar pertanyaan itu.
Slash yang muncul di puntu dalam wujud manusia menatap waswas ke arah Alex.
“Sepertinya nggak ya, Ric?” Alex menjawab sendiri pertanyaannya. Eric diam saja. Nasibnya berada di ujung tanduk saat ini. Dia menatap ke arah Slash yang berada di pintu.
Sahabatnya itu pasti akan membencinya setengah mati. “Kenapa, Ric?” tegur Alex saat menyadari Eric hanya diam. “Nggak kok.”
“Seandainya boleh, Ric, gue mau minta orang-orang yang gue sayangi bahagia,” kata Alex tanpa beban.
Eric menatap ke arah Slash. Ujiannya gagal!
Seketika cahaya merah menghampiri dirinya dan
Slash, yang langsung membawa mereka kembali ke langit. Part 21
ALEX berangsur-angsur siuman. Dia heran

mendapati dirinya pingsan di teras rumah Eric.
Terakhir yang dia ingat, dia sedang bicara dengan
Eric di sini, dan di tempat ini juga ada Slash teman
Eric, yang berdiri di depan pintu.
“Apa yang terjadi?” Alex bertanya sendiri.
Dia lalu bangkit dan mencari-cari ke sekelilingnya.
“Eric?! Lo di mana?” panggil Alex sambil celingukan.
Tapi cowok jelmaan setan itu nggak bisa Alex temukan di mana-mana.
Alex lalu mencari ke dalam rumah. Ajaib, interior mewah yang berwarna merah dan penuh kilapan emas di dalam rumah ini lenyap. Yang tersisa tinggal ruang-ruang kosong seperti rumah yang tidak pernah ditinggali.
“Eric?!” Alex masih berusaha mencari Eric. “Slash?!”
Alex meneriakkan nama sahabat Eric itu.
Alex berkali-kali mencari di dalam maupun di luar rumah itu. Tapi tetap nggak berhasil menemukan sosok dua cowok jelmaan setan itu. Bahkan tandatanda dua cowok itu pernah tinggal di rumah besar

ini pun nggak ada.
Setelah lelah mencari, Alex beristirahat sejenak.
“Sebenarnya apa yang terjadi ya?” tanya Alex heran.
Dia melihat motornya masih terparkir di depan rumah ini. Berarti dia benar-benar datang ke sini, bukan cuma mimpi. Jam di HP Alex pun menunjukkan pukul sembilan malam, berarti waktu masih berjalan, dan masih pada hari yang sama. Tapi kenapa nggak ada tanda-tanda keberadaan Eric dan
Slash? Dua cowok jelmaan setan itu hilang berikut barang-barang mereka—rumah, mobil, dan segalanya. Merasa nggak menemukan jawaban, Alex mengambil motornya. Lebih baik dia pulang.
Namun di tengah perjalanan, tepatnya di dekat taman kompleks, Alex melihat ada cahaya merah di bangku taman.
Apa itu Eric? Desisnya dalam hati.
Alex menghentikan motornya dan berjalan

mendekati bangku tersebut. Ternyata benar, tampak sosok Eric sedang duduk di sana. Masih memakai bajunya tadi: kaus merah, celana jins, dan sepatu kets. “Hai, Alex,” sapa cowok itu datar.
“Kenapa lo menghilang tiba-tiba? Kenapa rumah itu kosong? Mana Slash teman lo?” tanya Alex beruntun.
“Alex, gue gagal dalam ujian gue,” kata Eric tanpa emosi. Meski begitu, Alex tetap menangkap nada kekecewaan dalam ucapan cowok itu.
“Gagal?!”
“Kontrak kematian akan hangus kalo permintaan itu diberikan kepada orang lain.”
Alex terdiam. Seharusnya dia senang mendengar hal tersebut, dan dia memang senang. Tapi mengingat kalau dia bebas berarti Eric gagal, membuat rasa bersalah menghinggapi hatinya.
“Nggak apa-apa, Lex. Manusia seperti lo berhak hidup lebih lama,” kata Eric membantu

menenangkan perasaan Alex.
“Sori, Ric,” ujar Alex tulus.
Eric mengangguk. Cowok itu lalu berdiri, seolah hendak pergi.
“Semua permintaan yang pernah lo ucapkan itu akan terhapus, Lex. Lo memiliki hidup lo sepenuhnya. Apa pun yang terjadi di hidup lo, adalah karena diri lo sendiri. Lo mau berhasil, mau gagal, mau disukai atau dibenci itu karena diri lo sendiri. Selamat tinggal,” kata Eric sambil melangkah pergi. Cahaya merah samar-samar mengiringi langkah cowok itu.
Alex menatap cowok itu dengan kasihan.
Bagaimanapun, meski Eric itu setan dan pernah mengelabuinya, cowok itu nggak sepebuhnya jahat.
Bahkan, tanpa sadar Eric sering sekali membantu
Alex menyadari betapa berharga hidupnya ini.
“Ric!” panggil Alex.
Eric menghentikan langkahnya dan menoleh.
“Bagi gue, lo malaikat,” ujar Alex mengatakan apa

yang dia rasakan. Semoga ucapannya bisa membantu Eric.
Eric tersenyum dan terus melangkah. Cahaya merah yang samar-samar tadi berganti dengan cahaya putih yang semakin kuat.
Eric melangkah semakin jauh. Sosok cowok itu menghilang dari pandangan Alex, diiringi kilatan cahaya putih.
Alex tersenyum. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya selega mungkin.
“Terima kasih, hidup,” kata Alex, merentangkan kedua tangan dan memandangi langit.
Alex lalu mengambil motornya dan meneruskan perjalanannya pulang.
***
Alex terbangun paginya. Hari yang sangat baru bagi seorang Alexandra Alfarez. Dia telah terlepas dari perjanjian kematiannya dengan setan.

Sejenak Alex jadi terpikir soal tiga permintaannya sebelumnya. Kira-kira apa ya, yang tidak teramsuk permintaannya pada Eric? Persahabatan dengan
Niken cs, pacaran sama Kian, atau Papa datang?
Sampai Alex selesai mandi dan bersiap pergi sekolah, nggak ada tanda-tanda Papa masih berada dalam hidupnya. Kalau seandainya Papa datang bukan hasil permintaannya, tapi karena keinginan
Papa sendiri, seperti kangen anaknya, pasti ada telepon atau pembicaraan mengenai Papa di rumah ini. Tapi buktinya nggak.
Alex tetap duduk sarapan berdua Mama, membiacarkan masalah mereka sendiri. Kalapun ada pembicaraan lain, paling soal Oom Iwan mengajak jalan-jalan. Jadi tinggal dua permintaan lagi yang
Alex pertanyakan: persahabatan dengan Niken cs atau pacaran dengan Kian?
Alex belum menemukan jawabannya, karena keburu mendengar bunyi bel di pintu depan.
“Biar Alex yang buka, Ma,” kata Alex sambil beranjak ke depan.

Saat Alex membuka pintu, tampak wajah Mimi dan
Elmo kaget melihat dirinya.
“Alex?! Lo masih hidup?!” tanya dua sahabat Alex itu nyaris serempak.
“Siapa, Lex?” terdengar suara Mama dari ruang makan. “Mimi sama Elmo, Ma!” kata Alex sambil meraih paksa kedua temannya itu menjauhi pintu.
“Alex, lo masih hidup? Mana Eric? Kami dari rumahnya, dan rumah itu kosong speerti nggak pernah ditinggali,” kata Elmo tetap nyerocos.
Alex memberi isyarat agar kedua temannya itu diam.
Setelah Mimi dan Elmo tenang, baru Alex menceritakan apa yang terjadi tadi malam.
“Jadi lo tetap hidup terus?” tanya Mimi senang.
Cewek itu langsung memeluknya erat.
“Selama gue dikasih kesempatan,” kata Alex berusaha melepaskan pelukan Mimi, karena napasnya sesak.

“Lalu apa yang bukan merupakan permintaan lo dari tiga hal itu? Niken cs, Kian, atau bokap lo?” tanya
Elmo persis seperti yang Alex pikirkan saat bangun tidur tadi.
“Gue belum tahu.”
“Yang penting sekarang lo tetap hidup!” kata Mimi sambil kembali memeluk Alex, seolah-olah mereka sudah sepuluh tahun nggak ketemu.
“Ya, itu yang penting. Berangkat sekolah yuk, ntar kita bisa telat,” tegur Elmo. “Lex, lo ikut gue?”
“Gue naik motor aja deh,” tolak Alex sambil menunjuk motornya.
“Oke deh, kita ketemu di sekolah. Bye, Alex!” kata
Elmo sambil menarik tangan Mimi ke mobilnya.
“Lex, lo nggak bakal jadi ‘Alex’ yang waktu itu lagi, kan?” tanya Mimi sambil membentuk tanda kutip dengan jemarinya waktu menyebut nama Alex.
Alex yang tahu maksud ucapan itu langsung

menggeleng. “Nggak.”
Tentu saja nggak. Meski dia mendapatkan hidupnya kembali, dia nggak mau jadi Alex yang sombong, yang meninggalkan teman-temannya karena punya teman lain yang terlihat lebih oke.
Mimi dan Elmo meninggalkan rumah Alex.
Alex masuk ke rumah untuk berpamitan dengan mamanya dan segera berangkat ke sekolah.
***
Setibanya di sekolah, Alex memarkir motornya, lalu melangkah riang di koridor sekolah. Senang banget perasaannya hari ini.
“Hai, Niken. Hai, Moniq. Hai, Leony,” sapa Alex satu per satu begitu berpapasan dengan tiga cewek tersebut. Sejenak tiga cewek cantik itu terkejut menatap Alex, lalu mereka terus saja melewatinya.
“Kenapa si Alex sok ramah pake nyapa-nyapa kita

segala?” tanya Niken heran kepada dua temannya.
“Nggak tau. Tapi kata anak-anak tadi, dia pernah sahabatan sama kita,” kata Leony heran.
“Sahabat? Maksud lo jadi anggota geng kita?” tanya
Niken lagi.
“Iya, anak-anak sekolah ini bilang. Tadi gue ketemu
Rika, teman sekelas Mimi, yang tinggal di depan rumah gue itu. Dia yang bilang kenapa Alex nggak temanan sama kita lagi? Gue bilang, emang kapan gue pernah temanan sama Alex?” kata Leony.
“Iya, gue juga nggak merasa kenal dia,” kata Moniq menambahkan. Mendengar itu, Alex cuma geleng-geleng. Dia tersenyum sendiri. Berarti pengaruh permintaannya terhadap tiga cewek populer itu sudah lenyap.
Alex meneruskan langkah menuju kelasnya. Tibatiba dia mendengar suara seseorang memanggilnya.
“Alex!” suara Kian.

Sejenak Alex tertegun. Pengaruh permintaannya pada Niken cs sudah habis, bagaimana dengan Kian?
Kenapa cowok itu masih mau menyapanya? Janganjangan...
Alex menoleh. Dia melihat Kian tersenyum dan berjalan ke arahnya. Seketika Alex tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Kian bukan akibat perjanjiannya dengan setan.
“Hidup gue memang indah,” bisik Alex sambil menghampiri cowok yang benar-benar jadi pacarnya berkat usahanya sendiri.
***
Sementara itu di langit, dua makhluk dengan pakaian berbeda itu bertemu. Satu mengenakan baju serba putih dan satunya lagi memakai baju merah dengan sayap hitam. Mereka bertemu di pinggir kerajaan Asteria. Tentu saja secara diam-diam.
“Gue nggak ngira lo masih mau ketemu gue,” kata
Eric begitu melihat Slash. Sejak dia gagal dari ujiannya, persahabatannya dengan Slash terputus.
Eric terlempar ke negeri malaikat dan berkumpul

bersama orangtuanya. Sementara Slash, sang sahabat, tetap berada di negeri setan. Dan Eric tahu
Slash pasti membencinya karena gagal.
“Kita kan teman. Seperti apa pun keadaannya, kita akan tetap jadi teman juga,” kata Slash dengan gaya khasnya—menggerutu. “Itu ucapan terbaik yang pernah gue dengar dari lo,” komentar Eric.
“Hahaha, lucu!” sindir Slash sambil tertawa keras.
“Gimana keadaan lo?”
“Seperti yang lo lihat: putih!”
“Ceweknya cantik-cantik?”
Eric mengangguk.
“Baguslan, biar lo betah. Ini, gue bawain lo sesuatu,” kata Slash sambil memunculkan sesuatu di tangannya. Sebuah pot berisi bunga putih yang sedang mekar.
Eric ternganga melihat bunga itu. Bunga pemberian

anak kecil yang ditolongnya. Pegawai istana Malvera memang nggak mengada-ngada saat menuduhnya punya bunga, karena memang beneran ada. Tapi sejak kasus itu terkuak dan menimbulkan kehebohan di istana, bunga tersebut malah nggak pernah Eric temukan.
“Lo menyembunyikannya?!” tanya Eric nggak percaya. Slash dengan malas berkata, “Dulu gue pikir itu cara buat menolong lo, sekarang mungkin inilah caranya,” kata Slash sambil memberikan pot bunga itu ke tangan Eric.
Eric tahu, Slash setan. Tapi menurut Eric, solidaritas cowok itu sebagai sahabat melebihi makhluk apa pun. Selama ini ternyata Slash tahu rahasianya, tapi tetap saja cowok itu menolongnya.
“Thanks, Slash!”
“Berikan sama cewek-cewek cantik itu, siapa tahu salah satunya jadi pacar lo!” kata Slash sambil beranjak pergi dan kembali ke tempatnya di negeri kegelapan. Eric melihat bunga mekar di tangannya. Dia tersenyum sendiri.
“Gue memang putih, cool,” katanya senang telah menemukan jati dirinya.
THE END

Similar Documents

Free Essay

Qwer5T6Yuiop

...creeps. It's such a thrilling, suspenseful page turner that left me with a few goosebumps along the way. Gillian Flynn has a knack for creating messed up characters, and she does it so well that I believe every word! I did see the movie adaptation, and I thought it was so good! The actress that played one of the characters here was great, and I highly, highly recommend everybody to watch it, even if you're not interested in reading the book. But the book... always read the book first ;) Next up is a classic disturbing book! A Clockwork Orange has Alex, who is one of the most memorable characters ever. He will forever be stuck in my mind. Such a well-structured and engaging story! I do have to admit though that there's something extra special and extra disturbing about the movie adaptation. The actor that plays Alex just truly captures everything about the character, and I love everything about the movie. Such a classic film, and something I wish everyone would watch at least once. Such memorable characters in here. And some of the most memorable scenes as well. If you're looking for a Stephen King book to read, check this out. It's very different from his other novels, and it's what made me appreciate King as an imaginative author. I do have to mention the movie, as Kathy Bates was incredible in it. This list can not exist without this book. Some of the events that are told in this book have been some of the most agonizing things I've ever read. It's one of those rare books that made...

Words: 495 - Pages: 2

Free Essay

The Body of Christopher Creed Essay

...The Body of Christopher Creed Essay By: BigJ38 Nobody really found out what happened to Christopher Creed, because there was no real evidence. Now a theory I have of what happened to Chris, was in Chris's note that he wrote to Mr. Ames, said "Dear Mr. Ames, I have a problem getting along with people. I know that people wish I were dead, and at this moment in time I see no alternative but to accommodate them in this wish. I have a wish. Not that anybody cares, but if anybody cared over the years, it was you. Here is my wish. I wish that I had been born somebody else.” He put names of people he wished to be like Mike Healy, Jose DeSantos, Tommy Ide, Evan Lucenti, Victor (Torey) Adams, and Alex Arrington. When Torey makes the website in search of Chris, the reply that seemed a lot like Chris must have been him. For one it had way too many details of what could have happened to him too many for an outsider to know. And for another, in Chris's note he listed Torey Adams as somebody he wishes he was born as. So the note that made him believe it was Creed was signed "Victor Adams." I think that Chris "killed" the person he was and didn't want to be that night in the woods when he MUST HAVE dug up his treasure because why else would his map be out there. So once he got far enough away he change his name to the person he most admired (obviously Torey) and tried to attain the traits that he liked most about the people he listed in his note. This is what I think happened...

Words: 296 - Pages: 2

Free Essay

Tell the Women We Are Going

...circle of life has passed them by. The Millers had these neighbors named the Stones that lived across the hall from them. The husband Jim worked as a salesman for a machine-parts firm, where he managed to combine business with pleasure trips. Harriet and Jim Stone was that couple that was very outgoing and easy to get along with, they would always entertain people at their house. On this particular occasion, the Stones were planning a two weeks trip to Cheyenne and then St. Louis to visit relatives. “ Have fun”, Bill said to Harriet. “We will”, said Harriet. “You kids have fun too” (Carver 117). The Millers were envious of the Stones because they were going on a two week vacation and the Millers felt has if they deserve to go on one. “ Well, I wish it was us,” Bill said…. “God knows, we could use a vacation,” Arlene said (Carver 117). They really wished that it was them going because every time the Stones go on vacation they visit different states and countries, they Millers would like to explore different things outside their...

Words: 322 - Pages: 2

Premium Essay

The Monkeys Paw- Fear of the Unknown

...fear. The use of fear of the unknown with regard to greed have been shown in a number of ways. Firstly with the game of chess between Mr. White and his son Herbert, then jumping at the chance to make a wish on the paw even after knowing that the paw had brought trouble to others that had used it and lastly asking for their son to be brought back to life. The game of chess in this story symbolizes life in "The Monkey's Paw." The game of chess entails risk taking. When the story opens Mr. White and his son Herbert are playing a game of chess in the safety and warmth of their home but little do we the reader realize that the outcome of the game will eventually mirror that of the ending of the story. While playing with his son, Mr. White announces his theory of "radical changes" with regard to chess. He takes incredible risk in the game and even Mrs. White is worried about the moves that he makes. We are told that Mr. White has just committed "a fatal mistake after which it was too late." During the game he realizes that while he was feeling confident about the risks he was taking, he discovers that theses risks have brought only loss to his game, foreshadowing much the same as the risks he takes in wishing on the paw for 200 pounds and the great loss that such a wish will bring upon his family. With the visit from a friend, Sargent-Major Morris, a man who has travelled around the world, the White's comfortable, cozy lifestyle is changed forever. Morris tells the...

Words: 796 - Pages: 4

Free Essay

Wishing Well

...on this famous hindi song but in my own way “Duniya me aaye ho to love karlo, thoda sa jee lo thoda adventure karlo” 1st: Everyone wants a good life partner but the qualities or attributes they want differ from person to person. So what I wish for is that I want her to love me the way I will love her. Also I don’t want a queen because I will treat her like queen. There are many things that I have thought I will do after marriage. Some of them are cooking with her, helping in household work as I am an expert in this field, party with her and going mad and many more which are not appropriate to tell here. I have planned what I will do for her before marriage, after marriage and in life. I wish her to be understanding about my work, my lifestyle and trustworthy. Trust is the backbone of any relationship, trust gone everything gone. So this is what I wish for and in return I promise her wherever she is that I will love her so much that she can’t imagine and be a perfect partner and we will live happily 2nd: The most important thing I wish for is that I want my stammering problem to just go away. Yes I stammer a lot, but improving year after year, doing hard work, working better on my communication skill. The main reason for this wish is just to improve my communication skill, as it hinders in almost everything in life. I feel very shy to talk to anyone. When I see other boys just going talking to any girl and getting along, then this goes to another level, I feel bad for myself...

Words: 693 - Pages: 3

Premium Essay

Literary Techniques Used In The Store Monkey's Paw

...how would you like everything you wished for with out know there was a catch attached to it . for example in the store monkey's paw it shows a dark ,and evil side by showing that temptation can lead to greed and a form a kind of karma from gaining one thing important to losing something you love the next. Like in the story herbert wished for two hundred pounds ,but didn't realise he be losing something worth more than money when he gain money. They also show darkness with them explaining the way the setting is in the story and by adding sound to see or feel what the character is feeling . The monkey's paw show a sort of karma by each event showing something going wrong for each time there was a wish something unfortunate happens. like for...

Words: 358 - Pages: 2

Premium Essay

Literary Techniques In The Monkey's Paw

...This sarcastic tone generalize that the solider is being smart,or sarcastic. Then The father Mr. White gets the Monkeys Paw,he wishes for something saying, Punctuation Errors There should be a space after a closing quote. Replace with: ” I ”I wish for 200 pounds Miscellaneous Unpaired symbol: '“' seems to be missing ” (Jacob 94). After this statement the reader can say he is eager due, through his use of tone. Tone played a major factor on finding the theme of the passage. W. W Jacobs creates comparisons through metaphors, similes and allusions. For example when the narrator describes how his hand moved saying, Miscellaneous Unpaired symbol: '“' seems to be missing ” As I wish it twisted in my hand like a snake Miscellaneous Unpaired symbol: '“' seems to be missing ” (Jacob 91). This simile is implying that it must have scared him or he was nervous. Jacob uses a metaphor to describe the old man face stating, Miscellaneous Unpaired symbol: '“' seems to be missing ” There was no reply, the old man face was...

Words: 740 - Pages: 3

Premium Essay

Who Is The Protagonist In The Monkey's Paw

...The Monkey’s Paw Character Analysis The Monkey’s Paw is a famous and suspenseful story about the White family and their naive and foolish father, Mr. White. Sergeant-Major Morris, a visitor, warned White about the encursed talisman. Mr. White wasn’t on the same road as Morris, but then Morris “suddenly threw it upon the fire” and Mr. White went diving for it (Jacobs 3). Seeing this in one’s mind can lead them to the idea that Mr. White wants the paw dearly. Mr. White is easily persuaded by his son to make the first wish, which is to pay off the house with £200. This is shown early in the story, when Mr. White’s son, Herbert, says the White family would be “rich, famous, and happy” (Jacobs 3), though Mr. White states, “I don’t know what to wish...

Words: 275 - Pages: 2

Premium Essay

Comparing The Fight And The Golden Touch

...Midas wished for the “Golden Touch” thinking it was the best thing he had ever desired, but he ended up turning all of his possessions into gold including his beloved daughter. Midas then finally realized what a huge mistake he had made and immediately regretted it, but it was too late. In conclusion, although the two stories share similar theme, they also address it in a different way. In “The Fight”, the main character desired for popularity, but ended up with humility and shame. While in “The Golden Touch”, King Midas was being greedy, wanting more of the precious metal, but got his daughter killed through his greediness in the end. Can you think of any other possible themes between these two stories? And remember, be careful with what you wish for or you might regret it. ...

Words: 452 - Pages: 2

Premium Essay

Geoffrey Rush Research Paper

...Those of us that continue to pursue our dreams through set goals and experience setbacks that motivate us to give up and take the back seat, one thing is for sure, we need to have it in mind that greatness can never be rushed. Geoffrey Rush is a very popular Australian actor who was destined to be a sensation behind the cinematic camera lenses of Hollywood cinematographers. He experienced setbacks and dry spells in his career but continued to persist against the odds. The talented Oscar-winning actor was conceived in Toowoomba Queensland, Australia on July 6, 1951. He was raised in Brisbane after his parents separated. Rush attended Everton Park State High school during his formative years. His drive for performance saw him become a part of a theatre troupe at Queensland University in Brisbane in 1968. In 1971 Geoffrey Rush managed to capture the attention of the Queensland Theatre company which saw his debut in one of their productions titled the wrong side of the moon. In 1972 Rush managed to successfully obtain a degree in English from the University of Queensland, Brisbane. Five years later, Rush was part of a directing course in London. Rush also later joined a mime school in France, Paris. After enjoying his time in Paris, Rush made a surprise comeback to the QTC. In 1981Rush’s first debut was as a detective in a crime thriller called “Hoodwink”. Most of his acting work from this point onwards was confined to the theatre. This lasted for ten years. 1992 saw Rush suffer...

Words: 789 - Pages: 4

Premium Essay

Plagiarism

...through. For example, if there is a workaholic who spends all of their time at their job, their spouse will be angry that the workaholic isn’t spending enough time with them. This is a common marital issue that could result in adultery. Sacrificing even a little of time at work to be at home with the family could easily fix this problem. Desire was a common word used in this reading which I knew the meaning of but looked up the definition anyway. Desire means to wish, want, or long for. Desires are a natural part of human thought processes. We all want this or that for Christmas or wish for happiness etc. Wishing is a very common idea for children. Children are always told to wish upon a star or make a wish when you blow the candles on your birthday cake. Wishing is implanted into our brains at a very young age. Some teenagers will wish for better parents or that their brother or sister has never been born. These are most likely regretful wishes that if they every came true the saying “Be careful what you wish for”, would be said. After hearing this, the teenager will have a better perspective on how to appreciate what you have and make sacrifices. Relationships will undoubtedly test your emotions to the point where you question your willpower and values. The thought the author kept using “Isn’t there supposed to be something...

Words: 666 - Pages: 3

Free Essay

Make a Wish

... well as much as we like the idea it is not going to happen. We have children who are suffering from life- threatening illnesses who do not have a chance to be a kid or to grow up with the memories of childhood. We try all we can as parents and family to keep our children safe we just can not perdict a child getting a life threating illness, we do all we can to make our child happy while going through a scary ordeal. If we can make one dream come true for a sick child for one day of forgetting they are staring down a life threatening illness and make that child laugh wouldn't giving that child a wish come true be amazing? The social program I am creating is a program to help a child who is terminally ill or has a life threatening illness called “Dreams Come True.” A dream come True program would for one day grant sa wish one child makes come true. To make this happen I would need to set up the program, find donors and volunteers, financing to help the wishes come true. Advances in medicine and modern technonogy have increased the survival rate in children with chronic illness, including illnessess that were considered fatal (Cohen,1995).Witnessing the child's pain and fear, combined with the constant fear of death makes it difficult for the family to function normally and plan for the future (Haas, 1990; Rolland, 1994; Sloper, 2000). Literature on the differential impact of the child's chronic illness on the...

Words: 1373 - Pages: 6

Premium Essay

Monkeys Paw

...music played in the movie added more suspense too. Specific scenes where different moods were set, created that suspense. The humor used with Herbert was not used in the short story. Herbert picked at Mr.White about the monkey paw being a myth and not being real. The irony showed in that is after Herbert picked fun at his father. After Herbert made a remark then left for work that very morning after the White's wished for five hundred pounds. Herbert got in a horrific accident that day at work. The accident kills him. Later that day a mysterious man arrives at the Whites with the news of their sons death and a letter payment for them from the factory. The payment was five hundred pounds. This bringing the story to its climax after the first wish being made. The music and the actors show more suspense, leaving the watchers think. What's going to happen next? Was it a coincidence they received five hundred pounds? Is the monkey's paw really cursed? The characters in the movie were all the same except a couple were changed in the movie. Sargent Major in the short story came to the Whites to visit because it had been twenty years since he had visited. He was a heavy drinker, had even three whiskeys just before telling his story about the "monkeys paw" he had brought to show Mr.White. What changed in the movie was Sargent Major was the Sea Captin. The Sea Captain didn't change much about him from the short story but he wasn't much of a drinker. He had also visited the Whites a lot...

Words: 696 - Pages: 3

Free Essay

Computers

...always me granting the wishes for once I would like to be getting my three wishes. Would I have any remorse afterwards? Let’s see what wishes I would choose and some examples of the importance of each wish . As a genie for thousands of years there are so many wishes to choose from, but I have narrowed it to three. My first wish is very important for me, and I am sure that others would agree on the importance of happiness for all. Another wish is to have more friends, because it gets very lonely in the bottle I currently live in. Last of all, my most important wish, I wish to live outside the bottle, and as normal human being. Now I will explain the importance of each wish and how it will affect my life in the future. My first wish is for happiness to all. I think that has a nice sound to it, don’t you? It is tough being a genie, but it’s also very gratifying helping others in need. Yes, I know there are going to be ups and downs from whatever you wish for, but you can learn to deal with what life throws at you that might transpire from a first wish. Most people in the world today want something that is better than they already have. This first wish will help others to deal with personal, emotional, and other issues in their lives in a much better way. By asking for my first wish I think it will help people in a way that they might not be able to help for themselves. Yet, no matter how happy people are, I know as a genie I still have other problems to deal with before I am...

Words: 920 - Pages: 4

Free Essay

Quiz

...would use them to benefit the world in whole. I believe that the only good change are ones that can help more than just myself. The first wish I would make would be for Peace Worldwide. Requesting peace may sound cheesy, but think of the changes it would make in our world. If everyone could get along without hate and be able to tolerate each other. If we had Peace there would be no reason to have Homicide Units in the Police Departments. If we had Peace there would be no need for prisons, and just think about how much money we would save as a whole. If there were peace just think about how many tears would never have to be shed. To me peace is a wonderful thing to wish for. The second wish I would make would be for no uncurable sicknesses. If we could cure all ailments we would have better life spans, as well as better life period. When I think about AIDS and what it does to the individual suffering from it and their loved ones it breaks my heart. I wish we could absolve that from ever happening to another soul. The AIDS virus is not the only sickness, there is cancer, mental disorders, body ailments, and alcholism, drug addiction, and so many more that we all could list that touches someone, somewhere, and somehow. I would love to see sickness removed from our world. I would wish that instantly if I could. The third and final wish if a genie graced me with his lamp would be for everyone in the world to know and truly understand what loves is and be able to give it correctly...

Words: 364 - Pages: 2