Free Essay

Psikologi Komunikasi

In:

Submitted By
Words 6309
Pages 26
BAB II
KEANEKARAGAMAN HAYATI PADA RUANG HIJAU DI PERKOTAAN
II. 1. Ruang Terbuka Hijau Kota
Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan (Permendagri no 1 tahun 2007 tentang penataan RTH kawasan Perkotaan).
Ruang terbuka di perkotaan terdiri dari:
1. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah:
a. Bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika (Permendagri 1 tahun 2007)
b. Area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (UU no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang)

Biasanya ruang terbuka hijau ini berbentuk jalur mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai dan lainnya. Bentuk konkrit yang paling umum dijumpai adalah jalur hijau sepanjang jalan dan daerah-daerah resapan air. Tanaman yang ada adalah jenis pohon (seperti Damar, Palem Raja), perdu berbunga (seperti Oleander, Nusa Indah), semak (Anak Nakal dan Teh-tehan) dan tanaman penutup tanah (Kriminil dan rumput).
2. Ruang Terbuka Non Hijau

Ruang terbuka non hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun area-area yang diperuntukkan sebagai kawasan genangan (retention basin).
Besaran ruang terbuka di perkotaan dapat dilihat pada diagram II.1 berikut ini:

Tujuan pembentukan Ruang Terbuka Hijau adalah:
1. Meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan dan sebagai pengaman sarana lingkungan perkotaan
2. Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan bimaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat. (Inmendagri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan)

Fungsi RTH menurut Faisal( 2009) adalah:
1. Konservasi Tanah dan Air
2. Ameliorasi Iklim
3. Pengendali pencemaran
4. Habitat Satwa dan Konservasi Plasma Nutfah
5. Sarana Kesehatan dan Olahraga
6. Sarana Rekreasi dan Wisata
7. Sarana Pendidikan dan Penyuluhan
8. Sebagai Area Evakuasi Bencana
9. Pengendali Tata Ruang Kota.
10. Sumber pendapatan daerah / masyarakat

Fungsi RTH yang akan dibahas lebih lanjut adalah sebagai habitat satwa dan konservasi keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati adalah penyusun utama struktur ekosistem yang membentuk suatu jaringan ekologis perkotaan. Maka keberadaan keanekaragaman hayati memiliki fungsi yang penting dalam RTH kota.
II.2 Keanekaragaman Hayati di Indonesia
Tabel II.1. Negara dengan Nilai Keanekaragaman Hayati dan Endemik Tertinggi
Sumber: Mittermeier et al. 1997 dalam Biodiversity Action Plan for Indonesia, 1993 Negara | Nilai Keanekaragaman Hayati | Nilai Endemik | Nilai Total | Brazil | 30 | 28 | 48 | Indonesia | 18 | 33 | 40 | Colombia | 26 | 10 | 36 | Australia | 5 | 16 | 21 | Mexico | 8 | 7 | 15 | Madagascar | 2 | 12 | 14 | Peru | 9 | 3 | 12 | China | 7 | 2 | 9 | Philippine | 0 | 8 | 8 | India | 4 | 4 | 8 | Ecuador | 5 | 0 | 5 | Venezuela | 3 | 0 | 3 |

Tabel II.1. menunjukkan posisi Indonesia dalam peringkat negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Nilai keanekaragaman hayati dihitung dari keragaman lima grup vertebrata (burung, mamalia, reptil, amfibi, dan ikan), dua taksa invertebrata (kupu-kupu dan kumbang). Nilai endemik dihitung dari empat jenis vertebrata (burung, mamalia, reptil, amfibi), dua taksa invertebrata (kupu-kupu dan kumbang), dan tanaman tinggi.
Meskipun Indonesia hanya menutup 1,3% luas bumi, negara ini memiliki keragaman fauna dan spesies yang tinggi (Dephut 1994) yang terbagi atas 10% tanaman berbunga dunia, 12% spesies mamalia dunia (515 Spesies, 39% di antaranya merupakan spesis endemik yang menduduki peringkat kedua di dunia) 16% spesies reptil dan amfibi (511 spesies reptil dengan 150 spesies merupakan spesies endemik, dan lebih dari 600 spesies amfibi), 17% spesies burung (1531 Spesies, 397 spesies merupakan spesies endemik) yang merupakan peringkat keempat untuk kekayaan spesies burung dunia, dan 121 spesies kupu-kupu, 44% merupakan spesies endemik. Keanekaragaman hayati indonesia mengindikasikan suatu variasi besar dalam ekosistem dan proses ekologis dengan keluasan habitat alami, kekayaan jenis flora dan fauna, dan jumlah pulau endemik yang tinggi, Indonesia berada dalam posisi sentral keanekaragaman hayati dunia.
Keanekaragaman hayati perkotaan adalah keragaman dan kekayaan makhluk hidup, termasuk genetik, spesies, dan keanekaragaman habitat yang ditemukan di dalam dan di sekitar kota. Perubahan lingkungan alam dan aktifitas manusia, mempengaruhi tingkat keragaman hayati (Abendroth, 2009). Contoh spesies yang memiliki peranan penting dalam keanekaragaman hayati Indonesia adalah burung dan kupu-kupu. Selain sebagai indikator keanekaragaman hayati, burung dan kupu-kupu merupakan spesies yang keberadaannya disukai oleh masyarakat dan kemunculannya pada RTH tdapat memicu interaksi manusia dengan lingkungannya.
II.2.1. Burung dalam Ekosistem Taman Kota
Dalam bukunya, Burung-Burung Sumatera, Jawa dan Bali, Mackinnon menyatakan bahwa Burung merupakan kelompok besar vertebrata terbesar yang menyebar di dunia dengan jumlah sekitar 8600 jenis. Burung hidup dan 14

menempati hampir setiap tipe habitat dari khatulistiwa hingga ke daerah kutub. Diversitas burung meningkat searah dengan daerah dengan ketinggian lebih rendah (Resosoedarmo, Kartawinata, dan Soegiharto, 1985). Odum (1993) menyatakan bahwa keanekaragaman burung lebih tinggi pada lingkungan yang stabil, seperti hutan tropik dibanding dengan lingkungan dengan pengaruh periodik dari manusia atau alam. Odum juga menyatakan bahwa keanekaragaman jenis burung jauh lebih tinggi dalam komunitas yang lebih tua dibandingkan dengan komunitas yang baru terbentuk.
Menurut Hernowo (1989) dasar pemikiran kota sebagai salah satu objek pelestarian burung adalah bahwa burung dapat hidup berdampingan dengan manusia sepanjang kebutuhan hidupnya terpenuhi selain sebagai komponen ekosistem alam, yang memiliki peranan yang sangat penting dalam mengontrol populasi serangga, membantu penyerbukan bunga dan pemecahan biji. Hal ini dapat dilihat dalam jaringan makanan yang dilalui dalam ekosistem alam yang membentuk kehidupannya. Sebagai penyerbuk bunga dan penyebar biji tumbuhan, burung berfungsi dalam membantu proses regenerasi hutan.
Teknik yang perlu dikembangkan dalam pelestarian burung di wilayah perkotaan ditekankan pada pembinaan ruang terbuka hijau kota sebagai habitat burung dan pengamanan faktor gangguan terhadap burung.
Pakpahan dalam Ramdhani 2006, seorang pengamat burung dan dosen IPB fakultas kehutanan menyatakan bahwa burung dapat menjadi tolok ukur kualitas lingkungan yang baik dan memenuhi syarat bagi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu kepentingan untuk menghadirkan burung di wilayah perkotaan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
1. Membina atau menciptakan Ruang Terbuka Hijau
2. Membina wilayah yang dapat berfungsi sebagai habitat burung
3. Menciptakan koridor yang menghubungkan wilayah-wilayah binaan tersebut.
Kurnia, dalam Ramdhani 2006, menyatakan bahwa kondisi alam yang terdapat dalam habitat menentukan jenis burung yang hidup di dalamnya. Pengaruh 15

penting dalam habitat burung diperoleh dari tumbuhan. Tumbuhan tidak hanya berperan sebagai sumber makanan, namun juga berperan sebagai tempat bersarang, memantau, bersembunyi dan berlindung.
MacArthur (1961) menyatakan bahwa keanekaragaman burung dipengaruhi oleh keanekaragaman tajuk vegetasi pada suatu habitat, mendukung penelitian yang dilakukan oleh Ichinose bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara jumlah jenis burung dengan luasan taman kota, namun hal yang signifikan terhadap kehadiran burung adalah tutupan dan struktur vegetasinya. Keberadaan burung selain dipengaruhi oleh vegetasi, juga memberi pengaruh pada vegetasi. Beberapa jenis burung dengan perilakunya memiliki peranan besar dalam proses penyebaran biji dan penyerbukan tumbuhan di alam.
1. Populasi dan Distribusi Burung
McNaughton and Wolf dalam Ramdhani 2006 menyatakan bahwa laju kelahiran dan laju kematian dipengaruhi oleh seluruh faktor lingkungan, dan komponen genetik yang dimiliki masing-masing individu yang telah berevolusi sesuai dengan kondisi lingkungan. Hal ini yang menentukan laju pertumbuhan populasi dan tidak dipengaruhi oleh sifat migrasi.
Wiens, 1989. Menyatakan bahwa luas penyebaran suatu jenis burung ditentukan oleh beberapa faktor yaitu:
a. Habitat yang sesuai
b. Pengaruh faktor penghalang yang mencegah keluarnya burung dari suatu daerah
c. Ketersediaan sumber daya yeng bersifat kritis
d. Interaksi kompetitif dengan suatu jenis yang memiliki hubungan dekat atau dengan jenis yang sama secara ekologis
e. Faktor-faktor iklim yang mempengaruhi tekanan fisiologis
f. Kemampuan suatu daerah untuk menampung daerah jelajah suatu individu
g. Kesempatan
h. Faktor sejarah
16

Faktor-faktor tersebut diatas merupakan bagian suatu lanskap yang akan menentukan distribusi lokal spesies dalam suatu wilayah, kelimpahan dan pola distribusinya dalam komunitas lokal.
2. Habitat dan Keanekaragaman Burung di Taman Kota Bandung
Menurut Ramdhani 2006, Taman Kota Bandung merupakan habitat binaan yang cukup menunjang kebutuhan hidup burung. Hal ini dilihat dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti semenjak tahun 1979. Iskandar (1979) meneliti keanekaragaman burung di taman kota dan mencatat sebanyak 21 jenis burung. Megantara dkk. (1994) mencatat 36 jenis pada penelitian di taman kota, sedangkan Nurwatha (1995) mencatat 34 jenis dari penelitian di tiga taman kota. Sedangkan Ariesusanty (2003) mencatat 24 jenis burung yang terdapat di beberapa tempat di kota Bandung.
Ramdhani mencatat 50 jenis burung yang ditemukan dalam enam taman kota Bandung dalam penelitiannya mengenai keterkaitan antara kehadiran burung dengan kondisi lanskap. Melalui penelitiannya ditemukan empat dari 69 variabel lanskap yang berkorelasi secara signifikan. Variabel-variabel itu antara lain: luas taman, perimeter standar deviasi pada vegetasi rumput, ukuran bercak rata-rata, dan ukuran bercak standar deviasi pada vegetasi rumput, sehingga penelitian ini menunjukkan bahwa komposisi pohon dan stratifikasi vegetasi penyusun setiap taman kota mempengaruhi keanekaragaman burung dalam taman kota Bandung.
II.2.2. Kupu-kupu dalam Ekosistem Taman Kota.
Seperti yang dijabarkan sebelumnya dalam Tabel II.I mengenai kedudukan Indonesia dalam konteks keanekaragaman hayati Internasional, Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman kupu-kupu paling tinggi di dunia. Sekitar 10% kupu-kupu dunia terdapat di Indonesia (Peggie, 2006). Permasalahan yang terjadi pada kupu-kupu saat ini, seperti permasalahan-permasalahan lingkungan lainnya adalah penurunan populasi kupu-kupu di Indonesia bahkan hingga mengalami kepunahan. Hal ini terjadi karena konversi lahan yang terjadi pada kota-kota besar dan menyebabkan berkurangnya habitat satwa. 17

Seperti burung, kupu-kupu sebagai komponen penting penyusun keanekaragaman hayati memiliki peran besar dalam lingkungan. Salah satu peranan serangga dalam lingkungan adalah penyerbukan. Bukhman (1996) menyatakan bahwa sekitar 90% penyerbukan di muka bumi dilakukan oleh serangga. Penyerbukan pada bunga oleh serangga merupakan peran penting pada sebuah ekosistem, dan penyerbukan oleh serangga memiliki perluang terjadi lebih besar daripada penyerbukan yang dilakukan oleh bunga itu sendiri.. Hal ini terjadi karena penyerbukan oleh serangga bersifat cepat dan steril dari gangguan zat asing. Simbiosis mutualisme dapat dilihat melalui kedatangan serangga pada bunga, dimana selain bunga memperoleh kesuksesan dalam reproduksinya, serangga juga memperoleh makanan berupa nektar atau polen.
Berbeda dengan burung-burung taman kota Bandung pada umumnya yang bergantung pada pepohonan tua dan tajuknya, bagi kupu-kupu, keberadaan bunga merupakan hal yang terpenting. Pemilihan bunga oleh kupu-kupu akan berbeda-beda di setiap area. Pemilihan bunga tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu, ancaman predator, keberadaan letak dan komposisi bunga, yang menjadi pertimbangan dalam memilih bunga.
Kupu-kupu melakukan pemilihan bunga pada suatu area yang tidak berlangsung secara acak , melainkan terdapat suatu pemilihan yang spesifik terhadap bunga (Jennersten 1984, dalam Bakowski, 2005). Pemilihan bunga oleh kupu-kupu dewasa bergantung pada bentuk dan panjang mahkota bunga (Goulson, 1999), yang menjadi pertimbangan bagi kupu-kupu dalam memilih bunga yang akan diambil nektarnya. Bunga melakukan adaptasi morfologi dan fisiologi yang bertujuan untuk menarik perhatian serangga. Adaptasi tersebut terjadi melalui warna bunga yang mencolok, aroma yang dikeluarkan bunga, dan adanya nektar yang menjadi alasan bagi serangga untuk mendatangi bunga, karena karakteristik bunga biasanya digunakan dalam memprediksi kedatangan hewan. Karakteristik tersebut antara lain bentuk bunga, aroma, warna, kelimpahan, nektar, mahkota bunga, ukuran bunga, panjang mahkota, dan umur bunga. Hal tersebut merupakan 'atraktan' yang memancing serangga datang pada bunga. Atraktan diklasifikasikan menjadi dua jenis, atraktan primer dan sekunder. Atraktan primer diantaranya 18

adalah polen, nektar, minyak, dan substansi lain. Sedangkan atraktan sekunder antara lain adalah aroma yang dikeluarkan oleh bunga. (Faegri, 1979).
Menurut Wilson dalam Mulyana 2009, serangga memiliki prinsip dalam strategi mencari makannya, yakni mendapatkan energi sebesar-besarnya dengan resiko serendah mungkin. Serangga selalu berpindah-pindah dalam pencaharian makannya. Tempat makan serangga ini disebut gugus. Perpindahan serangga dari sebuah gugus ke gugus lainnya disebabkan karena atraktan berupa aroma, yang merupakan rangsangan bagi serangga sekaligus informasi mengenai jenis makanan dan jumlah sumber makanan yang ada pada gugus tersebut. Pemilihan gugus pakan oleh kupu-kupu juga dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan perletakannya terhadap sinar matahari. Kupu-kupu lebih sering beraktivitas di tempat yang hangat dan terbuka (Peggy 2006a). Selain itu, kupu-kupu akan lebih menghindari tempat dengan tingkat aktivitas manusia yang cukup tinggi.
II.3. Variabel Lanskap dan Fragmentasi Habitat yang Mempengaruhi Keberadaan Jenis dan Populasi Burung dan Kupu-kupu
Forman and Gordon (1986) mendefinisikan lanskap sebagai susunan ekosistem yang berinteraksi dalam lahan yang heterogen. Faktor-faktor penyusun suatu bentukan lanskap adalah:
1. Bercak(patch)

adalah area-area non linear, relatif homogen yang bermanfaat sebagai stepping stone untuk persebaran spesies, memuat kepadatan spesies yang tinggi, tempat berlindung mamalia kecil dan predator. Bercak biasanya mempunyai perbedaan karakteristik dalam hal ukuran, bentuk, tipe, heterogenitas, dan batas-batasnya. Bercak dalam lansekap pada umumnya berupa pengelompokan komunitas tumbuhan dan hewan, terkadang tidak ditumbuhi oleh vegetasi atau dihuni oleh mahluk hidup. Bentuk bercak sangat terkait dengan efek tepi. Komposisi dan kelimpahan organisme di bagian dalam bercak akan berbeda dengan bagian tepi. Pada bagian – bagian tertentu dari tumbuhan seperti bunga dan buah mungkin saja akan lebih berlimpah 19

pada daerah tepi bercak sehingga menarik lebih banyak hewan, misalnya serangga penyerbuk atau hewan pemakan buah (Forman and Gordon, 1986).
2. Koridor

adalah ruang berbentuk sabuk memanjang yang mempunyai karakteristik yang berbeda pada semua sisinya. Peranan koridor dalam lanskap adalah untuk keperluan transportasi, memberikan kemungkinan bagi organisme untuk melakukan mobilitas, perlindungan (misalnya dari hembusan angin, mencegah erosi) dan sebagai sarana perlindungan sumberdaya (untuk usaha konservasi).
3. Matriks

adalah jejaring yang mengendalikan aliran energi dan siklus materi yang terjadi dalam suatu lanskap. Matriks relatif dominan dan memegang peranan penting dalam fungsi suatu lanskap. Penentuan matriks pada suatu lanskap akan lebih mudah apabila salah satu komponennya ditemukan dalam luasan yang sangat besar, homogen dan tersebar secara merata (Forman and Gordon, 1986).
Gangguan terhadap penyusun bentukan lanskap diatas seperti perubahan atau hilangnya habitat, gangguan manusia, serta pencemaran lingkungan. Dapat mempengaruhi keberadaan jenis dan populasi burung dan kupu-kupu.
II.3.1 Fragmentasi Habitat Keanekaragaman Hayati di Perkotaan
Fragmentasi habitat merupakan pemisahan habitat darat menjadi bagian-bagian kecil yang terpisah dan terisolasi antar satu dengan lainnya sebagai. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari pembangunan (Aurambout, et al, 2005).
Tiga dampak negatif fragmentasi habitat menurut Aurambot:
1. Fragmentasi menyebabkan terbaginya bercak habitat luas menjadi berukuran kecil dalam jumlah lebih banyak, hal ini menimbulkan hilangnya jaringan habitat yang berdampak pada berkurangnya terutama sumber makanan dan tempat perlindungan bagi keanekaragaman hayati yang berarti berkurangnya jumlah keanekaragaman hayati yang mampu didukung kehidupannya.
2. Dengan terbukanya daerah inti, fragmentasi bercak habitat, mendorong pada perubahan dramatis pada daerah tepi. Daerah tepi menyediakan kondisi iklim-mikro berbeda dibanding daerah inti sehingga mungkin tidak lagi cocok bagi
20

keanekaragaman hayati semula serta memperbesar peluang terjadinya predasi oleh jenis predator pada daerah tepi. Kondisi tersebut akan berakhir pada penurunan keanekaan hayati.
3. Fragmentasi habitat mendorong terjadinya isolasi geografis yang menciptakan pulau-pulau habitat di antara matriks perkotaan atau tata guna lahan pertanian. Hal ini akan membatasi daya pergerakan organisme tertentu yang terisolasi. Hal ini memperbesar ancaman terjadinya perkawinan sesama pada populasi kecil yang merupakan permasalahan serius bagi keberlanjutan jenis tersebut dan bisa mendorong pada kepunahan populasi. Lebih jauh lagi, populasi kecil lebih sensitif terhadap kejadian tak terduga, semacam kebakaran atau ledakan epidemik penyakit yang semuanya akan berakhir pada kepunahan populasi lokal.

Fragmentasi habitat merupakan kasus yang saat ini banyak terjadi pada ekosistem atas konversi guna lahan. Menurut Jordan, 1999, habitat alami adalah pulau-pulau kecil dalam lautan aktivitas manusia. Degradasi habitat dan fragmentasi dapat membawa dampak negatif hingga pada kepunahan habitat. Salah satu upaya untuk mencegah kepunahan habitat akibat fragmentasi adalah dengan menciptakan koridor ekologi dalam bentuk koridor keanekaragaman hayati sebagai utilitas metapopulasi lanskap.
II. 4 Jejaring Ekologis
Bennet, 2004 mendefinisikan jejaring ekologis sebagai sistem lanskap yang dikelola dengan tujuan perawatan atau perbaikan fungsi ekologis sebagai upaya untuk konservasi. Faktor utama penerapan konsep jejaring ekologis pada tataran teknis yaitu alokasi fungsi spesifik terhadap masing-masing wilayah, bergantung pada nilai ekologis dan potensi sumber daya alamnya. Menurut Bennet, 2004, sistem jejaring ekologis tersusun atas:
1. Daerah inti (Core areas), dimana konservasi keanekaragaman hayati menjadi fungsi utamanya, mencakup baik kawasan konservasi dan bahkan wilayah yang tidak dilindungi peraturan perundangan
2. Koridor (corridors), yang menyediakan koneksi ekologis vital melalui penyediaan penghubung secara fisik antara daerah inti
21

3. Daerah penyangga (buffer zones), yang melindungi jaringan dari pengaruh luar yang merusak dan merupakan daerah transisi dikarakterisasi oleh penggunaan lahan yang sesuai.
4. Daerah pemanfaatan yang berkelanjutan (sustainable-use area), dimana kesempatan yang cukup tersedia pada matriks lanskap baik untuk eksploitasi sumberdaya alam maupun untuk pemeliharaan fungsi ekosistem.

Menurut Opdam, 2006. konsep jejaring ekologis sebagai dasar yang cocok pada upaya memasukkan konservasi keanekaragaman hayati pada pembangunan lanskap berkelanjutan. Suatu lanskap bisa mencapai keberlanjutan bila struktur lanskap harus menyokong proses ekologis yang dibutuhkan suatu lanskap agar bisa menghasilkan layanan lingkungan untuk generasi saat ini dan yang akan datang.
II. 4. 1. Koridor dalam Jejaring Ekologi
Koridor menfasilitasi proses biologi seperti migrasi dan perpindahan regular oleh hewan, sehingga koridor menyokong keterpaduan jejaring bercak habitat, yang sangat penting bagi kelangsungan hidup banyak spesies.
Dalam skala lanskap, koridor berperan sebagai sarana migrasi. Koridor menfasilitasi proses biologi seperti migrasi dan perpindahan regular oleh hewan, sehingga koridor menyokong keterpaduan jejaring bercak habitat, yang sangat penting bagi kelangsungan hidup banyak spesies (European Centre for Nature Conservation, 2004). Carruthers dan Smith (1996) menjelaskan bagaimana koridor menambahkan nilai pada lanskap yang terfragmentasi dengan menanggulangi ketidakmampuan spesies untuk kembali dari proses kepunahan (fase katastropik) karena ketidakmampuan mereka untuk masuk kembali ke dalam sistem. Noss dalam Krebs (2001) menyimpulkan potensi keuntungan dan kerugian dari sebuah koridor (appendix 3). Haddad & Baum dalam Krebs (2001) menemukan bahwa kepadatan kupu-kupu menjadi dua kali lipat setelah sebuah koridor ditempatkan diantara bercak yang terisolasi. Banyak rekomendasi dari beberapa penelitian termasuk ketetapan untuk koridor keanekaragaman hayati. Hal ini diakukan dalam meminimalisasi resiko isolasi yang terjadi pada bercak 22

yang kecil dan menyediakan sebuah sistem yang menopang keanekaragaman hayati dengan level yang lebih tinggi pada termin waktu yang lama.
Menurut Abendroth, 2009, banyak faktor yang dapat meningkatkan kualitas koridor keanekaragaman hayati, diantaranya:
1. Penyediaan habitat untuk spesies yang berbeda dari mamalia, burung, reptil, amfibi, dan serangga. Koridor ini juga menyediakan makanan, naungan, dan perlindungan
2. Koridor menunjang penyebaran spesies dari sebuah habitat kunci ke tempat lain. Koridor memfasilitasi penyebaran dengan dua cara – penyebaran secara difusi dan penyebaran dengan loncatan.

Melalui penyebaran secara difusi, individu dapat hidup di dalam koridor, dan terjadi transfer genetik dari peristiwa migrasi individu di antara pulau habitat yang berdekatan dan koridor di antara beberapa generasi. Penyebaran dengan loncatan terjadi ketika hewan berpindah dengan jarak yang cukup jauh dalam pencarian makanan, habitat, maupun pasangannya. (Krebs 2001).
Untuk memaksimalkan efisiensi fungsi koridor, koridor seharusnya bersifat lokal dan memenuhi kebutuhan spesies target yang berbeda-beda. Koridor yang menjadi payung spesies dapat memenuhi kebutuhan yang sama oleh spesies yang berbeda. Karakteristik penting dari spesies yang menentukan tipe koridor, adalah kapasitas penyebaran spesies, kebutuhan habitat terhadap penyebarannya, mekanisme penyebaran, dan strategi penyebarannya.
1. Kapasitas penyebaran: dari lokal ke global
Jarak penyebaran, migrasi, dan pergerakan komuter bervariasi pada setiap spesies. Skala koridor dan korespondensi jejaring ekologi berhubungan erat dengan kapasitas pergerakan spesies. Secara umum, spesies yang tidak banyak melakukan pergerakan membutuhkan koridor pada level lokal. Spesies dengan ukuran sedang membutuhkan koridor dalam skala regional, dan spesies herbivora dan karnivora yang besar membutuhkan koridor dalam skala kontinental, dan banyak spesies 23

burung bermigrasi diluar batas kontinental, sehingga konektivitas spesies harus dapat diakses pada skala yang bervariasi.
2. Mekanisme penyebaran
Ada dua mekanisme penyebaran spesies yang dapat dilakukan oleh spesies. Secara aktif berjalan, terbang, atau berenang), atau secara pasif (penyebaran melalui benih tumbuhan oleh hewan). Dalam pergerakan pasif, hewan berperan sebagai "transporting vector". Untuk spesies yang bergerak secara pasif, kehadiran koridor lebih dipentingkan untuk "transporting vector" daripada untuk spesiesnya sendiri. Secara umum, burung, mamalia, amfibi, dan reptil bergerak secara aktif, hewan-hewan invertebrata bergerak secara aktif dan pasif, persebaran tanaman dalam skala yang lebih besar secara pasif.
3. Strategi Penyebaran
Sebagian spesies beradaptasi terhadap dinamika spasial habitat secara temporer, spesies ini biasanya disebut spesies-R yang bergerak berpindah-pindah, dan oportunis. Berbeda dengan spesies R, spesies-K merupakan spesies yang beradaptasi pada habitat dengan perubahan minimal, spesies ini lebih mudah mempertahankan diri pada habitat dibandingkan dengan penyebarannya. Spesies-K secara general bergantung pada koridor, karena habitatnya biasanya dirusak atau terpengaruh oleh proses fragmentasi.
II.4.2. Klasifikasi Koridor Berdasarkan Fungsi
Koridor dapat diklasifikasikan dalam tiga kelas sesuai dengan fungsi yang akan dipenuhinya.
1. Koridor komuter digunakan untuk pergerakan regular dari area bernaung hingga mencari makan. Koridor komuter menghubungkan elemen yang memiliki fungsi yang berbeda terhadap spesies, menyokong pergerakan harian antara elemen-elemen dan mereduksi resiko predator. Pada dasarnya, pergerakan dibatasi pada jarak dekat (hingga beberapa kilometer) untuk vertebrata, atau hingga 10 kilometer untuk jenis spesies yang lebih luas. 24

2. Koridor migrasi
Digunakan untuk pergerakan migrasi tahunan dari satu area ke area yang lain. Spesies yang umum untuk koridor migrasi ini adalah burung dan ikan. Hal ini dapat berupa jalur linear yang terus menyambung. Seringnya jalur tersebut terdiri dari area-area transit selama migrasi.
3. Koridor dispersal digunakan sebagai pergerakan satu arah oleh individu. Dispersal adalah proses esensial yang mengarah pada pergerakan individual yang mengarah pada populasi atau rekonsiliasi pada bercak yang sesuai. Untuk membedakan antara individu dan populasi, koridor dispersal dapat dibagi menjadi tiga tipe yaitu koridor dispersal satu tahap, koridor reproduksi, dan koridor dengan ekspansi luas.
II. 4.3. Tipologi Koridor
Selain fungsinya, koridor dapat diklasifikasikan menjadi tiga sampai empat kelas sesuai dengan bentukkannya: line, stepping stone, dan landscape koridor. Invertebrata pada umumnya menggunakan kelas keempat, yakni line corridors with nodes.
Line corridor
Line corridorwith nodes
Stepping stone corridor
Lanscsape corridor
Gambar II.1. Tipologi Koridor
Sumber: European Center for Nature Conservation, 2004 25

Berdasarkan hal-hal diatas, gagasan semacam jejaring ruang terbuka perkotaan, sistem pertamanan, dan jejaring jalur hijau merupakan upaya yang perlu diciptakan untuk menjalin jejaring alami dengan buatan dalam rangka meningkatkan interaksi ekologis, keberlanjutan dan daya hidup pada lingkungan perkotaan.
II.4.4. Perancangan Koridor
Koridor direncanakan sebagai salah satu cara untuk mewadahi diversitas habitat (Labaree, 1992). Karena tujuan dari sebuah koridor adalah untuk mendorong perpindahan hewan dari satu area ke area yang lain, preferensi habitat dari spesies-spesies target harus dapat dipenuhi sepanjang koridor tersebut berada. Koridor yang direncanakan dengan hati-hati dan benar tidak hanya berguna sebagai penghubung habitat, namun juga dapat menambah jumlah habitat.
Mengacu pada pedoman yang dikeluarkan oleh Troy, 2003 dalam South East Biodiversity Corridor Strategy, Beberapa faktor yang menjadi tolok ukur penentuan perancangan koridor keanekaragaman hayati adalah:
1. Struktur Ruang Komposisi Penanaman Vegetasi

Sebagai optimalisasi ruang untuk seluruh spesies, koridor keanekaragaman hayati harus dapat menyediakan elemen penting seperti makanan, naungan, dan perlindungan dari predator melalui struktur penataan ruang dan komposisi penanaman vegetasinya.
Soule dan Gilpin (1991) menemukan bahwa koridor yang terstruktur dengan baik dapat sangat berguna untuk penyebaran benih dan migrasi dewasa juga perkembangbiakan. Carruthers & Smith (1996) menyebutkan bahwa kualitas habitat menentukan pokok keberhasilan dalam persebaran fauna.
2. Lebar Daerah Tepi

Daerah tepi merupakan daerah yang lebih rentan terhadap gangguan predator. Suatu pemisahan ruang hijau, memberi dampak perluasan daerah tepi yang signifikan. Pada gambar dibawah dijelaskan luas daerah tepi yang terbentuk sebagai efek pemisahan ruang hijau oleh jalan (gambar II.1). 26

Gambar II.2. Pengaruh Tata Guna Lahan terhadap Area Tepi RTH
Sumber: Horn, Troy, 2003
3. Panjang Koridor

Kemampuan penyebaran spesies sepanjang koridor keanekaragaman hayati terkait dengan panjang koridor. Gambar dibawah mendemonstrasikan keterkaitan relatif antara panjang koridor keanekaragaman hayati dengan kualitas vegetasi lokal alami. Proses ini dikembangkan oleh Carruthers & Smith (1996), dengan menyediakan pedoman yang bermanfaat untuk mengidentifikasikan lokasi optimum koridor keanekaragaman hayati dengan menggunakan Geographic Information Systems (GIS). Ditemukan bahwa kekayaan spesies dalam koridor akan berkurang seiring dengan perpanjangan jaraknya. Panjang koridor, dan dekatnya jarak tanam vegetasi lokal dikombinasikan dengan lebar, adalah hal-hal yang sangat krusial dalam persebaran efektif keberagaman fauna lokal. 27

Gambar II.3. Pengaruh Panjang Koridor terhadap Kualitas Vegetasi Lokal
Sumber: Horn, Troy, 2003
4. Keterkaitan penggunaan lahan

Berdasarkan uji coba yang telah dijalankan di Australia Selatan, dapat dilihat bahwa patch yang dikelilingi oleh vegetasi lokal alami secara signifikan memiliki nilai keanekaragaman hayati lebih tinggi daripada patch yang hanya berupa hamparan, lahan kosong, ataupun pertanian terbuka (Lindenmayer dalam Troy 2003). Bagan II.3 mengilustrasikan suatu hasil penurunan efek sudut pinggir koridor. Eksperimen ini menunjukkan bahwa koridor tidak harus lebar jika koridor tersebut berbatasan dengan vegetasi lokal di setiap sisinya.
Gambar II.4. Pengaruh Penanaman pada Pinggir Koridor
Sumber: Horn, Troy, 2003 28

II.5. Preseden Koridor Keanekaragaman hayati
II.5.1. Singapore Park Connector Network
Singapura mengkoneksikan setiap RTH yang ada dengan sebuah jaringan yang tersusun dari berbagai konsep. Salah satunya adalah konsep pemeliharaan keanekaragaman hayati.
Kebijakan penghijauan Singapura dimulai sejak tahun 1960 dan akan berlangsung hingga masa yang akan datang. Sejak tahun 1986 hingga tahun 2007 singapura telah berhasil meningkatkan RTHnya daru 35,7% menjadi 46.5% meskipun populasinya juga meningkat dari 2.7 juta jiwa menjadi 4.6 juta jiwa. Peningkatan ruang hijau ini ditingkatkan dengan mengintegrasikan ekosistem-ekosistem alami dengan taman, mengelompokan taman dengan ekosistem pelengkap dan aktivitas, mengkoneksikan mereka dalan sebuah 'pulau luas dengan jejaring hijau'.
Singapura memiliki 2000 spesies tumbuhan lokal, 57 mamalia, 98 spesies reptil, dan 25 spesies amfibi. 355 spesies burung dan 282 lebih spesies kupu-kupu. Bakau yang menjadi rumah bagi ratusan spesies ikan, dan banyak lagi spesies yang dapat ditemukan di bawah laut. Keseluruhan spesies ini telah dan terus diinventarisasikan dan melalui beberapa penelitian dipakai untuk menunjang pembuatan konektivitasnya melalui jejaring ekologis.
Singapura mengimplementasikan beberapa strategi penting dan peraturan mengenai jejaring ruang hijau:
1. Penanaman "pohon instan" (pohon yang cepat tumbuh, memiliki kanopi yang lebar, lokal dan mudah didapatkan, serta tidak membutuhkan perawatan yang rumit)
2. Desain jalan yang mencakup area penanaman
3. Kebutuhan area perkerasan untuk ditanami dalam penjagaan keseimbangan panas yang dihasilkan oleh permukaan aspal.
4. Menutup struktur betonan dengan tanaman rambat dan semak sebagai optimalisasi visual lingkungan
5. Syarat penanaman tanaman kanopi sepanjang area pedestrian
29

6. Menganjurkan penanaman halaman residensial untuk memfokuskan pada penanaman atap dan sisi bangunan tinggi sebagai maksimalisasi penggunaan lahan dan peningkatan kualitas lingkungan.
7. Mewajibkan developer untuk area residensial menanam pohon pada sisi jalan dan menyediakan area untuk ruang terbuka.
8. Memenuhi kebutuhan diversitas populasi dan sebagai bagian rekreasi
9. Peningkatan aset lokal
10. Menciptakan inventarisasi akan kebutuhan aset alami termasuk instalasi patung, playground dan habitat untuk menarik satwa liar seperti burung.
11. Perlindungan Pohon-pohon langka
12. Membangun akses dari jaringan komperhensif yang menghubungkan RTH-RTH utama dengan area alam.
13. Memberi edukasi pada masyarakat melalui website jaringan RTH nasional Singapura, sejarah penghijauan; dan sumber informasi lain mengenai kegiatan penghijauan.

Pada jejaring hubungan antar taman di Singapura terdapat pemenuhan kebutuhan diversitas populasi mahluk hidup dan pemenuhan kebutuhan ruang terbuka sebagai sarana rekreasi (gambar II.5). Selain fungsi ekologis dan rekreasi, pada jejaring juga terdapat fungsi edukasi, inventaris dan terbangunnya jaringan akses yang komprehensif antar berbagai RTH. Pembangunan Singapore's Park Connector Networks dibagi menjadi beberapa loop yang dapat dilihat pada Gambar II.6. Setiap warna merupakan jalur yang menghubungkan kawasan alami, taman, dan kawasan residensial yang berada di beberapa daerah di Singapura.

Gambar II.5. Skema Singapore’s Park Connector Network
Sumber: http://www.greatnewplaces.com

Gambar II.6. Foto-foto Singapore’s Park Connector Network
Sumber: http://www.nparks.gov.sg,
II.5.2. Penelitian Tomohiro Ichinose (Institute of Natural and Environmental Sciences, Himeji Institute of Technology) Tentang Keterkaitan Antara Kemunculan Burung di Taman Kota Nishinomiya, Hyogo Prefecture, Jepang Terhadap Vegetasi dan Kegunaan Lahan di Sekitarnya
Latar belakang penelitian ini adalah konservasi keanekaragamanan hayati di daerah perkotaan di Jepang, yang dirasakan sukar untuk diperbaiki. Disamping itu, penelitian ini dibuat karena belum adanya metode yang telah dicanangkan untuk perencanaan jejaring ekologis dan adanya kepentingan untuk dasar metode pada survey lapangan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasikan hubungan antara eksistensi burung dengan kondisi lingkungan di kawasan perkotaan dalam perencanaan jejaring ekologis. Aspek yang menjadi fokus penelitian adalah aspek vegetasi taman kota.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ichinose membawa pada kesimpulan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara jumlah jenis burung dengan luasan taman kota, namun hal yang signifikan terhadap kehadiran burung adalah tutupan dan struktur vegetasinya.
II.5.2. Penelitian Tomohiro Ichinose (Institute of Natural and Environmental Sciences, Himeji Institute of Technology) Tentang Keterkaitan Antara Kemunculan Burung di Taman Kota Nishinomiya, Hyogo Prefecture, Jepang Terhadap Vegetasi dan Kegunaan Lahan di Sekitarnya
Latar belakang penelitian ini adalah konservasi keanekaragamanan hayati di daerah perkotaan di Jepang, yang dirasakan sukar untuk diperbaiki. Disamping itu, penelitian ini dibuat karena belum adanya metode yang telah dicanangkan untuk perencanaan jejaring ekologis dan adanya kepentingan untuk dasar metode pada survey lapangan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasikan hubungan antara eksistensi burung dengan kondisi lingkungan di kawasan perkotaan dalam perencanaan jejaring ekologis. Aspek yang menjadi fokus penelitian adalah aspek vegetasi taman kota.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ichinose membawa pada kesimpulan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara jumlah jenis burung dengan luasan taman kota, namun hal yang signifikan terhadap kehadiran burung adalah tutupan dan struktur vegetasinya.

Gambar II.7. Keterkaitan antara kehadiaran satwa dengan tutupan dan struktur vegetasi suatu tempat.
Sumber: Ichinose, T., 2005
Beberapa poin penting yang diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah:
1. Konservasi:

Perlindungan area hijau yang ada sebagai habitat intu dari spesies-spesies, karena beberapa spesies dapat hidup dalan jangkauan lebih luas, sedangkan beerapa tidak.
2. Restorasi:

Restorasi dapat ditingkatkan dengan meningkatkan rasio pohon dan vegetasi tutupan untuk pemeliharaan burung.
3. Penanaman baru dan pengembangan ruang terbuka:

Penelitian ini mengemukakan bahwa hanya beberapa jenis burung dapat hidup dalam kondisi lingkungan dengan kepadatan dan aktivitas manusia yang tinggi, sehingga harus dibuat suatu konstruksi ruang terbuka baru di dalam wilayah perkotaan, meskipun hal ini tidak mudah, namun dapat dipecahkan dengan penanaman pada wilayah terbuka yang tidak cukup luas, menanam pohon pada lingkungan pribadi, atau mengkonstruksikan penanaman pada jalur.
Suatu koridor memerlukan ruang-ruang konservasi, restorasi untuk mempertahankan habitat yang ada. Penanaman baru dan pengembangan ruang terbuka pada jalur dan lingkungan pribadi juga akan mendorong terciptanya koridor baru dan meningkatkan kualitas koridor yang telah ada.
II.5.3. National Capital Parks-East, District of Columbia and Maryland.
Merupakan Pengelolaan administrasi sekelompok taman nasional yang berada di kawasan timur Amerika serikat, melingkupi Washington DC dan Maryland yang terdiri dari 14 lokasi dengan luas diatas 8000 hektar di dalam Washington DC, dan 3 lokasi di Maryland yang dikelola untuk sumber daya alam, kultural, dan rekreasi. Fitur alami yang signifikan pada taman termasuk pantai-pantai dengan pasir dan kerikil, tebing-tebing pantai, dataran rendah dan dataran tinggi, dua sistem sungai besar, beberapa sungai-sungai kecil, dan wetland. Ancaman utama terkait dengan pengaturan perkotaan: populasi rusa yang tinggi, invasi jenis spesies eksotis, dan isu-isu batas manajemen. 33
Beberapa Perhatian khusus pada manajemen pertamanan ini antara lain adalah perlindungan terhadap spesies. Habitat yang berada pada taman seperti pantai-pantai dengan pasir dan kerikil, tebing-tebing pantai, dan beberapa variasi wetland, yang merupakan habitat lokal. Taman-taman ini mewadahi spesies hewan dan tumbuhan yang tidak biasa seperti kepah lampu dan elang gundul, dan menciptakan koridor sebagai sarana migrasi burung dan kupu-kupu. tumbuhan yang tidak biasa seperti kepah lampu dan elang gundul, dan menciptakan koridor sebagai sarana migrasi burung dan kupu-kupu. Tekanan yang diperoleh dari pembangunan perkotaan dan vegetasi-vegetasi invasif, membuat
Gambar II.8. Peta National Capital Parks-East, District of Columbia and Maryland
Sumber: National Park Service, U.S. Departement of the Interior

Gambar II.9. Keanekaragaman Hayati dalam National Capital Parks-East,
District of Columbia and Maryland.
Sumber: National Park Service, U.S. Departement of the Interior
Bentuk pengelolaan taman ditekankan pada interkasi antar manusia dengan taman-taman yang dilakukan melalui media2 aktivitas yang disediakan pada tiap tamannya. Setiap lahan yang terdapat dalam National Capital Parks memiliki banyak tawaran yang menarik untuk pengunjungnya, dimulai dari jalur jalan yang tenang di dalam hutan atau pinggiran sungai hingga kembang api meriah dan ice skating pada saat musim dingin, sehingga pengunjung dapat mengunjungi lebih dari satu lokasi dan aktivitas.
Pengelolaan taman ini melingkupi penyelenggaraan acara yang dilaksanakan secara khusus, seperti acara budaya, sejarah, atau perayaan hari nasional yang membawa masyarakat untuk berpartisipasi pada lahan yang tersedia. Beberapa contoh programnya antara lain adalah display film pada taman, memberi nutrisi/makan pada hewan dan tumbuhan, juga program kebersihan taman.
Taman nasional ini juga merupakan sarana edukasi yang memberikan bimbingan informasi yang juga dimanfaatkan untuk pengembangan taman secara sains dan kultural serta edukasi mengenai manajemen aktivitas pada taman. Program tersebut ditempuh melalui pembelajaran dengan modul secara mandiri ataupun komunitas.
Kesimpulan yang diperoleh dari studi ini adalah,
1. Keanekaragaman hayati (dalam hal ini konservasi spesies lokal) merupakan elemen penting penyusun lokasitas lanskap suatu wilayah.
2. Dalam skala urban, faktor aktivitas manusia menjadi sangat penting, sehingga manajemen taman-taman nasional ini bertujuan memberi wahana interaksi antara manusia dengan lingkungan alaminya yang ditujukan untuk pembangunan lingkungan kota yang berkelanjutan.

II.5.4 Penelitian Behnax Aminzadeh dan Mahdi Khansefid (2009) mengenai Jejaring ekologis urban dan konteks perkotaan berkelanjutan pada Kota Metropolitan, Tehran, Iran.
Penelitian ini bertujuan untuk merencanakan jejaring ekologis kota yang bertujuan untuk mengkonservasi lingkungan alami di dalam kota dalam rangka mengembangkan lahan perkotaan yang berkelanjutan. Penelitian ini berfokus pada jejaring ekologis di perkotaan Teheran sebagai studi kasus untuk menyediakan suatu model bagi perencanaan jejaring di kawasan perkotaan lainnya dimana urbanisasi telah membawa dampak bagi kualitasi lingkungan. Tahapan yang dilakukan dalam penelitiannya yaitu mendefinisikan kondisi eksisting, menganalisis komponen jejaring ekologis baik yang alami maupun buatan, danmerancang usulan untuk pengembangan jejaring ekologis di masa depan. Komponen yang dianalisis yaitu: 36

1. Bercak alami dan buatan dalam bentuk ruang terbuka hijau (memiliki peran mendasar pada struktur ekologis kota sebagai bercak yang secara langsung mempengaruhi fungsi ekologis kota secara keseluruhan);
2. Jejaring hidrologis (sebagai koridor ekologis utama di lanskap perkotaan yang bervariasi dari badan air alami hingga buatan manusia, keberadaannya mempengaruhi aliran energi, udara, dan nutrisi);
3. Akses jalan (elemen struktur utama dan koridor ekologis perkotaan sebagai elemen penyambung bercak ekologis dan sebagai komponen struktur jejaring ekologis).

Komponen-komponen tersebut kemudian dikategorikan menjadi: bercak alami , bercak buatan, koridor alami, koridor buatan, matriks alami-buatan. Pada kesimpulan penelitian ini, struktur keruangan dan fungsi kawasan dipelajari dan dikategorisasikan melalui model bercak-koridor-matriks. Hasil penelitian disimpulkan melalui metode intervensi dan saran untuk perbaikan struktur dan fungsi lanskap perkotaan demi mencapai bentuk perencanaan pemanfaatan lahan yang lebih berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitiannya, Aminzadeh dan Khansefid (2009) menegaskan bahwa dalam rangka pengembangan jejaring ekologis, semua struktur komponen alami dan buatan harus dijadikan pertimbangan karena bercak dan koridor buatan di kawasan perkotaan bisa berperan sebagai komponen utama dalam menyusun jejaring yang berfungsi secara ekologis.
II.5.5 Pembangunan koridor untuk Lycaena dispar batava (Large cooper), yang direncanakan oleh European Centre for Nature Conservation
Badan Konservasi Eropa merencanakan pembangunan koridor untuk mempertahankan keberlanjutan hidup beberapa spesies yang dilindungi. Salah satu Spesies tersebut adalah jenis kupu-kupu Lycaena dispar batava.

Gambar II.10. Spesies Lycaena dispar batava
Sumber: European Centre for Nature Conservation
Beberapa faktor yang diperhatikan dalam pembangunan koridor untuk mempertahankan spesies Lycaena dispar batava antara lain :
1. Ekologi
Lycaena dispar batava biasanya hadir pada vegetasi rawa di sepanjang aliran air, sungai, dan rawa, juga dapat ditemukan pada hamparan rumput semi-natural. Spesies jantan mempertahankan teritori, sedangkan yang betina berkeliling secara luas pada daerah wetland mencari spesies jantan atau tanaman untuk meletakkan telurnya. spesies betina lebih suka berpindah-pindah dan dapat mengkolonialisasi habitat yang cocok pada radius hingga sepuluh kilometer. Hal ini menunjukkan bahwa kupu-kupu berfungsi baik pada mosaik bercak habitat. Jumlah spesies ini telah menurun secara signifikan di Eropa Barat, namun pada Eropa Timur, populasinya cukup stabil.

Gambar II.11. Tipikal Habitat Spesies Lycaena dispar batava di Eropa Tengah
Sumber: European Centre for Nature Conservation

2. Status Konservasi
Spesies ini tergolong pada appendix II Konvensi Bern dan dalam appendix II dan IV dari Petunjuk pemerintah eropa mengenai habitat. Jenis kupu-kupu ini masuk dalam kategori Lower Risk, Nearly threatened species’ dalam the IUCN Red-list.
3. Permasalahan
Ancaman terbesar yang dialami oleh Lycaena dispar batava adalah fragmentasi habitatnya. Intensifikasi pertanian di daerah Barat Laut Eropa memberi efek pada drainase dan penurunan luasan habitat. Di Daerah Jerman Timur dan Polandia, populasi dalam jumlah besar masih ada, namun arahan kebijakan pertanian dapat akan segera diikuti sebagai bagian dari Uni Eropa.
LARCH (Landscape Analysis and Rules for Configuration of Habitat), sebuah model ekologi lanskap dalam penaksiran lanskap dan keberlanjutan populasi, mengidentifikasikan dan membandingkan spesies ini dengan pola distribusi spesies aktual (gambar II.12). Dalam beberapa lokasi (1, 2, 3) terdapat populasi dalam luasan yang cukup besar jika dibandingkan dengan lokasi yang lain, namun tetap terkoneksi (4, 5). Pada area barat laut Jerman (6), wetland terlalu kecil, terpecah-pecah, dan terisolasi. Meskipun secara ekologis terdapat sedikit 39

perbedaan pada spesies ini, model koridor ini juga memprediksikan kemungkinan persebaran di Belanda (7). Pada kenyataannya di Belanda, subspesies ini terbatas pada daerah North-west Overijssel dan Southern Friesland (8).
4. Solusi
Untuk meningkatkan konektivitas spesies ini, dibutuhkan dua jenis koridor. Koridor yang pertama adalah koridor yang menghubungkan jaringan-jaringan yang berbeda, yang kedua adalah koridor yang menghubungkan populasi yang lebih kecil dengan jaringan yang ada. Matriks lanskap dan koridor linear dengan node yang terhubung dengan populasi lokal merupakan hal yang penting dalam jejaring koridor ini. (Gambar II.12)
Gambar ini menunjuan bahwa akses anggota baru dalam Uni Eropa (A) menyebabkan intensifikasi pertanian pada negara-negara ini. Hal ini mendorong terjadinya fragmentasi wetland pada daerah Polandia tengah. Faktor yang sangat penting adalah perlindungan terhadap area dengan populasi spesies ini, dan area tersebut dihubungkan dengan Biebrza valley (3) dan Kaliningrad (2). Di daerah Barat Laut Jerman (B), wetland berukuran kecil dan terisolasi. Hal ini menjelaskan bahwa populasi spesies di Belanda terisolasi dari populasi di Jerman Timur. Solusinya hanya dengan menciptakan wetland dalam skala besar. Di Belanda, habitat yang relatif luas dan cocok terhadap spesies ini masih tersedia, terutama pada daerah Oostvaardersplassen / Vechtplassen / Nieuwkoopse Plassen (C). Area ini dapat dihubungkan dengan area North-West Overijssel (8). Area bercak spesies di Belanda ini dapat diperpanjang untuk kelangsungan hidup spesies secara berkelanjutan

Gambar II.12. Ecological core areas and possible corridors to improve the network viability of the Large copper (based on an analysis by Alterra & inderstichting)
Sumber: European Centre for Nature Conservation
5. Kegunaan Spesies
Lycaena dispar batava merupakan spesies payung bagi banyak serangga dan spesies lain pada wetland seperti Burung, sehingga pengelolaan koridor yang benar bagi spesies ini juga memberi keuntungan bagi keberlanjutan beberapa spesies yang lain.